Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FILSAFAT ILMU

“EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN KARAKTER”

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Caly Setiawan, Ph.D.

Disusun oleh :
Rofiqul Umam 17711251004

PROGRAM STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018

1
A. PENDAHULUAN

Pada dasar kehidupan manusia, setiap individu telah dikaruniai akal dan pikiran

yang sempurna untuk menyerap dan menerima ilmu. Kamus Besar Bahasa Indonesia

menjelaskan Ilmu bermakna pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara

sistematis menurut metode ilmiah yang dapat digunakan untuk menjelaskan dan

menerangkan kondisi tertentu dalam bidang pengetahuan. Bicara tentang pengetahuan

maka kita akan bicara tentang suatu penalaran. Kemampuan penalaran manusia itu

sendiri mampu mengembangkan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman

hidupnya. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik kesimpulan

yang berupa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan sebaik-baik sesuatu

yang disukai, sepenting-penting sesuatu yang dicari dan merupakan sesuatu yang

paling bermanfaat, dari pada yang lainnya.

Sebagai makhluk sosial akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik dimana

setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Salah satu

bentuk usaha untuk menelaah pengaruh yang diterima ialah melalui pendidikan.

Pendidikan telah berlangsung sepanjang usia kehidupan manusia dimuka bumi.

Sejalan dengan kemajuan dalam mengelola kehidupannya, pengelolaan pendidikan

pun terus berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut juga terjadi pada

pendefinisian pendidikan. Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional dan

Menteri Pendidikan Republik Indonesia pertama, mengartikan pendidikan nasional

sesuai perannya dan kondisi sosio-pisokologis masyarakat Indonesia saat itu, menurut

Ki Hajar Dewantara (dalam Anselmus J.E Toenlione 2016:8) :

2
“Pendidikan nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis
hidup dari bangsanya (cultureel national) dan ditunjukkan untuk
kepereluan peri kehidupan (maatschappelijk) yang dapat
mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja
bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap
manusia seluruh dunia.

Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting demi terwujudnya individu

dengan mutu yang memadai sebagai pendukung dalam pembangunan yang mana

dapat membangun mental dan karakter. Mengkaji filsafat, khususnya filsafat

pendidikan karakter memang membutuhkan kajian yang mendalam. Menurut

Socrates 470-399 SM (Doni Koesoema, 27: 2007) pendidikan karakter terutama

ditujukan pada pemeliharaan jiwa. Jiwa merupakan suatu hal yang membedakan

manusia satu dengan manusia yang lainnya. Didalam jiwa inilah kita memiliki

kegiatan berpikir, bertindak, dan menegaskan nilai-nilai moral dalam hidupnya.

Namun demikian, masih perlu dipertanyakan lebih jauh lagi apa sesungguhnya isi dan

proses yang hendak dijalankan oleh pendidikan karakter tersebut?, bagaimana

karakter sebagai sebuah kebajikan dipahami?, Mengapa dalam pendidikan karakter

butuh keteladanan dan pembiasaan?, dan lain-lain merupakan pertanyaan- pertanyaan

filosofis yang membutuhkan pilihan jawaban yang memadai.

Pertanyaan-pertanyaan filosofis terhadap berbagai bidang termasuk pendidikan,

mengacu pada pendapat Koento Wibisono (2010: 21) tetap menarik untuk disimak,

meskipun bersifat klasik, tetapi mendasar dan tetap aktual. Klasik karena sudut

pandang filosofis terhadap suatu hal sejak dulu telah ada dan selalu mengawali

pembahasan setiap objek kajian. Pada dasarnya, karena pertanyaan filosofis selalu

3
ingin mengetahui hakekat terdalam dari sebuah obyek pembicaraan yakni mengenai

hakekat keberadaan (ontologi), proses mendapatkan pengetahuan (epistimologi) dan

nilai dari obyek pembahasan (aksiologi). Aktual, karena pembahasan filosofis tetap

dapat dilakukan mampu kontekstual dengan perkembangan keilmuan.

Dalam makalah ini, penulis mencoba mendeskripsikan salah satu kajian utama

filsafat ilmu yaitu epistemologi dalam pendidikan karakter.

