Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

BUDAYA MELAYU RIAU


D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Kelompok 1
AULIA SAFITRI
CAHYA NABILA RAHMANI
IKA YUSNITA
INDRI MUMFIATI NIKMAH
MONA RAMADHANI
NURAINI
ROSMANITA
VIRNA ADELIA HERNI
FUNGSI ALAM DALAM BUDAYA MELAYU DI RIAU
Masalah lingkungan hidup dapat muncul karena adanya pemanfaatan Sumber Daya Alam dan
lingkungan yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan hidup.
Berbagai benturan dan konflik kepentingan ini menimbulkan berbagai beban lingkungan yang akan
yang berakibat kerusakan seperti pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran udara, krisis
keanekaragaman hayati, kerusakan hutan, kekeringan dan krisis air bersih, banjir, lumpur,
pemanasan global dan lain-lain.

A.Ruang Hidup Sesama Makhluk (Lebensraum)


1.Kondisi Geografis Provinsi Riau
Pada dasarnya, kondisi alam memiliki peranan penting dalam membentuk suatu kebudayaan
manusia. Luas wilayah Provinsi Riau meski telah berkurang menjadi 101.000 km², wilayah Riau ini
masih tergolong relatif luas dan sebagian besar hingga 95,79% terdiri atas perairan. Sedangkan iklim
yang yang menyelimuti Riau identik dengan daerah tropis bertemperatur terendah 23°C dan
tertinggi 30°C. Kelembaban udaranya sekitar 88°, sedangkan curah hujannya rata-rata 2.000
milimeter per tahun. Selain itu, kandungan Tanah di Riau pada umumnya berisi bebatuan pra tersier
yang berupa metamor dengan sendimen yang terbatas. Jenis tanahnya pada umumnya terdiri
podsol, podsolik, atas organosol dan clay, humik, lotosol, dan Jatosol yang mengandung granit.
Dengan jenis tanah yang dimiliknya, Kepulauan Riau kurang cocok untuk budidaya tanaman pangan
dan tanaman komoditas seperti karet dan kelapa sawit, kecuali menggunakan teknologi modern
yang tentunya membutuhkan modal yang cukup besar. Oleh sebab itu, masyarakat Riau memenuhi
kebutuhan pangannya dengan cara membeli dari luar kepulauan Riau. Pada umumnya kondisi alam
yang dihuni oleh masyarakat Melayu Riau secara administrasi berada daratan dan Riau Kepulauan.

a. Daerah Riau Daratan


Pada umumnya Riau daratan bisa diterjemahkan sebagai tanah rendah dan bukit-bukit yang
terdapat dekat perbatasan dengan daerah Sumatra Barat dan Tapanuli, yaitu kaki Bukit
Barisan. Daerah yang tertinggi 1.019 meter dari permukaan laut. Daerah Riau daratan
sebagian besar terdiri dari hutan-hutan, hutan primer dan hutan sekunder serta terdapat
rawa-rawa, bencah-bencah, tasik-tasik, danau-danau, serta pantai yang landai.
b. Daerah Riau Kepulauan
Daerah Riau kepulauan terdiri dari gugusan-gugusan pulau-pulau dekat perairan Malaysia
dan menjorok masuk ke Laut Cina Selatan dan dekat dengan pantai Kalimantan Barat dengan
jumlah 513 pulau. Gugusan pulau pulau itu terdiri atas gugusan pulau Bintan, gugusan pulau
Lingga, gugusan pulau Serasan, gugusan pulau Tambelan, gugusan pulau Tujuh, gugusan
pulau Bunguran, gugusan pulau Natuna, dan gugusan pulau Karimun.

Masyarakat Kepulauan Riau mengenal musim kemarau dan penghujan sebagaimana yang dikenal
oleh masyarakat tropis pada umumnya, namun mereka juga mengenal adanya musim berdasarkan
arah angin. Sejarah Indonesia mencatat bahwa Selat Malaka sebagai daerah strategis perdagangan
internasional, bahkan pernah menjadi salah satu pusat Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika masyarakat Melayu Riau memiliki kepercayaan animisme terhadap
mitos, hantu- hantu, serta larang pantang yang berkaitan dengan kelautan selain hukum Islam.
2.Sistem Kemasyarakatan dalam Ruang Hidup Melayu Riau
Sejarah Indonesia mencatat bahwa Selat Malaka sebagai daerah strategis perdagangan
internasional, bahkan pernah menjadi salah satu pusat Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika masyarakat Melayu Riau memiliki kepercayaan animisme terhadap
mitos, hantu- hantu, serta larang pantang yang berkaitan dengan kelautan selain hukum Islam.
Selain itu, mereka pun mampu menandai waktu dan ruang di tengah lautan meski tanpa jam dan
kompas, serta bahasa mereka yang me-nusantara. Selain itu, mereka pun mampu menandai waktu
dan ruang di tengah lautan meski tanpa jam dan kompas, serta bahasa mereka yang me-nusantara.

