Anda di halaman 1dari 35

makalah pentingnya pendidikan bagi remaja

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Semakin maju suatu masyarakat, semakin dirasakan pentingnya sekolah dan pendidikan secara teratur bagi pertumbuhan dan pembinaan anak dan generasi muda pada umumnya. Dalam masa kemajuan sekarang ini, setiap sekolah memerlukan beberapa orang guru, sehingga masing-masing anak akan mendapat pendidikan dan pembinaan dari beberapa orang guru yang mempunyai kepribadian dan mentalnya masing-masing. Setiap guru akan mempunyai pengaruh terhadap anak didik. Pengaruh tersebut ada yang terjadi melalui pendidikan dan pengajaran yang dilakukan dengan sengaja dan ada pula yang terjadi secara tidak sengaja, bahkan tidak disadari oleh guru. Melalui sikap, gaya dan macam-macam penampilan kepribadian dan kode etik guru, bahkan dapat dikatakan bahwa kepribadian dan kode etik guru akan lebih besar pengaruhnya dari pada kepandaian dan ilmunya, terutama bagi anak didik yang masih dalam usia kanak-kanak dan masa meningkat remaja, yaitu tingkat pendidikan dasar dan menengah, karena anak didik pada tingkat tersebut masih dalam masa pertumbuhan. Read more
Category: Karya Tulis Ilmiah, Makalah Prinsip-Prinsip Epistimologi Murtadha Muthahari dan kontribusinya terhadap Ideologi

Posted on December 24, 2009 Manusia merupakan sebangsa binatang. Dia memiliki banyak persamaan dengan binatang lainnya. Pada saat yang sama manusia memiliki banyak ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lainnya,[1] salah satu diantaranya yaitu berfikir. Manusia adalah makhluk berfikir dan merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibanding makhluk Tuhan lainnya, kapasitas berfikir yang dimilikinya menjadikan manusia menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk Tuhan yang lain.[2] Manusia mempunyai kemampuan berfikir, sehingga mampu membuat keputusan dangan dasar pikiran, akal dan nalar.[3] Binatang memiliki kemampuan mengenal (mengetahui), segala sesuatu yang ada di sekitarnya hanya melalui indra (alat untuk merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba dan merasakan sesuatu secara naluriah). Read more
Category: Artikel Islami, Filsafat Tags: Epistimologi, Ideologi, Murtadha Muthahari

Arsip

Posted on November 22, 2009 Hi Sahabat Terima kasih telah berkunjung di MasBied.com Berikut ini daftar sajian tulisan yang telah di posting di blog ini sejak Januari 2008. Artikel ini berasal dari karya pribadi dan milik teman yang terasa pantas untuk disajikan, juga artikel yang saya sukai. Read more
Category: Profesionalisme Guru dalam Dunia Keilmuan Islam

Posted on October 31, 2009 PROFESIONALISME GURU DALAM DUNIA KEILMUAN ISLAM (TELAAH EPISTOMOLOGIS TERHADAP PROBLEMATIKA KEGURUAN) Oleh : Yoyok
1. A. Pendahuluan

Dalam dunia keilmuan Islam, pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikanlah manusia akan bisa eksis dan berjaya di muka bumi ini. Sebagai suatu system, pendidikan memiliki sejumlah komponen yang saling berkaitan antara yang satu dan lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan[1]. Komponen pendidikan tersebut antara lain komponen kurikulum, guru, metode, sarana prasarana, dan evaluasi. Selanjutnya, dari sekian komponen pendidikan tersebut, guru merupakan komponen pendidikan terpenting, terutama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan. Melalui tindakan-tindakan guru ini, nasib pendidikan kita bergantung kepadanya. Sementara itu, diketahui bahwa dewasa ini tugas guru semakin terasa berat. Hal ini terjadi antara lain karena kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta perubahan cara pandang dan pola hidup masyarakat yang menghendaki strategi dan pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berbeda-beda, di samping materi pengajaran itu sendiri. Read more Dengan keadaan perkembangan masyarakat yang sedemikian itu, maka mendidik merupakan tugas berat dan memerlukan seseorang yang cukup memiliki kemampuan yang sesuai dengan jabatan tersebut. Mendidik adalah pekerjaan professional yang tidak dapat diserahkan kepada sembarang orang, karena hal ini akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap

pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dalam kehidupannya, begitu juga terhadap lembaga pendidikan di mana ia mengabdikan dirinya untuk profesi yang diembannya. Profesionalitas seorang guru berkaitan dengan upaya penyiapan peserta didik menjadi manusia yang ulul albab yang nantinya diharapkan bisa mengangkat dunia keilmuan Islam yang selama ini mandeg merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi dan harus segera dimiliki oleh setiap guru muslim agar tercipta suatu tatatan dunia keilmuan Islam yang maju dan dapat mempengaruhi terhadap semua bangsa seperti pada masa kejayaan Islam dahulu kala. Untuk mewujudkan profesionalisme dalam pribadi seorang guru tidaklah mudah, karena hal tersebut memerlukan proses yang cukup panjang dan biaya yang cukup banyak. Disamping itu, diperlukan pula penyadaran akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai calling profesio yang harus terus dibina agar supaya apa yang menjadi harapan dan cita-cita dari masyarakat terhadap hasil pembelajarannya yang dilakukan bersama muridnya dapat tercapai, sehingga tercipta kualitas dan mutu out put yang bisa dipertanggung jawabkan secara intelektual, memiliki keterampilan yang tinggi dan memiliki akhlaqul karimah yang mapan. 1. B. Rumusan Masalah Sehubungan dengan pentingnya profesionalisme guru dalam penyiapan out put yang memiliki kualitas dan mutu yang dapat dipertanggung jawabkan, yang berimplikasi pada terangkatnya dunia keilmuan Islam, maka dalam penulisan makalah ini, penulis memfokuskan kepada dua masalah, yaitu : 1. Apa yang menjadi problematika bagi guru guna mewujudkan profesionalisme keguruannya dalam menciptakan mutu lulusan yang baik ? 2. Bagaimana telah epistemologis dalam mengatasi problematika guru menuju profesionalisme kinerja yang baik, yang dapat mengangkat dunia keilmuan Islam ? 3. C. Konsep Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu sebagai salah satu cabang ilmu filsafat bukan sekedar metode penelitian atau cara penulisan karya ilmiah, melainkan merupakan dasar dan arah pengembangan ilmu pengetahuan yang terus menerus berupaya tanpa mengenal titik henti mencari kebenaran / kenyataan (an unfinished journey). Di sisi lain Koento Wibisono menyatakan, bahwa filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajah kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang memang tidak akan pernah selesai diterangkan. Hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya. Dengan memahami filsafat ilmu, berarti memahami seluk-beluk ilmu yang paling mendasar, sehingga dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinan antar cabang ilmu yang satu dengan yang lain.

Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi ilmu meliputi apa hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa dan bagaimana (yang) adaitu (being, seni, het zijin). Adapun epistemologi ilmu, meliputi sumber sarana, dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologi akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model epistemologi seperti rasionalisme, empirisme, kritisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kekurangan sesuatu model epistemologi beserta tolak ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatisme, dan teori intersubjektif. Sedangkan aksiologi meliputi nilai-nilai (value) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-materil. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu condicio since quanon yang dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Jujun S. Suriasumantri[2] mengatakan bahwa setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini sangat berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Berangkat dari hal tersebut, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu[3]. Apakah obyek kajian ilmu itu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran obyektif, subyektif, absolut atau relatif. Subyek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, sehingga kajian ilmu pada realitasnya selalu berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup manusia sendiri, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas itu, dengan sendirinya selalu membawa konsekwensi-konsekwensi tertentu. Batasbatas waktu hidup seseorang berpengaruh pada kualitas kajiannya, sehingga banyak sekali revisi dan koreksi dilakukan oleh seseorang terhadap hasil kajiannya yang terdahulu. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme[4], yang berarti pengetahuan. Epistemologi adalah pengetahuan sebagai upaya menempatkan sesuatu di dalam kedudukan yang setepatnya[5]. Menurut Paul Edward mengatakan bahwa epistemologi, or the theory of knowledge is that branch of philoshopy which is concernd with the nature and scope of knowledge, its presupposition and basis, and in the general realibility of claim to knowledge. (Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal dapat

diandaikannya penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan). Sedangkan menurut Runes sebagaimana dikutip oleh Harold H. Titus[6] mengatakan bahwa epistemology is the branch of philosophy wich investigates the origin, structure, metods and validity of knowledge. Sesuai pengertian tentang epistemologi tersebut di atas maka tinjauan epistemologi dalam hal ini meliputi : 1. 2. 3. 4. Sumber-sumber ilmu Cara memperoleh ilmu Ruang lingkup ilmu Validitas pengetahuan.

Epistemologi merupakan salah satu bagain dari filsafat sistematik yang paling sulit. Sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang luas jangkauan metafisika sendiri. Selain itu, pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Kendati demikian, menurut P. Hardono Hadi[7], kalau kita berani memasuki permasalahan epistemologi, akan tampak betapa pentingnya suatu upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada pertanggung jawaban ilmiah. Hal ini penting untuk membedakan hal manakah yang perlu dipercaya, dipegang dan dipertahankan, dan hal manakah yang kiranya cukup ditanggapi dengan sikap biasa. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini : Pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu ? Di manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya ?. Kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu ? Apakah ada dunia yang benar-benar berada di luar pikiran kita, kalau ada apakah kita mengetahuinya ? Ini persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena atau appearance) versus hakikat (noumena atau essence). Ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar (valid) ? Serta bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah ? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau verivikasi[8]. Semenjak manusia diciptakan, manusia memiliki alat guna memperoleh epistemologi, yaitu indera. Manusia memiliki berbagai macam indera ; indera penglihatan, indera pendengaran, indera peraba. Seandainya manusia kehilangan semua indera itu, maka ia akan kehilangan semua bentuk epistemologi. Ada sebuah ungkapan yang amat populer sejak dahulu kala, dan kemungkinan itu adalah ungkapan yang datangnya dari Aristoteles barang siapa yang kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu ilmu. Setiap manusia yang kehilangan salah satu inderanya, maka ia juga akan kehilangan salah satu bentuk epistemologi. Jika seseorang dilahirkan dalam keadaan buta, maka ia tidak mungkin dapat membayangkan warnawarni, berbagai bentuk dan jarak. Kita tidak akan mampu memberikan penjelasan kepadanya mengenai suatu warna, sekalipun dengan menggunakan berbagai macam kalimat dan ungkapan guna mendefinisikan warna itu agar ia dapat mengenalinya. Kita juga tidak akan mampu untuk menjelaskan kepadanya mengenai warna dari suatu benda. Selain alat indera yang dimiliki oleh manusia tersebut, manusia juga masih memerlukan pada satu perkara ataupun beberapa perkara yang lain dalam memperoleh pengetahuan, manusia terkadang memerlukan pada suatu bentuk pemilahan dan penguraian serta adakalanya memerlukan berbagai macam bentuk pemilahan dan penguraian[9]. Pemilahan dan penguraian