B. ISU/ PROBLEM KEILMUAN

Hakikat manusia dalam kehidupannya memiliki nilai yang tinggi yakni

memiliki akal dan budi pekerti. Hal yang paling penting untuk membedakan manusia

dengan makhluk lain yaitu manusia memiliki akal, pikiran, perasaan, dan keyakinan

untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dengan pendidikanlah manusia bisa

meningkatkan potensi yang ada dalam dirinya untuk mencapai tujuan hidupnya

sebagai manusia. Pendidikan dapat mengarahkan manusia untuk mengetahui dan

membedakan mana yang baik dan benar. Pendidikan karakter sangat dibutuhkan

untuk membentuk kepribadian manusia agar memiliki ciri khas dalam kehidupannya.

Menurut Kemendiknas (Sumaryanto, 2016; 132) pendidikan karakter mempunyai

makna lebih tinggi dari pendidikan moral karena pendidikan karakter tidak sekedar

mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi lebih dari itu pendidikan

karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik dan salah, mampu merasakan

nilai yang baik dan biasa melakukannya. Jadi pendidikan karakter terkait erat

kaitannya dengan kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan atau dilakukan. Jadi

karakter itu terbentuk karena telah ditanamkan dalam diri manusia itu atau telah

4
diberitahukan tentang hal-hal yang baik dan dilakukan secara terus menerus sehingga

dia dapat merasakan kebaikan itu sendiri.

Dengan perkembangan yang semakin modern dan didukung oleh teknologi

yang semakin canggih, sangat penting implementasi karakteristik yang baik untuk

kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor-faktor yang akan

mempengaruhi baik itu di lingkungan keluarga maupun lingkungan bermasyarakat.

Sejauh ini, banyaknya peristiwa yang tidak diinginkan seperti kejahatan-kejahatan

yang dapat merugikan orang lain menyatakan kurangnya karakteristik yang baik

yang dilakukan sebagaian masyarakat. Bagaimana seseorang tersebut dapat

berpengaruh atau tidaknya terhadap pengaruh lingkungan yang ada juga tergantung

pada baik benarnya cara seseorang yang menerimanya. Jika seseorang

menghadapinya dengan bijak maka tak banyak peluang orang tersebut untuk

terjerumus ke hal-hal negatif yang dapat memberikan dampak buruk untuk orang-

orang disekitanya. Maka dari itu, pentingnya pendidikan karakter yang harus

diemban oleh setiap orang guna dapat menjalankan kehidupan yang lebih baik

dengan kepribadian yang berkualitas.

C. KAJIAN PEMIKIRAN TERKAIT ISU/ PROBLEM KEILMUAN

Epistemologi adalah alat untuk memperoleh pengetahuan, metode, dan

kebenaran pengetahuan. Menurut Bahrum (2013: 38) Pengetahuan manusia adalah

titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang semesta

(universe) dan dunia. Maka sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan

nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun,

5
bagaimanapun bentuknya. Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang

mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti,

mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur

pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Maka dengan demikian ia dapat

menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana pengetahuan itu muncul

dalam diri manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap

pemikiran dan kinsep-konsep (nations) yang muncul sejak dini ? dan apa sumber

yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini ? Sebelum

menjawab semua pertanyaan-petanyaan di atas, maka kita harus tahu bahwa

pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi

atau pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu

pengetahuan yang mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan dengan

penangkapan kita terhadap pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq dapat

dicontohkan dengan penilaian bahwa panas adalah energi yang datang dari matahari

dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan bahwa atom itu dapat

meledak. Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat kaitannya, karena konsepsi

merupakan penangkapan suatu objek tanpa menilai objek itu, sedangkan tashdiq,

adalah memberikan pembenaran terhadap objek. Pengetahuan yang telah didapatkan

dari aspek ontologi selanjutnya digiring ke aspek epistemologi untuk diuji

kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia

mengamati sesuatu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa adanya kontak manusia

dengan dunia empiris menjadikannya ia berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam.

6
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai apa, bagaimana dan

untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Epistemologi itu sendiri selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.

Persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya

adalah bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan

mempertimbangkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing ilmu.

Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu

pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan

yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek telaah

epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita

mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, sehingga berkenaan

dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal. Jadi yang

menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang

memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan

prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa

yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral. Dalam

memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak cukup dengan berpikir

secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara empirik saja karena keduanya

mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi

pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah

yang merupakan gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan empirisme

sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Banyak pendapat para pakar tentang

7
metode ilmu pengetahuan, namun penulis hanya memaparkan beberapa metode

keilmuan yang tidak jauh beda dengan proses yang ditempuh dalam metode ilmiah.

