Anda di halaman 1dari 21

TEORI REKONSTRUKSI BUDAYA

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Islam dan Budaya Lokal

Dosen Pembimbing: Ahmad Zaky Fuady, M. Pd. I

Disusun oleh Kelompok 10

1. Ika Maulia Dewi (2020510030)


2. Rizki Ardika Akbar (2020510029)
3. Azzah Hamdani (2020510028)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, dengan ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang kami beri judul " Teori Rekonstruksi Budaya"
Adapun makalah ilmiah tentang " Teori rekonstruksi budaya ” ini telah
kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak
pihak khususnya dosen mata kuliah Islam budaya lokal Bapak Ahmad Zaky
Fuady, M. Pd.I sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini.
Oleh sebab itu, kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan
makalah ini.
Akhirnya, kami mengharapkan semoga dari makalah tentang "Teori
rekonstruksi Budaya" ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat
memberikan inpirasi terhadap pembaca. Selain itu, kritik dan saran dari Anda
kami tunggu untuk perbaikan makalah ini nantinya.

Kudus, 22 November 2020

Penyusun

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang plural baik dari segi agama
budaya, etnis, maupun bahasa. Selama puluhan tahun Indonesia dikenal
atau diklaim sebagai bangsa yang sopan, ramah, dan toleran. Dengan
bergam agama, etnis, bahasa, dan kebudayaan lokal yang demikian
kaya, masyarakat Indonesia pada masa-masa pra dan awal kemerdekaan
bisa hidup rukun satu sama lain. Tidak terdengar kasus-kasus konflik
antar agama maupun etnis yang dipicu semata-mata karena perbedaan
latar dan afiliasi kultural dan religius mereka. Setiap kelompok saling
bahu-membah untuk menyongsong kemerdekaan dan tumbuhnya
solidaritas kebangsaan.
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya
adalah beragama islam. Islam Indonesia tidak sama dengan Islam di
Arab. Ketidakamaan itu diarenakan budaya antar Indonesia dan Arab
memang tidak sama. Kearifan lokal (Local wisdom) menjadi salah satu
kunci pembawa agama Islam di Indonesia ini sehingga islam di DDi
Indonesia bisa berkembang di tengah multikultural dan pluralitas bangsa
ini. Ajaran Islam yang melebur dengan budaya lokal yang tidak
bertentangan dengan ajaran agama islam hal ini sesuia dengan tujuan
agama islam yang menebarkan kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan
bagi seluruh alam dan isisnya yaitu islam rohmatallilalamin.

1
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dan sejarah munculnya aliran rekonstruksionisme?
b. Bagaimana prinsip-prinsip pemikiran aliran rekonstruksionisme?
c. Bagaimana pandangan-pandangan yang ada dalam aliran
rekonstruksionisme?
d. Bagaimana teori pendidikan dalam rekonstruksionisme?
e. Siapakah tokoh-tokoh dari aliran rekonstruksionisme ?
f. Bagaimana Rekonstruksi Budaya Berjalan di Lingkungan Masyarakat ?

1.3 Tujuan dan Maksud


a. Mengetahui dan Memahami Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran
Rekonstruksionisme
b. Mengetahui dan Memahami Prinsip-Prinsip Pemikiran Aliran
Rekonstruksionisme
c. Mengetahui dan Memahami Pandangan-Pandangan yang Ada Dalam Aliran
Rekonstruksionisme
d. Mengetahui dan Memahami Pendidikan Dalam Rekonstruksionisme
e. Mengetahui dan Memahami Tokoh-Tokoh Dari Aliran Rekonstruksionisme
f. Mengetahui dan Memahami Bagaimana Rekonstruksi Budaya Berjalan di
Lingkungan Masyarakat

