Anda di halaman 1dari 19

BaNgSo bATAK

GURU TATEA BULAN

“TaTeA BuLaN PeNgHoRMaTaN RoH NeNeK MoYaNg”

Tak banyak orang tahu, kalau di salah satu sudut kawasan Danau Toba, tepatnya di
Desa Limbong Sagala, kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten Toba-Samosir,
terdapat tradisi yang masih dipegang teguh oleh generasi terakhir yang peduli
terhadap kearifan leluhur, dikenal dengan sebutan “Tatea Bulan”. Mereka juga
percaya orang Batak pertama di turunkan di Pusuk Buhit, tak jauh dari desa itu
berada.

Hari cukup cerah ketika kami menyusuri keelokan Sumatera Utara dari dataran tinggi
Karo menuju kawasan Danau Toba, yang terkenal dengan keindahan alamnya. Danau
yang kabarnya merupakan terluas di Indonesia dan terlebar ketiga di dunia, ternyata
memiliki makna filosofis yang sangat strategis bagi suku Batak, suku yang mendiami
kawasan itu sejak dulunya.

Lepas dari tanah karo, perjalanan yang berkelok-kelok dilanjutkan menuju Kabupaten
Dairi yang terkenal dengan durian, sebelum akhirnya tiba di simpang tiga (jalan lintas
Subussalam; red). Di sini kita harus mengambil arah ke kiri jika ingin mencapai kawasan
Danau Toba dari sebelah barat. Biasanya tak sampai dua jam dari simpang tadi, kita akan
memasuki daerah yang bernama “Tele”. Daerah yang letaknya cukup tinggi ini, sangat
tepat untuk menikmati pemandangan Danau Toba dari sisi yang berbeda.

Selanjutnya, jika dirasa puas, perjalanan bisa dilanjutkan menuju Pangururan, sebuah
daerah yang berbatasan langsung antara daratan Danau Toba dengan Pulau Samosir.
Dahulunya, kawasan ini sempat menyatu. Namun seiring kebutuhan sarana transportasi
air cukup besar di era 70-an, kawasan ini pun di belah dan di gali lebih dalam agar kapal-
kapal dapat lewat dan tidak kandas. Karena tanah yang di belah tadi, akhirnya daerah itu
terkenal dengan sebutan “ Tano Ponggol” (baca: bahasa batak = tanah yang terbelah).
Kini, untuk menghubungkan daratan antara Danau Toba dengan Pulau Samosir, di bagian
atasnya telah dibangun sebuah jembatan permanen.

Berkunjung ke kawasan Danau Toba tentunya kurang berkesan jika tidak menapakkan
langkah di Pulau Samosir. Pulau yang terbentuk akibat letusan Gunung Toba ratusan
abad silam, seperti dilansir oleh seorang geolog asal Jerman, Van Bemmelen. Dalam
teorinya dia mengatakan, erupsi Tumor (gunung) Toba waktu itu merupakan letusan
terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah manusia. Hal itu di dasari oleh pembentukan
struktur kawasan yang berbatu-batu. Sebuah kawasan yang terbentuk atas lapisan
sedimen yang begitu kuat. Diyakini, dulunya sedimen pulau ini berada di bagian bawah
gunung, yang karena pergeseran tektonik akhirnya bergerak ke permukaan saat letusan
terjadi. Dan seperti kebanyakan kawasan lain pada umumnya, setelah erupsi besar terjadi,
daerah ini pun relatif tenang. Hanya di bagian barat pulau ini masih terdapat aktifitas
vulkanologi dalam skala kecil, ditandai dengan munculnya titik-titik air panas.

Pulau Samosir adalah pulau yang berada di tengah Danau Toba, berada di ketinggian
1.000 meter di atas permukaan laut. Sejak Januari 2004 silam, Samosir resmi menjadi
kabupaten, ketika sebelumnya masih merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Utara
Kawasan ini pun terdiri atas 9 kecamatan, yakni; Pangururan (Ibu Kota Kabupaten),
Harian, Sianjur Mulamula, Nainggolan, Onan Runggu, Palipi, Ronggur Nihuta,
Simanindo, dan Sitio-Tio.

Masing-masing kecamatan memiliki objek wisata andalan, yang bila dikelola dengan
baik akan mendatangkan nilai tambah bagi pulau yang berpenduduk 131.000 jiwa.
Namun sayang, potensi itu belum dikelola maksimal. Alhasil, jumlah kunjungan
wisatawan baik lokal maupun mancanegara tampak sedikit. Padahal untuk waktu tertentu
seperti Juni dan Juli merupakan waktu libur umum.

Kesan tak terawat dengan pegunungan yang gundul terlihat menghiasi hampir seluruh
kawasan ini. Cuaca terik yang di perparah dengan Kondisi alam yang miskin hara
membuat mata pencaharian utama dari bertani tak selalu bisa diandalkan. Faktor ini yang
membuat Samosir kurang berkembang dibanding tempat wisata lain. Belum lagi banyak
generasi mudanya yang hengkang keluar daerah. “tak mengherankan, banyak penduduk
yang merantau untuk mencari pekerjaan demi kehidupan yang lebih layak”, tutur Bupati
Samosir Mangindar Simbolon, di sela-sela kunjungan kerjanya waktu itu.

Asal mulanya

Keindahan alam yang ditawarkan Danau Toba dan Pulau Samosir telah lama terdengar ke
seantero tanah air hingga mancanegara. Namun tak banyak yang tahu tentang potensi
yang dimilikinya. Diantaranya adalah kekayaan budaya yang dapat digali dan bernilai
jual lebih jika dikembangkan. Hanya saja kondisinya akhir-akhir ini semakin
mengkhawatirkan, akibat pengelolaan yang tidak berpihak pada pelestarian.
Salah satu tempat yang yang ternyata menyimpan banyak cerita bersejarah adalah “Pusuk
Buhit” puncak tertinggi yang terletak di Desa Limbong-Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-
mula, Kabupaten Toba Samosir, berjarak sekitar 15 km dari Pangururan.

Menurut kepercayaan masyarakat Batak, pada abad XII, Pusuk Buhit dianggap sebagai
tempat asal muasal seluruh Suku Batak. Dalam perkembangannya, nenek moyang Suku
Batak menyebar ke delapan penjuru mata angin, yakni; Purba, Anggoni, Dangsina, Nariti,
Pastia, Mangadia, Utara, Irisanna atau dari Timur higga Timur Laut (baca; hingga seluruh
dunia). Berada di kawasan ini, seakan berada di sebuah tempat dan jaman yang berbeda.

Tak jauh dari tempat itu, tepatnya di kaki bukit, terdapat sebuah tempat keramat yang
dianggap sakral bagi masyarakat setempat, bernama “Batu Hobon”. Disebut demikian
karena bentuknya berupa batu berdiameter satu meter dengan bagian bawah berongga.
Diperkirakan batu ini merupakan sebuah lorong yang mungkin saja berbentuk goa.
Dulunya di tempat ini kerap diadakan upacara sakral yang masih berlanjut hingga
sekarang. Upacara itu diyakini sebagai penghormatan pada roh leluhur sekaligus
menerima pewahyuan dari nenek moyang, dikenal dengan sebutan “Tatea Bulan”.

Di Batu Hobon ini lah pomparan (baca: keturunan) Ompu Guru Tatea Bulan pada
mulanya bermukim. Diriwayatkan, Pusuk Buhit sebagai tempat turunnya Si Raja Batak
yang pertama, diutus oleh Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) untuk mengusai
tanah Batak. Disanalah Raja Batak memulai kehidupannya. Dalam silsilahnya, Raja
Batak memiliki dua orang anak (baca; dalam Bahasa Batak berarti anak laki-laki) sebagai
pembawa keturunan (marga) dan menjaga martabat keluarga. Kedua putra Raja Batak itu
bernama Guru Tatea Bulan dan Raja Isombaon.

Pada gilirannya, Guru Tatea Bulan memiliki lima orang putra dan lima orang putri.
Kelima putranya bernama; Raja Uti (tidak memiliki keturunan), Sariburaja, Limbong
Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja. Dari keturunan mereka lah asal muasal semua
marga-marga Batak muncul dan menyebar ke seluruh penjuru.

Konon, Batu Hobon adalah buah tangan Raja Uti untuk menyimpan harta kekayaan orang
Batak, berupa benda-benda pusaka dan alat-alat musik. Diyakini pula, di dalam Batu
Hobon ini tersimpan Lak-Lak (sejenis kitab) yang berisi ajaran dan nilai-nilai luhur.
Berdasarkan pewahyuan yang datang pada keturunannya, diperkirakan pada suatu saat,
benda-benda yang tersimpan dalam batu itu akan di keluarkan sendiri oleh Raja Uti –
yang menurut kepercayaan setempat tidak pernah mati (baca: moksa)–. Dia akan tetap
hidup dalam pribadi-pribadi pilihan yang tentu masih keturunannya.

Di atas Batu Hobon terdapat Sopo Guru Tatea Bulan yang dibangun tahun 1995 oleh
Dewan Pengurus Pusat Punguan Pomparan Guru Tatea Bulan. Bangunan ini terdapat di
Bukit Sulatti (di bawah Pusuk Buhit), dan di dalam bangunan terdapat sejumlah patung
keturunan Raja Batak berikut dengan patung sejumlah kendaraan si Raja Batak dan
pengawalnya. Kendaraan itu antara lain naga, gajah, singa, harimau dan kuda. Jejak
sejarah di Tanah Batak itu yang sering dilupakan pemerintah.
Selain itu, di desa ini terdapat cagar budaya berupa miniatur Rumah Si Raja Batak.
Dahulunya, sebutan Raja Batak ternyata bukan karena posisinya sebagai raja dan
memiliki daerah pemerintahan, melainkan lebih pada penghormatan terhadap nenek
moyang Suku Batak. Di perkampungan ini, ada bangunan rumah semitradisional Batak,
yang merupakan rumah panggung terbuat dari kayu, tanpa paku, dilengkapi tangga, dan
atap seng (baca: rumah Batak asli atapnya dari ijuk).

Ritual Tatea Bulan

Maraknya bencana yang timbul, mulai dari Tsunami, banjir, tanah longsor, gempa bumi
hingga konflik etnik kerap mendera bangsa yang kita cintai ini. Minimnya rasa
persaudaraan pun disebut-sebut sebagai salah satu faktor yang membuat bumi ini
semakin tak ramah lagi. Tak terkecuali dengan Suku Batak. Banyaknya pomparan
(keturunan) Raja Batak yang tersebar ke seantero jagat dan tak saling kenal turut
membuat jarak diantara mereka semakin jauh. Makin lama ikatan itu pun luntur.
Sehingga jangan heran jika banyak orang batak (generasi sekarang) yang tak tahu lagi
tentang asal muasalnya maupun tradisinya.

Bertolak dari permasalahan itulah, seorang keturunan Guru Tatea Bulan yang bernama
Amandus Pasaribu bermimpi di datangi sang guru. Dalam mimpinya Guru Tatea Bulan
berpesan agar diadakan ritual sekali setahun hingga tahun ketujuh untuk menghormati
para leluhur orang Batak. Dalam nubuatannya, pada kali yang ketujuh, sang guru akan
membukakan rahasia yang selama ini tersimpan di Batu Hobon. Amandus yang saat itu
sudah 2 tahun tergolek layu tak sanggup bergerak akhirnya berangsur-angsur pulih,
setelah menceritakan pesan tersebut kepada keturunan Guru Tatea Bulan yang masih ada,
dalam hal ini marga Pasaribu.

Karena itulah, saban tahun di bulan tertentu sesuai penanggalan setempat, sebagian orang
Batak yang percaya akan keberadaan leluhurnya, melakukan napak tilas ke Batu Hobon
dan Pusuk Buhit. Napak tilas ini dianggap penting guna mengingat kembali asal-muasal
mereka.

Menjelang upacara Tatea Bulan, aktivitas warga di Pasar Pagi Limbong, Desa Siputidai,
Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, tampak berbeda dari biasanya.
Sebagian besar warga larut dalam persiapan perayaan. Ada yang memasak, memotong
ternak, membuat hiasan di Batu Hobon serta tak ketinggalan panitia inti mempersiapkan
roundown acara.

Pagi itu sekitar pukul 10.30 wib, upacara pun digelar. Pemberian persembahan makanan
kepada roh leluhur, mulai dari daun sirih, jeruk, telur ayam kampung, ikan jurung, nasi
hingga makanan lain yang telah dipersiapkan sebelumnya diletakkan diatas Batu Hobon,
sambil memohon agar hasil panen selalu diberkahi sang leluhur. Konon, makna telur
sebagai tanda kesuburan dan cikal bakal penerus bagi generasi selanjutnya. Sedangkan
sirih merupakan tanda penghormatan dan penghaturan doa kepada Guru Tatea Bulan.
Dalam upacara Tatea Bulan ini dipersembahkan pula seekor kerbau. Para pemuka adat di
Tanah Batak Toba mempercayai kerbau sebagai hewan kurban persembahkan bagi
Mulajadi Nabolon atau Tuhan. Setelah dihias dengan hiasan lambe atau janur kuning dari
daun pohon nira, kerbau itu dipindahkan ke borotan. Borotan adalah kayu tambatan
sebagai pusat pelaksanaan upacara.

Dalam sesi selanjutnya, peran terbesar di pegang oleh pambuhai (tetua adat). Adalah
seorang tokoh adat bernama Mirna Limbong, ditunjuk menanganinya. Kemampuan
spiritual dan keturunan terpilih membuatnya tak pernah absen setiap kegiatan Tatea
Bulan dilaksanakan.

Biasanya, sebelum berangkat ke Batu Hobon, dia akan mempersiapkan alat-alat untuk
upacara, berupa tali sulaman. Tali ini dinamakan bonang manalu, berfungsi untuk
mengikat batu ajimat pada saat upacara nanti. Selain itu ia pun harus mengenakan
pakaian pambuhai, yang dihiasi sebuah pengiring atau ikat kepala. Menggunakan
pengiring, dipercaya sang leluhur akan menuntun dan melindungi jiwanya. Pria berusia
60 tahun ini tampak agung dalam pakaian sakralnya.

Pak Marna kemudian menyiapkan daun tujuh rupa. Antara lain sipilit, ropu, sirih,
silinjuang, alum-alum, dan siritak. Sesajian dedaunan ini dipercaya dapat membuat
upacara Tatea Bulan berlangsung dengan baik dan jauh dari gangguan. Setiap daun
dianggap memiliki kekuatan. Sipilit, misalnya, digunakan untuk menjauhkan diri dari
amarah. Sedangkan ropu atau rotan sebagai perlambang perekat atau kesatuan untuk
menghindarkan warga dari perpecahan.

Sudah enam tahun terakhir Pak Marna berkutat dengan ritual ini. Sebuah tombak, yakni
Tombak Jurung Buhit pun selalu setia menemaninya. Tombak tradisional Jurung Buhit
ini adalah warisan leluhur dan telah diberikan ropu atau simbol kekerabatan. Tombak ini
pun harus diarahkan ke langit, sebagai pertanda menyebar mantra untuk menghindari
pengaruh buruk.Tombak itu adalah pamungkas pada upacara sakral itu. Nantinya alat itu
akan digunakan untuk mengurbankan seekor kerbau sebagai perwujudan penghormatan
bagi Mulajadi Nabolon.

Diiringi musik pargondang, para pendoa mulai menari dan melangkah kecil untuk
mengitari borotan. Tarian ini dinamakan Tor Tor Mangaliat. Gerakannya dipercaya
sebagai bentuk doa dan rasa syukur. Dalam upacara ini, terkadang para peserta
kerasukan. Dalam keadaan tak sadar, mereka memakan telur dan jeruk persembahan.
Selain itu yang tak kalah seru adalah munculnya angin ribut beberapa saat menerpa
kawasan di sekitar borotan dan Batu Hobon. Sedangkan di luar tempat itu suasana tetap
tenang, tak menunjukan tanda-tanda munculnya angin ribut. Tenda-tenda yang dibangun
sebelumnya banyak yang roboh, sebagai pertanda Raja Uti, anak dari Tatea Bulan, ikut
hadir di upacara ini.

Setelah proses pembuktian akan kehadiran leluhur mereka, sang pambuhai segera
menarikan Gondang Tatea Bulan. Pak Marna menari dengan lincah dan gesit mengikuti
tabuhan gendang, berputar mengelilingi delapan penjuru mata angin. Gerakan tarian ini
diyakini sebagai penghaturan pembuka agar doa dan permintaan anak cucu Tatea Bulan
dapat terkabul.

Pambuhai pun merapalkan mantra dan mengelilingi borotan sebanyak tiga kali. Saat
tarian pambuhai tengah ditabuhkan ke delapan penjuru, Tombak Jurung Buhit menjadi
pamungkas persembahan bagi para leluhur Tanah Batak.

Pambuhai memiliki kewajiban menusukkan tombak sebanyak tiga kali ke arah kerbau.
Ketiga hunusan terkait dengan dalihan na tolu atau bentuk tali kekerabatan di dalam
marga Batak. Setiap hunusan merupakan ungkapan permintaan terhadap leluhur dan
Tuhan Mulajadi Nabolon. Terutama agar memberikan keselamatan, kesejahteraan, dan
perlindungan abadi bagi seluruh keturunan orang Batak.

Selanjutnya, pada tengah malam akan dipertunjukkan bagaimana nenek moyang orang
Batak melakukan pengobatan massal, dengan meminta persetujuan Mulajadi Nabolon
untuk menyembuhkan keturunannya yang sedang sakit. Biasanya saat sakral ini, tidak
boleh ada satu titik cahaya pun. Semua harus gelap. Benar-benar hening. Hanya cahaya
bulan yang menerangi.

Sebelum acara dimulai, yang bergendang akan memanggil arwah leluhur dengan gebukan
nada tertentu. Di saat kemudian, para penabuh gendang akan mengalami trance, keadaan
yang membuat mereka menghasilkan nada-nada tertentu –yang tak lazim–. Biasanya
dalam keadaan normal, nada yang ditimbulkan para penabuh tadi, takkan mungkin bisa di
ikuti. Karena saat seperti itu yang bekerja bukanlah diri mereka lagi, tetapi telah ada
unsur lain. Unsur yang tak kelihatan dan tak bisa di interpretasi dengan logika.

Biasanya, disaat-saat ini pula sang leluhur akan memberikan pewahyuannya melalui
pambuhai ataupun melalui keturunannya yang terpilih. Namun sering tak terjadi
pewahyuan apapun pada malam itu. Sama seperti pada acara Tatea Bulan yang keempat
berlangsung. Semua itu berpulang pada kehendak Ompung Mulajadi Nabolon.

Keesokan harinya, saat sang surya mulai mengeluarkan silaunya. Semua orang akan
makan bersama di bawah naungan tenda besar. Semua keturunan Guru Tatea Bulan yang
hadir harus menikmati hidangan daging kerbau yang telah di sembelih kemarin sore.
Masing-masing orang duduk bersila diatas tikar sebelum akhirnya mendapat jatah makan.
Semua orang akan makan dengan kenyang.

Sebagai tahap akhir di kegiatan Tatea Bulan, selesai makan, para keturunan raja Batak ini
akan melakukan long march ke tempat persemayaman Guru Tatea Bulan, di puncak
Pusuk Buhit pada ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut dengan berjalan kaki.
Walau cukup melelahkan, mereka menganggap menelusuri jejak leluhur adalah suatu
berkah dan kebanggaan tersendiri.

Sebagian warga suku Batak menganggap Guru Tatea Bulan adalah leluhur yang suci.
Berada di rumah persembahan Guru Tatea Bulan diibaratkan sebagai sebuah pertemuan
antara nenek moyang dan para cucunya. Di puncak ini pula terdapat patung-patung
perlambang Guru Tatea Bulan. Terkadang, para peziarah menghaturkan doa di hadapan
patung ini.

Melalui patung Guru Tatea Bulan dan Raja Uti, doa dipanjatkan kepada Mulajadi
Nabolon yang dipercaya sebagai Tuhan dalam kepercayaan leluhur orang Batak. Maka,
ziarah dan berdoa adalah kegiatan pamungkas sebelum turun kembali ke Desa Limbong-
Sagala, kecamatan. Sianjur Mula-mula. Serangkaian upacara adat untuk menghormati
sang leluhur.

Dalam kegiatan yang tak hanya mengandalkan aura spiritual ini, diharapkan semua
keturunan si Raja Batak yang ada di seluruh penjuru mata angin dapat mengetahui
silsilah, asal muasalnya, serta dapat menjalin silahturahmi. Selanjutnya akan bisa
menceritakan sejarah itu kepada anak cucu mereka kelak. Sebab semua itu bermula di
kawasan Sianjur Mula-mula yang memiliki arti penting dalam sejarah Suku Batak. Selain
alamnya yang indah, kawasan ini pun sangat berpotesi untuk dikembangkan menjadi
objek wisata budaya. Untuk itu peran serta semua pihak sangat diperlukan untuk
membangun, mengembangkan, mengelola dan mengemas kawasan ini, sehingga boleh
dikenal orang hingga ke mancanegara.

Diposkan oleh danz_p4rt di 04:59 0 komentar

CERITA BATAK

Hajajadi ni Tao Toba

Di toru ni dolok Pusuk Buhit adong ma najolo sada baoa na


so marnioli dope na margoar Juara Dungdang. Pardengke
do ibana. Di na sadari dipauli ibana ma sada bubu na balga
situtu. Alai dung di taon, ndang olo dapotan. “Na
mabalgahu do ra”, ninna rohana dibagasan. Jadi naeng ma
pametmetonna bubu i. Alai adong ma ro soara tu pinggolna
mandok “unang”. Sundat ma dipametmet bubu i, jala diulahi ma ditaon.
Marsogot na i ditingkir ma bubu i. Tarsonggot ibana mida na dapot bubui, ai
diida ma dengke apala na bolon. “Nga jea on”, ninna rohana. “Sian dia do ro
dengke na saon bolon tu binaga na saon metmet?”. Ala ni biarna ndang
dipatuduhon be dengke i tu manang ise, alai ditabunihon ma i tu sopo.
Marsogotna i ditingkir ma muse dengke i. Hape diida ma
naung gabe boruboru na uli do dengke i, jala angka sisikna
gabe ringgit. Ndang hapalang las ni roha ni Juara
Dungdang marnida boruboru i dohot angka ringgit i, laos
disungkun ma boruboru i manang na olo do gabe
tungganeboruna. Pintor dioloi boruboru i do antong, alai
adong do dipangido sijanjihonon ni Juara Dungdang, i ma: manang aha pe di
sogotsogot ni ari na tarjadi di parsaripeon nasida, tung so jadi dohononna
boruboru i boru ni dengke. Dung dibulanhon Juara Dungdang parjanjian i top
ripe ma nasida.
Salpu sataon tubu ma anak nasida. Alai mansai sengke do
dakdanak i gabe sai loja do Juara Dungdag
mangkurdohurdohon. Pola do jotjot ibana muruk. Dina
sadari manombo ma muse laga ni dakdanak i. Anggo disi
ndang haotapan Juara Dungdang be murukna. Gasagasaon
ma ibana jala dipandok angka hata na roa tu anakna i. Lupa
ibana tu janjina, gabe didok ma: “Na so hasea on, tubu ni boru ni dengke on!”.
Dibege niolina i do hatana i, gabe dijouhon boruboru i ma: “E…, nungga dilaosi
ho janjim. Tinggal ma ho dohot anakta i, laho ma ahu!”.
Mangatkat ma boruboru i laos ditimbung ma tu bagasan
binanga pardengkean ni Juara Dungdang, jala ndang tarida
be. Alai tongkin i sirksak ma hilap, mardoromdorom ma
ronggur, madabu ma udan tipotipoti,
mangullus ma alogo gas andalu,
humuntalma tano dihutur Naga Padaho
laos marongrong. Gabe tarjadi ma Tao Toba na uli i.
Diposkan oleh danz_p4rt di 04:58 0 komentar

Kitab Pengobatan batak

daniel punya adat

8. Budaya ritual dalam pengobatan

Pada saat Mulajadi Nabolon kembali ke benua atas, Mulajadi Nabolon bersabda kepada
Raja Ihat Manisia dan Siboru Ihat Manisia. “Jika kamu sekalian penghuni Benua Tengah
hendak berhubungan dan bersekutu dengan kami penghuni Benua Atas, maka segala jenis
sesajen yang hendak kamu persembahkan harus disusun rapi dan bersih serta diiringi
dengan rasa penyampaian yang tulus dan suci. Sudah kuberikan kepadamu Hata Dua, apa
yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dan dirimu harus bersih dan
suci”. Bersumber dari ajaran tersebut Parmalim memberikan pelean atau sesajen suci
dengan dihantar asap dupa dan air suci serta bersih tidak boleh makan daging babi dan
anjing serta darah dan bangkai. Sebagai tindak lanjut ajaran tadi Ugamo Malim
mempunyai rukun dan aturan yang dilaksanakan dan menjadi pedoman prilaku Parmalim
antara lain :
1. Marari Sabtu,
Pada setiap hari sabtu atau samisara seluruh umat Parmalim berkumpul di tempat yang
sudah ditentukan baik di Bale Partonggoan, Bale Pasogit di pusat maupun ruma
Parsantian di cabang/daerah untuk melakukan sembah dan puji kepada Mulajadi Nabolon
dan pada kesempatan itu para anggota diberi poda atau bimbingan agar lebih tekun
berprilaku menghayati Ugamonya.
2. Martutuaek,
Upacara yang dilakukan di rumah umat yang mendapat kelahiran seorang anak, atau
pemberian nama kepada anak. Anak yang baru lahir sebelum dibawa bepergian kemana-
mana harus lebih dahulu diperkenalkan dengan bumi terutama air untuk memebrsihkan
dan ini dilaksanakan membawa anak tersebut ke umbul mata air disertai dengan bara api
tempat membakar dupa. Kemudian baru dibawa ke dunia baru yaitu pasar dan diberi
buah-buahan, manis perlambang hari depan yang makin manis. Setelah dirumah
dilanjutkan lagi dengan upacara, bergantung pada kemampuan keluarga tersebut. Pada
saat pulang dari pasar tadi, siapa saja diinginkan oleh keluarga si anak meminta buah-
buahan bawaan si anak tadi sebagai perlambang bahwa si anak kelak akan bersifat
maduma.

3. Mardebata,
yaitu upacara yang sifatnya individual dimana seorang melaksanakan upacara sendiri
tanpa melibatkan orang lain. Ritual ini sendiri mempunyai tujuan ganda yaitu meminta
keampunan dosa atau menebus dosa dan syukuran. Seseorang yang merasa dirinya
menyimpang dari aturan patik perlu menyelenggarakan perdebatan sebagai sarana
penebus dosanya. Bagi orang lain pardebataon itu mungkin pula untuk mewujudkan
kaulnya.
Mardebata ini boleh pula melibatkan yang lain. Hal itu bergantung kepada yang mampu.
Karena Mardebata itu boleh oleh orang seorang boleh oleh keluarga dan seterusnya. Jika
upacara dibuat besar-besaran misalnya untuk mewujudkan niatnya harus dengan
menyediakan sesaji dengan secukupnya dan boleh pula dengan dihantar gendang
sabangunan serta diatur oleh tata upacara resmi sesuai dengan tata upacara dari Ihutan
atau dari Uluan.
Upacara Mardebata ini bagi yang mampu nampaknya sudah seolah-olah pesta, karena
undanganpun dapat pula dilaksanakan. Jadi jelas bergantung pada nazar dikandung oleh
yang terlibat. Jika satu nenek moyang sudah berniat untuk memuja Mulajadi Nabolon
dengan jalan Mardebata hal itu dapat dilakukan oleh satu nenek moyang itu.
4. Pasahat Tondi,
Upacara kematian dibagi dalam dua tahap. Pertama adalah pengurasan jenazah menjelang
pemakaman, kedua adalah pasahat tondi. Pemberangkatan jenazah dipimpin oleh Ihutan
atau Ulupunguan dengan upacara doa : “Borhat ma ho tu habangsa panjadianmu”,
Artinya : Berangkatlah engkau ke tempat kejadianmu. Satu minggu setelah pemakaman,
keluarga yang ditinggal mengadakan pangurason tersemayamkan di rumah. Satu bulan
setelah pemakaman, dilanjutkan dengan Upacara Pasahat Tondi yaitu upacara mengantar
roh dalam hati harfiah. Tuhan menciptakan manusia atas dua bagian yaitu badan dan roh
(pamatang dohot tondi). Apabila badan mati, toh tidak ikut mati, ia akan kembali kepada
penciptanya, sesuai dengan pandangan ketuhanan Parmalim, bahwa “Ngolu dohot
hamatean huaso ni Debata” artinya “kehidupan dan kematian adalah kuasa Tuhan.
Upacara ini adalah upacara tonggo-tonggo atau dosa. Dapat dilakukan dengan sederhana
dan dapat pula dilakukan dengan besar-besaran bergantung pada kemampuan keluarga
yang ditinggal. Tentu dengan demikian sesaji harus terhidang dan upacara harus
memenuhi keseluruhan tata tertib acara berdasarkan Ugamo Malim. Ini bulan berarti
bahwa acara tidak boleh dibuat sederhana. Boleh dengan acara sederhana, yang pokok
adalah bagaimana inti pasahat tondi itu harus terlaksana.
5. Mangan Napaet,
adalah upacara atau berpuasa untuk menebus dosa dilaksanakan selama 24 jam penuh
pada setiap penghujung tahun kalender batak yaitu pada ari hurung bulan hurung.
Upacara ini adalah bersifat umum dilaksanakan oleh setiap cabang atau ganup punguan.
Perangkat dasar upacara ini selain pangurason dan pardupaon yang terpenting ialah
makanan napaet, diramu dari beberapa jenis buah dan daun yang pahit, seperti daun
pepaya, buah ingkir, babal, cabe rawit, jeruk bali muda dan gara.
Mangan Napaet dilakukan pada awal puasa dan pada akhir sebelum berbuka, sedangkan
ritual dimulai jam. 12.00 tengah hari. pada saat semua jemaat berkumpul di parsantian
atau dirumah Ihutan/Ulupunguan, upacara dasar dimulai berupa puji-pujian kepada
Mulajadi Nabolon-Raja Nasiak bagi dan kemudian untuk mengingatkan hukumnya
mangan napaet. Mangan Napaet dimulai dengan cara mengedarkan napaet tadi secara
estafet. Mangan Napaet adalah merupakan pengabdian warga parmalim kepada Raja
Nasiak bagi yang menderita untuk manusia. Dan juga arti mangan napaet adalah symbol
kehidupan dari pahit menjadi manis, karena sudah mangan napaet akan diakhiri dengan
mangan natonggi dan inilah permulaan hidup prilaku baru untuk dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari. setelah mangan napaet maka dilaksanakan pula upacara
persembahan kambing putih kepada Mulajadi Nabolon.
6. Upacara Sipaha Sada,
adalah merupakan upacara yang paling hikmad dan mengandung nilai religius yang
paling dalam, bagi Umat Parmalim. Pelaksanaan upacara ini disambut gembira karena
sehari sebelumnya Parmalim baru saja selesai mengadakan upacara mangan napaet yaitu
satu cara upacara pembebasan manusia dari dosa.
Upacara Sipaha Sada adalah penyambutan datangnya tahun baru Ugamo Malim atau
pada Sipaha Sada inilah pergantian tahun terjadi. Boleh dikatakan Sipaha Sada ini adalah
tahun baru batak. Pada upacara ini pada umumnya seluruh orang batak melakukan dialog
bathin. Dan hari berikutnya dinamai Suma. Pada hari itu diperingati hari lahir
Simarimbulubosi. Upacara dipusatkan di Bale Pasogit. Upacara ini melakukan sesajen
juga kepada Mulajadi Nabolon termasuk kepada ketiga wujud pancaran kuasa yaitu
Batara Guru, Debata Sori dan Debata Balabulan dan seterusnya sampai kepada Raja
Nasiakbagi dihantarkan dengan asap dupa, air suci dan dengan bunyi gendang
sabangunan.
Upacara ini dilaksanakan bersama di Bale Pasogit. Dengan demikian semua umat
Parmalim. Pada upacara ini dilaksanakan dengan tertib dan memang benar-benar tertib
dan hikmad karena dianggap hari tersebut adalah memperingati kelahiran Tuhan.
7. Upacara Sipaha Lima,
yaitu upacara dilakukan pada bulan kelima kelender Batak untuk menyampaikan puji-
pujian kepada Mulajadi Nabolon termasuk kepada wujud Pancaran Kuasanya mulai dari
Debata Batara Guru-Debata Sori dan Balabulan dan seterusnya kepada Raja Nasiakbagi,
karena atas berkatnya semua mereka memperoleh rahmat, sehat jasmani dan rohani.
Upacara ini disebut Upacara Kurban, karena sajian yang dipersembahkan adalah hewan
kurban dari kerbau atau lembu.
Sajian pertama kepada Mulajadi Nabolon yang seterusnya diantar dengan asap dupa dan
air suci dan dengan bunyi gendang sabangunan.
Penyelenggaraan upacara Sipaha Lima ditetapkan pada hari ke 12-13 dan 14 menjelang
bulan purnama. Hari tersebut dinamakan Boraspati, Singkora dan Samisara berkisar
antara bulan Juli-Agustus pada bulan Masehi. Upacara diadakan dengan sajian yang
lengkap dilaksanakan dengan penuh khikmad tanpa syukur Parmalim kepada Tuhannya
dan agar diberi keselamatan dan kesejahteraan pada hari-hari berikutnya.
Jika pandangan Batak Tua mengenai ketuhanan dikembangkan Parmalim dengan ugamo
Malim, maka berikut ini yaitu oleh masyarakat Batak sekarang masih memperilakukan
pandangan tersebut pada kehidupannya sehari-hari dalam bentuk budaya ritual. Untuk
lebih memahami pendapat ini marilah kita mulai lagi melihat pandangan dan kehidupan
masyarakat Batak dahulu dengan masyarakat Batak sekarang.
Lambang wujud pancaran kuasa Mulajadi Nabolon adalah hembang atau bendera-
bendera berwarna hitam diatas, putih ditengah dan merah dibawah dalam satu kesatuan
yang disebut Debata Natolu. Warna Hitam adalah lambang Debata Batara Guru dari
wujud pandang kuasa Mulajadi Nabolon dalam kebijakan atau hahomion. Artinya adalah
bahwa pikiran manusia tidak mampu meneliti atau memikirkan kebijakan Mulajadi
Nabolon.
Hahomion Mulajadi Nabolon itu dapat dialami tetapi tak dapat dipikirkan. Sebagaimana
warna hitam pekat demikian pulalah gepalnya pikiran manusia atau kebijakan Mulajadi
Nabolon. Manusia tidak dapat meramalkan dan meraba seperti gelapnya warna hitam,
demikian pulalah dangkalnya dan gelapnya pikiran manusia tentang kebijakan Tuhan.
Manusia tidak mampu untuk itu. oleh sebab itu lambang hitam dari Batara Guru adalah
pertanda penyerahan diri kepadaNya.
Hanya terserah pada kebijakan Tuhanlah kehidupan manusia. Manusia tidak akan dapat
berjalan pada warna hitam yang ketat, malam yang gelap. Maksudnya manusia tidak akan
dapat berjalan di dunia ini oleh dirinya sendiri. Sebab itu berserah kepadaNya-lah
dikemanakan hidup ini. Apalah arti manusia dibandingkan dengan Kuasa Agung yang
dimilikiNya. Berserah kepada kebijakan Tuhanlah hidup ini karena Dialah kebenaran
yang menetapkan kebijakan itu. jadi arti warna hitam pada lambing adalah berserah diri
kepada kebijakan Tuhan atau berserah diri kepada hahomion ni Debata atau dengan kata
lain : “Tung asi ni roha ni Debata ma”. Warna putih dari hembang adalah lambing Debata
Sorisohaliapan sebagai wujud pancaran kuasa Mulajadi Nabolon mengenai kesucian atau
hahomion. Putih tidak dapat dibedakan. Dengan demikian dalam warna putih tidak
terdapat perbedaan. Demikianlah Debata Sohaliapan bahwa pada diriNya tidak ada
perbedaan maka sering dikatakan Putih ada perbedaan pada dirinya. Dia harus sama
dengan yang lain. Apabila dia sudah sama dengan yang lain, dan itu pula-lah hukum
kekuatan baginya dan dialah menjadi penguasa hukum kekuatan itu (habonaron).
Warna merah dari hembang adalah lambing Debata Balabulan sebagai wujud pancaran
kuasa Mulajadi Nabolon mengenai kekuatan. Balabulan adalah wujud kejadian kekuatan
alam itu. merah adalah warna tanah atau rata dalam bahasa batak, merah itu adalah
perlambang kegairahan untuk hidup. Justru kegairahan untuk hidup itulah maka timbul
keberanian.
Seseorang yang berani ia tidak takut mati, maka sering kita dengar : “Mardomu di tano
rara hita”. maksudnya mereka baru berjumpa setelah mati. Agar mati itu jangan sampai
terjadi maka harus tetap kuat. Agar tetap kuat inilah dilambangkan dengan merah yaitu
wujud pancaran kuasa Mulajadi Nabolon menjadi kekuatan. Warna merah adalah
perlambang kekuatan dan agar tetap kuat (hagogoon). Setiap manusia mengharapkan
kekuatan ada padanya. Kekuatan itu belum sempurna apabila hanya untuk diri sendiri.
Dan lebih tidak sempurna lagi apabila tidak diridhoi Tuhan. Apabila kita padu arti ketiga
warna tadi, maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa hitam itu adalah kebijakan
Tuhan, putih itu adalah kesucian Tuhan dari Tuhan, dan merah adalah kekuatan Tuhan
(hahomion-hamalimon-hagogoon). Dengan melihat bendera atau lambang yang warnanya
hitam diatas, putih ditengah dan merah dibawah, itu berarti menggambarkan kebijakan,
kesucian dan kekuatan dari Tuhan. Artinya yang dilambangkan dalam bendera itu adalah
Batara Guru sebagai wujud pancaran kuasa kebijakan, Debata Sorisohaliapan sebagai
wujud pancaran kuasa kesucian dan Debatabulan sebagai wujud pancaran kuasa kekuatan
dari Mulajadi Nabolon.
Lambang ini boleh dipisah-pisah seperti satu bendera tetapi dipacakkan berdekatan,
dengan ketentuan hitam di kanan, putih ditengah dan merah dikiri. Kesimpulan arti
lambang bahwa warna hitam – putih – merah merupakan kebijakan-kesuciannya dan
kekuatannya tidak dapat dibandingkan, tidak bermula dan tidak akan berakhir dan mula
segala yang ada. Ini adalah merupakan keyakinan orang batak pada umumnya dari dahulu
sampai sekarang. Mengapa penulis berani mengatakan demikian, baiklah penjelasan
berikut ini. Mungkin kita geli apabila diingat pada masa-masa kanak-kanak dahulu
disuruh orangtua memakai boning menalu diikat ditangan jika ada wabah penyakit. Agar
kita jangan dihinggapi penyakit, agar kita jangan dihinggapi penyakit, demikian
pandangan kita waktu itu. kegelian hati kita sekarang inipun sebenarnya tidak berdasar
karena sampai saat inipun kita semua dan masyarakatpun sehari-hari.
Bonang Manalu tiga benang masing-masing warna hitam atau biru, putih dan merah
dipilin menjadi satu adalah symbol doa masyarakat batak merupakan keyakinan bahwa
seseorang akan selamat apabila yakin bahwa tidak ada yang lebih kuat dari Tuhan Yang
Maha Esa mula kebijakan, kesucian dan kekuatan itu. apabila saya memakai bonang
manalu berarti saya telah yakin bahwa apapun yang akan terjadi baik pada saat ada
wabah penyakit saya akan tetap selamat berkat kepercayaan saya yaitu Tuhan yang saya
puja itu jauh lebih kuat dari kita seluruhnya. Saya yakin dan percaya bahwa saya akan
tetap selamat berkat kepercayaan saya bahwa Tuhanku pemilik hahomion itu pemilik
kesucian itu pemilik kekuatan itu adalah lebih kuat dari segala yang ada untuk
melindungi saya.
Ulos yang masih dipakai orang batak dalam kehidupan ada adatnya adalah bonang
manalu, warna pokok dari setiap ulos batak adalah hitam putih dan merah, sedang warna
lain adalah variasi kehidupan. Justru inilah ritual ulos dalam adat batak. Symbol
Tuhanlah yang tergambar dalam ulos batak. Mangulosi dalam adat batak adalah upacara
ritual dan khikmadnya masih dapat dirasakan masyarakat batak. Gorga adalah bonang
manalu perlambang doa masyarakat batak akan kekuatan Tuhan Yang Maha Esa mampu
mengayomi manusia. Gorga itu dipakai pada rumah maka disebut ruma gorga. Penghuni
Ruma Gorga akan tetap yakin bahwa mereka akan selamat-selamat berkat perlindungan
Tuhan Yang Maha Esa. Gorma warna hitam-putih-merah dalam kehidupan orang batak
bukan lah hiasan atau hiburan, tetapi adalah symbol keyakinan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Gorga dimana sajapun dipakai terutama pada solubolon selain dirumah adalah
bermakna keyakinan tersebut. Hidup orang batak tidak dapat terlepas dari Bataraguru dari
Debata Sorisohaliapan dan Debata Balabulan dalam arti kekerabatannya yaitu hahomion
ni Debata. gambaran Bataraguru, gambaran Debata Sorisohaliapan dan gambaran
Debatabulan terdapat pada kehidupan masyarakat batak dalihan natolu.
Justru dalihan natolu pandangan hidup orang batak adalah perwujudan kehidupan dan
titisan dari banua ginjang. Dalihan Natolu adalah gambaran tersebut.bahwa hula-hula
adalah titisan hahomion dari wujud pancaran kuasa Mulajadi Nabolon yaitu Bataraguru.
Hasuhuton namardongan tubu adalah titisan hamalimon dari wujud pancaran kuasa
Mulajadi Nabolon yaitu Debata Sirisohaliapan dan Boru adalah titisan kekuatan dari
wujud pancaran kuasa v yaitu Debata Balabulan.
Kita tidak akan heran tetapi mungkin akan kagum bahwa ulos dari hula-hula lebih banyak
hitamnya dari warna putih dan merah maka ulos hula-hula itu warna sibolang dan sitolu
tuho. Demikian ulos dari hasuhuton atau yang dipakai hasuhuton namardongan tubu lebih
banyak putihnya dari warna hitam dan merah maka ulos hasuhuton warna ragi idup.
Tentu demikian pula ulos boru atau yang dipakai boru lebih banyak warna merahnya dari
pada warna putih dan hitam maka ulos boru atau yang dipakai boru itu warna sadum dan
warna mangiring. Perhatikan ulos parompa kebanyakan berwarna hitam-biru dan putih.
Budaya batak cukup tinggi dan bernilai tinggi dalam kehidupan spiritual. Budaya itu akan
tumbuh dan berkembang. Oleh sebaba itu masih perlu kita lihat hal-hal yang lama apa
kaitannya dengan masa depan.
Salah satu dari yang lama itu misalnya mengenai sajian diperuntukkan kepada Mulajadi
Nabolon dan Debata Natolu yaitu Bataraguru-Debata Sori dan Balabulan. Sajian untuk
Nabolon dan Debata Natolu adalah kambing Putih dan kepada Bataraguru adalah manuk
jarum bosi berarti warna hitam, kepada Debata Sori adalah manuk putih warna putih dan
kepada Balabulan adalah manuk mira polin berarti warna merah. Bila pengertian bonang
manalu telah kita ketahui beserta ulos gorga apakah arti dan makna sajian atau pelean
dengan warna tadi yang diberikan kepada Tuhanh Yang Maha Esa. Dan apabila
dibandingkan dengan pengertian pelean sekarang ini, apakah pelean yang diciptakan
nenek moyang kita itu tidak sejajar dengan perkembangan zaman.
8. Tortor Pangurasan
Tortor Pangurason (Tari Pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar
yang mana lebih dahulu dibersihkan tempat dan lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar
jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut.

9. Tortor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan)


Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja, tari ini juga berasal dari 7 putri
kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan
datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung).Gbr dibawah.

10. Mangapus hoda miakan


Budaya ritual mangapus hoda miakan ini sangat jarang digelar sebab budaya ini digelar
pada pesta pengukuhan siraja batak, ini digelar terakhir sekali pada pesta pengukuhan
Raja Sisingamangaraja menjadi Siraja Batak dengan menggunakan makan kuda putih.
11.
Tortor tunggal panaluan merupakan suatu budaya ritual ini biasa digelar apabila suatu
desa dilanda musibah, maka tanggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat
petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan
adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah dan Benua
bawah. Gbr dibawah.

12. Mangalahat Horbo


Mangalahat Horbo termasuk budaya ritual yang sangat penting sebab setiap tahun
dilaksanakan pada hari kelahiran raja, hatorusan acara ritual ini sekaligus memberi
sesajen kepada Mulajadi Nabolon dan Debata Natolu agar setiap manusia jauh dari mara
bahaya.
Budaya ritual mangalakat horbo ini merupakan kunci dari seluruh ritual budaya batak
kepada Mulajadi Nabolon.
13. Bahan pengobatan ritual yang selalu harus dibutuhkan.
Dalam pengobatan tradisional batak tidak selamanya menggunakan tumbuhan. Ada juga
menggunakan makanan dan budaya ritual dalam pengobatan batak, suku batak selalu
menggunakan anggir dan daun sirih dari seluruh kegiatan pengobatan dan budaya ritual.
14.Pengobatan dengan budaya ritual penyucian
Pengobatan ini biasa dilakukan dengan memandikan para pasien ke dalam air yang
mengalir dengan menggunakan anggir dan tumbuhan lain yang sifatnya bertujuan
membuang penyakit dari tubuh si penderita. Biasanya setelah selesai dimandikan
setibanya dirumah akan diberikan makanan berupa ayam bagi laki-laki dan ikan bagi para
wanita dengan tujuan agar roh para penderita menyatu dengan badan. Sebab manusia
yang sakit biasanya karena rohnya tidak berada di dalam jasad.
15. Ilmu Pelindung
Dalam Ilmu Pelindung ini biasanya orang mencintainya dengan tujuan agar manusia
tersebut jauh dari mara bahaya dan sekaligus membangunkan roh-roh kekuatan yang ada
pada tubuh kita.
Dalam memberikan ilmu pelindung ini biasanya si penerima dibersihkan dibungkus
dengan kain 3 warna, merah, putih, hitam dengan harapan merah kekuatan, putih
kesucian dan hitam kebijakan berdiam dan bangkit dalam dirinya dan darahnya, sambil
air jatuh di kepala si penerima dan si pemberi saling memohon untuk ilmu perlindungan
tersebut.

Diposkan oleh danz_p4rt di 04:56 0 komentar

MUAL SI RAMBE

Monang Naipospos

Mual sirambe, satu embung kecil yang airnya jernih dan dingin. Mengalir dari celah batu
yang dipenuhi dengan ikan batak yang lajim disebut “Ihan”.

Berada di desa Bonandolok Kecamatan Balige. Lebih dekat dari Laguboti, jaraknya
sekitar 5 kilometer. Yang masih remaja tahun 70-an di Toba sudah pasti tau riwayat Mual
Sirambe ini karena menjadi obyek wisata lokal.

Ihan itu jarang menampakkan wujudnya, bila nampak, itu ada pertanda rejeki bagi yang
melihatnya, kata penduduk setempat. Dikatakan, ada yang berulang datang kesana karena
pada kesempatan pertama ihan itu tidak muncul, tapi sayangnya pada kunjungannya yang
kedua, ihan itu juga tidak muncul.

Pada kesempatan kami berkunjung kesana bersama Kabid Perikanan Dinas Pertanian
Tobasa, ikan itu sedang ramai bercanada dipermukaan air. Menakjubkan. Ihan itu
menyambar kacang yang kami lemparkan setelah dikunyah lebih dahulu. Katanya, air liur
kita yang dimakan ikan itu akan semakin mendekatkan kita dengannya. Ikan-ikan itu
tidak bereksi terkejut begitu kami sampai di embung dekat lubuknya. Ihan sangat sulit
disaksikan di alam habitatnya seperti di sungai dan danau Toba. Gerakannya sangat
cepat, punggungnya agak kehitaman.

Penduduk di Sirambe tidak pernah memakan ikan itu. Itu terlarang sejak dahulu. Ikan itu
adalah representasi boru Siagian yang memilih akhir hidupnya disana.
Konon, katanya pada zaman dulu kala, seorang putri dijodohkan dengan pria yang tidak
disukainya. Lalu, sang putri lari dan bersembunyi ke daerah Aek Sirambe. Sebongkah
batu ditafsirkan sebagai pertanda. Batu itu, diyakini sebagai perwujutan dari “namboru
boru Siagian” yang menjadi penghuni Mual Sirambe.

Diposkan oleh danz_p4rt di 04:55 0 komentar


Minggu, 2009 Maret 08

falsafah batak

Kalau berbicara tentang bangunan rumah,pemikiran kita tentunya tak lepas dari semen,
pasir,paku,kerikil buat cor dsb.

Lalu pernah kah terpikir kalau semua bahan bangunan itu tidak ada saat kita ingin
membangun sebuah rumah…
Bunga Kamboja sayur lodeh…. Lojaa deehh…kata anak jaman sekarang.

Cukup menarik memang apa yang telah dilakukan leluhur terdahulu yang memang sama
sekali belum mengenal yang namanya semen tiga roda,paku, besi fondasi dan sebagainya.
Pada jamannya leluhur hanya menggunakan kayu dan tali temali.Sebatang kayu juga
diperoleh bukan dengan cara yang gampang.Tak jarang kayu di peroleh setelah
menelusuri Hutan rimbun sejauh 15 km dari tempat kediaman.
Tiang pancang yang sekarang di kenal dengan nama fondasi tersebut digunakan dengan
diameter 35 cm dan panjang mencapai 3 meter.
Dari mulai atap dinding hingga lantai rumah, kesemuannya itu terbuat dari bahan kayu
pilihan dan batu. Misalnya saja untuk dinding penutup rumah sepanjang 12 hingga 16
meter dengan ketebalan antara 10 hingga 12 cm.

Lalu apakah proses pengerjaan itu di lakukan oleh tukang kayu yang handal seperti
sekarang ini…?
Dari proses pemilihan kayu hingga pengeringan dan pemasangan dilakukan oleh
penduduk setempat secara bergotong royong. Hal ini lah yang di kenal dengan nama:
‘Marsiadapari’ yang artinya tenaga yang di beri akan dibayar dengan tenaga.

Hal yang cukup menarik lainnya tentang filosofi rumah batak yaitu Penyatuan 3 Unsur
sehinga rumah batak terlihat Anggun, Megah dan berwibawa. Ketiga unsur tersebut
yaitu: batu, kayu dan ijuk.
Untuk ornament keindahan, biasanya ukiran menjadi hal yang tak terpisahkan dari rumah
adat batak. Biasanya gambar ukiran berbentuk lembu, kuda dan kerbau sebagai lambang
kemakmuran.

Kemudian gambar lukisan juga berupa gambar semut beriring yang menandakan agar si
empunya rumah selalu seiring bergotong royong dan akur bergotong royong. Namun ada
hal yang patut di sayangkan ketika ukiran keangunan rumah batak tersebut konon katanya
mewajibkan si empunya rumah harus mengambil darah manusia sebagai campuran cat
yang terdiri dari 3 unsur yaitu merah,putih dan hitam. Warna merah tersebutlah yang
berasal dari darah manusia yang di bunuh karena diyakini darah manusia tidak luntur
oleh panas dan senantiasa segar dan jernih.

Unsur filosofi rumah ini juga menganduh 3 falsafah di peradaban batak.


Ketiga falsafah budaya batak tersebut adalah :

1.Hot di Batu na

Filosofi ini menyiratkan arti kata hot yaitu tegak, tegas,tidak terbawa arus,berprinsip dan
bertanggung jawab. Sifat ini merupakan sebuah fondasi dari rumah batak yang
menjadikan batu besar dengan berat berkisar 100 kg di jadikan fundasi . Batu tersusun
rapi agar tiang dapat berdiri tegak memikul semua beban atap dan penyangga rumah.
Ada sebuah umpasa berbunyi : “ pitu batu martindi, ditoru na dumokdok”. Artinya bahwa
yang di maksud dalam hal ini adalah suhut sebagai penanggung jawab semua beban baik
dalam acar-acara ritual atau pesta adat.

2.Momos dihasingna

Tiang-tiang yang banayknya mencapai 18 buah di lubangi dan kemudian di satukan


dengan kayu rusuk. Kayu rusuk merupakan lembar papan setebal 5 cm dengan lebar 25
cm dan panjang sesuai dengan bangunan rumah.Agar lebih mudah merusuknya, lobang
pada tiang dibuat lebih besar sekitar 6cm x 30cm.
Agar kayu yang di rusuk tadi rapat dan padat hingga rumah kokoh tak goyang oleh angin,
maka disisiplah kayu sebagai pengganjal dengan nama : “ hansing-hansing “.
Hansing-hansing ini di artikan sebagai kesepakatan bersama pihak yang keci.
Artinya apabila kekuatan-kekuatan kecil di persatukan maka akan mampu menjadi
sebuah kekuatan yang besar yang mampu menghadang kekuatan angina, badai dan
gempa.Ringan sama di jinjing dan berat sama dipikul yang maksudnya segala sesuatu
dalam adapt batak diputuskan dalam Tonggo Raja,Marria Raja maupun Mangarapot.
Disinilah biasanya pendapat dan kekuatan di satukan menjadi sebuah keputusan yang
harus dijalankan secara bersama.

3. Togu dipangarahutna

Seluruh kerangka yang di persatukan dengan tali ijuk dengan pintalan yang
khusus.Kemudian bagian atap dijahit dengan bahan tali ijuk dan diikat dengan kuat. serta
rapat.

Dengan demikian segala kerangka, fundasi serta isi rumah dapat terlindungi dari segala
macam ancaman dan gangguan. Hal ini di maknai sebagai falsafah aturan hukum adapt.
Aturan adat dohot ugari itulah dianggap sebagai pengikat dan pemersatu hingga segala
perangkat yang ada di dalamnya merasa tentram, aman dan nyaman.

Anda mungkin juga menyukai