Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan merupakan komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki


kualitas lebih baik. Peningkatan kualitas tersebut tidak terlepas dari kualitas yang dimiliki
tenaga pendidik atau Sumber Daya Manusia (SDM). Oleh sebab itu, lembaga pendidikan
juga harus mampu memenuhi kebutuhan SDM baik dalam segi jumlah maupun kualitas
guna mengembangkan unsur-unsur pokok serta meningkatkan proses pendidikan setempat.
Peningkatan kualitas pembelajaran perlu menggunakan strategi-strategi tertentu. Strategi
tersebut tidak lain adalah pemilihan model, metode dan penggunaan media pembelajaran.
Dalam pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran tersebut, hendaknya tenaga
pendidik memperhatikan kondisi sekolah juga lingkungan disekitar sekolah tersebut. Upaya
ini dilakukan agar pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran tersebut lebih terarah,
tepat dan efisien.

Materi yang disajikan dalam setiap proses pembelajaran haruslah dapat


menimbulkan perubahan sikap dan memberikan pengaruh positif kepada setiap peserta
didik. Hal ini dimaksudkan agar pengaruh positif tersebut dapat digunakan peserta didik
sebagai bekal baik berupa kecakapan maupun keahlian yang akan digunakan dalam
kehidupan yang lebih nyata dan penuh tantangan.

Dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 Tahun 2003
(2003:6), pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
serta bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) menegaskan bahwa


melalui mata pelajaran IPA peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi Warga Negara
Indonesia yang demokratis dan bertanggungjawab serta warga dunia yang cinta damai.
Fenomena kehidupan global di masa mendatang yang penuh dengan tantangan, menuntut
mata pelajaran IPA untuk dirancang bisa mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan
kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan
bermasyarakat yang dinamis. Perkembangan kognitif Piaget pada umumnya untuk anak kelas
V berada pada tahapan Concrete Operational (7–11 tahun) : Anak dapat berpikir secara logis
mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam
bentuk-bentuk yang berbeda, sehingga dalam proses pembelajaran guru harus bisa
memberikan contoh-contoh yang konkret agar mudah dipahami oleh peserta didik.

Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar perlu disusun secara sistimatis, komprehensif,


dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam
kehidupan bermasyarakat. Pendekatan tersebut diharapkan mampu membina siswa agar

1
menjadi warga negara Indonesia yang bertanggung jawab dan warga dunia yang efektif,
dalam masyarakat global yang selalu mengalami perubahan setiap saat.

Untuk itu, pembelajaran IPA perlu dirancang untuk membangun dan merefleksikan
kemampuan siswa dalam kehidupan bermasyarakat yang selalu berubah dan berkembang
secara terus menerus. Berdasarkan hasil refleksi awal kondisi pendidikan IPA di Sekolah
Dasar Negeri Jambelaer saat ini, dalam proses pembelajaran guru menyampaikan materi
bersifat langsung yaitu tanpa menggunakan suatu alat/media lebih sering dominan karena
belum adanya media elektronika yang memadai terdapat pada sekolah, serta kurang
sesuainya iklim pembelajaran yang kondusif bagi siswa untuk belajar. Banyak diantaranya
guru yang tidak memilih dan menggunakan metode pembelajaran bervariasi yang kurang
sesuai sehingga mengakibatkan siswa menjadi cepat bosan serta ramai sendiri karena
suasana pembelajaran yang monoton. Sehingga hasil belajar belajar IPA siswa masih
rendah, dari 20 siswa, hanya 8 siswa saja yang mendapatkan nilai cukup memadai dan
melebihi KKM. masih banyak yang berada di bawah KKM. Apabila masalah tersebut dapat
dipecahkan dengan baik, maka akan sangat bermanfaat bagi guru dan siswa. Manfaat bagi
guru seperti peningkatan proses pembelajaran, menjadikan lebih berpengalaman serta
kreatif dalam memilih, penggunakan metode pembelajaran yang tepat dan efisien. Sehingga
akan tercipta kegiatan pembelajaran yang kondusif dan baik, beserta pengetahuan bagi guru
untuk mengembangkan proses pembelajaran selanjutnya. Sedangkan bagi siswa tentunya
meningkatnya pemahaman dan hasil belajar pada materi yang berkaitan, sekaligus
menimbulkan pengaruh daya tarik positif terhadap proses pembelajaran dimana ketertarikan
siswa dalam mengikuti pembelajaran berasal dari guru dan proses pembelajaranya.