merupakan aktivitas rasio itu, adalah meletakkan berbagai perkara pada kategorinya masingmasing, di mana hal itu disebut dengan pemilahan. Begitu juga dengan penyusunan dalam bentuk khusus, dan di sini logika yang bertugas melakukan aktivitas pemilahan dan penyusunan, yang mana hal ini memiliki penjelasan yang panjang. Sebagai contoh, jika kita mengenal berbagai macam permasalahan ilmiah, maka mereka akan mengatakan kepada kita, yang itu masuk dalam kategori kuantitas dan yang ini masuk dalam kategori kualitas, dan di sini perubahan kuantitas telah berubah menjadi perubahan kualitas. Sumber epistemologi adalah alam semesta ini. Yang dimaksud dengan alam, adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerak, alam yang sekarang kita tengah hidup di dalamnya, dan kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan berbagai alat indera kita. Sedikit sekali fakultas yang menolak alam sebagai sumber epistemologi, tetapi baik pada masa duhulu dan juga pada masa sekarang ini ada beberapa ilmuwan yang tidak mengakui alam sebagai suatu sumber epistemologi. Plato tidak mengakui alam sebagai sumber epistemologi, karena hubungan manusia dengan alam adalah dengan perantaraan alat indera dan sifatnya particular bukanlah suatu hakikat. Pada dasarnya ia hanya meyakini rasio sebagai sumber epistemologi, dan dengan menggunakan suatu metode argumentasi, di mana Plato menamakan metode dan cara tersebut dengan dialektika. Sedangkan sumber yang lain adalah masalah kekuatan rasio dan pikiran manusia. Setelah kita mengakui bahwa alam ini merupakan sumber luar bagi epistemologi, lalu apakah manusia juga memiliki sumber dalam bagi epistemologi ataukah tidak memiliki ?. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan masalah rasio, berbagai perkara yang rasional, berbagai perkara yang sifatnya fitrah. Ada beberapa fakultas yang menyakatan bahwa kita memiliki sumber alam itu, sementara sebagian yang lain menafikan keberadaannya. Ada sebagian fakultas yang meyakini keterlepasan rasio dari indera, dan semua permasalahan itu akan menjadi jelas, setelah kita memasuki berbagai pembahasan yang akan datang. 1. D. Guru dan Problematika Profesionalisme Keguruan Guru dalam proses pembelajaran pada suatu lembaga pendidikan berfungsi sebagai mediator dalam penyampaian materi-materi yang diajarkan kepada peserta didik, untuk kemudian ditindak lanjuti oleh peserta didik dalam kehidupan nyatanya, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Dalam proses pembelajaran ini, untuk menjadi guru yang profesional, hendaknya guru memiliki dua kategori, yaitu capability dan loyality, artinya guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal kepada tugas-tugas keguruan yang tidak semata-mata di dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah di kelas[10]. Pekerjaan guru merupakan profesi atau jabatan yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Menurut Usman[11], tugas profesi guru meliputi : mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan kepada anak didik. Sementara tugas sosial guru tidak hanya terbatas pada masyarakat saja, akan tetapi lebih jauh guru adalah orang yang diharapkan mampu

mencerdaskan bangsa dan mempersiapkan manusia-manusia yang cerdas, terampil dan beradab yang akan membangun masa depan bangsa dan negara. Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya sumber daya manusia yang andal dalam melakukan pembangunan bangsa. Secara sederhana tanggung jawab guru adalah mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkat pengetahuannya, semakin mahir keterampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya. Dalam hubungan ini ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang mampu melaksanakan inspiring teaching[12], yaitu guru yang melalui kegiatan mengajarnya mampu mengilhami murid-muridnya. Melalui kegiatan mengajar yang dilakukannya seorang guru mampu mendorong para siswa agar mampu mengemukakan gagasan-gagasan besar dari murid-muridnya. Persoalan guru dalam dunia pendidikan senantiasa mendapat perhatian besar dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah memandang mereka sebagai media yang sangat penting, artinya bagi pembinaan dan pengembangan bangsa. Mereka adalah pengemban tugas-tugas sosial kultural yang berfungsi mempersiapkan generasi muda sesuai dengan cita-cita bangsa. Sementara masyarakat memandang pekerjaan guru merupakan pekerjaan istimewa yang berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lain[13]. Dalam pandangan masyarakat, pekerjaan guru bukan semata-mata sebagai mata pencaharian belaka yang sejajar dengan pekerjaan tukang kayu atau pedagang atau yang lain. Pekerjaan guru menyangkut pendidikan anak, pembangunan negara dan masa depan bangsa. Masyarakat memberikan harapan besar pada guru guna melahirkan generasi masa depan yang lebih baik. Mereka diharapkan menjadi suri tauladan bagi anak didiknya dan mampu membimbing mereka menuju pola hidup yang menjunjung tinggi moral dan etika. Guru telah diposisikan sebagai faktor terpenting dalam proses belajar mengajar. Kualitas dan kompetensi guru dianggap memiliki pengaruh terbesar terhadap kualitas pendidikan[14]. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila guru dituntut untuk bertindak secara profesional dalam melaksanakan proses belajar mengajar guna meningkatkan kualitas pendidikan yang mereka lakukan. Tuntutan seperti ini sejalan dengan perkembangan masyarakat modern yang menghendaki bermacammacam spesialisasi yang sangat diperlukan dalam masyarakat yang semakin lama semakin kompleks. Tuntutan kerja secara profesional juga dimaksudkan agar guru berbuat dan bekerja sesuai dengan profesi yang disandangnya. Berbicara tentang kerja yang profesional mengharuskan kita untuk mengetahui terlebih dahulu pengertian profesi sebagai bentuk dasar kata profesional tersebut. Menurut Volmer dan Mills, bahwa pada dasarnya profesi adalah sebagai suatu spesialisasi dari jabatan intelektual yang diperoleh melalui studi dan training, bertujuan mensuplay keterampilan melalui pelayanan dan bimbingan pada orang lain untuk mendapatkan bayaran (fee) atau (salary) gaji. Dalam prespektif sosiologi, bahwa profesi itu sesungguhnya suatu jenis model atau tipe pekerjaan ideal, karena dalam realitasnya bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkannya. Sedangkan profesionalisme adalah proses usaha menuju ke arah terpenuhinya persyaratan suatu jenis model pekerjaan ideal berkemampuan, mendapat perlindungan, memiliki kode etik profesionalisasi, serta upaya perubahan struktur jabatan sehingga dapat direfleksikan model

profesional sebagai jabatan elit. Sedangkan profesi itu sendiri pada hakekatnya adalah sikap bijaksana (informend responsiveness) yaitu pelayanan dan pengabdian yang dilandasi oleh keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur yang mantap diiringi sikap kepribadian tertentu.[15] Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa sebuah profesi mengandung sejumlah makna yang dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan 2. Profesi dipilih oleh seseorang atas kesadaran yang dalam 3. Dalam profesi terkandung unsur pengabdian Dengan demikian, bekerja secara profesional berarti bekerja secara baik dan dengan penuh pengabdian pada satu pekerjaan tertentu yang telah menjadi pilihannya. Guru yang profesional akan bekerja dalam bidang kependidikan secara optimal dan penuh dedikasi guna membina anak didiknya menjadi tenaga-tenaga terdidik yang ahli dalam bidang yang menjadi spesialisnya. Hal ini dengan sendirinya menuntut adanya kemampuan atau keterampilan kerja tertentu. Dari sisi ini, maka keterampilan kerja merupakan salah satu syarat dari suatu profesi. Namun tidak setiap orang yang memiliki keterampilan kerja pada satu bidang tertentu dapat disebut sebagai profesional. Keterampilan kerja yang profesional didukung oleh konsep dan teori terkait. Dengan dukungan teori ini memungkinkan orang yang bersangkutan tidak saja menguasai bidang itu, akan tetapi juga mampu memprediksi dan mengontrol suatu gejala yang dijelaskan oleh teori itu. Atas dasar inilah, maka pekerjaan profesional memerlukan pendidikan dan latihan yang bertaraf tinggi yang kalau diukur dari jenjang pendidikan yang ditempuh memerlukan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi[16]. Dengan berbekal profesionalisme yang tingi pada setiap pendidik (guru) tersebut, maka dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi terangkat. Namun dewasa ini, dunia pendidikan kita sedang dilanda krisis profesionalisme guru, khususnya yang terjadi pada lembaga pendidikan Islam, karena disebabkan oleh berbagai hal. Hal tersebut menjadi problematika dunia pendidikan dan menjadi belenggu bagi terciptanya suatu tatanan pendidikan yang mapan dalam upaya penciptaan mutu lulusan yang capabel di bidang keilmuannya, skillnya dan bahkan akhlaqnya. Krisis profesionalisme guru dalam dunia pendidikan merupakan problematika tersendiri bagi dunia pendidikan dalam menciptakan mutu yang baik yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran guru akan jabatan dan tugas yang diembannya serta tanggung jawab keguruannya. Guru hanya menganggap mengajar sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau hanya untuk memperoleh salary dan sandang pangan demi survival fisik jangka pendek, agaknya akan berbeda dengan cara seseorang yang memandang tugas atau pekerjaannya sebagai calling profesio dan amanah yang hendak dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan[17]. Disamping itu munculnya sikap malas dan tidak disiplin waktu dalam bekerja dapat bersumber dari pandangannya terhadap pekerjaan dan tujuan hidupnya. Karena itu, adanya etos kerja yang kuat pada seseorang guru memerlukan kesadaran mengenai kaitan suatu pekerjaan dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh dan memberinya keinsyafan akan makna dan tujaun hidunya.

Hal yang mempengaruhi terhadap lemahnya sikap profesionalisme dan etos kerja guru disebabkan oleh dua faktor penting : 1. Faktor pertimbangan internal, yang menyangkut ajaran yang diyakini atau sistem budaya dan agama, semangat untuk menggali informasi dan menjalin komunikasi. 2. Faktor pertimbangan eksternal yang menyangkut pertimbangan historis, termasuk di dalamnya latar belakang pendidikan dan lingkungan alam di mana ia hidup, pertimbangan sosiologis atau sistem sosial di mana ia hidup dan pertimbangan lingkungan lainnya. Dalam konteks pertimbangan eksternal, terutama yang menyangkut lingkungan kerja, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi semangat kinerja guru, yaitu : (1) volume upah yang dapat memenuhi kebutuhan seseorang (2) suasana kerja yang menggairahan atau iklim yang ditunjang dengan komunikasi demokrasi yang serasi dan manusiawi antara pimpinan dan bawahan (3) penanaman sikap dan pengertian di kalangan pekerja (4) sikap jujur dan dapat dipercaya dari kalangan pimpinan terwujud dalam kenyataan (5) penghargaan terhadap need for achievement (hasrat dan kebutuhan untuk maju) atau penghargaan terhadap yang berperstasi (reward and punishment) dan (6) sarana yang menunjang bagi kesejahteraan mental dan fisik[18]. 1. E. Telaah Epistemologis Menuju Profesionalisme Guru dalam Dunia Keilmuan Islam Menghadapi problematika dunia pendidikan dewasa ini yang berkaitan dengan penyiapan tenaga pendidik (guru) yang profesional merupakan tantangan tersendiri yang membutuhkan penyelesaian secara epistemologis. Problematika tersebut antara lain, mampukah dunia pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat memainkan peranan secara fungsional di tengahtengah dunia keilmuan yang sedang berkembang, dan mampukah dunia pendidikan menciptakan mutu lulusan yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam seperti sedia kala (seperti masa keemasan dunia keilmuan Islam). Tantangan tersebut bila dapat dijawab secara tepat akan menjadi peluang yang akan memberikan keuntungan yang luar biasa bagi terciptanya profesionalisme guru yang berimplikasi pada penyiapan mutu lulusan yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam. Hal tersebut perlu dikemukakan karena secara kelembagaan dunia pendidikan dengan ujung tombak guru merupakan lembaga yang dipercaya untuk menyiapkan kader pemimpin masa depan bangsa. Berkaitan dengan ini, maka upaya untuk membangun profesionalisme guru secara epistemologis tidak dapat ditunda-tunda lagi. Untuk itu, beberapa pemikiran epistemologis guna menciptakan profesionalisme guru yang dapat mengangkat dunia keilmuan Islam di bawah ini perlu dipertimbangkan dan direnungkan. Pertama, telah banyak pemikiran yang dikemukakan para ahli dalam rangka menjawab pertanyaan yang dihadapi lembaga pendidikan tersebut. Sebagian pakar mengajukan konsep cooperative kearning. Argumen yang diajukan berkenaan dengan konsep ini adalah masalahmasalah yang kita hadapi dewasa ini dan di masa depan sebenarnya bersifat saling berkaitan dan lebih tepat kalau dipandang sebagai jaringan-jaringan masalah yang kompleks. Dengan konsep

belajar itu, setiap masalah akan didekati dengan pendekatan yang bersifat holistic dan integrated, mengingat masalah pendidikan bukanlah masalah yang bersifat hierarkis struktural, melainkan saling terkait dengan masalah lain secara horizontal. Kerja sama dunia pendidikan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, perusahaan, industri, yayasan dan lain sebagainya sangat diperlukan dalam rangka pembinaan dan peningkatan profesionalisme guru dalam mempersiapkan mutu lulusan yang mampu menciptakan kemajuan dalam dunia keilmuan Islam seperti halnya kemajuan yang pernah dicapai oleh dunia keilmuan Islam tempo dulu. Kedua, Torstein Hussein dalam bukunya Learning Society, sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata mengajukan konsep yang disebut sebagai masyarakat belajar[19]. Menurut konsep ini, belajar di masa sekarang tidak dapat hanya dilakukan di ruang kelas, tetapi dengan cara mengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di masyarakat ke dalam kegiatan belajar mengajar. Bahan-bahan informasi yang terdapat di berbagai media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, komputer dan lain sebagainya harus didayagunakan untuk kepentingan proses pembelajaran. Melalui hal ini, guru akan mendapatkan suatu arahan, pembinaan mengenai hal-hal yang dapat meningkatkan keprofesionalannya dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan di mana ia bertugas, sehingga ia dapat dengan mudah menciptakan kualitas dan mutu peserta didiknya yang up to date dan sesuai dengan harapan masyarakat. Ketiga, problematika dunia pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, menghendaki dunia pendidikan menata ulang berbagai aspek pendidikan yang selama ini dilakukan. Aspek-aspek pendidikan seperti dasar pendidikan, tujuan, kurikulum, metode dan pendekatan yang digunakan, sarana dan prasarana yang tersedia, lingkungan, evaluasi dan sebagainya perlu ditinjau ulang. Mengingat gurulah yang berada paling depan dalam kegiatan pendidikan, maka guru harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan tugas dan profesi yang diembannya dan jangan pernah menganggap profesinya itu sebagai kegiatan untuk mencari uang saja atau untuk hidup survive dalam waktu jangka pendek. Dalam diri guru harus ditanamkan sikap tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang diembannya dan guru harus memiliki sikap-sikap sebagai manusia yang berfikir rasional, dinamis, kreatif, inovatif, beroientasi pada produktivitas, bekerja secara profesional, berwawasan luas, berpikir jauh ke depan, menghargai waktu dan seterusnya. Selain itu, diperlukan penanaman kepribadian yang tangguh dan pembudayaan akhlaqul karimah dalam setiap perbuatan kesehariannya agar menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya. Keempat, dalam rangka penyiapan profesionalisme guru yang mampu mengangkat terhadap dunia keilmuan Islam, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, utamanya pemimpin lembaga pendidikan sebagai pembuat kebijakan di sekolah. Dalam hal ini, pemimpin lembaga pendidikan Islam hendaknya memiliki pandangan ke depan (visioner) terhadap lembaga pendidikan yang dipimpinnya, sehingga ia akan termotivasi untuk selalu meningkatkan kinerja stafnya (termasuk guru) menuju kepada profesionalitas yang tinggi dalam rangka menyiapkan mutu lulusannya yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam. Di samping itu, untuk meningkatkan profesionalisme gurunya, pemimpin hendaknya memiliki strategi yang efektif dan efisien dalam mewujudkan guru yang profesional tersebut, sehingga visi, misi dan target pendidikan yang berlangsung dalam lembaga yang dipimpinnya dapat tercapai, apakah dengan memberikan reward bagi yang berhasil dan sukses atau memberikan pengarahan lebih lanjut atau bahkan punishment bagi mereka yang tidak mau meningkatkan keprofesionalannya dan lain sebagainya.

Disamping peran pemimpin dalam lembaga pendidikan, maka diperlukan pula political will atau kebijakan politis dari pemerintah dalam rangka menciptakan guru yang profesional, misalnya dengan memberikan penyuluhan, pelatihan, pemberian dana dalam upaya peningkatan profesionalitas guru agar supaya tercipta sosok guru yang profesional dan bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Tentunya dengan adanya kerja sama dari berbagai pihak tersebut, maka tantangan apapun yang berkaitan dengan upaya peningkatan profesionalisme guru dapat teratasi dengan mudah. 1. F. Kesimpulan

Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu yang tinjauannya meliputi : sumber-sumber ilmu, cara memperoleh ilmu, ruang lingkup ilmu dan validitas pengetahuan. Guru yang profesional harus guru memiliki dua kategori, yaitu capability dan loyality, artinya guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal kepada tugastugas keguruan yang tidak semata-mata di dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah di kelas Problematika profesionalisme guru disebabkan oleh kurangnya kesadaran guru akan jabatan dan tugas yang diembannya serta tanggung jawab keguruannya secara vertikal maupun horizontal dan munculnya sikap malas dan tidak disiplin waktu dalam bekerja yang mengarah pada lemahnya etos kerja. Untuk mengatasi problematika pendidikan yang berkaitan dengan profesionalisme guru diperlukan kerja sama dunia pendidikan dengan instansi-instansi lain, pengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di masyarakat ke dalam kegiatan belajar mengajar, penananaman tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang diembannya dan pembudayaan akhlaqul karimah dalam setiap perbuatan kesehariannya serta diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, utamanya pemimpin lembaga pendidikan dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan

DAFTAR PUSTAKA Abd. Ghafur, 1989, Desain Instruksional , Tiga Serangkai, Solo. Abudin Nata, 2001, Paradigma Pendidikan Islam : Kapita Selekta Pendidikan Islam, PT Gramedia, Jakarta. Ahmad Tafsir, 2001, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Rosda Karya, Bandung. Dede Rosyada, 2004, Paradigma Pendidikan Demoratis, Kencana, Jakarta. Jujun S. Suriasumantri, 1996, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Harold H. Titus, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, (penerjemah M. Rasyidi), Bulan Bintang, Jakarta. Moch. Agus Krisno Budianto, 2004, Hand Out Filsafat Ilmu, PPS Univ. Muhammadiyah Malang, Malang. Mochtar Buchori, 1994, Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan, IKIP Muhammadiyah Perss, Jakarta. Muhammad Ali, 1992, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru, Bandung. Muhaimin, 2002, Paradirgma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Murtadha Muthahhari, 2001, Mengenal Epistemologi, Lentera Basritama, Jakarta. Musa Asyari, 2001, Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam berfikir), LEFSI, Yogyakarta. M. U. Usman, 1999, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung. Nasution, 1999, Sosiologi Pendidikan, Sinar Baru, Bandung. Oemar Hamalik, 1991, Sistem dan Prosedur Pengembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Trigenda Karya, Bandung. P. Hardono Hadi, 1994, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta. Prasetya, 2002, Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung. Syaiful Sagala, 2000, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Alfabeta, Bandung.

Pendidikan Remaja dari Sudut Pandang Psikologi Islami

Oleh:

Alwi Alatas, S.S.

Keterangan: Artikel ini memenangkan Islamic Psychology Essay Competition (juara 1 untuk kategori umum) yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2006 lalu.

Pendahuluan Bila kita berbicara tentang pendidikan remaja menurut sudut pandang Psikologi Islam, kita harus bertanya terlebih dahulu seperti apa seharusnya Psikologi Islam memandang remaja dan manusia secara umum? Apakah Psikologi Islam seharusnya melihat manusia lebih sebagai suatu produk kebudayaan yang tunduk sepenuhnya pada perubahan-perubahan sosial? Atau ia seharusnya lebih melihat manusia dari aspek fitrah insaniah yang dengannya ia diciptakan? Apakah fase-fase perkembangan manusia, termasuk fase remaja, harus sepenuhnya tunduk pada kehendak kultural masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu? Ataukah ia seharusnya lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat natural dalam tahap-tahap pertumbuhannya? Adalah benar jika dikatakan bahwa manusia merupakan makhluk budaya dan tak mungkin dipisahkan dari perkembangan budayanya. Kendati demikian, manusia juga memiliki sifat-sifat natural (fitrah) yang tak boleh diabaikan, demi terjaganya kesehatan psikologis manusia itu sendiri. Psikologi Islam berkepentingan untuk mempelajari hal-hal yang fitrah ini untuk kemudian mengawalnya dalam fase-fase pertumbuhan manusia. Al-Quran mengingatkan, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Perubahan yang serius pada fitrah manusia tentu akan menimbulkan problemproblem serius juga di tingkat psikologis dan sosial. Tulisan berikut ini akan berusaha untuk membedah persoalan dan pendidikan remaja dari sudut pandang ini.

Remaja Modern dan Akar Permasalahannya Menggagas pendidikan remaja idealnya tetap mengacu pada kondisi remaja kontemporer, sehingga solusi yang ditawarkan tidak tercerabut dari realitas yang ada. Selain itu, kita juga mencari jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar seperti berikut: Siapa sesungguhnya kelompok usia yang disebut remaja itu? Apa karakteristiknya? Dan bagaimana situasi yang mereka hadapi pada hari ini, baik secara psikologis maupun sosial? Tidak ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa disebut remaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok usia peralihan antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20 tahun. Hilgard menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga aspek penting yang menandai masa remaja: 1) Terjadinya perubahan fisik (berkembangnya hormon dan organorgan seksual), 2) Adanya pencarian dan pemantapan identitas diri, dan 3) Adanya persiapan menghadapi tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang mandiri.

Fase usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahap perkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang masa topan badai, sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai masa turbulence (masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis dan sosial remaja. Sebenarnya, sejauh manakah gejolak yang dialami oleh remaja pada hari ini? Jika persoalan-persoalan remaja di dalam dan di luar negeri dihimpun sebanyak-banyaknya, tentu data-data itu akan mengejutkan orang yang mengamatinya. Sementara, secara kualitatif dan kuantitatif, persoalan-persoalan remaja tadi tampaknya terus meningkat dari hari ke hari. Remaja-remaja sekarang ini semakin akrab dengan persoalan seks, kekerasan, obat-obatan, dan problem psikologis. Perilaku seks remaja modern semakin bebas dan permisif. Riset Majalah Gatra beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22 % remaja menganggap wajar cium bibir, dan 1,3 % menganggap wajar hubungan senggama. Angka ini memang relatif kecil, tetapi penelitian-penelitian lain menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebagai contoh, 10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di Jawa Tengah mengaku sudah pernah melakukan hubungan intim. Malah penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan angka yang sudah cukup tinggi. Beberapa remaja di Semarang pernah tertangkap basah oleh aparat dan warga karena melakukan pesta seks dan mabuk-mabukan, sementara yang lainnya di Ujung Pandang meninggal dunia di mobil setelah melakukan hal yang sama. Banyak dari mereka melakukan itu semua bukan karena adanya desakan ekonomi, melainkan untuk mencari kepuasan semata. Perilaku seks remaja-remaja di pedesaan ternyata juga tidak terlalu jauh berbeda dengan perilaku rekan-rekan mereka di perkotaan. Contoh-contoh statistik serta kasus di atas tentu tidak sebesar dan seserius yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (lihat Lampiran 1), tapi ada indikasi bahwa kebebasan seksual semakin gencar masuk ke tanah air bersama dengan tersebarnya budaya global. Media massa dan elektronik yang banyak mengandung unsur seks dan kekerasan, begitu pula komik-komik porno, begitu mudah diakses oleh kalangan remaja dewasa ini. Kini, anak-anak kelas 4 hingga 6 SD sudah mengajukan pertanyaanpertanyaan yang sangat dewasa tentang seks, seperti Apakah sex swalayan itu? dan Bagaimana cara melakukan seks? Sementara, beberapa remaja puteri usia SMU merasa tak segan difoto payudara, atau malah tubuh telanjangnya, dengan handphone, semata-mata karena bangga dengan keindahan tubuhnya sendiri. Angka kekerasan serta konsumsi rokok dan obat-obatan terlarang juga cukup tinggi di kalangan remaja Indonesia. Data tentang tawuran di Jakarta pada paruh pertama tahun 1999, sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia, memperlihatkan bahwa rata-rata dua anak tewas setiap bulannya karena perkelahian antar pelajar. Pada tahun yang sama, sebuah penelitian tentang narkoba menunjukkan bahwa paling tidak 60-80% murid SMP di seantero Yogya pernah mencicipi narkotika,

sementara di wilayah-wilayah pemukiman setidaknya 10 anak baru gede (ABG) di tiap RT pernah merasakan narkotika. Angka ini juga cukup tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan narkotika dalam bentuk permen pernah beredar di Jakarta Timur dengan target konsumen anak-anak SD. Di beberapa negara asing, seperti di Amerika Serikat dan Hongkong, tingkat kerentanan psikologis anak-anak remaja sangat tinggi. Majalah News Week pernah mengangkat seriusnya persoalan remaja di Amerika pasca penembakan yang menimbulkan kematian lebih dari sepuluh anak di sekolah Columbine. Salah satu survey yang diangkat oleh majalah itu menyebutkan bahwa satu dari empat remaja di Amerika Serikat berpikiran bunuh diri. Survey American Academy of Pediatrics belum lama ini malah menunjukkan bahwa 60% pelajar menyatakan bahwa mereka pernah berpikiran untuk bunuh diri, dan 9% di antaranya pernah mencobanya paling tidak satu kali. Sementara itu di Hong Kong, satu dari tiga remajanya berpikiran untuk bunuh diri. Di Indonesia, persoalannya tentu tidak seserius itu. Namun, sejak pertengahan tahun 2003 hingga April 2005 setidaknya ada 30 kasus upaya bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di tanah air. Tidak semua anak yang berupaya bunuh diri itu mengalami kematian. Sebagian berhasil diselamatkan dan tetap bertahan hidup. Namun, hampir semuanya melakukan upaya bunuh diri untuk alasan-alasan yang remeh dan tak masuk akal, seperti rebutan mie instan dengan adik, rebutan remote untuk nonton AFI di TV, ngambek minta dibelikan buku gambar, atau karena kecewa tidak dibelikan TV. Fenomena ini tampaknya belum mengemuka pada dekade-dekade sebelumnya. Ini semua menggambarkan adanya kerentanan yang cukup serius pada kondisi psikologis remaja-remaja Indonesia, khususnya pada tahuntahun belakangan ini. Remaja modern telah menjadi suatu kelompok usia terpisah yang membedakan diri dari kelompok usia anak-anak dan dewasa. Gejolak psikologis yang mereka alami terekspresikan keluar dalam berbagai bentuk dekadensi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Mereka jadi sulit diatur dan sering bentrok dengan orang tua. Guru dan pihak sekolah pun kesulitan untuk mengontrol mereka. Remaja-remaja ini berkumpul dengan teman-teman seusia mereka dan menciptakan budaya teman sebaya (peer culture). Mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman seusia mereka yang memiliki karakteristik sama dengan mereka. Mereka juga kurang mau mendengar dari orang-orang dewasa yang semakin jarang berinteraksi dengan mereka dan tidak selalu memahami gejolak perasaan mereka. Kondisi mereka yang labil seringkali mendorong terjadinya tekanan teman sebaya (peer pressure) yang cenderung menjatuhkan mereka ke berbagai hal yang negatif, seperti rokok, narkotika, kekerasan, dan seks bebas. Orang-orang dewasa di sekitar mereka, termasuk orang tua dan guru, mungkin bingung bagaimana seharusnya menyikapi anak-anak remaja. Mau disikapi sebagai orang dewasa, mereka ternyata belum terlalu matang dan masih banyak membutuhkan bimbingan. Mau disikapi sebagai anak kecil, lebih tidak mungkin lagi mengingat perkembangan fisik mereka yang mulai menunjukkan ciri-ciri orang dewasa.

Akibatnya, kelompok usia remaja menjadi semakin terasing dari dunia orang dewasa yang idealnya bisa membimbing mereka menuju kematangan dan kemandirian pribadi. Bagaimanakah fenomena-fenomena ini seharusnya dijelaskan? Apakah semua itu merupakan hal yang normal terjadi pada remaja? Apakah berbagai problematika psikologis dan sosial remaja modern juga dialami oleh rekan-rekan seusia mereka di masa lalu? Ataukah ini hanya menjadi ciri khas dari remajaremaja modern? Kita akan mencoba mengurai persoalan-persoalan ini satu demi satu, sebelum menggagas solusi pendidikan terbaik bagi anak-anak remaja. Ketika memasuki usia remaja (puber), setiap anak mengalami perubahan yang sangat signifikan pada fisiknya, terutama yang terkait dengan organ-organ seksualnya. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan kecanggungan pada diri remaja karena ia harus menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan tadi. Penyesuaian ini tidak selalu bisa mereka lewati dengan baik, lebih-lebih bila tidak ada bimbingan dan dukungan dari orang tua. Bersamaan dengan terjadinya perubahan fisik menuju kedewasaan, perubahan yang bersifat psikologis juga dialami oleh remaja. Pada diri mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri. Jika pada waktu kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir tentang jati diri mereka sendiri, maka pada masa remaja pertanyaan-pertanyaan seperti siapa diri saya? dan apa tujuan hidup saya? menjadi persoalan yang sangat penting. Ini sebetulnya pertanyaan yang wajar bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa, karena pada masa ini mereka sudah harus mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persoalannya menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik dan terus berlarut-larut menggelayuti pikiran mereka. Berkenaan dengan persoalan jati diri ini, Jane Kroger mengatakan bahwa Remaja agaknya merupakan suatu saat ketika seseorang dihadapkan dengan persoalan definisi diri. Sementara Kathleen White dan Joseph Speisman dalam buku mereka, Remaja, menjelaskan bahwa remaja cenderung, bergelut dengan isu mengenai siapa dirinya dan ke mana tujuannya. Begitu seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga barangkali hanyalah pada masa remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri. Sayangnya, hanya segelintir remaja yang mungkin benar-benar lulus sebagai ahli filsafat moral, sementara sebagian besar lainnya justru semakin bingung dan tak peduli dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Banyak yang gagal dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mendasar tadi. Kegagalan dalam definisi diri membuat remaja mengalami kebingungan peran (role confusion) saat mencari model peran yang akan diikuti. Model peran orang tua yang sebelumnya mereka idealkan semasa kecil kini mulai ingin mereka jauhi, terutama jika orang tua bermasalah. Remaja mulai melirik model-model peran dan identitas yang ada di

luar keluarganya. Namun, mereka seringkali mengalami kebingungan karena ada begitu banyak pilihan peran dan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama lain, sementara mereka tidak memperoleh bimbingan yang mantap bagaimana seharusnya menentukan pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Semua itu membawa remaja kepada kondisi yang sangat labil, rentan, dan mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Pada gilirannya, tidak sedikit remaja yang akhirnya terjerumus dalam berbagai persoalan serius sebagaimana yang telah disinggung pada bagian awal dari tulisan ini. Situasi ini menjadi semakin buruk, karena kaum kapitalis, khususnya para pengusaha bisnis hiburan, berusaha mengambil keuntungan dari kondisi remaja yang labil. Pencarian jati diri remaja dilihat oleh mereka sebagai permintaan (demand) dan peluang bisnis. Mereka pun kemudian memberikan penawaran (supply) berupa artis dan selebritis yang menampilkan identitas semu (pseudo-identity). Remaja tak sekedar mengapresiasi para selebritis karena film atau lagu mereka yang menarik, tapi juga karena para selebritis itu menampilkan model-model identitas yang bisa mereka tiru dan ikuti. Hanya saja, peniruan yang mereka lakukan ini tidak menyelesaikan problem dan gejolak pada diri mereka, malah semakin melipatgandakannya. Semua ini berputar dalam suatu siklus. Kaum kapitalis menciptakan industri hiburan yang menghadirkan artis dan selebritis. Para selebritis menampilkan identitas semu yang diapresiasi oleh anak-anak remaja sebagai upaya pemenuhan atas pencarian jati diri mereka. Kaum remaja, atau orang tua mereka, mengeluarkan uang untuk mengkonsumsi hiburan dan mengapresiasi artis-artis, dan uang itu masuk ke kantong kapitalis. Siklus itu terus berputar. Dan sebagai dampaknya, kaum kapitalis mengalami akumulasi modal, sementara remaja mengalami akumulasi krisis (Lihat bagan 1). Sejauh ini, data-data memperlihatkan bahwa masa usia remaja identik dengan krisis, sifat labil, serta terjadinya gejolak psikologis dan sosial yang bersifat destruktif. Dengan kata lain, kelabilan dan gejolak (turbulence) lekat dengan fase usia remaja yang merupakan peralihan antara anak-anak dan dewasa. Pendidikan remaja seharusnya mampu memberikan solusi terbaik dalam meredam keadaan labil dan penuh gejolak tadi, serta memberikan pemecahan bagi mereka untuk keluar dari lingkaran krisis yang mereka alami. Oleh karenanya, dalam rangka merumuskan solusi tadi, Psikologi Islam perlu mengevaluasi kembali posisi remaja sebagai suatu kelompok usia berikut ciri-cirinya, dikaitkan dengan sifat-sifat manusiawi dan alamiah yang seharusnya ada pada diri manusia di setiap fase usianya. Kajian yang kritis atas fase usia remaja memperlihatkan bahwa kelompok usia ini berikut ciri-cirinya, sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat modern, tidaklah bersifat natural. Artinya, pola pertumbuhan manusia yang alamiah sebenarnya tidak membuka peluang bagi terbentuknya kelompok usia remaja seperti yang kita pahami sekarang. Adanya fase usia remaja pada jaman modern ini sebetulnya bersumber dari penundaan kedewasaan yang dipaksakan oleh masyarakat.

Bekenaan dengan ini Tanner mengajukan pertanyaan, Apakah ketegangan dan kecemasan pada masa akil baligh itu ditimbulkan oleh alam atau dipaksakan oleh masyarakat? Ia kemudian menjawab sendiri pertanyaan tadi, Jawabannya tampaknya adalah bahwa ketegangan dan kecemasan tadi dipaksakan oleh masyarakat dalam negara yang sudah maju, sebab jadwal waktu masyarakat tampaknya tidaklah sinkron dengan jadwal waktu pertumbuhan alamiah manusia. Jadi, tampak jelas di sini bahwa gejolak masa remaja terjadi karena masyarakat pada negara yang sudah maju telah mengubah jadwal waktu pertumbuhan manusia sesuai dengan kepentingannya, sehingga bertentangan dengan jadwal alamiah yang dimiliki remaja tadi. Dengan kata lain, sifat labil serta gejolak masa remaja merupakan suatu produk kultural, dan tidak bersumber pada sifat-sifat natural manusia. Secara alamiah setiap anak seharusnya sudah menjadi dewasa pada saat baligh, atau tak lama setelah baligh, tapi masyarakat modern mempunyai jadwal yang berbeda mengenai kapan seharusnya seorang anak menjadi dewasa. Masyarakat kemudian memaksakan pemunduran jadwal kedewasaan anak sedemikian rupa karena mereka harus melewati masa pendidikan formal yang panjang serta dikarenakan beberapa faktor lainnya sementara pada saat yang sama jadwal alamiahnya pun tetap berjalan sebagaimana biasa. Jadi, bukannya menyesuaikan diri dengan jadwal alamiah, masyarakat modern memilih untuk memaksakan jadwal baru yang mereka anggap baik. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu gejolak pada remaja modern sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh nantinya. Tanner melanjutkan penjelasannya, Pada masyarakat primitif, tahun-tahun masa kanak-kanak memberikan segala waktu belajar yang diperlukan orang agar dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaannya. Akibatnya, kedewasaan seksual dan kedewasaan sosial dicapai hampir bersamaan. Selang waktu antaranya paling lama hanyalah dua atau tiga tahun saja. Sejarah membuktikan bahwa pada masa-masa yang lalu, remaja seperti yang kita pahami sekarang sama sekali tidak ada. Sarlito Wirawan Sarwono, dalam bukunya Psikologi Remaja, juga menyatakan hal senada. Konsep remaja tidak dikenal pada masa-masa yang lalu. Beliau mengatakan,

Walaupun konsep tentang anak sudah dikenal sejak abad ke-13, tetapi konsep tentang remaja sendiri baru dikenal secara meluas dan mendalam pada awal abad ke-20 ini saja dan berkembang sesuai dengan kondisi kebudayaan misalnya karena adanya pendidikan formal yang berkepanjangan, karena adanya kehidupan kota besar, terbentuknya keluarga-keluarga batih sebagai pengganti keluarga-keluarga besar .

Jadi, perkembangan kebudayaan telah menunda kedewasaan anak dan menciptakan realitas kelompok usia yang baru, yaitu remaja, yang merupakan peralihan antara kelompok usia anak-anak dan dewasa. Pengamatan atas realitas baru ini kemudian melahirkan konsep tentang remaja sebagaimana yang dipahami masyarakat sekarang ini. Hanya saja, realitas baru yang dibentuk oleh kebudayaan modern ini rupanya juga ikut menyebabkan munculnya berbagai persoalan serta krisis berkepanjangan pada anak usia belasan tahun. Seperti yang dikatakan Ahmad Faqih, kemajuan sains modern telah memberikan kontribusi terhadap munculnya diskrepansi dan dehumanisasi. Pada masa lalu serta pada masyarakat primitif yang belum bersentuhan dengan kebudayaan modern, anak-anak memperoleh status kedewasaan mereka tidak lama setelah terjadinya puber. Anak-anak ini, dengan cara yang berbeda-beda, telah dipersiapkan secara psikologis dan sosial untuk memahami dan menerima kedewasaan mereka pada awal atau pertengahan usia belasan tahun mereka. Bahkan, masyarakat-masyarakat primitif pada umumnya memiliki upacara tersendiri untuk melantik anak-anak mereka sebagai orang dewasa. Dengan demikian, anak-anak itu mengetahui dan mengalami momen kedewasaan sosial mereka secara tegas, setegas momen kedewasaan biologis yang mereka rasakan di masa puber. Yang terpenting dari itu semua, remaja-remaja pada masyarakat primitif tidak mengalami gejolak serta krisis seperti yang dialami remaja-remaja modern. Ada beberapa bukti dari masyarakat primitif yang bisa dihadirkan di sini. Penelitian antropologis oleh Margaret Mead di kepulauan Samoa dan Papua memperlihatkan bahwa anak laki-laki menjadi pria dewasa dan anak wanita menjadi wanita dewasa tanpa mengalami kecemasan dan kesukaran emosional yang di Amerika dianggap tak terhindarkan. Orang-orang Indian di benua Amerika serta suku-suku primitif di Afrika Selatan juga mempunyai upacara khusus untuk melantik anak-anak mereka menjadi orang dewasa. Bahkan orang-orang Yahudi modern masih memelihara upacara Bar Mitzvah di sinagogsinagog untuk mengangkat secara resmi anak-anak lelaki mereka yang berusia 13 tahun (12 tahun untuk anak-anak perempuan) menjadi orang dewasa. Tidak terjadinya gejolak emosi yang menonjol pada masyarakat primitif di atas adalah disebabkan oleh adanya pemberian status sosial yang jelas di usia dini di masa-masa awal pubertas mereka di samping adanya persiapan psikologis anak pada masa-masa sebelumnya. Sarlito Wirawan Sarwono juga menegaskan dalam bukunya bahwa remaja yang mendapat status sosial yang jelas di usia dini biasanya tidak mengalami gejolak yang menonjol. Pengalaman menunjukkan bahwa remaja yang telah mendapat status sosialnya yang jelas dalam usia dini, tidak menampakkan gejolak emosi yang terlalu menonjol seperti rekan-rekannya yang lain yang harus menjalani masa transisi dalam tempo yang cukup panjang, tulisnya. Berdasarkan semua pemaparan dan fakta-fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelabilan serta gejolak masa remaja yang berlebihan adalah realitas masyarakat modern yang merupakan dampak dari perubahan budaya. Gejolak dan krisis ini terjadi karena masyarakat serta kebudayaan pada hari ini telah

memundurkan jadwal kedewasaan anak di luar dari jadwal alamiah yang dimilikinya. Pada saat puber (sekitar umur 12 tahun), anak mengalami kedewasaan biologis yang ditandai oleh mimpi basah (wet dreaming) dan berkembangnya organ-organ seksual. Dengan adanya kedewasaan biologis ini, remaja memiliki kemampuan biologis yang sama dengan orang-orang dewasa lainnya; ia dapat menikah dan mempunyai anak. Bersamaan dengan masuknya seseorang ke fase kedewasaan biologis, lewat pubertas, hasrat serta kebutuhan untuk menjadi dewasa secara psikologis dan sosial juga muncul. Dipisahkan dan ditundanya kedua jenis kedewasaan yang terakhir ini, yaitu kedewasaan psikologis dan sosial, dari kedewasaan biologis telah menyebabkan kebingungan, kegamangan, serta pada gilirannya gejolak dan krisis pada diri remaja (lihat Bagan 2). Gejolak tersebut terjadi karena pemisahan serta penundaan tadi bertentangan dengan proses alamiah yang ada pada diri seseorang. Oleh karena itu, tugas utama Psikologi Islam adalah mencari jalan agar pertumbuhan remaja bisa kembali berlangsung secara sehat berdasarkan proses alamiahnya, tanpa harus meninggalkan fase kebudayaan modern dan kembali ke kebudayaan primitif. Dengan kata lain, Psikologi Islam perlu menarik dan merevitalisasi nilai-nilai lama yang lebih alamiah, positif, dan Islami untuk memberi solusi yang terbaik bagi pertumbuhan remaja di dunia modern.

