Anda di halaman 1dari 3

1.

Sejarah Sosial Lombok


a. Geografis
Pulau Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara
yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat dan Selat Alas di
sebelah timur dari Sumbawa. Pulau Lombok memiliki iklim tropis dengan
temperatur berkisar antara 19 C-35 C. Selat Lombok menandai batas flora dan
fauna Asia. Mulai dari Pulau Lombok ke arah timur, flora dan fauna lebih
menunjukkan kemiripan dengan flora dan fauna yang dijumpai di Australia
daripada Asia, yang dikenal dengan Garis Wallace. Topografi pulau Lombok
didominasi oleh gunung berapi Rinjani yang ketinggiannya mencapai 3.726 meter
di atas permukaan laut.
b. Penduduk
Secara demografis, sekitar 80% penduduk Pulau Lombok beretnis suku Sasak,
kemudian yang relatif banyak datang dari suku Bali sekitar 15%. Penduduk asli
yang mendiami Pulau Lombok disebut suku Sasak. Istilah “sasak” berasal dari
Bahasa Sansakerta, yakni “sahsaka”, terdiri dari kata “sah” artinya pergi, “saka”
artinya asal, sehingga “sahsaka” diartikan pergi meninggalkan tanah asal dan
menggunakan rakit sebagai kendaraan, kemudian berdiam di Lombok, sehingga
Lombok dikenal dengan nama Gumi Sasak atau Pulau Sasak. Suku Sasak telah
mendiami Pulau Lombok sejak ribuan tahun lalu dan tersebar di seluruh wilayah
Pulau Lombok, seperti Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok
Utara, dan Kota Mataram.
c. Sistem Sosial dan Ekonomi
Sebelum datangnya orang Bali secara berkelompok dan bertahap di bagian
barat Lombok, sudah ada bentuk pelapisan sosial masyarakat pada setiap desa,
yaitu perwangsa, kawulabala dan panjak atau buruh tani. . Stratifikasi sosial
masyarakat Sasak di desa masing-masing, menentukan hak kepemilikan atau
pengolahan atas tanah desa secara perorangan dan kolektif.
Setelah Kerajaan Mataram-Karangasem berhasil menguasai Lombok secara
penuh, hak masyarakat desa dan para anggotanya bebas menggunakan tanah yang
tak diolah di dalam daerah pemilikan desa telah ditarik menjadi hak raja. Ini
berarti para petani yang ingin mengolah tanah yang belum diolah harus
memperoleh izin dari raja. Untuk tanah yang diolah, ada dua kategori utama,
yakni tanah druwe dalem dan tanah druwe jabe. Tanah druwe dalem adalah tanah-
tanah yang dikuasai oleh raja secara langsung, dengan kekuasaan di dalam
(dalem) istana. Sedangkan Tanah druwe jabe merupakan tanah yang tidak dikuasai
secara langsung oleh raja, tetapi oleh orang-orang di luar istana.
Sebelum migrasi besar-besaran orang Bali ke Lombok, kondisi dan keadaan
Lombok merupakan daerah persawahan dan menjadi lumbung padi atau gudang
beras di daerah Nusa Tenggara, bahkan beras Lombok termasuk beras terbaik
dunia pada zaman itu. Masyarakat Sasak dan orang-orang Bali yang menetap di
Lombok merupakan para petani yang giat dalam mengolah sawah. Masyarakat
Sasak sebagian besar menjadi petani, sedangkan sebagiannya bertempat tinggal di
pesisir pantai bekerja sebagai nelayan, dan sebagian kecil lagi bekerja sebagai
pedagang. Perdagangan dalam masyarakat Lombok dilakukan dalam sistem
ekonomi yang tertutup dalam arti berlangsung di kalangan internal mereka.
Masyarakat Sasak sejak zaman Kerajaan Selaparang dan dilanjutkan dengan
Kerajaan Pejanggik, penghidupan penduduk Lombok melalui pertanian, begitu
juga masa berkuasanya keturunan raja Karangasem Bali di sebagian Lombok,
terutama daerah Lombok Barat. Menurut catatan pemerintah kolonial Belanda,
pada masa kekuasaan Bali antara tahun 1870-1940, hasil perdagangan baik ekspor
maupun impor yang menjadi penghasilan Raja Mataram Karangasem tercatat
tahun 1890 menjelang perlawanan besar-besaran dari Sasak Timur berjumlah
50.650 rijksdaalder (ringgit) setahun.
Potensi alam bumi Lombok yang paling besar pengaruhnya terhadap kondisi
sosial-ekonomi dan nasib masyarakat Sasak adalah pertanian dengan basis
produksinya tanah, yang tidak saja sangat subur sebagai lahan pertanian, tetapi
juga sangat potensial untuk perkebunan dan peternakan. Sistem sosial dan
ekonomi masyarakat Lombok secara umum dikategorikan ke dalam masyarakat
tradisional dan perdagangan.
1) Masyarakat tradisional
Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Lombok akhir abad ke-19
masih berpola pada tatanan kehidupan masyarakat tradisional, artinya
unsurunsur pengaruh kebudayaan luar belum tampak. Secara umum corak
kehidupan masyarakat tradisional Lombok dapat digolongkan dalam dua tipe,
28 yaitu masyarakat agraris dan masyarakat pesisir atau pantai. Masyarakat
pedesaan Lombok sebagai masyarakat agraris telah memiliki sistem irigasi
yang dikenal dengan sistem subak. Organisasi subak bertugas mengatur
perairan sawah dan memiliki peraturan sendiri, baik tertulis maupun tidak
tertulis disebut awig-awig subak atau sima.
Komunitas desa sebagai satu unit dari masyarakat mempunyai ikatan
emosional sosial yang kuat. Setiap warga masyarakat tunduk pada awik-awik
yang berlaku, baik menyangkut masalah adat istiadat atau tradisi-tradisi, hal
ini tampak dalam sistem beriuq tinjal atau ngayahang desa (gotong royong).
Seorang kepala desa dan aparaturnya memegang peranan penting,
segala hal menyangkut kesejahteraan maupun keamanan desa diurus oleh
kepala desa dibantu keliang (kepala dusun), sedangkan kas desa didapatkan
dari hasil pajeg tanah disebut tigasana carik. Tigasana carik terdiri dari pajeg
dan suwinih. Pajeg merupakan upeti yang telah ditetapkan dari hasil bruto dan
diambil dari hasil panen pertama, dihitung atas kesatuan produksi tanah
disebut tenah winih. Kesatuan ini merupakan satu bidang tanah sawah pada
panen yang baik menghasilkan 50 ikat padi. Penentuan besarnya tenah winih
ditetapkan oleh sedahan tembuku dengan persetujuan keliang subak dan
anggota subak. Sementara itu, suwinih merupakan pajeg atas dasar ketentuan
banyaknya winih yaitu benih padi dan tiap pembayaran pajeg dicatat di atas
pipil yaitu catatan hak milik tanah yang ditulis di atas lontar memakai bahasa
dan huruf kawi.
2) Perdagangan
Sejak permulaan abad ke-19 perdagangan di Lombok makin ramai,
antara Lombok, Bali, dan Batavia. Beberapa kapal dari Lombok membawa
muatan berupa beras, gula, asam, minyak kelapa, pinang, malam, kayu, garam,
itik untuk diangkut ke Batavia, sebaliknya dari Batavia kapal barang-barang
dikirim ke Bali dan Lombok, seperti barang-barang pecah-belah porselin, kain,
besi tua, obat-obatan, ikan asin, benda tembaga, dan barang-barang dari negeri
Cina, seperti menyan dan ketumbar. Perdagangan hasil bumi pada abad
tersebut di Bali dan Lombok masih dijumpai aktivitas perdagangan budak
yang berakhir pada permulaan abad ke-20.
Sekitar tahun 1845 telah disebutkan salah satu jalur perdagangan di
Lombok, yakni Pelabuhan Pijot. Menurut Zollinger dalam Parimartha (2016)
bahwa Pelabuhan Pijot merupakan tempat yang baik setiap musim untuk
kapal-kapal berlabuh, airnya cukup dalam, sehingga kapal-kapal besar dapat
berlabuh. Saat itu, Lombok Timur lebih memungkinkan sebagai pusat
perdagangan dengan memiliki lima pelabuhan alam, yaitu Padangrea, Sugian,
Labuhan Lombok, Labuhan Aji (Labuhan Haji) dan Pijot. Tempat-tempat ini
menjadi persinggahan kapal-kapal dan perahu-perahu yang berlayar dari
wilayah timur, seperti Makassar, Sumba, Ende, Bima, Sumbawa, dan pulau-
pulau kecil di Nusa Tenggara, sedangkan dari wilayah barat, seperti Batavia,
Surabaya, Madura, dan Bali (Parimartha, 2016).
Peranan orang Cina dan Arab dalam hubungannya dengan
perkembangan perdagangan di Lombok sangat penting. Kontak perdagangan
masyarakat pantai dengan masyarakat pedesaan melalui perantara orang-orang
Cina dan Arab. Dampaknya masyarakat dapat menerima ide-ide baru dalam
perdagangan dan menjadi kebiasaan masyarakat desa di Lombok Timur, setiap
keluarga mengerjakan produksi kerajinan sebagai pengisi waktu luang seusai
mengerjakan lahan pertanian, seperti anyaman bambu, menganyam tikar,
nyesek (menenun), membuat gerabah, dan kerajinan lainnya sebagai home
industry. Setelah timbul kontak perdagangan dengan pedagang asing terutama
pedagang Cina, timbul usaha untuk meluaskan industri keluarga serta mencari
tempat pemasaran hasil industrinya, sedangkan dalam bidang permodalan,
masyarakat mengenal sistem panjar (uang muka) didapat dari pedagang Cina,
dengan demikian sistem permodalan dalam jumlah kecil sudah diterapkan.

Anda mungkin juga menyukai