Sehubungan dengan permasalahan tentang rendahnya hasil belajar siswa, maka


upaya peningkatan hasil belajar siswa dalam pendidikan IPA merupakan kebutuhan yang
mendesak untuk dilakukan. Berdasarkan kondisi dan keadaan yang terdapat di SDN
Jambelaer Kabupaten Sukabumi, dengan latar belakang orang tua siswa yang kebanyakan
hanya sebagai buruh tani, pedagang serta usaha industri kecil, maka salah satu model
pembelajaran yang di duga dapat menjembatani keresahan tersebut adalah model belajar
melalui penerapan model CTL (Contextual Teaching and Learning) . Di dalam
pembelajaran menggunakan model CTL (Contextual Teaching and Learning) ,
pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkontruksi sendiri
pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar (Nurhadi dalam Wiji, 2009:31).
Melalui model CTL (Contextual Teaching and Learning) akan ditanamkan konsep dasar
pada siswa dalam pendidikan IPA yaitu berkaitan erat dengan keadaan sekitar manusia
beserta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan IPA mempunyai tujuan untuk mengembangkan kualitas peserta didik


agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental yang
positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap
masalah yang terjadi baik yang menimpa dirinya maupun yang menimpa kehidupan
masyarakat (Sumaatmaja dalam Puskur, 2007: 2). Selain itu pendidikan IPA juga berfungsi
untuk pembangunan jati diri bangsa pada peserta didik yang menuju tercapainya integrasi
bangsa (Supriatna, 2007: 10).

2
Mata pelajaran IPA dalam KTSP mempunyai alokasi waktu yang kurang
proporsional. Waktu yang diberikan sangat singkat, sedangkan materi yang harus diajarkan
sangat banyak. Mengingat singkatnya waktu yang tersedia maka guru harus mampu
menyajikan materi pelajaran secara efektif agar pesan yang disampaikan dapat diterima
peserta didik dengan baik dan tidak hanya verbalitas tanpa pengertian yang konkret.
Perkembangan kognitif siswa usia 7 sampai 11 tahun merupakan kategori usia concerte
operational periode menurut Piaget (DepDikNas BalitBang Puskur, 2007: 13). Guru juga
harus memperhatikan bahwa sempitnya waktu yang tersedia untuk mempelajari pendidikan
IPA hendaknya tidak mengurangi kemampuan siswa untuk memperoleh kualitas belajar
yang maksimal. Oleh sebab itu pendekatan pembelajaran menjadi faktor penting demi
tercapainya efektifitas pembelajaran.

Hasil penelitian tentang penerapan model CTL menurut penelitian Kasiono


(2009:1) yang berjudul Meningkatkan prestasi belajar ilmu pengetahuan alam melalui
pembelajaran kontekstual pada siswa kelas V SDN JAMBELAER Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa: hasil penelitian menunjukkan terjadinya
peningkatan hasil belajar siswa. Secara klasikal terjadi peningkatan rata-rata sebesar 27,0
dari pra-tindakan dengan nilai 40,3 menjadi 67,3 pada siklus I dengan nilai 67,3 dan
kenaikan rata-rata 13,9 dari siklus I dengan nilai 67,3 menjadi 81,2 pada siklus II.
Prosentase jumlah siswa yang tuntas belajar mengalami peningkatan sebesar 35,3 % dari
pra-tindakan dengan prosentase ketuntasan 17,6 % menjadi 52,9 % pada siklus I dan
kenaikan sebesar 41.2 % dari siklus I dengan prosentase ketuntasan 52,9 % menjadi 94, 1
% pada siklus II. Dari hasil tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa model CTL
(Contextual Teaching and Learning) dapat meningkatkan presatasi belajar IPA pada siswa
kelas V SDN Jambelaer kecamatan Cisolok kabupaten Sukabumi. (deposited by
Yuldarrahman Yuldarrahman, 05 Jun 2009 14:58 ).

