Anda di halaman 1dari 14

Sejarah dan Tradisi Suku Sasak, Lombok –

NTB

Suku Sasak telah menghuni Pulau Lombok selama berabad-abad,


Mereka telah menghuni wilayahnya sejak 4.000 Sebelum Masehi.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang Sasak berasal dari
percampuran antara penduduk asli Lombok dengan para pendatang
dari Jawa. Ada juga yang menyatakan leluhur orang sasak adalah
orang Jawa.
Pulau Lombok merupakan kampung halaman Suku Sasak, terletak di sebelah timur Pulau
Bali, dipisahkan oleh Selat Lombok. Di sebelah barat Pulau ini berbatasan dengan Selat Atas
yang memisahkan pulau ini dengan Pulau Sumbawa. Luas wilayah pulau yang termasuk ke
dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat ini kurang lebih 5435 km2.

Pulau Lombok secara administratif terdiri dari lima Kabupaten dan Kota yakni Kabupaten
Lombok Barat, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok
Tengah, dan Kota Mataram. Kurang lebih ada sekitar 3 juta jiwa yang mendiami pulau
lombok, 80% di antaranya adalah Suku Sasak.

Menurut Goris S., “Sasak” secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi” dan
“shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu Goris menyimpulkan bahwa sasak memiliki
arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu
adalah orang Jawa.

Etimologi: (Linguistik); cabang dari ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul serta perubahan
kata dalam bentuk dan makna.

Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak disebut sebagai
“Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari tanah Jawa, pada perkembangannya, aksara
ini diresepsi dengan baik oleh para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusasteraan
Sasak.

Pendapat lain menyoal etimologi Sasak beranggapan bahwa kata itu berasal dari kata sak-sak
yang dalam bahasa sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan dengan kedatangan
nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan dari arah barat. Sumber lain yang
sering dihubungkan dengan etimologi Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat
catatan kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca.

Dalam kitab Nagarakertagama terdapat ungkapan “lombok sasak mirah adi” yang kurang
lebih dapat diartikan sebagai “kejujuran adalah permata yang utama”. Pemaknaan ini merujuk
kepada kata sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai satu atau utama; Lombok (Lomboq) dari
bahasa kawi yang dapat diartikan sebagai jujur atau lurus; mirah diartikan sebagai permata
dan adi bermakna baik.

Sejarah, Pengaruh, dan Kekuasaan

Sejarah Lombok sepertinya tidak dapat dipisahkan dari silih bergantinya kekuasaan dan
peperangan pada masa itu. Baik itu peperangan antar kerajaan di Lombok sendiri, maupun
peperangan yang ditimbulkan oleh perluasan kekuasaan dari wilayah lain.

Konon, pada masa pemerintahan Raja Rakai Pikatan di Medang (Mataram Kuno), telah
banyak pendatang dari Pulau Jawa ke Pulau Lombok. Banyak diantara mereka kemudian
melakukan pernikahan dengan warga setempat sehingga keturunan-keturunan selanjutnya
dikenal sebagai suku sasak.
Selanjutnya, dalam catatan sejarah abad ke-14-15 Masehi, Pulau Lombok ini kemudian
berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit. Bahkan kabarnya Maha Patih
Gajah Mada sendiri yang waktu itu datang ke Pulau Lombok untuk menundukan beberapa
kerajaan yang ada di Pulau itu.

Melemahnya pengaruh Majapahit membuka jalan bagi perkembangan Islam ke daerah


Lombok. Islam mungkin sudah sampai di Pulau lombok jauh sebelumnya, tapi penyebaran
yang signifikan muncul karena bantuan para wali beserta kekuasaan Islam di tanah Jawa dan
wilayah Makassar.

Selama kurun waktu abad ke-16-17 Islam bahkan telah berhasil menguasai Kerajaan
Selaparang, salah satu kerajaan yang cukup kuat di Pulau Lombok. Islam kemudian
menyebar di Lombok, meski masih tetap tercampur dengan kebudayaan lokal.

