Anda di halaman 1dari 86

SASAMBO

Sasak Samawa Mbojo


Sejarah dan Usul Daerah Bima
Sejarah Daerah Bima Ini yang akan kita bahas di lintas mbojo kali ini. Suatu daerah pasti mempunyai asal
usul tersendiri, budaya, dan sejarah masing-masing. begitu juga pun dengan Daerah Bima yang dulu
pernah merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya
Republik Indonesia. Sejarah kerajaan Bima hanya diketahui secara dangkal, disebabkan terutama karena
pemerintah Belanda boleh dikatakan tidak menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan dan ketertiban
tidak terganggu. Namun dari Dua sumber lain dapat ikut menjelaskan perkembangan sejarah Bima.

museum mbojo sebagai salah satu bukti adanya kerjaan di Bima

Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-
pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan berhasil menentukan patokan-patokan
kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa
Melayu yang ditulis di Bima antara abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa
setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut
jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama yang masih
tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin. Tiga jenis aksara asli Bima
pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh
satu pun yang membuktikan bahwa aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya
tidak pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain
pernah digunakan.

Dua prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa Sanskerta, yang
lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan bahasa Arab kadang-kadang dipakai
juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa
Melayu.

Tulisan di atas dikutip dari buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, karya Henry Chambert-Loir
penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2004.

Bima di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka (Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto Sejarah), jaman
Kerajaan (Masa Klasik), dan jaman kesultanan (Masa Islam).

1. Jaman Naka (Prasejarah)


Kebudayaan masyarakat Bima pada jaman Naka masih sangat sederhana. Masyarakat belum mengenal
sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan atau perindustrian serta
perniagaan dan pelayaran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari dan mengumpulkan
kekayaan alam yang ada disekitarnya seperti umbia-umbian, biji-bijian dan buah-buahan. Selain mencari
dan mengumpulkan makanan untuk kebutuhan sehari-hari, mereka juga sudah gemar berburu. Dalam
istilah ilmu arkeologi, karena mereka mengumpulkan makanan dari hasil kekayaan alam disebut
masyarakat pengumpul (Food Gathering).
Kehidupan masyarakat pada jaman Naka (Prasejarah) selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke
tempat lain. Masyarakat pada jaman Naka sudah mengenal agama atau kepercayaan. Kepercayaan yang
meraka anut pada masa itu disebut Makakamba dan Makakimbi, yang dalam ilmu sejarah disebut
kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Menurut kayakinan mereka pada masa itu, alam beserta isinya
diciptakan oleh Maha Kuasa, disebut Marafu atau Tuhan. Marafu tersebut merupakan tempat semayam di
mata air, pohon-pohon besar atau batu-batu besar. Dan tempat untuk bersemayamnya Marafu tersebut
Parafu Ro Pamboro.
Pada saat itu juga mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Makakamba Makakimbi di tempat
bersemayamnya Parafu yaitu Parafu Ro Pamboro. Upacara yang mereka lakukan disebut “Toho Dore”.
Dalam upacara tersebut dibacakan mantra atau do’a serta persembahan dan dalam tradisi upacara “Toho
Dore” diberikan berupa sesajen dan penyembelihan hewan. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang
pemimpin yang disebut Naka.
Naka adalah bukan hanya sebagai seorang pemimpin agama tetapi Naka juga merupakan pemimpin
dalam kehidupan sehari-hari. Naka tersebut sangat dihormati, sehingga masyarakat pada masa itu, selain
menyembah Marafu, mereka juga sangat menghormati arwah leluhur terutama arwah Naka. Masyarakat
pada masa itu, sangat menjunjung tinggi asas Mbolo Ro Dampa (Musyawarah) dan Karawi Kaboju
(Gotong Royong). Segala sesuatu selalu dimusyawarahkan.

2. Jaman Ncuhi (Proto Sejarah)


Demikian jaman Naka berakhir, masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman Ncuhi. Pada jaman
Ncuhi, sekitar abad ke 8 M, masyarakat Bima mulai berhubungan dengan para pedagang dan musafir
yang berasal dari daerah lain. Para pedagang dan musafir itu berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan,
Sumatera dan Ternate. Pada saat itulah masyarakat Bima sudah mengenal sistem ilmu pengetahuan dan
teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan.
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah mulai tinggal menetap dan
mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat
dan Negeri) mulai berkembang, seperti diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri
(yang mulai Bertunas dan Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan
pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai pemimpin
pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi, masyarakat masih
menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi bersama rakyat tetap
memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana.
Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan
Ncuhi juga harus memegang teguh falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Kian lama masyarakat Bima melakukan hubungan dengan para pedagang dan musafir dari daerah luar
semakin intim. Sehingga para pedagang dan musafir dari seluruh pelosok nusantara, terutama para
pedagang dan musafir dari Jawa Timur semakin bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa Timur
mendirikan perkampungan di pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa Kecamatan Donggo sekarang.
Sampai sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat disaksikan sebagai peninggalan sejarah atau
dalam istilah ilmu arkeologi yaitu disebut situs yang oleh masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu
Pahat). Salah seorang tokoh pedagang dan musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu bernama
Sang Bima. Sang Bima tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para Ncuhi, yaitu ncuhi Dara.
Dengan keadaannya masyarakat Bima sekian lama semakin maju. Kehidupan masyarakat semakin
bertambah makmur dan sejahtera dan mereka hidup rukun dan damai. Tetapi asas Mbolo Ro Dampa dan
Karawi Kaboju tetap diamalkan dan falsafah Maja Labo Dahu tetap dijunjung tinggi.
Untuk meningkatkan persatauan dan kesatuan, seluruh Ncuhi mengadakan Mbolo Ro Dampa di sebuah
Babuju di wilayah Ncuhi Dara. Dalam keputusan Mbolo Ro Dampa :
 Masyarakat dan seluruh Ncuhi, mengangkat Ncuhi Dara sebagai pemimpin masyarakat Bima.
 Ncuhi Parewa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Selatan, yaitu di kecamatan Belo, Woha
dan Monta sekarang.
 Ncuhi Bangga Pupa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Utara, yaitu di kecamatan Wera
sekarang.
 Ncuhi Bolo diangkat menjadi pemimpin di wilayah Barat, yaitu di kecamatan Bolo dan Donggo
sekarang.
 Ncuhi Doro Woni diangkat menjadi pemimpin di wilayah Timur, yaitu di kecamatan Wawo dan
Sape sekarang.
Gabungan dari seluruh wilayah Dana Mbojo, diberi nama Babuju. Sesuai dengan nama tempat dalam
Mbolo Ro Dampa. Nama Mbojo berasal dari kata Babuju.