Penerapan model CTL (Contextual Teaching and Learning) dimaksudkan untuk


memudahkan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran. Disamping itu Penerapan
model CTL (Contextual Teaching and Learning) juga belum pernah diberikan di SDN
Jambelaer tersebut, sehingga dapat membuat siswa mudah tertarik dan merasa ingin tahu.
Ketika rasa ingin tahunya timbul siswa akan aktif untuk memikirkan dan menemukan
sendiri berhubungan apa yang ingin dicapai terkait dengan ilmu pengetahuan. Beberapa
nilai tambah tersebut menjadikan faktor pendorong bagi peneliti mengapa lebih memilih
Penerapan model CTL (Contextual Teaching and Learning) dari pada media pembelajaran
lainnya. Penerapan model CTL (Contextual Teaching and Learning) ini diharapkan dapat
mencapai proses kegiatan belajar mengajar yang lebih inovatif, menyenangkan, efektif dan
efisien. Sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan hasil belajar IPA siswa sesuai
dengan indikator yang ingin dicapai, sekaligus meningkatkan ketrampilan guru dan siswa.
Bertitik tolak pada uraian di atas dan hasil penelitian orang lain, maka dalam penulisan
makalah ini perlu dilakukan penelitian yang berkenaan dengan “Penerapan Model CTL
(Contextual Teaching and Learning) untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA pada Siswa
Kelas V SD Negeri Jambelaer Kabupaten Sukabumi”.

3
1.2 . RUMUSAN MASALAH DAN PEMECAHAN MASALAH

1.2.1. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan secara umum dapat
dirumuskan antara lain:

“Apakah penerapan model CTL (Contextual Teaching and Learning) dapat meningkatkan
hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA pada siswa kelas V di Sekolah Dasar Negeri
Jambelaer?”

Adapun masalah khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Siswa kurang bersemangat dan kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran IPA
2. Guru masih menggunakan model yang konvensional dalam pembelajaran, sehingga
siswa bosan saat pembelajaran berlangsung
3. Guru kurang mempersiapkan media pembelajaran secara maksimal, sehingga pada saat
proses pembelajaran anak merasa jenuh dan bosan
4. Guru kurang mengapresiasi pendapat siswa, sehingga siswa kurang semangat dalam
mengikuti pembelajaran
5. Sekolah kurang menyediakan fasilitas secara maksimal, sehingga kebutuhan pada saat
proses pembelajaran terhambat
6. Guru kurang menyesuaikan model pembelajaran dengan materi yang diajarkan,
sehingga timbal balik siswa dengan guru ataupun guru dengan siswa kurang.

1.2.2. Pemecahan Masalah

Berdasarkan perumusan masalah, peneliti menggunakan model CTL


(Contextual Teaching and Learning) dalam upaya memecahkan permasalahan
tentang rendahnya hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA di kelas V SDN
Jambelaer Kabupaten Sukabumi, materi pokok Jenis-jenis Usaha dan Kegiatan
Ekonomi di Indonesia, kompetensi dasar mengenal jenis-jenis usaha dan kegiatan
ekonomi di Indonesia menurut Trianto 2007:105 dengan 7 langkah yaitu:
kontruktivisme, permodelan, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, refleksi,
dan penilaian yang sebenarnya dengan penerapan pembelajaran sebagai berikut:

1. Guru harus melatih pendekatan baik siswa dengan siswa, maupun geru dengan siswa
2. Guru harus memotivasi siwa untuk mau belajar mata pelajaran IPA
3. Guru harus menggunakan model pembelajaran yang menarik
4. Guru harus bisa memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan
diajarkan.
5. Guru harus menyiapkan media pembelajaran secara maksimal
6. Media yang digunakan harus sesuai dengan materi yang diajarkan
7. Guru harus memberikan apresiasi dan pujian yang baik untuk anak yang sudah
berpendat, ataupun hasil belajar siswa.

4
8. Berikan reward atau hadiah untuk memicu keaktifan anak
9. Sekolah harus memfasilitasi sarana dan prasarana semaksimal mungkin agar
kebutuhan
siswa Tercapai
10. Guru harus menyesuaikan model pembelajaran yang akan dipakai dengan materi yang
akan Diajarkan
11. Guru harus bisa menstimulus siswa sehingga siswa mampu merespon dengan baik.

