Anda di halaman 1dari 28

BAB IV

HASIL PENEILITIAN DAN PEMBAHASAN

1.1 Hasil Penilitian

4.1.1 Konsep Intervensi

Aka Kamarulzaman dan M. Dahlan Y. Al Barry (2005: 293) :

Bahwa Intervensi (Ing/intervevtian), Tindakan campur tangan dalam


perselisihan antara dua pihak (ornag, golongan, kelompok, Negara), Soepeno
(1950: 161) mengatakan bahwa intervensi merupakan istilah dalam politik
internasional yang berarti ikut campur tangannya suatu negara dalam soal-
soal negara lain.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diuraikan bahwa intervensi berarti

ikut campur tangan ke dalam urusan dalam negeri oleh negara lain (W.J.S.

Poerwadarminta, 1984: 385) :

Sedangkan dalam Encyclopedia Americana (1990:322) diuraikan bahwa :

Intervention, in international law means the dictatorial interference by a


state in the internal affairs of another state or in the relations between two
other states.

(Intervensi dalam hukum internasional mempunyai pengertian campur


tangannya negara-negara diktator ke dalam urusan dalam negeri negara lain).
Intervensi yang dilakukan oleh negara asing (khususnya negara besar)

biasanya merupakan tindakan yang sangat dramatik, karena diorganisasikan dengan

amat baik. Intervensi merupakan semua tindakan yang mempunyai dampak tertentu

secara langsung atau lambat laun pada politik dalam negeri suatu negara lain,

termasuk di dalamnya semua bentuk bujukan dan program diplomatik, ekonomi serta

militer (K.J. Holtsi, 1988: 9).

James Rosenau dalam K.J. Holtsi (1988:9) :

Mengemukakan definisi dari intervensi yaitu bahwa intervensi dapat


dibedakan dari bentuk-bentuk lain tindakan negara karena intervensi (1)
merupakan pemutusan tajam dari bentuk-bentuk intervensi konvensional
dalam hubungan suatu negara, (2) dengan sadar diarahkan untuk mengubah
atau mampertahankan struktur penguasa politik di negara sasaran. Dengan
demikian program-program bantuan asing walaupun mungkin mempunyai
konsekuensi-konsekuensi langsung atas penguasa politik dalam suatu
masyarakat, tidak akan dianggap sebagai intervensi, karena tidak merupakan
suatu pemutusan radikal dari suatu hubungan konvensional.

Menurut Sultan Ternate ,Campur tangan bangsa portugis terhadap kerajaan

Tidore dan Ternate merupakan sebuah cara untuk bagaimanah Bangsa Portugis

mampu mangambil semua hasil Bumi dari Kerajaan Ternate dengan cara untuk

manggadu domba ke dua Kerajaan tersebut sehingganya ke dua kerajaan tersebut bisa

terjadi konflik,dari keadaan konflik itulah bangsa portugis mangisi waktu itu untuk

merampas smua kekayaan kerajaan Ternate.( Wawancara H.Mudjafar Syah,Selasa,16

April 2013 )
4.1.2 Bentuk-Bentuk Intervensi

4.1.2.1 Intervensi Berdasarkan Jangkauan

Hukum Internasional mengklasifikasikan intervensi dalam 3 macam, yang

didasarkan atas jangkauan dari intervensi tersebut, yaitu :

a) Intervensi Internal

Intervensi atau campur tangan yang melibatkan Negara luar atau pihak luar

sebagai pendukung suatu pemberontakan atau separatis atau konflik politik di Negara

lain dengan cara dictator. Contoh kongkrit adalah dukungan negara-negara anggota

NATO dibawah komando Prancis memberikan dukungan penuh kepada kelompok

atau rakyat Anti Muamar Kadafi Presiden LIBYA. Campur tangan macam ini

dikarenakan punya kepentingan negara pendukung di Wilayah Konflik.

b) Intervensi Eksternal

Campur tangan negara lain terhadap peperangan atau konflik yang sudah terjadi

antara dua Negara atau lebih. Contohnya Intervensi Diktator Mussolini di Italia dalam

Perang Dunia ke II untuk membantu Hitler Jerman melawan Pasukan Sekutu ( Inggris

dan Amerika ).

c) Intervensi Reprisal

Campur tangan suatu negara yang dilakukan atas dasar pembalasan terhadap

kerugian yang telah ditimbulkan oleh negara lain dengan melakukan suatu perang
kecil atau blockade damai. Contoh Indonesia pro aktif mendukung Pemerintah

Somalia dalam melawan kelompok Milisi Islam yang melakukan perampokan di Laut

Somalia atau terusan Zues.

Menurut Jojau Kesultanan Tidore, Intervensi bangsa portugis terhadap

Kerajaan Tidore dan Ternate, Itu merupakan bagian dari ahir hidupnya mereka di

tanah Moloku Kie Raha, Artinya bahwa kebijakan yang di lakukan terhadap ke dua

Kerajaan itu bisa di katakana sebagai sebuah cara bagimanah untuk mendapat

kekayaan yang ada di daerah Moloku Kie Raha khususnya di Kerajaan Tidore dan

Kerajaan Ternate, Akan tetapi cara tersbut bisa di baca oleh semua masyrakat yang

ada di kedua kerajaan tersebut. (Wawancara,H.Ridwan Do.Taher,Selasa,23,April

2013 ).

4.1.2.2 Intervensi berdasarkan dampak

Jenis intervensi ini dapat dibedakan dalam dua hal yaitu sebagai berikut :

a) Intervensi Positif ( Humaniterian Intervention/ Intervensi Kemanusiaan)

Intervensi atau campur tangan berbasis kemanusiaan merupakan suatu

tindakan campur tangan negara atau lembaga PBB yang bertujuan menegakan

keadilan dan menghormati hak asasi manusia. Intervensi ini bisa dilakukan dengan

cara memberikan sangsi-sangsi ekonomi dan militer kepada negara yang

menggunakan kekerasan militer sebagai jalan terakhir.


