Anda di halaman 1dari 7

Kebudayaan Bugis-Makassar

1. Identikasi

Kebudayaan Bugis-Makassar adalah kebudayaan dar suku bangsa Bugis-Makassar yang


mendiam bagian besar dari jazirah selatan pulau Sulawesi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan.
Propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa yaitu:

 Suku bangsa Bugis

Orang Bugis mendiami kabupaten Bulu-Kumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Didenreng-
Rappang, Pinreng, Polewali-Mamasa, Enrekeng, Luwu, Pare-pare, Baru, Pangkajenen
Kepulauan dan Maros. Untuk Kabupaten Pangkajenen Kepulauan dan Kabupaten Maros
mengunakan bahasa Bugis maupun bahasa Makassar. Sedangkan kabupaten Enrekeng,
penduduk sering dinamakan Orang Duri ( Messenrengpulu), mempunyai dialek khusus yaitu
bahasa Duri

 Suku bangsa Makassar

Orang Makassar mendiami kabupaten-kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng,


Maros dan Pangkajene. Penduduk kepulauan Selayar walaupun mengucapakan dialek
khusus biasanya masih dianggap orang Makassar juga

 Suku bangsa Toraja

Orang Toraja mendiami wilayah dari kabupaten kabupaten tana Toraja dan Mamasa.
Mereka biasanya disebut orang Toraja Sa’dan

 Suku bangsa Mandar

Orang Mandar mendiami Kabupaten Majene dan Mamuju. Walaupun suku bangsa ini
mempunyai bahsa khusus yaitu bahasa Mandar, tetapi kebudayaan mereka tidak amat
berbeda dengan orang Bugis-Makassar.

2. Bahasa, Tulisan dan Kesusastraan

Orang bugis mengcapakan bahasa Ugi dan Orang Makassar bahasa Mangkasara. Kedua
bahasa tersebut pernah dipelajari dan diteliti oleh ahli bahasa Belanda yaitu B.F. Matthes
dengan mengambil sebagai sumber, kesusastaraan tertulis yang sudah dimiliki oleh orang
Bugis dan Makassar sejak berabad-abad lamanya. Matthes mengumpulkan naskah-naskah
kesusataaan dalam bentuk lontar, maupun dalam bentuk buku-buku kertas. Naskah-naskah
tersebut disimpan di perpustakaan Matthes di Makassar dan di Universitas Leiden di
Belanda dan beberapa perpustakaan lain di Eropa. Matthes sendiri pernah menerbitkan
beberapa bunga rampai (chrestomatie) dan kamus Bugis-Belanda.

Huruf yang dipakai adalah Aksara Lontara yaitu huruf sanskerta.katanya pada abad 16,
sistem Akasa Lontara di sederhanakan oleh syahbandar kerajaan Goa, Daeng Pamatte dan
masuk abad ke 17 waktu agama islam masuk, maka kesusasatraan Bugis-Makassar ditulis
dalam huruf Arab, yang disebut Aksara Serang.

Sekarang aksara kuno dari orang Bugis dan Makassar hanya tinggal ada yang tulis diatas
kertas dengan pena atau lidi ijuk (kallang) dalam aksara lontara atau aksara serang. Buku
terpenting dalam kesusastraan Bugis-Makassar adalah buku Sure Galigo yaitu buku
himpunan terbesar yang bagi orang Bugi-Makassar sebagai sesuatu yang keramat.kecuali:

 Kesusastraan yang isinya mempunyai fungsi sebagai pedoman dan tata kelakuaan
bagi kehidupan orang, seperti buku himpunan amanat-amanat nenek moyang
(paseng).
 Buku keputusan dan peraturan pemimpin adat ( Rapang)
 Buku kesusastraan sejarah ,seperti silsilah raja-raja,cerita-cerita pahlawan yang
dibumbuhi sifat-sifat legendaris (Pau-pau)
 Buku dongeng rakyat atau cerita yang mengandung catatan-catatan tentang ilmu
gaib (Kotika)
 Dan buku yang berisi syair,nyayan-nyayian,teka-teki dan sebaginya
3. Demogarafis

Ada pula orang Bugis-Makassar yang tinggal diluar daerah Sulawesi Selatan. Perantauan
itu sudah berlangsung sejak abad ke-16. Dalam zaman itu ada serangkaian perang anatara
kerajaan di Sulawesi Selatan, yang disambung dengan peperangan melawan Belanda pada
abd ke-19.hal ini yang menjadi penyebab perantauan karena rasa tidak aman. Misalnya
didaerah-daerah pantai timur dan utara Sumatra, pantai barat malaya, dan pantai barat dan
selatan Kalimantan. (orang Bugis Pagatan). Pada abad 17 orang makassar menguasai
perairan laut Nusantara seperti di Ternate, Maluku Barat, Sumbawa, dan Flores Barat,
sehingga banyak orang Bugis-Makassar banyak didaerah tersebut.

Adapun migrasi besar-besaran di tahun 1950, orang Bugis-Makassar banyak yang


pindah ke pulau jawa akibat dari kekacauan peperangan melawan Belanda dan
pemberontakan Kahar Muzakar terhadap NKRI.

4. Bentuk Desa

Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (possi tana) dengan satu
pohon beringin dan kadang-kdang dengan suatu rumah pemujaan atau saukang

Kampung lama dipimpin oleh matowa atau jannang, lompo, toddo dan kedua
pembantunya disebut sariang atau perennung. Suatu gabungan kampung disebut wanua
atau yang disebut sekarang dalam struktur pemerintahan adalah camat.

Rumah Orang Bugis-makassar dibangun atas tiang terdiri dari tiga tiang yang fungsinya
sebagai berikut:

 Rakkeang (bahasa Bugis) atau pammakang (bahasa Makassar) adalah bagian atas
ruamah dibawah atap berfungsi untuk menyimpan padi dan benda pusaka.
 Ale-bola (bahasa Bugis) atau Kale-Balla (Bahasa Makassar), adalah ruang-ruang untuk
orang tinggal, yang terbagi dalam beberapa ruang-ruang khusus, untuk menerima
tamu,untuk tidur, untuk makan dan unuk dapur
 Awasao (bahasa Bugis) atau Passiringang (bahasa Makassar), adalah bagian bawah
lantai panggung berfungsi untuk menyimpan alat-alat pertanian dan dijadikan
kandang ternak.

Selain itu ruamah orang Bugis-Makassar juga digolongkan berdasarkan lapisan sosial yaitu:

 Soa-raja (bahasa Bugis) atau balla, lompo (bahasa Makassar) yaitu rumah untuk
bangsawan
 Soa-piti (bahasa Bugis) atau tarata (bahasa makassar) yaitu rumah bnetuknya kecil
tanpa atap atasnya (sapana) dan mempunyai bubungan yang bersususn dua
 Bola (bahasa Bugis) atau Bala (bahasa Makassar) yaitu rumah buat rakyat
5. Mata Pencaharian

Penduduk Sulawesi Selatan pada umunya petani. Mereka menanam padi bergiliran dan
palawija sawah. Teknik bercocok masih tradisional dan biasanya mereka berada di daerah
pedalam dan tempat terpencil seperti daerah orang tojara.

Ada juga yang mata pencaharian sebagai nelayan yang berada dipesisir pantai.orang
Bugis-Makassar terkenal sebagai pelaut. Perahu-perahu layar mereka tipe penisi dan lombo
dan berlayar sampai di Srilangka dan Filipina. Orang bugis-Makassar juag memiliki hukum
Niaga pelayaran, yang disebut ade’ allopi loping bicaranna pabbalu’e. Mereka juga
mennagkap teripang untuk dijual ke tengkulak dan diekspor ke cina.

Sebelum perang dunia ke-2 Sulawesi Selatan merupakan daerah surplus bahan makanan
yang mengeksport beras dan jagung ke luar daerah lain.

Sulawesi Selatan juga memiliki kerajinan tangan yaitu tenunan sarung sutra dari Mandar
dan wajo dan tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba

6. Sistem Kekerabatan

Adat Bugis-Makassar menetapkan perkawinan ideal sebagai berikut:

 Assailang Marola ( atau dalam bahasa makassar passilieang baji’na) adalah antara
saudara sepupu sederajat kesatu dari pihak ayah maupun ibu.
 Assialanna memang (atau Passialleanna dalam bahasa Makassar) adalah antara
saudara sepupu seerajat kedua dari pihak ayah maupun ibu.
 Rippaddeppe’mabelae (atau dalam bahasa Makassar nipakambani bellaya) adalah
antara saudara sepupu sederajat ketiga dari pihak ayah maupun ibu.
Adapun perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara) yaitu:

 Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah


 Antara saudara sekandung
 Menantu dan mertua
 Anatara paman atau bibi dengan kemanakannya
 Anatara kakek atau nenek dengan cucunya

Perkawinana dilangsungkan secara adat deretan kegitan sebagai berikut:

 Mappuce-puce (Akusissing dalam bahasa Makassar) yaitu kunjungan dari keluarga


laki-laki ke keluarga perempuan untuk memeriksa kemungkinan apakah peminangan
dapat dilakukan.
 Massuro (assuro dalam bahasa Makassar) yaitu kunjungan dari utusan pihak laki-laki
kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan jenis sunreng atau
mas kawin, balanja atau belanja perkawinan penyelenggara pesta dan sebagainya.
 Maduppa (Ammuntuli dalam bahasa Makassar) yaitu memberitahu kepada semua
kaum keraabat mengenai perkawinan yang akan datang.

7. Sistem Kemasyarakatan

H.J. Friedericy pernah menulis sebuah disertasi dimana ia menggambarkan pelapisan


masyarakat orang bugi-Makassar dari zaman sebelum pemerintah Belanda menguasai
Sulawesi Selatan. Sumber H.J. Friedericy adalah buku asli Bugis-Makssar yaitu La-Galigo.
Menurut H.J. Friedericy dulu ada tiga lapisan pokok, ialah :

 Anakarung (ana’karaeng dalam bahasa Makassar) yaitu lapisan kaum kerabat raja-
raja
 To-maradeka ( Tu-mara-deka dalam bahasa Makassar) yaitu lapisan orang merdeka
(rakyat Sulawesi Selatan)
 Ata yaitu orang budak
H.J. Friedericy berpedoman pada tokoh-tokoh yang disebut didalam La-Galigo dan ia
berkesimpulan bahwa masyarakat orang Bugis-Makassar pada awalnya hanya memiliki dua
lapisan saja dan bahwa ata itu merupakan perkembangan kemudian yang terjadi dalam
zaman perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan dan pada abad
ke-20 lapisan ata hilang karena larangan dari pemerintah Kolonial Belanda dan desakan
agama.

Sesudah perang dunia ke II, arti dan perbedaan lapisan ana karung dan to maradeka
dalam kehidupan masyarakat mulai berkurang dengan cepat. Adapun gelar-gelar ana
karuang seperti Karaenta, Puatta,Andi dan Daeng, walaupun masih dipakai tapi tidak lagi
mempunyai arti seperti dulu.

8. Adat yang keramat dan Agama

Sistem keramat orang Bugis-Makassar ada lima unsur pokok yaitu:

 Ade’ (ada’ dalam makassar) yaitu unsur bagian dari panngadereng secara khusus
terdiri lagi dari:
 Ade’ akkalabinengeng atau norma mengenai hal ikhwal perkawinan serta
hubungan kekerabatan dan berwujud sebagai kaidah-kaidah perkawinan, kaidah-
kaidah keturunan, atauran-aturan mengenai hak dan kewajiban ruamah tangga,
etika dan sopan santun pergaulan antara kaum kerabat
 Ade’ tana atau norma-norma mengenai hal ikhwal bernegara dan memerintah
negara dan berwujud sebagai hukum negara, hukum antar negara, serta etika dan
pembinaan insan politik.
 Bicara adalah unsur bagian dari panngadereng yang menegenai semua aktivitas dan
konsep-konsep tentang peradilan.
 Rapang unsur bagian dari panngadereng berarti contoh, kias atau analogi.
 Wari unsur bagian dari panngadereng yaitu melakukan klarifikasi dari segala benda,
peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan masyarakat menurut kategori-kategorinya.
 Sara’ adalah unsur bagian dari panngadereng yang mengandung pranata-pranata
dan hukum Islam dan melengkapakan keempat unsurnya menjadi lima.
Religi orang Bugis-Makassar dalam zaman pra Islam, seperti yang tampak dari Sure’
Galigo, sebernanya telah mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa yang tunggaal
yang disebut dengan beberapa nama seperti: Patoto-e (Dia yang menetukan nasib), Dewata
Seuwa-e (Dewa yang tunggal), Turie a’rana (kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan
lama seperti ini asih tampak jelas misalnya pada orang To-latong di Kabupaten Sindereng-
Rappang dan pada orang Amma-Towa di kajang, Kabupaten Bulukumba.

Anda mungkin juga menyukai