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Rekonstruksionisme

A. Pengertian Rekontruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct, yaitu gabungan dari
kata re- yang artinya kembali dan construct yang artinya membangun atau
menyusun. Maka, secara etimologis reconstruct diartikan menyusun
kembali. Sedangkan, dalam konteks filsafat pendidikan, aliran
rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan
lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak Aliran rekonstruksionisme berusaha membina konsensus
yang paling luas dan mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam
kehidupan manusia.Dari jalan pikiran dan upaya yang berusaha ditempuh
oleh aliran rekonstruksionisme, maka dapat dilihat juga bahwa aliran ini
tidak terlepas dari prinsip pemikiran aliran progresifisme yang mengarah
kepada tuntutan kehidupan modern. Hal tersebut sesuai dengan pandangan
Count bahwa apa yang diperlukan pada masyarakat yang memiliki

3
perkembangan teknologi yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan
pembentukan serta perubahan tata dunia baru. (Gandhi, 2007)
B. Latar Belakang Kemunculan Aliran Filsafat Rekonstruksionisme
Pada tahun 1930-an, dunia mengalami krisis yang sangat hebat, yaitu
krisis ekonomi yang tidak hentinya terus merongrong perekonomian
dunia. Sistem ekonomi kapitalis telah meningkatkan sikap egosentris
masyarakat dunia. Masa krisis dunia bukan hanya terjadi pada era modern
seperti saat ini, yang tengah gencarnya menghantui setiap penjuru dunia.
Sistem kapitalis telah menumbuhkan sikap kesombongan negara-negara
yang merasa memiliki sistem perekonomian di atas atau yang disebut
dengan negara-negara maju. Amerika merasa sanggup hidup dengan
perekonomian sendiri, hingga akhirnya defisit perdagangan Amerika
mulai terasa sejak menjadi elemen penting ekonomi dunia pada awal abad
ke-17. Antara tahun 1990 sampai tahun 2000 defisit perdagangan Amerika
dari 100 miliar naik menjadi 450 miliar. Krisis yang terjadi di Amerika
tersebut secara otomatis juga telah menjadi krisis bagi dunia. Sedangkan
krisis yang terjadi pada tahun 1930-an pada saat itu juga merupakan
sebuah krisis ekonomi dunia yang menyebabkan terjadinya depresi dunia
sehingga menyebabkan lumpuhnya bangsa-bangsa kapitalis secara
ekonomi. Adanya krisis ini akhirnya berdampak pula kepada pendidikan.
Krisis inilah yang melatarbelakangi munculnya aliran rekonstruksionisme
yang bertujuan untuk dapat berusaha merombak tata susunan lama dalam
pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern. (Gandhi, 2007)

2.2 Prinsip-Prinsip Pemikiran dalam Aliran Rekonstruksionisme

A. Masyarakat dunia sedang dalam kondisi krisis

4
Krisis dunia yang sedang dialami saat ini antara lain persoalan-

persoalan tentang kependudukan, sumber daya alam yang terbatas,

kesenjangan global dalam distribusi penyebaran kekayaan, prolefirasi

nuklir, rasisme, nasionalisme sempit, dan pengunaan teknologi yang

‘sembrono’ dan tidak bertanggung jawab. Persoalan-persoalan tadi,

menurut kalangan rekonstruksionis, berjalan seiring dengan tantangan

totalitarianisme modern,yakni hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam

masyarakat luas dan meningkatnya ‘kedunguan’ fungsional penduduk

dunia. (Gutek, 1974)

B. Penciptaan tatanan sosial yang menjagat.

Kerjasama menyeluruh dari semua bangsa adalah satu-satunya harapan

bagi penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia

dengan segala keterbatasan sumber daya alamnya. Era teknologi telah

memunculkan saling ketergantungan dunia, di samping juga kemajuan-

kemajuan di bidang sains.

C. Pendidikan formal dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan

sosial.

Sekolah dapat dan harus mengubah secara mendasar peran

tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Tugas mengubah peran

pendidikan amatlah urgen, karena kenyataan bahwa manusia sekarang

mempunyai kemampuan memusnahkan diri. Dari perspektif mereka,

5
pendidikan dapat menjadi instrumen untuk mengaburkan tuntutan

mendesak transformasi sosial dan kemudian merintangi perubahan, atau

instrumen untuk membentuk kenyakinan masyarakat dan mengarahkan

peralihannya ke masa depan.

