DISUSUN OLEH:
Pada abad ke-19, mereka turut berperan dalam penghapusan sistem perbudakan.
Penindasan dan eksploitasi rakyat jajahan semakin sulit dicari pembenarannya, baik
dalam dunia politik Barat maupun di benak banyak pejabat kolonial. Di Amerika Serikat,
Presiden William McKinley hanya sanggup menjinakkan tradisi anti-imperialis Amerika.
Ia juga menegaskan bahwa Amerika Serikat sejatinya enggan dibebani tanggung jawab
atas Filipina. Tetapi, pihaknya tidak dapat menghindar karena itu merupakan konsekuensi
Perang Spanyol-Amerika. Sebagai bangsa yang besar, Amerika harus melaksanakan
amanat menjaga ‘saudara-saudara kecil berkulit coklat’, istilah paternalistik untuk
mendeskripsikan orang Filipina. Aktivitas Amerika Serikat berikutnya di Filipina, selain
perang-perang brutal untuk menumpas sisa-sisa perlawanan orang Filipina, tampak begitu
radikal hingga kekuatan-kekuatan kolonial lain merasa tidak nyaman melihatnya. Sejak
saat itu suara-suara reformasi semakin nyaring terdengar di koloni-koloni Asia Tenggara.
Kesejahteraan rakyat menjadi perhatian langsung pemerintah kolonial. Tanpa adanya
sinisme bisa terjadi perubahan yang memfasilitasi pertumbuhan politik antikolonial dan
nasionalisme di kalangan masyarakat Asia Tenggara yang menjadi dasar timbulnya
bangsa-bangsa merdeka yang muncul setelah Perang Dunia II.
a. Burma Inggris
Dampak Perang Dunia I tidak hanya melanda Eropa, Burma Inggris juga
terkena dampaknya. Penurunan harga beras yang terjadi di Burma Bawah
membuat petani memiliki pendapatan yang kurang untuk membayar sewa
tanah. Pajak kemudian dinaikkan tapi upaya ini tetap tidak memperbaiki
situasi. Upaya pemerintah mengurangi beban pajak terlambat dilakukan.
Petani kembali bertani untuk bertahan hidup dan pekerjaan para penggiat
perkotaan tergiring ke dalam atmosfer pedesaan. Sedangkan situasi di Burma
Atas berbeda, yang dimana para petani mampu beradaptasi dengan
mengalihkan tenaga kerja ke dalam sektor pertanian yang lebih
menguntungkan. Nasib yang kurang baik dihadapi penduduk dekat delta yang
tidak banyak pilihan selain berali menanam kapas, bawang, lada, tebu, dan
tembakau yang harga pasarannya lebih tinggi yang produksinya didukung
investasi Inggris.
Selama paruh waktu kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20 ekspansi
ekonomi Malaya secara drastis kebanyakan didorong oleh meningkatnya
permintaan terhadap komoditas primernya, khususnya timah dan karet. Tetapi,
ketergantungan terhadap timah dan karet sebagai dua pilar utama ekonomi
Malaya terbukti berbalik menjadi kelemahan ketika permintaan internasional
sangat flujtuastif selama periode antarperang. Hasilnya adalah dua periode
kemerosotan ekonomi yang panjang, pertama pada 1920-1922 lalu pada
periode 1929-1932.
Pada awak abad ke-20 industri timah lokal telah mengalami pergeseran
teknologi yang memberi jalan bagi Malaya untuk mempertahankan posisinya
sebagai produsen timah terbesar di dunia. Dengan meningkatnya mekanisasi,
jumlah tenaga kerja pertambangan timah menyusut sekitar 37%, dari 198.000
menjadi 122.00 antara 1911-1920 dengan sektor tambang terbuka milik Cini
yang menyerap tenaga kerja paling banyak. Tmabnga-tambang milik orang
Cina yang produksinya bisa mencapai 90% dari produksi timah FMS pada
1900 menyaksikan menyusutnya peran mereka dalam hasil produksi hingga
jatuh di kisaran 64% pada 1920. Peran mereka kemudian menyusut lagi
hingga menjadi 39% pada 1929. Ini menjadi gambaran singkat beralihnya
kontrol industri ke tangan perusahaan-perusahaan Eropa. Namun, peningkatan
pasokan timah ini tidak disertai peningkatan permintaan timah dunia yang
malah mengalami penurunan akibat Perang Dunia I sejak 1914-1918 dan
resesi pasca perang yang kemudia terjadi sejak 1920-1922. Untuk menekan
penurunan harga dan memastikan bahwa tambang-tambang kecil dapat tetap
bertahan secara finansial, pemerintah Inggris bekerjasama dengan pemerintah
Hindia Belanda membeli kelebihan persediaan timah. Kedua pemerintah ini
kemudian mereguk keuntungan ketika menjual persediaan timah ini pada saat
harga timah menguat di pertengahan 1920-an.
c. Indo-Cina
Para petani yang sudah tidak mampu terbukti siap sedia menjadi anggota
Dang Cong san Dong Duong (DCsDD, Partai Komunis Indo-Cina) setelah
pendiriannya pada 1930. Sumber dukungan kedua bagi DCsDD yang tidak
kalah penting adalah kelas proletar yang kecil tetapi memiliki potensi militan
yang terbentuk akibat pendirian sejumlah pabrik dan lebih pending lagi,
perkebunan karet besar yang terletak di daerah ‘Bumi Merah’ Annam Tengah
dan Kamboja timur sepanjang perbatasan dengan Cochin Cina. Perusahaan-
perusahaan Prancis yang mengoperasikan perkebunan ini terlihat dalam
perekrutan yang menyebar luas (sering kali dengan cara menipu), membawa
pekerja dari Tonkin ke Annam dan pekerja Vietnam dari berbagai daerah ke
Kamboja. Para pekerja migran ini menjadi basis pendukung DCsDD pada
1930-an. Di kamboja, sifat penarikan pajak Prancis yang sangat menindas
memicu serangkaian demonstrasi (yang umumnya dilakukan) secara damai
pada 1916 dan pembunuhan seorang pejabat Prancis yang sangat bengis
bernama Bardes di pedesaan pada 1925. Di Laos, dampak ekonomi kolonisasi
tetap paling terasa di daerah dataran tinggi yang dihuni oleh kelompok-
kelompok etnis non-Lao. Beban ganda penarikan pajak dan tenaga wajib
(tanpa upah) serta tidak adanya keuntungan nyata dari kekuasaan kolonial
memicu kerusuhan etnis di berbagai daerah koloni hingga menjelang Perang
Dunia II.
e. Filipina Amerika
Wilayah kolonial sangat bernilai bagi lobi bisnis Amerika yang sangat
kuat. Dengan memiliki wilayah kolonialnya sndiri merupakan tempat asal
bahan mentah seperti abaka, indigo, tembakau, dan gula sehingga dapat
diimpor lebih murah akan meningkatkan daya saing mereka. American Sugar
Refining Company atau Sugar Trust yang mengendalikan 98% penyulingan
gula di Amerika Serikat mendapatkan sebagian besar keuntungannya dari
peraturan tarif baru ini. Namun nantinya, kelompok-kelompok kepentingan
gula Amerika menolak dipertahankannya kepulauan ini karena takut akan
adanya persaingan gula Filipina dengan gula Kuba yang mereka kontrol.
Industrialis seperti Andrew Carnegle mendukung ekspansi dan membuka
pasar di luar negeri tetapi menyatakan tidak terhadap pendudukan. Pergerakan
antiperbudakan termasuk Liga Anti-Imperialis menolak penundukan terhadap
bangsa lain. Kelompok pendukun supremasi kulit putih mengkhawatirkan
kontaminasi oleh ‘ras’ lain yang lebih rendah. Serikat buruh mengkhawatirkan
masuknya tenaga kerja murah dan kompetisi pasar yang diberikan oleh impor
pertanian murah terhadap produk pertanian Amerika yang lebih mahal.
Alur perjalanan sejarah Thai selama periode ini relatif berbeda dengan
negeri-negeri tetangganya. Thailand lebih dibentuk oleh kekuatan internal
daripada kekuatan eksternal atau asing. Bahkan, perkembangan di Siam
sebelum Perang Dunia II lebih menyerupai masalah-masalah yang dihadapi
negara-negara Asia Tenggara lainnya setelah perang. Ketika itu, mereka
menghadapi dua tantangan, yaitu pembangunan bangsa dan pembangunan
negara setelah dekolonisasi. Narasi sejarah Thai pada abad ke-20 dibagi
menjadi dua bagian oleh kudeta yang dilakukan terhadap monarki absolut
pada 24 Juni 1932. Sebagian besar kajian terhadap perkembangan politik
negara ini membaginya menjadi bagian ‘pra-1932’ dan ‘pasca-1932’.
Walaupun Dinasti Chakri tetap menduduki takhta, struktur dominasi kerajaan
yang mulai diberlakukan oleh Rama V dan dipertahankan para penerusnya
telah digantikan oleh sistem konstitusional bergaya Barat. Namun sejak awal,
unsur-unsur berbeda dalam rezim baru memiliki agenda berbeda. Masalah dan
konflik yang melanda tahun-tahun awal pemerintahan konstitusional di Siam
menjadi bagian dari lanskap perpolitikan jangka panjang.