1. Identikasi
Orang Bugis mendiami kabupaten Bulu-Kumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Didenreng-
Rappang, Pinreng, Polewali-Mamasa, Enrekeng, Luwu, Pare-pare, Baru, Pangkajenen
Kepulauan dan Maros. Untuk Kabupaten Pangkajenen Kepulauan dan Kabupaten Maros
mengunakan bahasa Bugis maupun bahasa Makassar. Sedangkan kabupaten Enrekeng,
penduduk sering dinamakan Orang Duri ( Messenrengpulu), mempunyai dialek khusus yaitu
bahasa Duri
Orang Toraja mendiami wilayah dari kabupaten kabupaten tana Toraja dan Mamasa.
Mereka biasanya disebut orang Toraja Sa’dan
Orang Mandar mendiami Kabupaten Majene dan Mamuju. Walaupun suku bangsa ini
mempunyai bahsa khusus yaitu bahasa Mandar, tetapi kebudayaan mereka tidak amat
berbeda dengan orang Bugis-Makassar.
Orang bugis mengcapakan bahasa Ugi dan Orang Makassar bahasa Mangkasara. Kedua
bahasa tersebut pernah dipelajari dan diteliti oleh ahli bahasa Belanda yaitu B.F. Matthes
dengan mengambil sebagai sumber, kesusastaraan tertulis yang sudah dimiliki oleh orang
Bugis dan Makassar sejak berabad-abad lamanya. Matthes mengumpulkan naskah-naskah
kesusataaan dalam bentuk lontar, maupun dalam bentuk buku-buku kertas. Naskah-naskah
tersebut disimpan di perpustakaan Matthes di Makassar dan di Universitas Leiden di
Belanda dan beberapa perpustakaan lain di Eropa. Matthes sendiri pernah menerbitkan
beberapa bunga rampai (chrestomatie) dan kamus Bugis-Belanda.
Huruf yang dipakai adalah Aksara Lontara yaitu huruf sanskerta.katanya pada abad 16,
sistem Akasa Lontara di sederhanakan oleh syahbandar kerajaan Goa, Daeng Pamatte dan
masuk abad ke 17 waktu agama islam masuk, maka kesusasatraan Bugis-Makassar ditulis
dalam huruf Arab, yang disebut Aksara Serang.
Sekarang aksara kuno dari orang Bugis dan Makassar hanya tinggal ada yang tulis diatas
kertas dengan pena atau lidi ijuk (kallang) dalam aksara lontara atau aksara serang. Buku
terpenting dalam kesusastraan Bugis-Makassar adalah buku Sure Galigo yaitu buku
himpunan terbesar yang bagi orang Bugi-Makassar sebagai sesuatu yang keramat.kecuali:
Kesusastraan yang isinya mempunyai fungsi sebagai pedoman dan tata kelakuaan
bagi kehidupan orang, seperti buku himpunan amanat-amanat nenek moyang
(paseng).
Buku keputusan dan peraturan pemimpin adat ( Rapang)
Buku kesusastraan sejarah ,seperti silsilah raja-raja,cerita-cerita pahlawan yang
dibumbuhi sifat-sifat legendaris (Pau-pau)
Buku dongeng rakyat atau cerita yang mengandung catatan-catatan tentang ilmu
gaib (Kotika)
Dan buku yang berisi syair,nyayan-nyayian,teka-teki dan sebaginya
3. Demogarafis
Ada pula orang Bugis-Makassar yang tinggal diluar daerah Sulawesi Selatan. Perantauan
itu sudah berlangsung sejak abad ke-16. Dalam zaman itu ada serangkaian perang anatara
kerajaan di Sulawesi Selatan, yang disambung dengan peperangan melawan Belanda pada
abd ke-19.hal ini yang menjadi penyebab perantauan karena rasa tidak aman. Misalnya
didaerah-daerah pantai timur dan utara Sumatra, pantai barat malaya, dan pantai barat dan
selatan Kalimantan. (orang Bugis Pagatan). Pada abad 17 orang makassar menguasai
perairan laut Nusantara seperti di Ternate, Maluku Barat, Sumbawa, dan Flores Barat,
sehingga banyak orang Bugis-Makassar banyak didaerah tersebut.
4. Bentuk Desa
Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (possi tana) dengan satu
pohon beringin dan kadang-kdang dengan suatu rumah pemujaan atau saukang
Kampung lama dipimpin oleh matowa atau jannang, lompo, toddo dan kedua
pembantunya disebut sariang atau perennung. Suatu gabungan kampung disebut wanua
atau yang disebut sekarang dalam struktur pemerintahan adalah camat.
Rumah Orang Bugis-makassar dibangun atas tiang terdiri dari tiga tiang yang fungsinya
sebagai berikut:
Rakkeang (bahasa Bugis) atau pammakang (bahasa Makassar) adalah bagian atas
ruamah dibawah atap berfungsi untuk menyimpan padi dan benda pusaka.
Ale-bola (bahasa Bugis) atau Kale-Balla (Bahasa Makassar), adalah ruang-ruang untuk
orang tinggal, yang terbagi dalam beberapa ruang-ruang khusus, untuk menerima
tamu,untuk tidur, untuk makan dan unuk dapur
Awasao (bahasa Bugis) atau Passiringang (bahasa Makassar), adalah bagian bawah
lantai panggung berfungsi untuk menyimpan alat-alat pertanian dan dijadikan
kandang ternak.
Selain itu ruamah orang Bugis-Makassar juga digolongkan berdasarkan lapisan sosial yaitu:
Soa-raja (bahasa Bugis) atau balla, lompo (bahasa Makassar) yaitu rumah untuk
bangsawan
Soa-piti (bahasa Bugis) atau tarata (bahasa makassar) yaitu rumah bnetuknya kecil
tanpa atap atasnya (sapana) dan mempunyai bubungan yang bersususn dua
Bola (bahasa Bugis) atau Bala (bahasa Makassar) yaitu rumah buat rakyat
5. Mata Pencaharian
Penduduk Sulawesi Selatan pada umunya petani. Mereka menanam padi bergiliran dan
palawija sawah. Teknik bercocok masih tradisional dan biasanya mereka berada di daerah
pedalam dan tempat terpencil seperti daerah orang tojara.
Ada juga yang mata pencaharian sebagai nelayan yang berada dipesisir pantai.orang
Bugis-Makassar terkenal sebagai pelaut. Perahu-perahu layar mereka tipe penisi dan lombo
dan berlayar sampai di Srilangka dan Filipina. Orang bugis-Makassar juag memiliki hukum
Niaga pelayaran, yang disebut ade’ allopi loping bicaranna pabbalu’e. Mereka juga
mennagkap teripang untuk dijual ke tengkulak dan diekspor ke cina.
Sebelum perang dunia ke-2 Sulawesi Selatan merupakan daerah surplus bahan makanan
yang mengeksport beras dan jagung ke luar daerah lain.
Sulawesi Selatan juga memiliki kerajinan tangan yaitu tenunan sarung sutra dari Mandar
dan wajo dan tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba
6. Sistem Kekerabatan
Assailang Marola ( atau dalam bahasa makassar passilieang baji’na) adalah antara
saudara sepupu sederajat kesatu dari pihak ayah maupun ibu.
Assialanna memang (atau Passialleanna dalam bahasa Makassar) adalah antara
saudara sepupu seerajat kedua dari pihak ayah maupun ibu.
Rippaddeppe’mabelae (atau dalam bahasa Makassar nipakambani bellaya) adalah
antara saudara sepupu sederajat ketiga dari pihak ayah maupun ibu.
Adapun perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara) yaitu:
7. Sistem Kemasyarakatan
Anakarung (ana’karaeng dalam bahasa Makassar) yaitu lapisan kaum kerabat raja-
raja
To-maradeka ( Tu-mara-deka dalam bahasa Makassar) yaitu lapisan orang merdeka
(rakyat Sulawesi Selatan)
Ata yaitu orang budak
H.J. Friedericy berpedoman pada tokoh-tokoh yang disebut didalam La-Galigo dan ia
berkesimpulan bahwa masyarakat orang Bugis-Makassar pada awalnya hanya memiliki dua
lapisan saja dan bahwa ata itu merupakan perkembangan kemudian yang terjadi dalam
zaman perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan dan pada abad
ke-20 lapisan ata hilang karena larangan dari pemerintah Kolonial Belanda dan desakan
agama.
Sesudah perang dunia ke II, arti dan perbedaan lapisan ana karung dan to maradeka
dalam kehidupan masyarakat mulai berkurang dengan cepat. Adapun gelar-gelar ana
karuang seperti Karaenta, Puatta,Andi dan Daeng, walaupun masih dipakai tapi tidak lagi
mempunyai arti seperti dulu.
Ade’ (ada’ dalam makassar) yaitu unsur bagian dari panngadereng secara khusus
terdiri lagi dari:
Ade’ akkalabinengeng atau norma mengenai hal ikhwal perkawinan serta
hubungan kekerabatan dan berwujud sebagai kaidah-kaidah perkawinan, kaidah-
kaidah keturunan, atauran-aturan mengenai hak dan kewajiban ruamah tangga,
etika dan sopan santun pergaulan antara kaum kerabat
Ade’ tana atau norma-norma mengenai hal ikhwal bernegara dan memerintah
negara dan berwujud sebagai hukum negara, hukum antar negara, serta etika dan
pembinaan insan politik.
Bicara adalah unsur bagian dari panngadereng yang menegenai semua aktivitas dan
konsep-konsep tentang peradilan.
Rapang unsur bagian dari panngadereng berarti contoh, kias atau analogi.
Wari unsur bagian dari panngadereng yaitu melakukan klarifikasi dari segala benda,
peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan masyarakat menurut kategori-kategorinya.
Sara’ adalah unsur bagian dari panngadereng yang mengandung pranata-pranata
dan hukum Islam dan melengkapakan keempat unsurnya menjadi lima.
Religi orang Bugis-Makassar dalam zaman pra Islam, seperti yang tampak dari Sure’
Galigo, sebernanya telah mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa yang tunggaal
yang disebut dengan beberapa nama seperti: Patoto-e (Dia yang menetukan nasib), Dewata
Seuwa-e (Dewa yang tunggal), Turie a’rana (kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan
lama seperti ini asih tampak jelas misalnya pada orang To-latong di Kabupaten Sindereng-
Rappang dan pada orang Amma-Towa di kajang, Kabupaten Bulukumba.