Atau mereka langsung turun ke daerah konflik untuk mengatasinya.

Contohnya, Amerika dan Autralia melakukan Intervensi Kemanusiaan dalam kasus

Timor Timur ( Timor Leste ) ketika Militer Indonesia membantai ribuan rakyat

Timor-Timur. Peristiwa ini dikenal dengan nama peristiwa Santa Cruz dan Intervensi

PBB di Afrika Selatan untuk mengakhiri politik apartheid.

b. Intervensi Negatif

Intervensi semacam ini dilakukan oleh negara-negara adidaya kepada negara-

negara berkembang. Intervensi ini dilakukan dengan menggunalkan produk-produk

Internasional seperti perjanjian internasional. Misalnya, Amerika dan PBB membuat

produk hokum tentang pelarangan pengembangan Nuklir di negara- negara

berkembang seperti di India, Korea Utara dan Iran. Semua intervensi tersebut adalah

legal atau sah menurut hukum internasional.

Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa intervensi

adalah bagian dari politik luar negeri suatu negara terhadap negara lain dengan cara

melakukan campur tangan terhadap masalah dalam negeri negara lain sebagai sarana

untuk mencapai tujuan atau meningkatkan nilai sosial di luar negeri melalui berbagai

kegiatan di bidang politik, ekonomi, maupun militer.

Intervensi merupakan suatu akibat dari kemelut, kemudian pengiriman

pasukan dengan cepat, sering juga dengan menangkap pemimpin rezim sasaran.
4.1.2.3 Faktor-Faktor Intervensi

Ada pun yang menjadi factor-faktor Intervensi yaitu sebagia berikut :

1. Penggalian Masalah, merupakan tahap di mana pekerja sosial mendalami

situasi dan masalah klien atau sasaran perubahan. Tujuan dari tahap

penggalian masalah adalah membantu pekerja sosial dalam memahami,

mengidentifikasi, dan menganalisis faktor-faktor relevan terkait situasi dan

masalah yang bersangkutan. Berdasarkan hasil penggalian masalah tersebut,

pekerja sosial dapat memutuskan masalah apa yang akan ia selesaikan, tujuan

dari upaya perubahan, dan cara mencapai tujuan. Penggalian masalah terdiri

dari beberapa konten, di antaranya :

 Identifikasi dan penentuan masalah

 Analisis dinamika situasi sosial

 Menentukan tujuan dan target

 Menentukan tugas dan strategi

 Stabilisasi upaya perubahan

2. Pengumpulan Data, merupakan tahap di mana pekerja sosial mengumpulkan

informasi yang dibutuhkan terkait masalah yang akan diselesaikan. Dalam

melakukan pengumpulan data, terdapat tiga cara yang dapat digunakan, yaitu:

pertanyaan, observasi, dan penggunaan data tertulis.

3. Melakukan Kontak Awal


4. Negosiasi Kontrak, merupakan tahap di mana pekerja sosial

menyempurnakan tujuan melalui kontrak pelibatan klien atau sasaran

perubahan dalam upaya perubahan.

5. Membentuk Sistem Aksi, merupakan tahap di mana pekerja sosial

menentukan sistem aksi apa saja yang akan terlibat dalam upaya perubahan.

6. Menjaga dan Mengkoordinasikan Sistem Aksi, merupakan tahap di mana

pekerja sosial melibatkan pihak-pihak yang berpengaruh terhadap tercapainya

tujuan perubahan.

7. Memberikan Pengaruh

8. Terminasi

4.1.3 Pokok-Pokok Temuan

1) Bentuk-bentuk Intervensi Bangsa Purtugis terhadap Kerajaan Tidore dan

Ternate merupakan sebuah bentuk penindasan terhadap rakyat di mana

dengan cara tersebut Bangsa Purtugis mampu menguasai dan merampas

semua kekayaan alam yang ada pada ke dua Kerajaan tersebut karna Kerajaan

Tidore dan Ternate adalah sebuah kerajaan yang masih di bilang kakak

beradik karna masih memiliki system kepemimpinan yang sama, srtuktur

kesultanan yang sama, namun pada tahun 1512 Bangsa Portugis tiba di

Ternate dan di sambut baik dari masyarakat Kerajaan Ternate namun kebaikan

Bangsa Portugis itu lama kelamahan berubah menjadi penindasan karna


semua urusan Kerajaan harus di tagani oleh bangsa Portugis itu sendiri dan

lama kelamahan timbulnya kebincian dari pihak Kerajaan dan rakyat Ternate

berusaha mengusir Bangsa Portugis dari tanah Kerajaan Ternate namun

usahanya gagal karna pasukan dari Kerajaan Ternate tidak di hitung

jumlahnya di bandingkan dengan bala tentra Portugis,dan Portugis pun rendah

hati untuk berbuat baik dengan pihak Kerajaan Ternate dan pada Tanggal 28

Februari 1570 Sultan Hairun di undang di benteng Santo Paolo untuk

membahas tentang kerja sama antara pihak Kerajaan dan pihak Portugis

namun dalam moment tersebut Sultan Hairun di bunuh oleh Antonio Pimental

dalam peristiwa tersebut Sultan Babbulah bangkit bersam rakyat Ternate

untuk melwan Portugis namun demikian Kerajaan Ternate mengundang

Kerajaan Tidore untuk membantu Kerajaan Ternate dan pihak Kerajaan

Tidore pun menyatakan sikap untuk membantu saudara Kerajaannya, dan

suatu saat kemudian Kerajaan Tidore dan Ternate bersatu untuk melawan

Bangsa Portugis,namun dalam pertempuran ini Bangsa Purtugis mengalmi

kekalahan dan pada tahun 1575 Bangsa Purtugis di usir dari wilayah Maluku

Kie Raha.

2) Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Intervensi Bangsa Purtugis

terhadap Kerajaan Tidore dan Ternate yaitu ada bebrapa factor yang

terjadinya Intervensi Bangsa Purtugis yaitu sebagai berikut :


1. Faktor Ekonomi

Dari faktor ekonomi inilah yang melahirkan pertikaian yang tidak

berkesudahan, mengapa demikian karena ekonomi inilah sehingga kerajaan ternate

dan tidore ingin memperluas wilayahnya, terutama setelah masuknya bangsa barat ke

maluku dan mulai melakukan ekspansi maka kedua kerajaan tersebut melakukan

hegemoni dan bejerja sama dengan bangsa barat untuk merebut wilayah penghasil

cengkeh dan pala serta lumbung ladang dipulau halmahera.

Sebagaimana dikemukakan oleh seorang informan yang mengatakan bahwa

faktor yang sangan besar pengaruhnya sehingga terjadinya persilisihan antara

kerajaan tidore dan terate tidak lain melainkan masalah ekonomi, karena dengan

itulah sehingga mereka ingin mencari prestisenya atau selalu ingin tampil kedepan.

(Drs. Tamrin Abdullah. 17 April 3013).

2. Faktor Politik

Dapat di lihat dari factor politik karena terjadi ekspansi besar-besaran yang di

lakukan oleh ke dua kerajaan untuk memperuas wilayahnya yang pada akhirnya

menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan, sebagaimana yang dikemukakan

oleh salah seorang informan bahwa kerajaan Tidore dan Tarnate selalu ingin

memperluas wilayahnya, terutama pulau Halmahera, sehingga menimbulkan

pertikaian antara keduanya (Wawancara, Hi.Ridwan Do.Taher, 12 April 2013)


3. Sosial dan Budaya

Berbagai fakor yang telah dikmukakan diatas, faktor sosial budaya paling

sedikit pengaruhnya karena kedua kerajaan tersebut jarang sekali melkukan hubungan

sosial karena sering terjadi persilisihan namun disis lain, dapat kita jabarkan hal-hal

yang menimbulkan pertikaian antara kedua karena putra tidore meminang putri sultan

ternate untuk dijadikan permaisuri ternate dalam hal ini menerima lamaran tersebut

demi meredakan pertentangan mereka, dan setelah melangsungkan pernikahan

diternate pasangan itu kembali ke tidore. Akan tetapi, setelah ditidore, sultan

menyatakan bahwa putri yang dinikahi itu tidak lagi perawan sehingga diputuskan

dihanyutkan dengan rakit. Saat mendengar kejadian itu maka pihak ternate

menyerang tidore sehingga timbul perang yang tidak berkesudahan. (Abdul Hamid,

2001 : 185)

Seiring dengan hal yang diatas maka salah seorang informan mengatakan

bahwa dengan terjadinya kejadian itu sehingga sultan ternate pun berjanji kepada

keturunannya dan menyumpah mereka tidak boleh hubungan perkawinan dengan

tidore sampai akhir zaman. Hingga sekarang kalau selaku warga kesultanan ternate

yang menaatinya (Ternate asli) maka mereka tidak akan mengadakan hubungan

perkawinan denga tidore karena mereka meyakini bahwa akan terjadi penderitaan

sengsara dalam rumah tangga mereka. (Wawancara, Idham Muhammad, 16 2013)


4.1.4 Pembahasan

4.1.1 Intervensi Kedua Kerajaan Pada Saat Masuknya Bangsa Portugis

Bangsa Portugis merupakan bangsa Barat yang pertama tiba di Maluku

Utara,namun di balik semuanya yaitu ingin mangadu domba ke dua kerajaan dengan

cara mnecapuri semua urusan Kerajaan dalam hal ini adalah pemilihan Sultan yang

terjadi pada saat kedua Kerajaan saling bermusuhan berangkat dari peristiwa inilah

Bangsa Portugis dapat mencampuri urusan kedua Kerajaan.

Beberapa ribu orang eropa (Portugis), ditempat kedudukan mereka di Ternate

dan Tidore tidak mampu menegakkan kesejahteraan tetapi malah menimbulkan

pergolakan. Kepulauan ini telah terganggu oleh persaingan sewenang-wenang oleh

sesama kepala desa yang jumlahnya puluhan yaitu sekutu-sekutu rakyat Ternate dan

Tidore yang jauh lebih maju dan berkuasa.

Tetapi para penguasa dari kedua kawasan mini ini menjalankan pemerintahan

langsung atas penduduknya yang jumlahnya tidak melibehi 10.000 orang dan

mengandalkan orang-orang bawahan yang diragukan kesetiannya untuk memimpin

kawasan yang kelihatannya saja tunduk kepada mereka. Bagaimanapun juga, aman

terhadap intervensi barat tepat pada saat kedua kerajaan itu bergabung, mungkin akan

mencapai hegemoni yang kuat.

Sehingga semenjak berdirinya kedua kerajaan ini sulit bersatu karena masing-

masing ingin mengejar prestise sehingga tidak menghiraukan dampak yang akan

terjadi. Perkembangan konflik semakin memuncak ketika masuknya bangsa barat ke


daerah Maluku sehingga bertambah rumitlah perselisihan kedua kerajaan tersebut

yang pada akhirnya kerajaan Ternate bergabung dengan bangsa Portugis untuk

menghancurkan kerajaan Tidore namun kerajaan Tidore pun tidak mau kalah dan

bekerjasama dengan bangsa Spanyol sehingga pada akhirnya terajdi peperangan

antara kedua dan kerajaan Ternate dibantu oleh bangsa Portugis dan kerajaan Tidore

dibantu oleh bangsa Spanyol.

Hal lain yang paling urgen adalah adanya campur tangan pemerintah kolonial

Belanda dalam hal pengangkatan sultan, sehingga timbulnya konflik bagi sesama

kerajaan maupun dalam tubuh kerajaan itu sendiri. Gambaran tersebut di atas

sebagaimana terjadi pada kesultanan Tidore pada masa kesultanan Syaifudin, saat itu

yang memiliki hak menjadi sultan setelah wafatnya Sultan Saidi adalah Kaicil

Goranya, namun dengan adanya campur tangan kompeni Belanda dengan

menggunakan politik uang melalui para bobato, mulai dari Jogugu sampai para

hukum soasio sehingg berhasil menubatkan adiknya Goranya yaitu Kaicil Galafino

(sultan Syaifuddin) menjadi sultan Tidore.

Politik campur tangan ini juga terjadi ketika wafatnya Sultan Jamaluddin,

seharusnya yang menggantikan adalah putra mahkota akan tetapi kompeni Belanda

berupaya mengangkat pamannya yaitu Kaicil Gaijira yang ternyata sudah lanjut usia

dan nyaris terjadi bentrokan senjata karena ditantang oleh sejumlah pengeran dan

bobato.

Tidak sampai disitu saja saat Kaicil Gaijira Wafat kedudukan yang

sebenarnya harus kembali ke putra sulung Sultan Jamaluddin sebagai pewaris


kerajaan yang sah, namun Belanda berupaya mengangkat Patra Alam, sehingga

menimbulkan reaksi keras dari Nuku dan adiknya Kamaluddin, kemudian Patra Alam

dicopot dari jabatannya dengan alansan bahwa telah melakukan persekongkolan

dengan pihak Nuku, setelah itu upaya kolonial Belanda menjalankan politiknya

kembali dengan menggangkat Kamaluddin sebagai Sultan Tidore bukan Nuku

sebagai pewaris yang layak karena lebih tua dari Jamaluddin dan sesuai dengan

hukum kerajaan yang telah diatur.

Pengangkatan Kamaludin selaku putra Jamaludin mempunyai pengaruh pada

kepala-kepala rakyat dan raja-raja di Kesultanan Tidore, tetapi Nuku menggugat

pengangkatan tersebut, karena Nuku lebih berhak terlebih dahulu selaku pangeran

yang lebih tua, namun jika Kamaludin menghendaki diakui sebagai sultan maka harus

berlepas diri dari Kompeni Belanda, setidak-tidaknya mengubah atau membatalkan

kontrak dengan Kompeni Belanda, yang mengikat sepihak dan menjadikan sultan

Tidore sebagai boneka.

Rencana kerja Sultan Kamaluddin setelah menduduki tahta kerajaan adalah

memulihkan daerah-daerah kerajaannya yang kini tunduk kepada Nuku, untuk

kembali tunduk kepada kesultanan. Namun demikian Nuku berulang kali

menyampaikan surat kepada Kamaluddin untuk menghentikan kerjasama dengan

kompeni Belanda yang hanya ingin mengeksploitasi kekayaan alam di Tidore dan

menyengsarankan rakyat Tidore.

Nuku berusaha membujuk Kamaluddin untuk bersatu dan berjuang untuk

mengusir Belanda di Tidore dan Maluku, namun Kamaluddin tidak mengindahkan


ajakan Nuku tersebut, malahan Kamaluddin meminta Nuku untuk kembali dan

bersatu dengan dirinya untuk bekerjasama dengan kompeni Belanda.

Hal ini maka menimbulkan konflik yang berkepanjangan dalam tubuh

kesultanan Tidore yang kurang lebih selama 13 tahun, dari tahun 1784 1797, dan

tahun 1797 adalah akhir dari masa kekuasaan Kamaludin dimana Nuku melakukan

kerjasama dengan Inggris dalam politik adu dombanya kemudian menyerang Tidore

dan berhasil menduduki tahta Sultan Tidore.

Sebagaimana telah di jelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa pada daerah

Maluku Utara terdapat Empat Kerajaan yang lebih kenal degan sebutan Moloku Kie

Raha yaitu,Tidire,Ternate,Bacan dan Jailolo ini merupakan Kerajaan yang di pimpin

oleh keempat kakak beradik namun penuh dengan perselisihan sebagaimana yang

dikemukakan oleh seorang informanNegeri Moloku Kie Raha merupakan empat

kerajaan yang dipimpin oleh kakak-beradik tapi dalam menjalankan pemerintahannya

selalu terjadi perselisihan karena masing-masing selalu ingin memperluas

wilayahnya. (Wawancara Hi. Wahab Alting,11 April 2013).

Seirama dengan hal diatas yang dikemukakan oleh Abdul Hamid Hasan

(2001:185) mengemukakan bahwa pemimpin kerajaan Ternate dan Tidore yang

memiliki sifat tersendiri sehingga dalam menjalankan kemimpinannya selalu

menonjolkan egonya seperti Ternate yang merupakan putra bungsu, pada saat

membentuk kerajaannya tetapi tidak kebagian wilayah yang besar karena ketiga

kakaknya sudah membagi wilayahnya masing-masing,sehingga mau tudak mau ia


harus merampas wilayah kerajaan kepunyaan kakaknya, namun yang lebih anehnya

kedua kakaknya yaitu Jailolo dan Bacan,tidak mampu menentang adiknya,dan pada

akhirnya wilayah mereka diambil begitu saja oleh Ternate.