Aspek-Aspek Pendidikan Remaja Berbagai persoalan remaja yang muncul terjadi karena ketegangan antara apa-apa yang natural (fitrah) pada diri manusia dengan paksaan budaya. Ia juga terjadi karena sistem pendidikan yang ada terlalu menekankan pada kepentingan negara dan pertumbuhan ekonomi, bukan demi kepentingan kesehatan pertumbuhan manusia itu sendiri. Perlu disadari bahwa tugas Psikologi Islam adalah agar manusia selalu lurus dengan fithrahnya. Terkait dengan pendidikan, Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi untuk memunculkan manusia paripurna. Para ahli pendidikan Muslim juga mempunyai pendapat yang senada. Dr. Ali Asraf menyatakan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya. Sementara Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya kesempurnaan manusia yang bisa mendekatkannya kepada Allah dan bisa membawa pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Upaya pembentukan manusia yang utuh dan paripurna (al-insan al-kamil) tidak mungkin dapat terwujud selama masih adanya kesenjangan yang serius dalam aspek-

aspek kedewasaan remaja. Kesenjangan ini bertentangan dengan pola pertumbuhan natural manusia dan karenanya menimbulkan ketidaksehatan jiwa pada diri remaja. Ketidaksehatan jiwa ini pada gilirannya menyebabkan terjadinya ketidaksehatan sosial pada komunitas remaja dan lingkungannya. Prof. El-Quussy menyatakan bahwa pendidikan yang tidak menuju ke arah menciptakan kesehatan jiwa dianggap sebagai suatu perbuatan yang sia-sia, yang tidak ada gunanya.
Oleh karenanya, salah satu tugas penting Psikologi Islam sekarang ini dalam pendidikan remaja adalah menghapuskan kesenjangan pada aspek kedewasaan remaja. Jadwal kedewasaan biologis tidak mungkin dimundurkan waktunya, karena terjadi secara alamiah. Oleh sebab itu, jadwal kedewasaan psikologis dan sosial-lah yang perlu kembali dimajukan waktunya agar berdekatan dengan jadwal kedewasaan biologis, sebagaimana yang selama ini dialami oleh remaja-remaja pada masyarakat primitif dan pada masyarakat di masa lalu. Dimajukannya jadwal waktu kedewasaan psikologis dan sosial lebih bersifat natural dan lebih menjamin kesehatan jiwa dalam fase pertumbuhan remaja.
Kedewasaan sosial anak remaja biasanya dicapai dengan adanya penerimaan sosial dari orang tua dan lingkungannya terhadap remaja sebagai orang yang sudah dewasa dan sejajar dengan orang-orang dewasa lainnya. Selain itu, kedewasaan sosial juga terwujud dengan adanya interaksi antara anak dengan orang-orang dewasa di sekitarnya secara sederajat dan dewasa. Dengan kata lain, anak remaja seharusnya disikapi sebagai orang dewasa dan dilibatkan dalam komunitas serta aktivitas positif orang-orang dewasa. Sekiranya orang tua menyikapi dan melibatkan anak-anaknya secara dewasa, bahkan sebelum anak-anak itu menginjak masa baligh/ puber, maka anak-anak itu akan memiliki karakter dewasa yang sehat ketika ia memasuki masa remaja. Dalam situasi seperti itu, kecil kemungkinan anak akan mengalami gejolak yang serius dan berkepanjangan pada fase usia remaja. Hal demikian terjadi karena ia telah mendapatkan status sosial (status kedewasaan) yang jelas sejak dini. Adapun kedewasaan psikologis idealnya dibentuk sejak masa pra-pubertas lewat pendidikan yang bisa menumbuhkan karakter dan perilaku dewasa pada anak. Oleh karena itu, perlu diteliti aspek-aspek apa saja yang membedakan antara anak-anak dan orang dewasa. Kami sendiri berpandangan aspek-aspek dasar yang membedakan kedua kelompok usia meliputi empat hal, yaitu identitas diri, tujuan hidup (serta visi), pertimbangan dalam memilih, serta tanggung jawab. Pendidikan remaja perlu memperhatikan tumbuh sehatnya keempat aspek ini dan memulainya sejak anak belum lagi menginjak usia remaja. Berikut ini akan dibahas keempat aspek tersebut satu demi satu.

1. Identitas diri. Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang identitas atau jati dirinya, karena mereka belum memiliki kemandirian, termasuk dalam persoalan identitas. Anak-anak mengidentifikasi dirinya dengan orang tuanya. Mungkin bisa dianggap bahwa identitas anak-anak pra-pubertas sama dengan identitas orang tuanya. Namun, ketika anak memasuki fase kedewasaan biologis (baligh/ puber), ia mulai merasakan adanya tuntutan untuk mandiri, termasuk dalam persoalan identitas. Apa yang sebelumnya belum terlintas di dalam pikiran, kini mulai menjadi hal yang serius. Pertanyaan seperti siapa saya sebenarnya? dan apa tujuan hidup saya? mulai menuntut jawaban-jawaban yang mandiri. Pada titik ini, idealnya remaja sudah siap untuk menjadi mandiri dan dewasa. Seorang yang memiliki karakter dewasa tidak merasa bingung dengan identitas dirinya. Ia mengetahui dengan baik siapa dirinya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Identitas pada diri orang dewasa tadi menjadi kokoh seiring dengan terbentuknya nilai-nilai (values) serta prinsip-prinsip yang mendukung. Dalam kaitannya dengan identitas, seseorang biasanya akan mengaitkan dirinya dengan salah satu dari hal berikut: agama atau ideologi, suku atau bangsa, serta profesi. Seorang santri misalnya, ia akan cenderung menyatakan Saya adalah seorang Muslim saat ditanya tentang siapa dirinya. Adapun oang yang hidup dalam komunitas kesukuan yang kental akan lebih mengaitkan identitas dirinya dengan sukunya. Seseorang bisa saja memiliki lebih dari satu identitas pada saat yang bersamaan misalnya sebagai Muslim, sebagai orang Jawa, dan sebagai pengusaha sekaligus tetapi biasanya ada satu identitas yang lebih bersifat dominan dan menjadi identitas utama. Suatu identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values) serta prinsip yang mendukungnya, sebab kalau tidak demikian, maka identitas tersebut hanya akan bersifat artifisial dan tidak konsisten. Sebagai contoh, misalnya seorang menyatakan bahwa identitas utamanya adalah Muslim, tetapi ia tidak memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam serta banyak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Oleh karena itu, membangun identitas diri pada anak harus dilakukan dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang menopang tegaknya identitas tersebut. Anak-anak perlu dibangun identitasnya sejak kecil, baik di rumah maupun di sekolah, sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka sudah memiliki identitas diri yang kokoh dan tak lagi mudah terombang-ambing dalam hidup. Psikologi Islam tentu merekomendasikan agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap orang. Dan karena itu, nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan dan ditanamkan secara bertahap pada anak. Jika proses penenaman dan pewarisan nilai ini berjalan dengan baik, maka anak tidak akan lagi mengalami krisis identitas saat memasuki usia belasan tahun.

2. Tujuan dan Visi dalam Hidup Adanya tujuan dan visi dalam hidup juga sangat membantu terbentuknya identitas diri dan kedewasaan pada diri seseorang. Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang tujuan dan visi hidup. Mereka masih bergantung pada tujuan dan rencana-rencana orang tuanya. Orang yang memiliki karakter dewasa mengetahui dengan baik apa-apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya, walaupun tidak semua orang yang berusia dewasa dapat dipastikan memiliki ciri-ciri ini. Tujuan dan visi juga terkait erat dengan identitas diri. Jika seseorang menjadikan agama sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu akan merujuk pada nilai-nilai agama. Jika ia menjadikan profesi dan pekerjaan sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu merujuk pada profesi dan pekerjaannya. Dalam konteks pendidikan kedewasaan remaja, idealnya seseorang telah diorientasikan untuk berpikir tentang tujuan dan cita-citanya sejak ia masih anak-anak dan belum memasuki masa puber. Bila tujuan hidup serta visi yang tinggi ditanamkan kepada anak secara terus menerus, maka pada saat anak sudah mulai harus mandiri, yaitu pada masa baligh, ia akan memiliki arah hidup yang jelas. Ia tak lagi merasa bingung dengan apa yang sesungguhnya menjadi keinginannya, sebagaimana yang seringkali dialami oleh remaja-remaja modern. Pihak orang tua maupun guru di sekolah tidak boleh meremehkan cita-cita seorang anak yang sangat tinggi dan tampak mustahil. Mereka justru harus memandangnya secara positif dan mendorongnya, sambil mengarahkan anak pada langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-cita tadi tentunya sesuai dengan kapasitas berpikir dan bertindak mereka. Dengan demikian, sejak awal anak-anak dan remaja akan disibukkan dengan tujuan dan cita-cita mereka, sehingga tak lagi memiliki banyak kesempatan untuk membuang-buang waktu mereka tanpa adanya tujuan yang jelas.

3. Pertimbangan dalam Memilih Al-Quran mengajarkan bahwa ada dua dasar pertimbangan dalam memilih, yaitu berdasarkan sukatak suka atau berdasarkan baik-buruk. Al-Quran, serta akal sehat kita, mengajarkan bahwa pertimbangan baik-buruk lebih baik daripada pertimbangan berdasarkan suka-tak suka. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah [2]: 216). Anak-anak cenderung memilih sesuatu berdasarkan pertimbangan suka-tak suka. Bila ia menyukai sesuatu, maka ia akan menginginkan dan berusaha untuk mendapatkannya. Bila ia tak menyukainya, maka ia akan berusaha menolaknya walaupun sesuatu itu mungkin baik untuknya. Orang yang memiliki karakter dewasa memilih dengan dasar pertimbangan yang berbeda. Mereka menimbang sesuatu

berdasarkan baik buruknya. Walaupun ia cenderung pada sesuatu, ia akan mengindarinya sekiranya itu buruk bagi dirinya. Tentu saja ini merupakan sebuah gambaran yang ideal. Pada realitanya, banyak juga dijumpai orang-orang yang berusia dewasa tetapi melakukan hal-hal yang buruk hanya karena mereka menyukai hal-hal tersebut. Pendidikan yang baik seharusnya mampu mengarahkan anak setahap demi setahap untuk mengubah dasar pertimbangannya dari suka-tak suka menjadi baik-buruk. Dalam hal ini, komunikasi dengan anak memainkan peranan yang sangat vital. Kepada anak-anak perlu dijelaskan alasan baik-buruknya mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan atau mengapa sesuatu harus dilakukan. Dengan demikian mereka memahami alasan baik-buruk di balik boleh atau tidaknya suatu pilihan. Kepada mereka juga perlu dijelaskan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ada. Biarkan anak melihat pilihan yang mereka miliki, yang baik serta yang buruk, berikut resiko yang ada di baliknya. Ajak anak untuk menetapkan sendiri pilihannya, bukannya memaksakan pilihan-pilihan yang kita buat, dengan demikian ia akan menjadi lebih bertanggung jawab dengan pilihan-pilihan yang diambilnya itu. Semua proses ini akan membantu kematangan berpikir anak dan menjadikannya lebih bertanggung jawab. Setiap kali ia hendak menentukan pilihan, ia sudah terlatih dengan kebiasaan berpikir yang berorientasi pada pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, ketika ia menginjak usia belasan tahun, ia sudah bisa mengambil keputusan-keputusan yang positif secara mandiri. Ia tidak akan mudah terombang-ambing dengan ajakan-ajakan orang lain yang tidak menguntungkan bagi kepentingan jangka panjangnya dan juga tidak akan menentukan pilihan-pilihan secara asal dan tak bertanggung jawab.

4. Tanggung Jawab Setiap orang melewati beberapa fase tanggung jawab dalam perjalanan hidupnya. Ketika masih anakanak dan belum memiliki kemampuan untuk mengemban tanggung jawab, maka orang tuanyalah yang memikul tanggung jawab untuknya, sampai ia mampu memikulnya sendiri. Fase ini bisa disebut sebagai fase pra-tanggung jawab. Ketika anak beranjak dewasa, kemampuannya dalam memikul tanggung jawab juga meningkat. Pada saat itu, sebagian dari tanggung jawab, yaitu tanggung jawab yang sudah mulai bisa dipikulnya, bisa didelegasikan oleh orang tua kepada anak. Fase ini bisa disebut fase tanggung jawab parsial. Ketika seseorang sudah hidup mandiri sepenuhnya, dalam arti ia sudah menikah dan bermatapencaharian, maka ia memasuki fase tanggung jawab penuh. Tanggung jawab sudah didelegasikan kepadanya secara penuh. Akhirnya, seseorang bisa memperluas tanggung jawabnya sesuai dengan kapasitas dirinya. Ia bisa menjadi pemimpin di lingkungan keluarga besarnya, di lingkungan

masyarakatnya, bahkan di tingkat nasional atau internasional. Fase ini bisa disebut sebagai fase perluasan tanggung jawab (lihat Bagan 3). Setiap orang tentu tidak melompat dari fase tanggung jawab yang satu ke fase berikutnya secara mendadak. Karenanya, sebelum memasuki fase yang lebih tinggi, ia perlu dipersiapkan dengan latihanlatihan tanggung jawab tertentu. Anak perlu ditumbuhkan kepekaan tanggung jawabnya (sense of responsibility), bukan dibebani secara terus menerus dengan bentuk-bentuk tanggung jawab (forms of responsibility). Sekiranya pada diri anak terbangun rasa memiliki tanggung jawab serta rasa bangga dalam mengemban tanggung jawab, maka ia akan lebih mudah menerima berbagai bentuk tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, anak perlu diberi latihan-latihan tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya, serta diarahkan untuk merasa senang dengan pemenuhan tanggung jawab itu. Anak-anak yang tumbuh tanpa pembiasaan tanggung jawab semacam ini akan cenderung merasa berat dan memberontak pada saat ia harus menerima apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memiliki kapasitas untuk mengemban tanggung jawab tertentu, tetapi malah bersikap tidak dewasa dengan membenci dan menolak tanggung jawab itu atas dirinya. Semua itu terjadi karena ia tidak pernah dididik dan dipersiapkan untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Maka dari itu, pendidikan remaja dalam konteks Psikologi Islam perlu membangun kedewasaan anak dengan cara menumbuhkan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) serta memberikan latihan-latihan tanggung jawab sejak dini. Agar anak tidak terbebani dengan proses percepatan kedewasaan psikologis dan sosial, bentuk-bentuk tanggung jawab yang telah diberikan secara berlebihan pada kebanyakan anak modern juga perlu dikurangi. Anak-anak perlu diberi kesempatan yang cukup untuk bermain secara sehat hingga ia berusia tujuh tahun. Dengan demikian, proses pertumbuhan mereka akan berlangsung dengan baik dan sehat, sehingga terjadinya gejolak yang berlebihan di masa remaja akan dapat dihindari.

Kesimpulan Sebagaimana telah dijelaskan, berbagai problem serta gejolak masa remaja yang terjadi pada hari ini muncul karena adanya kesenjangan yang serius antara kedewasaan biologis dan kedewasaan psikologis serta sosial pada diri anak. Kesenjangan ini tidak terjadi pada masyarakat primitif serta pada masyarakat masa lalu. Ia terjadi pada remaja-remaja modern karena masyarakat telah memundurkan jadwal kedewasaan psikologis dan sosial dari jadwal kedewasaan biologis anak. Semua ini bertentangan dengan proses alamiah dari pertumbuhan tiap manusia.

Tugas pendidikan dan Psikologi Islam adalah memastikan bahwa pertumbuhan manusia berjalan sesuai dengan fitrahnya serta memastikan terbentuknya manusia yang utuh dan paripurna (al-insan alkamil). Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali jika kesenjangan yang telah disebutkan tadi bisa dihapuskan. Oleh karena itu, proses kedewasaan psikologis dan sosial anak perlu dibentuk sejak dini, sehingga ketika anak memasuki tahap kedewasaan biologis, ia sudah siap untuk memiliki dua aspek kedewasaan lainnya. Kedewasaan sosial bisa diraih anak dengan adanya penerimaan sosial dari lingkungannya terhadap anak sebagai orang dewasa yang setara dengan orang dewasa lainnya. Jika anak disikapi dan diperlakukan secara dewasa, maka ia akan lebih cepat menjadi dewasa. Adapun kedewasaan psikologis bisa diraih anak lewat proses pendidikan dan pelatihan yang memperhatikan empat aspek, yaitu identitas diri, tujuan hidup, pertimbangan dalam memilih, serta tanggung jawab. Pembentukan kedewasaan psikologis dan sosial perlu menjadi perhatian serius dalam proses pendidikan anak menuju fase usia belasan tahun. Baik orang tua maupun guru di sekolah perlu memperhatikan ketimpangan yang selama ini terjadi pada remaja dan merealisasikan solusinya dengan memperhatikan hal-hal yang telah diterangkan di atas. Dengan demikian, pada saat memasuki masa baligh, anak sudah siap untuk memasuki fase dewasa awal dalam tahap pertumbuhannya, dan bukannya menjadi remaja yang penuh gejolak (turbulence) seperti yang kita saksikan pada hari ini. Akhirnya, semua hal di atas bisa diimplementasikan dengan baik tanpa perlu membuat kebudayaan surut kembali ke belakang ke masa-masa primitif. Dengan begitu kesehatan pertumbuhan manusia serta kemajuan masyarakat bisa berjalan beriringan, tanpa perlu salah satunya mengorbankan pihak yang lain.

Daftar Pustaka Buku Alatas, Alwi. 2004. Remaja Gaul Nggak Mesti Ngawur. Jakarta: Hikmah. Alatas, Alwi. 2005. (Untuk) 13+, Remaja Juga Bisa Bahagia, Sukses, Mandiri. Jakarta: Pena. Ashraf, Dr. Ali. 1993. Horison Baru Pendidikan Islam. Pustaka Firdaus. Daud, Wan Mohd Noor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Bandung: Mizan. Hilgard, Ernest R., Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson. 1979. Introduction to Psychology. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Kroger, Jane. 1989. Identity in Adolescence: The Balance between Self and Other. London & New York, Routledge. Mandela, Nelson. 1995. Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan: Otobiografi Nelson Mandela. Jakarta: Binarupa Aksara. Al-Quran al-Karim. El-Quussy, Prof. Dr. Abdul Aziz. 1975. Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/ Mental, jilid. II. Jakarta: Bulan Bintang. Sarwono, Dr. Sarlito Wirawan. 1981. Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja: Sebuah Penelitian Terhadap Remaja Jakarta. Jakarta: CV Rajawali. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Remaja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Sulaiman, Prof. Fathiyah Hasan. Konsep Pendidikan Al-Ghazali. P3M.

Tanner, James M. dan Gordon Rettray Taylor. 1975. Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan,.Jakarta: Tira Pustaka. Thalib, Drs. M. 1995. Memahami 20 Sifat Fitrah Anak. Bandung: Irsyad Baitus Salam. White, Kathleen M. dan Joseph C. Speisman. 1989. Remaja. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.

Artikel Ahmad Faqih HN, Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam, dalam http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm.

Koran dan Majalah Gatra. 3 Januari 1998. Gatra. 11 April 1998. Gatra. 24 Februari 2000. Kompas. 1 April 2005. Media Indonesia. 8 September 1999. News Week. 3 Mei 1999. Newsweek. 10 Mei 1999. Time. 15 April 2002.

Sumber Lain Microsoft Encarta Encyclopedia Deluxe 2002 (CD).

Lampiran 1

Perilaku Seksual Remaja Pada Beberapa Negara (dalam %) (Nuss & Luckey, 1969) Tingkah Laku L Pelukan dan pegangan tangan Berciuman Meraba Payudara Meraba alat kelamin Hubungan seks 98,6 96,0 89,9 81,1 68,2 AS P 97,5 96,5 78,3 61,2 43,2 Kanada L 98,9 97,7 93,2 85,2 56,8 P 96,5 91,8 78,8 64,7 35,3 Inggris L 93,5 91,9 87,0 84,6 74,8 P 91,9 93,0 82,6 70,9 62,8 Jerman L 93,8 91,1 80,4 70,5 54,5 P 94,8 90,6 76,0 63,5 59,4 Norwegia L 93,7 96,2 83,5 83,5 66,7 P 89,3 89,3 64,3 53,6 53,6

Sumber: Sarwono (2001: 160)

Al-Quran surat ar-Rum [30] : 30. Ahmad Faqih mengutip Quraish Shihab yang mengartikan fitrah sebagai unsur, sistem dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya sehingga menjadi bawaannya. Lihat Ahmad Faqih HN, Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam, http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm.

Batasan usia ini sangat relatif. Pubertas atau baligh mungkin bisa dianggap sebagai batas awal usia remaja. Adapun batas akhirnya bisa ditinjau dari beberapa segi. Secara psikologis, seorang remaja dikatakan sudah dewasa bila ia memiliki tingkat kematangan yang sama dengan orang dewasa. Sementara secara hukum, batas usia kedewasaan seseorang berbeda-beda menurut hukum yang berlaku di sebuah negara, biasanya antara 17 dan 21 tahun.
Lihat Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., hlm. 88.

Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hlm. 23. Gatra, 3 Januari 1998, hlm. 25. Penelitian di Jakarta pada tahun 1981 yang berkerja sama dengan Gerakan Remaja untuk Kependudukan (GRK) dan radio Prambors malah memperlihatkan bahwa 15,3 % dari responden pernah bersenggama, entah dengan pacar, tante girang, atau pelacur. Lihat Dr. Sarlito Wirawan

Sarwono, 1981, Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja: Sebuah Penelitian Terhadap Remaja Jakarta, Jakarta: CV Rajawali, hlm. 29. Gatra, 3 Januari 1998, hlm. 22-24. Data-data dihimpun oleh Yayasan Kita dan Buah Hati. Narsis atau PD, nih? dalam Kompas, 1 April 2005, hlm. 49. Gatra, 24 Februari 2000, hlm. 31. Media Indonesia, 8 September 1999. Untuk kasus penembakan di SMU Columbine yang menghentak publik Amerika Serikat lihat News Week edisi 3 Mei 1999. Untuk kasus-kasus lainnya yang sejenis bisa dilihat pada Gatra, 11 April 1998. Newsweek, 10 Mei 1999, hlm 44. http://www.aap.org/advocacy/childhealthmonth/prevteensuicide.htm. Time, 15 April 2002. Data dihimpun oleh Yayasan Kita dan Buah Hati dari pemberitaan media-media massa. Tidak tertutup ada kasus-kasus lain yang belum masuk ke dalam data ini. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa di antara hal-hal yang menjadi penyebab remaja bermasalah, rasa kesepian (loneliness) menempati posisi teratas. Barbara Schneider yang meneliti 7.000 remaja selama 5 tahun menemukan bahwa rata-rata mereka menghabiskan waktu 3,5 jam sendirian setiap harinya. Remaja bisa saja mengklaim bahwa mereka membutuhkan privasi, tapi mereka juga sangat membutuhkan perhatian yang ternyata tidak mereka dapatkan. Sebenarnya, remaja-remaja ini sangat berharap ada lebih banyak orang-orang dewasa dalam kehidupan mereka. Newsweek, 10 Mei 1999, hlm. 42-43. Alwi Alatas, 2004, Remaja Gaul Nggak Mesti Ngawur, Jakarta: Hikmah, hlm. 27. Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, op.cit. hlm. 52.
Doris Odlum, seorang dokter Inggris, mengumpulkan banyak pertanyaan yang diajukan oleh kalangan remaja terkait dengan jati diri mereka. Untuk ini lihat James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, Jakarta: Tira Pustaka, hlm. 108-109.

Jane Kroger, 1989, Identity in Adolescence: The Balance Between Self and Other, London & New York, Routledge, hlm. 1. Kathleen M. White and Joseph C. Speisman, 1989, Remaja, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, hlm. 85.

Alwi Alatas, 2005, (Untuk) 13+, Remaja Juga Bisa Bahagia, Sukses, Mandiri, Jakarta: Pena, hlm. 8. Tentang pembahasan role confusion, lihat Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, op.cit. hlm. 92 Terkadang orang tua sudah memberikan model peran yang baik untuk dicontoh oleh anak, tetapi kalah oleh model-model peran lain yang ditawarkan lewat media massa. Michael Carneal (14 tahun), misalnya, telah menembak temen-temen sekolahnya di Kentucky High School, Amerika, pada bulan Desember 1997. Peristiwa ini menyebabkan tiga pelajar meninggal dunia dan lima lainnya terluka parah. Saat diinterogasi perihal motifnya, ia mengaku terpengaruh adegan dalam film Basketball Diaries. Ia bahkan mengatakan bahwa skenario Diaries merupakan cerminan pribadinya. Ketiga orang tua korban kemudian juga menuntut pihak produser film yang dibintangi oleh Leonardo Di Caprio itu, Gatra, 11 April 1998, hlm. 57. James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, op.cit. hlm. 110-111. James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, ibid. Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, op.cit. hlm. 88. Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, op.cit. hlm. 20.
Ahmad Faqih HN, Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam, http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm.

James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, op.cit. hlm. 111.
Untuk contoh upacara pada salah satu suku primitif di Afrika Selatan, lihat Nelson Mandela, 1995, Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan: Otobiografi Nelson Mandela, Jakarta: Binarupa Aksara, hlm. 25-29. Upacara tersebut berjalan selama beberapa hari dan dilakukan atas sekelompok anak berusia sekitar 16 tahun. Bagian terpenting dari upacara tersebut adalah ketika anak-anak tadi disunat tanpa anastesi. Mereka harus berani menghadapi rasa sakit dalam prosesi sunat sebagai manifestasi dari kesiapan mereka memasuki dunia orang dewasa. Tidak adanya anastesi ini disengaja untuk menyiapkan mental mereka, karena, seperti dikatakan oleh Mandela sendiri, Seorang anak boleh menangis, pria dewasa menyembunyikan kepedihannya. Persis setelah kulit khatan dipotong dengan assegai, semacam pisau tradisional yang digunakan oleh dukun sunat, anak yang disunat harus berteriak lantang, Ndiyindoda (Saya pria dewasa)! Dan setelah semua prosesi tadi, anak-anak tersebut telah memiliki status yang sama dengan orang-orang dewasa pada masyarakatnya. Microsoft Encarta Encyclopedia Deluxe 2002 (CD). Walaupun anak-anak tadi telah menerima status dewasa mereka dalam usia yang dini, agaknya mereka tidak mengalami sebuah lompatan fase usia yang mengejutkan. Boleh jadi ini dikarenakan telah adanya persiapan psikologis sejak masa-masa sebelumnya. Selain itu, fase baru yang mereka masuki mungkin bisa disebut sebagai fase dewasa awal yang masih membutuhkan proses pendewasaan diri lebih jauh. Bagaimanapun, fase dewasa awal tidaklah sama dengan fase remaja yang merupakan peralihan dari anakanak ke dewasa. Anak-anak yang masuk ke fase dewasa awal ini tidak mengalami gejolak dan krisis

sebagaimana bisa dilihat pada contoh-contoh kasus masyarakat primitif di atas seperti yang dialami oleh remajaremaja modern.

Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, op.cit. hlm. 84. Angka-angka usia yang dimunculkan pada bagan tersebut hanya diajukan sebagai contoh, karena memang tidak ada batas usia remaja yang pasti. Ahmad Faqih HN, Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam, http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm. Wan Mohd Noor Wan Daud, 2003, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, hlm. 172. Dr. Ali Ashraf, 1993, Horison Baru Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, hlm. 1. Prof. Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, P3M, hlm. 19-20. Prof. Dr. Abdul Aziz El-Quussy, 1975, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/ Mental, jilid. II, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 309. Drs. M. Thalib menganggap diperlakukannya anak-anak secara dewasa oleh orang tuanya termasuk dalam sifat fitrah anak. Anak yang ia maksud di sini adalah anak yang telah baligh dan mencapai awal dewasa. Ia mengambil dalil dari al-Quran surat Ash-Shaaffaat ayat 102 yang berisi dialog antara Nabi Ibrahim as. dengan anaknya yang baru beranjak dewasa, yaitu Ismail as., tentang turunnya perintah Allah untuk mengorbankan sang anak. Lihat Drs. M. Thalib, 1995, Memahami 20 Sifat Fitrah Anak, Bandung: Irsyad Baitus Salam, hlm. 63-66. Kami sendiri memandang masa baligh/ puber/ sebagai pintu gerbang alamiah bagi anak untuk memasuki fase usia dewasa. Penekanan kata positif di sini sangat penting, mengingat tidak selamanya aktifitas orang dewasa bernilai positif. Dan positif atau tidaknya sesuatu seharusnya dilihat dari kacamata Islam, bukan pandangan masyarakat yang selalu berubah-ubah. Pada awal tulisan telah dikutip penjelasan Hilgard tentang tiga aspek yang menandai fase usia remaja. Aspek yang pertama, yaitu perubahan fisik, terkait dengan kedewasaan biologis yang terjadi secara alamiah. Sementara dua aspek lainnya adalah identitas diri dan tanggung jawab. Keempat aspek yang baru saja kami sebutkan di atas pada dasarnya sejalan dengan dua aspek terakhir yang disinggung Hilgard, karena aspek tujuan hidup sebenarnya ikut menopang terbentuknya identitas yang kuat, dan pertimbangan dalam memilih merupakan bagian dari aspek tanggung jawab. Penjabaran ke dalam empat aspek ini lebih bertujuan untuk mempertajam konsep pendidikan kedewasaan pada remaja. Dalam menjelaskan keempat aspek ini, kami lebih mengandalkan pengamatan kami sendiri secara rasional dan kualitatif, disebabkan masih relatif minimnya pembahasan-pembahasan serta penelitian yang mendukung dalam konteks ini, atau setidaknya kami sendiri belum menemukan kajian-kajian yang terkait dengan persoalan ini.

Anda mungkin juga menyukai