D. Metode-metode pengajaran

Metode-metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip

demokratis yang bertumpu pada kecerdasan ‘asali’ jumlah mayoritas

untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi

persoalan-persoalan umat manusia Dari perspektif mereka adalah sebuah

keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di

ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-

kesempatan untuk memilih diantara keragaman pilihan-pilihan ekonomi,

politik, dan sosial. (Guthek, 1974)

E. Jika pendidikan formal adalah bagian tidak terpisahkan dari solusi sosial

dalam   krisis dunia sekarang, maka ia harus secara aktif mengajarkan

perubahan sosial. Pendidikan harus memunculkan kesadaran peserta didik

akan persoalan-persoalan sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif

memberiakan solusi. Kesadaran sosial kiranya dapat ditumbuhkan jika

peserta didik dibuat berani untuk mempertanyakan status quo dan untuk

mengkaji isu-isu kontroversial dalam agama, masyarakat, ekonomi, politik

dan pendidikan. Kajian dan diskusi kritis akan membantu peserta didik

melihat ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang

6
ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatif-alternatif bagi

kebijaksanaan konvensional. Peran pendidikan adalah mengungkapkan

lingkup persoalan budaya manusia dan membangun kesepakatan seluas

mungkin tujuan-tujuan pokok yang akan menata umat manusia dalam

tatanan budaya dunia. Masyarakat dunia yang ideal, menurut

rekonstrusionisme, haruslah “berada di bawah kontrol mayoritas warga

masyarakat yang secara benar menguasai dan menentukan nasib mereka

sendiri”. (Guthek, 1974)

2.3 Pandangan-Pandangan dalam Aliran Rekonstruksionisme

A. Pandangan secara Ontologi

Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari

segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu

bersifat universal, yang mana realita itu ada di mana dan sama di setiap

tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan

menuju kearah yang khusus menam pakkan diri dalam perwujudan

sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca

indra manusia seperti bewan dan tumbuhan atau benda lain disekeiling

kita, dan realita yang kita ketahui dan kita badapi tidak terlepas dari suatu

sistem, selain substansi yang dipunnyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan

dapat dipilih melalui akal pikiran.

7
B. Pandangan Ontologis

Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Tetapi,

secara umum ruang lingkup (scope) ten tang pengertian “nilai” tidak

terbatas.Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan

azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang

abadi berdasarkan prinsip nilai teologis.

C. Pandangan Epistemologis

Kajian epsitemologis aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran

pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran

bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu

dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui

proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui

penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik akal

maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahun, dan akal di

bawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang

sesungguhnya.Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu

kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada

pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa

pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu

sendiri. (Muhajir, 2001)

2.4 Teori Pendidikan Rekonstruksionisme

Teori pendidikan rekonstruksionisme ada 5 yaitu:

8
1. Pendidikan harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam rangka

menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar

budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan

ekonomi, dan sosial masyarakat modern.

2. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati

dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh

warganya sendiri.

3. Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan

budaya dan sosial.

4. Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi dirinnya dengan

cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis

5. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan

tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan

krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan

sains sosial yang mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai

dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat

universal.

2.5 Tokoh-tokoh dalam Aliran Rekonstruksionisme

Brubacger (1950)mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua

kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif” dan filsafat pendidikan

“konservatif”. Menurut Brameld (kneller,1971) teori pendidikan

rekonstruksionisme ada 5 yaitu:

9
a) Pendidikan harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam rangka

menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar

budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan

ekonomi, dan sosial masyarakat modern.

b) Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati

dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh

warganya sendiri.

c) anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan

budaya dan sosial.

d) Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi dirinnya dengan

cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis

e) Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan

tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan

krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan

sains sosial yang mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai

dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat

universal.

f) meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang

dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih. George

Count berpandangan bahwa apa yang diperlukan pada masyarakat

yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat adalah

10
rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata dunia

baru.

2.6 Pengertian Rekonstruksi Budaya


Para reconstructionists yakin bahwa masyarakat modern dan
kelangsungan hidup manusia modern sangat terkait erat. Untuk menjamin
kelangsungan hidup manusia dan untuk menciptakan peradaban korporat yang
lebih memuaskan, manusia harus menjadi ahli teknik sosial yang mampu
merencanakan jalannya perubahan dan mengarahkan instrumen dinamis ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sebuah
pendidikan rekonstruksionis adalah salah satu memupuk (1) rasa kesadaran
descrimination dalam pengkajian warisan budaya, (2) komitmen bekerja untuk
reformasi sosial secara sengaja, (3) keinginan untuk mengembangkan
mentalitas perencanaan yang mampu merencanakan jalannya revisi budaya,
(4) pengujian terhadap rencana budaya dengan memberlakukan program
reformasi sosial secara sengaja. Reconstructionists yakin bahwa semua
reformasi sosial muncul dalam kondisi kehidupan yang ada. Mahasiswa
diharapkan untuk menentukan masalah utama yang dihadapi umat manusia.
Rasa kesadaran diskriminasi yang berarti bahwa mahasiswa mampu
mengenali kekuatan dinamis saat ini. Ini juga berarti dia sama mampunya
dengan mendeteksi keyakinan, adat istiadat, dan lembaga yang menghambat
pembaharuan budaya. Nilai-nilai yang mendominasi hanya karena kebiasaan
mereka harus dibuang. Budaya moral dan ideologis jenuh dengan nilai-nilai
yang tersisa dari masa pra-ilmiah dan pretechnological. Kefanatikan,
kebencian, takhayul, dan kebodohan harus diidentifikasi dan dibuang.
Meskipun reconstructionists belum didefinisikan dengan tepat dalam hal
keinginan mereka menciptakan tatanan masyarakat baru, beberapa dimensi
yang bisa menyebutkan. Hal ini mungkin menjadi salah satu yang akan
digunakan sebagai instrumen manusiawi; kemungkinan menjadi salah satu

11
yang korporat dan di mana semua orang bersama-sama berbagi hal-hal baik
dalam hidup, kemungkinan untuk menjadi salah satu dalam lingkup
internasional. (Jalaludin, 2010)

2.7 Rekonstruksi Budaya Berjalan di Lingkungan Masyarakat


Berbicara mengenai masalah budaya dan menganalisis sebuah sistem
budaya tidaklah mudah karena yang kita bicarakan ini adalah sesuatu yang
sifatnya abstrak dan kompleks. Sistem budaya tidak dapat berdiri sendiri, hal
ini karena untuk melihat atau mengamati masalah pada sistem budaya ini
dapat diamati melalui gejala-gejala yang ada di dalam sistem sosial
masyarakat tersebut. Sistem sosial merupakan bentukan dari sistem tingkah
laku individu di dalam masyarakat. Sedangkan sistem budaya itu sendiri
merupakan hasil dari cita, rasa, karsa dan karya manusia dalam kehidupan
sosialnya yang bersifat dinamis, baik karena dipengaruhi oleh faktor dalam
diri individu (faktor internal) atau faktor sosial (faktor eksternal). Ada satu
pertanyaan penting mengenai masalah-masalah sistem sosial yang selalu
dikaitkan dengan sistem budaya, yakni mengapa untuk mengubah pola
perilaku sosial masyarakat harus merubah budaya yang ada didalam
masyarakat tersebut. Hal ini karena ada hubungan kausalitas antara sistem
sosial dan sistem budaya. Termasuk terkait dengan perubahan budaya yang
berpengaruh terhadap sistem sosial budaya masyarakat yang mengatur pola
perilaku dan hubungan yang disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku
di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah menjadi kesepakatan dan
kebiasaan masyarakat[1]. Sistem sosial masyarakat Indonesia yang tercermin
pada perilaku sosial masyarakat menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan
secara berulang-ulang. Dan hal demikian dianggap sebagai perilaku yang
pantas yang akhirnya menjadi budaya dan menjadi bagian dari sistem yang
ada di dalam kehidupan masyarakat yang sudah menjadi suatu rangkaian.
Wujud konkrit keterkaitan diatas terlihat jelas pda sistem budaya di Indonesia

12
khususnya di Jawa. Keadaan Indonesia dengan heterogenitas budayanya dan
sikap bangsa yang terbuka akan adanya perubahan, akan tetapi dalam hal ini
perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang disesuaikan dengan unsur-
unsur yang sebelumnya sudah ada yaitu nilai dan norma yang ada di dalam
masyarakat. Apabila melihat masalah yang berkaitan dengan sistem sosial
masyarakat khususnya masyarakat desa yang telah berkurang budaya gotong
royongnya, misalnya gotong royong dalam membuat rumah. Dahulu
masyarakat itu membuat rumah bersama-sama dan saling bekerja sama.
Sehingga didalamnya terdapat hubungan timbal balik antar orang yang satu
dengan yang lain. Setiap kesibukan yang ada didalam individu, bisa menjadi
kesibukan juga buat orang lain. Namun, seiring dengan berjalannya waktu
solidaritas antar individu yang ada menjadi menurun. Karena adanya interaksi
budaya yang dimiliki dengan budaya yang lain yang berbeda. Dan
kebudayaan yang lain itu dianggap lebh maju dan dapat mengerjakan sesuatu
secara efisien. Pergantian sistem gotong royong menjadi sistem borongan atau
pekerjaan buruh mengakibatkan budaya gotong royong menjadi menurun.
Sebenarnya dengan adanya gotong royong akan mendorong masyarakat untuk
berkumpul, bekerja sama dalam lokasi yang sama. Sehingga ini bisa
meningkatkan solidaritas antar anggota masyarakat. Budaya gotong royong
telah diadopsi oleh bangsa Indonesia khususnya Jawa sejak masa kolonialisme
Belanda di Indonesia. bahkan hingga saat ini masih bertahan. Namun, ada
perbedaan yang jelas antara gotong royong pada saat itu dan masa sekarang
ini.
Dahulu kala, gotong royong yang dituangkan dalam bentuk kerja bakti
tidak hanya dilakukan pada hal-hal yang sifatnya untuk kepentingan umum,
seperti halnya membangun masjid, pembangunan jembatan dan lain-lain yang
sifatnya adalah fasilitas untuk kepentingan umum. Bahkan untuk kepentingan-
kepentingan yang sifatnya pribadi seperti hajatan-hajatan rumah tangga yang
juga melibatkan banyak orang. Menurut para ahli yang mengamati interaksi

13
antar individu di dalam masyarakat, gejala diatas merupakan corak kehidupan
masyrakat desa yang mempunyai solidaritas mekanik. Perilaku masyrakat
yang sudah membudaya dengan adanya kebersamaan menjadikan gotong
royong tersebut sebagi budaya yang perlu dilestarikan untuk mengikat
kesatuan kolektif antar kelompok. Hal itu dilakuakn untuk meningkatkan
integrasi terhadap lokalitas dan in group feeling di dalam masyarakat. Budaya
gotong royong tersebut sekarang ini seakan-akan sudah tergerus oleh zaman
seiring dengan arus globalisasi yang ada dan canggihnya tekhnologi sert alih
fungsi tenaga kerja menjadi tenaga mesin. Seiring dengan ditemukannya
banyak discovery menyebabkan pola pikir masyarakat lebih mendasarkan
pada cara kerja yang efektif dan efisien, termasuk dengan alih fungsi tenaga
manusia menjadi tenaga mesin. Hal inilah yang menyebabkan sistem budaya
gotong royong mulai ditinggalkan oleh masyrakat. Meskipun demikian, istilah
gotong royong ini selalu melekat pada tradisi kebudayaan masyarakat jawa
yang memiliki tingkat kekerabatan yang tinggi. Indonesia sebagai negara yang
terbuka akan masuknya kebudayaan asing, terutana budaya- budaya yang
memberikan dampak negatif.Seperti halnya sistem budaya kapitalistik yang
nantinya membuat masyarakat lebih bersifat individual dan mengendorkan
nilai-nilai sosialistik di dalam masyarakat.Mereka lebh cendrung fokus pada
pekerjaan masing-masing dan menilai semuanya dengan uang.Hal ini dapat di
lihat pada masyarakat perkotaan.
Selain itu masuknya budaya barat juga mempengruhi budaya masyarakat
dalam kehidupan sosialnya lebih cuek, bersifat acuh tak avuh dan bersifat
egoistik. Melunturnya sistem budaya sosialistik yang di gantkan dengan
sistem budaya kapitalistik berpengaruh pada perilku masyarakat yang
tercermin pada sistem sosial masyarakat karena perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masyarakat merupakan bagian dari perubahan sistem budaya
yang sudah menjadi tonggak atau sendi dari kebudayaan. Apabila sekarang ini
gaya hidup masyarakat sudah mengikuti gaya gidup budaya

