Anda di halaman 1dari 17

TERBENTUKNYA KERAJAAN SUPPAQ DAN SAWITTO

DAN INDIKASI HUBUNGANNYA DENGAN MIGRASI MELAYU MELAKA:

TOTOMPO DAN IDENTITAS MELAYU-MELAKA DI SUPPA’:


HUBUNGAN SUPPA’ DENGAN DUNIA LUAR PADA MASA AWAL

Muhlis Hadrawi
Departemen Sastra Bugis-Makassar, Fak Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin
email: muhlisbugis@yahoo.com

Abstrak
Tulisan ini membincangkan Kerajaan Suppa’ sebagai kerajaan Bugis di Peisisr Barat yang
diprediksi tumbuh lebih awal sebagai kerajaan maritim dan menjalin hubungan dengan dunia
luar melalui pelayaran dan perdagangan. Kajian didasarkan pada dua naskah yaitu Attoriolong
Suppa’-Sawitto dan Attoriolong Bacukiki sebagai data utama dan diolah berdasarkan kaidah-
kaidah filologi. Data-data lontara yang ada itu kemudian dihubungkan dengan literatur dan hasil
penelitian lainnya seperti jurnal dan buku-buku. Di samping itu, data lontara juga diselaraskan
pula dengan tradisi lisan pada masyarakat Suppa’ untuk menghasilkan informasi yang sesuai dan
lebih sempurna. Hasil kajian menunjukkan bahwa Suppa’ diprediksi sebagai kerajaan Bugis yang
mengawali kegiatan maritim di Peisisr Barat Sulawesi Selatan, dan diprediksi pula menjadi
destinasi terawal oleh para penghijrah dan peniaga Melayu dari Melaka. Pelbagai ciri atau tanda
budaya yang menunjukkan identitas Melayu telah dijumpai pada teks-teks lontara, seperti mitos
Totompo di Suppa’ bernama We Tepulinge yang kemudian diangkat menjadi raja Suppa’
menyusul perkawinannya dengan Raja Bacukiki, La Bangenge. Identitas budaya Melayu-Melaka
lainnya seperti nama istana Suppa’. Tanda budaya yang lainnya adalah mitos warna Kuning yang
hingga kini masih hidup pada masayarakt Suppa’; serta kata Lamalaka yang menjadi nama istana
Suppa’. Tanda ini mengindikasikan adanya jejak budaya Melayu sekaligus menunjukkan adanya
hubungan antara Suppa’ dan Melaka pada masa lampau.

Outline baru

TERBENTUKNYA KERAJAAN2 SULAWESI SELATAN


KONSEP TUMANURUNG DAN TOTOMPO
KONSEP TOTOMPO DI SUPPAQ DAN SAWITTO
SUPPAQ DAN SAWITTO MENJADI KERAJAAN BUGIS KEMBAR
IDENTITAS KOSMOLOGI MELAYU MELAKA DI SUPPAQ DAN SAWITTO

A. PENDAHULUAN
Kehadiran orang Melayu di beberapa kepulauan Nusantara, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan,
dapat dijelaskan sebagai fenomena penghijrahan. Manuskript attoriolong (kronik) Bugis
mengungkapkan keberadaan orang Melayu di Sulawesi Selatan era pra-Islam lebih utama
sebagai fakta penghijraan, serta perdagangan dan perlayaran, kemudian misi penyebaran agama
Islam. Naskah-naskah Bugis mencatat peristiwa kedatangan orang-orang Melayu di Sulawesi
Selatan dengan aspek khusus seperti, tokoh atau komunitas Melayu, kontrak sosial pemukiman,
hubungan perkawinan, jalinan silsilah, peranan orang Melayu di bidang ekonomi, perdagangan,
birokrasi, politik, dan aspek-aspek lainnya. Isu-isu tentang orang Melayu di Sulawesi Selatan
terutama pada abad awal hingga kini belum banyak dikaji sehingga informasinya masih sangat
kurang diketahui oleh khalayak. Sepatutnya dipahami bahwa keberadaan orang Melayu di
Sulawesi Selatan telah menyimpan fakta historis, budaya yang unik, serta memiliki perbedaan
dengan fenomena orang Melayu di negara dan wilayah rantau lainnya. Oleh kerana itu, kajian
tentang keberadaan orang Melayu di Sulawesi Selatan dapat memberikan lebih banyak
informasi tentang Melayu diaspora dan keunikan-keunikan berdasarkan konteks sosial-budaya
pada setiap tanah rantau.
Suppa’ diakui sebagai negeri Bugis di Kawasan Barat Sulawesi Selatan yang lebih awal
tumbuh sebagai kerajaan lokal berbasis maritim. Hal itu dikuatkan oleh Druce (2013)1, Suppa’
adalah salah satu kerajaan Bugis pra-Islam yang berada di tepi laut dan dikatakan kerajaan yang
memiliki bandar pelabuhan sejak awal kelahirannya. Dari segi geografinya, lingkungan Suppa’
berbentuk tanjung kecil yang menjulur di pesisir barat Sulawesi Selatan. Pada ujung tanjungnya
adalah sebuah perkampungan penduduk yang dinamakan Ujung Lero. Sementara daratannya
dibelah oleh Sungai Marauleng, dengan bagian baratnya menghadap pada lautan luas ke Selat
Makassar, sehingga menjadi pintu gerbang masuknya perahu yang datang dari arah barat,
selatan dan utara. Kerajaan Suppa’ merupakan anggota persekutuan atau konfederasi Lima
Ajatappareng2 yang sudah dibentuk semenjak abad ke-16.

B. IDENTITAS MELAYU DI SUPPA’

1
Lihat lebih lanjut dalam Stephen C. Druce dalam The Lands West of the Lakes: A History of the
Ajatappareng Kindoms of South Sulawesi 1200 t0 1600 CE. KITLV Press Leiden. Hlm. 23-25. Lihat juga dalam Abd.
Latif dalam Konfederasi Ajatappareng1812-1906 Sejarah Politik Orang Bugis di Sulawesi Selatan, Tesis pada
Jurusan Sejarah di FSSK UKM. Tahun 2013. Hlm. 57.
2
Secara lingusitik kata Ajatappareng terdiri atas dua perkataan: Aja (ng) = barat dan Tappareng = Danau.
Jadi, kata Lima Ajatappareng berarti lima (5) buah kerajaan yang berada di sebelah barat danau, iaitu danau
Sidenreng dan Tempe) membentuk persekutuan, terdiri atas: 1. Sidenreng; 2. Sawitto; 3 Suppa’; 4. Rappang; dan
5. Alitta.
Secara khusus makalah ini membincangkan mengenai kesan atau tanda budaya yang berciri
Melayu-Melaka di Suppa’ yang meliputi aspek mitos Totompo, istana Kerajaan Suppa’, dan
mitos warna kuning yang didasarkan pada sumber naskah.

1. Mitos Totompo , Wé Tépulingé Puteri dari Melaka


Berdirinya Suppa’ sebagai sebuah kerajaan didasari oleh hadirnya mitos “Totompo”
yang tercatat rapih dalam kronik-kronik Bugis, seperti kronik Bone, Sidenreng, Sawitto,
Bacukiki, Alitta, Rappang, Tanete, dan Suppa’ sendiri. Kronik-kronik itu secara umum
menyatakan adanya pertautan antara raja-raja Suppa’, Sawitto dan Bacukiki ke dalam sebuah
jaringan genealogi melalui perkawinan. Mitos Totompo Suppa juga menceritakan lahirnya
seorang Puteri dari lautan (busa empong). Dia dinamakan Wé Tépulingé, yang artinya “lengkap
peralatannya”, tentu saja meberikan makna dirinya sebagai orang kaya. Wé Tépulingé
dikisahkan muncul dari buih lautan dengan mengenakan pakaian lumutnya, lengkap peralatan
masak dan makan yang seluruhnya dibuat dari emas.

So(m)pa manai’ ri Botillangi maddewa(m)pali ri paritiwi ra(m)pe-ra(m)pei asěnna


puwang riolo/ Yimi kira(m)pei kialami pabbura to maděkka maliwasěng mapuweq masěnnéq
babang mawa(m)pa lila kuwa awang lasuna pangěmměrěkku’ La Puang/ Aja’ kumabusung aja’
kumawědda-wědda ra(m)pe-ra(m)pei asěnna Puwang rioloku’ Manurungnge ri Bacukiki
sianurungěngnge Pitu Salassa lollong parewa musu mariyang anurungěng maněngngi/ Nayi
asěng rialena Manurungnge ri Bacokiki La Bangenge/ Yinaro pubainei Manurungnge ri
Lawara(m)parang ri Suppa’ riasěngnge We Tepulinge sianurungěngnge ulerě(m)pulawěng ori
(m)pulawěnna saji ulawěnna lowa ulawěnna sa(n)ru’ ulawěnna kappara’ ulawěnna lollong
patudang/ Yinaro pulakkaiwi Manurungnge ri Bacokiki riasengnge E Tepulinge Manurungnge ri
Lawara(m)parang ri Suppa’/ massanging makudara’ pakeanna lakkainna massanging alotong
Manurungnge ri Bacokiki/ Yinaro jajiang anaq těllu duwa worowane siddi makku(n)rai/ Nayi
macowae riasěng La Teddulloppo anaq těngngana riasěng E Pawawoi anaq pococowanna
riasěng La Butillangi/ …(Sumber: Attoriolong Bacukiki, Koleksi ANRI rol 20/22)

Siapakah Puteri Wé Tépulingé? Wé Tépulingé tidak lain adalah Puteri Melaka yang
datang bersama kelompok pengiringnya yang berlayar dari Semenanjung Tanah Melayu.
Menurut kisah dalam tradisi lisan Bugis, beliau tidak lain seorang perempuan kalangan
bangsawan yang meninggalkan Melaka menuju ke arah timur Nusantara. Tanah Suppa’ adalah
tempat dimana beliau memilih mendaratkan perahunya. Kedatangan Wé Tépulingé ini juga
terekam ceritera lokal Bugis di Suppa’, yang juga diidentifikasi dengan gelar Totompo.
Dikatakan Totompo kerana beliau “dimitoskan” lahir atau muncul dari air laut. Pembentukan
kisah raja yang lahir muncul daripada air (bawah) dalam sistem penceritaan Bugis adalah khas
untuk panggilan bagi tokoh yang datang dari negeri lain dan muncul di air (lautan). Totompo
adalah cerita yang memiliki makna oposisi dengan formulasi ceitera Tomanurung yang
tokohnya muncul daripada dunia atas. Perlu ditambahkan, pada umumnya – jika tidak dikatakan
seluruhnya - tokoh Totompo yang dikenali dalam mitos-mitos Bugis dari pelbagai kerajaan
adalah kalangan perempuan.
Dari segi sejarah, kedatangan We Tepulinge ada kaitanya dengan migrasi secara besar-
besaran yang dilakukan oleh orang Melayu dari Semenanjung Tanah Melayu oleh karena
berlakunya pergolakan politik di Melaka dan kemudian Johor. Dalam kumpulan catatan
persekutuan orang Melayu di Makassar 3 ada dinyatakan bahwa pergolakan politik itu
mengakibatkan berlakunya perpindahan besar-besaran bagi orang-orang Melayu sehingga
menyisahkan dua bahagian saja penduduk di Melaka dan Johor.
Fenomena penghijrahan yang serupa itu telah juga terjadi di Pattani, sebuah kerajaan
di Selatan Thailand juga disebabkan oleh kekisruhan politik. Dalam sejarah Pattani kerap
berlaku pergolakan politik di dalam kalangan istana kerajaan atau kerana kerana adanya
serangan dari luar. Oleh sebab itu, banyak orang dan pembesar istana di Pattani meninggalkan
negerinya, telah berhijrah ke Kawasan Timur Nusantara. Antara tempat yang menjadi destinasi
mereka adalah Sulawesi Selatan, Ternate, Buton, Bima, dan Sumbawa. Daripada tempat-tempat
itu, Sulawesi Selatan telah menjadi destinasi utama orang Melayu dalam penghijraannya di
Timur Nusantara. Mereka yang berjaya itu sudah menjadi kaya raya kerana perdagangan dan
pelayaran. Ada juga di atara mereka itu telah menjadi bangsawan di bandar-bandar sampai ke
pelosok-pelosok melalui perkahwinan dengan elit-elit tempatan Bugis dan Makassar.
Salah satu hal yang perlu diberikan perhatian adalah informasi mengenai kekayaan yang
dimiliki oleh sang Puteri Melaka, Wé Tepulinge. Ia meninggalkan negeri asalnya dan datang ke
negeri Suppa’ dengan membawa harta emasnya yang sangat banyak. Peralatan memasak dan
perlengkapan makannya pun terbuat dari emas, periuknya terbuat dari emas, piring, sendok, dan
gelasnya juga terbuat dari emas. Kekayaan emas yang dimiliki sang Puteri seperti yang
tergambarkan di dalam informasi pribumi Bugis itu dapat disesuaikan dengan keadaan
bangsawan-bangsawan Melaka pada masa yang sama, yaitu pertengahan abad ke-15.

3
Lihat Dalam Sejarah Keturunan Indonesia Melayu, disusun oleh Kerukunan Keluarga Indonesia Melayu
(KKIKM) Ujungpandang. Tahun 1986. Hlm.2.
Seperti yang dikemukakan Pires (1515), pada masa pemerintahan Sultan Melaka,
Mansyur (1459-1477), Melaka mencapai kemakmurannya khususnya bagi kaum bangsawan
yang turut mengambil kesempatan menjalankan perniagaannya. Banyak bangsawan di Melaka
memliki kapal-kapal layar yang besar, seperti Jung, yang mereka gunakan untuk melakukan
aktivitas perdagangan antarpulau. Mereka meraih kemakmuran dan kekayaan yang tinggi.
Mereka memiliki banyak emas. Bendahara Sri Maharaja umpamanya, dia dikenal kaya raya,
memiliki banyak emas sehingga ia membiarkan anak-anaknya bermain-main dengan emas (Reid,
2011:142).
Dicatatkan pula di dalam lontara Sawitto-Suppa, kerajaan Suppa’ wujud sebagai kerajaan
yang memiliki kekuasaan dan kerajaan bawahan antara lain: Bojo, Bacukiki, Parengki, dan
Soreang dengan status penyedia logistik (Bgs: Napanoe Rakkalana) bagi istana kerajaan Suppa’.
Kemunculan Suppa’ diperkirakan kurang-lebih bertepatan dengan wujudnya kerajaan Bacukiki
dan Sawitto.
Kembali pada Puteri Wé Tépulingé, ketika perahunya memasuki perairan Suppa’, maka
dengan segera ia mendaratkan perahunya sebagai tanda ujung perjalannya telah sampai. Ia
beserta rombongannya memutuskan negeri Suppa’ sebagai tanah tujuan kehidupan yang baru. Di
atas tanah Suppa’ itulah Ia mengawali kehidupannya lagi setelah ia memutuskan meninggalkan
Malaka. Sang Putri pun merangkai masa depannya dengan memutuskan kawin La Bangenge,
seorang “Tomanurung” dan menjadi raja di Bacukiki. Perkawinan ini kemudian memiliki
manfaat yang penting bagi mata rantai kehidupan We Tepulinge dengan penghadiran darah
Melayu dalam dirinya menyatu dengan darah La Bangenge, seorang bangsawan tinggi Bugis di
Peisisir Barat Sulawesi Selatan.
Perkawinan We Tepulinge dan La Bangéngé itu kemudian melahirkan anak sebagai
keturunan yang membentuk generasi dan silsilah yang menjadi akar kekerabatan bangsawan
Bugis, terutama bagi bangsawan kelompok di kerajaan Lima Ajatappareng dan Mallusetasi’.
Hal yang menarik lagi adalah keturunan We Tepulinge dan La Bangéngé itu bersebaran menjadi
penguasa di berbagai kerajaan tetangga Suppa’, baik melalui perkawinan.
Foto : Toponimi Lawaramparang di Suppa, Sebuah Tempat (pelabuhan kuno) di Suppa’
Yang diprediksi menjadi Pendaratan Puteri Melaka Wé Tépulingé

Kehadiran Wé Tépulingé mencatatkan hal penting bagi pembinaan peradaban di


Suppa’, selain Wé Tépulingé memainkan peranan sebagai agen lahirnya pembangunan baru di
Suppa untuk membuatnya menjadi sebuah negeri yang terorganisir dengan sisrem pemerintahan.
Sehubungan dengan hal itu, juga dicatatkan bahwa Wé Tépulingé merupakan sumber lahirnya
perkerabatan bangasawan dan raja Suppa dan raja Bacukiki serta bangsawan Sawitto, Soppeng,
Sidenreng, Rappang, Alitta, Nepo, dan kerajaan Bugis lainnya.
Dalam mitos We Tepulinge hadir sebuah peristiwa yang mengandungi unsur sejarah
yang memungkinkan kita menemukan – paling tidak – hakikat budaya kemelayuan di kerajaan
Suppa’. Artinya, cerita We Tepilinge adalah produk budaya dan kekuasaan elite di Suppa’ dan
Sawitto yang menunjukkan adanya identitas kemelayuan yang masih tersisah hingga kini.
Fenomena sastera klasik itu merepresentasikan situasi masyarakatnya yang beroperasi dengan
seperangkat elit dan peradaban di dalamnya. Sehubungan itu, Wé Tepulinge yang disebut
sebagai puteri Melaka dalam teks-teks attoriolong (historiografy) Bugis – yang disokong tradisi
lisan - sesungguhnya merepresentasikan sejarah keberadaan elit Melayu telah berperanan
menubuhkan Suppa’ menjadi sebuah kerajaan Bugis di pesisir barat.
Secara khusus, Bunru (1995/1996) mengatakan kerajaan Sawitto diperkirakan berdiri
pada abad ke empat belas 4 . Namun Bunru juga mengatakan bahawa, pada masa sebelum
kedatangan Tomanurung di Sawitto, sememangnya sudah ada penduduk yang menetap di daratan
tinggi seperti di Malaekana, Paleteang, Cina, Leppangang, Tiroang, Loloang, Rangngameya,
Jampue, Paladangnge, dan Ulo. Ada pula kampung atau toponimi awal Sawito di bahagian utara-
barat laut antaranya: Bailu, Leppangang, Peso, Urung, Malimpung, Madello, Tampio, Masila,
Paria, Simbuang, Batu Lappa, dan Rante Bulaweng. Setiap kampung atau unit perkampungan
tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang yang bergelar Uwa atau Matowa. Hanya saja,
kehidupan masyarakat yang terikat dalam unit-unit kampung kecil itu kerapkali mengalami
pertengkaran antara satu dengan lainnya.
Mitos Suppa’ mengungkapkan masyarakat di dalam unit-unit kerajaan itu terseret ke
dalam persengketaan secara berkelanjutan yang peristiwanya lazimnya dipanggil dengan nama
Sianrebale. Perkataan Sianrebale artinya ialah manusia bagaikan ikan yang saling memangsa.
Kehidupan masyarakatnya tidak mengenali kedamaian, tidak ada pula norma-norma dan adat-
istiadat yang mereka pedomani. Keadaan kacau-balau itu berlangsung hingga kedatangan We
Tepulinge yang disebut Totompo di Akkajeng atau Lura Marajaé.
Dalam tradisi lisan Sawitto mengatakan, kehadiran Wé Tepulinge yang dikenal sebagai
To Tompo di Suppa’ dan Sawitto, ia muncul dari lautan Tujuh Bersaudara. Wé Tepulinge
hanya sendiri saja wanita, enam sudaranya itu adalah lelaki semuanya. Mereka muncul bersama-
sama sebuah bendera berwarna kuning yang kemudian ditancapkan di atas tanah tempat dimana
perahunya berlabuh. Bunru (1995/1996) mengungkapkan, kedatangan Wé Tepulinge mendapat
sambutan gembira dari masyarakat dan diangkat menjadi raja melalui kontrak politik. Sementara
itu keenam saudara yang datang bersama dengan Wé Tepulinge menjadi memegang jawatan
dalam kerajaan Sawitto sama ada sebagai Anang (Dewan Rakyat), Anre Guru (Guru
Masyarakat), Pangulu Lompo (Panglima Kerajaan), Pabbicara (Hakim) dan Sulewatang
(Pelaksana Pemerintahan).

4
Penetapan angka abad XIV ini tidak terlalu beralasan kuat. Angka abad yang lebih tepat adalah abad XV
kerana bersamaan berdirinya kerajaan Suppa yang bersama-sama ditadbirkan oleh seorang Totompo bernama We
Tepulinge.
2. Lamalaka, Nama Istana Suppa’
Kedatangan Wé Tepulinge memberi kesan perihal peranannya yang penting dalam mengawali
terbentuknya peradaban politik dan pemerintahan di kerajaan Suppa’ dan Sawitto. Identitas
kultural itu menunjukkan adanya pengaruh peradaban Melayu-Melaka di Suppa’. Hal tersebut
menguatkan adanya sisa-sisa sejarah mengenai keberadaan orang Melayu di Suppa’. Buktinya
boleh diikuti dengan adanya identitas istana Suppa’ yang dinamakan Lamalaka: (La + Malaka,
artinya sang Malaka) dengan cerita latar belakang pemerian nama istana Suppa’ yang tergambar
dalam teks naskah Suppa’ sebagai berikut.

Terjemahan:
Inilah surat yang menerangkan pengabdian orang Mandar pada Ajatapparěng.
Orang Mandar sebagai tukang buat perahu dan tukang buat rumah. Sebagai
tukang perahu, maka dialah yang membuat perahunya Makarai bernama
Soena Gading, perahunya Arung Parěkki bernama Lapewajo, dan perahunya
Paleteang Sawitto bernama Lapenikkěng. Begitupula, dialah yang membuat
istana (Bgs:Langkanae) Suppa’ bernama Lamalaka, dia pula yang membuat
Salassae (istana) Sawitto bernama Lamancapai, Saworajae (istana) Alitta
bernama Labeama, istana di Rappěng, dan Sawolocie (istana) Sidenreng.
Adapun sebabnya sehingga istana Suppa’ diberi nama Lamalaka, karena tiang
rumah yang hanyut dari Malaka dan di Ujullero mendarat dengan
mempermimpikan dirinya. Datanglah orang Suppa’ mengambilnya. Batang
kayu itulah yang kemudian dijadikan sebagai pusat tiang istana. Sedangkan
sengo atau talinya dan pahatnya..../ (Sumber: Naskah Suppa’)
Menurut kisahnya, istana “Lamalaka” terbentuk dari kata yang diambil dari nama
sebatang pohon kayu Lamalaka. Pokok kayu Lamalaka tersebut hanyut di atas lautan dan
bergerak dari lautan di bahagian barat dan ke arah timur. Ceriteranya mengisahkan, pokok kayu
itu konon berasal dari Semenanjung Tanah Melayu iaitu negeri Melaka. Kayu itu kemudian dan
terdampar di Ujunglero, ujung tanjung Suppa’. Oleh orang-orang setempat di Suppa’ batang
kayu Lamalaka itu kemudian dibuatnya menjadi tiang utama istana Suppa’ (Bgs: posi bola).
Oleh sebab itulah, maka kata Lamalaka sebagai nama atau jenis pohon kayu tersebut kemudian
digunakan sebagai nama istana Suppa’.
Tema teks di atas telah juga mengungkapkan latarbelakang sejarah berdirinya kerajaan
Suppa’, sekaligus adanya pesan tentang idenitas Melayu-Melaka5. Kehadiran orang Melayu di
Sulawesi Selatan seperti itu juga dicatatkan dalam teks La Galigo, misalnya terdapatnya kata
khusus seperti sere Malaju (tari Melayu) dan pong Malaka (pohon Malaka). Perkataan Pong

5
Lihat Nurhayati Rahman dalam Suara-Suara Lokalitas, Penerbit La Galigo Press. Tahun 2012. H.212-213.
Malaka menggambarkan kebesaran pohon Malaka yang secara simbolik merujuk kepada
pengertian hegemoni kerajaan Melaka. Turut digambarkan adalah pohon Melaka itu sangat
rindang, di mana anak-anak bangsawan bermain-main dan bercengkerama di bawahnya.
Tipe mitos Suppa’ tersebut memiliki kesamaan dengan mitos Puteri Buih di Kutai dan
mitos Raja Sipanjongan dalam Hikayat Negeri Butun di Buton. Mitos Raja Sipanjongan
mengisahkan penubuhan kerajaan Buton oleh tokoh dari Tanah Semenanjung Melayu. Perihal
mitos raja dari buih air laut, baik dalam kisah Wé Tepulinge di Suppa juga menunjukkan
kaitannya dengan negeri Melaka, meskipun dalam tradisi Suppa’ tidak disebut asal-usul negeri
sang ratu, dan tidak ada angka tahun kedatangannya, malahan tidak ada pula menyebutkan
jumlah orang dalam kelompoknya. Sejalan dengan hal itu, A.A. Cence (1972) mengatakan, tipe
kisah ini seluruhnya merupakan ciri teks kronik-kronik Bugis.
Aneka cerita sejarah yang mengisahkan kehadiran Tomanurung dan Totompo di negeri
Bugis dan Makassar secara umum tidak menyebut latar belakang mengenai tokohnya secara
terperinci. Namun, perihal latar depannya diceritakan secara jelas dan sangat faktual, misalnya
perkawinannya, keturunannya, pemerintahannya, kematiannya, serta peristiwa dan benda-benda
budaya. Demikian halnya tradisi Wé Tépulingé, Latif (2012) mengungkapkan, bahwa kisahnya
memiliki kesamaan dengan pola cerita wujudnya kerajaan Bugis-Makassar. Ingin dinyatakan
bahwa tradisi Tomanurung dan Totompo adalah berdasarkan pada model motif I La Galigopada
episode “Mula Tau” yang memuat kisah kemunculan Wé Nyili’timo dari buih lautan (Bgs:
Tompoe ri Busa Empong) yang kemudian menjadi permasiuri sang Tomanurung, Bataraguru.
Tokoh Totompo dalam ceritera Bugis itu keseluruhannya menampilkan tokoh perempuan,
sementara tokoh Tomanurung menampilkan dominan tokoh laki-laki.
Tipe mitos pra-Islam yang masih hidup sampai abad XVI melatarbelakangi kemunculan
beberapa kerajaan di kepulauan timur Nusantara. Tradisi Suppa’ masih menunjukkan tipe mitos
pra-Islam, kisahnya menggambarkan peranan dan kehadiran elit-elit Melayu yang menciptakan
hubungan perkahwinan dengan penguasa lokal. Akhirnya dapat dikatakan bahawa kedatangan
Wé Tepulinge dari Melaka dapat dihubungkan dengan gerakan migrasi keluarga-keluarga
bangsawan Melayu sehubungan upaya penyelamatan harta benda mereka agar tidak dirampas
oleh “penyerang” yang silih berganti menggempur Melaka kemudian Johor. Sehubungan dengan
itu, kasus di Johor misalnya, Andaya (1987) mengungkapkan bahawa serangan-serangan dari
pihak luar telah mengakibatkan Raja Muda Johor melarikan diri, selain melarikan emas kerajaan
dengan jumlah yang sangat besar ke negeri yang aman. Masalah kekisruhan politik itu sangat
menonjol merentangi periode perjalanan kerajaan Melaka, Johor, Pattani, Siam dan negeri
Nusantara pada umumnya sejak kurun abad ke-15 hingga ke-16.
Tempo berlakunya pelarian para bangsawan dan pegawai tinggi istana Melaka, Pattani
dan Johor pasa masa itu bertepatan dengan periode kemunculan beberapa kerajaan peribumi di
Sulawesi Selatan. Oleh kerana itu, masing-masing kasus itu dapat dipertautkan. Perlu dinyatakan
bahawa kerajaan peribumi di Sulawesi Selatan juga mengalami konflik politik internal, yang
dalam ungkapan lokal dipanggil “Sianrebale” (saling memangsa seperti ikan), mencari
penyelesaian dengan mengadakan hubungan dengan pihak luar. Salah satu strategi yang
dilakukan para bangsawan dan pembesar istana tempatan ialah melakukan upaya penyelesaian
dengan menyerahkannya kepada elit pedagang. Yang menarik para pedagang itu tampaknya
dapat menyelesaikannya dengan menempatkan perempuan menjadi penguasa baru. Fenomena
kehadiran Wé Tépulingé di dalam kerajaan Suppa adalah bahagian daripada situasi dan cara
penyelesaian yang dimaksudkan itu.
Setelah diteliti, kita dapati bahawa strategi penyelesaian konflik politik dengan
memberikan peranan kepada perempuan itu adalah model yang terilhami dari Cina yang telah
dipraktikkan oleh orang-orang Melayu, khususnya di Pattani6. Penyelesaian konflik sosial-politik
gaya Melayu di Aceh dan negara Asia Tenggara yang lain itu juga ditiru oleh kerajaan-kerajaan
di Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa misalnya, menempatkan Putri Tamalate sebagai raja,
setelah sekian lama terjadi kekacauan dalam tubuh Bate Salapang. Hal yang sama juga terjadi
pada kerajaan Balusu di Barru, melalui Dewan Hadat Tinggi lokal menempatkan Puteri
Patimang Ratu yang disebut berasal dari Luwu. Kerajaan Pancana dengan Putri Jauhar
Manikam dari Johor; kerajaan Siang dengan puteri dari Negeri Matahari Terbenam (negeri
bahagian barat di Sulawesi); serta kerajaan Suppa’ yang memilih puteri Melaka, bernama Wé
Tépulingé. Menempatkan perempuan sebagai penguasa adalah strategi dalam negosiasi politik

6
Lihat Anthony Reid dalam “Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan
Global”. Tahun 2011. H. 246. Van Noort (dalam Reid, 2011) mengungkapkan, asal usul model penyelesaian
konflik dengan cara mendudukkan perempuan sebagai strateginya, sebenar berakar daripada stratgei Cina.
Bagaimanapun Patani menjadi pelabuhan utama bagi orang-orang Cina di Semenanjung selama berabad-abad.
Patani pun menjadi koloni dan pusat pelarian Cina. Tradisi-tradisi lokal Cina menyebut Un Daoqian sebagai
pemimpin pimpinan kumpulan “bajak laut” Cina merebut bandar Patani dan mendirikan dinasti baharu. Kronik-
kronik Melayu menyebutkan peranan orang Cina sebagai pembuat meriam.
yang ampuh untuk mendamaikan emosi penguasa dan kelompok lokal yang bertikai yang
pimpinannya umumnya dipegang kaum lelaki.

3. Mitos Warna Kuning


Tanda budaya memberi kesan kehadiran Melayu-Melaka yang diidentifikasi pada mitos warna
“kuning” yang sampai kini masih menjadi kepercayaan dalam masyarakat Suppa’. Masyarakat
Suppa’ mempercayai bahwa warna kuning merupakan “warna keramat”. Mitos keramat pada
warna kuning telah menghubungkannya dengan eksistensi tokoh Puteri Wé Tépulinge yang
menjadi nenek moyang raja-raja Suppa’. Mengaitkan mitos warna kuning dengan kultur Melayu-
Melaka sememangnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Melaka. Undang-Undang
Melaka telah menetapkan warna kuning sebagai warna yang dilarang oleh adat bagi khalayak
ramai. Undang-Undang Melaka 7 yang disusun pada masa Sultan Muhammad Syah (1423/4-
1443) menetapkan larangan pemakaian warna kuning dalam kalangan khalayak ramai.
Dalam pasal I Undang-Undang Melaka terdapat peraturan yang menyatakan:
“kekuningan sebagai larangan, tiada dapat dipakai orang keluaran dan diambil sapu tangan”.
Larangan lain dalam Undang-Undang Melaka adalah penggunaan emas pada hulu keris bagi
masyarakat pada umumnya, sebab keris ciri itu hanyalah boleh digunakan raja. Larangan adat itu
bermakna sebagai pemagar untuk menjaga kewibawaan dan kharisma sang Raja Melaka. Hal itu
disebabkan karena warna kuning adalah simbol “keangungan” sang Raja yang harus dipatuhi
dan dihormati rakyat di dalam negeri.
Mitos warna kuning yang menjadi simbol keagungan Raja Melaka sudah tersebar ke
pulau rantau mengikuti penyebaran orang-orang Melayu. Tidak terkecuali di Suppa’ di Sulawesi
disebutkan juga menjadi destinasi penghijrahan komunitas Melayu semenjak abad ke-15 sampai
abad ke-16. Sampai abad XXI, mitos warna kuning yang dipercaya sebagai warna keramat masih
hidup di dalam masyarakat Suppa’, bahkan masih memengaruhi perilaku sehari-hari. Masyarakat
Suppa’ memelihara pantangan yang menganggap bahwa kepada siapapun yang berada atau yang
masuk ke wilayah Suppa’ khususnya berada di tepi lautan, maka tidak dibenarkan
menggunakan baju (pakaian) berwarna kuning. Jika melanggar aturan atau tatakrama mitis ini,
maka dipercaya akan menyebabkan terjadinya suatu musibah yang dapat berujung pada maut.

7
T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu Menurut Terbitan Abdulah, cet. II. Djambatan, 1958.
hlm. 83-90.
Mitos tentang warna kuning juga terdapat dalam masyarakat Sawitto yang juga
mempunyai kaitan dengan puteri Melaka, Wé Tépulingé. Mitos warna kuning terkait pula
dengan peristiwa kemunculan Wé Tépulingé dari lautan bersama sebuah bendera kuning.
Konon, bendera warna kuning itu ditancapkan di atas gundukan tanah tempat We Tépulingé
mendarat, yakni di tepi laut yang lokasinya berdekatan dengan lereng bukit Lamaddarau di
Suppa’. Bertolak pada peristiwa kemunculan Puteri Wé Tépulingé, orang Sawitto meyakini
warna kuning sebagai simbol bertuah dan agung bagi bangsawa Ratu Wé Tépulingé.
Wujudnya kerajaan Suppa yang didasarkan pada kehadiran Wé Tépulingé pada
dasarnya adalah peristiwa yang tercatat dalam naskhah-naskhah lontara attoriolong. Selain itu,
keberadaan kerajaan Suppa telah dibuktikan dari segi arkeologi oleh Fadillah dan Mahmud
(2006)8. Bukti-bukti arkeologi yang ada mengenai masa pendirian Suppa’ diprediksi kurang-
lebih hampir sama dengan kemunculan kerajaan Bacukiki, Sidenreng, Suppa’ dan Balannipa-
Mandar. Pada masa pendirian kerajaan Suppa’, kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan masih
kental pada ciri animisme. Meskipun demikian, Suppa’ telah menjadi tempat perdagangan bagi
orang-orang Muslim dari Semenanjung Tanah Melayu. Sehubungan itu, wilayah kerajaan Suppa’
adalah bahagian dari sona “koloni” dan pelabuhan orang Melayu untuk mengumpul hasil alam
dari pedalaman negeri-negeri Bugis.
Pada abad ke-16 Suppa’ telah membentuk jaringan kota, pelabuhan dan perdagangan
dengan kerajaan-kerajaan di wilayah peisisir barat Sulawesi Selatan namun pada lingkup
terbatas. Fakta itu didukung oleh pemberitaan yang dibuat Antonio Paiva yang pernah
berkunjung ke Suppa pada tahun 1542. menyebutkan Suppa’ sebagai negeri yang ramai
dikunjungi pedagang asing, khususnya orang Melayu yang sudah beragama Islam. Meskipun
Paiva bukanlah orang Eropah yang pertama tiba di Suppa’, namun dia adalah orang pertama
yang tinggal di Suppa’ dalam rangka misi perdagangan. Setelah Paiva mendarat di Suppa’, dia
tinggal di kerajaan Sidenreng yang pada masa itu Addatuang Sidenreng sementara giat
memprogramkan pembukaan persawahan secara besar-besaran (Druce, 2009:214)9.
Lontara mencatatkan, program pembukaan tanah pertanian baru itu dimulai pada abad
ke-16 sebagai kebijakan politik yang dilakukan secara bersamaan oleh kerajaan-kerajaan di

