Anda di halaman 1dari 13

Islamisasi Tatar Sunda:

Islam Teh Sunda, Sunda Teh Islam


Rabu, 2 Desember 2015 - 10:05 WIB
Mayoritas suku Sunda menganut Islam. Islam bahkan hampir menjadi bagian dari identitas
kesundaan

ILUSTRASI

Keraton Kanoman Kesultanan Cirebon: Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari
Cirebon

Terkait

Masyarakat Sunda Purwakarta: Pelecehan Adat Sunda Sampurasun Hanya Fitnah

Sejarawan: Sunda Sejalan dengan Islam, Kalau Kesunden Menyimpang

Islam Teh Sunda, Sunda Teh Islam[3]

Islam Teh Sunda, Sunda Teh Islam [2]

oleh: Tiar Anwar Bachtiar


TATAR SUNDA adalah wilayah tempat bermukimnya suku Sunda. Tatar
Sunda umumnya disamakan dengan daerah Jawa Barat. Sebelum daerah

Jawa bagian barat terpecah menjadi provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa
Barat seluruh wilayah ini dianggap sebagai bagian dari etnik Sunda.
Meski kota-kota ini bukan lagi masuk Jawa Barat, bagaimanapun mereka
masih termasuk bagian dari Sunda. Sebab pada kenyataannya, pada
wilayah-wilayah itulah populasi masyarakat Sunda tersebar.
Sama seperti etnis Jawa, etnis Sunda pun mengalami proses sejarah yang
panjang. Salah satu fase sejarah yang paling penting adalah proses
Islamisasi. Proses ini, sampai saat ini merupakan proses yang
memberikan kesan paling penting dam mendalam bagi masyarakat Sunda.
Paling tidak, secara nominal, mayoritas suku Sunda menganut Islam.
Islam bahkan hampir menjadi bagian dari identitas kesundaan. Dengan
kata lain, kalau tidak Islam, agak aneh bahwa dia adalah orang Sunda,
sekalipun pada kenyataannya ada saja orang Sunda yang tidak Islam.
Islamisasi Tatar Sunda dalam Sejarah
Bila melihat hubungan antara Islam dengan kebudayaan setempat seperti
demikian, maka akan dapat disimpulkan bahwa Islam datang untuk
menghancurkan kebudayaan masyarakat setempat. Padahal, sejatinya
proses Islamisasi di Indonesia, apalagi menyangkut kebudayaan, pada
umumnya merupakan proses yang damai, normal, dan wajar tanpa
kekerasan. Orang dengan sukarela menjadi Islam atau tidak. Sementara
persoalan politik sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan
kepentingan kekuasaan, daripada dengan kepentingan mempertahankan
kebudayaan.
Hal yang sama juga akan ditemukan saat menceritakan hubungan antara
Sunda dengan Islam. Hubungan ini, dalam sejarah selalu dikaitkan dengan
ingatan perang antara Maulana Hasanudin dari Banten dengan kerajaan
Sunda di bawah pimpinan Ratu Samiam tahun 1579 yang berakhir dengan
hancurnya kerajaan Sunda. Perang ini seolah memberikan pertanda
bahwa Islam dengan Sunda adalah seteru, sesuatu yang tidak dapat
dipersatukan. Padahal, dalam ingatan budaya masyarakat Sunda, perang
tersebut sudah tidak pernah lagi menjadi bagian yang penting untuk
dijadikan identitas. Artinya, bagi mereka kejadian itu tidak dianggap
sebagai sesuatu yang penting dalam proses Islamisasi yang mereka
alami. Bahkan dalam alam pikiran masyarakat Sundasebagaimana
nanati akan dijelaskansejarah Islamisasi yang mereka alami tidak
pernah dikaitkan dengan permusuhan terhadap kelompok manapun.
Dalam catatan sejarah, Islam datang ke Tatar Sunda seiring dengan
datangnya Islam ke Tanah Jawa pada umumnya. Sama seperti di wilayah
Jawa yang lain, puncak keberhasilan dakwah Islam adalah pada masa
Wali Songo. Di Tatar Sunda, anggota Wali Songo yang menjadi penyebar

Islam tersohor, bahkan sampai berhasil mendirikan kerajaan Islam di


Cirebon dan Banten adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Namun demikian, Sunan Gunung Jati bukan orang pertama yang
membawa Islam.
Dalam sumber-sumber lokal-tradisional dipercayai bahwa orang yang
pertama kali memeluk dan menyebarkan Islam di Tatar Sunda adalah
Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru
Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa
Kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar. Karena
posisinya itu, ia tebiasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran,
sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat
bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa
memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan
Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji
di kerajaannya, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Ia kemudian
menetap di Ciberon Girang yang saat itu berada di bawah kekuasaan
Galuh.
Bila cerita ini menjadi patokan, dapat disimpulkan bahwa Islam pertama
kali dibawa ke Tatar Sunda oleh pedagang dan pada tahap awal belum
banyak pendukungnya karena masih terlampau kuatnya pengaruh Hindu.
Sementara kala waktunya, bila dikaitkan dengan penguasa Kerajaan
Galuh Sang Bunisora yang berkuasa selama 14 tahun dari tahun 1357
hingga 1371 M, maka dapat kita ketahui bahwa peristiwa Bratalegawa
atau Haji Purwa di atas terjadi sekitar abad ke-14.
Ada pula naskah tradisional lain yang menyebutkan cerita tentang Syekh
Nurjati dari Persia. Ia adalah ulama yang datang pada sekitar abad ke-14
bersama 12 orang muridnya untuk menyebarkan Islam di daerah jawa
Barat. Atas izin penguasa pelabuhan tempat ia mendarat, ia diperbolehkan
menetap di Muarajati (dekat Cirebon) dan mendirikan pesantren di sana.
Kisah ini terdapat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Dalam Babad Cirebon, kisah perintis penyebaran Islam hampir mirip
dengan cerita Bratalegawa. Hanya saja, tokohnya kali ini adalah Pangeran
Walang Sungsang yang dikenal juga dengan nama Ki Samadullah, Ki
Cakrabumi, atau Syekh Abdul Iman. Ia adalah anak penguasa Pajajaran
Prabu Siliwangi dari istrinya Nyai Subang Larang.
Hanya saja, ceritanya kemudian bercampur dengan mitos bertemunya
Walangsungsang dengan nabi Muhammad Saw., padahal secara historis
terjadi perbedaan zaman yang cukup jauh. Di daerang Priangan tokoh
anak Prabu Siliwangi yang dipercaya menyebarkan Islam di Tanah Sunda
adalah Kean Santang, dengan cerita yang hampir sama.

Ada lagi kisah tentang ulama yang datang dari Campa (sekitar Vietnam)
bernama Syekh Quro. Ia singgah di Karawang bersama-sama dengan
kapal Laksamana Cheng Ho. Sementara Cheng Ho melanjutkan misinya,
Syekh Quro memilih tinggal di Karawang dan menikah dengan Ratna
Sondari putra penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk mendirikan
pesantren hingga ia dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih
leluasa.
Sumber-sumber tradisional ini, sekalipun dalam perspektif sejarawan Barat
dianggap sebagai sumber yang tidak otoritatif, namun untuk tidak
dipercayai secara keseluruhan pun bukan perkara yang tepat. Oleh sebab
itu, sebagai informasi permulaan apa yang ditulis dalam sumber-sumber
tradisional di atas patut dipertimbangkan.
Bila sumber-sumber ini kita pegang, dapat disimpulkan bahwa Islam telah
datang ke Tatar Sunda sejak abad ke-12 atau ke-13. Akan tetapi,
sebagaimana umumnya pengembangan agama secara damai,
tersebarnya Islam untuk sampai menjadi anutan mayoritas membutuhkan
waktu yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, bila pada abad ke-16, Kerajaan
Sunda runtuh, bukan berarti bahwa Islam yang menghancurkannya.
Kehancuran Kerajaan Sunda adalah karena kekuatannya secara politik
semakin merosot sehingga mudah untuk dihancurkan. Hanya saja, saat itu
yang berhadap-hadapan dengan Kerajaan Sunda adalah Kerajaan Banten
sehingga banyak yang secara simplisistik menyebutkan bahwa hancurnya
simbol kasundaan adalah ketika Islam datang. Artinya, peristiwa politik
antara Banten dengan Pajajaran harus dilihat dalam konteks perebutan
supremasi politik yang tidak selalu harus berkaitan dengan masalah
keyakinan, terutama dalam konteks Islamisasi di Tatar Sunda.
Islamisasi di Tatar Sunda sendiri berlangsung secara laten jauh sebelum
terjadi berbagai konflik politik antara Kerajaan Islam Cirebon dan Banten
dengan Kerajaan Pajajaran.
Menurut Hasan Muarif Ambary, Islamisasi di Nusantara, termasuk di Tatar
Sunda melalui tahap-tahap yang hampir seragam, yaitu:
Pertama, adanya kontak antara masyarakat Nusantara dengan para
pedagang, pelaut, atau musafir dari berbagai belahan dunia seperti China,
Arab, India, Asia Tenggara, Persia, dan sebagainya. Periode ini,
berlangsung antara abad ke-7 hingga abad ke-11. Kontak pergadangan ini
menjadi argumentasi awal atas kemungkinan bertemunya masyarakat
Nusantara dengan para pedagang Muslim dari negara-negara Islam.
Kedua, adanya kontak perdagangan internasional di atas, telah membuka
kesempatan kepada penduduk Nusantara untuk mengadakan kontak
secara khusus dengan para pedagang Muslim. Kontak inilah yang mula-

mula memperkenalkan memperkenalkan Islam ke wilayah Nusantara.


Sebagian penduduk Nusantara sudah mulai ada yang tertarik untuk
mempelajarinya, tidak terkecuali di Tatar Sunda yang sebagian wilayah
meliputi juga wilayah pesisir seperti Banten (temasuk Jakarta) dan Cirebon
yang pada umumnya menjadi tujuan utama para pedagang internasional.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pusat persebaran Islam yang
pertama muncul di daerah pesisir Cirebon. Akan tetapi, tidak ada informasi
sejarah tentang kontak awal Islam di wilayah Tatar Sunda ini sebelum
abad ke-14.
Hanya saja, kalau mengikuti logika sejarah tentang Bratalegawa yang
anak penguasa dan saudagar, dugaan bahwa jauh sebelum abad ke-14
komunitas Muslim dari berbagai belahan dunia sudah memiliki kontak
dengan masyarakat di Tatar Sunda bisa jadi benar. Tentu saja ini perlu
pembuktian lebih lanjut melalui penelusuran bukti-bukti sejarah baru dari
wilayah Tatar Sunda yang sampai saat ini masih terbatas.
Ketiga, tumbuhnya komunitas Islam di Nusantara, baik di wilayah pesisir
maupun pedalaman. Fase ini berlangsung antara abad ke-11 hingga abad
ke-13 Masehi. Di beberapa wilayah pesisir Sumatera, pada fase ini bahkan
sudah muncul beberapa kerajaan Islam awal. Sementara di Tatar Sunda
sendiri, seperti sudah dijelaskan di atas, kemungkinan besar sudah
muncul komunitas Muslim di wilayah pesisir utara Jawa Barat (Cirebon,
Karawang, dan sekitarnya). Bila nama-nama seperti Syekh Quro dan
lainnya sudah muncul, berarti sudah tumbuh komunitas Muslim di sana.
Bahkan bila merujuk kepada mitos tentang Kean Santang, anak Prabu
Siliwangi, yang masuk Islam, komunitas Muslim di Tatar Sunda besar
kemungkinan sudah masuk pula ke pusat-pusat kekuasaan Kerajaan
Sunda Pajajaran. *
Keempat, pelembagaan Islam yang ditandai tumbuhnya pusat-pusat kekuatan politik dan
kesultanan Islam di Nusantara yang terjadi pada antara abad ke-13 hingga abad ke-16
Masehi. Di Tatar Sunda pada periode ini sudah muncul Islam yang paling penting, yaitu
Cirebon dan Banten. Ini menandai puncak penyebaran Islam di kawasan ini. Saat kerajaan
Cirebon muncul, kerajaan Sunda sampai pada masa kehancurannya karena berbagai faktor
eksternal dan internal. Pada masa ini, kerajaan-kerajaan Islam pun sudah berhadapan
dengan kekuatan kolonialisme Eropa.
Kelima, surutnya kharisma dan kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam berganti dengan
munculnya dominasi ekonomi, politik, dan militer Eropa. Pada masa ini mulai ada usaha deIslamisasi yang dilakukan oleh Belanda melalui berbagai gerakan, baik sosial, politik,
maupun kebudayaan. Gerakan de-Islamisasi politik dilakukan dengan cara tidak
memberlakukan kembali sistem perundangan berdasarkan syariat Islam yang digunakan

oleh kerajaan-kerajaan Islam, termasuk di Banten dan Cirebon. Secara sosial, usaha-usaha
Kristenisasi sampai pada taraf tertentu dilakukan sangat agresif di wilayah-wilayah mayoritas
Islam. Melalui kebudayaan, timbul usaha-usaha untuk memisahkan Islam dari kebudayaan
lokal. Kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat Sunda, dengan dalih melestarikan
budaya, sebisanya dibentur-benturkan dengan ke-Islam-an yang dianut mayoritas msyarakat
Sunda. Sekalipun kelihatannya untuk kasus Sunda masih relatif sulit untuk sampai ke sana
sebagaimana akan dijelaskan pada sub bab berikut ini.
Mitos Islamisasi Urang Sunda
Suatu sikap masyarakat terhadap sesuatu terkadang dapat ditunjukkan oleh mitos apa yang
hidup dan dipercayai masyarakat. Mitos bukan hanya sekadar dongeng dan khayalan,
melainkan kisah (sekalipun khayalan) yang menjadi kepercayaan suatu masyarakat. Mitos
memang tidak memiliki fakta yang jelas dan bisa dibuktikan sehingga mitos selalu menjadi
antonim dari ilmu pengetahuan (sciences) dan kenyataan (reality). Sekalipun sama-sama
merupakan cerita tidak berdasar, mitos dibedakan dari legenda dan karangan fiksi. Legenda
dan ceriata fiksi lain sudah disadari sejak semua sebagai cerita yang tidak berdasar.
Sedangkan mitos, secara tidak sadar dipercayai sebagai suatu realitas yang nyata bagi
orang yang mempercayainya sehingga berpengaruh pada perilakunya.
Salah satunya, untuk memahami bagaimana urang Sunda memaknai Islam yang dianutnya
dapat kita pahami dengan baik salah satu mitos paling populer mengenai Islamisasi tatar
Sunda.
Mengenai Islamisasi Tatar Sunda, mitos yang paling populer adalah mengenai Kean
Santang. Secara singkat, mitos tentang Kean Santang adalah sebagai berikut.
Kean Santang bernama asli Gagak Lumayung. Ia merupakan anak dari Prabu Siliwangi,
Raja Pajajaran, yang juga panglima besar Pajajaran yang tidak pernah dikalahkan oleh
siapa pun di seluruh Jawa. Ia tidak pernah terluka meskipun telah mengarungi banyak
pertempuran. Inilah sebabnya, dalam wawacan disebutkan, ia belum pernah melihat
darahnya sendiri. Untuk itu, ia berpamitan kepada ayahandanya, Prabu Siliwangi, untuk
bertapa mencari petunjuk bagaimana ia dapat melihat darahnya sendiri. Kean Santang
pernah mendengar adanya orang yang amat sakti di Makkah, bernama Baginda Ali. Tetapi ia
tidak mengetahui di mana Makkah itu.
Dalam pertapaannya ia mendapatkan petunjuk untuk mengganti namanya menjadi
Garantang Setra. Dengan ilmu tapak kancang atau berjalan di atas air, Kean Santang
menuju arah barat. Sampailah ia di Makkah. Ia bertemu dengan Baginda Ali yang menyamar
menjadi orang tua. Baginda Ali kemudian memberikan ujian pertama kepada Kean Santang,
yaitu mengambil sisirnya yang tertinggal. Kean Santang berhasil menemukan sisir itu,
namun ketika mau diambil, sisir itu masuk ke dalam tanah. Kean Santang tak berhasil

memegangnya. Bginda Ali menasihati agar Kean Santang mengucapkan Basmalah. Sisir
dapat diambil.
Kean Santang diajak Baginda Ali untuk ikut mendirikan tiang masjid di Makkah. Di sinilah ia
bertemu dengan Nabi. Kean Santang masuk Islam dan diberi nama Sunan Rahmat. Ia ingin
tetap berada di Makkah, tetapi Rasulullah mengangkatnya sebagai Wali untuk
mengislamkan pulau Jawa. Nabi menyuruh Kean Santang mengucapkan Kalimah kalih
(syahdatain) sambil memejamkan mata, maka tiba-tiba ia sudah sampai di tanah Jawa,
bahkan di Pakuan.
Kean Santang alias Sunan Rahmat alias Sunan Bidayah menghadap ayahandanya Prabu
Siliwangi dan memintanya untuk masuk Islam. Tetapi raja Pajajaran ini menolak. Juga ketika
Kean Santang menunjukkan dirinya sebagai wawakil Nabi untuk mengislamkan Pajajaran di
atas materai batu datar dengan huruf Jawa. Namun demikian, Prabu Siliwangi tidak
menghalangi atau melarang anaknya untuk menyebarkan Islam. Untuk menghindari konflik
kepentingan dengan anaknya, akhirnya Prabu Siliwangi memilih untuk melenyapkan diri
(ngahiyang), keratin Pakuan Pajajaran ia ubah menjadi hutan rimba. Sementara Para raja
yang lain, para menteri, dan para bupati berubah menjadi harimau dan menghuni hutan
Sancang.
Kean Santang berkeliling Tatar Sunda mengislamkan masyarakat dari satu kampung ke
kampung lain. Pada mulanya di Tegal Leles Cipancar, kean santang mengkhitan seorang
penduduk ketika masuk Islam, namun karena belum tahu bagaimana mengkhitan, penduduk
kampong tersebut meninggal dunia akibat dipiting seluruh kemaluannya. Kean Santang
kemudian menghadap kembali Nabi dan diajari bagaimana mengkhitan orang.
Setelah mengislamkan seluruh Tatar Sunda, Kean Santang menghadap lagi Nabi dan
memohon untuk menetap di Makkah. Namun, Nabi tidak mengizinkannya dan tetap
memberinya tugas sebagai wali di Pulau Jawa.
Cerita (wawacan) seperti di atas tersebar hampir di seluruh wilayah di Tatar Sunda dengan
cerita yang kadang-kadang tidak selalu sama. Kalau nama Kean Santang dikenal di daerah
Priangan, di Cirebon dan sekitarnya tokoh Kean Santang ini dikenal dalam Babad
Cirebon sebagai Pangeran Walangsungsang. Selain namanya yang berbeda, hampir semua
ceritanya, terutama mengenai pertemuan dengan Nabi, tidak terlalu berbeda. Sekalipun
berbeda nama penyebar Islam, namun dalam semua cerita bahwa tokoh itu adalah anak
Prabu Siliwangi.
Menarik bahwa proses Islamisasi dalam mitos yang hidup di kalangan masyarakat Sunda
semuanya dikaitkan dengan Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi adalah tokoh yang juga hanya
hidup dalam mitos masyarakat Sunda. Ia dianggap sebagai raja Sunda yang paling adil,
bijaksana, dan sekaligus menjadi raja Sunda terakhir sebelum datangnya Islam. Karena

keadilannya itu, Prabu Siliwangi menjadi legenda masyarakat Sunda. Namun siapakah Raja
Sunda yang disebut-sebut sebagai Siliwangi itu? Tidak ada kata sepakat di kalangan para
peneliti. Ada banyak versi mengenai sosok Prabu Siliwangi ini.
Mengenai siapa Prabu Siliwangi ini Edi S. Ekadjati menyimpulkan bahwa dimungkinkan
yang dimaksud adalah Raja Niskala Wastukancana (1371-1475) yang berkedudukan di
keraton Surawisesa di ibu kota Kawali (Galuh) atau Raja Sri Baduga Maharaja (1482-1521)
yang berkedudukan di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati di ibukota
Pakuan (Pajajaran); atau bisa juga yang dimaksud adalah keduanya. Keduanya merupakan
raja-raja Sunda yang berhasil membawa kerajaan Sunda ke puncak kejayaannya hingga
dikenang oleh masyarakat Sunda. Walaupun secara historis tidak ditemukan raja Sunda
benama, bergelar, atau berjuluk Siliwangi, masyarakat Sunda pada umumnya percaa bahwa
tokoh ini sungguh-sungguh merupakan tokoh historis kebanggaan masyarakat Sunda. Bagi
sebagian kalangan, tokoh Siliwangi ini bukanlah kedua orang di atas, melainkan tokoh yang
benar-benar ada sebagai Siliwangi sekalipun tidak bisa dibuktikan secara historis
keberadaannya.
Begitu melegendanya Prabu Siliwangi, sampai-sampai proses Islamisasi Tatar Sunda, dalam
kepercayaan masyarakat Sunda pun harus dikaitkan dengan tokoh ini. Dengan
mengaitkannya pada Prabu Siliwangi, masyarakat Sunda ingin menunjukkan bahwa
keberadaan Islam pun sama pentingnya dengan keberadaan Prabu Siliwangi. Bahkan dalam
kisah lain ada yang mempercayai bahwa Prabu Siliwangi inilah yang pertama masuk Islam
dan menyebarkannya kepada masyarakat Sunda, bukan anaknya Kean Santang atau
Walangsungsang.
Bagaimanapun dan siapapun Prabu Siliwangi adanya, cerita mengenai Islamisasi tanah
Sunda yang dikaitkan dengannya seperti terkandung dalam cerita di atas menunjukkan
kepada kita beberapa hal.
Pertama, secara kebudayaan urang Sunda merasa bahwa menjadi Islam adalah suatu
keharusan disebabkan ini merupakan amanat sang Prabu Siliwangi yang mereka hormati
melalui anaknya Kean Santang. Ngahiyang-nya Prabu Siliwangi menandakan bahwa
kepercayaan sebelum datangnya Islam sudah benar-benar hilang dibawa bersama
hilangnya Prabu Siliwangi yang tidak meninggalkan jejak dan bekas apapun kecuali alam
yang kembali pada asalnya (hutan belantara) sebagai pertanda bahwa ajaran yang dibawa
Prabu Siliwangi pun sudah kembali ke asalnya, tanpa meninggalkan bekas apapun.
Kedua, kisah Islamisasi dalam mitos urang Sunda di atas pun ingin menunjukkan bahwa
Islam datang ke wilayah ini secara damai. Tidak ada perang dan pertumpahan darah. Saat
anaknya memutuskan untuk memeluk dan menyebarkan Islam, sang ayah memutuskan
untuk tidak terlibat dalam proses sejarah yang akan menyebabkan konflik dengan
cara ngahiyang. Proses ngahiyang dalam konsep Hindu sebanding

denganmoksa. Dengan ngahiyang-nya Prabu Siliwangi yang merupakan puncak tujuan


kehidupan dalam keyakinan Hindu, posisi Prabu Siliwangi yang Hindu ditempatkan pada
posisinya yang paling terhormat.Ia tetap dihormati, sekalipun memilih untuk tidak masuk
Islam. Kalau kisah mengenai ke-Islaman Prabu Siliwangi juga dipercayai oleh masyarakat
Sunda, proses Islamisasi menunjukkan prosesnya yang lebih damai lagi. Dalam versi cerita
ini, Islam bahkan dianut oleh sosok yang sangat dihormati masyarakat Sunda.
Secara hostoris sesungguhnya sempat tercatat konflik berdarah antara Raja Samiam (Raja
Sunda-Pajajaran terakhir) dengan Maulana Yusuf dari Kasultanan Banten tahun 1579 M
yang mengakhiri supremasi kerajaan Pajajaran di Tatar Sunda. Akan tetapi, cerita ini hanya
ditemukan dalam catatan sejarah Sunda-Banten. Dalam tradisi masyarakat, baik di Banten
maupun di Priangan dan Cirebon, kisah ini tidak hidup. Ini menandakan bahwa perang di
antara kedua kerajaan itu, bagi masyarakat dipandang hanya sekadar konflik politik biasa
yang tidak berhubungan dengan keyakinan mereka. Oleh sebab itu, tradisi yang hidup tetap
tentang proses penyebaran Islam yang damai.
Ketiga, melalui mitos ini urang Sunda ingin meyakinkan bahwa Islam yang datang pada
mereka adalah Islam yang asli berasal dari pembawanya, yaitu Nabi Muhammad Saw.
Selain itu, mitos ini juga semacam pernyataan mentalitas urang Sunda yang siap untuk
menerima apa saja yang berasal dari pembawa ajaran Islam, Nabi Muhammad Saw. Sikap
mental semacam ini menjadi penting dalam proses dakwah Islam di Tatar Sunda pada
masa-masa intensifikasinya yang ditandai dengan berdirinya berbagai lembaga pendalaman
Islam seperti mesjid dan pesantren di seluruh wilayah Tatar Sunda. Karena merasa bahwa
Islam yang dianut mereka berasal langsung dari Nabi Saw., saat diperkenalkan sedikit demi
sedikit ajaran-ajaran Islam lebih lanjut, masyarakat Sunda cenderung lebih mudah
menerimanya.
Demikian lebih kurang hal-hal yang bisa ditafsirkan dari mitos Kean Santang yang tersebar
di masyarakat Sunda. Mitos tetaplah mitos. Dia bukan merupakan fakta sejarah. Namun,
ketika mitos itu dihubungkan dengan realitas historis, mitos ini menunjukkan adanya
kesadaran sejarah tertentuseperti yang dijelaskan di atasyang melekat dalam diri
masyarakat pendukungnya yang dalam hal ini masyarakat Sunda. Secara kebudayaan,
fakta ini menunjukkan mengenai bagaimana sikap urang Sunda terhadap Islam yang datang
setelah sebelumnya mereka mengenal ajaran animism-dinamisme dan Hindu-Budha. Sikap
inilah yang dapat membuka pemahaman kita mengenai mengapa urang Sunda menjadikan
sebagian identitasnya adalah Islam hingga muncul istilah Islam teh Sunda; Sunda teh
Islam(Islam itu Sunda; Sunda itu Islam).*
Falsafah Hidup Urang Sunda
Bila mitos di atas dapat berguna untuk menjelaskan bagaimana pada tahap
awal urang Sunda dapat menerima Islam, maka penjelasan mengenai falsafah hidup jurang

Sunda saat ini penting untuk memahami betapa intensifnya hubungan Islam dan Sunda
hingga saat ini. Apabila falsafah hidup yang dianut ternyata mendapat pengaruh kuat dari
Islam, maka hampir dapat dipastikan bahwa Islam telah meresap menjadi bagian tak
terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Sunda. Inilah yang akan digali pada bagian ini.
Salah satu jejak budaya yang cukup representatif untuk menggambarkan mengenai falsafah
hidup yang dianut urang Sunda adalah warisan peribahasa dan pepatah yang hidup di
tengah masyarakat. Dalam bahasa Sunda yang demikian disebut paribasa dan babasan.
Di balik peribahasa dan pepatah itu tentu tersimpan suatu pandangan hidup tertentu
(worldview). Pandangan hidup inilah yang menjadi kerangka dasar masyarakat yang
bersangkutan melihat dan menafsirkan berbagai realitas yang dihadapinya. Di sini pula
dengan segera akan ditemukan sejauh mana Islam berpengaruh membentuk pandangan
hidup masyarakat Sunda.
Berkait dengan peribahasa, ada dua buku penting yang dapat dijadikan rujukan, yaitu buku
Mas Natawisastra berjudul Saratus Paribasa jeung Babasan (cet. I thn. 1914; cet. II 1978)
terdiri atas lima jilid. Buku lainnya ditulis Samsoedi Babasan jeung Paribasa Sunda yang
terbit tahun 1950-an. Dalam kedua buku tersebut termuat lebih dari 500 peribahasa Sunda.
Seluruhnya mewakili apa yang berkembang di tengah masyarakat Sunda.
Menurut Ajip Rosidi, dari lebih 500 peribahasa, yang secara langsung kosakatanya
meminjam peristilahan Islam hanya ada sekitar 16 peribahasa. Sisanya tidak meminjam
peristilahan khusus Islam. Di antara babasanyang ada kaitan langsung dengan Islam antara
lain: Kokoro manggih Mulud, puasa manggih Lebaran (Orang melarat bertemu perayaan
Maulid Nabi, yang berpuasa bertemu dengan Lebaran), Jauh ke bedug (Jauh ke suara
bedug di mesjid), dan sebagainya. Sementara peribahasa lain umumnya menggunakan
peristilahan yang umum dalam masyarakat Sunda dan tidak kaitannya secara langsung
dengan Islam contohnya antara lain: cul dog-dog tinggal igel (menari tanpa diiringi lagi musik
pengiring), kandel kulit beungeut (tebal kulit muka), dan sebagainya.
Berdasarkan bacaan Rosidi, sekalipun peribahasa dan pepatah yang dibuat tidak secara
langsung menyerap istilah yang ada kaitan dengan kebiadayaan Islam
seperti tajug (mesjid), mulud (perayaan Maulid Nabi),lebaran, puasa, dan semisalnya bukan
berarti makna yang terkandung di dalamnya juga tidak ada kaitan dengan Islam. Justru
setelah keseluruhan pepatah dibaca dan beberapa sampel pepatah dicontohkan, Rosidi
menyimpulkan:
Dengan demikian walaupun jumlah peribahasa yang tampak Islami tidak banyak, namun
kalau diteliti lebih lanjut, kebanyakan peribahasa Sunda ternyata mengandung nilai-nilai
yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, pendapat yang pernah dikemukakan

oleh almarhum H. Endang Saifudin Anshari, MA bahwa Islam teh Sunda, Sunda teh Islam
tidaklah bertentangan dengan hasil pengamatan terhadap peribahasa Sunda.
Dalam kesimpulannya Rosidi setuju dengan pendapat Endang Saefudin Anshary bahwa
sesungguhnya antara Islam dengan Sunda tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan yang hidup
di tengah masyaraqkat Sunda adalah kebudayaan yang telah mendapat sentuhan Islam
sangat kuat hingga ajaran-ajaran Islam, sekalipun tidak harus dieksplisitkan ayat dan
hadisnya, telah membentuk pandangan hidup masyarakat Sunda. Tentu saja Sunda yang
dimaksud adalah kebudayaan Sunda kontemporer yang telah mengalami Islamisasi amat
intensif.
Sebagai contoh, ada peribahasa dalam bahasa Sunda mun teu ngarah moal ngarih, mun
teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek (kalau tidak berusaha takkan
mungkin mengangi nasi, kalau tidak menggunakan akal tak nanti menanak nasi, kalau tidak
bekerja tidak akan mungkin bisa makan). Perihabasa ini mencerminkan bagaimana orang
Sunda mengajarkan bahwa hidup harus dihadapi dengan usaha dan ikhtiar, tidak boleh
berpangku tangan. Sekalipun kata-kata yang digunakan tidak menggunakan istilah Islam,
namun pepatah ini amat sesuai dengan ajaran Islam yang memerintahkan untuk berusaha
dan berikhtiar.
Akan tetapi, dalam kenyataan keseharian kehidupan masyarakat Sunda, ada saja adat yang
kelihatannya tidak mencerminkan perilaku yang dipengaruhi Islam. Bisa jadi adat tersebut
maih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran pra-Islam. Hal demikian adalah wajar mengingat proses
Islamisasi adalah proses menjadi yang mungkin saja di satu tempat sudah berubah
sementara di tempat lain belum. Karya H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat Sunda.
Dalam buku ini, Mustapa yang tokoh intelektual Muslim Sunda abad ke-19, memberikan
penjelasan mengenai berbagai adat kebiasaan yang dikerjakan masyarakat Sunda mulai
adat saat melahirkan, mengkhitan, menikahkan, menanam, kematian, dan sebagainya.
Dalam penjelasannya Mustapa menunjukkan apa pengaruh dan falsafah yang ada di balik
kebiasaan itu. Ada adat yang memang berkenaan dengan kepercayaan pra-Islam, ada pula
yang sudah menunjukkan pengaruh ajaran Islam. Sebagai seorang intelektual Muslim,
Mustapa secara proporsional menempatkan adat kebiasaanurang Sunda yang dituliskan
dalam kerangka pandangan hidupnya sebagai Muslim. Dari sisi sumber intelektual,
sebetulnya karya Mustapa ini juga sudah menunjukkan secara tidak langsung bahwa tokohtokoh intelektual Sunda seperti dirinya pada abad ke-19 sudah memiliki pengaruh yang kuat
dari Islam. Ini berarti bahwa Islam sudah menjadi salah satu referensi inetelektual yang
penting sehingga adat kebiasaan yang berlaku pun ditimbang dalam kerangka Islam.
Mengenai persoalan ada sebagian masyarakat yang lebih memegang adat daripada
pengajaran baru, di dalam falsafah masyarakat Sunda sendiri sudah disadari sejak awal. Ini

tercermin dari peribahasa kuat adat batan warah (lebih kuat adat daripada pengajaran). Ini
menunjukkan bahwa adat bukanlah harga mati. Bisa jadi, dengan datangnya pengajaran
baru adat akan berubah. Namun seringkali orang yang sudah telanjur memagang adat tidak
dapat dengan mudah meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya hanya karena ada pengajaran
baru.
KESIMPULAN
Memahami Islamisasi di Tatar Sunda hanya melalui pendekatan sejarah yang konvensional
segera dihadapkan pada kesulitan mendapatkan data mengenai detail Islamisasi. Data-data
historis hanya menyebutkan beberapa tokoh dengan kiprah mereka yang terbatas.
Bagaimana tokoh-tokoh tersebut melakukan Islamisasi sulit dilacak. Hanya angka-angka
tahun umum yang didapat yang menunjukkan kapan Islamisasi secara intensif di Tatar
Sunda berlangsung, yaitu sekitar abad ke-15 dan ke-16 sejak masa Sunan gunung Djati. Itu
pun tidak lengkap.
Melalui penggalian data-data baru secara terus menerus masih terbuka kesempatan untuk
semakin memperjelas proses Islamisasi Tatar Sunda secara historis.
Walaupun tidak jelas secara historis, kenyataan bahwa ke-Islam-an dan ke-Sunda-an hampir
tidak dapat dipisahkan menunjukkan bahwa telah terjadi proses Islamisasi yang sangat
intensif di wilayah Jawa bagian barat ini.
Mitos-mitos menunjukkan bahwa mentalitas masyarakat Sunda memang sudah sangat siap
menerima Islam hingga Islam mudah disebarkan di wilayah ini dan berakar sangat dalam
dalam kebudayaan masyarakat. Falsafah yang tercermin dalam berbagai pepatah dan
peribahasa urang Sunda menunjukkan betapa dalam pengaruh Islam bagi kehidupan
mereka.
Penerimaan yang baik terhadap Islam inilah yang menyebabkan Islam dengan mudah
tersebar ke seluruh pelosok Tatar Sunda. Hampir tidak ada wilayah yang tidak tersentuh
Islamisasi. Bahkan ke pedalaman Banten pun yang sukunya Baduy Dalam mengaku
beragama Sunda Wiwitan sebetulnya Islam sudah sampai dan diterima di sana. Hanya
saja, Islam yang sampai ke Baduy baru ajaran dasarnya saja, yaitu syahadatain. Hal ini
dapat dilihat dari praktik ajaran Sunda Wiwitan yang mereka anut. Mereka
mengucapkan syahadatain yang sangat khas Islam. Mereka pun mengakui bahwa
sebetulnya mereka sudah menerima Islam, tetapi hanya kabagean Sahadatna
wungkul, hanya mendapatkan sahadatnya saja, sedangkan ketentuan lain seperti shalat,
puasa, dan sebagainya tidak mereka ketahui. Ini menandakan sudah ada usaha
menyebarkan Islam ke kawasan Baduy, hanya saja prosesnya terhenti entah karena alasan
apa. Sangat mungkin, faktor geografis yang tidak mudah dijangkau membuat proses
Islamisasi di wilayah ini tidak berlanjut.

Saat ini masih ada budaya membaca wawacan yang tersisa seperti
tradisi Beluk dan Sawer dalam upacara pernikahan. Saat ini, kedua tradisi itu bukan lagi
merupakan praktik budaya yang berpengaruh bagi urang Sunda modern. Akan tetapi, masih
tersisanya tradisi melagukan wawacan menandakan bahwa di masa lalu praktik budaya
semacam itu cukup penting sebagai media menyampaikan ajaran-ajaran tertentu, salah
satunya ajaran Islam. Kreativitas mengemas pesan-pesan dakwah melalui media budaya
yang hidup pada zamannya inilah yang diduga menjadi salah satu yang menyebabkan Islam
mudah diterima di kalangan masyarakat Sunda. Sekali lagi, ini perlu pengkajian lebih
lanjut. Wallhu alam bi al-Shawwb.*
Ketua Umum PP Pemuda Persis; Doktor Sejarah FIB UI. Artikel diambil dari Jurnal
Islamiah 2012, berjudul asli Islamisasi Tatar Sunda: Perpektif Sejarah dan Kebudayaan

Anda mungkin juga menyukai