14
barat(westernisasi) tidak menutup kemungkinan perilku sosial masyarakat
juga akan berubah. Jadi, perubahan yang demikian akan mengancam integrasi
di dalam masyarakat dalam istilah Sosiologi adalah antended
change(perubahan yang tidak di kehendaki). Faktor perubahan sosial tidak
hanya di pengaruhi dengan masuknya kebudayaan dalam masyarakat(difusi,
asimilasi,penetrasi dan akulturasi) melainkan karena perubahan pola pikir
masyarakat terhadap ketidak puasan terhadap situasi yang ada dan ingin
merubahnya, mungkin masyrakat yang sampai saat ini masih
mempertahankan budaya gotong royoong pun mulai berpikir bahwa kegitan-
kegiatan yang sifatnya sosial tersebut dapat dikerjakan sendiri dengan
membayar orang atau melalui sitem borongan. Kalau sudah seperti ini orang-
ornag yang ada disekitarnya pun enggan untuk turut membantunya, mungkin
ini cocok diterapkan untuk masyarakat perkotaan dengan corak hubungannya
yang gesselscaft[2]. Karena hubungan yang terjadi diantara mereka hanya
berdasar pada kontrak dan kesibukan-kesibukan yang menuntut mereka untuk
fokus bekerja, sehingga tidak ada waktu untuk membaur dengan orang-orang
yang ada disekiternya, apalagi untuk kegiatan seperti gotong royong. Padahal
mereka merasa tanpa gotong royongpun bisa dikerjakan. Masalah seperti
diatas sekarang sudah menjalar pada masyarakat pedesaan, yang notabenenya
memiliki budaya gotong royong yang sanagt kental sekarang sudah mulai
memudar pula. Motivational force[3] masing-masing individu berbeda. Hal
ini terkait dengan pola pikir yang membentuk mereka untuk bertindak, seperti
adanya pengetahuan tentang perbedaan apa yang ada dan apa yang seharusnya
ada. Dala hal ini termasuk individu yang ada di dalam masyarakat
menginginkan adanya kebebasan-kebebasan dalam bertindak tanpa dibatasi
oleh adanya adat dan tradisi. Kemudian, pola pikir terhadap perubahan di
dorong adanya kebutuhan-kebutuhan dari dalam untuk mencapai efisiensi dan
peningkatan produsi atau prestasi kerja yang keduanya disesuaikan dari upaya
yang dilakukan individu terhadap hasil yang telah dilakuaknnya. Jadi mereka

