Anda di halaman 1dari 9

Pengertian Kampung Keling

Pendahuluan

Kampung Keling sebagai kampung orang India sejak masa perkebunan


Deli menjadi satu salah satu kampung kota di Medan dengan kharakter
kuat yang mewakili komunitas Hindhu India. Saat ini, Kampung Keling
masih menyisakan artefak-artefak yang ada sejak penguasaan
perkebunan Deli oleh Belanda, antara lain pola ruang, bangunan rumah
tinggal dan tempat ibadah. Satu hal lagi yang saat ini masih tersisa,
yaitu budaya masyarakat keling yang dibawa dari India. Kampung Keling
saat ini dalam skala urban sebagai satu komunitas yang mampu
menghadirkan “collective memory” bagi masyarakat lokal maupun
masyarakat luar Medan dan harus tetap dilestarikan tanpa
menghilangkan identitas-identitas yang telah melekat pada komunitas
tersebut, sehingga mampu berintegrasi dengan kemajuan kota yang ada.

Fenomena kampung Keling

Lukman (1970; 1996), menuliskan pada tahun 1863 Said Abdullah


Bilsagih (Arab Surabaya) mengajak pedagang Belanda di Jawa (J
Hienhuys, Van Der Falk dan Elliot) untuk menanam tembakau di Tanah
Deli. Hasil tembakaunya yang bagus, sehingga secara berturut-turut di
buka perkebunan Martubung, kebun Sunggal (1869), Sungai Beras dan
Kelumpang (1875) dan dipakai kuli perkebunan orang Cina dari Penang,
Tiongkok (Swatow) dan Singapura dan orang Tamil (Keling) didatangkan
dari Penang dan dari Jawa (Bagelen) pada tahun 1880 seiring dengan
ketatnya pengiriman kuli saat itu. Kuli-kuli tersebut pada saat baru
datang membuka lahan sebagai kampung mereka secara berkelompok
sesuai dengan asalnya di Labuhan Deli.
Seiring dengan perkembangan perkebunan menurut Lukman, (1996)
Nienuys mendirikan kantor pusat perkebunan Deli Maatschappij di
Kampung Medan dengan salah satu alasan karena letaknya di tengah-
tengah pusat perkebunan. Pusat perkebunan yang baru dibangun
membuat orang-orang yang ada di Labuhan baik dari orang perkebunan
maupun kulinya berdatangan ke Kampung Medan dan Kesawan yang saat
ini menjadi pusat kota Medan dan membuat kampung-kampung baru yang
letaknya di dekat perkebunan, termasuk dalam hal ini masyarakat dari
komunitas Keling yang dikenal sebagai kampung Keling. Kata Keling
sendiri pada awalnya berasal dari kata “Klings” yang merupakan sebutan
bagi orang India yang datang di Indonesia oleh orang Belanda.

Penggunaan ruang sebelum masuk pendatang

Awalnya Kampung Keling merupakan lahan liar yang tidak dihuni. Seiring
dengan perkembangan perkebunan Deli, di Medan berturut-turut dibuka
beberapa daerah perkebunan baru dan dengan sendirinya muncul
perkampungan di sekitar perkebunan tersebut. Kampung Keling lebih
berkembang setelah Belanda merasa puas akan pekerjaan para kuli dari
Keling (Tamil-India) dengan dibangunnya Kuil Shri Maryaman sebagai
tempat beribadah umat Hindhu. Ini merupakan kuil pertama yang ada di
Medan. Selain itu ruang-ruang di kampung Keling tercipta karena hadiah
dari Belanda kepada kuli yang menikah dengan diberinya sebidang tanah
dan dijadikannya tempat tinggal. Hadiah sebidang tanah diberikan
Belanda di sekitar kuil dan pada akhirnya daerah disekitar kuil menjadi
kampung orang-orang Keling yang sekarang dikenal dengan kampung
Keling.

Penggunaan ruang setelah masuk pendatang

Usai penjajahan Jepang, sebagian orang Keling kembali ke daerah


asalnya dan menjual tanah mereka ke orang Keling dan juga ke orang-
orang pribumi. Namun, di satu sisi, masih banyak orang-orang Keling
yang tidak meninggalkan kampung dengan alasan perdagangan yang telah
maju atau juga karena ikatan perkawinan. Dengan adanya penjualan
tanah ke pihak luar orang Keling terjadinya pembauran di kampung
keling yang akhirnya tidak sepenuhnya orang-orang keling yang
mendiami kampung tersebut walaupun ini prosentasenya sangat sedikit.
Kampung Keling sampai saat ini masih eksist, terletak di Jalan Zainul
Arifin dan Jalan Hindhu (Jalan Teuku Umar) yang merupakan kawasan
pusat kota Kesawan dan mempunyai akses langsung kurang lebih 1 km
dari pusat kota Kesawan. Sungai Babura (anak dari Sungai Deli) sebagai
batas kampung Keling dengan kampung yang lain dan Kampung Keling
sendiri masuk dalam Kelurahan Madras Hulu. Di daerah Kampung Keling
terdapat jembatan Tjong Yong Hian yang menghubungkan Calcuta
Straat (kini Zainul Arifin) dan Coen Straat (kini Jalan Gajah Mada)
dibangun tahun 1917 yang menurut berbagai sumber merupakan bentuk
perhatian Tjong A Fie (orang Cina) terhadap kebutuhan sarana
prasarana di kota Medan. Jembatan ini dilengkapi dengan prasasti yang
ditulis dalam tiga bahasa, yaitu Arab, Belanda dan Cina dengan
panjangnya 50 meter, lebar 10 meter.
Di kawasan Kampung Keling terdapat Kuil Sri Mariamman (Sri
Mariamman Temple) yang menurut Sandhu&Mani (1993), dibangun tahun
1884 merupakan tempat bersembayang orang Keling terbesar di Medan
yang pada umumnya beragama Hindhu dan sampai saat ini sering
melakukan ritual-ritualnya dan perayaaan. Terletak di simpang tiga
Jalan Zainul Arifin dan Jalan Hindhu dikelilingi oleh tembok tinggi
dengan di depan atau sebagai pintu utama terdapat gopuram kecil.
Gopuram dalam Sandhu&Mani (1993), didefinisikan sebagai piramida
tersusun yang dilengkapi dengan ukir-ukirannya yang memang menjadi
satu ciri Kuil Hindhu Tamil (Keling). Bagian belakang kuil terdapat
Sekolah Dharma Putra I yang baru tahun 1976 menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar yang sebelumnya bahasa Tamil.
Seperti halnya orang Cina, orang Keling mempunyai keunggulan dalam
berdagang yang dipusatkan di Jalan Zainul Arifin dengan dagangan yang
berbeda dengan orang Cina dan pribumi. Kawasan dagang Kampung Keling
selain terletak di Jalan Zainul Arifin juga terletak di Jalan Muara
Takus yang melayani masyarakat kampung dan pada hari-hari tertentu
pada saat orang Keling dari luar Medan datang mereka menggunakan
bahasa Tamil. Usaha pertama yang muncul adalah menjual barang
kebutuhan sembayang umat Hindu. Mereka mendapatkannya dari
Malaysia, Singapura dan India. Setelah berkembang kawasan
perdaganganpun menjual berbagai hasil perkebunan dan tekstil yang
dipesan dari India langsung. Seiring dengan perkembangan kota dan
juga jiwa berdagang orang Keling, bangunan-bangunan yang terletak di
ruas jalan digunakan sebagai rumah toko (ruko) sementara untuk rumah-
rumah yang terletak di gang-gang kecil tetap mempertahankan
fungsinya sebagai tempat tinggal.
Salah satu yang menjadi ciri rumah di Kampung Keling dengan adanya
semacam ornamen simbol Hindhu-India (pigura) dengan ukuran kurang
lebih dua puluh sampai tiga puluh sentimeter yang terletak di pintu
masuk utama rumah dan selalu menghadap ke Timur. Terdapat bangunan
kecil mirip dengan kuil-kuil kecil, yaitu gapuram yang diletakkan di
dinding depan rumah. Selain itu sebagai pelengkap rumah orang Keling di
kusen pintu dipasang daun mangga plastik yang dulunya sebenarnya daun
yang dipakai adalah daun mangga dan diganti setiap hari Jum’at. Elemen-
elemen yang ada di rumah orang Keling berfungsi untuk mengusir roh
jahat.
Untuk sembayang di dalam rumah dilengkapi pigura-pigura dan tempat
kecil untuk meletakkan sesuatu yang disembah. Terkecuali
untuk masyarakat India Tamil Islam sudah tidak meletakkan elemen-
elemen di atas dan sebagai gantinya dengan menunjukkan identitas yaitu
di depan pintu digantung tulisan Allah dan Muhammad dengan tulisan
Arab.

Sosial budaya masyarakat kampung Keling

Masyarakat yang ada di Kampung Keling saat ini sudah mendapat


pengaruh dari luar khususnya dalam hal ini adalah kehidupan mereka
sehari-hari. Akan tetapi, masyarakat kampung Keling tidak sedikit telah
mempengaruhi sosial budaya dalam kehiduapan sehari-hari masyarakat
pribumi dan pendatang. Ini bisa dilihat antara lain:

1. tepung tawar; pada mulanya orang india tamil mengenal acara


tepung tawar ini sejak lama, dan digunakan tidak hanya untuk
upacara perkawinan tetapi untuk melakukan ritual sembahyang.
Tepung tawar ini dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat dan
untuk menolak bala. Acara tepung tawar ini lalu merebak dan
menjadi tradisi orang pribumi juga dikarenakan kemungkinan
besar adanya percampuran perkawinan antara orang pribumi
dengan orang India, sehingga untuk masyarakat pribumi sendiri
acara tepung tawar ini hanya merupakan habit/kebiasaan belaka
yang dilakukan pada setiap acara perkawinan atau naik haji.

2. Banyak anak banyak rejeki; ungkapan ini sebenarnya sudah lama


dipakai masyarakat india tamil. Ungkapan tersebut ada pada tahun
1800-an pada waktu orang india masih menjadi buruh perkebunan
yang bekerja pada pihak Belanda, maka setiap keluarga India yang
melahirkan anak, akan diberi hadiah oleh Belanda berupa
penambahan 10 kg beras setiap bulannya untuk satu anak yang
lahir di setiap keluarga dan pemberian tunjangan hidup yang layak
agar para anak india tersebut sehat, sehingga pada waktu sudah
besar dapat dijadikan buruh lagi oleh Belanda. Oleh karena itu,
ungkapan ‘Banyak anak banyak rezeki’ sangat cocok pada waktu itu
untuk masyarakat india, sehingga sampai sekarang ungkapan
tersebut masih digunakan oleh pribumi dan cina.

3. Pakaian; dari segi pakaian ini mungkin banyak terdapat


pencampuran antara budaya pribumi dengan india, dan orang india
dengan pakaian khasnya, yaitu kain sari banyak juga di gunakan
oleh orang pribumi sebagai bahan untuk menjahit pakaian, begitu
juga dengan orang tamil sendiri, pakaian juga merupakan campuran
kebudayaan yang sangat lekat diantara masyarakat pribumi dan
India tamil.

4. Rumah; di zaman dulu, rumah orang india mempunyai ciri khas


tersendiri mengenai rumah, dengan adanya kuil kecil untuk
sembahyang dan halaman yang lebar. Dengan perubahan zaman dan
makin sempit serta mahalnya lahan, maka konsep rumah yang
mempunyai halaman luas tidak dapat digunakan lagi di tengah kota
kecuali mereka yang mempunyai tanah yang cukup untuk membuat
halaman yang lebar. Orang India tamil sekarang ini banyak
terpengaruh oleh rumah toko dikarenakan mempunyai dwi fungsi
selain untuk berdagang juga digunakan sebagai tempat tinggal,
sehingga dapat memanfaatkan ruang yang ada.

5. Makanan; orang india tamil banyak mempengaruhi masyarakat


pribumi pada makanan. Hali ini dapat dilihat dari beberapa
makanan khas India yang di gunakan juga oleh pribumi. Salah satu
contoh, makanan khas India adalah kari, roti cane, martabak serta
kue-kue.
Perilaku; pada zaman dulu orang tamil tidak boleh bercampur
antara pria dan wanita dalam keadaan apapun kecuali suami istri.
Sekarang untuk acara yang biasa sudah diperbolehkan untuk
bertemu dengan lawan jenis. Kecuali pada acara-acara perkawinan
dan kebudayaan yang masih sampai sekarang masih terdapatnya
pemisahan tempat duduk antara pria dan wanita.

6. Pemberian nama; zaman dulu orang india tamil memberi nama pada
setiap anak mereka dengan nama-nama dewa. Hal ini dilakukan
untuk menolong orang tuanya jikalau orang tuanya mau meninggal,
maka ia dengan mudah dapat mengingat nama-nama dewa dengan
hanya memanggil nama anak mereka. Tetapi sekarang pemberian
nama tersebut sudah jarang digunakan.

Di kawasan kampung keling saat ini terjadi pembauran dan terdapat


tiga golongan besar penduduk, yaitu pribumi, tionghoa dan india (tamil).
Namun, tidak terjadi kesenjangan sosial diantara ketiga kelompok
masyarakat tersebut, dan juga tidak ada pengelompokan-pengelompokan
yang menjadi pemisah diantaranya. Seluruh masyarakat berbaur dan
berkomunikasi membentuk komunitas. Agama yang berbeda juga tidak
menjadi penghalang bagi masyarakat. Masing-masing dari mereka sangat
menghormati kebebasan beragama.
Bagi masyarakat india tamil yang tinggal di lingkungan ini, walaupun telah
berbaur dengan masyarakat pribumi dan Tionghoa, mereka tetap
mempertahankan identitas dan eksistensi dari mereka. Hal ini terlihat
jelas apabila kita masuk dan berjalan ke lingkungan in, maka kita akan
mendengar musik-musik berbahasa india, sehingga nuansa India di
daerah ini lumayan kental. Terlebih lagi apabila terdapat acara-acara
besar, maka masyarakat india tamil ini akan mengadakannya secara
besar-besaran.
Bagi mereka yang beragama hindu, setiap Jum’at sore mereka akan
berkumpul di Kuil Shri Maryaman untuk melakukan sembahyang
bersama. Kuil ini merupakan salah satu wadah bagi masyarakat tamil
untuk saling berinteraksi dan berkumpul dengan sesama mereka yang
tidak bermukim di daerah lingkungan kampung Keling.
Kesimpulan
Kampung Keling saat ini mulai tergeser dengan kehidupan kota Medan
yang menuju Kota Metropolitan. Kehadiran masyarakat India di
Indonesia umumnya dan kota Medan pada khususnya memiliki arti dan
nilai tersendiri. Kekayaan budaya yang mereka miliki secara tidak
langsung sudah memperkaya khasanah budaya Indonesia melalui proses
pembauran. Budaya yang berkembang saat ini dipengaruhi oleh latar
belakang asal komunitas yaitu India tamil yang sampai saat ini masih
tetap dipergunakan walaupun sudah mengalami akulturasi.
Dari pembauran ini terjadi percampuran budaya dan perilaku yang saling
mempengaruhi satu sama lain. Namun pembauran ini tidak berarti
mereka yang sudah turun temurun tinggal dan menetap di Medan
menghilangkan dan tidak mempertahankan adat istiadat dan
budanyanya.
Kampung Keling sebagai kampung kota telah berperan dalam
manghadirkan budaya India dengan tatanan kampung yang seperti
layaknya kampung kota yang padat namun masih memberikan nilai
histories latar belakang kampung yaitu dengan penggunaan symbol-
simbol India tamil yang dipasang di depan rumah, juga penghargaan
terhadap kuil yang kemudian direplika dengan adanya kuil-kuil kecil di
tiap rumah dan tempat sembayang di dalam rumah. Penataan symbol
yang mempunyai keteraturan merupakan salah satu warisan dalam
penataan ruang dalam rumah.
Kampung Keling sebagai kampung kota tetap mampu menghadirkan
kenangan masa lalu bagi masyarakat yang bisa dijadikan aset dalam
pengembangan kawasan.
1) KAMPUNG KELING sebagai wisata budaya dan kuliner Medan

Dari namanya saja kita bisa menebak bahwa kampung keling merupakan
permukiman yang penduduknya mayoritas adalah orang keling atau
keturunan india. Kampung keling yang berada diKota Medan masih kental
sekali dengan nuansa kehidupan orang-orang keturunan india yang
beragama hindu. Keberadaan beberapa Kuil tempat persembahyangan
mereka adalah salah satu yang mendukung keberadaan mereka. Aroma,
tempat tinggal, dan keseharian mereka kerap menjadikan suatu
tontonan budaya yang unik, sehingga daerah ini memiliki ciri khas
tersendiri.

Keramaian di daerah ini tergolong cukup ramai dan padat karena


banyak terdapat pusat-pusat perbelanjaan yang menawarkan aneka
produk. Tailor, Toko Roti, Souvenir shop, sampai mall terbesar di medan
(SUN PLAZA MEDAN) menghiasi daerah ini. Pada malam tahun baru
misalnya, masyarakat membludak membanjiri daerah sekitar Jl. Zainul
Arifin Kampung Keling untuk menyaksikan pesta kembang api. Sepanjang
jalan ini memang dikenal banyak kembang api disuguhkan dengan aneka
macam warna.

Kebudayaan yang amat unik serta aneka kuliner yang khas menjadikan
kawasan ini sangat digemari orang. Selain memiliki nilai historis yang
banyak dikenal orang, tempat ini bisa dijadikan sebagai tempat jalan-
jalan sambil menikmati kuliner disekitarnya. Memang belum terencana
dan terkonsep dengan baik, namun kita harus tetap memperhatikan
potensi yang sebenarnya bisa digali dan dimanfaatkan.
TUGAS IPS

KAMPUNG KELING

FATIMAH BINTI MAIMUN

NAMA : NIKEN KUSUMAWARDANI

KELAS : VII G

Anda mungkin juga menyukai