Kerajaan Bali yang selalu berusaha menjadikan wilayah Lombok menjadi kekuasaannya,
berhasil menduduki Lombok Barat sekitar akhir abad ke-I7 Masehi, kemudian melebarkan
kekuasaannya terhadap hampir seluruh wilayah Lombok setelah berhasil menaklukan
Selaprang dan memukul mundur pengaruh Makassar.

Belanda yang saat itu telah menguasai Sumbawa dibukakan jalan oleh bangsawan Sasak
untuk berkuasa di Lombok. Konon Kabarnya para bangsawan sasak meminta campur tangan
dari militer Belanda agar memerangi dinasti Bali di Lombok.

Ketika akhirnya Belanda berhasil mengambil penguasaan Lombok dari Kerajaan Bali, alih-
alih mengembalikan Lombok kepada para bangsawan Sasak, mereka justru menjadi penjajah
baru di wilayah itu. Menurut Kraan (1976) menyebutkan bahwa Belanda telah berhasil
mengambil wilayah yang sebelumnya berada di bawah Kerajaan Bali, dan memberlakukan
pajak yang sangat tinggi pada penduduknya.

Antara Jawa-Bali-Lombok memang mempunyai beberapa kesamaan budaya, selain karena


faktor perluasan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang silih berganti, kedekatan wilayah yang
memungkinkan penduduknya dengan mudah berpindah dan terjadi akulturasi budayanya.

Bahasa Orang Sasak

Bahasa Sasak, terutama yang berkenaan dengan sistem aksaranya, memiliki kedekatan
dengan sistem aksara Jawa-Bali, sama-sama menggunakan aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Kendati
demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak ternyata lebih memiliki kedekatan dengan bahasa
Bali.

Etnologi: Cabang dari antropologi, yang mempelajari berbagai suku bangsa beserta aspek
kebudayaannya, dan hubungan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Etnis: Suku
bangsa. Etnolog: Adalah orang yang ahli etnologi.

Menurut penelitian para etnolog yang mengumpulkan hampir semua bahasa di dunia,
menggolongkan bahasa Sasak kedalam rumbun bahasa Austronesia Malayu-Polinesian, Juga
ada kesamaan ciri dengan rumpun bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.

Bahasa Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya dapat
digolongkan kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah penuturnya; Mriak-Mriku
(Lombok Selatan), Meno-Mene dan Ngeno-Ngene (Lombok Tengah), Ngeto-Ngete (Lombok
Tenggara), dan Kuto-Kute (Lombok Utara).

Struktur dan Sistem Masyarakat Sasak

Suku Sasak pada masa lalu secara sosial-politik, digolongkan dalam dua tingkatan sosial
utama, yaitu golongan bangsawan yang disebut perwangsa dan bangsa Ama atau jajar
karang sebagai golongan masyarakat kebanyakan.

Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan, yaitu bangsawan tingi (perwangsa)
sebagai penguasa dan bangsawan rendahan (triwangsa). Bangsawan penguasa (perwangsa)
umumnya menggunakan gelar datu. Selain itu mereka juga disebut Raden untuk kaum laki-
laki dan Denda untuk perempuan.

Seorang Raden jika menjadi penguasa maka berhak memakai gelar datu. Perubahan gelar dan
pengangkatan seorang bangsawan penguasa itu umumnya dilakukan melalui serangkaian
upacara kerajaan.

Bangsawan rendahan (triwangsa) biasanya menggunakan gelar lalu untuk para lelakinya dan
baiq untuk kaum perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar karang atau masyarakat
biasa.Panggilan untuk kaum laki-laki di masyarakat umum ini adalah loq dan untuk
perempuan adalah le.

Golongan bangsawan baik perwangsa dan triwangsa disebut sebagai permenak. Para
permenak ini biasanya menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah. Ketika Kerajaan
Bali dinasti Karangasem berkuasa di Pulau Lombok, mereka yang disebut permenak
kehilangan haknya dan hanya menduduki jabatan pembekel (pejabat pembantu kerajaan).

Masyarakat Sasak sangat menghormati golongan permenak baik berdasarkan ikatan tradisi
dan atau berdasarkan ikatan kerajaan. Di sejumlah desa, seperti wilayah Praya dan Sakra,
terdapat hak tanah perdikan (wilayah pemberian kerajaan yang bebas dari kewajiban pajak).

Setiap penduduk mempunyai kewajiban apati getih, yaitu kewajiban untuk membela
wilayahnya dan ikut serta dalam peperangan. Kepada mereka yang berjasa, Kerajaan akan
memberikan beberapa imbalan, salah satunya adalah dijadikan wilayah perdikan.

Landasan sistem sosial masyarakat dalam kehidupan suku Sasak umumnya mengikuti garis
keturunan dari pihak laki-laki (patrilineal). Akan tetapi, dalam beberapa kasus hubungan
masyarakatnnya terkesan bilateral atau parental (garis keturunan diperhitungkan dari kedua
belah pihak; ayah dan ibu).

Pola kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring Kadang ini mengatur hak dan
kewajiban anggota masyarakatnya. Unsur-unsur kekerabatan ini meliputi Kakek, Ayah,
Paman (saudara laki-laki ayah), Sepupu (anak lelaki saudara lelaki ayah), dan anak-anak
mereka.

Wiring Kadang juga mengatur tanggung jawab mereka terhadap masalah-masalah keluarga;
pernikahan, masalah warisan dan hak-kewajiban mereka. Harta warisan disebut pustaka dapat
berbentuk tanah, rumah, dan juga benda-benda lainnya yang merupakan peninggalan leluhur.
Orang-orang Bali memiliki pola kekerabatan yang hampir sama disebut purusa dengan harta
waris yang disebut pusaka.

Kepercayaan Masayarakat Sasak

Boda adalah nama dari kepercayaan asli Suku Sasak, beberapa menyebutnya Sasak Boda.
Walapun ada kesamaan pelafalan dengan Buddha, Boda tidak memiliki kesamaan dan
hubungan dengan Buddhisme.

Orang Sasak yang menganut kepercayaan Boda tidak mengenal dan mengakui Sidharta
Gautama (Sang Buddha) sebagai figur utama. Agama Boda orang Sasak ini justru ditandai
dengan penyembahan roh-roh leluhur mereka sendiri dan juga percaya terhadap berbagai.

Kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa serta budayanya. Hindu-Buddha


Majapahit pun kemudian dikenal oleh Suku Sasak. Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17
awal perkembangan agama Islam menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran
Sunan Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan Suku Sasak sebagian berubah dari
Hindu menjadi penganut Islam.

Berdasarkan sistem kepercayaan Suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat
diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu Lima).

Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan utara dan di
lembah-lembah pegunungan Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini konon adalah
orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli.
Mereka menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan diri dari islamisasi di Lombok.

Sedangkan Agama Wetu telu awalnya memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali dan Kejawen.
Di antara unsur-unsur umum, peran leluhur begitu menonjol. Hal itu didasarkan pada
pandangan yang berakar pada kepercayaan tentang kehidupan senantiasa mengalir.
“Masjid Suku Sasak” Gambar oleh Wacana Nusantara

Pada perkembangannya Wetu telu justru lebih dekat dengan Islam. Konon, sekarang hampir
semua desa suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan meninggalkan Wetu
telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam-Wetu telu kini berkembang terbatas di
beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun,
Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat.

Istilah Islam-Wetu Telu diberikan karena penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di
bulan puasa, yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan puasa, mereka hanya
satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau Jumat, meliputi
waktu Asar. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka;
para kiai dan penghulu.

Para penganut Islam-Wetu telu membangun Masjid (tempat ibadah) mereka dengan gaya
arsitektur khas Suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan bagian atapnya terbuat dari jenis
alang-alang atau sirap dari bambu.

Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid bertumpang yang
disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai arsitektur masjid ini mirip dengan
Arsitektur masjid lama di Ternate dan Tidore.

Tata Ruang dan Arsitektur Suku Sasak


Rumah-rumah suku Sasak berbeda dengan arsitektur Bali pada umumnya. Di dataran,
perkampungan suku Sasak cenderung luas dan melintang. Desa-desa Suku Sasak di wilayah
pegunungan tertata rapi mengikuti perencanaan yang pasti.

Di Lombok bagian utara, biasanya perkampungan Suku Sasak terdapat dua baris rumah tipe
bale, dengan sederet lumbung padinya di satu sisi yang lain. Bangunan lain yang menjadi ciri
khas perkampungan orang Sasak adalah rumah besar (bale bele).

Di antara deretan rumah-rumah itu dibangun balai yang bersisi terbuka (beruga) sebagai
tempat pertemuan. Balai terbuka menyediakan panggung untuk kegiatan sehari-hari dalam
fungsi hubungan sosial masyarakat. Balai ini juga digunakan untuk urusan keagamaan
misalnya upacara penghormatan jenazah sebelum dikuburkan. Sementara makam leluhur
yang terdiri dari rumah-rumah kayu dan bambu kecil dibangun di wilayah bagian atas dari
perkampungan.

“Lumbung Padi Suku Sasak”.


Gambar oleh Wacana Nusantara

Sedikitnya ada empat jenis dasar lumbung dengan ukuran yang berbeda-beda. Semua
lumbung, kecuali jenis lumbung padi yang berukuran kecil, memiliki panggung di bawah.

Di desa-desa Lombok bagian selatan, panggung yang berada di bagian bawah lumbung padi
berperan sebagai balai. Di Lombok bagian utara, tidak semua desa memiliki lumbung padi.

Lumbung padi menjadi ciri khas yang sangat menarik dalam arsitektur suku Sasak. Bangunan
Lumbung itu didirikan pada tiang-tiang dengan cara dan ciri khas yang mirip bangunan-
bangunan Austronesia.
Bangunan ini memiliki atap berbentuk “topi” yang ditutup ilalang. Empat tiang besar
menyangga tiang-tiang melintang di bagian atas tempat kerangka utama dibangun. Bagian
atas penopang kayu kemudian menguatkan rangka-rangka bambunya yang semua bagiannya
ditutupi ilalang.

Satu-satunya yang dibiarkan terbuka adalah sebuah lubang persegi kecil yang terletak tinggi
di bagian ujung berfungsi untuk menaruh padi hasil panen. Untuk mencegah hewan pengerat
masuk. Piringan kayu besar yang mereka sebut jelepreng, disusun di bagian atas puncak tiang
dasarnya.

Rumah tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak berjendela dan hanya memiliki satu
pintu dengan pintu ganda yang telah diukir halus. Di bagian dalam, tidak terdapat tiang-tiang
penyangga atap.

Bubungan atapnya curam, terbuat dari jerami yang memiliki ketebalan kurang lebih 15
centimeter. Atap itu sengaja dibiarkan menganjur ke bagian dinding dasar yang hampir
menutupi bagian dinding.

Dinding terdiri dari dua bagian, bagian tengah yang menyatu dengan atap dibuat dari bambu,
bagian bawah dibuat dari campuran lumpur, dan jerami yang permukaannya telah dipelitur
halus.
“Rumah Adat Suku Sasak”.
Gambar oleh Wacana Nusantara

Rumah digunakan terutama untuk tempat tidur dan memasak. Masyarakat Sasak jarang
menghabiskan waktu di dalam rumah sepanjang hari.

Di sisi sebelah kiri dibagi untuk tempat tidur anggota keluarga, juga terdapat rak di langit-
langitnya untuk menyimpan pusaka dan benda berharga.

Anak laki-laki tidur di panggung bawah bagian luar; anak perempuan tidur di atas bagian
dalam panggung.

