Anda di halaman 1dari 18

Keragaman Budaya Pulau Sulawesi

oleh: Felycia Amelia Putri Eduard / V (Lima)

Peta Sulawesi

Pulau Sulawesi adalah salah satu pulau besar di Indonesia, dengan


wilayah seluas 180 ribu km2. Di pulau yang terletak di tengah Indonesia ini
terdapat berbagai suku bangsa seperti:

1. Suku Makassar
Suku Makassar mendiami wilayah sekitar kota Makassar di bagian
selatan provinsi Sulawesi Selatan. Suku Makassar berjumlah sekitar 2,4 juta
jiwa dan terkenal sebagai pelaut. Selain di pulau Sulawesi, suku Makassar
juga dapat ditemui di pulau Selayar di selatan Sulawesi.
Lidah Makassar menyebutnya Mangkasara’ berarti “Mereka yang
Bersifat Terbuka.” Mereka menggunakan bahasa Makassar yaitu Basa
Mangkasara’.

1|Page
Suku Makassar juga mempunyai tarian-tarian adat yaitu “Ma’raga”
(untuk atraksi permainan tradisional), “Mappadendang” (untuk atraksi
permainan rakyat Makassar), “Pepe-pepeki ri Mangga” (untuk tarian magis
atau mistis), permainan gendang, atraksi “Gandrang Bulo”, serta Tari Kipas
Pakarena.

Rumah Adat: Rumah Balla Lompoa

Balla Lompoa adalah istana kediaman raja Gowa, yang berarti rumah


besar. Balla Lompoa berada di tengah Kota Sungguminasa, Kabupaten
Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di Jalan Sultan Hasanuddin No
48. Lokasi itu merupakan situs budaya dalam sebuah komplek yang luasnya
sekitar tiga hektar.
Balla Lompoa dibangun tahun 1936 setelah diangkatnya Raja Gowa ke-
XXXV I Mangimangi Daeng Matutu, Karaeng Bontonompo yang
bergelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Balla Lompoa adalah
kediaman raja sekaligus sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Gowa.
Pembangunan istana dan pusat kegiatan pemerintahan dilakukan sebagai
penolakan terhadap salah satu ayat Perjanjian Bungaya yang menyatakan
bahwa gerbang-gerbang dan tembok pertahanan raja Gowa harus
dimusnahkan dan raja Gowa tidak boleh lagi mendirikan bangunan tanpa
izin kompeni. Raja Gowa tidak boleh mendirikan perkampungan, rumah dan
sebagainya sampai jauhnya satu hari perjalanan dari pinggir laut, juga
dilarang mendirikan benteng-benteng atau kubu-kubu pertahanan. Yang
dipertahankan oleh Belanda hanya Benteng Ujung Pandang yang kemudian
berganti nama menjadi Fort Rotterdam.
2|Page
Pakaian Adat: Baju Bodo

Baju Bodo adalah pakaian tradisional perempuan suku Bugis dan


suku Makassar, Sulawesi, dan Bugis Pagatan, Kalimantan, Indonesia.
Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia.
Menurut adat Bugis, setiap warna baju bodo yang dipakai oleh perempuan
Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya.
Jingga > Dipakai oleh anak perempuan berumur 10 tahun.
Jingga dan Merah > Dipakai oleh gadis berumur 10 sampai 14 tahun.
Merah > Dipakai oleh perempuan berumur 17 sampai 25 tahun.
Putih > Dipakai oleh para dayang dan dukun.
Hijau > Dipakai oleh perempuan bangsawan.
Ungu > Dipakai oleh para janda.
Pakaian ini kerap dipakai untuk acara adat seperti upacara pernikahan.
Tetapi kini, baju bodo mulai direvitalisasi melalui acara lainnya seperti
lomba menari atau menyambut tamu agung.