8
Lihat Moh. Ali Fadillah dan Irfan Mahmud Tahun 2006.
9
Dalam Stephen C. Druce “ The Land of The Lakes: a History of the Ajatappareng Kingdoms of South
Sulawesi 1200 to 1600 CE”. Tahun 2009. Hlm. 214. Lihat juga Anthony Reid dalam “ Southeast Asia in the age of
commerce 1450-1680”; volume 1: The lands below the winds. New haven, CT: Yale University Press. Two vols.
kawasan dataran rendah Sulawesi Selatan. Nama-nama kerajaan yang membuka lahan
persawahan itu adalah Sidenreng, Sawitto, Soppeng, Wajo dan Bone. Paiva juga telah
menyaksikan kesuburan tanaman padi dengan hasilnya yang melimpah. Sehubungan itu, beras
putih Celebes telah menjadi komoditi pertanian di Sulawesi Selatan yang turut ditulis oleh Paiva
dalam catatan lawatanya itu.
Seterusnya, Reid (2011:179) telah juga mengungkapkan bahawa Paiva dalam misi
dagangnya juga mencoba membeli hamba dan kayu cendana dari raja Bugis Suppa, selain
produk-produk niaga lainnya. Pada masa itu, Suppa’ memliki pelabuhan yang menyediakan
produk jualan kayu cendana dan hamba sahaya. Terkait dengan hal itu, Lontara Suppa’ juga
sudah mencatat peristiwa kedatangan Paiva pada masa raja Suppa La Makkarawi:

“La Makkarawilah yang mewarisi Addatuang di Suppa’, karena Tuan La Pute Bulu memang
manjadi Datu di Suppa’/ Adapun La Palētēang dan Makkarawi adalah saudara seayah/
demikian pula La Pateddungi juga saudara seayah dengan La Makkarawi ’/ Ketika tahta
kerajaan Suppa telah diwariskan kepada La Makkarawi’, datang jugalah pendeta Kristen Katolik
yang bernama Tuan Antong de Payara (baca: Antony de Paiva) / Dia menyampaikan agamanya
kepada La Makkarawi’ raja Suppa’/
La Makkarawi’ beristri di Sidēnrēng dan melahirkan seorang anak perempuan bernama Wē
Lampē’ Wēluwa’/ Dialah yang menjadi pewaris kerajaan Suppa’/”
Kerajaan Suppa’ disebut dalam manuskrip sebagai kerajaan yang kuat di pesisir barat
Sulawesi Selatan, pernah mencapai masa keemasannya dengan kekuasaan meluas hingga ke
wilayah Mandar. Pada pertengahan abad ke-16 Suppa’ tampil sebagai kerajaan yang memiliki
kekuatan militer yang besar dan kuat sehingga Gowa senantiasa mengincarnya sebagai
halangan untuk menguasi wilayah utara hingga Mandar. Kekuatan militer Suppa’ yang kuat itu
sehingga Gowa tidak mampu mengalahkannya dalam sekali gempuran saja. Setelah Gowa
dibawah Karaeng Tunipallangga Ulaweng melakukan serangan berulang-ulang, barulah dapat
membobol benteng istana Suppa’.
Serangan dan penaklukan Gowa terhadap Suppa berakibat negatif terhadap
pemerintahan kerajaan Suppa’; tidak terkecuali pelabuhan Suppa’ pun semakin hari semakin
melemah. Kerajaan Suppa’ terus-menerus meninggalkan kegiatan perdagangan dan pelayaran,
karena Karaeng Tunipallangga pun sudah mengangkut orang Melayu bersama-sama orang
Suppa’ untuk beralih kegiatan di bandar pelabuhan Sombaopu. Kemunduran Suppa’ terus-
menerus terjadi hingga seluruh aktivitas ekonomi di pelabuhan Suppa’ benar-benar sunyi.

C. KESIMPULAN
Mitos Totompo mencatatkan awal kelahiran kerajaan Suppa’ telah menempatkan We Tepulinge
sebagai Ratu Suppa’ yang pertama. Wé Tépulingé disebutkan sebagi Totompo (lahir dari lautan)
sebab ianya dikisahkan muncul dari buih lautan dengan perahunya dengan mengenakan pakaian
lumutnya, dilengkapi peralatan masak dan makan yang seluruhnya terbuat dari emas. Masa
kedatangan sang Puteri diperkirakan pada pertengahan abad ke-15. Dicatatkan pula pada masa
selanjutnya secara berkelanjutan orang Melayu datang ke Suppa’ dan ke kerajaan lokal Bugis-
Makassar lainnya untuk kepentingan perdagangan dan mencari tempat kehidupan baru yang
memberi kedamaian.
Kehadiran orang Melayu di Suppa’ pada masa awal tersebut hingga kini masih
menyisahkan tanda-tanda budaya yang secara simbolik memiliki hubungan dengan simbol
Melayu-Melaka. Narasi tanda itu seperti ada pola mitos Totompo sebagai versi mitos puteri buih
gaya khas Melayu; nama Lamalaka sebagai istana kerajaan Suppa’, warna kuning sebagai
simbol warna agung dan keramat dalam kerajaan Melaka tempo dulu, hingga kini masih hidup
dalam kepercayaan masyarakat Suppa’. Tanda-tanda itu kemudian melebitimasi prediksi dan
bukti adanya hubungan kebudayaan antara kerajaan Suppa’ di Sulawesi Selatan dengan kerajaan
Melayu-Melaka di Semenanjung Tanah Melayu.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal, 1999. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Makassar: LEPHAS.

Al-Attas, Syed Muhammad Naguib. 2011. Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.

Amal, M. Adnan. 2010. Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-
1950. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Ammarell, Gene. 1999. Bugis Navigation. Monograph 48. New Haven: Yale Southeast Asia
Studies.

Andaya, Leonard Y..1987. Kerajaan Johor 1641-1728, Pembangunan Ekonomi dan Politik.
Terjemahan: Shamsuddin Jaafar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia.

Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan. Edisi 1978 Januari-Februari TH. 1-4.Ujungpandang:


Dicetak CV Usmah Akademis.

Bunru, Baharuddin, Drs. Dkk. 1995/1996. Bendera Kerajaan Sawitto. Bagian Proyek Pembinaan
Pemuseuman Sulawesi Selatan.
Burhanuddin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah
Indonesia. Bandung: Mizan.

Chambert-Loir, Henri.2011. Sultan, Pahlawan dan Hakim, Lima Teks Indonesia Lama. Naskah
dan Dokumen Lama Seri XXIX. Jakarta: KPG, Ecole Francaise d’Extreme-Orient,
MANASSA, Pusat Kajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta.

Cassirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta:
Gramedia.

Cence, A.A.1972. Bebrerapa Tjatatan Mengenai Penulisan Sedjarah Makassar-Bugis. Djakarta:


Bhratara.

Collins, G.E.P..1992. Makassar Sailing. Singapore: Oxford University Press, Oxford New York.

Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia. Ilmu Gossip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta:
Graffity Press.

de Graft, H.J. 2004. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Denisova, Titiana A.2011. Refleksi Historiografi Alam Melayu. Kuala Lumpur: Univresiti
Malaya.

Druce, Stephen Charles. 2009. The Lands West of The Lakes: A History of the Ajatappareng
Kindoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE. Leiden: KITLV Press.

Ghani, Md.Nor bin Hj. Ab. Dkk. 2007. Kamus Dewan Edisi Keempat.Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.

Gohlich, Ingeborg. 1990. Wo Die Menschen Gern Lachen: Eine Reise Durch Sud-Sulawesi.
(Terj.Gairah Hidup di Bumi yang Hijau: Perjalanan Melalui Sulawesi Selatan).
Ujungpandang: Hasanuddin University Press.

Hashim, Muhammad Yusoff. 1992. The Malay Sultanate of Malacca. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, Minstry of Education Malaysia.

Hussin, Nordin.2011. Perdagangan dan Peradaban di Laut Melayu. Bangi: Penerbit Universiti
Kebangsaan Malaysia

Kennedy, J..1993. Histiry of Malaya (Third Edition).Kuala Lumpu: S.Abdul Majeed & Co.
KITLV, onder redactie van Harry A.Poeze en Pim Schoorl. 1991. Excusies in Celebes.
Leiden-Netherlands: KITLV Uitgeverij.

Mattulada, Prof. Dr. 1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah. Ujung
Pandang: Bhakti Baru-Berita Utama.
Miller, George. 2012. Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992.Jakarta: Komunitas Bambu.

Ming. Ding Choo. 2009. Manuskrip Melayu Sumber Maklumat Peribumi Melayu.
Dipersembahkan sebagai Syarahan Perdana jawatan Profesor Universiti Kebangsaan
Malaysia, pada 28 November 2008. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Nomay, Usman. 2010. Orang Melayu di Makassar Abad XVI-XVII. Makassar: Rayhan
Intermedia.

Noorduyn, Jacobus. 1955. Een Achttiende-Eeuwse Kroniek Van Wajo. Buginese Historiografie.
Gravenhage: N.V. Nederlandse Boek En Staeendrukkerij
Noorduyn, Jacobus. 1972. Islamisasi Makassar. Djakarta: Bhratara.

Nogroho, Irawan Djoko. 2011. Majapahit , Peradaban Maritim KeTika Nusantara Menjadi
Pengendali Pelabuhan Dunia. Jakarta: Yayasan Sulu Nuswantara Bakti.

Paeni, Mukhlis, dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan. Jakarta:
Proyek Pemasyarakatan dan Desiminasi Kearsipan Nasional, Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI).

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar, Forum Jakarta-Paris Ecole fancaise
d’Extreme-Orient.

Rasyid, Abdul, dkk. 2000. Makassar Sebagai Kota Maritim. Jakarta: Peningkatan Proyek
Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depatemen Pendidikan Nasional.
Reid, Antony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 1: Tanah di Bawah
Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Reid, Antony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 2: Jaringan
Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Resink,G.J. 1973. Negara-Negara Pribumi di Kepulauan Timur. Djakarta: Bhratara.


Ricklefs, M.C.2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Robson, S.O. 1978. Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia, dalam Bahasa dan Sastra
thn. IV Nomor 6. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sweeney, Amin, et.al.2007. Keindonesiaan dan Kemelayuan Dalam Sastra. Depok: Desantara.

Vickers, Adrian. 2009. Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar:
Udayana Univresity Press.
Wan Teh, Wan Hashim dan A. Halim Ali. 1999. Rumpun Melayu Australia Barat.Bangi:
Penerbit UKM.

***

Anda mungkin juga menyukai