3. Jaman Kerajaan (Masa Klasik)


Sebelum langsung terjadinya ke jaman kerajaan, menurut dalam cerita legenda dalam kitab BO (catatan
kuno kerajaan Bima) bahwa Sang Bima pertama kali berlabuh di pulau Satonda, kemudian bertemu
dengan seekor naga bersisik emas. Sang naga melahirkan seorang putri dan kemudian diberi nama putri
Tasi Sari Naga. Sang Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan melahirkan dua orang putra yang bernama
Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua putra Sang Bima tersebut kelak menjadi cikal bakal keturunan
raja-raja Bima. Setelah Sang Bima bertemu dengan putri Tasi Sari Naga yang merupakan seorang putri
dari penguasa setempat (Ncuhi) di pulau Satonda, sejak itu Bima mempunyai hubungan nyata dengan
pulau Jawa. Sang Bima juga diduga seorang bangsawan Jawa. Bima tercatat dalam kitab
Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan Ncuhi
Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima berada di Jawa Timur, Sang Bima mengirim dua orang putranya,
yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan
Indra Kumala dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo
Ro Dampa untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima dan Dompu. Hasil kesepakatan dari
semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai sangaji atau raja di Bima sedangkan Indra Kumala
dijadikan sebagai sangaji atau raja di Dompu.
Indra Zamrud di Tuha Ro Lanti atau dinobatkan menjadi sangaji atau raja pertama di Bima. Setelah Indra
Zamrud memiliki ilmu pengetahuan dalam pemerintahan. Maka, berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat
Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah dipegang oleh Ncuhi,
tetapi dipegang oleh sangaji atau raja.
Sejak berdirinya kerajaan sekitar pertengahan abad 11 M, dana Mbojo memiliki dua nama, yaitu nama
Mbojo dan Bima. Masa pertumbuhan masa kerajaan Bima, setelah dilantik menjadi sangaji atau raja,
untuk membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para Ncuhi, terutama Ncuhi Dara, Ncuhi Parewa,
Ncuhi Bolo, Ncuhi Bangga Pupa dan Ncuhi Doro Woni. Nama jabatan pada masa kerajaan terebut yaitu
jabatan seperti Tureli Nggampo atau Rumabicara (Perdana Menteri), Tureli (Menteri), Rato Jeneli,
Gelerang dan Jabatan lain yang mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo. Tureli Nggampo
atau Rumabicara yang terkenal, yaitu bernama Bilmana.
4. Zaman Kesultanan (Masa Islam)
Peristiwa-peristiwa dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan mengalami kekacauan.
Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra sangaji Ma Wa’a Ndapa, karena ingin menjadi
sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena Teke Ma Mbora Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba
berusaha ingin membunuh Jena Teke La Ka’i yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga
Jena Teke La Ka’I terpaksa meninggalkan istana.
Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran kemudian muncul dengan kedatanganya masa
Islam. Dengan kedatangannya masa Islam dapat mempengaruhi dengan berakhirnya masa kerajaan
menjadi lahirnya masa kesultanan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima, melalui beberapa tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang
merupakan putra dari Sunan Giri dating ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Pada
masa itu yang memerintah di kerajaan Bima adalah sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan
oleh Sunan Prapen kurang berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat
mangkatnya Sultan Trenggono.
2. Tahap kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk menyiarkan agama
Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar
agama Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul
kesultanan politik, setelah Sultan Bab’ullah mangkat.
3. Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar Alauddin awalul Islam mengirim
empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para
muballig tersebut berlabuh di Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang
dikuasai oleh Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang berada di
Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta pengikutnya memeluk agama Islam. Sejak
itu mereka mengganti nama :
 La Ka’I menjadi Abdul kahir
 La Mbila putra Ruma Bicara Ama Lima Dai menjadi Jalaluddin
 Bumi Jara Mbojo di Sape menjadi Awaluddin
 Manuru Bata putra sangaji Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese menjadi Sirajuddin.
Sejak La Ka’i memeluk agama Islam, maka rakyat juga ikut berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Referensi Buku Sejarah Mbojo Bima (M. Hilir Ismail)

Sejarah Berdiri, Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Bima

A. Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.


Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam memajukan
Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal bentuk
pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang di Jawa
Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena istrinya berasal
dari Dana Mbojo Bima.

Sebelum mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk kesatuan wilayah di


bawah pimpinan ncuhi Dara. Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang Bima
mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Dana
Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra Kumala
menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi sepakat untuk mencalonkan Indra
Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Sedangkan Indra Kumala dicalonkan untuk
menjadi Sangaji di Dana Dompu.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang
pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan
persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama.
Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru,
yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi
dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana Mbojo memiliki dua
nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi bersama rakyat diberi nama
Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam musyawarah di Babuju. Tetapi oleh
orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama Bima. Diambil dari nama ayah Indra Zamrud
yang berjasa dalam merintis pendirian kerajaan. Sampai sekarang Dana Mbojo mempunyai
dua nama, yaitu Mbojo dan Bima. Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama
daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan
Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku.

Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan suku
Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat
istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis. Dou Mbojo yang enggan membaur dengan
suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu,
mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat
serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah
Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo
sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa
(orang Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou
Donggo Ele (orang Donggo Timur).
B. Proses Masuk dan Berkembangnya islam di Kerajaan Bima
       Kerajaan Gowa Tallo memegang peranan penting dalam proses konversi Bima ke Islam.
Saat itu, pada abad ke 17 M, Belanda telah menguasai sebagian besar jalur perdangangan
bagian barat. Untuk mencegah jalur timur direbut Belanda, Maka Gowa mengirim expedisi
untuk menaklukkan kerajaan pada pantai timur yaitu lombok dan bima. Kerajaan-kerajaan
ini berhasil ditaklukkan dan di Islam kan oleh Gowa pada tahun 1609 M . Seiring dengan
masuknya islam maka peradaban tulis juga berkembang.
       Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama
pengikut didampingi oleh beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembali menuju
Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai
tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi
pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE kecamatan
Sape.
       Dari puncak Kalodu, Islam semakin bersinar terang menyelimuti kegelapan Bumi Bima.
Seluruh rakyat menyambut gembira instruksi Putera Mahkota Abdul Kahir untuk memeluk
Islam. Salisi  semakin berang. Dengan bantuan Belanda ia terus mengejar dan menyerang
Pasukan Abdul Kahir. Proses pengejaran itu mulai dari Kalodu, Sape hingga mencapai
puncaknya di Wera. Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan hingga menewaskan
Panglima Perang Rato Waro Bewi di Doro Cumpu  desa Bala kecamatan Wera. Berkat kerja
sama dan kelihaian orang-orang Wera, Abdul Kahir dan teman seperjuangannya dapat
diselamatkan ke Pulau Sangiang  yang selanjutnya dijemput perahu-perahu dari Makassar.
       Di Makassar, Empat serangkai Abdul Kahir, Sirajuddin, Awaluddin dan Jalaluddin dibina
dan dilatih taktik perang. Di tanah ini pula mereka memperdalam ajaran Islam. Hingga
setelah segala persiapan dimatangkan, Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi
penyerangan terhadap Salisi. Dalam sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini dikirim
untuk menaklukkan Salisi namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang tewas dalam dua
ekspedisi ini. Untuk ketiga kalinya pada tahun 1640 M, ekspedisi baru berhasil. Pada
tanggal 5 Juli 1640 M Putera Mahkota Abdul Kahir  berhasil memasuki Istana Bima dan
dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama yang diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu
(Taunku Yang bersumpah Di Atas Batu). Sedangkan Sirajuddin terus mengejar Salisi hingga
ke  Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan Kesultanan Dompu. Jalaluddin kemudian
diangkat menjadi Perdana Menteri (Ruma Bicara)   pertama dan diberi gelar Manuru Suntu,
dimakamkan di kampung Suntu (Halaman SDN 3 Bima sekarang).
       Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi saksi sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara
Timur dan Terus berkiprah dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk
itulah pada setiap tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima. Seperti telah menjadi
takdir sejarah pula, bahwa kesultanan Bima diawali oleh pemimpinnya yang bernama
Abdul Kahir I dan berakhir pula dengan Abdul Kahir II (Putera Kahir). Dua tokoh sejarah
itu  kini tidur dengan tenang untuk selama-lamanya di atas bukit Dana Taraha Kota Bima.
(Sumber : Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M.
Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota, Alan Malingi )
D. Penyebab Berakhirnya Kerajaan Bima
Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih Kemerdekaan pada tahun
1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih untuk
bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia. Siti Maryam, salah seorang Putri Sultan,
menyerahkan Bangunan Kerajaan kepada pemerintahan dan kini di jadikan Museum. Di
antara peninggalan yang masih bisa di lihat adalah Mahkota, Pedang dan Funitur.
Sumber :
1. Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ;
Novel Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota, Alan Malingi
2. http://www.senimana.com/home
3. melayuonline.com/ind/history/dig/328/kerajaan-bima

FO LLO W

H UMAN IO RA

Mengenal Kearifan Lokal Bima


“UPACARA AMPA FARE
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan,
pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam
kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah
pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan
budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.

Seperti upacara ampa fare, upacara ini merupakan salah satu kearifan local yang ada di bima.

Tradisi ampa fare, sebuah ritual menyimpan padi di uma (rumah) lengge (kerucut) yang
dilakukan warga Desa Maria, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat. Sebuah legenda Fare Ma Lingi atau ”padi menangis’ menunjukkan tingginya
penghormatan akan padi.

Upacara adat “Ampa Fare” adalah upacara penyimpanan hasil panen di “Jompa” (Lumbung
Tradisonal Bima-tempat menyimpan bahan makanan) dan “Uma Lengge” (rumah tradisional
Bima). Ampa Fare diambil dari dua kata yaitu Ampa yang berarti Mengangkat, mengangkut atau
menaikkan sesuatu ke atas, dan Fareberarti Padi atau hasil bumi.

Kemudian Uma lengge berbentuk kerucut, atap dan dindingnya dari alang-alang, memiliki tiga
lantai: tempat duduk-duduk (amben) di lantai I, kemudian palawija dan jawawut tersimpan di
lantai II, dan padi di lantai III. Ada juga jompo, yang fungsi dan jumlah lantainya sama dengan
lengge, meski dinding bangunannya berupa kayu.

Pada zamannya, sebelum upacara Ampa Fare, para penduduk setempat beramai-ramai
mengadakan berbagai atraksi di Uma Lengge sampai pagi menjelang, seperti melakukan atraksi
Ntubu (Adu Kepala),Bela Leha (lagu sanjungan atau syair berupa pantun, nasehat, dan juga
pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa), Sagele, sebuah tarian yang mempunyai arti menanam
secara serempak/bersama-sama oleh kaum perempuan, dan atraksi-atrkasi lainnya.

Para peserta akan berkemah selama satu malam yang dianggap sebagai bagian dari ritual Ampa
Fare. Selain menambah pengetahuan peserta akan kepariwisataan di Kabupaten Bima, peserta
juga akan melakukan acara bersih-bersih Uma Lengge, serta ikut menyiapkan segala keperluan
untuk mendukung Upacara Ampa Fare. setelah upacara Ampa Fare selesai dilaksanakan, peserta
akan melakukan Gotong royong untuk membersihkan kawasan wisata Oi Wobo Kecamatan
Wawo Kabupaten Bima.

Kabupaten Bima dengan keanekaragaman adat, budaya, keindahan alam dan lingkungannya
diharapkan menjadi daerah tujuan wisata yang ramah dan berbasis lingkungan, serta potensial
untuk dikunjungi. Kaeran Kebudayaan ini termasuk kearifan local yang sangat unik di
Kabupaten Bima, maka dari itu marilah sama-sama menjaga dan merawat kebudayaan-
kebudayaan yang ada di bima, supaya  di kenal  secara luas kepada masyarakat baik lokal
maupun nasional.

Sumber :

Fitria Rafika (Staf Disbudpar Kabupaten Bima)

Tradisi budaya bima

Upacara Ua Pua dilaksanakan bersamaan dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
yang juga dirangkai dengan penampilan atraksi Seni Budaya masyarakat Suku Mbojo (Bima)
yang berlangsung selama 7 hari. 

Prosesi Ua Pua diawali dengan Pawai dari Istana Bima yang diikuti oleh semua Laskar
Kesultanan, Keluarga Istana, Group Kesenian Tradisional Bima dengan dua Penari Lenggo yang
dilengkapi dengan Upacara Ua Pua. 

Selama proses pawai berlangsung, Group Kesenian terus memainkan Genda Mbojo, Silu dan
Genda Lenggo. Ketika memasuki Istana, Penunggang Kuda menari dengan suka ria (Jara Sarau),
Sere, Soka dan lain-lain sampai Ketua Rombongan bertemu dengan Sultan yang diiringi dengan
Penari Lenggo. Pada saat itu diserahkan Sere Pua dan Al-Quran kepada Sultan.
pakaian tradisional bima

Berbicara tentang seni kerajinan khususnya anyaman,Bima memiliki banyak

potensi. Berbagai keperluan dan perkakas rumah tangga sebenarnya sudah banyak dikreasi oleh

nenek moyang suku Bima-Dompu. Salah satu bahan baku yang digunakan adalah daun lontar. Pohon

Lontar sejenis Palma yang banyak tumbuh di Bima dan Dompu. Selain dijadikan bahan baku rokok

tradisional Mbojo yang dikenal dengan “Rongko ro’o ta’a” (Rokok daun lontar), sangat digemari oleh

masyarakat Mbojo (Bima-Dompu). Hasil lain dari Pohon Lontar adalah “Oi Tua” (Air Tuak). Berikut

beberapa kreasi dari nenek moyang masyarakat Bima dari daun lontar yang mulai jarang ditemukan

dipasar-pasar Bima maupun dijajakan langsung oleh para pembuatnya.

Dari bahan baku Ro’o Ta’a dapat dibuat berbagai jenis barang antara lain :

Alat kelengkapan Upacara Tuha Ro Lanti (Penobatan dan Pelantikan) Sultan.

a.  Paju Ro’o Ta’a (Payung Daun Lontar)

Payung kebesaran Sultan Bima, yang akan diserahkan setelah beliau di Tuha Ro Lanti (dinobat dan

dilantik) menjadi Sultan. Dihiasi dengan asesoris dari emas dan perak. Sebagai simbol Sultan harus

berperan sebagai payung melindungi dan menaungi Rakyat dan Negeri. Dengan kata lain Sultan

berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” (Pengayom dan Pelindung) Rakyat dan Negeri.

b. Dipi Umpu

Dipi Umpu (Tikar Umpu) adalah tikar yang dianyam khusus untuk dijadikan tempat duduk Sultan

dalam menjalankan tugas sehari-hari. Dibuat dari Daun Lontar yang bermutu dan dianyam oleh

pengrajin “Ma Loa Ro Tingi” (Terampil dan berjiwa seni).

Disetiap sudut dan pinggir Dipi Umpu, dilapisi dengan Kain Satin berwarna coklat atau merah hati

disulam dengan benang emas dan perak dengan motif Bunga Samobo (Bunga Sekuntum) dan Bunga

Satako (Bunga Setangkai).

Di Kesultanan Bima dan Dompu tidak dikenal tahta (Kursi Kerajaan Atau Kesultanan) seperti di

Kerajaan dan Kesultanan lain. Para Sultan duduk bersila diatas hamparan Dipi Umpu.
c. Tonggo (tudung saji)

Tonggo yaitu Tudung saji dibuat dari anyaman daun lontar, yang berfungsi untuk menutup jenis-jenis

makanan yang akan disajikan dalam upacara adat seperti upacara pernikahan, khataman dan

khitanan.

Pada pinggir Tonggo diberi hiasan dengan sulaman kain satin berwarna-warni, dengan motif Bunga

Samobo (bunga sekuntum), Bunga Satako (bunga setangkai) dan Pado Waji (jajaran genjang).

Khusus Tonggo untuk Sultan, dipinggirnya dihiasi dengan perak asli, dengan motif Bunga Samobo,

Bunga Satako dan Pado Waji.

ADVERTISEMENT
REPORT THIS AD

d. Padingi

Bentuknya tidak jauh berbeda dengan Tonggo, tetapi ukurannya lebih besar dibanding Tonggo. Guna

dan fungsinya sama, yaitu untuk menutup segala jenis makanan yang dihidangkan dalam upacara

adat. Ragam hias dan motifnya sama dengan Tonggo.

Pada umuimnya Tonggo dan Padingi yang bermutu dibuat oleh pengrajin dari Desa Dore Kecamatan

palibelo Kabupaten Bima, termasuk Tonggo dan Padingi untuk Istana.

Alat Untuk Dipergunakan Sehari-Hari.

a.  Dipi (Tikar)

Untuk alas tempat tidur,  dan alas lantai tempat duduk para tamu. Dianyam dari daun lontar yang

dibelah menjadi lembaran kecil seperti garis. Bentuknya halus dan apik. Berbeda dengan tikar dari

daun pandan yang anyamannya kurang halus.

Pada umumnya Dipi Ro’o Ta’a dibuat oleh para pengrajin anyaman dari Sape.

b.  Kula

Wadah untuk menyimpan berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari. Fungsinya bermacam-macam.

a). Kula Lo’i (Kula Obat)

Kula tempat menyimpan segala jenis ramuan obat tradisional, pada umunya berbentuk segi empat

yang dibagi dalam beberapa kotak kecil.

b). Kula Mama


Kula untuk menyimpan sirih, pinang dan kapur sirih.

c). Kula Bongi (Kula Beras)

Kula untuk menyimpan beras.

c.       Sarau Ro’o Ta’a

Sarau yaitu topi tradisional Mbojo, selain dibuat dari anyaman lontar, ada pula jenis sarau yang dibuat

dari anyaman bambu. Sarau Ro’o Ta’a hanya dikenal di desa Ncera dan sekitar (Kecamatan Belo).

Kini seiring perkembangan zaman dan animo masyarakat yang seba praktis terhadap perkakas rumah

tangga dan upacara, kebutuhan akan anyaman daun lontar ini sudah mulai berkurang. Ini lah yang

menjadi factor penyebab kelangkaan produksi alat-alat  atau anyaman ini. Perlu ada solusi untuk

menggairahkan kembali anyaman dan kerajinan ini agar tetap eksis sebagai ajang promosi wisata dan

pewarisan nilai-nilai budaya. (Alan)

Cerita rakyat bima

Cerita Rakyat Bima

LAWATA

(Sarangge )Nama Lawata tentu tidak asing lagi bagi

msyarakat Bima maupun NTB. Karena nama Pantai yang indah di pintu masuk Kota Bima ini memang

sudah sejak lama menjadi obyek wisata andalan bagi Kota Bima. Nama Lawata pun menjadi salah

satu nama kompleks pemukiman warga-warga Bima yang ada di mataram. Yaitu di sebelah barat

Gomong.

Kenapa dinamakan Lawata ? dan Siapa yang memberi nama itu ? Dalam buku Legenda Tanah Bima

sebagaimana ditulis Alan Malingi, Lawata pertama kali diperkenalkan oleh para Ncuhi kepada salah

seorang musafir dari Jawa yang dijuluki Sang Bima. Pada saat itu, Sang Bima dengan istrinya yang
merupakan puteri salah seorang Ncuhi di Tambora berkunjung ke Istana Ncuhi Dara di pusat Kota.

Upacara penyambutan oleh para Ncuhi berlangsung cukup meriah. Ribuan orang menggelar Tarian

Adat menjemput kedatangan orang yang dijuluki Sang Bima itu. Karena banyaknya orang yang

menjemput, pantai yang membentang di sebelah timur teluk Bima itu pun deberi nama DEWA SEPI.

Dewa berarti Tari. Sepi berarti banyak.

Ketika akan memasuki Istana Ncuhi Dara di Gunung Dara ( Sebelah Selatan Terminal Dara Bima

sekarang ), Para Ncuhi yang dipimpin Ncuhi Dara menyambut kedatangann Orang Yang Dijuluki Bima

itu di tepian pantai. Lalu para Ncuhi mempersilahkan tamunya itu untuk duduk-duduk di pantai itu

seraya berkata “ Ake Lawang Ita “Lawang( Pinta Gerbang/Pintu masuk). Ita berarti Tuan. Lawang

Dalam bahasa Sangsekerta berarti pintu masuk. Sedangkan Ita adalah Bahasa Bima yang berarti anda

atau tuan.  Pada perkembangan selanjutnya nama Lawang Ita itu berubah menjadi LAWATA yang

berarti pintu gerbang bagi siapapun yang masuk dan menginjakkan kaki di Kota Bima.

Saat ini Pemerintah Kota Bima terus membenahi Pantai Lawata untuk menjadi salah satu obyek

wisata pantai andalan di kota Bima dengan membangun berbagai fasilitas seperti Rumah makan

terapung, perlengkapan berenang, panggung hiburan rakyat serta sederetan penataan lainnya.  (Alan)

Asal Mula Kampung Tolo Bali

Oleh : Alan Malingi

Masa kesultanan Bima telah berlangsung lebih dari tiga abad. Pada masa itu perkembangan Islam

cukup pesat. Pendidikan Islam dan Alqur’an diberlakukan merata ke seluruh negeri yang dimulai dari

pelataran Istana hingga ke pelosok  dusun dan desa. Lantunan Ayat-ayat suci Alqur’an terdengar dari

sudut-sudut kampung, di surau dan masjid-masjid terutama ba’da magrib sambil menanti masuknya

waktu shalat Isya.

Memasuki abad ke- 17 Dan  18 bisa dikatakan sebagai masa-masa keemasan peradaban Islam di

Dana Mbojo. Guru-guru dan Ulama didatangkan dari Sulawesi dan Sumatra. Merekalah yang

kemudian dikenal di Dana Mbojo sebagai orang-orang Melayu. Pada perkembangan selanjutnya, para

guru dan ulama itu menikah dengan gadis-gadis Mbojo dan beranak keturunan di Bumi Maja Labo

Dahu ini.

Sebagai ungkapan terima kasih Sultan Bima kepada para guru dan ulama itu, diberikanlah tanah

sawah dan ladang untuk mereka garap yang berloasi di sebelah utara Istana Bima. Tanah-tanah

tersebut sebenarnya cukup subur dan menjanjikan harapan. Namun para guru dan ulama itu menolak
tanah sawah tersebut dengan alasan bahwa mereka tidak memiliki kemampuan dan bakat untuk

bercocok tanam. Mereka lebih suka untuk berdagang, menjadi saudagar  dan  melaut  sambil

berdakwah. Akhirnya mereka mengembalikan secara baik-baik sawah tersebut. Sultan Bima tidak

tersinggung dengan pengembalian itu. Sultan menyadari dan memahami bahwa memang panggilan

hidup mereka adalah sebagai pedagang dan mubalig.

Akhirnya sawah yang dikembalikan itu lama kelamaan menjadi perkampungan yang bernama TOLO

BALI. Tolo berarti Sawah. Bali berarti dikembalikan. Jadi Tolo Bali itu adalah Sawah yang

dikembalikan.

Permainan tradisional bima mpaa gopa

Di Kabupaten Bima, NTB, penggunaan bahasa daerah memang sangat dominan di keseharian
masyarakatnya termasuk anak-anak. Sebuah kondisi yang kemudian menjadi tantangan dalam
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Anak-anak masih kesulitan memahami pelajaran yang
diberikan. Salah satu alasannya adalah karena anak-anak yang duduk di SD kelas awal tersebut
belum menguasai bahasa pengantar pembelajaran – bahasa Indonesia. INOVASI, program
kemitraan pemerintah Australia dan Indonesia, bersama pemerintah daerah telah
mengimplementasikan program dengan fokus meningkatkan kemampuan literasi siswa kelas awal
dengan melakukan transisi bahasa pengantar pembelajaran di kelas awal. Salah satu metode yang
diperkenalkan adalah ‘Jembatan Bahasa’.

Salah satu pendekatan dalam jembatan bahasa adalah penggunaan permainan tradisional dalam
proses pembelajaran. Permainan tradisional di sini adalah permainan yang dimainkan oleh anak-
anak setempat dalam keseharian mereka. Khaerunnisa, salah satu fasilitator program INOVASI
(fasda) yang juga guru di SDN SDIT Wihdathul Ummah di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat,
kerap mengajak anak muridnya belajar sambil bermain dengan permainan Mpa’a Gopa.

Menurut Khaerunnisa, permainan Mpa’a Gopa ini bisa dilakukan baik untuk memperkenalkan konsep
pembelajaran atau juga untuk melakukan evaluasi terhadap penguasaan materi dari para siswanya.
Permainan ini sesungguhnya ditemukan juga di wilayah-wilayah lain di Indonesia dan cukup populer
di kalangan anak-anak. Khaerunnisa pun mengembangkannya menjadi bagian dari kegiatan
pembelajaran di sekolah.
Cara bermainnya cukup sederhana. Di setiap kotak yang digambar itu, Khaerunnisa menyediakan
penggalan informasi dari materi pembelajaran di setiap kotak. Nantinya setiap siswa yang bermain
akan memegang ‘Ince‘ atau batu gacoan untuk dilemparkan ke dalam kotak tertentu.
Setelah Ince dilempar ke satu kotak tertentu, siswa yang bermain akan melompat juga ke kota itu
dan membaca informasi yang tertera di sana. Mereka mesti melalui semua kotak secara berurutan
mulai dari yang terdekat hingga yang terjauh dari posisi start.
Jika ada pemain yang melempar Ince ke kotak yang tidak seharusnya, maka permainan akan
berganti ke pemain yang lain dan mereka akan melakukan hal yang sama. Seperti itulah permainan
dimainkan di kelas Khaerunnisa.

Seusai permainan, Khaerunnisa akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ke para siswa tentang


materi pembelajaran yang sudah mereka baca pada saat bermain tadi. Dalam memandu jalannya
lomba, Khaerunnisa juga menggunakan pendekatan jembatan bahasa di mana ia menerjemahkan
sejumlah istilah yang biasa digunakan dalam permainan ke bahasa Indonesia.
Model pembelajaran luar ruangan dengan permainan lokal ini menjadi salah satu favorit siswa
Khaerunnisa. Apalagi ada unsur kompetisi antar kelompok siswa yang membuat anak-anak begitu
bersemangat. Ini juga bisa mengurangi kejenuhan anak-anak terhadap proses belajar yang
dilakukan secara konvensional di dalam ruangan.

Pkaian adat bima

Pakaian Adat Suku Bima

Sumber: coretanzone.id

Sesuai dengan nama suku satu ini, suku Bima mendiami wilayah Kabupaten Bima dan
Kabupaten Dompu. Suku Bima juga punya nama lain yang dikenal dengan dou mbojo.
Pakaian adat yang dimiliki oleh suku Bima ternyata terbilang sangat unik dan punya
julukan sendiri.

Nama pakaian adat NTB suku Bima ini dikenal dengan rimpu. Saat kamu perhatikan
gambar pakaian adat NTB di atas, terlihat jika rimpu ini punya bentuk serupa mukena.
Hal ini menandakan adanya pengaruh agama Islam dalam pakaian rimpu. Oleh karena
kemiripan rimpu dengan mukena, banyak yang mengatakan kalau rimpu adalah baju
muslimah tradisional.

Motif dari rimpu juga dibilang khas karena menggunakan sarung nggoli, sarung khas
dari Kabupaten Dompu. Jenis dari rimpu sendiri dibagi menjadi dua macam yaitu
rimpu mpida atau cili dan rimpu colo. Kedua jenis tersebut mempunyai perbedaan
pada pemakaiannya.

Rimpu mpida atau cili dikenakan serupa memakai cadar serta diperuntukkan bagi
gadis yang belum menikah. Dalam menggunakan rimpu mpida ini ada beberapa cara
yang bisa diikuti dan tak perlu menggunakan alat bantu seperti peniti. Sementara itu,
pada rimpu colo, pemakaiannya seperti pemakaian jilbab pada umumnya tanpa cadar.
Lalu, untuk rimpu colo diperuntukkan bagi wanita yang telah menikah.

Bukan hanya kaun wanita saja yang bisa mengenakan pakaian adat, para kaum pria
juga memakai pakaian adat yang terdiri dari kemeja lengan panjang sebagai atasan,
sarung songket yang disebut dengan tembe me’e sebagai bawahan, ikat pinggang yang
disebut dengan salepe, dan ikat kepala yang dinamai sambolo.

Bahasa daerah bima

BAHASA BIMA (NGGAHI MBOJO)


Bagi yang tertarik atau sekedar ingin mengetahui bahasa Bima dibawah ini ada sedikit dari banyaknya
kata2 dan kalimat bahasa Bima yang mungkin bisa membantu.
 

Kamus kecil
1. au = apa
2. a'u = tangga
3. ao = lawan
4. ai = tali
5. ai(na) = jangan
6. ada = budak
7. aka = itu, di, tadi
8. ake = ini, sekarang
9. ama = bapak
10. ari = adik, belakang
11. ara = sini
12. amba = pasar
13. ambi = nyaman, siap2
14. ambi(na) = mungkin
15. asa = mulut
16. atu = plastik
17. ato = cocok, pasang, atur
18. ampa = angkut
19. ade = hati
20. ana = anak
21. awa = bawah
22. ba = bola, adzan 
23. be = mana
24. bau = kenapa
25. bou = baru
26. boe = pukul
27. bui = siram
28. bune = bagaimana 
29. bura = putih
30. bona = jelek
31. boru = potong(rambut)
32. bedebe = menggerutu
33. caru = enak
34. cepe = ganti
35. capi = sapi
36. caha = rajin
37. cou = siapa
38. cowa = bohong
39. co'i = harga
40. co'o = lepas
41. cola = bayar
42. caki = tusuk
43. cili = sembunyi (cili weki = sembunyi*untuk orang)
44. cambe = jawab
45. cumpu = habis
46. ca'u = mau
47. cau = sisir 
48. ca ara/ wa'a ca ara = bawa kesini
49. dei = dalam
50. dou = orang

keindahan alam
 11 Tempat Wisata Bima Nusa Tenggara Barat Yang

Memikat Hati

 TRENDING
 

 LIBURAN
 

 LIFESTYLE DIGITAL
 

 KESEHATAN
 

 INFORMASI HOTEL
 

 TENTANG KAMI
 

INSPIRASI BERLIBUR

11 TEMPAT WISATA BIMA NUSA


TENGGARA BARAT YANG
MEMIKAT HATI
PRIMADITA RAHMAAPRIL 17, 20190  0

Wisata Bima Nusa Tenggara Barat tidak kalah dari Bali, lho! Banyak pesona alam tersembunyi
yang belum terlalu populer di kalangan wisatawan nasional. Padahal, sebagaimana Pulau Moyo,
wisata Sumbawa cukup menuai perhatian wisatawan mancanegara.

Setelah Indonesia ditetapkan sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia 2019 oleh standar
Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019, Kementerian Pariwisata semakin gencar dalam
mempromosikan wisata Lombok dan Sumbawa (Kedaulatan Rakyat). Hal ini dikarenakan Nusa
Tenggara Barat merupakan salah satu branding wisata halal Indonesia yang terbaik. Keindahan
alam yang asri, tradisi yang berakar kuat, dan pengalaman berwisata yang menantang adrenalin.
Semuanya ada di Bima dan sekitarnya. Berikut wisata Bima yang harus kamu tahu.

1. Petualangan Menaklukkan Gunung Tambora


Image credit: Pesona Travel

Festival Pesona Tambora (FPT) baru saja berakhir pada tanggal 11 April lalu. Tahun ini, FPT
diselenggarakan di semua wilayah administratif Pulau Sumbawa, yaitu kota dan kabupaten
Bima, kabupaten Dompu, kabupaten Sumbawa, kabupaten Sumbawa Barat dan satu rangkaian
acara di Lombok; sedangkan venue utama Festival Pesona Tambora berlokasi di Doro Ncanga,
Taman Nasional Gunung Tambora. Festival ini diramaikan dengan berbagai tarian dan
pertunjukan musik tradisional, seperti Tari Kolosal Doro Mantika yang dibawakan oleh 300
penari.
Image credit: @odykhatani

Festival Pesona Tambora menggambarkan kedekatan masyarakat dengan Gunung Tambora.


Setelah meletus dengan dahsyat pada tahun 1815, Gunung Tambora menyisakan kekayaan alam
yang berlimpah dan tentu saja, pemandangan yang luar biasa indah. Gunung Tambora dikenal
sebagai “the greatest crater in Indonesia” karena memiliki kawah berdiameter kurang lebih 7 km
dengan luas sekitar 16 km. Buat kamu yang hobi menjelajah gunung-gunung di Indonesia, rute
ini bisa jadi rute pendakian berikutnya, nih!
Image credit: @harryhermanan
Para pendaki umumnya tidak mengejar matahari terbit di puncak Tambora, melainkan matahari
terbenam. Mereka biasanya berangkat jam sembilan pagi dengan menggunakan
kendaraan offroad. Lalu melanjutkan berjalan kaki dari pos 5 ke puncak selama kurang lebih dua
jam. Dalam perjalanan, kamu akan dihibur oleh hamparan padang rumput sabana Doro Ncanga.
Sapi, kerbau, dan kuda ternak dibiarkan bebas mencari makan di sini. Sungguh menyegarkan
mata, apalagi kalau kamu terbiasa bekerja berjam-jam di hadapan laptop.
Image credit: @arasy3scd

Koordinat Lokasi

2. Pulau Sangeang yang Menantang

Image credit: @expedisi_sangiang_api

Ingin menaklukkan gunung berapi aktif yang lain? Menyeberanglah ke Pulau Sangeang yang
tidak berpenghuni. Gunung Sangeang Api yang memiliki dua puncak yaitu Doro Api (1,949
mdpl) dan Doro Mantoi (1,795 mdpl) ini, memang berstatus siaga aktif. Bahkan, gunung ini
terakhir meletus pada tahun 2014. Makanya, masyarakat diimbau tidak tinggal di pulau ini secara
permanen.
Image credit: @yuyun_wnnn

Namun begitu, para pendaki yang punya nyali besar tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk
mendaki Sangiang Api. Wisata Bima satu ini tidak hanya menyimpan berbagai mitos yang
mencengangkan, tetapi juga trek pendakian yang menantang. Sayang banget untuk dilewatkan!
Image credit: Mountain Goat

Koordinat Lokasi

3. Membelah Lautan di Pantai Lariti


Image credit: @topengkusut

Pernah bermimpi untuk berjalan di atas laut? Di Pantai Lariti, ada gundukan pasir putih yang
‘membelah lautan’ antara pantai dengan pulau kecil di seberang. Uniknya, tidak ada patokan
khusus mengenai kapan ‘jalan’ tersebut akan muncul. Meski demikian, masyarakat lokal terus
berdatangan untuk menikmati indahnya Pantai Lariti.

Image credit: @andiniagathap
Akhir tahun 2018, pemerintah daerah melakukan perbaikan jalan untuk menuju Pantai Lariti.
Tak hanya itu, fasilitas umum seperti toilet, jalan setapak di pinggir pantai, dan anjungan untuk
berfoto juga dibangun demi kenyamanan para pengunjung.
Image credit: @imam.subekti_
Koordinat Lokasi

4. Mengalahkan Ombak di Pantai Lakey


Image credit: @joshsurridge123

Jangan heran kalau kamu berkunjung ke Pantai Lakey dan menemukan banyak turis
mancanegara dengan papan selancar. Pantai ini mendunia karena ombak yang tergolong ‘kidal’,
yaitu arah sapuan ombaknya ke kiri, bukan ke kanan seperti pantai-pantai lainnya.
Image credit: @surfeurdumonde

Para peselancar dari Australia, Amerika Serikat, dan Eropa berbondong-bondong ke sini untuk
melatih kelihaian mereka. Mereka bisa tinggal di Pantai Lakey hingga berminggu-minggu, lho.
Pada waktu-waktu tertentu, diadakan kompetisi selancar yang dapat menghimpun hingga 300-an
peserta!
Image credit: @anugrahnurrahman

Waktu terbaik untuk mengunjungi pantai ini adalah bulan April hingga Oktober karena cuaca
cerah dan ombak sedang tinggi. Jika kamu bukan penggemar selancar, kamu tetap bisa bermain
air di pinggir pantai sambil menanti sunset yang mempesona.

Koordinat Lokasi
5. Memandang Bima dari Ketinggian di Bukit Matompo
Image credit: @anang.tp

Tujuan wisata ini mengingatkanmu dengan Bukit Campuhan di Ubud, ya kan? Dari atas bukit
setinggi 100 meter ini, kamu akan terhibur dengan pemandangan laut, padang rumput yang hijau,
dan Gunung Tambora di kejauhan. Pantas saja anak muda senang menghabiskan sore hari di
Bukit Matompo. Suasananya memang adem banget!
Image credit: @saprolhallet064

Bukit Matompo terletak di Desa Mbuju, Kecamatan Kilo. Berjarak sekitar 100 km dari Bima,
kamu bisa mampir ke bukit ini saat hendak menuju Taman Nasional Gunung Tambora.
Koordinat Lokasi

6. Menyusuri Perairan yang Tenang di Pantai Kalaki

Image credit: @eti_setiawati90
Jika kamu traveling ke Nusa Tenggara Barat menggunakan pesawat ke Bima, kamu akan
mendarat di Bandar Udara Sultan Muhammad Salahuddin. Keluar dari bandara menuju ke pusat
kota, kamu bisa melewati jalan baru yang membentang di sepanjang pinggir Pantai Kalaki.
Berhenti sejenak untuk berfoto di sini tidak ada salahnya!
Image credit: @yulisydnpr

Pantai yang berada di ujung Teluk Bima ini memiliki ombak yang tenang. Kamu pun tak perlu
khawatir jika hendak berenang di Pantai Kaliki. Selain itu, masyarakat setempat juga
memanfaatkan pantai ini untuk budidaya ikan dengan keramba.
Image credit: @ferika.arief

Koordinat Lokasi

7. Pantai Labangka yang Mengagumkan


Image credit: @musimliburan

Nama Labangka sebenarnya merujuk kepada kecamatan yang terletak di sebelah timur
Kabupaten Sumbawa. Jika kamu menghabiskan satu hari di sini, kamu bisa mengunjungi pantai-
pantai yang berdekatan, antara lain Pantai Dewa, Pantai Lepu/Leppu, Pantai Sedudu, dan Pantai
Sebekil. Semuanya memiliki satu kesamaan, yaitu belum banyak diketahui oleh wisatawan dari
luar Sumbawa! Maka dari itu, pantai-pantai ini masih sangat bersih dan alami.
Image credit: @alam92

Yang paling terkenal di kalangan masyarakat lokal memang Pantai Lepu/Leppu karena garis
pantai yang cukup landai. Hal ini memungkinkan wisatawan bermain air sepuasnya di pinggir
pantai. Warna pasirnya berubah-ubah dari masa ke masa, terkadang putih, kecoklatan, atau
merah muda. Menarik, bukan?

Image credit: @uchokgallesa
Koordinat Lokasi

8. Pulau Kelapa yang Eksotis


Image credit: @asrialdilaputri
Mencari destinasi wisata lain di seputar Bima untuk kamu eksplorasi? Pergilah ke timur pulau
menuju daerah bernama Lambu. Wilayah ini memang lebih dikenal dengan pertambangan emas
dan ladang bawang. Namun, ada permata tersembunyi yang memikat hati. Salah satunya adalah
Pulau Kelapa. Kamu bisa menyeberang ke pulau tersebut melalui dermaga Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) Sape.
Image credit: @awaluddinludy
Di Pulau Kelapa, kamu bisa trekking  mengitari pulau, lalu berkemah di puncak bukit untuk
menunggu matahari terbit yang elok.
Image credit: @ataaa12_
Setelah turun kembali ke pantai, jangan hanya berjemur di pinggir pantai yang tergolong sepi ini.
Sempatkan untuk snorkeling bersama anak-anak nelayan. Mereka bisa menuntunmu ke perairan
yang dipenuhi terumbu karang yang masih hijau. Sungguh pengalaman yang istimewa!

Koordinat Lokasi

9. Pulau Ular yang Mencekam


Image credit: @arahman_az

Kalau kamu tidak takut ular, cobalah mengunjungi Pulau Ular. Pulau yang berada di selatan
Pulau Sangeang ini memang kecil dan tidak dihuni oleh manusia. ‘Penduduk’ pulau ini adalah
ribuan spesies ular berbisa dengan warna dan motif unik. Sebagian ahli mengatakan bahwa ular-
ular tersebut berbisa, namun hal ini tidak mengurangi animo pengunjung untuk menyentuh atau
berfoto bersama para ular.

Image credit: @awan_dhar

Konon, para ular ini adalah hasil kutukan Raja Bima atas pengkhianatan Raja Flores yang
bekerja sama dengan Belanda. Pada masa lampau, Raja Bima mengutuk awak kapal Raja Flores
menjadi ular, sementara tiang kapalnya menjadi sebuah pohon yang berdiri tegak di tengah pulau
hingga hari ini. Percaya tidak percaya, yang pasti sensasi melihat ular yang berdesis di celah-
celah tanah, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata!

Koordinat Lokasi

10. Mengapresiasi Kearifan Lokal di Cagar Budaya Uma


Lengge
Image credit: @borishardiyansyah

Sekitar 18 km dari pusat kota Bima, ada kompleks rumah adat Uma Lengge yang masih
dipertahankan oleh penduduk setempat. Rumah beratap miring ini sebenarnya terdiri dari tiga
lantai, lho! Lantai pertama yang terbuka adalah ruang untuk menerima tamu, lantai kedua adalah
kamar tidur, dan lantai tiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Antik, kan?
Image credit: @awaluddinludy

Di lokasi wisata Bima ini, kamu yang perempuan harus mencoba mengenakan pakaian ‘rimpu’
yaitu cara berbusana masyarakat Dompu-Bima dengan dua lembar sarung (ndo’o). Sedangkan
lelaki bisa mencoba teknik ‘katente’ atau menggulungkan sarung di pinggang. Kamu pun bisa
bercengkrama dengan penduduk untuk mengenal metode bercocok tanam berbasis kearifan lokal
yang masih dipegang teguh oleh mereka.
Image credit: @utamirahayu__

Koordinat Lokasi

11. Pantai Tanjung Meriam yang Tiada Duanya


Image credit: @bluelighter8

Pantai Tanjung Meriam berlokasi di daerah Lambu, dan agen tur biasanya menawarkan
kunjungan ke pantai ini sebelum menyeberang ke Pulau Kelapa. Yang spesial dari Tanjung
Meriam adalah bentuk batuan yang membentuk bukit di sepanjang garis pantai. Para ahli geologi
menyebut batuan ini sebagai columnar joint. Mereka meyakini bahwa columnar joint di Pantai
Tanjung Meriam ini asli bentukan alam, bukan bawaan atau ciptaan manusia.

Image credit: @syafiqrdh

Jika kamu ingin mengunjungi tempat ini, sebut saja ‘Toro Maria’, karena nama Tanjung Meriam
belum begitu dikenal oleh masyarakat setempat. Selain mendaki bukit batuan untuk berfoto,
. Uta Palumara Londe (Bandeng Kuah Santan)

Makanan Khas Bima yang pertama adalah Uta Palumara Londe. Dari namanya saja sudah
terbayang betapa sedapnya makanan ini. Termasuk dalam golongan lauk, makanan ini berbahan
dasar ikan bandeng. Bandeng diberi bumbu bawang merah, bawang putih, cabe, tomat dan
kunyit.

Uta Palumara Londe makanan khas bima – foto tribunpontianak

Tak lupa juga disiram dengan kuah santan yang menambah rasa gurih. Ada satu lagi komponen
yang membuat aroma khas yaitu daun kemangi. Wah pokoknya, ada perpaduan pedas, asam, dan
gurih. Kuliner khas Bima ini bisa dijumpai dibeberapa warung makan khas Bima.

2. Uta Maju Puru (Daging Rusa Bakar)

Uta Maju Puru atau yang biasa disebut Daging Rusa Bakar adalah Makanan Khas Bima
selanjutnya yang wajib kalian coba. Makanan kali ini sangat unik dan sulit ditemukan di daerah
lain. Bisa dibilang, makanan ini termasuk kuliner yang langka. Hal ini karena bahan dasar yang
khusus berupa daging rusa. Ya, hewan yang satu ini dijadikan kuliner lezat di Bima.
Uta Maju Puru, Makanan Khas Bima – foto mbojonet.blogspot

Daging rusa diolah dengan cara di dendeng terlebih dahulu. Kemudian, daging rusa dibakar
bersama dengan bumbu rempah sebagai pelengkap dan dibiarkan untuk beberapa saat. Rasa
kuliner ini gurih dan lezat sehingga bisa dibilang ini jadi makanan favorit masyarakat Bima.

Baca juga : 6 Kuliner dan Makanan Khas Bajawa Kabupaten Ngada Provinsi Flores

3. Kahangga, Makanan Khas Bima

Kahangga merupakan kuliner khas yang termasuk pada golongan kudapan. Kahangga
merupakan kue tradisional yang biasanya disajikan pada acara besar seperti hajatan. Kue ini
berbahan dasar tepung beras, telur, garam, dan gula. Secara bentuk fisik kue ini telihat seperti
retakan-retakan.
Kahangga, Kue Rambut Jawada, Makanan Khas Bima – foto wedaya.rey1024.com

Dalam Bahasa Bima, retakan disebut sebagai kahangga dan itulah asal nama kue ini. Tekstur ini
didapatkan saat adonan kue digoreng menggunakan cetakan yang berasal dari batok kelapa yang
diberi lubang.

Saat ini kue kahangga sudah mulai berkembang. Tidak hanya ditemukan pada acara hajatan, kini
sudah bisa ditemukan dengan mudah di pasar. Hal ini karena kue kahangga sudah lebih populer.
Harganya pun murah hanya seribu rupiah untuk satu buahnya. Kuliner khas Bima atau Makanan
Khas Bima yang satu ini merupakan menu wajib yang haru skalian coba saat datang ke Bima.

4. Sambal Tota Fo’o

Jika kamu pecinta sambal pasti wajib untuk mencoba makanan ini. Tota Fo’o merupakan olahan
makanan yang berupa sambal unik khas Bima. Bahan dasarnya berupa cabai yang dicampur
dengan mangga lalu diulek sehingga menjadi sambal.
Sambal Tota Fo’o – foto steller.co

Tentu saja rasanya merupakan asam pedas yang berasal dari perpaduan mangga dan cabai.
Sambal ini rasanya cukup pedas dan bisa bikin ketagihan jika kamu cocok dengan rasanya. Wah,
pencinta makanan pedas bisa menguji diri sendiri nih dengan kepedasannya.

5. Bingka Dolu, Makanan Khas Bima yang menggugah selera

Makanan Khas Bima selanjutnya adalah Bingka Dolu. Makanan ini termasuk pada jenis kudapan
atau lebih tepatnya kue basah. Keunikan kue ini terlihat dari bentuk dan warnanya yang menarik.
Bahan dasar kue adalah tepung terigu, gula, telur, santan, garam, baking powder, dan tak lupa
pemberi warna hijau alami yaitu daun pandan.

Bingka Dolu, makanan khas bima – foto cookpad.com

Kue ini mudah dimakan karena teksturnya yang lembut. Ada varian lain dari kue ini yang
berbahan dasar gula merah. Untuk mendapatkan kue ini sangat mudah. Kamu hanya perlu
mencarinya di pasar tradisional yang banyak menjajakan beragam jenis kue.

6. Uta Sepi Tumis

Satu lagi Makanan Khas Bima yang wajib dicoba adalah Uta Spi Tumis. Kuliner ini menjadi
bagian lain dari kuliner laut khas Bima atau kuliner seafood khas Bima. Bahan dasar yang
digunakan adalah udang-udang kecil. Udang kemudian ditumis bersama dengan bumbu rempah
seperti cabai, asam, dan tomat.
Saat dihidangkan ditambah juga daun kemangi. Rasa makanan ini pedas, jadi cocok bagi kamu
yang suka pedas. Makanan ini populer di kalangan masyarakat Bima jadi, tak boleh terlewat
untuk dicoba.

Baca juga : 5 Pakaian Adat dari Provinsi Nusa Tenggara Barat

Itulah 5 makanan khas Bima, Nusa Tenggara Barat yang wajib kalian coba. Dari semua makanan
itu, mana nih yang paling ingin kamu coba cicipi?

. Uta Palumara Londe (Bandeng Kuah Santan)

Makanan Khas Bima yang pertama adalah Uta Palumara Londe. Dari namanya saja sudah
terbayang betapa sedapnya makanan ini. Termasuk dalam golongan lauk, makanan ini berbahan
dasar ikan bandeng. Bandeng diberi bumbu bawang merah, bawang putih, cabe, tomat dan
kunyit.

Uta Palumara Londe makanan khas bima – foto tribunpontianak

Tak lupa juga disiram dengan kuah santan yang menambah rasa gurih. Ada satu lagi komponen
yang membuat aroma khas yaitu daun kemangi. Wah pokoknya, ada perpaduan pedas, asam, dan
gurih. Kuliner khas Bima ini bisa dijumpai dibeberapa warung makan khas Bima.

2. Uta Maju Puru (Daging Rusa Bakar)


Uta Maju Puru atau yang biasa disebut Daging Rusa Bakar adalah Makanan Khas Bima
selanjutnya yang wajib kalian coba. Makanan kali ini sangat unik dan sulit ditemukan di daerah
lain. Bisa dibilang, makanan ini termasuk kuliner yang langka. Hal ini karena bahan dasar yang
khusus berupa daging rusa. Ya, hewan yang satu ini dijadikan kuliner lezat di Bima.

Uta Maju Puru, Makanan Khas Bima – foto mbojonet.blogspot

Daging rusa diolah dengan cara di dendeng terlebih dahulu. Kemudian, daging rusa dibakar
bersama dengan bumbu rempah sebagai pelengkap dan dibiarkan untuk beberapa saat. Rasa
kuliner ini gurih dan lezat sehingga bisa dibilang ini jadi makanan favorit masyarakat Bima.

Baca juga : 6 Kuliner dan Makanan Khas Bajawa Kabupaten Ngada Provinsi Flores

3. Kahangga, Makanan Khas Bima

Kahangga merupakan kuliner khas yang termasuk pada golongan kudapan. Kahangga
merupakan kue tradisional yang biasanya disajikan pada acara besar seperti hajatan. Kue ini
berbahan dasar tepung beras, telur, garam, dan gula. Secara bentuk fisik kue ini telihat seperti
retakan-retakan.
Kahangga, Kue Rambut Jawada, Makanan Khas Bima – foto wedaya.rey1024.com

Dalam Bahasa Bima, retakan disebut sebagai kahangga dan itulah asal nama kue ini. Tekstur ini
didapatkan saat adonan kue digoreng menggunakan cetakan yang berasal dari batok kelapa yang
diberi lubang.

Saat ini kue kahangga sudah mulai berkembang. Tidak hanya ditemukan pada acara hajatan, kini
sudah bisa ditemukan dengan mudah di pasar. Hal ini karena kue kahangga sudah lebih populer.
Harganya pun murah hanya seribu rupiah untuk satu buahnya. Kuliner khas Bima atau Makanan
Khas Bima yang satu ini merupakan menu wajib yang haru skalian coba saat datang ke Bima.

4. Sambal Tota Fo’o

Jika kamu pecinta sambal pasti wajib untuk mencoba makanan ini. Tota Fo’o merupakan olahan
makanan yang berupa sambal unik khas Bima. Bahan dasarnya berupa cabai yang dicampur
dengan mangga lalu diulek sehingga menjadi sambal.
Sambal Tota Fo’o – foto steller.co

Tentu saja rasanya merupakan asam pedas yang berasal dari perpaduan mangga dan cabai.
Sambal ini rasanya cukup pedas dan bisa bikin ketagihan jika kamu cocok dengan rasanya. Wah,
pencinta makanan pedas bisa menguji diri sendiri nih dengan kepedasannya.

5. Bingka Dolu, Makanan Khas Bima yang menggugah selera

Makanan Khas Bima selanjutnya adalah Bingka Dolu. Makanan ini termasuk pada jenis kudapan
atau lebih tepatnya kue basah. Keunikan kue ini terlihat dari bentuk dan warnanya yang menarik.
Bahan dasar kue adalah tepung terigu, gula, telur, santan, garam, baking powder, dan tak lupa
pemberi warna hijau alami yaitu daun pandan.

Bingka Dolu, makanan khas bima – foto cookpad.com

Kue ini mudah dimakan karena teksturnya yang lembut. Ada varian lain dari kue ini yang
berbahan dasar gula merah. Untuk mendapatkan kue ini sangat mudah. Kamu hanya perlu
mencarinya di pasar tradisional yang banyak menjajakan beragam jenis kue.

6. Uta Sepi Tumis

Satu lagi Makanan Khas Bima yang wajib dicoba adalah Uta Spi Tumis. Kuliner ini menjadi
bagian lain dari kuliner laut khas Bima atau kuliner seafood khas Bima. Bahan dasar yang
digunakan adalah udang-udang kecil. Udang kemudian ditumis bersama dengan bumbu rempah
seperti cabai, asam, dan tomat.
Saat dihidangkan ditambah juga daun kemangi. Rasa makanan ini pedas, jadi cocok bagi kamu
yang suka pedas. Makanan ini populer di kalangan masyarakat Bima jadi, tak boleh terlewat
untuk dicoba.

Baca juga : 5 Pakaian Adat dari Provinsi Nusa Tenggara Barat

Itulah 5 makanan khas Bima, Nusa Tenggara Barat yang wajib kalian coba. Dari semua makanan
itu, mana nih yang paling ingin kamu coba cicipi?

Anda mungkin juga menyukai