1.3 . TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar IPA
melalui penerapan model CTL (Contextual Teaching and Learning).

1.3.2. Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :

1.3.2.1. Meningkatkan keterampilan guru dalam pengelolaan pembelajaran melalui


penerapan model CTL (Contextual Teaching and Learning).
1.3.2.2. Meningkatkan aktivitas siswa kelas V SDN Jambelaer Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi dalam pembelajaran pendidikan IPA melalui Model CTL
(Contextual Teaching and Learning).
1.3.2.3. Meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan IPA
melalui model CTL (Contextual Teaching and Learning) pada siswa kelas V SDN
Jambelaer Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi.

1.4 . MANFAAT PENELITIAN

1.4.1. Manfaat Teoritis

Memberikan pemahaman pada guru dalam upaya meningkatkan kualitas


pembelajaran pendidikan IPA dengan model pembelajaran CTL (Contextual
Teaching and Learning).

1.4.2. Manfaat Praktis

1.4.2.1. Manfaat bagi Guru

1. Memberikan masukan kepada guru tentang pentingnya model CTL


(Contextual Teaching and Learning).

2. Mengembangkan kegiatan pembelajaran pendidikan IPA yang dapat

5
membangkitkan semangat belajar siswa dengan model CTL (Contextual
Teaching and Learning) yang melibatkan siswa aktif dari seluruh kegiatan di
dalam kelas.

3. Guru lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan model pembelajaran

1.4.2.2. Manfaat bagi Siswa

1. Dengan model CTL (Contextual Teaching and Learning) dapat melatih siswa
untuk bekerja sama dan memupuk tali persaudaraan.

2. Melalui model CTL (Contextual Teaching and Learning) diperolehnya


pemahaman tentang pelajaran IPA beserta konsep keseluruhannya yang dapat
dimanfaaatkan dalam kehidupan bermasyarakat.

1.4.2.3. Manfaat bagi Sekolah

Memberikan sumbangan serta dorongan dalam mengembangkan kurikulum


pembelajaran yang inovatif dalam rangka perbaikan pembelajaran guna
peningkatan kualitas pembelajaran pendidikan IPA di SD.

1.4.2.4. Manfaat bagi Komponen Pendidikan

Memberikan sumbangan konseptual agar senantiasa berupaya meningkatkan


kualitas pendidikan melalui pendekatan pembelajaran yang inovatif, misalnya dengan
model CTL (Contextual Teaching and Learning).

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pendekatan Contextual Teaching Learning


Kata kontekstual (contextual) berasal dari kata context yang berarti “hubungan,
konteks, suasana dan keadaan (konteks)”. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teching
Learning/CTL) merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia
nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa.
Proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Menurut Jonhson dalam Sugiyanto (2007) CTL adalah sebuah proses pendidikan yang
bertujuan untuk menolong para siswa melihat makna didalam materi akademik yang mereka
pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks dalam
kehidupan keseharian mereka.
Menurut Tim Penulis Depdiknas, Pendekatan Kontekstual adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual
merupakan sebuah strategi pembelajaran yang dianggap tepat untuk saat ini karena materi
yang diajarkan oleh guru selalu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Dengan
menggunakan pembelajaran kontekstual, materi yang disajikan guru akan lebih bermakna.
Siswa akan menjadi peserta aktif dan membentuk hubungan antara pengetahuan dan
aplikasinya dalam kehidupan mereka.

2.2 Prinsip-prinsip Pendekatan Contextual Teaching Learning

1.      Keterkaitan, relevansi (relation). Proses belajar hendaknya dikaitkan dengan bekal
pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri siswa.
2.      Pengalaman Langsung (experiencing). Pengalaman langsung dapat diperoleh melalui
kegiatan eksplorasi, penemuan (discovery), inventory, investigasi, penelitian dan sebagainya.
3.      Aplikasi (Applying). Menerapkan fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang dipelajari dengan
guru, antara siswa dengan narasumber, memecahkan masalah dan mengerjakan tugas bersama
merupakan strategi pembelajaran pokok dalam pembelajaran kontekstual.
4.      Alih Pengetahuan (transferring). Pendekatan kontekstual menekankan pada kemampuan
siswa untuk mentransfer situasi dan konteks yang lain merupakan pembelajaran tingkat tinggi,
lebih dari sekedar hafal.
5.      Kerja sama (cooperating). Kerjasama dalam konteks saling tukar pikiran, mengajukan dan
menjawab pertanyaan dan komunikasi interaktif antar siswa.
6.      Pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang telah dimiliki pada situasi lain.
Berdasarkan uraian diatas, prinsip-prinsip tersebut merupakan bahan acuan untuk
menerapkan metode kontekstual dalam pembelajaran. Implementasi kontekstual lebih
mengutamakan strategi pembelajaran dari pada hasil belajar, yakni proses pembelajaran