3|Page
Kebudayaan: Tari Kipas Pakarena

Tarian Adat Suku Makassar yang paling terkenal ialah Tari Pakarena.
Tari Pakarena ialah tarian tradisional yang diiringi oleh 2 (dua) kepala drum
(gandrang) dan sepasang instrumen alat semacam suling (puik-puik). Tari
Pakarena di Sulawesi Selatan terdapat di 2 (dua) kabupaten selain Tari
Pakarena dari kabupatan Gowa yang pernah dimainkan oleh maestro Tari
Pakarena Maccoppong Daeng Rannu, terdapat juga jenis tari pakarena lain
yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu Tari Pakarena
Gantarang. Disebut sebagai Tari Pakarena Gantarang karena tarian ini
berasal dari Selayar di sebuah perkampungan yang merupakan pusat
kerajaan di Pulau Selayar pada masa lalu yaitu Gantarang Lalang Bata.
Tarian yang dimainkan oleh empat orang penari perempuan ini pertama kali
ditampilkan pada abad ke 17 tepatnya tahun 1603 saat Pangali Patta Raja
dinobatkan sebagai Raja di Gantarang Lalang Bata.

2. Suku Bugis
Suku Bugis mendiami bagian tengah Sulawesi Selatan, sekitar
kabupaten Bone, Soppeng dan Wajo. Suku Bugis berjumlah sekita 5 juta jiwa.
Suku Bugis dan Makasar memiliki kedekatan budaya, dan sama-sama
mayoritas beragama Islam.
Suku Bugis merupakan kelompok etnik yang berasal dari Sulawesi
Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat,

4|Page
sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi
sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan
Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.
Bahasa Suku Bugis terdiri dari beberapa logat bahasa. Seperti dialek
Pinrang yang mirip seperti dialek Sidrap, dialek Bone (logat yang berbeda
dengan Bone Utara dan Bone Selatan), dialek Soppeng, dialek Wajo (logat
yang berbeda juga dengan Wajo bagian Utara, Wajo bagian Selatan, Wajo
bagian Timur dan Wajo Barat), dialek Barru serta dialek Sinjai. Masyarakat
Suku Bugis juga mempunyai penulisan tradisional yaitu ‘Aksara Lontara’.

Contoh Aksara Lontara

Aksara Lontara, juga dikenal sebagai aksara Bugis, aksara Bugis-


Makassar, atau aksara Lontara Baru adalah salah satu aksara tradisional
Indonesia yang berkembang di Sulawesi Selatan. Aksara ini terutama
digunakan untuk menulis bahasa Bugis dan Makassar, tetapi dalam
pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh
Bugis-Makassar seperti Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan
tambahan atau modifikasi. Aksara ini merupakan turunan dari aksara
Brahmi India melalui perantara aksara Kawi. Aksara Lontara aktif digunakan
sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak
abad 16 Sebelum Masehi hingga awal abad 20 Sebelum Masehi sebelum
fungsinya sedikit demi sedikit tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini

5|Page
masih diajarkan di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari muatan lokal, tetapi
dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.
Aksara Lontara adalah sistem tulisan Abugida yang terdiri dari 23
aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan
merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat
diubah dengan pemberian tanda baca tertentu. Arah penulisan aksara
Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi
antarkata (scriptio continua atau “ditulis secara berkelanjutan”) dengan tanda
baca yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan
konsonan, tidak ditulis dalam aksara Lontara, sehingga teks Lontara secara
inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan
dengan konteks.
(Catatan: Aksara Lontara terdiri dari 23 huruf untuk Lontara Bugis dan
19 huruf untuk Lontara Makassar. Selain itu, perbedaan Lontara
Bugis dengan Lontara Makassar yaitu pada Lontara
Bugis dikenal huruf ngka' “ᨃ”, mpa' “ᨇ”, nca' “ᨏ”, dan nra' “ᨋ”.
Sedangkan pada Lontara Makassar huruf tersebut tidak ada.)

Contoh kata ‘Lontara’ jika ditulis dalam Aksara Lontara.

(Catatan 2: Aksara Lontara kebanyakan ditemukan dalam bentuk buku


dengan kertas yang diimpor dari Eropa. Memasuki pertengahan abad 19
M, berkembang teknologi cetak aksara Lontara yang diprakarsai oleh B.
F. Matthes. Matthes dikomisikan oleh Lembaga Penginjilan Belanda
untuk mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan
dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan
terjemahan Injil yang layak bagi bahasa-bahasa tersebut.)