15
tidak mengharapkan adanya bantuan dai masyrakat lain, dan merekapun juga
tidak membantu masyarakat lain. Selain itu, pola pikir yang ada dalam
individu adalah bentukan dari keluarga. Sedangkan keluarga merupakan
tempat untuk sosialisasi yang pertama dalam proses sosialisasi yang
disesuaikan dengan nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat.
Bagaimana di dalam proses sosialisasi individu dikenalkan dengan nilai-nilai
yang berlaku di dalam masyarakat termasuk adat dan tradisi (khususnya
masyarakat desa). Hal ini bertujuan supaya individu dapat menyesuaikan
dirinya dengan lingkunagn, sehingga nantinya tidak terjadi kejutan
budaya( cultural shock). Kemudian keluaraga akan membentuk masyarakat
berdasarkan pada nilai yang telah ditanamkan di dalam keluarga
( reorganisasi)[4]. Masyarakat kota di dalam keluarga menanamkan niali-nilai
individual itulah yang nantinya i terapkan di dalam masyarakat, begitupun
sebalikanya masyarakat desa menanamkan nilai-nilai gotong royong dan kerja
sama. Itulah nantinya yang diterapkan individu dalam masyarakat. Di daerah
Blitar sendiri, sudah sangatjelas perbedaan antara sebelum dan sesudah
adanya perubahan. Terutama kemunculan para borjuis-borjuis kecil, orang-
orang kaya baru yang sudah memiliki pola pikir seperti orang kota yang
individualis. Jadi, untuk menangani masalah seperti diatas dan
mengembalikan sistem sosial yang ada di dalam masyarakat. Maka hal utama
yang harus diutamakan adalah merekonstruksi budaya yang ada didalam
masyarakat tersebut. Karena dengan merekonstruksi budaya secara otomatis
akan mengubah perilaku sosial. Misalnya dengan menggiatkan budaya yang
dahulunya telah luntur kembali, yaitu gotong royong, kerja bakti, bersih desa
dan sebagainya. Hal ini dapat diimplementasikan dengan cara memberikan
sosialisasi kepada masyarakat. Dari sekian contoh yang ada diatas, dapat
disimpulkan bahwa ternyata memang ada keterkaitan yang signifikan antara
sistem sosial dan budaya di dalam masyarakat. Karena perubahan sistem
budaya akan diikuti oleh perubahan sistem sosial yang merupakan abstraksi

16
sekaligus pedoman yang dihasilakan oleh masyarakat melalui perilaku sosial.
(E-Journal, 1974)

BAB III
PENUTUP

17
3.1 Kesimpulan

Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct, yaitu gabungan dari kata re-
yang artinya kembali dan construct yang artinya membangun atau menyusun. Maka,
secara etimologis reconstruct diartikan menyusun kembali. Sedangkan, dalam
konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha
merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang bercorak

Para reconstructionists yakin bahwa masyarakat modern dan kelangsungan


hidup manusia modern sangat terkait erat. Untuk menjamin kelangsungan hidup
manusia dan untuk menciptakan peradaban korporat yang lebih memuaskan, manusia
harus menjadi ahli teknik sosial yang mampu merencanakan jalannya perubahan dan
mengarahkan instrumen dinamis ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.

Berbicara mengenai masalah budaya dan menganalisis sebuah sistem budaya


tidaklah mudah karena yang kita bicarakan ini adalah sesuatu yang sifatnya abstrak
dan kompleks. Sistem budaya tidak dapat berdiri sendiri, hal ini karena untuk melihat
atau mengamati masalah pada sistem budaya ini dapat diamati melalui gejala-gejala
yang ada di dalam sistem sosial masyarakat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

18
E-Journal. 1974. Theories of Education; A Social Reconstructionism. Leading People

in Social Reconstruction. Journal The Society for Educational Reconstruction.

Gandhi, Teguh Wangsa. 2007. Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat

Pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Gutek, Gerald Lee. 1974. Philosophical Alternatives in Education. Columbus, OHIO:

Charles E. Merril Publishing Company, A Bell & Howell Company

Jalaluddin & Abdullah Idi. 2010. Filsafat Pendidikan :Manusia, Filsafat, dan

Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu: Positivisme, PostPositivisme, dan

PostModernisme. Yogyakarta: Rakesarasin.

19

Anda mungkin juga menyukai