Untuk kegiatan memasak, bagian dalam rumah berisi tungku yang berada di sisi sebelah
kanan yang dilengkapi rak-rak untuk menyimpan dan mengeringkan jagung. Kayu bakar
disimpan di belakang rumah, kadang juga disimpan di bawah panggung.

Tradisi dan Seni

Dari sejarahnya yang panjang, Suku Sasak bisa saja diidentifikasikan sebagai budaya yang
banyak mendapat pengaruh dari Jawa dan Bali. Pun sejarah mencatatnya demikian,
kenyataannya kebudayaan Suku Sasak memiliki corak dan ciri budaya yang khas, asli dan
sangat mapan hingga berbeda dengan budaya suku-suku lainnya di Nusantara.
Kini, Sasak bahkan dikenal bukan hanya sebagai kelompok masyarakat tapi juga merupakan
entitas budaya yang melambangkan kekayaan tradisi Bangsa Indonesia di mata dunia.

Berikut beberapa seni dan tradisi yang cukup terkenal dari suku Sasak:

Bau Nyale. Nyale adalah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida) yang
berkembang biak dengan bertelur. Dalam alam kepercaan Suku Sasak, Nyale bukan sekedar
binatang, beberapa legenda dari Suku ini yang menceritakan tentang putri yang menjelma
menjadi Nyale.

Lainnya menyatakan bahwa Nyale adalah binatang anugerah, bahkan keberadaannya


dihubungkan dengan kesuburan dan keselamatan.

Ritual Bau Nyale atau menangkap nyale digelar setahun sekali. Biasanya pada tanggal 19
atau 20 pada bulan ke-10 atau ke-11 menurut perhitungan tahun suku Sasak, kurang lebih
berkisar antara bulan Februari atau Maret.

Rebo Bontong. Suku Sasak percaya bahwa hari Rebo Bontong merupakan hari puncak terjadi
bencana dan atau penyakit (Bala) sehingga bagi mereka sesuatu yang tabu jika memulai
pekerjaan tepat pada hari Rebo Bontong. Kata Rebo dan juga Bontong kurang lebih artinya
“putus” atau “pemutus”.

Upacara Rebo Bontong dimaksudkan untuk dapat menghindari bencana atau penyakit.
Upacara ini digelar setahun sekali yaitu pada hari Rabu di minggu terakhir bulan Safar dalam
kalender Hijriah.

Bebubus Batu. Dari kata “bubus”, yaitu sejenis ramuan obat berbahan dasar beras yang
dicampur berbagai jenis tanaman, dan dari kata batu yang merujuk kepada batu tempat
melaksanakan upacara.

Bebubus Batu adalah upacara yang digelar untuk meminta berkah kepada sang Kuasa.
Upacara ini dilaksanakan tiap tahun, dipimpin oleh Penghulu (pemangku adat) dan Kiai (ahli
agama). Masyarakat ramai-ramai mengenakan pakaian adat serta membawa dulang, sesajen
dari hasil bumi.

Sabuk Beleq Merujuk kepada sebuah pustaka sabuk yang besar (Beleq) bahkan panjangnya
mencapai 25 meter, masyarakat Lombok khususnya mereka yang berada di wilayah Lenek
Daya akan menggelar upacara pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriah.

Tradisi pengeluaran Sabuk Bleeq ini mereka awali dengan mengusung Sabuk Beleq
mengelilingi kampung diiringi dengan tetabuhan gendang beleq. Ritual upacara kemudian
dilanjutkan dengan menggelar praja mulud hingga diakhiri dengan memberi makan berbagai
jenis makhluk.

Upacara ini dilakukan untuk mempererat ikatan persaudaraan, persatuan dan gotong royong
antar masyarakat, serta cinta kasih di antara makhluk Tuhan.