7
berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
hanya transfer pengetahuan dari guru kepada siswa.

2.3    Karakteristik Pendekatan Contextual Teaching Learning


Menurut Johnson dalam Nurhadi (2003 : 13), ada 8 komponen yang menjadi
karakteristik dalam pembelajaran kontekstual, yaitu sebagai berikut :
1.      Melakukan hubungan yang bermakna (Making Meaningfull Connection).
Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pembelajaran kontekstual.
Ketika siswa dapat mengkaitkan isi dari mata pelajaran akademik tertentu dengan pengalaman
mereka sendiri, mereka menemukan makna dan makna memberikan alasan untuk belajar.
Mengkaitkan pembelajaran dengan kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi
hidup dan keterkaitan inilah inti dari CTL.
2.      Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work).
Siswa membuat hubungan-hubungan antar sekolah dan berbagai konteks yang ada
dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat. Jadi
pembelajaran harus memiliki arti bagi siswa.
3.      Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning).
Pembelajaran yang diatur sendiri merupakan pembelajaran yang aktif, mandiri,
melibatkan kegiatan yang menghubungkan masalah dengan kehidupan sehari-hari dengan cara
yang berarti bagi siswa. Pembelajaran yang diatur siswa sendiri, memberi kebebasan kepada
siswa menggunakan gaya belajarnya sendiri.
4.      Bekerja sama (collaborating).
Siswa dapat bekerja sama. Guru dan siswa bekerja secara efektif dalam kelompok,
guru membantu siswa memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling
berkomunikasi.
5.      Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking).
Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif.
Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam
menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi
dan pencairan ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan
kemurnian, ketajaman pemahaman dalam mengembangkan sesuatu.
6.      Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual).
Dalam pembelajaran kontekstual siswa bukan hanya mengembangkan kemampuan-
kemampuan intelektual dan keterampilan, tetapi juga aspek-aspek kepribadian seperti
integritas pribadi, sikap, minat, tanggung jawab, disiplin, motif berprestasi, dan sebagainya.
Guru dalam pembelajaran kontekstual juga berperan sebagai konselor dan mentor. Tugas dan
kegiatan yang akan dilakukan siswa harus sesuai dengan minat, kebutuhan dan
kemampuannya.
7.      Mencapai standar yang tinggi (reaching high standar).
Pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa berkembang secara optimal, mencapai
keunggulan (excellent). Tiap siswa bisa mencapai keunggulan tersebut, asalkan dibantu oleh
gurunya dalam menemukan potensi dan kekuatannya.
8.      Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment).
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu
tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah
mereka pelajari untuk dipublikasikan dalam kehidupan nyata. Penilaian autentik memberi

8
kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka sambil
mempertunjukkan apa yang sudah mereka pelajari.

2.4    Komponen-komponen Pendekatan Contextual Teaching Learning


1.      Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofis) pembelajaran kontekstual,
yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas dan tidak seakan-akan. Pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengamatan nyata, karena pengetahuan tumbuh
dan berkembang melalui pengalaman nyata.
2.      Menemukan (inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan berbasis CTL. Metode inquiry
merupakan metode yang mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan
eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan
penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya
dengan yang ditemukan siswa lain.
3.      Bertanya (questioning)
Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran berbasis kontekstual.
Kegiatan bertanya berguna untuk menggali informasi, menggali pemahaman siswa,
membangkitkan respon kepada siswa, mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa,
mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, memfokuskan perhatian pada sesuatu yang
dikehendaki guru, serta membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa untuk
menyegarkan kembali pengetahuannya.
4.      Masyarakat belajar (learning community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama
dengan orang lain. Guru dalam pembelajaran kontekstual (CTL) selalu melaksanakan
pembelajaran dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Siswa yang pandai
mengajari yang lemah, yang sudah tahu memberi tahu ke yang belum tahu, dan seterusnya.
Sehingga kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, keanggotaannya, jumlah bahkan
bisa melibatkan siswa di kelas atasnya atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan
ahli ke kelas.
5.      Pemodelan (modeling)
Proses pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu perlu ada model yang
bisa ditiru. Tugas guru memberi model tentang bagaimana cara bekerja. Guru bukan satu-
satunya model dalam pembelajaran CTL karena model dapat juga didatangkan dari luar untuk
dihadirkan di dalam kelas. Pemodelan disini adalah bahwa sebuah pembelajaran selalu ada
model yang bisa ditiru oleh para peserta didik.
6.      Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang
tentang apa yang sudah kita lakukan dimasa yang lalu. Siswa mendapatkan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi
dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diterima (Depdiknas, 2003).

9
Refleksi dilakukan ketika pembelajaran berakhir, siswa merenung tentang
kesalahannya dalam belajar lalu dia memperbaiki kesalahan tersebut dengan pengetahuan
yang baru dia ketahui.
7.      Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan
perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar perlu diketahui oleh guru agar
bisa mengetahui bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Gambaran
proses dan kemajuan belajar siswa perlu diketahui sepanjang proses pembelajaran. Karena itu
penilaian tidak hanya dilakukan pada akhir periode sekolah, tetapi dilakukan bersama secara
terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran. Focus penilaian adalah pada
penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses
maupun hasil.

2.5     Tujuan Pendekatan Contextual Teaching Learning


Adapun beberapa tujuan dari pembelajaran Kontektual ini, yakni sebagai berikut :
1.      Memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan
mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari.
2.      Agar dalam belajar siswa tidak hanya sekedar menghafal tetapi diperlukan juga pemahaman
terhadap materi.
3.      Menekankan pada pengembangan minat pengalaman siswa.
4.      Melatih siswa agar dapat berpikir kritis dan terampil dalam memproses pengetahuan agar
dapat menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.
5.      Pembelajaran yang dialami siswa lebih bermakna.
6.      Mengajak anak pada suatu aktivitas yang mengkaitkan materi akademik dengan konteks
kehidupan sehari-hari.

2.6     Langkah-langkah Pendekatan Contextual Teaching Learning


1.      Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja
sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan
barunya.
2.      Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topic.
3.      Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
4.      Menciptakan masyarakat belajar.
5.      Menghadirkan model sebagai contoh dalam pembelajaran.
6.      Melakukan refleksi diakhir pertemuan.
7.      Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

2.7    Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Teaching Learning


1.      Kelebihan Pembelajaran Kontekstual
a.       Memberikan kesempatan pada siswa untuk dapat maju terus sesuai dengan potensi yang
dimiliki siswa sehingga siswa terlibat aktif dalam PBM.
b.      Siswa dapat berpikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu dan
memecahkan masalah.
c.       Menyadarkan siswa tentang apa yang mereka pelajari.
d.      Pembelajaran lebih menyenangkan dan tidak membosankan.
e.       Membantu siswa bekerja lebih efektif dalam kelompok.