Tetapi tidore tidak demikian, ia tidak mau menyerahkan wilayahnya bahkan

terus menentang Ternate dengan segala upaya dan Tidore menganggap Ternate

sangat rakus dan menggambil sebagian besar wilayah kerajaan Jailolo dengan tidak

mempunyai rasa belas kasihan pun, menyebabkan kakaknya itu menghilang dari

negerinya.

Untuk lebih jelas dalam melihat perkembangan Intervensi Bangsa Portugis

Terhadap Kerajaan Tidore dan Ternate yang terjadi pada kedua kerajaan ini dapat

dilihat dari segala segi yaitu :

4.1.2 Intevensi Bangsa Purtugis dalam Bidang Politik

Di lihat dari factor politik karena terjadi ekspansi besar-besaran yang di

lakukan oleh ke dua kerajaan untuk memperuas wilayahnya yang pada akhirnya

menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan, sebagaimana yang dikemukakan

oleh salah seorang informan bahwa kerajaan Tidore dan Tarnate selalu ingin

memperluas wilayahnya, terutama pulau Halmahera, sehingga menimbulkan

pertikaian antara keduanya (Wawancara, Hi.Ridwan Do.Taher, 12 April 2013)

Dilihat dari permasalahan di atas maka dapat di jabarkan dalam beberapa

versi/factor yang menimbulkan pertikaian sebi berikut :


a. Perebutan Wilayah Halmahera

Wilayah Halmahera merupakan sebuah dataran besar yang pada masa

kerajaan selalu diperebutkan, karena wilayah ini sangat subur dan merupakan

lumbung pangan oleh kerajaan-kerajaan di pulau cengkeh.

Pulau Halmahera yang bentuknya seperti pulau Sulawesi, yang boleh

dikatakan sebagai induk pertikaian oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya sebagaimana

dikemukakan oleh salah seorang tokoh adat di pulau Ternate yaitu pulau Halmahera

yang letaknya sangat strategis sebagai pintu pertahanan keamanan di kawasan

pasifik yang pada akhirnya dijadikan sebagai pusat pertikaian antar kerajaan, lebih

utamanya adalah kerajaan Tidore dan Ternate.

Dalam perebutan wilayah Halmahera kerajaan Tidore lebih utama memasang

patoknya sepanjang pantai sebagai tanda bahwa daerah itu termasuk batas wilayah

kerajaannya, shingga Ternate melihat seluruh Halmahera telah dikuasai oleh Tidore

dari patok yang telah dipasang, maka Ternate pun tinggal diam dengan menggali

tanah lalu memasang patoknya di dalam tanah yang tersembunyi lalu mengklaim

bahwa wilayah itu adalah wilayahnya, namun Tidore tidak mengakuinya bahwa ia

telah memasang patoknya duluan,sehingga Ternate menunjukkan bukti bahwa Tidore

memasang tidak melihat terlebih dahulu apakah wilayah itu telah ada patok yang

sudah dipasang atau belum, baru diadakan pematokan dan setelah mengadakan
penggalian ternyata didapati patok yang sudah tertanam di dalamnya maka pihak

Tidore pun mengalah.

Hal ini maka Ternate dijuluki Danata (Rakus). Dengan jalan kerakusan

ini,Ternate dapat menggumpulkan sisa wilayah kerajaan lain sehingga wilayahnya

kian hari semakin luas wilayah kekuasaannya. (Wawancara,M.Adnal Amal, 13 April

2013).

Sesuai dengan hal di atas maka pernyataan lain dikemukakan oleh Smit

Alhadar (Imron Hasan,2003: 104) bahwa pada pertengahan abad ke 13,

Kerajaan Tidore dan Ternate sudah merebut hegemoni. Ternate meluaskan pengaruhn

ya ke Halmahera utara,Kepulauan leasa,Ambon,Suru, Sula,dan Seram,sementara tidor

e melakukan ekspansinya ke Halmahera Tengah,Seram Timur dan kawasan Raja

Ampat di papua.Hal ini sehingga menimbulkan pertikaian yang sangat sengit dan

pada akhirnya mereka memilih mitranya masing-masing yaitu tidore memilih spanyol

dan ternate memilih protugis yang pada akhirnya menimbulkan peperangan antara

kedua kerajaan.

Dipihak lain ternyata Tidore mempertahankan wilayah lain dipulau

Halmahera yaitu Patani,Gebe,dan Maba,sehingga menimbulkan pertikaian yang

berkepanjangan antara kedua kerajaan tersebut.

Tibanya portugis di ternate pada tahun 1512 berdasarkan keputusan paulus di

Roma, sejalan dengan Traktat Tordesillas 1494 antara Spanyol dan Portugis, maka
jalur navigasi pelayaran dari Eropa ke sebelah barat menjadi milik eksekusi Portugis.

Dengan melihat keuntungan ekonomi, sehingga bangsa Spanyol mencari jalur laut

sendiri ke arah Timur (atlantik) yang pada masa itu dikenal sebagai The Sea of

Dark (samudra kegelapan).

Dengan kedatangan bangsa portugis membawa angin segar bagi kerajaan

ternate karena akan membantu dalam proses perluasan wilayah dan membasmi

musuh besarnya yaitu kerajaan Tidore. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang

informan kerajaan ternate semenjak kedatangan bangsa Portugis, meras gembira

karena mendapat bantuan baru dalam hal perluasan wilayah, tapi mereka tidak tahu

bahwa ada maksud terselubung yang dibawah oleh bangsa Portugis sampai akhirnya

terbunuh Sultan Khairun dan berhasil mendirikan Teologi pertama di Asia Tenggara

yang terletek di Benteng Santo Paulo di Bumi Ternate dengan tujuan menasranikan

penduduk maluku utara. (Wawancara, Jumati Achmad,SP.d, 18 April 2013).

Setelah menjelang sepuluh tahun kemudian Kerajaan Tidore pun bekerja sama

dengan bangsa Spanyol. Bangsa Spanyol pun bersahabat dengan orang ternate, Bacan

dan Jailolo dalam sebuah kisah orang Ternate menjual cengkeh kepada orang Spanyol

namun orang Spanyol tidak mau membelinya karena takut menyinggung orang

Tidore.

Dan pada akhirnya orang Spanyol diundang olek Kesultanan Tidore untuk

melakukan penjamuan/perayaan di darat karena selama melakukan kerja sama dengan


Tidore, orang Spanyol dalam melukukan dalam melakukan pesta diatas kapal saja,

namun orang Spanyol masih khawatir karena mereka mendengar kabar angin bahwa

mereka akan dibantai. Sehingga mereka mencari akal agar secepatnya pergi namun

Sultan Tidore bersumpah demi Al-Quran bahwa ia tidak berniat untuk melakukan

hal demikian dan berjanji menyediakan perlindungan yang diperlukan.

Setelah berlangsungnya kerja sama antara Kerjaan Tidore dengan Spanyol,

kemudian melahirkan banyak pertikaian antara Kerajaan Tidore-Spanyol dan

Ternate-Portugis sebagimana dikemukan oleh Wiliard A. Hanna dan Des Alwi (1996

: 36) bahwa ketika Garcias memangku jabatannya di Ternate, ia melkukan erjanjian

dengan Tidore dan dalam isi perjanjian itu pihak Tidore harus menyerahkan meriam

yang dipasok oleh Spanyol, ia harus menyerahkan cengkeh kepada benteng

seluruhnya dan ia harus menyerahkan salah satu putrinya untuk menikah dengan

Pangeran Taruwese, namun anehnya Sultan Tidore menerima itu.

Pada akhirnya Sultan Tidore yang mendapat nasehat dari putrid-putrinya dan

bebrapa orang spanyol, dengan mengambil siasat mengulur-ulur waktu untuk

menyerahkannya dengan alasan terganggu oleh penyakit,namun ornag portugis

malahan mengirim dokternya untuk merawat sultan, tapi di balik kebaikan itu

ternyata memberikan racun yang mematikan. Siasat itu memang tepat pada

sasarannya namun begitu bodoh sehingga timbul geojalak dari mesyarakat untuk

membalas dendam, tapi malahan portugis-ternate membumihanguskan kampung di


Tidore, dan pada akhirnya Kesultanan Tidore-Spanyol mulai membagun kubu baru

untuk menyerang Purtugis Ternate.

Pertentangan-pertentangan ini terus berlasung sebagai mana di kemukakan

oleh Pigafeta (wiliard A.Anna dan des alwi, 1996 : 41 ) bahwa dengan adanya

persekutuan iu sehingga bangsa barat dapat mengadudomba dua Kerajaan dan pada

akhirnya rakyat ternate bergabung dangan Portugis melakukan penyerbuan di Tidore

dangan membawa pasukan Portugis sebnayak 100 orang dan pasukan Ternatr 1000

orang dan ternyata Purtugis Ternate dapat menguasai Pulau Tidore.

Setelah itu Kerajaan Tidore tunduk kepada Kesultanan Ternate dan

mengucapkan sumpah setia untuk melakukan persahabtan dan perdamaian, namun

Sultan said memrintah pengawalnya untuk menyerang rakyat Tidore sehngga Sultan

Tidore bersama pengiring tewas bersimpah darah, dan mulai pada saat itu permushan

mulai berkecamuk lagi.

Hubungan kedua Kerajaan semakin rumit, sampai-sampai melakukan patrol

pengecekan wilayahnya suda terjadi pertumpahan darah, seperti halnya perahu kora-

kora antara kedua Kerajaan berpapasan maka terjadilah perang pada akhirnya Sultan

Gapaguna ditangkap pendayung kora-kora Sultan Ternate. Dan pada akhirnya

Kerajaan Tidore bergabung dengan Spanyol dan menyedihkan kora-kora dengan

kekuatan 600 orang, yang kemidian pada 1 April 1606 menyerang Kerajaan Ternate

Portugis sehingga dapat merebut benteng-benteng dan Kerajaan Ternate, namun


Sultan Said meloloskan diri sehingga perang usai karena rakyat Ternate dinyatakan

menyerah.

Dengan bertolaknya bangsa Portugis pada tanggal 15 Juli 1575 dan bangsa

Spanyol meninggalkan Soa-Sio (Tidore) dan tanggal 2 Juni 1664 ke negerinya,

masuklah bangsa Belanda untuk melakukan monopoli perdagangan degan tujuan

utamanya yaitu membumi hanguskan pohon cingkeh di bumi Maluku Utara

khususnya Ternate-Tidore,dalam hal ini mereka mengunakan politik devide et

imperanya karena politik ini sangatlah pas untuk daerah Maluku Utara sebab kedua

Kerajaan Ternate dan Tidore pada mulanya sudah terdapat permusuhan.

Semenjak masuknya bangsa Belanda ke Maluku Utara mengakibatkan

semakin meruncing persaingan/pertikaian antara Tidore dan Ternate,sebab adanya

campur tangan Belanda dalam urusan pemerintahan kerajaan terutama Kerajaan

Tidore yang tidak mau berkerjasama dengan Belanda. Hal ini sebagaimana di

kemukakan oleh E.katopo (1984 : 69) mengemukakan bahwa bangsa Belanda selalu

mencampuri urusan kerajaan Tidore,dalam hal pengangkatan sultan,sebagaimana

diangkat Patra Alam sebagai sultan yang bukan keturunan yang sah.

Hal inilah yang menimbulkan pemberontakan dalam tubuh kerajaan itu

sendiri sebagaimana Nuku yang merupakan keturunan yang sah dan seharusnya

sebagai Sultan Tidore harus meminum pil pahit sebagai boronan kerajaan. Namun

semangat Nuku tak pernah pudar dengan menghimpun berbagai kekuatan mulai dari
wilayah Petani, Gebe, Maba, Weda, Seram, Timur dan Kawasan Raja Ampat di

papua untuk merebut kembali Kerajaan Tidore dari kungkungan Bangsa Belanda.

Pangeran Nuku yang sangat cerdas ini kemudian melakukan politik serupa

dengan Belanda yaitu Politik Davide Et Impera dengan mengadakan hubungan

persahabatan dengan inggris untuk menyerang Belanda-Ternate. Dan akhirnya pada

tanggal 11 Februari 1801, Ternate diserang oleh gabungan pasukan Nuku dan Inggris

yang terdiri dari tujuh buah kapal perang inggris dan 40 buah kora-kora Tidore dan

melakukan penyerangan dari berbagai penjuru pulau Ternate,namun yang menjadi

sasaran utama dalah benteng-benteng dan tempat strategis kompeni Belanda dan

Kesultanan Ternate. Sehingga pada akhirnya Ternate-Belanda pun menyerah dengan

syarat bahwa semua pegawai yang rela,tinggal bekerja seperti biasa, sultan ternate

beserta bobato-bobatonya tetap dalam kedudukan pemerintahannya sedangkan tidore

(nuku) bersama pasukannya tidak melakukan perbuatan-perbuatan membalas dendam

yaitu membunuh, membakar dan merampas.

Setelah peristiwa tersebut maka Inggris mengusahkan supaya kesultanan

ternate dan kesultanan tidore berdamai dan akhirnya pada tanggal 5 november 1801

diadakan perjanjian perdamaian dengan isi ringkas perjanjian itu sebagai berikut:

Semua peristiwa dan perbuatan-perbuatan permusuhan yang telah berlaku

dalam tahun-tahun lampau, dilupakan dan saling dimaafkan oleh kedua belah pihak:

mulai dari penandatangan perjanjian itu, kedua kesultanan beserta rakyatnya akan
hidup damai dalam suasana persahabatan dan persaudaraan: timbul perselisihan-

perselisihan yang tidak diharapkan, maka perselisihan itu tidak dipecahkan dengan

senjata atau peperangan, melainkan diperhadapkan untuk dipertimbangkan supaya

diselesaikan secara adil dan damai. (Emanuel Katopo, 1984 : 175)

Sepanjang sejarah kerajaan tidore dan ternate selalu ingin tampil kedepan dan

ingin menancapkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah-wilayah sekitarnya,

sehingga dua kerajaan lainnya yaitu kerajaan bacan dan jailolo tunduk kepada

kerajaan ternate dan di lain pihak tunduk kepada kerajaan tidore.

Sebaimana yang dikemukakan oleh Williard A. Hanna (2001 : 185) bahwa

dalam sejarah Maluku sering diwarnai oleh konflik, sebagaimana gambaran

singkatnya yaitu Apa yang terjadi di Maluku Utara itu sungguh mempesona tetapi

juga mengerikan. Mala petaka gejolak sosial, politik dan ekonomi tak terhindarkan.

Disisi lain perebutan pengaruh oleh kedua kerajaan besar itu, melahirkan dendam dan

dikotomi. Pada suatu saat masyarakat Tidore merasa lebih superior dari masyarakat

Ternate atau masyarakat lainnya dan begitu sebaliknya.

Sehingga semenjak berdirinya kedua kerajaan ini sulit bersatu karna masing-

masing ingin mengejar prestise sehingga tidak menghiraukan dampak yang akan

terjadi. Perkembangan konflik semakin memuncak ketika masuknya bangsa barat ke

daerah Maluku sehingga bertambah rumitlah perselisihan kedua kerajaan tersebut

yang pada akhirnya kerajaan bergabung dengan bangsa portugis untuk


menghancurkan kerajaan tidore namun kerajaan tidore pun tidak mau kalah dan

bekerja sama dengan bangsa spanyol yang pada akhirnya terjadi peperangna antara

keduanya dan kerajaan ternate di bantu oleh bangsa portugis sedangkan kerajan tidore

dibantu oleh bangsa spanyol.

Pada dasarnya pertentangan antara kedua kerajaan diatas sehingga para

kalangan mengambil kesimpulan bahwa konflik yang terjadi di Maluku utara

merupakan sebuah dendam lama yang tertanam di sanubari generasi kerajaan secara

turun temurun yang terjadi karna dua kerajaan yang pada dasarnya adalah bersaudara

ini, saling berebut wilayah kekuasaan atau memperluas wilayah kerajaan pada

akhirnya terjadi perang saudara antara kedua kerajaan tersebut sehingga

menimbulkan konflik yang berkepanjangan sampai sekarang.

Disisi lain terjadinya campur tangan kerajaan ternate dalam penetapan sultan

tidore sebagaimana digambarkan oleh Tulamo M.Amin Faroek ,Bahwa pihak Ternate

mencampuri pengangkatan sultan Patra Alam sebagai sultan tidore yang bukan

merupakan keturunan yang sah,sehingga melahirkan konflik ditubuh kesultanan

Tidore itu sendiri maupun antara kedua kerajaan.

b. Ambisi atas Irian Jaya

Keinginan kerajaan Ternate bukan saja ke pulau Halmahera, melainkan

sampai ke Irian Jaya sebagaimana semacam syair pantun yang di nyanikan leh rang-

rang Ternate yaitu :


Horu we, horu we

Ma Papua horu we

Hour daka se nig am

Ni gam jangie

Yang terjemahannya :

Berdayunglah, berdayunglah

Si ranbut keriting, berdayunglah

Berdayunglah ke negerimu

Negerimu indah permai (Abdul Hamid, 2001 : 186)

Syair ini mengandung kata pujian bahwa pulau Irian itu sangat indah dan

ingin memiliki wilayahnya dan mereka mencba merebut wilayah itu namun wilayah

itu dalam kekuasaan Tidore sehingga Ternate merebut wilayah Irian maka secara

tidak langsung akan memicu perselisihan dengan kerajaan Tidore, tapi pada akhirnya

Ternate mencoba merebut wilayah itu sehingga melahirkan pertentangan/pertikaian

antara kerajaan Ternate dengan kerajaan Tidore.

