Anda di halaman 1dari 13

5.

2 Kampung Kota di Segitiga Pandama Kota Semarang


Kawasan Segitiga Pandama meliputi Jalan Pandanaran, Jalan Pemuda, dan Jalan Gajahmada.
Segitiga Pandama sebagai salah satu kawasan pusat pertumbuhan Kota Semarang dimana kawasan
ini diarahkan sebagai pusat bisnis Kota Semarang sejak tahun 2000-an.

Gambar 5.1 Peta Kampung Kota Segitiga Pandama Semarang


Sumber: analisis kelompok, 2019

Sebagaimana diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun
2000-2010 dan 2011-2031, bahwa kawasan BWK I termasuk didalamnya kawasan Segitiga
Pandama diarahkan sebagai kawasan perdagangan jasa, campuran dan permukiman. Adapun
kampung-kampung yang ada di Segitiga Pandama antara lain adalah Kampung Prembaen,
Kampung Petempen, Kampung Baterman, Kampung Sekayu, Kampung Bedgan, Kampung
Pekunden, Kampung Batan, Kampung Kembangpaes, Kampung Kelengan. Berikut merupakan
penjelasan terkait kampung-kampung yang ada di Segitiga Pandama.
a. Kampung Prembaen
Kampung Prembaen merupakan salah satu kampung yang bersejarah di Kota
Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Kampung Prembaen memiliki luas wilayah sebesar 3,21
ha dan terletak di Kelurahan Kembangsari, Kecamatan Semarang Tengah. Kampung
Prembaen merupakan kawasan permukiman padat yang penggunaan lahannya terdiri dari
hunian, dan perdagangan jasa. Hunian di kawasan Kampung Prembaen merupakan hunian
padat yang terletak di sekitar Kali Semarang dan di kawasan kota yang strategis sehingga
sangat banyak kios perdagangan maupun jasa di sepanjang jalan kolektor.

Gambar 5.2 Kampung Prembaen


Sumber: analisis kelompok, 2019

Kampung Prembaen terletak di Jalan Inspeksi yang menghubungkan antara Jalan


Thamrin dan Jalan Gajahmada. Nama Prembaen berasal dari nama sebuah pasar
peninggalan jaman Belanda yang terletak pada lokasi kampung tersebut. Kawasan tersebut
dilalui oleh kali kecil dan yang penggunaan lahannya sebagai tempat tinggal padat
penduduk dan perdagangan jasa seperti adanya toko-toko kecil. Pasar di Kampung
Prembaen menjadi aktivitas utama kampung tersebut pada pagi hingga siang hari. Pasar
Prembaen tersebut akan dibersihkan pada sore hari hingga malam sehingga jalanan pasar
berubah menjadi kampung pada umumnya.

Gambar 5.3 Kali Prembaen


Sumber: Academia.edu

Rumah warga di sekitar kali salah satunya Kampung Prembaen ini berbatasan
langsung dengan jalan, sehingga terlalu berhimpitan dengan kali. Pada tahun 1980
diadakan proyek pelebaran jalan selebar 7,9 meter dan ditinggikan. Lalu rumah-rumah
yang berada pada bantaran kali dan berhimpitan dilakukan normalisasi atau digusur
kemudian dipindahkan ke Karangroto sebagai ganti rugi. Pemberian nama Jalan Inpeksi
diberikan oleh Pemerintah Kotamadya pada saat dilakukan normalisasi kali Semarang dan
termasuk dalam Kelurahan Kembang Sari, yang dulu merupakan Kelurahan Kembang
Paes. Perpindahan kelurahan merupakan dampak dari pelebaran kali, lalu ukuran wilayah
yang kurang luas untuk menjadi kelurahan sehingga Kembangpaes dihilangkan dan
digabung dengan Kelurahan Kembang Sari. Namun saat ini Pemerintah Kota Semarang
kurang memperhatikan pengelolaan sungai sehingga hingga saat ini warga Prembaen sudah
tidak menggunakan kali sebagai tempat aktivitas seperti zaman dahulu.
Saat ini, terdapat berbagai macam arsitektur bangunan di Kampung Prembaen yaitu
adanya bangunan dengan arsitektur modern dan tradisional jawa. Namun sebagian besar
bangunan rumah sudah banyak yang memiliki arsitektur bangunan modern.

b. Kampung Petempen
Kampung Petempen merupakan salah satu kampung yang ada di dalam Segitiga
Pandama. Kampung petempen berada di dekat jalan Gajahmada. Kampung Petempen yang
awalnya hanya merupakan kawasan bernilai rendah yaitu sebagai hunian masyarakat
miskin perkotaan berubah menjadi kawasan dengan nilai ekonomi tinggi. Hal ini
diakibatkan oleh pembangunan kawasan perdagangan dan jasa. Kampung Petempen terjadi
okupasi lahan dari apartemen yang cukup besar, dimana dahulu kawasan tersebut
merupakan kawasan dengan banyak permukiman hunian namun sekarang menjadi
kawasan apartemen dan Setos.