6|Page
(Catatan 3: Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pra-kemerdekaan,
aksara Lontara kerap digunakan dalam sejumlah tradisi teks yang
berhubungan, sebagian besarnya dalam bentuk manuskrip atau naskah
kertas. Istilah lontara (kadang dieja lontaraq atau lontara' untuk
menandakan bunyi hentian glotal di akhir) juga mengacu pada suatu
genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang
paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh
masyarakat Bugis dan Makassar. Genre ini bisa dibagi ke dalam
beberapa sub-jenis: silsilah (lontara' pangngoriseng), catatan harian
(lontara' bilang), dan catatan sejarah atau kronik (attoriolong dalam
bahasa Bugis, patturioloang dalam bahasa Makassar).

Rumah Adat: Rumah Panggung Kayu

7|Page
Karakter khas rumah Bugis–Makassar adalah berbentuk panggung dan
disebut juga rumah panggung kayu. Rumah adat ini memiliki ciri khas atap
yang berbentuk pelana dan memiliki timpalaja dengan jumlah tertentu sebagai
simbol status sosial. Timpalaja atau disebut gevel (gable) merupakan bidang
segitiga antara dinding dan pertemuan atap.
Rumah suku Bugis memiliki 3 bagian penting yaitu Rakkeang, Bola, dan
Awasao. Bagian Rakkaeng berfungsi untuk area menyimpan barang berharga
seperti emas, perak, keris, ataupun perhiasan. Rakkeang juga bisa
dimanfaatkan sebagai area menyimpan persediaan makanan. Bagian kedua
yaitu Bola atau Kalle Balla. Bagian ini khusus dipakai untuk kebutuhan
pemilik, misalnya untuk ruang tamu, ruang tidur, ruang makan dan dapur.
Ruangan terakhir adalah Awasao atau Passiringan. Biasanya, pemilik rumah
menyimpan hewan ternak, atau alat pertanian dan alat bekerja lainnya.
Rumah panggung kayu ini dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan status
sosial penghuninya. Rumah Saoraja atau Sallasa adalah rumah besar untuk
keturunan raja atau kaum bangsawan, sedangkan rumah yang ditempati
masyarakat biasa disebut Bola.

Pakaian Adat: Baju Bodo

8|Page
Baju Bodo adalah pakaian tradisional perempuan suku Bugis dan
suku Makassar, Sulawesi, dan Bugis Pagatan, Kalimantan, Indonesia.
Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia.
Menurut adat Bugis, setiap warna baju bodo yang dipakai oleh perempuan
Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya.
Jingga > Dipakai oleh anak perempuan berumur 10 tahun.
Jingga dan Merah > Dipakai oleh gadis berumur 10 sampai 14 tahun.
Merah > Dipakai oleh perempuan berumur 17 sampai 25 tahun.
Putih > Dipakai oleh para dayang dan dukun.
Hijau > Dipakai oleh perempuan bangsawan.
Ungu > Dipakai oleh para janda.
Pakaian ini kerap dipakai untuk acara adat seperti upacara pernikahan.
Tetapi kini, baju bodo mulai direvitalisasi melalui acara lainnya seperti
lomba menari atau menyambut tamu agung.

3. Suku Toraja
Suku Toraja mendiami dataran tinggi Toraja, di perbatasan Sulawesi
Barat dan Sulawesi Selatan. Suku ini berjumlah sekitar 500 ribu jiwa, dan
mayoritas beragama Kristen. Suku Toraja terkenal akan budaya seperti
rumah tongkonan dan adat pemakamannya.

Rumah Adat: Rumah Tongkonan

9|Page
Tongkonan dalam bahasa Toraja diartikan sebagai
tempat duduk (tongkon= duduk). Tongkonan merupakan rumah panggung
tradisional Masyarakat Toraja berbentuk persegi empat panjang. Dibuat
sebagai rumah panggung, agar penghuni tidak mudah diganggu
oleh binatang buas.
Kata tongkonan berasal dari kata tongkon yang berarti 'duduk',
mendapat akhiran 'an' maka menjadi tongkonan yang artinya tempat duduk
dan ongan berarti bernaung (berlindung). Duduk dan bernaung
(berlindung) merupakan perpaduan pengertian kata Tongkonan. Arti kata
tongkon dapat digunakan dalan sistem konstruksi dengan padanan kata
meletakkan bagian satu dengan lainnya dalam istilah struktur disebut dengan
menyusun bagian satu dengan lainnya.
Tongkonan adalah rumah adat orang Toraja, yang merupakan tempat
tinggal, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya orang
Toraja. Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki
secara komunal dan turun temurun oleh keluarga atau marga Suku Tana
Toraja.
Tongkonan biasanya dijaga dan dipelihara oleh seseorang yang
dipercayakan mengelolanya (to ma’kampai tongkonan), dan biasanya orang
yang sekaligus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta menjaga,
memelihara, dan mengorganisir upacara-upacara yang dilaksanakan oleh
anggota keluarga tongkonan tersebut. Menggadaikan atau
menjual harta tongkonan, khususnya Rumah Tongkonan dan/atau lahan
dimana ia didirikan, dipercaya akan membawa bencana.