Metode ilmiah adalah suatu rangkaian prosedur tertentu yang diikuti untuk

mendapatkan jawaban tertentu dari pernyataan yang tertentu pula. Epistemologi dari

metode keilmuan akan lebih mudah dibahas apabila mengarahkan perhatian kita

kepada sebuah rumus yang mengatur langkah-langkah proses berfikir yang diatur

dalam suatu urutan tertentu Kerangka dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat

diuraikan dalam enam langkah sebagai berikut:

a. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah

b. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan

c. Penyusunan atau klarifikasi data

d. Perumusan hipotesis

e. Deduksi dari hipotesis

f. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi)

Keenam langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut masing-

masing terdapat unsur-unsur empiris dan rasional. Menurut AM. Saefuddin (dalam

Bahrum, 2013: 39) bahwa untuk menjadikan pengetahuan sebagai ilmu (teori) maka

hendaklah melalui metode ilmiah yang terdiri atas dua pendekatan: Pendekatan

deduktif dan Pendekatan induktif. Kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan

dengan menggunakan salah satunya saja, Sebab, deduksi tanpa diperkuat induksi

dapat dimisalkan sport otak tanpa mutu kebenaran, sebaliknya induksi tanpa deduksi

menghasilkan buah pikiran yang mandul. Proses metode keilmuan pada akhirnya

8
berhenti sejenak ketika sampai pada titik “pengujian kebenaran” untuk

mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga ukuran kebenaran yang

tampil dalam gelanggang diskusi mengenai teori kebenaran, yaitu teori

korespondensi, koherensi dan pragmatis. Penilaian ini sangat menentukan untuk

menerima, menolak, menambah atau merubah hipotesa, selanjutnya diadakanlah teori

ilmu pengetahuan.

Dalam pendidikan karakter dapat dilakukan dengan cara membiasakan nilai

moral luhur kepada peserta didik dan membiasakan mereka dengan kebiasaan yang

sesuai dengan karakter kebangsaan. Dalam mencapai tujuan pendidikan karakter

dibutuhkannya suatu indikator tertentu sebagai bahan acuan pendidikan tersebut.

sebagaimana pendapat Doni Koesoema Albertus, (2012: 187-190) Nilai-nilai untuk

pembentukan karakter. Berikut Indikator Pendidikan Karakter bangsa sebagai bahan

untuk menerapkan pendidikan karakter bangsa.

1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan (religius)

a. Religiositas pikiran, perkataan dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu

berdasarkan pada nilai-nilai etuhanan dan/ajaran agamanya.

2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri

a. Jujur perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang

yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik

terhadap diri maupun pihak lain.

b. Bertanggung jawab sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan

kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,

9
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang

Maha Esa.

c. Bergaya hidup sehat segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik

dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang

dapat mengganggu kesehatan.

d. Disiplin tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai

ketentuan dan peraturan.

e. Kerja keras perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam

mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan)

dengan sebaik-baiknya.

f. Percaya diri sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan

tercapainya setiap keinginan dan harapannya.

g. Berjiwa wirausaha sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat

mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi

untuk pengadaan barang baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan

operasinya.

h. Berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif berfikir dan melakukan sesuatu secara

nyata atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari

apa yang telah dimiliki.

i. Mandiri sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas.

10
j. Ingin tahu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih

mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

k. Cinta ilmu cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,

kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan

3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama.

a. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain tahu dan mengerti serta

melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta

tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.

b. Patuh pada aturan-aturan sosial sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan

berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.

c. Menghargai karya dan prestasi orang lain sikap dan tindakan yang mendorong

dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan

mengakui seerta menghormati keberhasilan orang lain.

d. Santun sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa ataupun tata

perilakunya ke semua orang.

e. Demokratis cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan

kewajiban dirinya dan orang lain.

4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan.

a. Cinta lingkungan sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan

pada lingkungan alam di sekitrnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk

memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi, serta selalu ingin memberi

bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

11
5. Nilai kebangsaan cara berpikir, bertindak dan wawasan yang menempatkan

kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

a. Nasionalis cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menuunjukkan kesetiaan,

kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,

sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.

b. Menghargai keragaman sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai

macam hal, baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku dan agama.