Lomba Memaos. Memaos kurang lebih artinya membaca dan orang yang membaca di sebut
pepaos. Lomba memaos adalah lomba untuk membaca lontar yang menceritakan hikayat dari
leluhur mereka.
Tujuan lomba pembacaan cerita ini adalah agar generasi selanjutnya dapat mengetahui
kebudayaan dan sejarah masa lalu. Selain itu, Lomba ini juga dapat berfungsi sebagai
regenerasi nilai-nilai sosia, budaya, dan tradisi pada generasi penerus. Satu kelompok pepaos
biasanya terdiri dari 3-4 orang; pembaca, pejangga, dan pendukung vokal.

Tandang Mendet. Tandang Mendet adalah tarian perang Suku Sasak. Konon Tarian ini telah
ada sejak zaman Kerajaan Selaparang. Tarian yang menggambarkan keperkasaan dan
perjuangan ini dimainkan oleh belasan orang dengan berpakaian dan membawa alat-alat
keprajuritan lenggap; kelewang (pedang), tameng, tombak. Tarian diiringi dengan hentakan
gendang beleq serta pembacaan syair-syair perjuangan.

Peresean. Kadang ada yang menulisnya Periseian dan atau Presean adalah seni bela diri
yang dulu digunakan oleh lingkungan kerajaan. Peresean awalnya adalah latihan pedang dan
perisai bagi seorang prajurit. Pada perkembangannya, latihan ini menjadi pertunjukan rakyat
untuk menguji ketangkasan dan “keberanian”.

“Tarung Peresean Tempo Doeloe”. Foto dari Tropenmuseum

Senjata yang digunakan adalah sebilah rotan yang dilapisi pecahan kaca. Dan untuk
menangkis serangan, pepadu (pemain) biasanya membawa sebuah perisai (ende) yan terbuat
dari kayu berlapis kulit lembu atau kerbau. Setiap pepadu memakai ikat kepala dan
mengenakan kain panjang.
Festival peresean diadakan setiap tahun terutama di Kabupaten Lombok Timur yang akan
diikuti oleh pepadu dari seluruh Pulau Lombok.

Begasingan. Permainan rakyat yang mempunyai unsur seni dan olahraga, bahkan termasuk
permainan tradisional yang tergolong tua di masyarakat Sasak. Permainan tradisional ini juga
dikenal di beberapa wilayah lain di Indonesia.

Hanya saja, Gasing orang sasak ini berbeda baik bentuk maupun aturan permainannya.
Gasing besar, mereka namai pemantok, digunakan untuk menghantam gasing pengorong atau
pelepas yang ukurannya lebih kecil.

Begasingan berasal dari kata gang yang artinya “lokasi”, dan dari kata sing artinya “suara”.
Permainan tradisional ini tak mengenal umur dan tempat, bisa siapa saja, bisa di mana saja.

Slober. Alat musik tradisional Lombok yang cukup tua, unik, dan bersahaja. Slober dibuat
dari pelepah enau dan ketika dimainkan alat musik ini biasanya didukung dengan alat musik
lainnya seperti gendang, gambus, seruling, dll. Kesenian yang masih dapat anda saksikan
hingga saat ini, sangat asyik jika dimainkan ketika malam bulan purnama.

Gendang Beleq. Satu dari kesenian Lombok yang mendunia. Gendang Beleq merupakan
pertunjukan dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq) sebagai ensembel
utamanya. Komposisi musiknya dapat dimainkan dengan posisi duduk, berdiri, dan berjalan
untuk mengarak iring-iringan.

Ada dua jenis gendang beleq yang berfungsi sebagai pembawa dinamika yaitu gendang laki-
laki atau gendang mama dan gendang nina atau gendang perempuan).

Sebagai pembawa melodi adalah gendang kodeq atau gendang kecil. Sedangkan sebagai alat
ritmis adalah dua buah reog, 6-8 buah perembak kodeq, sebuah petuk, sebuah gong besar,
sebuah gong penyentak , sebuah gong oncer, dan dua buah lelontek.