10
f.       Terbentuk sikap kerjasama yang baik antar individu maupun kelompok.
2.      Kelemahan Pembelajaran Kontekstual
a.  Dalam pemilihan informasi atau materi dikelas didasarkan pada kebutuhan siswa. Padahal,
dalam kelas itu tingkat kemampuan siswanya berbeda-beda sehingga guru akan kesulitan
dalam menentukan materi pelajaran karena tingkat pencapaian siswa tidak sama.
b.      Tidak efisien karena membutuhkan waktu yang agak lama dalam PBM.
c.    Dalam pembelajaran akan nampak jelas antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan
siswa yang memiliki kemampuan rendah, yang kemudian akan menimbulkan rasa tidak
percaya diri bagi siswa yang kurang kemampuannya.
d.      Bagi siswa yang tertinggal dalam proses pembelajaran ini akan terus tertinggal dan sulit
untuk mengejar ketinggalannya, karena dalam model pembelajaran ini kesuksesan siswa
tergantung dari keaktifan dan usaha sendiri. Jadi siswa yang mengikuti setiap pembelajaran
dengan baik tidak akan menunggu teman yang tertinggal dan mengalami kesulitan.
e.       Tidak setiap siswa dapat dengan mudah  menyesuaikan diri dan mengembangkan
kemampuan yang dimiliki dengan menggunakan model pembelajaran CTL ini.
f.       Lebih mengembangkan kemampuan  soft skill daripada kemampuan intelektualnya,
sehingga siswa yang memiliki kemampuan intelektual tinggi namun sulit untuk
mengapresiasikannya dalam bentuk lisan akan mengalami kesulitan dalam belajar.
g.      Pengetahuan yang didapat oleh setiap siswa akan berbeda-beda dan tidak merata.
h.      Peran guru tidak nampak terlalu penting lagi, karena dalam pembelajaran guru hanya
sebagai pengarah dan pembimbing serta lebih menuntut siswa untuk aktif dan berusaha sendiri
mencari informasi, mengamati fakta dan menemukan pengetahuan-pengetahuan baru di
lapangan.

2.8    Implementasi CTL dalam Pembelajaran IPA di kelas V SDN Jambelaer Kabupaten
Sukabumi.

Pembelajaran berhitung dengan CTL.


Menurut Poerwodarminta (1996: 311) berhitung berasal dari kata hitung yang berarti
perihal membimbing yang mencakup menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan, dan
membagi. Pembelajaran berhitung sedapat mungkin menggunakan benda-benda real untuk
menbantu memudahkan siswa dalam merumuskan model dan simbol matematikanya.
Penerapan model pembelajaran dipengaruhi oleh materi yang diajarkan oleh sekolah. Seperti
halnya CTL materi yang diajarkan harus dapat dikaitkan dengan dunia nyata atau benda-benda
konkret sehingga siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang diperolehnya
dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
1.      Definisi Bilangan Bulat
Awal pembelajaran siswa ditampilkan fenomena sehari-hari hutang piutang, untung rugi,
dan lain-lain yang berlawanan, dasar masalah tersebut digunakan untuk belajar definisi
bilangan bulat. Guru mengumpamakan bertanda (-) sebagai hutang. Dalam model
matematikanya angaka bertanda (-) bernilai kecil dan dibaca negatif. Sedangkan angka yang
bertanda (+) bernilai besar dan dibaca positif. Contoh 3 dibaca tiga, -5 dibaca negatif lima.
2.      Menjumlahkan Bilangan Bulat
a.       Menjumlahkan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif

11
Dipilih dua siswa A dan B sebagai model peraga. Siswa A harus mengumpulkan 5 buku
milik siswa yang lain. Hal ini juga berlaku untuk siswa B untuk mengumpulkan 4 buku. Guru
dan siswa membuat model matematikanya.
   5 buku + 4 buku = 9 buku
b.      Menjumlahkan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif
Sebuah mobil mainan diberikan kepada siswa B dan dijalankan ke arah barat sejauh 8
petak ubin sampai ditempat A. Guru menyuruh siswa untuk menjalankan kembali mobil
tersebut berlawanan arah (ke timur) sejauh 5 petak ubin. Guru menerangkan bahwa arah
berlawanan berarti nilai angka tersebut berlawanan dengan nilai angka yang lain: 8 petak – 5
petak = 3 petak
c.       Penjumlahan bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif
Siswa  diberi pengantar fenomena utang piutang. Siswa A meminjam uang 500 kepada
siswa B, kemudian karena masih kurang maka meminjam lagi 600. Guru mengingat kembali
bahwa konsep hutang nilainya (-). Kemudian guru mengembangkan konsep permasalahan
tersebut kepada sembarang bilangan bulat. Misalnya -4 + (-3) = -7

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning/CTL) merupakan suatu
konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah memberikan kemudahan belajar
kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai.
Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur
lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.

3.2 Saran
Guru harus dapat menyajikan dunia nyata atau benda-benda konkret saat pembelajaran
sehingga siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang diperolehnya dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, agar tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat
tercapai.

13
DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.


Nurhadi. 2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Poerwadarminta. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

14

Anda mungkin juga menyukai