Pakaian Adat: Baju Pokko

10 | P a g e
Baju Pokko merupakan baju adat dari suku Toraja, yang digunakan
untuk kaum wanita. Ciri – ciri dari pakaian ini adalah, lengan pendek dan
warna yang cukup mencolok. Warna dari Baju Pokko berupa kuning, merah,
dan putih.
Baju Pokko ini, umumnya akan dikenakan bersamaan dengan berbagai
perhiasan berbagai manik. Manik-manik akan dikenakan pada dada,
ditambah dengan gelang dan ikat kepala maupun ikat pinggang yang disebut
dengan Kandure. Baju Pokko ini, bias dibilang seperti baju batik bagi
Indonesia ala Sulawesi Selatan. Hal ini karena Baju Pokko umumnya
dikenakan saat acara-acara resmi.
Bagi masyarakat Tana Toraja, warganya masih melestarikan baju adat
ini. Bahkan setiap PNS di wilayah Kabupaten Tana Toraja diwajibkan untuk
mengenakan Baju Pokko, setiap hari Sabtu. Tidak hanya warga wanitanya
saja yang mengenakan pakaian adat, kaum pria pun diwajibkan untuk
mengenakan pasangan dari Baju Pokko yaitu Seppa Tallung.

Kebudayaan: Ukiran Kayu Toraja

Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem


tulisan. Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja
membuat ukiran kayu dan menyebutnya Passura’ (atau "tulisan"). Oleh
karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

11 | P a g e
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya
adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya
tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang
melambangkan kesuburan. Gambar di atas memperlihatkan contoh ukiran
kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah
melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu
keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan
simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan
bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang
tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas
melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat
dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini
juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk
menghasilkan hasil yang baik.
4. Suku Gorontalo
Suku Gorontalo atau Hulontalo, tinggal di provinsi Gorontalo, di
bagian utara Sulawesi. Suku ini berjumlah sekitar 1,2 juta jiwa. Suku
Gorontalo kebanyakan bermatapencaharian petani dan nelayan, dan
mayoritas beragama Islam.

Rumah Adat: Rumah Dulohupa (Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo)

12 | P a g e
Masyarakat Gorontalo kerap kali menyebut Rumah Adat Dulohupa
dengan sebutan Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo.
Rumah adat ini berfungsi sebagai tempat untuk melakukan
musyawarah untuk mencapai mufakat. Selain itu, menjadi tempat untuk
mengadili individu atau memutuskan berbagai perkara yang terjadi saat masa
pemerintahan kerajaan Gorontalo. Contohnya seperti upacara adat
pernikahan, pagelaran budaya, maupun berbagai upacara adat lainnya yang
ada di Gorontalo.

Pakaian Adat: Biliu dan Mukuta

Biliu dan Mukuta merupakan sepasang pakaian adat Suku Gorontalo


yang umumnya hanya dipakai saat atau ketika adanya upacara pernikahan.
Biliu biasanya dipakai oleh mempelai wanita saja, sedangkan Mukuta dipakai
oleh mempelai pria.
a. Biliu
Pakaian Biliu atau pakaian adat untuk perempuan Gorontalo memiliki
banyak aksesoris hiasan pernak-pernik. Hal itu membuat seorang
perempuan Gorontalo yang mengenakan pakaian adat tersebut terlihat
glamor dan memesona. Keistimewaan baju tersebut bahkan akan
menampakkan perempuan gorontalo bagai seorang ratu pada sebuah
kerajaan.