Sehubungan pernyataan tersebut didukung oleh seorang informan yang

mengatakan bahwa kerajaan ternate sangay menginginkan wilayah irian karena selain

pulau irian sangat indah, juga dapat memperluas wilayah dan dijadikan sebagai pusat

pertahanan untuk menyerang wilayah-wilayah disekitarnya. (Wawancara, Sahril

Tomagola, 15 April 2013)


c. Keturunan Jailolo Menyingkir ke Tidore

Sebagaimana telah dkemukakan sebelumnya bahwa ketika kerajaan jailolo

masi berpusat dipulau moti tapi karena adanya ekspansi wilayah oleh kerajaan ternate

maka kerajaan itu berpindah di jailolo, tetapi ternate pun melakukan ekspansi wilayah

ke halmahera, secara otomatis kerajaan jailolo pun akan terkena ekspansi itu sehingga

para keturunan jailolo menyingkir ke tidore dan bergabung dengan kerajaan tidore,

kemudian menyerang kerajaan ternate di tidore dengan alasan kerajaan ternate sangat

rakus dan ingin menguasai wilayah kekuasaan kakaknya sendiri yang pada saat itu di

pimpin oleh Dano Baba Hasan, namun dapat dipatahkan oleh ternate.

Dengan adanya kejadian tersebut, dengan sendirinya dendam dan sakit hati

terus berlanjut dan tidak ada jalan damai antara kedua kerajaan ini, sebagaimana

dikemukakan oleh salah seorang sangaji ditidore bahwa kerajaan ternate dan tidore

kemungkinan sudah ditakdirkan untuk berselisih, karena dilihat dari sejarah tidak

pernah bersatu secara baik dan kalau disatukansanganlah sulit sebab ibarat dua mata

uang yang sulit ditemukan, karena memiliki sifat secara turun menurun yang selalu

bertentangan, karena putra tidore sangat keras sedangkan ternate sangat manja dan

selalu memiliki apa saja yang ia inginkan.

4.1.3 Intevensi Bangsa Purtugis dalam Bidang Sosial dan Budaya

Berbagai fakor yang telah dikmukakan diatas, faktor sosial budaya paling

sedikit pengaruhnya karena kedua kerajaan tersebut jarang sekali melkukan hubungan
sosial karena sering terjadi persilisihan namun disis lain, dapat kita jabarkan hal-hal

yang menimbulkan pertikaian antara kedua karena putra tidore meminang putri sultan

ternate untuk dijadikan permaisuri ternate dalam hal ini menerima lamaran tersebut

demi meredakan pertentangan mereka, dan setelah melangsungkan pernikahan

diternate pasangan itu kembali ke tidore. Akan tetapi, setelah ditidore, sultan

menyatakan bahwa putri yang dinikahi itu tidak lagi perawan sehingga diputuskan

dihanyutkan dengan rakit. Saat mendengar kejadian itu maka pihak ternate

menyerang tidore sehingga timbul perang yang tidak berkesudahan. (Abdul Hamid,

2001 : 185)

Seiring dengan hal yang diatas maka salah seorang informan mengatakan

bahwa dengan terjadinya kejadian itu sehingga sultan ternate pun berjanji kepada

keturunannya dan menyumpah mereka tidak boleh hubungan perkawinan dengan

tidore sampai akhir zaman. Hingga sekarang kalau selaku warga kesultanan ternate

yang menaatinya (Ternate asli) maka mereka tidak akan mengadakan hubungan

perkawinan denga tidore karena mereka meyakini bahwa akan terjadi penderitaan

sengsara dalam rumah tangga mereka. (Wawancara, Idham Muhammad, 16 2013)

4.1.4 Intevensi Bangsa Purtugis dalam Ekonomi

Dari faktor ekonomi inilah yang melahirkan pertikaian yang tidak

berkesudahan, mengapa demikian karena ekonomi inilah sehingga kerajaan ternate

dan tidore ingin memperluas wilayahnya, terutama setelah masuknya bangsa barat ke
maluku dan mulai melakukan ekspansi maka kedua kerajaan tersebut melakukan

hegemoni dan bejerja sama dengan bangsa barat untuk merebut wilayah penghasil

cengkeh dan pala serta lumbung ladang dipulau halmahera.

Sebagaimana dikemukakan oleh seorang informan yang mengatakan bahwa

faktor yang sangan besar pengaruhnya sehingga terjadinya persilisihan antara

kerajaan tidore dan terate tidak lain melainkan masalah ekonomi, karena dengan

itulah sehingga mereka ingin mencari prestisenya atau selalu ingin tampil kedepan.

(Drs. Tamrin Abdullah. 17 April 3013).

Menrut Tokoh Masyrakat Pada hakekatnya kedua Kerajaan di atas

merupakan Kerajaan kaka ber adik namun begitulah nafsu membara maka terjadilah

permusuhan yang menjadi dalang dari semua ini adalah bangsa barat itu sendiri

(Portugis), di mana mereka ingin merampas semua hasil alam yayang ada di Maluku

Utara yaitu Kerajaan Tidore dan Kerajaan Ternate.(Wawnacara Usaman Altnig 11

April 2013)

Anda mungkin juga menyukai