a. Pimpinan dalam kesatuan hidup setempat

Pada mulanya struktur kesatuan hidup setempat berdasarkan kesukuan, maka pemimpin adalah
kepala suku atau kepala hinduk. Namun demikian terdapat bermacam-macam sebutan untuk
pimpinan dalam kesatuan hidup setempat. Gelar kepala suku atau kepala hinduk tersebut adalah
Datuk dan Penghulu (atau juga disebut batin, tua-tua, jenang, dan monti).

b. Hubungan sosial dalam kesatuan hidup setempat

Kerukunan merupakan ciri khas dari masyarakat kampung tersebut, sehingga penduduk kampung
saling mengenal satu sama lain dan memiliki rasa keterikatan antara satu sama lainnya masih kuat.
Menghindarkan hal-hal dapat menimbulkan aib dan malu bisa sebagai faktor pendorong untuk terus
berbuat dan bersikap baik terhadap sesamanya. Perasaan yang demikian lebih kuat dibandingkan
dengan perasaan berdosa. Segala tindakan harus dijaga supaya tidak menimbulkan "sumbang mata",
"sumbang telinga", dan "sumbang adab".

c. Stratifikasi Sosial dan Perubahannya

Masyarakat Melayu di daerah pada dasarnya terdiri atas golongan asli dan golongan penguasa,
Sebelum adanya Kesultanan Siak Sri Inderapura, kepala-kepala suku yang menguasai hutan tanah
secara "territorial" bernaung di bawah Kerajaan Johor. Setelah tersingkir dari tahta Kerajaan Johor,
Raja Kecil meninggalkan Johor dan pada akhirnya mendirikan Kesultanan Siák Sri Inderapura pada
tahun 1723 yang terletak di sungai Siak. Rajanya bergelar Sultan Abdul Jalil. Oleh karenanya,
terjadilah pembagian golongan dalam masyarakat Melayu yang pada dasarnya terdiri atas golongan
asli dan golongan penguasa (bangsawan kesultanan). Tingkatan- tingkatan sosial tersebut adalah
sebagai berikut.

1) Tingkat teratas diisi oleh Sultan/Raja/Ratu dan Permaisuri.

2) Tingkat kedua diisi oleh para keturunan Raja (anak Raja-raja).

3) Tingkat ketiga diisi oleh orang baik-baik terdiri dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku
lainnya beserta keturunannya.

4) Tingkat keempat diisi oleh orang kebanyakan atau rakyat umum sebagai tingkatan terbawah.

Di masa sekarang ketentuan-ketentuan adat tersebut sudah tidak lagi mengikat dan sudah
disesuaikan dengan alam demokrasi sekarang, sehingga perbedaan golongan tingkat tidak kelihatan
lagi dalam pergaulan karena lebih mengutamakan kepribadian, kedudukan, dan keadaan materiel
seseorang menurut ukuran sekarang. Misalnya dalam upacara adat masa kini, yang dianggap tinggi
adalah pejabat pemerintah menurut kedudukan, alam demokrasi sekarang, tidak lagi seorang Datuk
atau Tengku.
3.Tugas dan Fungsi dari Struktur Kemasyarakatan dalam Kebudayaan Melayu
Riau
Beberapa tugas dan fungsi struktur kemasyarakatan masyarakat Melayu di beberapa daerah
Riau diantaranya sebagai berikut.

a. Kampar (kenegrian)
Kabupaten Kampar dikenal dengan istilah kenegrian karenba memiliki bentuk struktur
kemasyarakatan yang merupakan gabungan dari persukuan. Kabupaten ini memiliki bentuk
struktur kemasyarakatan yang beragam termasuk pada identifikasi tugas dan fungsinya.
Sebagai sebuah kumpulan dari persukuan, maka dalam kenegerian adalah para ketua suku.
1)Pucuk tertinggi Kenegrian Kampar
yang duduk Struktur adat dalam setiap kenegrian berbeda-beda, sesuai dengan suku
yang ada dalam negeri tersebut. Jabatan-jabatan yang ada di Kenegrian Kampar adalah
Suku Domo dan Suku Pitopang. Suku Domo (domo tua) memiliki gelar Datuk
Temenggung. Tugasnya adalah mengurus keluar dan kedalam wilayah persukuan serta
bertanggung jawab penuh terhadap kesukuan sebagai pucuk pimpinan tertinggi.
Sedangkan Suku Pitopang memiliki gelar Datuk Manjo Bosau yang tugasnya hanya ke
dalam persukuan (jika dalam sistem pemerintahan RI setara dengan SEKDA). Suku Domo
dan Suku Pitopang dibantu oleh orang-orang sebagal berikut

a) Suku Domo (mudo) bergelar Datuk Bijanso.


b) Suku Melayu (tua) bergelar Datuk Baduku Tua.
c) Suku Melayu (muda) bergelar Datuk Marajo Bosau.
d) Suku Piliang bergelar Datuk Tiawan.
e) Suku Kampai bergelar Datuk Paduko.
f) Suku Bendang bergelar Datuk Somak Dirajo.

2) Suku

Setiap suku memiliki struktur sebagai berikut.

a) Penghulu sebagai pucuk tertinggi dalam suku.


b) Tungkek sebagai wakil penghulu.
c) Tuo Kampung sebagai yang mengurus sosial masyarakat.
d) Malin kebesaran sebagai yang mengurus masalah agama.
e) Dubalang sebagai keamanan.
f) Siompu sebagai yang mengurus masalah perempuan.
b. Kuantan dan Singingi
1) Koto-koto di Kuantan
Koto-koto di Kuantan diklasifikasikan menurut aliran Batang Kuantan (Sungai Indragiri) dan
kawasan daratan sebagai berikut.
a) Empat koto yang berkedudukan di Lubuk Ambacang dengan pemimpinnya disebut
Datuk Patih.
b) Limo koto di tongah yang berkedudukan di Kari dengan pemimpinnya yang disebut Datuk
Lelo Budi.
c) Empat koto di hilir berkedudukan di Inuman yang dipimpin oleh Datuk Temenggung;
d) Empat koto di gunung yang dipimpin oleh Datuk Bendaro;
e) Satu koto di Lubuk Ramo yang dipimpin oleh Datuk Timbang Tali;
f) Satu koto di Logas Tanah Darek berkedudukan di Logas Tanah Darat yang dipimpin oleh
Datuk Rajo Ruhum.
g) Satu koto di Pangean berkedudukan di Desa Koto Tinggi Pengean yang dipimpin oleh
Penghulu nan Barompek.

2) Koto-koto di Singingi

Di kawasan ini diklasifikasikan menjadi Raja Adat dari Pagaruyung dan Rajo Ibadat dari
Semanjung Melayu (Malaysia). Mereka berdua juga disebut sebagai Datuk Nan
Beduo/Urang Godang Antau. Mereka bertugas dan berfungsi sebagai pelaksana roda
pemerintahan, mengatur kehidupan masyarakat sebagai pihak terkelola. Pada dasarnya,
pekerjaan mereka pada urusan adat dibantu oleh tujuh datuk. Sehingga seluruh datuk yang
menjalankan roda pemerintahan dan adat berjumlah sembilan orang sehingga dikenal
sebagai Datuk yang Sembilan. Tujuh datuk berkedudukan di koto-koto Tanjung Pauh (utara)
dan Logas (selatan) adalah sebagai berikut.

a) Datuk Bendaro Kali


b) Datuk Mangkuto Sinaro
c) Datuk Sinaro Nan Putiah
d) Datuk Besar
e) Datuk Maharajo Garang
f) Datuk Nyato
g) Datuk Jalelo

c.Kesultanan Siak Sri Inderapura

Siak dalam anggapan Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam. Dalam khasanah
bahasa Sanskerta, "sri"memiliki arti bercahaya dan "indera" bermakna raja sedangkan
"pura" bermakna kota atau kerajaan. Secara harfiah Siak Sri Inderapura memiliki makna
sebagai pusat kota raja yang taat beragama. Kesultanan Siak Inderapura memiliki kawasan
lebih luas dibanding kerajaan-kerajaan yang pernah ada di kawasan Melayu Riau. Kesultanan
Siak Sri Inderapura pernah menguasai daerah-daerah di Sumatra bagian utara dan
Kalimantan bagian barat hingga pertengahan abad ke-19. Kerajaan ini meninggalkan
pengaruh yang amat besar pada wilayah Provinsi Riau di masa sekarang seperti Kota
Pekanbaru, Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Meranti, Kabupaten Rokan Hilir,
dan Kabupaten Siak. Bahkan sebagian daerah Palalawan dan Kampar pernah berada dalam
kawasan Kesultanan Siak. Sedangkan dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di
Kesultanan Siak, akan diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan
Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Negeri Siak beserta anggotanya. Salah satu kitab
hukum di Negeri Siak bernama Bab Al-Qawaid yang menguraikan hukum yang dikenakan
kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lainnya yang terlibat dalam perkara Melayu.

Dalam melaksanakan pemerintahan, Raja Kecil dibantu penasehat sultari sebagai berikut.

1. Datuk Lima Puluh bergelar Sri Bijuangsa.


2. Datuk Tanah Datar bergelar Sri Pekerma Raja.
3. Datuk pesisir bergelar Maharaja Ketuangsa.
4. Datuk Laksmana Raja Dilaut.
Pembesar kerajaan lain yang membantu sultan adalah Panglima perang, Datuk Himba
Raja, Datuk Bentara Kiri, Datuk Bentara Kanan, dan Datuk Bendahara. Guna
berhubungan secara langsung dengan masyarakat, di setiap daerah dibagi- bagi menjadi
kepala suku dengan gelar sebagai berikut.

1) Penghulu Khusus penghulu, tidak memiliki tanah ulayat yang dalam pekerjaan
dibantu oleh sebagai berikut.
a. Sangko panghulu atau wakil penghulu.
b. Malin penghulu, pembantu urusan kepercayaan atau agama.
c. Lelo penghulu, pembantu urusan adat sekaligus berfungsi sebagai
Auereqnny

2) Batin
Adapun batin dibantu oleh sebagai berikut.
a. Tongkat, urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban terhadap
sultan.
b. Monti, pembantu batin urusan adat.
c. Antan-antan, pembantu batin yang sewaktu-waktu dapat dapat
mewakili tongkat atau monti jika keduanya berhalangan.

Pada masa pemerintaha Raja Kecil, terdapat sepuluh perbatinan dan empat penghulu telah
terwujud saat mengembangkan kawasan tersebut menjadi Kesultanan Siak. Perbatinan dan
kepenghuluan itu adalah Perbatinan Gasip, Perbatinan Senapelan, Perbatinan Sejalen,
Perbatinan Perawang, Perbatinan Sakai, Perbatinan Petalang, Perbatinan Tebing Tinggi,
Perbatinan Senggoro, Perbatinan Merbau, Perbatinan Rangsang. Penghulu Siak Kecil, dan
Perbatinan Siak Besar.

B. Budaya: Simbol Marwah, Sumber Pengetahuan dan Dinan Budaya


("Alam Terkembang Jadi Guru"), dan Sumber Nafkah
1. Seni Budaya Melayu di Riau
Berdasarkan bentuk dan proses penciptaannya, seni budaya Melayu di Riau dapat dikelompokkan ke
dalam seni-seni tradisional dan seni- seni modern. Dalam bentuk menerapkan, seni-seni tradisional
hadir bersahaja, merespon lokalitas lingkungan , dan memenuhi keperluan-keperluan praksis
komunitas subsistem serta perdagangan terbatas yang menjadi ciri utama masyarakat Riau masa
silam. Keterbukaan wilayah Riau terhadap dunia luar menyebabkan masyarakat mengalami interaksi
yang relatif intensif dengan orang-orang dan gejala-gejala kebudayaan luar. Intensitas interaksi
dengan gejala dari dunia luar tersebut mengakibatkan perubahan dan dinamika internal yang lebih
rancak (cepat) secara sosial-kultural pada masyarakat Melayu di rantau yang pada gilirannya
mempengaruhi pula perubahan bentuk, struktur, dan kuantitas kosa (vocabulaire) seni tradisional
Melayu tersebut.

Dengan demikian, perkembangan bentuk dan struktur yang timbul akibat interaksi sosial-budaya
dengan dunia luar adalah hal lazim dalam setiap sejarah kesenian Riau. Karena kesenian tradisional
identik dengan produk kolektif masyarakat dan berakar tunjang pada masyarakat yang
menghasilkannya, maka perubahan-perubahan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat
pendukungnya akan menyebabkan bentuk dan struktur luaran kesenian tersebut juga berkembang
dari waktu ke waktu.

2. Kondisi dan Potensi Budaya Melayu di Riau


Kebudayaan Melayu memiliki nilai keterbukaan, kemajemukan, persebatian, tenggang rasa,
kegotongroyongan, senasib-sepenanggungan, malu, bertanggung jawab, adil dan benar, berani dan
tabah, arif dan bijaksana, musyawarah dan mufakat, memanfaatkan waktu, berpandangan jauh ke
depan, rajin dan tekun, nilai amanah, limu pengetahuan, Takwa kepada Tuhan, dan lain-lain. Oleh
sebab itu, dengan masuknya pengaruh kebudayaan barat ke dalam masyarakat Melayu, maka
kebudayan Melayu diperkaya sepanjang memenuhi ketentuan dari kebudayaan Melayu itu. Namun,
dari unsur kebudayaan barat sangat bertentangan dengan jati diri mereka sehingga perlu melakukan
penyaringan terhadap budaya yang masuk.

Dengan demikian, nilai-nilai persebatian (persatuan dan kesatuan) menjadi asas kerukunan hidup
antar sesama anggota masyarakat tanpa memandang asal-usulnya. Ungkapan yang sering didengar
yaitu: "bersatu kita teguh bercerai kita rubuh, ke bukit. sama mendaki dan ke lurah sama menurun,
berat sama dipikul ringan sama dijinjing dan lain-lain. Selain itu nilai senasib sepenanggungan. Nilai
ini mengutamakan kebersamaan, rasa kasih mengasihi, saling tenggang rasa. Terkenal ungkapan:
"setikar sebantal tidur, sepiring-sepinggan makan, seanak sekemanakan, senendk semamak, seadat
dan sepusaka" atau dikatakan: "makan tidak menghabiskan, mi tidak mengeringkan, dan lain-lain".
Kondisi ini terlihat dengan terjalinnya hubungan persahabatangan dan kekeluargaan antara berbagai
etnik di Nusantara yang memperkuat satu sama lain, misalnya perkawinan antara Melayu dengan
Mataram pada abad 10 M atau pernikahan antara putri Melayu dengan bangsawan Singosari pada
abad 13 M. Dari perkawinan tersebut melahirkan seorang pemimpin Majapahit dan seterusnya
menjadi raja Minangkabau yaitu Adityawarman.

Namun di masa sekarang. Budaya Melayu justru semakin mengkhawatirkan karena makin
berkembangnya berbagai stereotip yang sangat merugikan dan bahkan memberi dampak negatif
yang merugikan kepada pendukung budaya Melayu itu. oleh sebab itu, era reformasi seharusnya
berkembang dengan peluang kepada daerah terutama sejak diterapkannya UU tentang otonomi.
Dari sejak penerapan UU itu, daerah Riau kembali kepada jati diri sebagai pendukung budaya Melayu
untuk menjadikan budaya Melayu sebagai roh pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan.

C. Hubungan Manusia dan Alam Dalam Budaya Melayu di Riau


hubungan manusia Melayu itu dengan alam disebut interaktif dialogis atau hubungan dialog dengan
alam. Orang melayu membaca lingkungan alamnya itu, membaca alam sekitar kemudian
mengekplorasinya , menjelajahinya, menelisiknya serta mengakrabinya kemudian alam sekitar
diposisikan sebagai subjek bukan objek. “Sebagai sosok kawan berbagi, suatu budaya yang bersifat
ekologikal determinisme.

kebudayaan Melayu mengkespresikan hubungan lingkungan itu dalam dua sikap. Pertama ada yang
dinamakan kepatuhan referensial, kebudayaan Melayu itu dalam satu pola bergerak mengikuti gerak
ekologis. Dalam hal itu, dicontohkannya, ada sejumlah bentuk ekspresi budaya itu menampilkan
penerimaan alam semesta sebagaimana adanya, ditafsirkan dalam semangat kepatuhan yang
dihidangkan dalam berbagai upacara ritual seperti semah laut, tolak bala dan lain-lain. “Ritual-ritual
seperti itu salah satu contoh yang menunjukkan kepatuhan referensial manusia kepada gerak alam
sekitarnya.

Inilah kita sebut alam terkembang menjadi guru. Alam berfungsi sebagai guru. Berbagi pengalaman
atau dialog itu tadi. Kreasi-kreasi dan ekpresi budaya bersumber dari nilai-nilai yang dibentuk
melalui keakraban dengan alam itu. Misalnya, ada ekspresi budaya yang memperlihatkan hubungan
harmonis manusia dan komuntias Melayu itu dengan lingkungannya. Jadi, antara manusia dengan
alam itu berbagi berkah, Jadi, ekologi alam sekitar dan ekspresi budaya serta nilai-nilainya jika
dianalogikan ibarat hubungan sarang dan burung, antara tanah dan tumbuh-tumbuhan, air dan ikan,
adanya penyatuan

Keraifan Lokal Menjaga Hutan dan Lahan

Dinamika kebudayaan Melayu itu di mana lingkungan ruang hidup itu mempengaruhi kebudayaan
Melayu yang berarti, berkembang atau terhambatnya perkembangan budaya Melayu itu bergantung
kepada lingkungan baik lingkungan fisik, lingkungan biologis, flora, fauna dan lingkungan sosial.

Makanya banyak sekali tunjuk ajar, petuah tetua dahulu terkait dengan larangan anak cucu untuk
merusak hutan, tahu mana hutan yang boleh ditebang, mana yang kawasan larangan. Pedoman-
pedoman tentang penggunaan hutan ditetapkan dengan teliti. Tentang menebang pohon diuraikan
apa yang boleh ditebang, seberapa banyak, dan apa yang pantang ditebang.

Tebang tidak merusakkan

Tebang tidak membinasakan

Tebang tidak menghabiskan

Tebang menutup aib malu

Tebang membuat rumah tangga

Membuat balai dengan istana

Membuat madrasah dengan alatnya.


Tentang pantangan dalam menebang dikatakan:

Pantang menebang kayu tunggal

Pantang menebang kayu berbunga

Pantang menebang kayu berbuah

Pantang menebang kayu seminai

Pantang menebang induk gaharu

Pantang menebang induk kemenyan

Pantang menebang induk damar

Kalau menebang berhingga-hingga

Tengoklah kayu di rimba

Ada yang besar ada yang kecil

Ada yang lurus ada yang bengkok

Ada yang berpilin memanjat kawan

Ada yang dihimpit oleh kayu lain

Ada yang licin ada yang berbongkol

Ada yang tegak ada yang condong


Ada yang hidup ada yang mati

Ada yang berduri ada yang tidak

Ada yang bergetah ada yang tidak

Ada yang berbuah ada yang tidak

Beragam-ragam kayu di rimba

Beragam pula hidup manusia

D.Bentuk-Bentuk Kearifan Lokal Melayu Riau Dalam Pemanfaatn


alam

Budaya Melayu dengan sangat tegas dan jelas menata ruang. Tata ruang dalam budaya
Melayu itu jelas. Pembagian ruang menurut orang melayu :

1. Tanah kampung, yaitu berarti tempat rumah tegak berjajar, tempat masyarakat dan
membuat perkampungan dan negerinya. Ungkapan adat mengatakan :

Yang disebut tanah kampung Di situ anak dipinak

Tempat koto didirikan Disitu helat dengan jamu

Tempat rumah ditegakkan Yang disebut tanah kampung


Rumah besar berumah kecil Tempat berkampung orang ramai

Rumah berpagar puding puding Tempat berkumpul sanak saudara

Rumah elok berhalaman luas Tempat berhimpun dagang lalu

Di sana rumah dicacak Tempat berundi bermufakat

Di sana darah tertumpah Tempat beradat berpusaka

Di sana adat ditegakkan Tempat gelanggang didirikan

Di sana lembaga didirikan Yang disebut tanah kampung

Di situ ico pakaian dikekalkan Berkeliling tanah dusunnya

Di situ pendam pekuburan Berkeliling tanah ladangnya

Di situ rumah diatur Berkeliling rimba larangannya

Di situ pusaka turun Tanah bertentu pemakaiannya

Di situ tuan naik Tanah bertentu letak gunanya

Di situ harta bersalinan

Kampung yang dibuat bukanlah kampung sembarangan. Tetapi ditentukan pula oleh adat
penataannya. Sebagaimana dalam ungkapan adatnya :
Apa tanda kampung halaman Rumah induk ada penanggahnya

Kampung ada susun aturnya Disusun letak dengan tempatnya

Rumah tegak menurut adat Ditentukan jalan orang lalu

Rumah bertiang bersusun anak Ditentukan tepian tempat mandinya

Rumah berselasar berumah induk Ditentukan adat dan pusakanya

2. Tanah dusun, yaitu tanah yang diperuntukkan bagi kebun tanaman keras, yang nantinya
dicadangkan pula untuk perluasan atau penambahan area perkampungan. Ungkapan adat
mengatakan :

Kampung ada dusunnya Mempelam bersabung buah

Dusun tua dan dusun muda Buah pauh bertindih tangkai

Tempat tumbuh tanaman keras Buah rambai masak berayun

Apalah tanda tanah dusun Buah durian masak bergantung

Jalin berjalin batang pinang Buah cempedak berlumut batang

Menghitam masaknya manggis Buah macang mematah dahan

Memutih bunga buah keras

3. Tanah Peladangan, yaitu tanah yang disediakan sebagai tempat berladang. Menurut adat
dalam kawasan itulah mereka berladang berpindah-pindah tetapi sangat dilarang berpindah keluar
dari areal yang disediakan. Dalam ungkapan adat dikatakan ‘ walau ladang berpindah-pindah,
pindahnya ke situ juga”, maksudnya , setiap tahun masyarakat melakukan ladang berpindah tetapi
dalam sirkulasi 5-10 tahun mereka kembali lagi ke belukar lama (tempat berladang sebelumnya).

Ungkapan adat mengatakan :

Apalah tanda tanah peladangan Beralih tidak


melanggaradat

Rimbanya sudah disukat Beralih tidak merusak lembaga

Belukarnya sudah dijangka Tidak beralih membuka rimba

Rimba tumbuh dari belukar Tidak beralih ke tanah dusun

Belukar kecil belukar tua Walau beralih ke sana juga

Bukan rimba kepungan sialang Beralih menyusuk belukar tua

Bukan pula rimpa simpanan Beralih menyesap belukar muda

apa tanda tanah peladangan Apalah tanda tanah peladangan

Tempat berladang orang banyak Tempat berladang berbanjar-banjar

Berladang menurut adatnya Bukan berladang pencil memencil

Setahun sedikitnya Bukan berladang bersuka hati

Tiga tahun naik panjatnya Bukan pula menurutkan selera


Cukup musim awak beralih Berladang menurut undang adatnya

Beralih ke belukar tua Yang disebut adat berladang

Karena berladang merupakan mata pencaharian pokok masyarakat melayu petalangan


mereka mengatur tata cara berladang dengan sebaik dan secermat mungkin yang disebut adat
berladang.