13 | P a g e
Pada baju adat biliu terdapat 8 macam aksesoris yang dikenakan oleh
perempuan Gorontalo. Setiap aksesoris juga memiliki makna filosofis
tersendiri. Di antaranya adalah baya lo boute merupakan sebuah ikat
kepala yang dimaknai sebagai simbol ikatan pernikahan dengan pria dan
dimaknai sebagai perempuan yang harus memenuhi kewajiban sebagai
seorang istri. Tuhi-tuhi atau sebuah aksesoris kepala yang memiliki 7 buah
gafah yang memiliki simbol kekerabatan antara 7 kerajaan besar di
Gorontalo. Lai-lai merupakan aksesoris yang dikenakan pada ubun-ubun
kepala, lai-lai juga dimaknai sebagai budi luhur, kesucian dan keberanian
seorang perempuan. Bouhu walu wawu dehu adalah kalung berwarna
keemasan atau warna perak yang memiliki makna ikatan kekeluargaan
yang akan terjalin antara pengantin pria dan wanita. Kecubu, aksesoris
yang dimaknai sebagai kekuatan yang dimiliki seorang istri dalam
menghadapi kehidupan. Aksesoris entango diartikan sebagai istri yang
menjalankan syariat islam dan mempunyai sifat kesederhanaan.
Selanjutnya aksesoris pateda atau gelang berwarna keemasan diartikan
sebagai benteng diri dan mengendalikan diri dari sifat-sifat tercela dan
melanggar hukum adat. Terakhir adalah loubu adalah aksesoris yang
dikenakan pada jari kelingking dan dimaknai sebagai sebuah ketelitian yang
harus diperhatikan oleh perempuan yang sudah menyandang status istri
dalam setiap aktivitas.
b. Mukuta

Pakaian adat pria atau mukuta lebih simpel. Hanya memiliki 3


aksesoris yang dikenakan oleh laki-laki atau pengantin pria. 

Aksesoris tersebut di antaranya: tudung makuta sebuah hiasan kepala


yang menyerupai hiasan semacam bulu unggas, berbentuk tutup kepala
yang menjulai tinggi ke atas serta melengkung ke arah belakang. Tutup
kepala yang memiliki nama lain laapia bantali sibi itu memiliki filosofi sifat
seorang suami atau pemimpin keluarga yang memiliki jiwa kepemimpinan
dan berwibawa, serta memiliki sifat kelembutan. Bako atau kalung
berwarna keemasan yang dikenakan pria. Aksesoris ini dimaknai bahwa
pria Gorontalo telah memiliki sebuah ikatan pernikahan dengan seorang
perempuan. Aksesoris pakaian pria selanjutnya adalah pasimeni, sebuah
hiasan pada pakaian baju adat pria yang melambangkan keadaan rumah
tangga yang harmonis, damai tanpa adanya suatu pergolakan di dalam
rumah tangga yang menimbulkan keretakan dalam rumah tangga itu
sendiri.

14 | P a g e
Pakaian Adat Gorontalo mempunyai 7 warna dan maknanya tersendiri.
Tujuh warna tersebut yakni merah, hijau, kuning, ungu, cokelat, hitam serta
putih.
Makna dari ketujuh warna tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Merah yang berarti keberanian dan tanggung jawab seorang manusia,
b. Hijau yang berarti kesuburan, kesejahteraan, kerukunan dan kedamaian
dalam kehidupan masyarakat Gorontalo,
c. Kuning yang berarti kejujuran, kesetiaan dan kesabaran dalam
melakukan suatu aktivitas baik pemimpin maupun individu (unit terkecil
pembentuk masyarakat atau bagian kecil dari kelompok masyarakat
yang tidak dapat dipisah lagi menjadi bagian yang lebih kecil.)
masyarakat Gorontalo,
d. Ungu yang berarti kewibawaan dan keagungan, kedua makna tersebut
dilambangkan menjadi sebuah kekuatan dalam memimpin suatu
kekuasaan,
e. Cokelat yang berarti tanah yang menjadi salah satu alasan atau unsur
kehidupan dan dimaknai bahwa semua kehidupan pada akhirnya akan
kembali ke tanah,
f. Hitam yang berarti keteguhan dan ketakwaan, sehingga masyarakat
Gorontalo yang sudah memeluk ajaran Islam akan menjalankan ajaran
syariat Islam atau aturan dalam ajaran Islam dengan keteguhan sertaa
ketakwaan yang sebenarnya, dan
g. Putih yang berarti kesucian dan juga rasa duka. Warna putih ini
dikaitkan dengan sebuah kesucian manusia dan seperti bayi yang
masih dianggap suci serta belum terkena dengan dosa duniawi.