Gambar 5.4 Kampung Petempen saat ini


Sumber: Rizal 2016
Dalam dokumen Rencana Tata Ruang Kota Semarang No. 14 tahun 2011,
Kampung Petempen tidak termasuk dalam kawasan cagar budaya yang ditetapkan sebagai
kampung kota yang dipertahankan, meskipun begitu keputusan tetap bertahan yang
dilakukan oleh masyarakat Petempen akan memunculkan temuan beberapa alasan dan
adaptasi yang dilakukan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Kondisi warga Petempen
yang guyub dan tentram kini mulai terkikis, seiring dengan semakin banyaknya warga
yang menjual rumahnya dan memilih tinggal di tempat lain, Kampung Petempen kini
pun sepi, tak seperti dulu yang penuh dengan berbagai aktivitas warga di dalamnya,
hanya terlihat beberapa warga yang mencoba bertahan hidup dengan membuka bengkel,
warung makan dan sebagainya.

c. Kampung Baterman
Kampung Baterman merupakan kampung yang ada di Kelurahan Kembangsari. Semarang
Tengah. Kampung Baterman, dahulu daerah milik tuan Batermann. Pada Kampung
Baterman terdapat Rumah Abraham Fletterman atau yang lebih dikenal sebagai Rumah
Baterman merupakan sebuah rumah milik Arsitek Belanda Abraham Fletterman yang
berlokasi di pertigaan Jl. Veteran dan Jl. Kyai Saleh. Rumah ini dibangun sekitar tahun
1890-an. Rumah ini dihibahkan pada tahun 2013 dan telah direnovasi oleh Yayasan Mardi
Waluyo.

Gambar 5.5 Bangunan Belanda Baterman


Sumber: socialborr.com
d. Kampung Sekayu
Kampung Sekayu merupakan salah satu kampung asli kota Semarang yang masih
eksis hingga saat ini, walaupun ada beberapa blok yang telah hilang karena adanya
bangunan tinggi di sekitarnya. Saat ini, Kampung Sekayu berada di tempat yang tingkat
perkembangan kawasannya cukup tinggi, dimana lokasi kampung ini terletak persis di
sebelah Mall Paragon. Dahulu mall paragon merupakan Gedung entertaimen yang bernama
sostemharmoni. Gedung ini terdapat kafe, tempat dansa dan lainnya. Di tahun 1990 gedung
ini berubah menjadi Gedung rakyat Indonesia Semarang yang menjadi saksi kejayaan
wayang orang.
Kampung sekayu merupakan kampung tertua di Semarang yang berada di sekitar
jalan besar Jl. Pemuda. Sekayu merupakan kampung yang luas, dengan jalan beraspal yang
didalamnya menghubungkan daerah Kepatihan, Temanggungan, Kramatjati, dan Masjid.
Penduduk di Kampung Sekayu beraneka ragam, dari segala golongan social. Sejarah
Kampung Sekayu berawal dari keinginan Sunan Kalijaga menampung kayu-kayu jati
untuk pembangunan Masjid Demak. Bahkan di kampung Sekayu juga masih banyak
ditemukan rumah-rumah dengan dinding dari kayu, berbentuk atap limasan.

Gambar 5.6 Masjid Sekayu


Sumber: google.com
Masjid Sekayu ini dibangun dalam rangkaian proses pembangunan Masjid Agung
Demak. Tempat ibadah ini dibangun oleh seorang ulama asal Cirebon, Kyai Kamal, yang
merupakan tokoh agama kepercayaan Sunan Gunung Jati. Bahan baku pembangunan
masjid Demak yakni kayu, disuplai oleh Kiai Kamal asal Cirebon. Setelah datang di
Semarang, dia lalu mendatangkan kayu-kayu jati unggulan (jati wungu) dari daerah
Surakarta, Wonogiri, dan Ungaran melalui perjalanan darat ke Sekayu (dulu disebut
Pekayu). Dari Sekayu, kayu-kayu tersebut kemudian dikirim ke Demak melalui Kali
Semarang. Kala itu di dekat masjid ini masih mengalir Kali Semarang. Seiring dengan
perkembangan waktu, kampung penampungan kayu itu akhirnya berubah menjadi sebuah
daerah yang kemudian diberi nama Sekayu. Sekayu sendiri merupakan kepanjangan dari
sentra atau pusat kayu.
Saat ini bangunan masjid banyak mengalami perubahan karena renovasi. Namun
beberapa masih di pertahankan seperti 4 pilar di tengah masjid dan menara yang berada di
luar. Bangunan seperti tembok, atap genteng, bangunan tambahan di bagian depan dan
bangunan lainnya merupakan hasil renovasi pada tahun 1955. Padahal bentuk asli dinding
masjid terbuat dari gebyok kayu, atap dari semacam rumbia, bagian depan masjid berupa
kolah (bak besar) untuk wudu. Sekarang dinding luar yang membatasi masjid telah diganti
dengan dinding bata yang sudah disemen halus dengan struktur beton bertulang. Lantai
bangunan pun diangkat, sedangkan pintu masuk ke masjid menjadi bertrap. Masjid Sekayu
ini sekilas mirip Masjid Demak dengan empat soko tatal dan bentuk atap tumpang tiga,
juga mengunakan akulturasi arsitektur dari Hindu-Islam. Masjid ini sedikit besar dari
Masjid Menara Layur namun jauh lebih kecil dari Masjid Agung Kauman.
Gambar 5.7 Rumah tradisional Kampung Sekayu
Sumber: dokumentasi pribadi, 2019

Di Kampung Sekayu terdapat rumah kuno bernuansa Jawa. Beberapa bangunan


perumahan masih berbahan kayu dengan bentuk ventilasi bangunan yang khas berupa
bentuk panah yang menandakan diri kita (manusia) yang sedang memegang tombak,
sedangkan lingkaran berupa bumi. Bentuk ventilasi ini memiliki arti pertahanan diri.

e. Kampung Bedagan
Bedagan merupakan sebuah kampung kecil di tengah Kota Semarang. Konon
namanya berasal dari kata bebedag, dalam bahasa Jawa artinya berburu. Dulu saat ada
orang meninggal, maka ada seorang petugas yang berkeliling kampung mengumumkan
berita duka dengan cara meniup semacam terompet ukuran kecil. Ada juga tradisi
menyediakan air minum atau air untuk cuci muka. Meski tak semua rumah, tapi ada banyak
rumah yang menaruh kendi berisi air di depan rumah dan boleh digunakan oleh siapa pun,
terutama oleh orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Rumah-rumah berarsitektur
khas tempo dulu jumlahnya sekarang bisa dihitung dengan jari. Di jalur utama keluar dari
Kampung Bedagan adalah Jalan Pemuda. Jalan Pemuda adalah salah satu jalan penting di
Semarang. Jalan ini termasuk dalam Jalan Raya Pos (de Grote Postweg) yang dibangun
oleh Gubernur Jenderal Deandels tahun 1808.
f. Kampung Gandekan, Kelurahan Jagalan
Menurut Suliyanti (dalam Saraswati.,at all, 2015), nama Kampung Gandekan
berasal dari kata “gandek” yaitu perajin emas, dimna dahulu sebagian besar masyarakat
bekerja sebagai perajin emas. Karena kampung ini memiliki luas wilayah yang kecil
sehingga kampung ini bergabung menjadi Kelurahan Jagalan yang terdiri dari Kampung
Gandekan, Kampung Kulitan, Kampung Kentangan dan Kampung Gareman. Berdasarkan
sumber lainnya, Kampung Gandekan berasal dari kata Gandek atau utusan raja, dimana
bermula dari rumah seorang Pangeran Surakarta yang menjadi tempat persinggahan bagi
para gandek jika sedang bertugas di Semarang (Hendro, 2016). Dikutip dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Raisya Nursyahbani dan Bitta Pigawati (2015) menyatakan bahwa:
“Kawasan Kampung Gandekan adalah salah satu Kampung Kota tua di Kota Semarang
yang keberadaannya terkait erat dengan sejarah keluarga Tasripin, sebagai saudagar.
Tasripin dulu dikenal sebagai seorang pribumi kaya raya yang memiliki banyak usaha
seperti usaha kapuk, real estate juga kopra. Keberadaan Kampung Gandekan sebagai salah
satu Kampung Kota tua diketahui dari beberapa bangunan tua yang masih terjaga
keasliannya hingga saat ini, diantaranya berupa mushola serta rumah tinggal dengan ciri
fisik arsitektur bangunan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh akulturasi budaya islam.
Seiring perjalannya waktu, karakteristik penduduk yang ada di kampung Gandekan mulai
beragam.”

g. Kampung Pekunden
Terdapat kompleks rumah susun yang merupakan rumah susun pertama di Kota
Semarang, yang di bangunan sekitar tahun 1980an. Bangunan rumah susun yang ada di
Kampung Pengkunden terdiri dari 4 lantai, dimana lantai 1 digunakan untuk kegiatan
perdagangan (pasar) dan tempat parkir umum. Sedangkat lantai 2 hingga lantai 4
digunakan sebagai ruang hunian masyarakat. Selain terdapat rumah susun tertua, terdapat
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Taman Pekunden yang dibangun sejak tahun 1953 dan
masih dapat difungsikan hingga saat ini.
Gambar 5.8 Pasaran di Rumah Susun Pekunden Pada Tahun 1990
Sumber : perencanaankota.blogspot.com

h. Kampung Batan
Kawasan Kampung Batan merupakan kawasan yang cukup strategis, dikarenakan
Kampung Batan diapit oleh 2 kali yaitu kali semarag dan kali . Kondisi ini menjadikan
Kampung Batan menjadi kawasan strategis transportasi kapal khususnya untuk
penambatan kapal. Jaringan jalan yang terdapat di Kampung Bantan meliputi Jl Batan
Miroto. Jl.Batan Sawo, Jl.Batan Timur, dan Jl.Batan Selatan. Dimana, kawasan sepanjang
Jalan Batan Selatan digunakan sebagai kawasan perdagangan (PKL). Seiring peningkatan
jumlah penduduk, kebutuhan rumah sebagai tempat tinggal pun meningkat sedangkan
ketersediaan lahan sangat terbatas. Beberapa fakta ditemukan berupa jalanan yang
memiliki ukuran kecil/sempit akibat perluasan bangunan rumah hingga ke sebagian badan
jalan (gang-gang perumahan). Sebagian besar, masyarakat yang berada di kawasan
Kampung Batan berkerja sebagai pedaganga dan buruh industri, dimana karakteristik
masyarakat cukup beragam akibat migrasi masuk ke kawasan Kampung Batan.
Gambar 5.9 Kondisi Gang Perumahan di Kampung Batan
Sumber : dokumentasi pribadi,2019
i. Kampung Kelengan
Kata Kelengan berasal dari nama Klein seorang pemilik rumah yang berarsitektur
eropa. Dimana desain bangunan tersebut dilatarbelakang oleh perubahan inlim yang ada di
Kota Semarang sehingga, Mr Klein membangunan rumah berarsitektur eropa dengan
ukuran jendela yang cukup besar untuk memudahkan sirkulasi udara dan cahaya matahari
yang masuk kerumah. Luas tanah yang dulunya dimiliki oleh Mr.Klein meliputi hampir
seluruh kawasan yang kini disebut sebagai Kampung Kelengan, dan dibatasi oleh sebuah
gapura di ujung gang yang bermuara di Jalan Depok.
Gambar 5.10 Rumah Milik Tuan Klein
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019
Sumber:
Aprilia, Dias (2014). TRANSFORMASI KAMPUNG KOTA DI KAWASAN
SEGITIGA EMAS KOTA SEMARANG. Universitas Diponegoro. Riptek Vol. 8, No. 11,
Tahun 2014
Evansyah, Eggy. (2014). KEBERTAHANAN KAMPUNG TUA SEKAYU
TERKAIT KEBERADAAN MAL PARAGON DI KOTA SEMARANG. Universitas
Diponegoro. Ejournal Vol 2, No 1,
Hendro, Eko Punto. (2016). Kampung-Kampung Bersejarah di Kota Semarang.
Jurnal Sabda.Vol 11, No.2.
Michael, Margareta (2015). SEJARAH KALI SEMARANG. Universitas
Diponegoro, Semarang,
Nursyahbani,Raisya., & Pigawati, Bitta. (2015) Kajian Karakteristik Kawasan
Ppermukiman Kumuh di Kampung Kota. Jurnal Terknik PWK.Vol.4, No. 2.
Saraswati, Ratih Dian., & Tarigan, Ryandi. (2015). Kajian Historiris dan Morfologi
Kampung-Kampung di Sekitar Jalan Jagalan dan Jalan Petudungan Semarang.
Shadrina, Dhia. Et al (2018). RENCANA ARAHAN PENGEMBANGAN
KAMPUNG KOTA. Studi kasus: Kampung Prembaen Semarang. Universitas Diponegoro,
Semarang,

Anda mungkin juga menyukai