Anda di halaman 1dari 5

Suku Buton

 Halaman
 Pembicaraan

 Baca
 Lihat sumber
 Lihat riwayat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


(Dialihkan dari Suku buton)

Artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa
dipastikan. Tolong bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Tulisan
tanpa sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu.
Cari sumber: "Suku Buton" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR

Suku Buton
‫سوكو بوتون‬

Gadis Buton dalam tradisi Pusuo

Daerah dengan populasi signifikan

650.000 (Sulawesi Tenggara)

Bahasa

Cia-cia, Wolio

Agama

Islam
Etnis terkait

Tolaki, Muna, Sula

Suku Buton (Jawi: ‫ ) سوكو بوتون‬adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara
tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat ditemui dengan jumlah yang signifikan di
luar Sulawesi Tenggara seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Maluku,
dan Papua dikarenakan migrasi orang Buton di akhir tahun 1920-an.

Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut. Orang-
orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan perahu
berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat
memuat barang sekitar 150 ton.

Persebaran

Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan
Buton. Daerah-daerah itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara
diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton
Tengah, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna,
dan Kabupaten Muna Barat.

Sejarah

Peta wilayah Kesultanan Buton

Jika melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan mengungkapkan
lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang dikenal dalam sejarah
wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya
dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo.
Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut konon
menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana
tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar akhir abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke
14. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya.

Dalam tahun 1275 bertolaklah satu tentara Kertanagara dari pelabuhan Tuban. Tentara itu
mendarat di daerah muara sungai Jambi dan: rebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah takluk
bagi kerajaan Singosari. Dalam waktu 10 tahun saja, jajahan kerajaan Jawa itu telah dapat
diluaskan sampai kedaerah hulu sungai jambi. Didirikanlah kembali kerjaan Melayu lama
didaerah itu, tetapi sebagai negara bagian pada kerajaan Singosari. Raja Melayu dijadikan Raja
takluk kepada Baginda Kertanagara. Kerajaan Melayu menjadi penting kedudukannya, sehingga
dalam abad ke 14 seluruh Sumatra kerapkali disebut juga melayu. (H. J. Van Den Berg)

Suatu kumpulan karya, yang di dapat orang di daerah Jambi, atas perintah Kertanagara diangkut
ke melayu dalam tahun 1286. Maksud kertanagara telah jelas, yaitu mendirikan satu kerajaan
Jawa di Sumatra tengah, yang akan menjadi pusat kebudayaan Jawa dipulau itu. Kerajaan Jawa
yang di Sumatra itu merupakan suatu bahaya yang besar sekali bagi Sriwijaya. Akan tetapi
Sriwijaya terlalu lemah untuk mencegah maksud Kertanagara itu.

Benteng Keraton Buton

Kekuasaan Sriwijaya telah runtuh pada segenap pihak. Dibagian Utara Semenanjung Malaka.
Sebagian dari daerah Sriwijaya telah direbut kerajaan Siam yang baru saja berdiri. Di Aceh pun
telah mulai pula timbul kerajaan baru, umpamanya kerajaan Perlak dan Kesultanan Samudra
Pasai. Kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan islam (yang pertama di Indonesia).
Perhubungannya dengan Sriwijaya hampir tidak ada lagi. Kerajaan Pahang pun yang terletak di
Semenanjung Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada kerajaan Singosari, yang
telah sejak lama mengakui kekuasaan tertinggi dari Sriwijaya, rupanya terlepas pula dalam
zaman itu dan telah menjadi bagian kerjaan Singosari.

Sipanjonga dan teman-temannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai seorang raja di negerinya,


yang termasuk di dalam kerjaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya sudah demikian
lemahnya, Ia mengambil kesempatan untuk meninggalkan kerajannya mencari daerah lain untuk
tempat tinggalnya dan Untuk dapat menetap sebagai seorang raja yang berkuasa dan tibalah
mereka di Pulau Buton. Tibanya Sipanjonga dengan kawan-kawan tidak bersama-sama dan tidak
pula pada suatu tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan
tumpangan mereka yang disebut dalam zaman “palulang”.

Sekelompok orang Buton pada tahun 1900

Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan mengadakan


pendaratan yang pertama di Kalaupa, suatu daerah pantai dari raja tobo-Tobo, sedangkan Simalui
dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro atau di sekitar kampung
tersebut Kecamatan Kapontori sekarang). Pada waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga
mengibarkan bendera kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari Kalampa, pertanda
kebesarannya. Bendera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan buton yang disebut
“tombi pagi” yang berwarna warni, “longa-longa” bahasa wolionya.

Di kemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama “sula” yang
sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak jauh
lapangan udara Betoambari. Kemudian maka keempat pemuka tersebut di atas yang membuat
dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan yang pada zamannya
pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang mengawali pembentukan
kampung-kampung, yang kemudian sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan
inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang sebagai Rajanya yang pertama Ratu I Wa
Kaa Kaa.
Masjid Agung Keraton Buton

Di tempat pendaratannya tersebut Sipanjonga dan kawan-kawannya membangun tempat


kediamannya yang lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak lama setelah
pendaratannya itu Rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga di
Kalampa. Oleh karena letak tempat tinggal dari Sipanjonga dekat pantai bukanlah suatu hal yang
tidak mungkin terjadinya gangguan-gangguan keamanan, terutama sekali dari bajak laut yang
berasal dari Tobelo Maluku – masyuurnya gangguan keamanan dari apa yang dikenal dengan
tobelo, demikian di takuti sehingga menjadi akta menakuti anak-anak dari kalangan orang tua
dengan “jaga otobelo yitu” artinya “awas tobelo itu”.

Untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan
Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai
di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim. Karena di tempat yang baru itu
masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman mereka ditebasnya
belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya dikatakan “Welia”.
Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi tempat pusat kebudayaan Wolio
ibu kota kerajaan.

Diriwayatkan lebih jauh bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-teman menebas hutan belukar
di tempat itu didapati banyak pohon enau. Terlebih di atas sebuah bukit bernama “Lelemangura”
Rahantulu – Di tempat ini diketemukan putri Raja Wa Kaa Kaa. Lelemangura bahasa Wolio
terdiri dari anak kata “lele” dan “mangura”. Lele berarti tetap dan mangura mudah. Ini
mengandung makna kiasan terhadap putri Wa Kaa Kaa yang karena ditemukan dan dianggap
sebagai bayi dalam arti “diberi baru menerima, disuap lalu menganga dan hanya menangis dan
tertawa yang dikenalnya”. Tujuan hakekatnya supaya tetap diingat bahwa Raja adalah “anak”
dari Betoambari Bontona Peropa dan Sangariarana Bontona Baluwu Siolimbona pada
keseluruhannya

Anda mungkin juga menyukai