Kebudayaan: Tahuli (Musyawarah Masyarakat Gorontalo)

15 | P a g e
Tahuli merupakan kebiasaan musyawarah dalam adat dan budaya di
daerah Gorontalo. Tahuli ini member makna bahwa manusia yang memiliki
sifat rasa tanggung jawab, yang memiliki kemampuan yang cerdik dan pandai
yakni memiliki rasa musyawarah dalam menghadapi masalah yang
merencanakan sesuatu.
Tahuli pertama kali disampaikan oleh orang yang memangku adat pada
waktu penobatan Raja Sultan Eato di tahun 1973.

5. Suku Minahasa
Suku Minahasa mendiami ujung utara provinsi Sulawesi Utara, di
sekitar ibukota Manado dan dataran tinggi di dekat danau Tondano. Suku
Minahasa mayoritas beragama Kristen.

Rumah Adat: Walewangko

Rumah Walewangko atau Rumah Pewaris adalah rumah adat Suku


Minahasa. Rumah Walewangko termasuk dalam golongan rumah panggung.
Dikarenakan, tiang penopang terbuat dari kayu yang kokoh.
Arsitektur bangunan rumah Minahasa memiliki dua bentuk, yakni,
rumah panjang yang disebut ‘Walewangko yang tidak memiliki dinding kamar
dari papan dan loteng. Bagian dalam rumah hanya terdiri dari tiang-tiang
penyanggah atap rumah, dan tiang-tiang ini diberi rentangan tali atau bambu
untuk menggantung anyaman bambu atau tikar yang berfungsi sebagi sekat
pembatas ruangan.

16 | P a g e
(Catatan: Pada bentuk fisik rumah adat yang memiliki dua tiang
penopang, penyanggah tersebut tidak boleh disambung.)
Bagian kolong atau bawah rumah Walewangko bisa dimanfaatkan
sebagai tempat penyimpanan hasil panen atau godong.

Pakaian Adat: Karai dan Wuyang

Pakaian adat Sulawesi Utara khas Minahasa di masa lalu terdiri


dari pakaian Karai untuk laki-laki , dan Wuyang untuk perempuan .

Bentuk baju karai tanpa lengan, lurus, berwarna hitam dan terbuat
dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan
panjang, memakai kerah dan saku disebut baju baniang. Celana yang
dipakai masih sederhana, terdiri dari celana pendek sampai celana
panjang seperti celana piyama.

Sementara baju wuyang untuk perempuan terbuat dari kulit kayu


menyerupai kebaya. Selain itu, mereka memakai blus atau gaun   yang
disebut pasalongan rinegetan. Seiring waktu, busana Minahasa makin
berkembang dan banyak mendapat pengaruh dari luar,
seperi Tiongkok  dan Eropa, dalam hal ini negara Spanyol.

17 | P a g e
Pakaian wanita dengan sentuhan Spanyol berupa kebaya lengan
panjang dipadukan rok bervariasi. Sementara sentuhan Tiongkok berupa
kebaya warna putih dipadu dengan kain khas  Tiongkok bermotif burung
dan bunga-bungaan. Pakaian pria dengan pengaruh Spanyol berupa baju
lengan panjang atau baniang, yang modelnya menyerupai jas tutup
dengan celana panjang.

(Catatan: Bahan baju ini terbuat dari kain blacu warna putih.)

Pakaian Adat: Karai dan Wuyang

Tarian Maengket adalah tarian yang biasanya dibawakan oleh


sejumlah pasangan laki-laki dan perempuan dengan ditambah satu orang
sebagai pemimpin yang mengangkat suara untuk memulai nyanyian yang
mengiringi gerakan tarian. Tarian yang pada awalnya dilakukan hanya pada
saat selesai panen padi sekarang tarian ini bertambah dua babak yang
melambangkan peristiwa kehidupan lainnya. Babak yang pertama
disebut Maowey Kamberu adalah tarian pengucapan syukur atas selesainya
panen padi. Kemudian babak kedua disebut Marambak adalah semangat
kegotong-royongan dalam membangun rumah baru dan babak yang ketiga
disebut Lalayaan melambangkan bagaimana pemuda-pemudi zaman dahulu
mencari jodoh.

18 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai