Anda di halaman 1dari 9

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


FAKULTAS TEKNIK
Gedung E3-E4-E12 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang 50229
E-mail : arsitektur@mail.unnes.ac.id

PROPOSAL PROYEK AKHIR ARSITEKTUR

Nama : Rofian Miftakhul Akhya


NIM : 5112412067
Prodi : S1 Teknik Arsitektur

Jogja Creative Hub (JCH)


1. Latar Belakang
Pada era kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini, ekonomi kreatif semakin
mendapat tempat dalam kebijakan pemerintah yang sebelumnya berada di bawah
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Komitmen itu diwujudkan dengan
pembentukan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF). Bahkan, sub sektor industri kreatif
menjadi salah satu program quick wins Pemerintahan Jokowi-JK, dan mengindikasikan
perlunya dibentuk badan yang dapat menangani isu-isu besar dalam masalah ekonomi
kreatif. Selain itu, pemerintah juga akan menghidupkan kembali Badan Terpadu Promosi
Produk Dalam Negeri (BTPPDN). Ruang lingkup dari industri kreatif menurut Perpres No.
72 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif, meliputi, arsitektur; desain interior; desain
komunikasi visual, desain produk, fashion, film, animasi dan video, fotografi, kriya, kuliner;
musik, aplikasi dan game developer, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa,
serta televisi dan radio.
Kreatif secara epistemologi berarti sebuah kemampuan untuk membuat sesuatu
yang baru, namun membutuhkan “ekosistem pendorong” untuk melakukannya, dan bersifat
individual. Perkembangan suatu kota tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusia yang
kreatifit dan inovatif yang diciptakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan maupun
produk industri kreatif.
Kebijakan dan strategi pemerintah tentang pengembangan ekonomi kreatif, secara
tidak langsung hal itu berkaitan dengan visi Kota kreatif (Creative city) yang saat ini juga
menjadi salah satu isu visi kota yang berkembang saat ini. Yang dimaksud Kota Kreatif
adalah Kota yang memiliki berbagai “ekosistem kreatif” yang mampu memicu sebuah kota

1
untuk menggerakkan sumber daya manusia (individu) yang ada didalamnya untuk memiliki
kemampuan dalam membuat sesuatu yang baru baik dalam bidang seni, budaya, teknologi,
desain, arsitektur, ketukangan, hingga industri kreatif, yang kemudian diwadahi dan
dikembangkan. Penggunaan Istilah Kota Kreatif ini sendiri dimulai pada awalnya oleh
Charles Landry dalam bukunya The Creative City: A Toolkit for Urban Innovators tahun
1995. Pada perkembangannya Inggris mulai mempelopori penggunaan kreatifitas dalam
berbagai macam Kebijakannya sejak 1997. Hingga mulai tahun 2004 kemudian UNESCO
menyusun sebuah program Creative Cities Network yang bertujuan untuk mengidentifikasi
kota-kota di dunia yang di nilai sebagai Kota Kreatif dan membangun jejaring diantara
mereka. Sedangkan Indonesia sendiri memanifestasikan kreatifitas dalam konteks
pemerintahan melalui Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) yang saat itu
dijabat oleh Marie Elka Pangestu. Kemudian kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif ini
pula yang akhirnya mendorong 5 Kota yaitu Solo, Bandung, Denpasar, Yogyakarta, dan
Pekalongan untuk mengirimkan aplikasi untuk dinilai kelayakannya masuk dalam UNESCO
Creative Citities Network pada tahun 2012. Konsep kota kreatif yang dikembangkan oleh
UNESCO dalam program Creative Cities Network yang mensyaratkan adanya sinergitas
antara Pemerintah, Akademisi, Pelaku Usaha, dan Masyarakat (Komunitas) yang sering
disebut sebagai Quadro helix.
Yogyakarta sebagai kota pelajar, seni, budaya dan salah satu tujuan wisata di
Indonesia memiliki beragam potensi yang dapat memunculkan para pelaku industri kreatif.
Perlahan tapi pasti, berbagai perusahaan, UKM atau startup kreatif mulai bermunculan di
berbagai bidang. Sedangkan di Yogyakarta sendiri memiliki bidang industri kreatif lokal
yang juga harus dikembangkan dan diangkat ke permukaan.
Yogyakarta merupakan wilayah dengan segudang potensi ekonomi kreatif. Potensi
tersebut terentang mulai dari sumber daya manusia hingga kultur tradisional yang melekat
pada Yogyakarta. Tidak seperti kebanyakan wilayah di nusantara, Yogyakarta bisa dibilang
sebagai wilayah yang minim akan sumber daya alam. Oleh karena itu, Yogyakarta tidak
bisa menyandarkan perekonomiannya melalui industri-industri ekstraktif. Namun demikian,
Yogyakarta memiliki tradisi budaya yang panjang, didukung oleh keberadaan kelompok-
kelompok minoritas kreatif yang memiliki tradisi literati dan keilmuan yang tinggi, tersebar di
berbagai disiplin keilmuan di 133 kampus, didukung oleh kalangan innovator muda di
bidang industi kreatif berbasis kampus, terutama di bidang tekologi informasi (TI), yang
berusaha di tengah-tengah kota dan di klaster-klaster kerajinan di pedesaan. (M. Irfan
Ardhani dan Dhamar Sukma Ramadhan)

2
Berdasarkan pendataan yang dilakukan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi
Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2015 diketahui jumlah Industri Kecil Menengah
yang bergerak di bidang industri kreatif di Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 38.489
Unit Usaha yang terdiri dari 5 sub sektor. Kelima sub sektor tersebut adalah Desain
sebanyak 58 Unit Usaha, Fashion sebanyak 6.037 Unit Usaha, Kerajinan sebanyak 31.987
Unit Usaha, layanan komputer dan piranti lunak sebanyak 386 Unit Usaha serta permainan
interaktif sebanyak 21 Unit Usaha. Dari data tersebut diketahui bahwa sektor industri kreatif
Daerah Istimewa Yogyakarta didominasi oleh sektor kerajinan. Pengembangan industri
kreatif di Daerah Istimewa Yogyakarta memerlukan sinergisitas dari berbagai stakeholder.
Pemerintah, Akademisi, Penyedia modal, Asosiasi pengusaha, dan para pelaku industri
kreatif harus selalu bersinergi agar target-target pengembangan industri kreatif di DIY dapat
dicapai.
Maka dari itu perlu adanya sebuah tempat untuk mewadahi dan mengembangkan
berbagai bidang industri kreatif Yogyakarta secara terintegrasi. Jogja Creative Hub
merupakan sebuah tempat yang menghubungkan dan mengkoneksikan berbagai bidang
industri kreatif yang tercantum dalam Perpres No. 72 Tahun 2015 maupun industri kreatif
lokal Yogyakarta, dengan fasilitas antara lain Studio ICT, studio musik, sanggar tari, ruang
pertunjukan, galery fashion, pasar kerajinan lokal Yogyakarta, kelas workshop, meeting
rooms, galeri, toko desain, perpustakaan, mini bioskop, Food & Baverage dan museum
desain.yang tujuannya adalah untuk menuju Yogyakarta sebagai kota kreatif dunia.
Diharapkan dengan adanya Jogja Creative Hub innovator dan kreator Yogyakarta dapat
menyalurkan potensi industri kreatif mereka dan dapat mengembangkan dan menularkan
semangat dalam meningkatkan kualitas SDM. Jogja Creative Hub didesain melaui
pendekatan Arsitektur Eklektik Kontemporer yang memadukan prinsip kelokalan dengan
gaya arsitektur kekinian. Pendekatan tersebut dipilih karena Creative Hub membutuhkan
sentuhan kebebasan kreatifitas dalam desain arsitekturnya secara kreatif, akan tetapi harus
tetap membumi melalui kontekstual lokasinya. Tidak hanya sebatas identitas tampilan
arsitekturnya akan tetapi berhubungan juga pada isu-isu perilaku masyarakat,
permasalahan urban, perubahan iklim, pemanasan global, dan bencana alam yang menjadi
dampak dari krisis energi dan perusakan lingkungan.

2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dirumuskan permasalahan secara
umum dan khusus sebagai berikut :
3.1. Permasalahan Umum

3
Dari latar belakang yang ada, dapat dirumuskan permasalahan umum yaitu :
a. Kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif mendorong Yogyakarta untuk
masuk dalam UNESCO Creative Citities Network.
b. Yogyakarta memerlukan sinergisitas dari berbagai stakeholder. Pemerintah,
Akademisi, Penyedia modal, Asosiasi pengusaha, dan para pelaku industri
kreatif
c. D.I.Yogyakarta memiliki banyak industri kreatif yang harus diberikan sebuah
ruang dan dikembangkan

3.2. Permasalahan Khusus


a. Bagaimana mengintegrasikan antar ruang kegiatan yang berbeda di dalam
satu tempat yaitu Jogja Creative Hub
b. Bagaimana mengembangkan fungsi-fungsi ruang kreatif yang berbeda dapat
menjadi satu identitas kawasan/bangunan yang sama dan menjadi landmark
baru sebagai identitas Yogyakarta Creative City.
c. Bagaimana mengkomposisikan identitas budaya Yogyakarta kedalam
identitas kekinian yang akan melingkupi dari desain Jogja Creative Hub

3. Tujuan
Menghubungkan dan menggabungkan beberapa bidang industri kreatif
Yogyakarta kedalam suatu ruang baru, didalamnya menghasilkan kegiatan kreatif, yang
akan meningkatkan potensi sumber daya manusia kreatif dengan tujuan akhir adalah
menuju Yogyakarta sebagai kota kreatif diunia.

4. Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari perencanaan dan perancangan Jogja
Creative Hub antara lain :
a. Meningkatkan potensi usaha di bidang industri kreatif yang berfokus pada kreasi dan
inovasi
b. Mensejahterakan Industri Kecil Menengah yang bergerak di bidang industri kreatif
c. Mencerdaskan pemuda-pemudi yang kreatif sebagai pelopor perubahan bangsa
yang lebih maju

5. Lingkup pembahasan
5.1. Ruang lingkup substansial
4
Lingkup pembahasan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan Jogja Creative
Hub dengan titik berat pada hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu arsitektur,
sedangkan hal-hal diluar ke-arsitekturan yang mempengaruhi, melatar belakangi dan
mendasari faktor-faktor perencanaan akan di batasi, dipertimbangkan dan
diasumsikan tanpa dibahas secara mendalam.

5.2. Ruang lingkup spasial


Perencanaan dan perancangan Jogja Creative Hub berada di antara 5
kabupaten/kota yang memiliki potensi industri kreatif sesuai dengan peraturan tata
guna lahan dan syarat-syarat lokasi.

6. Metode pembahasan
Dalam Laporan progam perencanaan dan perancangan arsitektur (LP3A) ini,
menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif ini akan memaparkan, menjelaskan,
dan menguraikan mengenai persyaratan desain, ketentuan desain terhadap
perencanaan dan perancangan Jogja Creative Hub.
Dari persyaratan desain dan ketentuan desain, diperlukan data-data lapangan
mengenai hal-hal yang berkaitan dan di butuhkan dalam proses perencanaan JCH
setelah di dapatkan dan terkumpul kemudian baru ke tahap alalisa dan kesimpulan.
Kesimpulan dari pembahansan dan analisa nantinya merupakan konsep dasar yang
digunakan dalam perencanaan dan perancangan Jogja Creative Hub sebagai landasan
dalam desain grafis arsitektur. Dalam pengumpulan data, akan diperoleh data yang
kemudian akan dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu:
6.1. Data primer
- Observasi Lapangan
Dilakukan dengan cara pengamatan langsung di wilayah lokasi dan tapak
perencanaan dan Perancangan Jogja Creative Hub dan mencari potensi kegiatan
kreatif yang ada di Yogyakarta.
- Wawancara
Wawancara yang dilakukan dengan pihak atau badan yang terkait dalam pelaku
industri kreatif atau Badan ekonomi kreatif Yogyakarta.

6.2. Data sekunder

5
Studi literatur melalui buku dan sumber-sumber tertulis mengenai perencanaan dan
perancangan Jogja Creative Hub serta standar teknis yang berkaitan dengan proses
perencanaan fasilitas Creative Hub. Berikut ini akan dibahas design requirement dan
design determinant yang berkaitan dengan perencanaan dan perancangan Jogja
Creative Hub :
6.2.1. Pemilihan lokasi dan tapak
Pembahasan mengenai pemilihan lokasi dan tapak, dilakukan dengan terlebih
dahulu mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penentuan suatu lokasi dan
tapak yang layak sebagai perencanaan dan perancangan Jogja Creative Hub,
adapun data yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Data tata guna lahan/peruntukan lahan pada wilayah perencanaan dan
perancangan Jogja Creative Hub.
b. Data potensi fisik geografis, topografi, iklim, persyaratan bangunan yang
dimiliki oleh lokasi dan tapak itu sendiri dan juga terhadap lingkungan
sekitarnya yang menunjang terhadap perencanaan dan perancangan
sebuah Jogja Creative Hub.

Setelah memperoleh data dari beberapa alternatif tapak, kemudian


dianalisa dengan menggunakan nilai bobot terhadap kriteria lokasi dan tapak
yang telah ditentukan untuk kemudian memberi scoring terhadap kriteria x nilai
bobot, dan tapak yang terpilih diambil dari nilai yang terbesar.

Pembahasan mengenai program ruang dilakukan dengan terlebih dahulu


mengumpulkan data yang berkaitan dengan perencanaan dan perancangan
Jogja Creative Hub, yaitu dilakukan dengan pengumpulan data mengenai
pelaku ruang beserta kegiatannya, dilakukan dengan observasi lapangan baik
studi kasus maupun dengan studi banding, serta dengan standar atau literatur
perencanaan dan perancangan Jogja Creative Hub.

Persyaratan ruang yang didapat melalui studi banding dengan standar


perencanaan dan perancangan Jogja Creative Hub, sehingga dari hasil analisa
terhadap kebutuhan dan persyaratan ruang akan diperoleh program ruang yang
akan digunakan pada perencanaan Jogja Creative Hub.

6.2.2. Program ruang


Pembahasan mengenai program ruang dilakukan dengan terlebih dahulu
mengumpulkan data yang berkaitan dengan perencanaan dan perancangan
Jogja Creatif Hub, yaitu dilakukan dengan pengumpulan data mengenai pelaku
6
ruang beserta kegiatannya, kemudian di bandingkan sehingga dari hasil analisa
tersebut terhadap kebutuhan dan persyaratan ruang akan diperoleh program
ruang yang akan digunakan pada perencanaan.

6.2.3. Penekanan desain arsitektur


Pembahasan mengenai penekanan desain arsitektur dilakukan dengan
observasi lapangan melalui konteks dan unsur kebudayaan yang ada serta
dengan standar atau literatur mengenai perencanaan dan perancangan yang
kaitannya dengan persyaratan bangunan Jogja Creative Hub.
Adapun data yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Aspek konstektual pada lokasi dan tapak dengan pertimbangan
keberadaan bangunan disekitarnya.
b. Literatur atau standar perencanaan dan perancangan fasilitas Jogja
Creative Hub
Setelah memperoleh data tersebut, kemudian menganalisa antara data
yang diperoleh dari observasi dengan standar perencanaan dan perancangan
fasilitas Jogja Creative Hub sehingga akan diperoleh pendekatan arsitektural
yang akan digunakan pada perencanaan dan perancangan.

7. Keaslian Penulisan
Sepengetahuan penulis, laporan perencanaan dan perancangan tentang
Jogja Creative Hub ini belum pernah dilakukan. Laporan perencanaan ini adalah
laporan yang di fokuskan sebagai panduan dalam perancangan desain JCH sebagai
sarana kegiatan kreatif yang di siapkan untuk konsep Yogyakarta sebagai kota kreatif
dunia.

8. Sistematika pembahasan
Secara garis besar, sistematika dalam penyusunan Landasan Program
Perencanaan dan Perancangan Jogja Creative Hub :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, tujuan, manfaat, ruang lingkup, metode
pembahasan, keaslian penulisan, sistematika pembahasan, serta alur bahasan dan
alur pikir.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

7
Berisi literatur mengenai Desain serta standar-standar ruang yang terpadu dalam
bangunan Jogja Creative Hub, pengertian, peraturan perundangan, sistem pengelolaan,
persyaratan teknis.
BAB III TINJAUAN LOKASI
Membahas tentang gambaran umum pemilihan tapak berupa data fisik dan non fisik,
potensi dan kebijakan tata ruang pemilihan tapak, gambaran khusus berupa data tentang
batas wilayah dan karakteristik tapak untuk di desain.

BAB IV PENDEKATAN KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN


Menjelaskan tentang dasar pendekatan konsep perencanaan dan perancangan awal
dan analisis mengenai pendekatan fungsional, kebutuhan jenis ruang, hubungan
kelompok ruang, sirkulasi, pendekatan kebutuhan Jogja Creative Hub pendekatan
kontekstual, optimaliasi lahan, pendekatan besaran ruang, serta analisa pendekatan
konsep perancangan secara kinerja, struktural dan arsitektural Jogja Creative Hub.
BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR
Pada bab 5 Berisi tentang konsep perencanaan dan perancangan Jogja Creative Hub
yang ditarik berdasarkan analisis yang telah dilakukan, yakni meliputi :
a. Konsep fungsional
b. Konsep kontekstual
c. Konsep teknis
d. Konsep kinerja
e. Konsep Arsitektur.

8
9. Alur pikir

LATAR BELAKANG
Pada era kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini, ekonomi kreatif semakin mendapat tempat
dalam kebijakan pemerintah yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif. Komitmen itu diwujudkan dengan pembentukan Badan Pengembangan Ekonomi
Kreatif (BPEK)
Aktualita
- Yogyakarta sebagai kota pelajar, seni, budaya dan salah satu tujuan wisata di Indonesia
memiliki beragam potensi yang dapat memunculkan para pelaku industri kreatif.
- Yogyakarta memiliki tradisi budaya yang panjang, didukung oleh keberadaan kelompok-
kelompok minoritas kreatif yang memiliki tradisi literati dan keilmuan yang tinggi, tersebar
di berbagai disiplin keilmuan di 133 kampus, didukung oleh kalangan innovator muda di
bidang industi kreatif berbasis kampus
- Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2015 diketahui jumlah Industri Kecil Menengah
yang bergerak di bidang industri kreatif di Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 38.489
Unit Usaha yang terdiri dari 5 sub sektor. Kelima sub sektor tersebut adalah Desain
sebanyak 58 UU, Fashion sebanyak 6.037 Unit Usaha, Kerajinan sebanyak 31.987 Unit

MANFAAT
Usaha, layanan komputer dan piranti lunak sebanyak 386 Unit Usaha serta permainan
interaktif sebanyak 21 Unit Usaha.
F
Urgensi
Kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif mendorong Yogyakarta untuk masuk dalam UNESCO
E
Creative Citities Network E
D
B
PENDEKATAN KONSEP PERANCANGAN A
C
LANDASAN PERENCANAAN &
PERANCANGAN ARSITEKTUR
LITERATUR DAN LAPANGAN

K
C
O
TUJUAN

DESAIN
N
STUDI

T
R
O
RUANG LINGKUP

Anda mungkin juga menyukai