Menurut cerita, gendang beleq dahulu dimainkan bila ada pesta-pesta yang diselenggarakan
oleh pihak kerajaan. Bila terjadi perang gendang ini berfungsi sebagai penyemangat prajurit
yang ikut berperang.

Kepulauan Nusa Tenggara

Suku : bali, bima, sasak, lombok, manggarai, ngada, ende lio, dompu, timor,
dan rote.

Ciri-ciri :

* Fisik : rambut lurus, muka agak lonjong, kulit sawo matang, dan tubuh
relatif kecil.
* Geografis : pohon lebih rendah dari hutan hujan tropis, pada
musim kemarau daunnya gugur, pada musim hujan mulai bertunas.
* Agama : Islam, budha, hindhu, Kristen katolik, dan Kristen protestan.
* Bahasa : bali, bima, timor,dan lombok.

SISTEM KEKERABATAN SUKU SASAK (LOMBOK BARAT )


Suku sasak merupakan salah satu suku yang mendiami pulau Lombok.
Etnis sasak merupakan etnis utama yang meliputi 95% dari penduduk
seluruhnya. Berdasarkan bukti yang sudah ditemukansuku sasak sudah
menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai abad XI masehi. Mengenai
kata dari kata sasak tersebut, banyak persi yang menyebutkan, salah
satunya adalah menurut Dr. Goris. Kata sasak berasal dari kata saq yang
artinya pergi dan saka yang artinya saka jadi jika dihubungkan artinya
adalah orang yang pergi dari daerah asalnya dan kemudian tinggal dan
menetap di Lombok. Pulau Lombok ini juga dikenal dengan nama gumi
sasak karena mayoritas penghuninya yang merupakan suju sasak.

Sistem Kekerabatan

Suku sasak yang mendiami gumi Selaparang ini menggunakan bahasa


daerah Sasak. Pada umumnya bahasa daerah Sasak tersebut dibagi dua
yaitu bahasa alus dan bahasa jamaq. Bahasa alus digunakan untuk
berbicara dengan orang yang lebih tua dan dengan golongan bangsawan
sasak sedangkan bahasa jamaq digunakan dalam pergaulan sehari hari.

Sistem kekerabatan suku sasak terdiri dari :


 Keluarga inti
Terdiri dari seorang ayah ,seorang ibu dan seorang anak
Keluarga luas
Keluarga ini terdiri ayah, ibu, anak, kakak, adik, paman, bibi, menantu,
mertua, kakek, nenek, sepupu.
 Keluarga Besar
Terdiri dari :
1. Ego
2. Inaq dan Amaq (Orang tua dari Ego)
3. Papuq Nina dan Papuq Mama (Orang tua inaq dan amaq atau papuq
dari ego)
4.Baloq ( Orang tua dari Papuq Nina dan Papuq Mama, papuq dari inaq
dan amaq, dan merupakan balok dari Ego )
5.Tata ( Orang tua dari Baloq, Papuq dari Papuq Nina dan Papuq Mama,
Baloq dari inaq dan amaq, dan merupakan Tata dari ego )
6. Toker (Orang tua dari Tata, papuq dari Baloq, Baloq dari Papuq Nina
dan Papuq Mama, Tata dari inaq dan amaq, dan merupakan Toker dari ego
)
7. Goneng (Orang tua dari Toker, papuq dari Tata, Baloq dari Baloq, Tata
dari Papuq Nina dan Papuq Mama, Toker dari inaq dan amaq, dan
merupakan Goneng dari ego )
8. Kleoq (Orang tua dari Goneng, papuq dari Toker, baloq dari Tata, tata
dari Baloq, Toker dari Papuq Nina dan Papuq Mama, Goneng dari inaq dan
amaq, dan merupakan Kleoq dari ego Atau keluarga besar ini disebut
keluarga diluar keluaraga inti.

Sumber : http://www.wacana.co/2010/07/sejarah-dan-tradisi-suku-sasak/

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak

Anda mungkin juga menyukai