Anda di halaman 1dari 7

RESUME SEJARAH EKONOMI INDONESIA

IDENTITAS BUDAK DI DUNIA MELAYU

Untuk memenuhi tugas.


Dosen Pengampu: Dr. Anatona, M.Hum

Oleh:
Nabilah Nur Yasinda
2010712022

ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ANDALAS

2021
PENGANTAR
Keberadaan budak (hamba) merupakan suatu realitas historis. Budak adalah salah satu
warisan tertua peradaban masa lalu umat manusia. Keberadaan budak bersama institusi
perbudakan merupakan sebuah fenomena umum yang hhampir merata ditemukan pada
berbagai komunistas, termasuk komunitas masyarakat di dunia melayu.
Budak dan institusi perbudakan di dunia Melayu, tidak hanya terdapat pada masyarakat
pendukung Melayu saja., tetapi juga ditemukan di pada masyarakat pendukung kebudayaan
yang lain. Hal ini disebabkan karena masyarakat dunia Melayu bersifat heterogen dalam
berbagai aspek seperti etnisitas dan kultural yang di dalamnya mencakup berbagai sistem.
Sosok budak di dunia Melayu ditemukan dalam dua tipe komunitas, yaitu komunitas
masyarakat yang homogen dan komunitas masyarakat yang majemuk. Sementara itu, secara
gerografis, institusi perbudakan menyebar di berbagai wilayah, baik di pedalaman maupun di
bandar-bandar niaga pesisir pantai.

STRATA BUDAK
Munculnya komunitas budak Melayu di Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya, tidak
lepas dari wilayah, tempat, budak itu berada. Di berbagai bagian dunia Melayu terdapat
institusi perbudakan. Tradisi dan adat-istiadat masyarakat lokal, menyediakan ruang bagi
terbentuknya institusi tersebut.
Institusi perbudakan yang terdapat pada masyarakat yang bermukim di berbagai kawasan
dunia Melayu, yang memperlihatkan beberapa kemiripan. Sebuah kemiripannya, dapat dilihat
dari strata sosial atau lapisan sosial yang ditempati oleh golongan budak. Hingga ke abaad
ke-19, di kawasan Pulau Sumatera dan Semenanjung Melayu menempatkan golongan budak
pada sebuah strata tersendiri.
Budak memiliki istilah khas masing-masing di daerah mereka setempat, seperti Hatoban di
Batak-Toba dan Mandailing, Jabolon Batak-Simalungun, kawan di Batak Karo, Kamanakan
di Bawah Lutuik di Minangkabau. Secara umum, strata budak berada di bawah rakyat biasa.
Lapisan Jabolon, terbagi 6 yaitu: 1) Jabolon Taban, 2) Jabolon Tangga atau Jabolon Pusaka,
3) Jabolon Bolian, 4) Jabolon Mautang, 5) Jabolon Ajapan, 6) Satonga Jabolon. Hal ini juga
sama pada wilayah Tapanuli bagian utara (Toba dan Simalungun) dan Tapanuli bagian
selatan (Angkola, Sipirok, Padang Lawas, dan Mandailing). Golongan budak di Minangkabau
dapat dibagi menjadi 3 kategori: 1) Laci (Padangsche Bovendalen), 2) Budak Pusako, 3)
Kamanakan di Bawah Lutuik. Keberadaan budak tersebut tercakup pada lima afdeeling
(Tanah Datar, XIII dan IX Koto, Agam, Batipuh dan X Koto, Limapuluh.
Sejak tahun 1862, Inggris yang telah berhasil menguasai Negeri-Negeri Selat (Malaka,
Penang, dan Singapura) mulai meluaskan pengaruhnya memasuki negeri-negeri di
Semenanjung Malaya. Dibutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk memasukkan beberapa
kerajaan lokal di bawah kekuasaan Inggris. Pada tahun 1874, para administrator
pemerintahan Inggris sudah mulai menjalankan tugas-tugasnya di Semenanjung Malaya
sebagai wilayah koloni yang baru. Berdasarkan masa pengabdiannya, lapisan Hamba yang
terdapat pada masyarakat Perak di Semenanjung Malaya, terbagi menjadi dua, yaitu: 1)
Hamba mengiring dan 2) Hamba Berbelah.

PENAMAAN
Malaka adalah bandar niaga terkemuka di Pesisir Barat Semenanjung Melayu. Sejak masih
berada di bawah pemerintahan dinasti raja-raja Melayu pada abad ke-15, struktur Malaka
terbagi ke dalam beberapa lapisan termasuk Budak. Infromasi awal yang menerangkan
keberadaan Budak di Malaka tertera dalam kitab Sejarah Melayu (Munsji, 1958:153). Budak
milik penguasa disebut sebagai kerajaan atau budak negara, kategori budak milik penguasa
Kerajaan Malaka dinamakan abdi raja atau hamba raja. Pada penghujung kekuasaan Sultan
Malaka yang terakhir tahun 1511, terdapat sekitar 1.500 hingga 3.000 budak milik sultan dan
keluarga istana kerajaan (Manguin, 1983:210 ; Thomaz, 2000: 133).
Eksistensi budak dalam komunitas masyarakat Malaka sangat penting. Begitu pentingnya
sehingga keberadaan mereka turut diatur secara hukum dan dimuat di dalam kitab Undang-
Undang Malaka (UUM), yaitu kode hukum yang berlaku di Malaka pada waktu itu. Ada tiga
kategori, yaitu budak biasa (Hamba, Abdi, dan Biduanda), orang berhutang, dan hamba raja.
Portugis dan Inggris yang secara silih berganti menguasai Malaka, menjalankan kebijakan
tetap mempertahankan keberadaan budak dan menjalankan praktik-praktik perbudakan serta
perdagangan budak disana. Identitas budak di Malaka antara lain dapat diketahui dari nama-
nama yang melekat pada sosok budak. Budak dapat teridentifikasi dengan cepat melalui
nama-nama yang mereka sandang. Pemilik budak memiliki kuasa dan hak untuk memberikan
nama-nama kepada budak-budak yang mereka miliki. Biasanya nama para budak tidak
berusaha mencari nama yang susah.
Banyak nama budak di Malaka yang diambil dari nama-nama bulan yang bersumber dari
kalender (Kabisat dan Hijriah). Pada kalender Kabisat, September adalah nama yang populer,
sedangkan pada kalender Hijriah ada nama Muharram, Rajab, Sya’ban, dan Syawal. Identitas
lain, ada yang mengggunakan nama hari seperti nama Senin, Raboo, Kamis, Jumat, dan
Sabtu. Budak di Malaka yang mayoritasnya berasal dari Nusantara, mereka memiliki nama
seperti Batak, Sumbawa, Bali, Bugis, Minangkabau, Buton, Melayu, Lingga, Nias, Batta,
Jambi, Siak, dan Flores. Identitas budak perempuan di Malaka adalah menggunakan kata-kata
bunga, seperti Melatie, Meloor, Tanjong, Kananga, Cempaka, Mawar, dan Jasmin. Ada juga
identitas lain yang terdaftar berdasarkan penampilan, seperti nama Manees, Itam, Mancung,
Biroe, Kurus, Poeti, Lembut, Ribut, dan Alus. Di samping itu, ada nama-nama yang
menggambarkan suasana, seperti Oentoeng, Laba, Slamat, Majoor, Berkat, Salam, dan Nasip
(Anatona, 2007). Ada juga di daerah pedalaman Sumatera, yaitu di Lontung dan Samosir. Di
Lontung diberi nama Kucing, dan budak yang diberi nama Kucing harus berperilaku seperti
kucing, sedangkan di Samosir dengan nama Babi, begitu pula perilakuknya seperti babi.
TEMPAT TINGGAL
Identitas budak di Minangkabau dapat diketahui berdasarkan simbol tempat tinggal atau
rumah. Seorang budak atau tidak, dapat diketahui melaui hubungan atap rumah yang mereka
tempati. Simbol atap rumah terdapat pada masyarakat Minangkabau yang bermukim di
Keresidenan Padangsche Bovenlanden.
Pada tahun 1868, seorang kontrolir Belanda, Verkerck Pistorius, berkunjung ke nagari
Silungkang, nagari Padang Sibusuk, onderanfdeeling VII Koto Sijunjung, Keresidenan
Padangsche Bovenlanden, melaporkan rumah-rumah di kedua nagari,tersebut banyak dihuni
oleh para budak Kamanakan di Bawah Lutuik. Bubung-bubungan atap rumah yang dihuni
budak di kedua nagari tersebut, tidak bergonjong, berbentuk seperti tanduk. Para budak di
Padangsche Bovenlanden, tidak diizinkan membuat bubungan atap rumah mereka bertanduk,
karena tanduk merupakan simbol kemenangan nenek moyang mereka mengalahkan
Majapahit. Selain itu, rumah yang dihuni budak tidak boleh berukuran lebar dan dilarang
memiliki serambi. Seorang budak juga dapat dikenali melalui simbol anak tangga rumah. Jika
anak tangganya genap, maka di rumah tersebut dihuni oleh budak, sebaliknya jika ganjil,
maka dihuni oleh orang yang merdeka atau tidak budak. Sedangkan di Barumun Tapanuli
Selatan, rumah seorang budak dapat dilihat dari jenis bahan dan material tangga yang
digunakan. Tangga rumah yang dihuni oleh budak di Barumun adalah yang bermaterial dari
bambu.

SIMPULAN
Identitas paling mencolok pada komunitas budak di Melayu dapat dikenali melalui strata
yang mereka tempati. Strata budak selalu saja ditempatkan pada urutan terbawah atau paling
rendah dalam struktur sosial. Budak yang menempati strata tersendiri diberi simbol atau
nama dengan istilah-istilah khusus yang berbeda, karena tergantung pada bahasa masing-
masing etnis dan pendukung kebudayaan, tempat budak itu berada.
Pada abad ke-19 nama-nama budak di Malaka diambil dari nama-nama bulan di Kalender
Kabisat dan Hijriah, dan ada pula yang memakai nama sesuai dengan ciri fisik mereka.
Penggunaan nama dari bunga juga digunakan untuk budak perempuan, dan mereka juga
cukup dihargai. Untuk penamaan budak di bandar niaga pesisir pantai seperti Malaka ternyata
berbanding terbalik di pedalaman Lontung Samosir, Tapanuli. Eksistensi budak di bandar
niaga pesisir pantai lebih “dihargai” daripada budak-budak. Indikator lainnya yang dapat
menunjukkan identitas budak ialah tempat tinggal budak.
RESUME SEJARAH EKONOMI INDONESIA
NAMA-NAMA DAERAH ASAL BUDAK SUMATERA DALAM
CATATAN TRANSANKSI JUAL BELI BUDAK ABAD KE-18

PENDAHULUAN
Tahun 1642 merupakan momen penting dalam sejarah perbudakan yang kemudian diikuti
oleh aktivitas perdagangan budak. Pada tahun VOC Belanda menerbitkan Bataviasche
Statuten, sebuah undang-undang yang melegalkan praktik perbudakan dan perdagangan
budak di wilayah yang dikuasai termasuk Kepulauan Indonesia (Nusantara). Tidak hanya itu,
VOC juga berhasil memperoleh wilayah kekuasaan sebagai tempat pijakan yang kokoh.

PEMBAHASAN
Berikut adalah nama-nama beberapa daerah di Sumatera yang seringkali muncul dan
tertulis sebagai daerah asal budak yang diperjualbelikan di Batavia dan Malaka pada abad ke-
18.
1. Batak
Batak dalam terminologi Belanda disebut Bataklanden yang merupakan sebuah
wilayah yang terletak di Pulau Sumatera, bagian utara mulai dari perbatasan dengan
Aceh di utara sampai Riau dan Sumatera Barat di selatan. Ada tiga versi penulisan
kata Batak, yakni: 1) Batak, 2) Bata; 3) Batta.
Istilah Batak yang penulisannya persis sama dengan kata Batak pada saat ini, dan
Batahnya ditemukan dalam trasanksi perdagangan budak di Batavia. Dalam sebuah
Akta Notaris Carel Schounte pada 8 Mei 1724, misalnya tertulis seorang budak laki-
laki bernama Sada dari Batak. Kemudian Schoute pada tanggal 30 Juni 1725 mencatat
jual beli seorang perempuan dari Bata seharga 30 rds (rijkdaalders). Tanggal 6 April
1726, seorang budak laki-laki bernama Pangan dari Batak juga dijual seharga 50 rds.
Kemudian pada tangggal 16 Mei 1731 Notaris Anthonij Smonenar mengeluarkan 2
lembar akta jual beli budak dari Bata masing-masing atas nama Mungo seorang budak
laki-laki seharga 70 rds dan Dapaer budak perempuan seharga 90 rds. Tanggal 24 Mei
1731, dalam aktanya, notaris juga mencatat seorang budak perempuan dari Bata
bernama Malang dijual seharga 60 rds.
Ada juga tercatat nama seorang budak yang berasal dari Batak ditulis sama persis
dengan nama daerah asalnya. Pada 5 April 1726 seorang budak laki-laki bernama
Batak dijual seharga 60 rds, Karoe seharga 60 rds, Panaij seharga 60 rds. Beberapa
budak dari Bali menggunakan nama Tabanan, Buleeleng, dan Tsintamani.
Pada abad ke-18, budak dari Tanah Batak juga diangkut ke Pulau Jawa, untuk
diperjualbelikan di Batavia, dan ada pula yang dijual hingga ke Malaka. Meskipun
Malaka silih berganti secara politik dikuasai oleh Portugis, Belanda dan Inggris,
aktivitas perdagangan budak tetap berlangsung secara legal.

2. Minangkabau
Agak mirip dengan Batak, terdapat dua versi penulisan kata Minangkabau dalam
akta jual beli budak abad ke-18. Pertama, kata Minangkabau dalam akta jual beli
budak pada abad ke-18. Pertama kata Minangkabau ditulis Manangcabo dan yang
kedua adalah Manamcabo. Contoh sebuah transanksi jual beli budakdari Manangcabo
yang tercatat pada Akta Notaris Carel Schoute tanggal 14 Mei 1725, yaitu seorang
budak laki-laki bernama Mardjan. Kemudian seorang budak laki-laki dari
Manangcabo bernama Madjani pada tahun 1726 dijual seharga 40 rds. Sedangkan dari
Manamcabo, ada seorang budak laki-laki bernama Singkang yang dijual seharga 45
rds.
Selain penulisan kata Minangkabau ditemukan pula varian nama budak yang berasal
dari teritori yang sama dengan Minangkabau, yaitu Padang. Transanksi ini terjadi
pada tanggal 17 Maret 1725 atas nama budak laki-laki, Saijo (Dalam Akta Notaris
Carel Scoute). Lalu, pada tanggal16 Mei 1731, budak laki-laki bernama Baroet dari
Padang yang dijual seharga 77 rds. Teridentifikasi juga seorang budak laki-laki
bernama Saba dari Padanglua pada tanggal 11 Juli 1724, dijual seharga 66 rds.

3. Melayu
Transanksi atas budak asal Melayu ditemukan di dalam akta notaris di Batavia.
Sebuah akta notaris Carel Schoute tanggal 30 Juli 1725 menerangkan seorang budak
bernama Gehanus dari Melayudijual seharga 65 rds. Pada tanggal 3 April 1726 notaris
Ludolph Volkman juga menerangkan bahwa Sarrie seorang budak perempuan
Melayu, dijual seharga 90 rds. Pada tanggal 3 April 1726, Ludolph kembali mencatat
dalam akta yang dikeluarkan bahwa ada 3 orang budak budak diperjualkan, 2 orang
budak perempuan, dan 1 orang budak laki-laki. Masing-masing atas nama Indaa
seharga 25 rds, Sapia seharga 50 rds, dan Anas seharga 60 rds.

4. Nias
Pada masa lalu, Nias dihubungkan dengan masalah budak dan perbudakan. Hal ini
disebabkan karena tingginya intensitas penjualan dan pengiriman budak dari pulau
tersebut. Berbagai sumber tentang praktek perbudakan dan perdagangan budak disana
tidak hanya berasal dari dalam, tetapi juga dari luar, tempat dimana budak tersebut
dikirim.
Keberadaan budak dari Batavia, juga tidak luput dari akta notaris . Tanggal 17
Augustus 1724 Notaris Carel Schoute mencatat seorang budak perempuan bernama
Biha dari Nias. Tanggal 28 Mei 1725, seorang budak perempuan Nias bernama
Pieglien juga dijual seharga 60 rds. Kemudian pada tanggal 1 Juni 1725, di dalam
aktanya mencatat seorang budak laki-laki dijual seharga 70 rds. Tanggal 16 Juli 1725
seorang budak perempuan bernama Soendi dijual seharga 70 rds. Apabila diambil
rata-rata dari keempat kasus juak beli budak asal Nias yang dating melapor untuk
dicatat di kantor notaris Carel Schoute selama bulan April hingga Juli 1725, maka
setiap bulannya ada satu orang Nias yang diperjualbelikan ke Batavia. Penjualan
budak asal Nias terus berlanjut. Ludolph Volkman tertanggal 6 April 1726 misalnya,
seorang budak laki-laki dari Nias bernama Januarij dijual seharga 80 rds.

KESIMPULAN
Pada umumnya, nama-nama daerah asal budak, baik yang tertera pada akta notaris
di Batavia. Nama daerah sepadan dengan nama etnik sehingga jati diri setiap budak
yang diperjualbelikan memiliki dua identitas, yaitu mewakili nama daerah dan nama
etnik. Hal ini dapat terjadi, karena hingga abad ke-18, VOC tidak melakukan
intervensi politik secara masifke Sumatera sehingga menyamakan saja sebutan nama
etnik sebagai nama daerah. Ada dua wilayah administratif yang membawahi
kelompok etnik dari para budak yang berasal dari dari daerah-daerah di Pulau
Sumatera, yaitu Sumatera Westkust (Pantai Barat Sumatera, termasuk Minangkabau,
Padang, sebagian Batak, Nias). Sementara untuk sebagian Melayu dan Batak yang
tinggal di pesisir timur Sumatera bagian, disebut Sumatera Oostkust. Budak asal
Batak dikirim ke Batavia dan Malaka, budak asala Minangkabau, Melayu, dan Nias
dikirim ke Batavia.

Anda mungkin juga menyukai