Pendidikan karakter sendiri memiliki fungsi untuk mengembangkan watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Epsitimologi pendidikan karakter akan menguraikan obyek pendidikan karakter, cara

memperoleh pendidikan karakter dan cara mengukur benar-tidaknya pendidikan

karakter.

1. Objek Pendidikan Karakter

Objek pendidikan karakter adalah semua yang diteliti tentang pendidikan

karakter, yakni semua objek yang empiris. Jujun S. Suriasumantri (Filsafat Ilmu:

Sebuah PengantarPopuler , 1994: 105) menyatakan bahwa objek kajian sains

hanyalah objek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang

dimaksud pengalaman disini ialah pengalaman indera. Objek kajian pendidikan

karakter haruslah bersifat empiris sebab bukti-bukti yang harus ditemukan adalah

bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini akan digunakan untuk menguji bukti

rasional yang sudah ada dalam hipotesis (dugaan sementara).

12
Objek-objek yang dapat diteliti dalam pendidikan karakter banyak sekali, yaitu

nilai karakter dalam hubungannya dengan tuhan (religius), nilai karakter dalam

hubungannya dengan diri sendiri, nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama,

nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan, nilai kebangsaan cara berpikir,

bertindak dan wawasan yang menempatkan.

2. Cara Memperoleh Pendidikan Karakter

Pengalaman manusia sudah ada sejak zaman lama, yang dapat dicatat dengan

baik adalah sejak 600an SM. Sejak zaman dahulu sebenarnya pendidikan karakter

telah diterapkan oleh leluhur kita. Tingkatan pertama untuk menerapkan pendidikan

karakter adalah keluarga. Dari semua sisi kehidupan pendidikan karakter sangat

diperlukan untuk sesama manusia agar kehidupannya berjalan harmonis.

Menurut Ahmad Tafsir (2014) Perkembangan pendidikan karakter didorong

oleh paham humanisme. Humanisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa

manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada zaman

yunani kuno sejak zaman dahulu manusia mengingikan adanya aturan untuk

mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia hidup teratur. Hidup teratur itu

sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya

kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan agar manusia memiliki karakter sebagai

manusia sebagaimana mestinya. Bagaimana membuat aturan untuk manusia ? siapa

yang dapat membuat aturan itu? Karakter seperti apa yang dimiliki manusia itu? .

humanisme mengatakan manusia dapat mengatur dirinya sendiri. Jadi manusia itulah

yang mampu membuat aturan untuk mengatur manusia sehingga menjadi manusia

13
yang berkarakter. Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat

berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang

disepakati. Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat

aturan untuk mengatur manusia dan yang kedua adalah mitos itu amat tidak

mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau

begitu, apa sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah

agama mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah. Jadi,

seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang

menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang. Begitulah

kira-kira mereka berpikir. Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan

bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal?

Pertama, karena akal dianggap mampu, yang kedua, karena akal pada setiap orang

bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada

akalsetiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati.

Maka,Humanisme melahirkan rasionalisme.

Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan

pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan

akal pula. Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal

artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar. Bila tidak, salah.

jadi, dengan akal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga

berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal. Apa yang diperoleh dari kenyataan

itu? Yang diperoleh ialah berpikir logis tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang

14
disepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan

alat lain. Alat itu ialah empirisme.

Empirisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang

logis dan ada bukti empirisme. Menurut empirisme yang benar adalah ada perubahan,

yang sebelum belum baik menjadi baik, yang sebelumnya kurang sopan menjadi

sopan. Dengan empirisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dalam

pembentukan karakter) itu dibuat. Ternyata empirisme masih memiliki kekurangan,

kekurangan empirisme ialah karena belum terukur. Empirisme hanya menemukan

yang bersifat umum. Konsep itu masih belum operasional, karena belum terukur. Jadi

masih diperlukan alat lain, yaitu positivisme.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris

yang terukur. Terukur inilah sumbangan dari positivisme. Jadi, karakter dalam

positivisme dikatakan ialah indikator-indikator dari karakter yang telah dipaparkan

sebelumnya. Indikator-indikator karakter tersebut masuk dalam ukuran-ukuran

operasional, kualitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana yang

kita lihat pada kenyataannya, aturan untuk mengatur manusia yang kita miliki

sekarang bersifat pasti dan rinci, jadi operasional. Bahkan ketika kita bertamu lalu

mengetuk pintu dan mengucapkan salam masuk dalam kerangka ukuran kesopanan.

Dalam ukuran ini maka kontek kesopanan dapat dioperasikan. Kehidupan kita

sekarang penuh dengan ukuran. Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai

upaya membuat aturan untuk mengatur manusia. Kata positivisme mengajukan

logikanya, mengajukan empirisnya yang terukur. Kita masih memerlukan alat lain,

15
yakni Metode Ilmiah. Sayangnya metode ilmiah sebenarnya tidak mengajukan

sesuatu yang baru, metode ilmiah hanya mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih

operasional.

Metode ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar

lakukan langkah-langkah berikut: logico-hypothetico-verificartif. Maksudnya mula-

mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis berdasarkan logika tadi,

kemudian lakukan pembuktian hipotesis tadu secara empiris.

Dengan rumus metode ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode ilmiah

secara teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut metode

riset. Metode riset menghasilkan model-model penelitian. Model-model penelitian

inilah yang menjadi instansi terakhir dan memang operasional dalam membuat aturan

(untuk mengukur karakter manusia tadi).

Dengan menggunakan model penelitian tertentu kita mengadakan penelitian.

Hasil-hasil penelitian yang kita warisi berupa tumpukan dari hasil peneltian tentang

pendidikan karakter. inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Urutan dalam

proses terwujudnya aturan seperti yang telah diuraikan adalah sebagai berikut;

Humanisme

Rasionalisme

Empirisme

Positivisme

Metode ilmiah

Metode riset

16
Model-model penelitian

Aturan untuk mengatur manusia yang berkarakter

D. PERSEPEKTIF ANDA TERKAIT ISU /PROBLEMATIKA KEILMUAN

Pendidikan telah berlangsung sepanjang usia kehidupan manusia dimuka bumi.

Sejalan dengan kemajuan dalam mengelola kehidupannya, pengelolaan pendidikan

pun terus berkembang dari waktu ke waktu. Pendidikan memiliki peranan yang

sangat penting demi terwujudnya individu dengan mutu yang berkualitas sebagai

pendukung dalam pembangunan, melalui pendidikan akan mempengaruhi individu

baik dalam hal negatif dan positif, bagaimana cara mengola pengetahuan yang

didapatnya akan membentuk karakter individu tersebut. Ketika individu mendapatkan

dan menerapkan hal positif maka penilaian terhadap individu tersebut akan positif,

dan sebaliknya ketika individu mendapatkan lalu menerapkan hal yang negative,

maka penilaian terhadap individu tersebut bersifat negatif. Dengan adanya sifat

positif dan negative akan mempengaruhi mental dan karakter seseorang.

E. KESIMPULAN

Pendidikan merupakan hal mutlak yang sudah ada untuk dijadikan acuan dalam

membangun manusia yang berkarakter dengan terwujudnya manusia yang berkualitas

sesuai dengan tujuan pendidikan. Dalam pendidikan karakter dapat dilakukan dengan

cara membiasakan nilai moral luhur kepada peserta didik dan membiasakan mereka

dengan kebiasaan yang sesuai dengan karakter kebangsaan. Pendidikan karakter

sendiri memiliki fungsi untuk mengembangkan watak serta peradaban bangsa yang

17
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat

Undang-Undang Dasar 1945.

F. DAFTAR PUSTAKA

Akinpelu, J.A..1988. AnIntroduction to Philosophy of Education.London and

Basingstoke: Macmillan Publishers Ltd.

Baharuddin, Umiarso dan Sri Minarti. 2011. Dikotomi Pendidikan Islam Historisitas

dan Implikasi pada Masyarakat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya

Doni Koesoema. 2007. Pendidikan Karakter (strategi mendidik anak dizaman

global). Jakarta: PT. Grasindo

Gutek, Gerald L. 1974. Philosophical Alternative in Education. USA: A Bell &

Howell Company.

Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. New York:

John Wiley & Sons, Inc.

Koento Wibisono. 2010. Pancasila dalam preseptif filsafat untuk pendidikan tinggi.

Yogyakarta: PSP Press UGM.

Sumaryanto. 2016. Aksiologi Olahraga. Yogyakarta: UNY press.

Ahmad Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu, Mengurai Ontology, Epistimologi, Aksiologi


Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Bosda Karya.

18

Anda mungkin juga menyukai