4. Rimba larangan, Menurut adat yang disebut rimba larangan ialah rimba yang tidak boleh
dirusak, wajib dipelihara dengan sebaik mungkin pelestariannya. Rimba larangan ini terdiri dari dua
jenis , yakni rimba kepungan sialang dan rimba simpanan. Rimba kepungan sialang ialah rimba
tempat pohon sialang tumbuh ( yakni pohon rimba tempat lebah bersarang), ungkapan adat
mengatakan :

Apa tanda kepungan sialang

Tempat sialang rampak dahan 

Tempat lebah meletakkan sarang

Rimba dijaga dan dipelihara

Rimba tak boleh ditebas tebang

Bila ditebas dimakan adat

Bila ditebang dimakan undang

sedangkan rimba lebat/rimba simpanan tempat berbagai jenis pepohonan dan binatang hutan
hidup. Ungkapan adat mengatakan :

apa tanda rimba larangan


rimba dikungkung dengan adat

rimba dipelihara dengan lembaga

tempat tumbuh kayu kayan

tempat hidup binatang hutan

tempat duduk saudara akuan

tempat beramu dan berburu

tempat buah bermusim musim

rima tak boleh rusak binasa

Ke semua yang tersebut di atas, merupakan tanah mineral, sedangkan tanah gambut, bagi orang
Melayu, bukan untuk usaha-usaha tanaman produktif, tetapi mereka mengambil produk-produk dari
hutan itu yang non kayu seperti rotan dan lainnya.

E. Teknik Berladang Masyarakat Melayu Riau


1. Ngawah
Ngawah adalah cara pertama kali dilakukan dalam artian mengaku bulan mulai menebas ladang
pertanian, misalnya pada hari-hari yang baikdalam bilangan bulan masehi, satu atau dua hari dalam
bulan tersebut untuk upacra adat ngawah ini yang perlu disimapkan yaitu :
 Sirih Sekapur
 Rokok Daun
 Tembakau Jawa
 Nasi Sekapal
 Paku Sebatang
Kemudian diletakkan pada tanah yang akan menjadi ladang pertanian maka barulah kita mulai
menebas, berarti adat ini sama halnya kita meminta permisi pada penghuni hutan tersebut. Dan jika
adat ini tidak dilakukan maka hasil ladang kita akan lebih buruk. Setelah melakukan adat ngawah
biasanya yangsilakukan adalah menebas tempat perladangan dengan cara balale.
Balale adalah suatu cara yang dilakukan secara beramai-ramai dan bergiliran atau saling bergotong-
royong.
2. Nebang
Apabila kita sudah selesai menebas barulah memulai penebangan pohon-pohon besar yang ada
dilahan tersebut dan dipotong-potong dahan atau rantingnya supaya mudah di makan api sampai
hangus apabila dibakar. Setelah kayu-kayu tersebut kering maka perlu dibakar dahulu, agar kayu-
kayu itu akan menjadi abu atau arang sehingga menjadi pupuk padi. Sebelum membakar dibuatlah
adat bubur abang, adpun bahan-bahan tersebut adalah :
 Beras
 Gula merah, garam
 Sirih sekapur
 Rokok daun
 Daun pisang
Dan selanjutnya dibikin menjadi seperti kotak lalu dipasang keempat penjuru ladang. Setelah
upacara adat bubur abang seslesai maka yang harus dilakukan adalah memumpun, memumpun
adalah mengumpulkan potongan-potongan kayu yang tidak habis dibakar oleh api, pelaksanaannya
cukup lama sampai makan waktu satu sampai dua minggu, ketika sedang memumpun ini, biasa kita
pergunakan untuk menanam sayuran-sayuran dll.

3. Morok
Morok adalah salah satu upacara yang dilakukan setelah selesai memumpun atau membakar ulang
barulah kita menaburkan benih atau menugalnya. Sebelum melaksankan acara menugal di buat adat
pemorokan terlebih dahulu adapun paraga adatnya adalah :
 Benih Padi
 Sirih Sekapur
 Nasi Kuning
 Panggang Ayam
Dengan cara membuat patok segi empat dengan ukuran 1x 1 meter dengan dibuat patok-patok kecil
dari akyu setelah itu lobang dengan ukuran yang sama 10 Cm kemudian setiap patok ditugalkan,
kemudian dibuatlah api unggun yang di taburi gula sehingga harum keciumannya dan kemudian
dibacakan doa rasul untuk meminta kepada tuhan semoga padi tumbuh dengan baik, hidup subur
dan mendapat hasil yang banyak kemudian barulah meneruskan penugalan.
Setelah melakukan adat pemorokan barulah menuggal dilaksanakan dan ini memakai tenaga yang
benyak sekali sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang dengan memakan waktu sehari sampai dua
hari. Waktu menugal membawa benih yang cukup banyak sekali enam sampai tujuh gantang,
tergantung pada luasnya lahan, jika bekerja bergotong royong mereka membawa bakal sendiri-
sendiri. Apabila tidak secara bergotong-royong/balale, yang menyiapkan makanan adalah tuan
ladang. Tuan ladang menyiapkan seperti kue untuk sarapan pagi, minum dan nasi lauk pauknya
apabila kira-kira sudah jam tiga sore di siapkan snack berupa bubur atau kue yang lain. Anggota
pembenih dan penugalnya harus seimbang.

4. Melao
Setelah lebih kurang satu bulan umur padi, kita sudah boleh untuk memulai perumputan yang ada
disekeliling tanaman padi tersebut, agar padi tumbuh denga subur. Setelah umur padi satu setengah
bulan itu barulah juga dilaksankannya merumput dicelah-celah dan disekitar pohon padi tersebut
dengan memakan waktu skurang-kurangnya dua sampai tiga minggu agar padi tumbuhnya semakin
baik. Setelah itu menyesek, menyesek adalah merumput untuk yang ketiga kalinya supaya buah padi
jernih, tidak banyak gabah yang kosong dan inipun tergantung pada iklim. Apabila padi sedang murai
datang musaim kemarau maka padi itu kurang baik buahnya. Dan jika musim ada hujan ada panas
padi akan baik hasilnya.

5. Memangku Bulan
Apa bila padi sudah mulai menguning atau masak maka kita boleh mengaku bulan. Menganku bulan
adalah mematah atau memetik rumpun padi yang terbaik buahnya dari yang lain. Ini kita
menyiapkan : 1( Sirih Sekapur, 2) Nasi Kuning,3) Panggang Ayam. Dan juga disiapkan tali untuk
mengikat rumpunpadi tersebut, dan kemudian dibacakan Doa Rasul yaitu memohon pada tuhan
semoga hasil tersebut melimpah ruah, kemudian dipilih sebanyak tujuh tangkai dan dibungkus
dengan kain untuk dibawa pulang dan nasi kuning, panggang ayam itu boleh di makan bersama
keluarga dan sebagian diberikan bagi orang memanen padi tersebut.
Bergotong royong atau balale masih rutinitas dilakukan masyarakat Melayu Darit terutama juga
dalam hal mengetam padi yang sudah si dipanen. Sebelum berangkat menuju ladang atau
tempatpengetaman. Sebelum berangkat menuju ladang atau tempat pengetaman padi terlebih
dahulu sarapan pagi, yang dimaksud perut kita kenyang dan cepat juga mengisi tempat yang kita
bawa, tuan ladang memasukan setangkai padinya kemasing-masing orang yang akan mengetam.
Setelah itu barulah rombongan mengetam sendiri untuk mengisi tempat yang dibawa, cara
pengetaman padi kita harus keliling memutari perladangan itu dan menghadap pada mata hari
terbit.

6. Meres Padi
Setelah pengetaman padi selesai, barulah rombongan membawa padi pulang kerumah tuan ladang,
dan serta membawa alat-alat seperti engge,kebudang atau rampun yang atasnya disambung dengan
tikar. Padi yang sudah di panen tadi dikumpulkan dan siap untuk di irit dengan beramai-ramai
sehingga tanggal dari tangkainya, kemudian padi tersebut diayak oleh kaum wanitanya.
Meruman adalah pekerjaan yang dilaksankan setelah padi diirit dari tangkai-tangkainya, itu juga
dilakukan oleh perempuan dengan menggunakan alat nyiru yang terbuat dari bambu.

7. Menjemur ke Langko
Langko adalah tempat penyimpanan padi, pada langko itulah padi di jemur dan dikeringkan selama
sebulan atau dua bulan. Untuk meyimpan padi dilangko padi tersebut diberi sirih sekapur, besi
sebatang sebgai pengkeras. Kemudian padi yang pertama di ambil untuk di jadikan beras setelah di
jemur bisa ditumbuk atau digiling.

8. Syukuran
Setelah nasi dimasak diadakan acara mawai atau matik ( nasi baru ) dan kemudian dibacakanlah doa
selamat memohon syukur kepada Tuhan bahwa rezeki yang di berikan berasal dari Dia kemudian
dibagikan kepada tetangga-tetangga terdekat untuk mencicipi nasi baru hasil ladang itu tadi.

9. Nyimpan Padi
Setelah padi kering semuanya di bawa kerumah dan disimpan. Waktu untuk menyimpan di ber lagi
besi sebatang untuk pangkaras. Sebelum mengeluarkan padi kita harus membuat adat dengan
membuat nasi kuning ,penggang ayam, maksudnya supaya padi yang dikeluarkan ada berkatnya, dan
kata mohon kepada Tuhan agar padi tersebut cukup untuk kita menggunakannya, kemudian waktu
kita mengeluarkan padi kita harus makan dahulu supaya perut kita kenyang dan menurut
hakekatnya supaya padi tersebut tidak cepat habis. Bagi hasil panennya yang memuaskan diwajibkan
untuk membayar zakat menurut Hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai