Anda di halaman 1dari 13

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH MATA KULIAH SEJARAH MARITIM

PERAN BUTON DALAM PELAYARAN DAN PERDAGANGAN


PADA ABAD KE-17-18

Disusun oleh:
Ufi Hani
1306406991

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
DESEMBER
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Buton pada abad ke-17 merupakan salah satu kerajaan bercorak Islam yang terletak
di Timur Nusantara. Tepatnya berada di bagian tenggara pulau Sulawesi yang berada
dalam jalur pelayaran yang menghubungkan Makassar dan Maluku. Buton dalam
pandangannya sendiri tidak lebih rendah dari kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Suatu
unsur yang menentukan perkembangan bentuk dan karakteristik kerajaan dan masyarakat
Buton adalah Islam. Islam masuk ke Buton pada 1540 yang dibawa oleh kesultanan
Solor. Buton semakin berkembang kekuasaannya setelah Islam dijadikan dasar
pemerintahan.
Sejarah Buton sangat erat kaitannya dengan Gowa dan Ternate. Namun, jika
berbicara sejarah bagian Timur Indonesia, maka umumnya perhatian masih tertuju pada
Gowa/Makassar, Bone, Ternate, dan Tidore. Memang pada masanya kerajaan-kerajaan
itu merupakan kekuatan-kekuatan besar sehingga mendapat lebih banyak perhatian
dalam bidang penelitian dan penulisan sejarah. Dalam makalah ini akan dijelasakan
bahwa keberadaan Buton juga penting dan berperan dalam perkembangan sejarah
Indonesia bagian timur.
Abad ke-17 dan ke-18 merupakan abad emporium dimana hampir wilayah yang
sekarang menjadi Indonesia diintegrasikan. Mengutip analisis dari A.B. Lapian bahwa
perairan adalah pemersatu yang menintegrasikan keberadaan wilayah-wilayah pulau di
Indonesia pada sekitar abad tersebut.1 Dari perairan tersebut muncul pelabuhan dan jalur-
jalur perdagangan. Jalur-jalur tersebut membentuk pola interaksi antara daerah-daerah
pelabuhan dan transit pedagang. Dari unsur pelabuhan-pelabuhan tersebut memunculkan
sebuah satuan bahari. Buton adalah salah satu kesultanan bahari yang memiliki letak di
tenggara Pulau Sulawesi dan sangat strategis. Dikatakan strategis selain posisinya yang
menghubungkan Makassar dengan Maluku juga menjadi pusat persinggahan pelaut dari
Jawa menuju Maluku. Selain itu Buton diapit oleh tiga kekuatan maritim saat itu yakni
VOC, Gowa/Makassar, dan Ternate.
Itulah sebabnya Buton termasuk di dalam jaringan pelayaran dan perdagangan pada
abad ke-17. Meskipun volume ekonomi-perdagangannya kecil, Buton tetap memiliki
peran dan pengaruh dalam jaringan pelayaran Nusantara. Dalam kegiatan perdagangan
budak di Indonesia abad ke-17 sebagian besar berasal dari Buton. Sistem “perbudakan”

1 A.B. Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah Bahari, Laporan Pengukuhan Guru


Besar, FS Universitas Indonesia, hlm 5.
pada abad tersebut merupakan implikasi dari kewajiban Buton atas tekanan Belanda
untuk membayar upeti kepada Ternate. Namun dalam perkembangannya, VOC berusaha
menguasai Buton untuk dapat menjual budak dan menguasai jalur pelayaran menuju
Maluku. Setiap perjanjian antara VOC dengan Buton, selalu merugikan Buton. Kerugian
yang dialami oleh Buton diantaranya, VOC mengambil beberapa wilayah kekuasaan
Buton, melarang para pedagang Buton menjual barang-barang dagangannya kepada
pedagang lain.

1.2. Rumusan Masalah


Dalam makalah ini, akan dijelaskan bagaimana peran Buton dalam pelayaran dan
perdagangan di Nusantara pada abad ke-17 hingga ke-18. Untuk menjawab
permasalahan tersebut diajukan dua pertanyaan, yaitu :
1. Bagaimana Buton memanfaatkan alam atau geografi wilayahnya untuk
mengembangkan kehidupan ekonominya?
2. Bagaimana peran Buton dalam pelayaran dan perdagangan di Nusantara?

1.3. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyelasaikan tugas akhir yang
diberikan oleh dosen mata kuliah Sejarah Maritim Indonesia dan mampu memberikan
informasi mengenai peran Buton dalam pelayaran dan perdagangan Nusantara pada abad
ke-17 hingga ke-18.

BAB 2
ALAM BUTON
2.1. Keadaan Geografi
Buton adalah salah satu pulau terbesar di antara pulau yang berada di selatan atau
tenggara Sulawesi. Sejak awal abad 14, nama Buton telah terkenal di Nusantara sebagai
daerah yang berada dalam batas pengawasan Majapahit. Pulau-pulau lain yang berada di
sekitarnya adalah pulau Muna, pulau Kaba Ena, pulau Wowoni, dan kepulauan Tukang
Besi atau Wakatobi. Ternyata pulau-pulau tersebut kemudian diketahui berada di bawah
kekuasaan dan pengaruh Buton sebagai suatu pemerintahan. Menurut Ligtvoet wilayah
pengaruh Buton atau wilayah Kesultanan Buton meliputi: pulau-pulau Buton, Muna,
Kabaena, pulau-pulau kecil di sekitar Buton dan Muna, yaitu p.Tikola, p.Tobeya,
p.Kadatowang, p.Makasar, p.Bata Oga, p.Masiring, p.Siompu, dan Talaga.2

Wilayah Buton terletak pada 121 40’ Bujur Timur dan 124 50’ Bujur Timur serta 4 2’
Lintang Selatan dan 6 20’ Lintang Selatan. Wilyah Buton berhubungan langsung dengan

laut Flores, laut Banda, dan laut Seram sehingga keadaan lautnya dipengaruhi oleh laut-
laut tersebut. Perairan Buton dipengaruhi oleh teluk Bone dan teluk Tolo. Wilayahnya
terdiri dari pulau-pulau sehingga terdapat banyak selat. Di dekat garis pantai terdapat

2 Susanto Zuhdi, Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton,


(Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1996), hlm. 5
gosong dan karang serta muara-muara sungai. Wilayah yang relatif luas itu dahulu
berawal dari suatu area yang sangat kecil saja di pulau Buton.
Awalnya wilayah kesultanan Buton hanya daerah Kalampa di desa Kotabengke
kecamatan Botoambari kota Bau-bau Pulau Buto. Wilayah itu merupakan pemukiman
pertama tokoh-tokoh utama kerajaan Buton Wolio. Dari wilayah ini kemudian
berkembang kea rah timur di daerah Tobe-tobe makin lama Wolio terus berkembang
dengan berdirinya pemukiman-pemukiman baru di sekitar Kalampa dan Wolio
pemukiman-pemukiman tersebut berkembang menjadi kampung dan yang terkenal
adalah kampung Gundu-gundu dan Barangkatopa.3
Adapun wilayah kekuasaan Buton yang menyatu dengan daratan Sulawesi yakni
Poleang dan Rumbai. Kedua wilayah tersebut berbatasan di sebelah barat dengan
wilayah Luwu, sebelah utara dengan Laiwui dan sebelah timur dengan selat Tiworo.
Selat Tiworo merupakan jalur yang dapat dilayari oleh perahu dan kapal. Namun, selat
Tiworo terdapat banyak pulau kecil sehingga dapat mengganggu pelayaran, berbeda
dengan selat Buton yang lebih lancar sebagai jalur pelayaran.
Dalam kunjungan J.P. Coen ke Ambon dan Buton pada 1613, dapat diketahui ciri
geografis pulau Buton. Coen mengatakan bahwa Buton merupakan pulau besar yang
dikenal dengan kayu yang diminati orang sebagai bahan pembuat perahu. Pada umumnya
pulau-pulau di wilayah kekuasaan Buton tidak subur. Pulau Buton sebagian besar
tanahnya berbatu karang. Tanaman yang tumbuh adalah jenis jagung dan ubi-ubian.
Selain itu, menurut pedagang Inggris (EIC) pada 1608 wilayah Kabaena adalah sebuah
pulau dengan hutan yang lebat tetapi tidak terdapat tanaman cengkeh.4
Geografi wilayah yang terdiri dari kepulauan dan sebagian besar terdiri dari lautan,
membentuk penduduk Buton terkenal ulet dan pemberani. Mungkin juga karena asal-
usul mereka dari Semenanjung Malaka yang jauh, yang harus mengarungi lautan.
Kondisi tersebut menempa mereka menjadi pelaut-pelaut ulung dan manusia yang penuh
daya juang untuk memperyahankan hidupnya.

3 Ibid, hlm. 6

4 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan, (Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2010), hlm. 42
2.2. Jaringan Pelayaran
Buton sangat erat kaitannya dengan pelayaran dan perdagangan. Sudah sangat lama
orang Buton berlayar dan berdagang ke pulau-pulau di Nusantara. Orang Buton memiliki
banyak perahu yang selalu dipersenjatai dengan sepasang lela (meriam ringan) dan
beberapa senapan.5 Pelayaran bagi orang Buton merupakan kehidupan itu sendiri. Laut
adalah kehidupan bagi orang Buton yang terlihat dari peranan mereka khususnya ke
bagian Timur Nusantara. Sebagai kerajaan maritim, ciri-ciri dan aspek kehidupan
kelautan melekat pada masyarakat Buton. Dalam istiadat Buton, apa yang dinamai kota
berarti benteng atau pertahanan yang di dalamnya mengandung tiga pengertian, yakni
perahu, benteng keraton, dan masjid yang berada di dalam keraton.
Pada masa Sultan La Elangi (m. 1596-1613) gagasan konsepsi mengenai Buton
diambil dari struktur perahu. Perahu dapat dianggap dapat membawa seluruh penumpang
warga negara berlayar menuju cita-cita yang diharapkan. Layaknya sebuah pearahu, ia
mempunyai keseimbangan sehingga tidak mudah goyang apalagi sampai terbalik.
Konsepsi perahu yang dibayangkan Buton adalah perahu bercadik ganda, yang
mempunyai dua sayap di kanan dan kiri. Pada setiap pertemuan sayap dan pengapitnya
ada ikatan yang berfungsi sebagai penguat. Keempat penguat tersebut disebut barata.
Dalam bahasa Wolio, barata selain berarti “kekuatan” atau “tenaga” juga berarti ikatan
pasak pengapung sayap perahu dengan tangannya. Barata yang dimaksud penopang
Buton adalah Muna, Tiworo, Kalisusu, dan Kaledupa. Hal yang umum dalam masyarakat
maritim bahwa perahu banyak dijadikan simbol, kiasan, dan sejenisnya untuk
mengungkapkan atau merumuskan suatu kehendak, harapan, atau bahkan suatu cita-cita.
Dalam dunia pelayaran, orang Buton memiliki kekhasan perahu yang mereka buat.
Meskipun tidak sepenuhnya asli, tetapi melalui modifikasi dengan menyerap
pengetahuan dari Barat adalah bentuk kreativitas budaya. Perahu yang digunakan sebagai
alat transportasi dan sarana nelayan Buton mencari ikan bernama boti yang memiliki
ukuran kecil dan untuk sarana angkutan barang disebut lambo yang memiliki ukuran
lebih besar. Kekhasan perahu yang diproduksi orang Buton adalah penggunaan layar
nade yang mendapat pengaruh dari Barat. Lambo merupakan model modifikasi perahu
Nusantara dengan perahu Barat.
Pada umumnya orang Buton berlayar ke luar wilayahnya. Berbagai faktor yang
mendorong palayaran orang Buton sebagai penghubung pulau-pulau, membuka wilayah
5 Schoorl, Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton, (Djambatan KITLV, 2003),
hlm. 108
baru, atau beradaptasi di negeri-negeri yang sudah berpenduduk. Faktor bermigrasinya
orang Buton adalah karena kondisi geografis yang tidak subur dan letaknya di jalur
pelayaran yang menghubungkan Timur dan Barat Nusantara. Selain itu, wilayah Buton
menjadi daerah tujuan bajak laut dari Tobelo dan dari kawasan Laut Sulu. 6 Dalam hal ini
ketentraman orang Buton terancam. Bajak laut merupakan gejala yang menjadi ancaman
bagi kedaulatan Buton, terutama dari segi ekonomi dan penduduk. Bajak laut merompak
dan merampas harta benda serta menculik orang-orang untuk dijadikan budak atau
komoditi perdagangan. Ancaman tersebut dirasakan oleh penguasa Buton dan
penduduknya, terutam ynag tinggal di pantai. Dalam aspek politik eksternal, Buton
berada dalam ketegangan tarik-menarik kekuatan Gowa dan Ternate. Ekspansi kedua
kerajaan besar di bagian Timur Nusantara itlah yang menyebabkan orang Buton berlayar
mencari wilayah lain untuk bertahan hidup.
Di antara jalur pelayaran yang ada, yang biasa digunakan orang Buton berlayar
yakni melalui jalur Buton Timur, perairan di antara pulau Buton dengan kepulauan
Tukang Besi. Jalur ini digunakan karena perairannya luas, dalam, lurus (ke barat dan
timur), dan dekat dengan sumber air tawar, yaitu di Pasarwajo, Kamru, dan Waitii.
Berbeda dengan jalur melalui Laut Flores sebelah selatan kepulauan Tukang Besi yang
diangap berbahaya karena terdapat arus kencang dengan arah yang tidak menentu akibat
pertemuan arus Laut Banda dengan Laut Flores. Jika tidak hati-hati, kapal akan
terdampar di hamparan karang yang luas.

6 Zuhdi. Op.Cit, hlm. 40


BAB 3
PERKEMBANGAN EKONOMI BUTON MASA ABAD KE-17
3.1. Perdagangan
Secara spasial, mata pencaharian penduduk menunjukkan adanya diferensiasi antar
wilayah. Di daerah pertanian yang subur, seperti Lasalimu, Pasarwajo (bagian utara), dan
Kaledupa pad umumnya penduduk memilih pertanian sebagai mata pencaharian pokok.
Dengan menghasilkan aneka macam bahan pangan, seperti padi, jagung, kacang-
kacangan, ubi-ubian, pisang, sayur-mayur, dan buah-buahan; juga menghasilkan berbagai
macam tanaman eksport seperti kopi, lada, cengkeh. Mereka juga memelihara hewan
ternak, seperti ayam, itik, sapi, kambing, dan kerbau.
Sementara di daerah yang kering dan tandus seperti Pasarwajo bagian selatan dan
kepulauan Tukang Besi penduduknya memilih untuk berlayar mencari ikan dan
mengumpulkan hasil laut sebagai mata pencaharian pokok. Mereka menghasilkan
berbagai jenis ikan, seperti tuna, kerapu, tenggiri, juga menghasilkan aneka hasil laut
lainnya seperti teripang, akar bahar, lolam, rumput laut, kulit penyu, dan sirip ikan hiu.
Selain menggeluti sektor penangkapan ikan dan pengumpulan hasil laut, penduduk juga
berlayar dan berdagang sebagai mata pencaharian pokok. Mereka telah membangun
jaringan pelayaran dan perdagangan sejak abad ke-14 yang mampu menjangkau pulau-
pulau di Nusantara dan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan
Australia. Komoditas yang diperdagangkan antara lain, hasil bumi, hasil laut, hasil hutan,
dan sebagainya.
Masyarakat Buton merupakan masyarakat bahari yang memiliki kegemaran
berdagang. Kebiasaan ini telah diwariskan dan diterima secara turun-temurun dari nenek
moyangnya, sehingga disejajarkan dengan pelaut-pelaut Bugis Makassar. Buton juga
memusatkan perhatian pada laut sebagai sumber penghasilan kerajaan. Hal tersebut juga
memudahkan Buton untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan kerajaan-kerajaan
tetangganya, seperti kerajaan Ternate, Gowa, dan Bone serta beberapa kerajaan lainnya
di sekitar perairan Buton.
Posisi geografis Buton yang terletak di jantung lalu lintas pelayaran dan perdagangan
di Timur Nusantara dan potensi sumber daya manusia sebagai pelaut serta kekayaan
alamnya membuat Buton bisa tetap menjaga hubungan kerja sama dengan kerajaan-
kerajaan tetangga yang mengapitnya. Salah satu komoditas utama perdagangan Buton
adalah budak. Sejak pertengahan 1660-an dan seterusnya ada laporan terkait ekspor
7
budak dengan kapal hampir setiap tahun. Dari analisis Markus Vink, perdagangan
budak adalah salah satu jenis perdagangan tertua dan yang paling menguntungkan.
Budak dibutuhkan selain sebagai pasukan untuk berperang juga sebagai pembantu para
bangsawan. Seringkali budak tersebut tidak hanya dibawa ke Batavia, namun juga
mencapai Afrika Selatan (Tanjung Harapan).
Salah satu tempat yang banyak memperjual belikan juga menghasilkan budak terdapat
di wilayah Sulawesi salah satunya berasal dari Buton. Budak sebagai komoditas pada
saat itu dihasilkan pula di daerah Buton sehingga hal itu menarik Ternate untuk
menguasainya. Namun yang menjadi menarik adalah adanya tulisan dari Heather
Sutherland mengenai komoditas budak di Buton ini. Dalam tulisannya, Heather
mengemukakan bahwa hingga 1686, seorang Nahkoda kapal sering berlayar setiap tahun
menuju Buton untuk menukarkan barang dagangan dengan budak. Namun, hal ini
melemahkan kedudukan Buton karena semakin sedikit penduduknya. Dalam kegiatan
perdagangan budak di Nusantara bad ke-17 sebagian berasal dari Buton. Budak-budak
yang dipasok ke Batavia dikenal datang dari timur Nusantara. Dari jumlah mendekati
angka 10.000 budak pribumi yang dibawa ke Batavia, tercatat 4.110 (42%) berasal dari
Sulawesi Selatan, sementara 24% dari Bali, dan sisanya 12% dari Buton.
Selain budak ada juga komoditi laut yang dihasilkan di daerah Buton yakni teripang.
Teripang ini laku sebagai obat khususnya untuk daerah Cina. Meskipun merupakan
penghasil teripang, Buton tidak memiliki teripang dengan jumlah yang banyak. Meski
menghasilkan teripang dan budak yang laku, namun dalam bidang pertanian maupun
tanaman komoditi lainnya, Buton tidak termasuk dalam penghasil yang baik. Meski
memiliki hutan yang lebat namun Buton tidak memiliki tanaman cengkeh yang laku
dipasaran dunia. J. P. Coen dalam suratnya mengemukakan bahwa Buton merupakan
daerah yang cocok untuk orang-orang yang membuat perahu karena terdapat banyak
pohon yang cocok dalam pembuatan perahu. Sumber nafkah orang Buton ialah
perniagaan dan pelayaran. Mereka membuat perahu sendiri.
Pada umumnya tanah di Buton merupakan tanah berbatu karang dan tanaman yang
banyak tumbuh adalah jagung dan singkong. Akan tetapi Buton dianggap sebagai daerah
yang memiliki potensi mutiara dengan orang-orang yang mahir menyelam untuk
mengambil mutiara. Selain itu hal menarik dalam perdagangan di Buton ialah mengenai
air bersih. Air bersih mutlak diperlukan bagi kebutuhan minum pada pelayar. Seringkali

7 Schoorl. Op.Cit. hlm. 115


pelayar berhenti di sebuah pelabuhan atau tempat transit untuk mengambil air minum.
Pedagang EIC (East India Company) memuji air bersih di Buton. Mereka menganggap
bahwa air bersih di Buton bahkan jauh lebih bersih daripada air di Banten.
Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan
dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem
perpajakan sebagai sumber pendapatan wilayah. Jabatan yang berwenang memungut
pajak di daerah kecil adalah tunggu weti. Dalam perkembangannya, kemudian tejadi
perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan
perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi
juga sebagai kepala Siolimbona. Bonto Ogena yang terdiri dari dua orang mempunyai
tugas utama mengurus penghasilan yaitu pajak dan pembendaharaan Buton. Semuan
golongan dikenakan pajak yang sama, kecuali orang-orang tertentu yang diberikan
pengecualian oleh sultan.
Hubungan Buton dengan VOC sudah dmulai sejak perjanjian tahun 1613 untuk
membina kerjasama dibidang pelayaran, perdagangan, dan pertahanan. Buton
membutuhkan bantuan dari VOC untuk mempertahankan wilayahnya agar aman dari
ancaman para bajak laut dari Ternate dan serangan dari kerajaan Gowa serta agar VOC
tidak ikut memusuhi Buton. Buton juga bekerjasama dengan VOC untuk belajar dari
cara-cara VOC menguasai kerajaan-kerajaan. Bagi VOC hubungan ini sangat
menguntungkan karena musuh-musuh Buton juga merupakan musuh VOC. Selain itu,
bagi VOC dengan terjalinnya hubungan dengan Buton berarti telah menguasai jalur
perdagangan dan pelayaran ke Timur dan ini tujuan utama bagi kepentingan perdagangan
dan pelayaran VOC.

3.3. Pelabuhan
Buton memiliki letak geografis yang sangat strategis sebagai tempat persinggahan
para pedagang yang mengarungi Nusantara dan juga Buton memiliki sarana pelabuhan
yang memadai terlindung dari ombak bahkan sampai masuk ke dalam kali Bau-Bau
untuk berlabuh. Ramainya kapal-kapal dan perahu-perahu para pedagang Nusantara yang
singgah di Buton karena di perairan Sulawesi Tenggara dan pesisir Timur jauh telah
terkenal sebelum kedatangan VOC sebagai jalur pelayaran ke timur melalui Buton.
Meskipun ramainya para pedagang Nusantara berkunjung dan singgah di Buton
bukan faktor letak saja yang membuat para pedagang untuk singgah tetapi masih ada
faktor lain yang menarik para saudagar Nusantara untuk singgahi pelabuhan Buton, yaitu
tersedianya sejumlah fasilitas di pelabuhan Buton. Diantaranya di muara sungai di kota
Bau-Bau dapat disinggahi perahu untuk mengambil perbekalan khususnya air.8 Karena
faktor tersebut Buton menjadi daerah terbuka yang dapat mengancam wilayah
sekitarnya. Seperti sering mendapat penyerangan dari bajak laut Tobelo, dan Kerajaan
Gowa melakukan politik ekspansi ke wilayah Buton.
Pelabuhan Bau-Bau dapat dimasukkan sebagai kategori pusat pengumpul yang
memperoleh komoditas tertentu dari pelabuhan-pelabuhan kecil.9 Ciri-ciri pusat
pengumpul adalah memiliki pelabuhan alam yang baik, sebagai tempat persinggahan
yang dilengkapi dengan bahan pangan sebagai pasar lokal, tempat yang baik dan
memiliki “pedalaman” yang kaya, juga menjadi emporia besar di kawasannya dan
merupakan tempat perakitan barang-barang yang berasal dari pelabuhan kecil.

8 Zuhdi. Op.Cit. hlm. 97

9 Zuhdi. Op.Cit. hlm. 64


BAB 4
KESIMPULAN
Buton adalah satu dari kerajaa-kerajaan di Nusantara yang paling awal berinteraksi
dengan orang-orang Eropa. Kemunculan Buton sudah dapat dilacak sebelum kedatangan para
pedagang Barat. Posisi geografis Buton yang terletak di jantung lalu lintas pelayaran dan
perdagangan di Timur Nusantara dan potensi sumber daya manusia sebagai pelaut serta
kekayaan alamnya membuat Buton bisa tetap menjaga hubungan kerja sama dengan
kerajaan-kerajaan tetangga yang mengapitnya.
Masyarakat Buton merupakan masyarakat bahari yang memiliki kegemaran berdagang.
Kebiasaan ini telah diwariskan dan diterima secara turun-temurun dari nenek moyangnya,
sehingga disejajarkan dengan pelaut-pelaut Bugis Makassar. Buton juga memusatkan
perhatian pada laut sebagai sumber penghasilan kerajaan. Salah satu komoditas utama
perdagangan Buton adalah budak. Sejak pertengahan 1660-an dan seterusnya ada laporan
terkait ekspor budak dengan kapal hampir setiap tahun. Dalam kegiatan perdagangan budak
di Nusantara bad ke-17 sebagian berasal dari Buton. Budak-budak yang dipasok ke Batavia
dikenal datang dari timur Nusantara.
Hingga akhir abad ke-17 hubungan Buton dengan kerajan lain dan dengan VOC masih
erat. Ada beberapa perjanjian-perjanjian antara VOC dengan Buton yang berpengaruh pada
perkembangan ekonomi Buton, hingga membuat Buton rugi. Kerugian yang dialami oleh
Buton diantaranya, VOC mengambil beberapa wilayah kekuasaan Buton, melarang para
pedagang Buton menjual barang-barang dagangannya kepada pedagang lain.
Daftar Pustaka
Lapian, A.B. 1992. Sejarah Nusantara Sejarah Bahari. Jakarta: Laporan Pengukuhan Guru
Besar, Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Schoorl, J.W. 2003. Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton (terjemahan bahasa Indonesia).
Nedherland: Djambatan KITLV
Zuhdi, Susanto. 1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Jakarta:
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Zuhdi, Susanto. 2010. Sejarah Buton yang Terabaikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai