Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH SEJARAH ASIA TENGGARA

“REFORMASI, IDE-IDE BARU DAN DEPRESI 1930-AN (SEKITAR 1900-


1942) & ASIA TENGGARA DI MASA PERANG DUNIA II (1942-1945)”

DISUSUN OLEH:

NAMA : ADE PUTRA KURNIA


NIM : A31121090
KELAS :B

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)


Program Studi Pendidikan Sejarah
UNIVERSITAS TADULAKO
2021/2022
PEMBAHASAN

A. REFORMASI, IDE-IDE BARU DAN DEPRESI 1930-AN (SEKITAR 1900-1942)

Pada 1900 pusat-pusat pemerintahan Asia Tenggara tunduk di bawah kekuasaan


kolonial, kecuali Siam. Di daerah-daerah pinggiran aksi ‘berish-bersih’ kolonial terus
dilakukan. Tetapi, pada dekade kedua abad ini aksi tersebut hampir selesai. Peta Den
Haag, Washington, Paris dan London dibubuhi garis-garis baru, sementara peta-peta lama
diakui di Lisbon, untuk menegaskan wilayah kekuasaan kolonial. Banyak penduduk lokal
khususnya yang tinggal di daerah pinggiran tidak mengakui perbatasan koloni yang
dipaksakan asing. Kadang, mereka benar-benar mengabaikannya. Konteks barat telah
bergulir. Politik di Eropa dan Amerika semakin demokratis. Ini menjadi ruang bagi ide-
ide anti-imperialis untuk lebih didengarkan bersama serentetan tuntutan politik yang lebih
rasional dan lebih manusiawi. Kekuatan politik yang terinspirasi Kristen juga ikut andil
yang menandakan cita-cita perubahan tidak secara murni sekuler.

Pada abad ke-19, mereka turut berperan dalam penghapusan sistem perbudakan.
Penindasan dan eksploitasi rakyat jajahan semakin sulit dicari pembenarannya, baik
dalam dunia politik Barat maupun di benak banyak pejabat kolonial. Di Amerika Serikat,
Presiden William McKinley hanya sanggup menjinakkan tradisi anti-imperialis Amerika.
Ia juga menegaskan bahwa Amerika Serikat sejatinya enggan dibebani tanggung jawab
atas Filipina. Tetapi, pihaknya tidak dapat menghindar karena itu merupakan konsekuensi
Perang Spanyol-Amerika. Sebagai bangsa yang besar, Amerika harus melaksanakan
amanat menjaga ‘saudara-saudara kecil berkulit coklat’, istilah paternalistik untuk
mendeskripsikan orang Filipina. Aktivitas Amerika Serikat berikutnya di Filipina, selain
perang-perang brutal untuk menumpas sisa-sisa perlawanan orang Filipina, tampak begitu
radikal hingga kekuatan-kekuatan kolonial lain merasa tidak nyaman melihatnya. Sejak
saat itu suara-suara reformasi semakin nyaring terdengar di koloni-koloni Asia Tenggara.
Kesejahteraan rakyat menjadi perhatian langsung pemerintah kolonial. Tanpa adanya
sinisme bisa terjadi perubahan yang memfasilitasi pertumbuhan politik antikolonial dan
nasionalisme di kalangan masyarakat Asia Tenggara yang menjadi dasar timbulnya
bangsa-bangsa merdeka yang muncul setelah Perang Dunia II.

Akan tetapi, gagasan-gagasan visioner di awal abad menjadi berhenti ketika


Depresi Besar menyebar ke penjuru dunia di akhir tahun 1929. Kemudian pada Oktober
1929, nilai bursa saham jatuh karena spekulasi dan buruknya regulasi perbankan Amerika
Serikat. Kegagalan perbankan melanda seluruh negeri, disusul merosotnya perdagangan
dunia akibat proteksionisme yang menimbulkan krisis ekonomi global. Karena hal ini,
Franklin D. Roosevelt terpilih menjadi presiden Amerika Serikat pada tahun 1934. Di
Jerman, krisis ini malah menjadi suatu faktor kemenangan Partai Nazi dalam pemilihan
umum dan terangkatnya Adolf Hitler sebagai kanselir pada 1933. Bagi Asia Tenggara,
Depresi Besar merupakan masa kegelapan yang dimana menjadi sebuah pengalaman
masyarakat Asia Tenggara yang terinspirasi sepanjang tahun 1930-an bahwa satu-satunya
cara untuk mengapai sebuah kemajuan adalah mengusir seluruh penguasa kolonial, jika
perlu dilakukan dengan kekerasan.

1. Ekonomi Bersama Asia Tenggara

a. Burma Inggris

Terjadi pergeseran perekonomian di Burma yang sebelumnya sekedar


untuk bertahan hidup menjadi produsen berasberorientasi ekspor yang
membutuhkan banyak perubahan baik secara administratif maupun oprasional
yang mengubah sudut padang Burma terhadap masyarakatnya dan posisi
mereka di pentas dunia. Pengembangan area delta melibatkan pekerja dalam
jumlah besar. Awalnya, banyak petani pedesaan yang bermigrasi ke Burma
Bawah yang merupakan daerah maju dan memiliki banyak lapangan kerja.
Sejak 1852 hingga awal abad ke-20 para petani Burma yang berpindah ke
daerah delta sedikitnya dapat menimang keuntungan yang terbilang lumayan
atas surplus hasil produksi mereka. Selama periode ini, masyarakat india
belum menjadi saingan utama. Sementara ini mereka hanya menyediakan
dukungan finansial dan tenaga kerja yang tidak besar petani lokal masih bisa
menikmati hasil kemakmuran bersama.

Kenyataannya, hanya sedikit petani Burma yang sanggup menghasilkan


surplus untuk investasi langsung dengan cara mebeli tanah. Beban hodup atau
daya tarik konsumerisme ‘mengalihkan’ banyak uang simpanan mereka.
Kehidupan petani yang relatif tenteram tiba-tiba berantakan karena lahan-
lahan yang tersedia mulai dimanfaatkan pada dekade pertama abad ke-20.
Akibat hal ini, dominasi Burma dalam industri beras berakhir. Peristiwa yang
dipicu oleh utang petani yang selalu saja ada, nilainya menjadi meningkat
drastis selama tahun 1930-an. Pada tahap awal berkembangnya perdagangan
beras, para petani baru mendapatkan alat-alat pertaniannya melalui kredi dan
pinjaman swasta. Lintahdarat, kerabat, teman dan keluarga seringkali
menyediakan dana yang mereka perlukan. Sebagian tenaga kerja profesional
seperti dokter, pengacara, pedagang dan pensiunan kepala desa juga menjadi
sumber kredit pedesaan. Pada tahun 1880-an perantara lain terjun ke bisnis
kredit yakni kasta Chettiar India dan tuan tanah yang memiliki sumber daya
lebih besar.

Dampak Perang Dunia I tidak hanya melanda Eropa, Burma Inggris juga
terkena dampaknya. Penurunan harga beras yang terjadi di Burma Bawah
membuat petani memiliki pendapatan yang kurang untuk membayar sewa
tanah. Pajak kemudian dinaikkan tapi upaya ini tetap tidak memperbaiki
situasi. Upaya pemerintah mengurangi beban pajak terlambat dilakukan.
Petani kembali bertani untuk bertahan hidup dan pekerjaan para penggiat
perkotaan tergiring ke dalam atmosfer pedesaan. Sedangkan situasi di Burma
Atas berbeda, yang dimana para petani mampu beradaptasi dengan
mengalihkan tenaga kerja ke dalam sektor pertanian yang lebih
menguntungkan. Nasib yang kurang baik dihadapi penduduk dekat delta yang
tidak banyak pilihan selain berali menanam kapas, bawang, lada, tebu, dan
tembakau yang harga pasarannya lebih tinggi yang produksinya didukung
investasi Inggris.

Ketika kehidupan tampak lebih menarik di utara, masyarakat sekali lagi


bergerak. Para petani dari Burma Bawah berpindah ke kota seperti Mandalay,
Sagaing, dan Pakokku. Komunitas-komunitas baru yang terbagi atas garis
kelas, etnis, dan perbedaan generasi mulai muncul di Burma yang
menyulitkan otoritas perkotaan dan pedesaan untuk mengelola perbedaan di
antara komunitas tersebut. Inggris juga membutuhkan lebih banyak pegawai
negeri sipil berpendidikan. Ini juga berkontribusi pada pertumbuhan populasi
orang India karena para kandidat berkualitas datang untuk bekerja dalam
pemerintahan kolonial dan sektor-sektor ekonomi lainnya. Kelas menengah
terus bermunculan karena adanya peluang dagang, pendidikan modern, dan
kebutuhan pemerintahan yang terus berkembang.banyak yang menjadi
pemilik tanah, pedagang, atau profesional kerah putih seperti pengacara dan
pendidik.

Dari sektor-sektor inilah gagasan masyarakat nasional mengemuka,


menggantikan garis etnis, agama dan kelas. Tapi, kenyataannya sedikit sekali
yang bisa menyatikan komunitas masyarakat yang berbeda-beda di era 1920-
an sesuai pekerjaan, status, dan kedudukannya dalam masyarakat kolonial.
Namun, pada 1930-an dampak Depresi Besar menunjukan bahwa struktur
sosial ekonomi yang berkontribusi pada pertumbuhan kolonial Burma juga
merupakan unsur yang menyebabkan kejatuhannya. Pengalaman Depresi
memberikan isu tunggal kepada reformis dan aktivis nasionalis yang dapat
menyatukan komunitas di balik keluhan yang sama. Karena meningkatnya
ekonomi beras yang berkembang pesat yang menyebabkan meningkatnya
harga beras dan nilai tanah yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan
pinjaman finansial untuk terjun ke dunia industri. Karena hal tersebut, mulai
banyak kelompok-kelompok yang berlomba-lomba meningkatkan kualitas
beras. Akan tetapi, atas hal ini membuat meningkatnya pajak yang sangat
besar, terutama di daerah delta yang berubah menjadi lokasi potensial bagi
ketegangan komunal dan kerusuhan politik.

Gaya pemerintahan kolonial yang lebih impersonal memiliki dalmpak


langsung terhadap cara komunitas masyarakat desa memandang negara. Pada
masa Depresi yang penuh beban penderitaan, anggota Dewa Legislatif Burma
yang bersimpati melobi pemerintah untuk memperbaiki penarikan pajak.
Sayang, upaya ini tidak berhasil. Para aktivis yang lebih muda, dan lebih
berani kemudian mulai menjalin hubungan langsung dengan desa-desa
melalui athin (aosiasi) untuk menyuarakan aspirasinya menolak membayar
pajak. Dengan demikian, keluhan komunitas masyarakat desa terhadap
kehidupan sosial ekonominya memfasilitasi tumbuhnya rasa kebersamaan
yang mencakup nasionalis urban, aktivis pedesaan dan petani desa.
b. Malaya Inggris

Selama paruh waktu kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20 ekspansi
ekonomi Malaya secara drastis kebanyakan didorong oleh meningkatnya
permintaan terhadap komoditas primernya, khususnya timah dan karet. Tetapi,
ketergantungan terhadap timah dan karet sebagai dua pilar utama ekonomi
Malaya terbukti berbalik menjadi kelemahan ketika permintaan internasional
sangat flujtuastif selama periode antarperang. Hasilnya adalah dua periode
kemerosotan ekonomi yang panjang, pertama pada 1920-1922 lalu pada
periode 1929-1932.

Pada awak abad ke-20 industri timah lokal telah mengalami pergeseran
teknologi yang memberi jalan bagi Malaya untuk mempertahankan posisinya
sebagai produsen timah terbesar di dunia. Dengan meningkatnya mekanisasi,
jumlah tenaga kerja pertambangan timah menyusut sekitar 37%, dari 198.000
menjadi 122.00 antara 1911-1920 dengan sektor tambang terbuka milik Cini
yang menyerap tenaga kerja paling banyak. Tmabnga-tambang milik orang
Cina yang produksinya bisa mencapai 90% dari produksi timah FMS pada
1900 menyaksikan menyusutnya peran mereka dalam hasil produksi hingga
jatuh di kisaran 64% pada 1920. Peran mereka kemudian menyusut lagi
hingga menjadi 39% pada 1929. Ini menjadi gambaran singkat beralihnya
kontrol industri ke tangan perusahaan-perusahaan Eropa. Namun, peningkatan
pasokan timah ini tidak disertai peningkatan permintaan timah dunia yang
malah mengalami penurunan akibat Perang Dunia I sejak 1914-1918 dan
resesi pasca perang yang kemudia terjadi sejak 1920-1922. Untuk menekan
penurunan harga dan memastikan bahwa tambang-tambang kecil dapat tetap
bertahan secara finansial, pemerintah Inggris bekerjasama dengan pemerintah
Hindia Belanda membeli kelebihan persediaan timah. Kedua pemerintah ini
kemudian mereguk keuntungan ketika menjual persediaan timah ini pada saat
harga timah menguat di pertengahan 1920-an.

Industri karet mengalami nasib serupa. Ketika permintaan global terhadap


karet alam meningkat, yang didorong oleh penggunaannya dalam produksi
alas kaki dan ban sepeda dan kelak industri mobil, Malaya mengalami
lonjakan produksi karet pada awal abad ke-20. Sejak 1903-1912, misalnya,
260 perusahaan saham-patungan yang beroperasi di London melalui mediasi
kantor-kantor perwakilan Inggris. Seperti halnya timah, masuknya modal
Eropa dari luar negeri yang dikhususkan untuk karet segera mengalahkan
investasi modal Cina yang lebih bervariasi. Jika pada 1908 karet
menggunakan lahan sekitar 109.000 hektare, total lahannya hampir tiga kali
lipat menjadi 322.000 hektare pada 1913. Ekspor karet juga meningkat dari
6.500 Uk ton (sekitar 7.300 US ton) pada 1910 menjadi 181.000 UK ton
(sekitar 203.00 US ton) pada 1920. Tetapi seperti yang terjadi pada kasus
timah, kemampuan karet untuk menghasilkan keuntungan seperti pada
pelopornya tidak dapat diperhankan.

Meningkatnya pasokan karet secara keseluruhan disertai jatuhnya


permintaan Eropa akibat kerugian pasar sebagai dampak Perang Dunia I.
Namun, penurunan ini ditutupi oleh meningkatnya permintaan Amerika
Serikat yang mengkonsusmsi sekitar 70% hasil produksi karet secara global.
Selama lonjakan pertumbuhan pascaperang pada 1919 yang tidak berlangsung
lama, ketika permintaan konsumen mengalahkan pasokan dengan beralihnya
masa militer ke masa damai, ekspor Malaya meningkat hampir dua kali lipat
dibanding ekspor pada 1918. Tetapi pada 1920 lonjakan permtumbuhan ini
telah menguap karena penggauran di Barat mencapai puncak barunya ketika
para prajurit yang didemobilisasi kembali memasuki angkatan kerja. Disaat
yang sama, pemerintah memutuskan melakukan kebijakan deflasioner untuk
menahan inflassi yang disebabkan oleh akumulasi utang masa perang. Ketika
para produsen di negara-negara industri mengurangi hasil produksinya,
permintaan terhadap komoditas primer seperti karet juga menyusut.
Sebaliknya, para petani kebun Malaya yang telah memperluas produksinya
tidak dapat mengurangi hasil produksi dalam waktu singkat. Hal ini semakin
merusak pasar dengan ekses persediaan dan menyebabkan jatuhnya harga
karet.

Pemerintah Inggris pada November 1922 menerapkan skema pembatasan


Stevenson (sesuai nama penulisnya) untuk membatasi ekspor karet dan
dengan demikian menstabilkan harga pada tingkat ‘kritis’ dan memastikan
margin keuntungan yang ‘wajar’ agar harga karet tidak semakin jatuh karena
peran kunci komoditas sebagai penghasil dolar AS. Selama penerapan tiga
tahun pertama, skema pembatasan karet menstabilkan pasokan dan bahkan
berkontribusi pada pertumbuhan cepat 1924-1925 katika harga karet
memperbarui tingkat angka tertingginya akibat peningkatan permintaan pasar
di Amerika secara tiba-tiba. Tetapi, sejak 1926 kemampuan skema untuk
mengelolah pasokan ini tidak terlalu berhasil. Dengan bagiannya dalam hasil
produksi dunia yang susut menjadi 53% karena pembatasan, keuntungan
komparatif inggris menjadi berkurang, sementara para petani kebun Belanda
di Indonesia yang tidak berpartisipasi dalam skema, bebas untuk berkembang.
Semakin kuat Inggris mengurangi produksi, semakin cepat Belanda menanam.
Pada 1 November 1928 Inggris memutuskan untuk mencabut pembatas yang
mendorong terjadinya lonjakan ekspor Malaya lainnnya pada 1929, tepat saat
Depresi Besar akan kembali menjungkalkan gerak perekonomian dunia.

Setelah kejatuhan pasar modal di Amerika Serikat pada Oktober 1929


memicu Depresi Besar, permintaan komoditas utama Malaya seperti karet dan
timah terjerembab. Untuk mengurangi kelebihan kapasitas dan menstabilkan
harga, pada 1931 pemerintah Inggris menetapkan kuota ekspor timah untuk
pertama kalinya. Tiga perjanjian internasional untuk mengontrol hasil
produksi tima dan ekspor di antara para produsen utama timah yang termasuk
di antaranya adalah Malaya, Indonesia, Siam, Nigeria, dan Bolivia
diberlakukan pada 1931-1933, 1934-1936, dan 1937-1941. Selama masa
berlakuknya perjanjian, negara-negara yang telah sama-sama menandatangani
perjanjian akan mengekspor timah berdasarkan kuota hasil produksi yang
disepakati bersama. Setelah dihentikan selama lima tahun, kuota ekspor
kembali diterapkan terhadap karet, kali ini dengan partisipasi internasional
yang lebih besar melalui International Rubber Regulation Agreement
(Perjanjian Pengaturan Karet Internasional) yang melibatkan produsen-
produsen karet utama sejak Juni 1934 hingga Desember 1938 dan akan
diperbarui selama lima tahun kemudian hingga 1943. Tidak mengherankan
bila penetapan kuota ekspor terhadap timah dan karet untuk mengontrol harga
ini mendapat kritikan tajam dari Amerika Serikat yang menolak pratktik
‘monopolistik’ negara-negara produsen. Akibatnya, bahkan ketika kuota
ekspor ditetapkan, kepentingan para produsen Amerika tidak dapat diabaikan
sepenuhnya dan tersedianya pasokan dengan harga wajar harus dipertahankan.

Ketika lebih banyak petani yang beralih ke pertanian berorientasi ekspor


yang lebih menguntungkan, produksi beras domestik tertinggal di belakang,
meski tetap terjadi peningkatan konsumsi akibat tumbuhnya angkatan kerja
yang dipekerjakan dalam sektor-sektor ekspor. Antara 1925-1929 beras impor
mencapai 70% dari total konsumsi. Karena pendapatan ekspornya sangat
terpegaruh oleh jatuhnya harga, impor bahan makanan termasuk beras juga
ikut terseret, sebagai contoh, kerugian akibat pembelian beras mengambil
lebih dari sepertiga keseimbangan surplus Malaya ketika pemerintah
mengintervensi dengan memberikan subsidi untuk menstabilkan harga.
Dengan modal yang terkunci di bidang timah dan karet serta terbatasnya
ukuran pasar loka, sedikit sekali pergerakan ke arah pengembangan industri
manufaktur domestik subsitusi impor yang lebih beragam, selain beberapa
industri pemrosesan sekunder yang berhubungan dengan ekspansi industri
ekspor.

Ketika tambang-tambang dan perkebunan-perkebunan berhenti beroperasi


dan mulai melepaskan tenaga kerjanya, percabangan sosial akibat Depresi
Besar akhirnya terasa. Pengangguran mendorong ribuan pekerja kembali ke
Cina dan India. Kota-kota besar seperti Singapura dan Kuala Lumpur
menyaksikan gelombang kedatangan pekerja yang baru saja diberhentikan
dari daerah sekitarnya yang ingin mencari kerja. Kondisi ini mempersulit
situasi pengangguran di sana dan berkontribusi pada meningkatnya angka
kejahatan. Sementara itu, Singapura dengan tipe masyarakat urban-migran
mendapat julukan ‘Chicago dari Timur’ akibat melonjaknya tingkat kejahatan.
Dengan pulihnya ekonomi dunia yang dimulai pada 1933, pendapatan ekspor
Malaya juga memperlihatkan kecenderungan peningkatan dan bahkan
melonjak hingga lebih dari tiga kali lipat antara 1933-1937. Pecahnya perang
di Eropa pada 1939 mendorong biruk-pikuk kegiatan untuk meningkatkan
persediaan strategis yang dalam prosesnya meningkatkan ekonomi Malaya.
Tetapi, pemulihan ini tidak berumur panjang. Pada 1942 Malaya diduduki
sedadu Jepang yang menginvasinya. Ikatan perdagangannya dengan Barat
otomatis telah terputus. Ekonomi Malaya yang berorientasi ekspor terutama
insdustri karetnya terjerembab ke dalam ‘tahun-tahun penuh bencana’.

c. Indo-Cina

Dampak ekonomi kekuasaan kolonial secara keseluruhan di Indo-Cina


Perancis telah digambarkan dalam bab sebelumnya. Periode antarperang dunia
membawa ‘perkembangan’ ekonomi dalam konteks pertanian industri dan
infrastruktur tetapi hanya memberi sedikit manfaat bagi mayoritas orang Indo-
Cina. Pengalaman orang Indo-Cina tidak jauh berbeda dengan negara lainnya
di Asia Tenggara. Ketika Depresi terjadi pada 1930-1931 dampak paling
nyata adalah jatuhnya harga beras. Fakta ini membuat sebagian besar petani
semakin sulit memenuhi kebutuhannya karena pemasukan mereka semakin
merosot sementara hampir tidak ada pengurangan beban pajak yang
diwajibkan negara kolonial. Para petani hampir-hampir tidak mampu memberi
makan keluarganya sendiri apalagi menjual apapun ke pasar. Walaupun petani
Lao tidak terlalu terkena dampak pasar besar karena varietas nasi ketan yang
mereka tanam tidak diekspor ke luar negeri, mereka tetap diperas pemerintah
yang putus asa ising mendapatkan tambahan pendapatan selama krisis
dinansial.

Para petani yang sudah tidak mampu terbukti siap sedia menjadi anggota
Dang Cong san Dong Duong (DCsDD, Partai Komunis Indo-Cina) setelah
pendiriannya pada 1930. Sumber dukungan kedua bagi DCsDD yang tidak
kalah penting adalah kelas proletar yang kecil tetapi memiliki potensi militan
yang terbentuk akibat pendirian sejumlah pabrik dan lebih pending lagi,
perkebunan karet besar yang terletak di daerah ‘Bumi Merah’ Annam Tengah
dan Kamboja timur sepanjang perbatasan dengan Cochin Cina. Perusahaan-
perusahaan Prancis yang mengoperasikan perkebunan ini terlihat dalam
perekrutan yang menyebar luas (sering kali dengan cara menipu), membawa
pekerja dari Tonkin ke Annam dan pekerja Vietnam dari berbagai daerah ke
Kamboja. Para pekerja migran ini menjadi basis pendukung DCsDD pada
1930-an. Di kamboja, sifat penarikan pajak Prancis yang sangat menindas
memicu serangkaian demonstrasi (yang umumnya dilakukan) secara damai
pada 1916 dan pembunuhan seorang pejabat Prancis yang sangat bengis
bernama Bardes di pedesaan pada 1925. Di Laos, dampak ekonomi kolonisasi
tetap paling terasa di daerah dataran tinggi yang dihuni oleh kelompok-
kelompok etnis non-Lao. Beban ganda penarikan pajak dan tenaga wajib
(tanpa upah) serta tidak adanya keuntungan nyata dari kekuasaan kolonial
memicu kerusuhan etnis di berbagai daerah koloni hingga menjelang Perang
Dunia II.

Istilah operasional dalam mengevaluasi ekonomi kolonial dan kebijakan


Prancis di Indo-Cina adalah ‘eksploitasi’. Dalam bahasa Prancis, istilah ini
bisa jadi memiliki konotasi positif terutama dalam konteks menggunakan
sumber daya yang sebelumnya relatif tidak digunakan. Eksplaitasi semacam
ini adalah salahsatu bentuk penolakan terhadap kekuasaan kolonial dan sangat
terkait dengan filosofi mise en valeur yang luas jangkauannya entah itu
berupa beras ataupun produk pertanian lainnya atau, lebih jarang terjadi, uang
tunai dan tentu saja memang benar bahwa kerajaan dan kekaisaran di masa
silam melakukan pemerasan terhadap rakyatnya dalam berbagai bentuk. Baik
pajak maupun menjadi tenaga wajib (tanpa upah) bukanlah buatan negara
kolonial. Namun, jenis tindakan eksplaitasi yang dilakukan rezim kolonial
minimal berbeda dalam dua cara. Pertama, secara umum mereka lebih tidak
fleksibel. Kedua, sistem ini didukung oleh kekuasaan yang jelas-jelas asing,
yang sifat asingnya tidak bisa ditutupi meski dengan memanfaatkan pejabat
lokal, tidak peduli apakah itu monarki atau para penarik pajak. Pada saat yang
sama, terdapat lebih sedikit kesempatan untuk melarikan diri ke daerah lain
guna menghindari pemerasan di daerah tertentu. Maka, dalam banyak hal
eksploitasi yang melekat dalam ekonomi kolonial berlaku lebih kaku dan
sama sekali tanpa rasa belas kasihan dari yang sudah pernah terjadi.

Dengan demikian, sistem kolonial menyediakan berbagai macam ssaran


bagi para musuhnya: penguasa Prancis, elite lokal yang mendukung sistem
kolonial dan membantu menerapkan aturan dan kebijakannya, serta orang
asing Cina dan Vietnam yang menjadi kreditor sekaligus pelaku eksploitasi.
Namun, dalam jangka panjang, mereka rupanya salah perhitungan. Ketika
berbagai bentuk nasionalisme berkembang di seluruh Indo-Cina, kelompok-
kelompok berbeda memfokuskan kemarahannya kepada komponen tertentu
dalam struktur sosial-ekonomi kolonial. Kelompok lebih moderat hanya
menganjurkan untuk memperlemah pengaruh ekonomi Cina dan India.
Sebaliknya, kelompok lebih radikal ingin memusnakan seluruh musuh
tersebut dan membangun masyarakat baru dengan ekonomi baru.

d. Hindia Timur Belanda

Pada 1900 rezim Belanda di indonesia menguasai dua daerah karakteristik


yang berbeda. Pada satu sisi terdapat Jawa yang sudah lama merasakan
pengalam kolonial, dengan sejarah panjang keterlibatan orang Eropa dan
dominasi mereka yang sesungguhnya sejak 1830 mulai berubah begitu banyak
oleh kekuasaan Belanda. Selama dua dekade pertama abad ke-20 Jawa
menjadi saksi perkembangan terbesar gerakan kebangkitan dan antikolonial.
Di sisi lain, Belanda masih berperang untuk mendapatkan kekuasaan penuh
terhadap banyak daerah di pulau lainnya. Pada 1900 perang di Aceh belum
berakhir, penaklukan akhir terhadap Bali belum tercapai dan kekuasaan
kolonial masih menghadapi banyak tantangan di seluruh Kepulauan Nusantara
seperti Jambi, Mentawai, Banjarmasin, Flores, Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tengah dan Papua. Kecuali Maluku (orang Eropa telah menetap disana sejak
abad ke-16) dan sejumlah daerah lainnya, sebagian besar daerah di pulau-
pulau lainnya relatif baru mengalami gangguan kolonial. Kenyataannya,
daerah tersebut seringkali berpenduduk jarang. Minangkabau telah mengalami
gerakan reformasi agama oleh kaum Padri tetapi daerah lainnnya masih belum
tersentuh reformasi agama dan organisasi politik juga belum menunjukkan
tanda-tanda keberadaannya.

Sumber-sumber daya alam yang akan membentuk sejarah Indonesia pada


abad ke-20 kebanyakan ditemukan di pulau-pulau lain. Jawa tetap menjadi
salahsatu produsen gula utama dunia. Tetapi, minat terhadapat kopinya dan
the yang terkenal sedang mengalami penurunan dan segera dikalahkan
nilainya oleh hasil bumi dari pulau-pulau lainnya. Penaklukan Belanda
terhadap pulau-pulau lain di luar jawa terlebih didorong oleh kesadaran
terhadap sumber daya yang ada di sana walaupun itu strategis sering kali lebih
penting. Penduduk lokal juga mendapat keuntungan selama lonjakan ini
berlangsung. Para produsen Indonesia skala kecil memainkan peran penting
dalam menghasilkan karet, tembakau, kopi, the, kelapa, lada, dan kapuk.

Hubungan perdagangan yang pernah berkontribusi untuk menyatukan


kepulauan Indonesia yang sangat luas menjadi satu komunitas perdagangan
yang saling terhubung sekalah memecah-belah kepulauan ini dan
mengarahkan hubungan ekonominya ke luar, ke wilayah-wilayah lain di Asia,
Eropa, dan Amerika Utara. Maka, kepulauan yang sebelumnya memiliki
kesatuan politik terbatas tetapi terhubung oleh ekonomi, menjadi kepulauan
yang disatukan kekuasaan politik Belanda tetapi dengan lebih sedikit
hubungan ekonomi. Dengan demikian, ekonomi Indonesia dan jutaan orang
Indonesia bisa mendapat keuntungan kondisi pasar dunia.

Menarik pajak dari penduduk Jawa untuk membiayai program


kesejahteraan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri sepertinya merupakan
pendekatan aneh tetapi alternatifnya, yaitu menarik pajak dari uang yang
dihasilkan di pulau-pulau lainnya atau mengharapkan para pembayar pajak
Belanda untuk membiayai pengeluaran tersebut secara politik tidak dapat
diterima. Jadi, orang Jawa dan Sunda diberitahu mengenai kepentingan
mereka, kemudian diberitahu pula untuk membayarnya. Pemerintah kolonial
berinvestasi dalam proyek infrastruktur sebagai kontribusi untuk
perkembangan ekonomi dan juga kesejahteraan penduduk Pribumi. Lebih
banyak rel kereta api, rel trem, fasilitas pelabuhan dan jaringan telegraf tidak
hanya mendorong pertumbuhan dan ekspor produk lokal untuk perusahaan
skal besar tetapi juga memfasilitasi lapangan kerja baru di tingkat lokal dan
aktivitas ekonomi pengusaha kecil lokal.

Besarnya kesulitan yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk terhadap


kebijakan pendidikan. Jumlah penduduk di pulau Jawa dan Madura yang
hanya meliputi 7% daratan Indonesia memiliki sekitar 70% total penduduk
Indonesia dan pulau-pulau lainnya yang dihuni oleh 18,2 juta penduduk
Pribumi memiliki luas daratan sekitar 93% dari luas total koloni sehingga
berpendudukan jarang merupakan masalah pemerintah kolonial yang ingin
meningkatkan kesejahteraan dan memajukan perkembangan perekonomian.
Populasi penduduk lainnya dalam sensus 1930 mencerminkan demografi luar
biasa kolonialisme Eropa. Terdapat 1,2 juta orang Cina ditambah ‘orang
Timur asing’ lainnya. Hanya terdapat 240.000 orang Eropa yang dari jumlah
ini, 208.000 di antaranya adalah orang Belanda. Kemudian, Belanda
mengklaim berdaulat terhadap sebuah kepulauan sangat luas yang
berpenduduk 60,7 juta jiwa, dimana 1% populasinya yang merupakan orang
Belanda. Populasi domestik Belanda sendiri pada 1930 itu hanya 7,9 juta jiwa.

Ketika Depresi terjadi, Indonesia sudah sangat terpengaruh oleh situasi


pasar dunia yang dimana tahun 1930 setengah ekspor Indonesia dikirim ke
negara-negara industri Eropa dan Amerika Utara. Penyusutan ekonomi
negara-negara tersebut yang diakibatkan perang pada Oktober 1929 dan
menyebarnya proteksionisme, banyak ekspor Indonesia yang menghadapi
pasar terbatas. Bahkan, selama 20 tahun terjadinya Depresi, pendudukan
Jepang kemudian Revolusi memberikan dampak sangat buruk kepada
Indonesia. Pada 1935 nilai ekspor Indonesia hanya sekitar sepertiga dari nilai
pada tahun 1929. Ekspor tebu dari jawa mencapai tiga juta ton sebelum
Depresi melanda, tetapi pada 1936 hanya mengekspor satu juta ton tebu. Dari
sekitar 200.000 hektare pada 1934, pada 1939 total area penanaman tebu
merosot menjadi 90.000 hektare. Hal ini mengurangi pembayaran industri
gula kepada orang Indonesia sebesar 90% dengan dampak destruktif terhadap
banyak orang Indonesia yang menggantungkan diri pada sektor pendapatan
ini.

Pendapatan ekspor jatuh, impor dikurangi dan konsekuensinya pemasukan


pemerintah yang tergantung pada penarikan pajak terhadap ekspor impor juga
ikut limbung. Hasilnya adalah krisis finansial skala besar bagi pemerintah
kolonial. Program-program dipangkas, ekspansi pendidikan tidak dilanjutkan
lagi dan lain sebagainya. Karenanya kebutuhan kesejahteraan di Jawa
meningkat, program kesejahteraan pemerintah pun dikurangi. Organisasi-
organisasi Islam seperti Muhammadiyah melakukan apa yang bisa mereka
lakukan untuk mengisi kekosongan ini. Sejak 1905 pemerintah telah
memindahkan penduduk dari Jawa yang berpenduduk padat ke pulau-pulau
lainnya, terutama Sumatera timur dan selatan yang penduduknya masih
jarang. Keuntungan permukiman kembali bagi para individu dan keluarganya
mungkin saja cukup besar tetapi langka ini sama sekali tidak mengurangi
persoalan kependudukan Jawa. Ketika Depresi menghancurkan aktivitas
ekonomi di area Sumatera timur dan selatan, puluhan ribu pekerja migran ini
kembali ke Jawa yang jelas-jelas menambah tekanan yang sudah berat kepada
sumber daya di sana.

Indikator terhadap kesejahteraan Pribumi bervariasi pada periode 1900-


1930. Tetapi, secara umum sedikit bukti adanya peningkatan selama periode
tersebut, bahkan sebelum masa Depresi. Tidak diragukan lagi kesejahteraan
menurun pada paruh pertama dekade 1930-an sementara statistik menunjukan
bahwa terjadi sejumlah perbaikan pada paruh kedua dekade ini. Pendapatan
per kapita pada 1937 mungkin telah menyamai kembali tinkat 1929 tetapi
distribusi sangat tidak menguntungkan. Namun, dekade 1930-an merupakan
masa-masa terberat yang harus dipikul Indonesia seperti juga bagian lain di
Asia Tenggara dan dunia secara keseluruhan.

e. Filipina Amerika

Pada Desember 1898, setelah imperium Spanyol yang sebelumnya begitu


perkasa takluk di tangan kekuatan militer Amerika, dimulailah tatanan dunia
baru. Perjanjian Pars melucuti koloni-koloni Spanyol di benua Amerika dan
Pasifik serta menganeksasi Filipina kepada Amerika Serikat. Dalam waktu
hampir semalam Amerika Serikat menjadi kekuatan dunia. Menampilkan
dirinya sebagai seorang religius, Presiden William McKinley mengungkapkan
kesusahannya ketika menerima peran imperial baru ini. Ia mengumumkan
‘asimilasi murah hati’ terhadap Filipina, menyatakan bahwa adalah kewajiban
Amerika untuk mendidik, memperadabkan, dan melatih orang Filipina dalam
pemerintahannya sendiri.

Untuk menggali informasi tentang kepulauan ini, McKinley menugaskan


baddan konsultatif yang disebut ‘Philippine Commision’ (Komisi Filipina). Di
Manila, Komisi ini mengadakan dengar pendapat, mendengarkan para utusan
dari perlawanan Filipino yang dipimpin Emilio Aguinaldo dan menegaskan
bahwa orang Amerika hanya memilih tujuan ikhlas di kepulauan ini. Komisi
ini membenarkan pendudukan Amerika dengan menyatakan bahwa orang
Filipina belum siap untuk merdeka. Dengan beberapa rekomendasi seperti
demiliterisasi wilayah-wilayah damai dan mencadangkan sumber daya alam
untuk orang Filipina, Komisi ini menyarankan bahwa sekolah dasar untuk
umum bebas biaya harus segara dimulai dan orang-orang Filipina dengan
karakter dan kemampuan tinggi juga harus dihargai dengan jabatan
pemerintahan yang signifikan.

Ketika Perang Filipina-Amerika berkecamuk di provinsi-provinsi,


Gubernur Militer yang diangkat oleh Presiden Amerika menjalankan
pemerintahan di Manila. Rezim militer ini mereorganisasi sistem pengadilan
dan mendirikan Mahkamah Agung yang terdiri dari enam orang hakim
Filipina dan tiga perwira Amerika. Pada 1900 Mahkamah Agung mendirikan
Pengadilan Tingkat Pertama dan menyusun Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Militer mengambil alih Pelabuhan Manila dan menarik bea cukai. Di
Manila, pasukan Amerika mengadakan pemilihan umum untuk memilih
pejabat pemerintah lokal. Pada 1900 ‘Komisi Filipina’ lainnya yang dibentuk
untuk mengumpulkan informasi dan beranggotakan warga sipil dikirim ke
Filipina. Sejak 1900-1902 komisi ini mengesahkan 440 undang-undang yang
mendirikan pemerintah kolonial Amerika. Komisi ini menciptakan sistem
layanan sipil, membentuk pemerintahan di kota-kota dan provinsi-provinsi,
menyusun kitab undang- undang hukum pidana, mengorganisasi Kepolisian
Filipina, memperkenalkan biro-biro nasional seperti Biro Urusan Kepulauan,
dan menyediakan sistem sekolah politik.

Industrialisasi pada akhir abad ke-19 menghasilkan permintaan terhadap


pasar yang lebih besar. Ini mendorong para industrialis Amerika untuk
melakukan ekspansi ke luar negeri. Depresi ekonomi yang cukup parah pada
1893 membuat lebih dari satu juta orang Amerika menganggur.
Ekspansionisme atau kebutuhan pangkalan perdagangan Cina yang
menguntungkan adalah alasan dibalik serangan Militer Amerika terhadap
armada Spanyol di Teluk Manila. Orang Amerika hanya bisa menyaksikan
orang Eropa membagi-bagi ‘keuntungan’ Cina. Untuk ikut ambil bagian
dalam pembagian ini, Amerika mengkampanyekan ‘kebijakan pintu terbuka’
untuk Cina. Mereka berasumsi bahwa Cina yang terbuka dapat dimasuki dari
pangkalan baru mereka di Filipina. Keberhasilan hal ini telah dibuktikan oleh
para pedagang yang berpangkalan di Manila, yaitu mereka yang telah lama
memperdagangkan produk-produk Cina dan Filipina.

Wilayah kolonial sangat bernilai bagi lobi bisnis Amerika yang sangat
kuat. Dengan memiliki wilayah kolonialnya sndiri merupakan tempat asal
bahan mentah seperti abaka, indigo, tembakau, dan gula sehingga dapat
diimpor lebih murah akan meningkatkan daya saing mereka. American Sugar
Refining Company atau Sugar Trust yang mengendalikan 98% penyulingan
gula di Amerika Serikat mendapatkan sebagian besar keuntungannya dari
peraturan tarif baru ini. Namun nantinya, kelompok-kelompok kepentingan
gula Amerika menolak dipertahankannya kepulauan ini karena takut akan
adanya persaingan gula Filipina dengan gula Kuba yang mereka kontrol.
Industrialis seperti Andrew Carnegle mendukung ekspansi dan membuka
pasar di luar negeri tetapi menyatakan tidak terhadap pendudukan. Pergerakan
antiperbudakan termasuk Liga Anti-Imperialis menolak penundukan terhadap
bangsa lain. Kelompok pendukun supremasi kulit putih mengkhawatirkan
kontaminasi oleh ‘ras’ lain yang lebih rendah. Serikat buruh mengkhawatirkan
masuknya tenaga kerja murah dan kompetisi pasar yang diberikan oleh impor
pertanian murah terhadap produk pertanian Amerika yang lebih mahal.

Kekhawatiran anti-imperialis yang berbenturan dengan keuntungan


ekspansi imperial membentuk kebijakan ekonomi Amerikan di Filipina.
Hanya pengusaha Amerika dan sedikit pemilik tanah Filipina serta para
pedagang kaya yang bisa mengakses Undang-undang Organik Filipina 1902.
Tetapi, undang-undang ini juga memperhatikan kelompok kepentingan besar
seperti blok gula. Individu hanya bisa memiliki hingga 1.024 hektare. Hal ini
membatasi kompetisi dan pada saat yang sama memungkinkan adanya
budidaya pertanian di koloni dalam skala besar. Sebelum eksploitasi
berlangsung, transportasi, komunikasi, fasilitas layanan publik, pelabuhan dan
dermaga, pergudangan, dan fasilitas lainnya harus dikembangkan. Wakil
Komisi Filipina dan pemerintahan-pemerintahan sipil selanjutnya berulang
kali berupaya menarik investasi swasta dan mengakali pembatasan yang
diberikan kepadanya oleh Kongres Amerika.

Komisi Filipina dan Departemen Perang melobi untuk berinvestasi dalam


pembangunan jalur kereta api dan mengeluarkan obligasi untuk suplai air,
sistem air kotor, dan pembangunan bangunan publik di kota-kota dan
provinsi-provinsi. Pada 1905 untuk mendukung kampanye ini Kongres
Amerika mengesahkan Cooper Bill (UU Cooper) yang mengecualikan
obligasi Filipina dari pajak dan menjamin pembayaran bunga tahunan sebesar
4% kepada investor jalur kereta api. Walaupun mendapatkan konsesi khusus,
konstruksi jalur kereta api sangat mengecewakan. Pada 1914 baru 1.400
kilometer dari 2.000 kilometer rel kereta api yang direncanakan selesai
dibangun. Dua tahun disahkannya Cooper Bill, konstruksi terhenti. Di
Amerika Serikat, obligasi jalur kereta api sulit terjual. Kondisi ini memaksa
pemerintah kolonial membeli sendiri sebagian obligasi untuk memastikan
bahwa sebagian jalur akan dibangun kembali. Pada 1911 para individu swasta
memiliki obligasi senilai USD 16 juta. Namun, USD 7 juta dari obligasi ini
membiayai pembelian tanah pata biarawan dan itu samasekali tidak
berhubungan dengan pembangunan pedesaan. Sekali lagi, pemerintah kolonial
yang baru beridiri harus terlibat agar dapat mewujudkan sejumlah proyek
pembangunan di kota-kota yang telah damai.

Pada 1909, dengan berakhirnya pembatasan perdagangan selama sepuluh


tahun berdasarkan Perjanjian Paris 1898 yang mengakiri Perang Spanyol-
Amerika, Kongres mengesahkan Payne-Aldrich Act yang mengizinkan
masuknya barang-barang Amerika secara bebas dan tidak terbatas ke Filipina.
Namun, lobi pertanian memastikan bahwa kuota juga ditetapkan untuk gula,
tembakau, dan beras Filipina yang masuk ke Amerika Serikat. Pada 1913
Underwood-Simmons Act menghapuskan semua kuota semacam itu,
membuka hubungan perdagangan bebas antara Amerika Serikat dan Filipina
hingga 1934. Hubungan perdagangan baru ini mempercepat modernisasi
infrastruktur komunikasi dan trasportasi yang memiliki hasil 20.826 kilometer
jalan dan 8.100 jembatan dibangun. Orang Amerika membangun sistem
telepon modern, jalur telegraf yang sangat luas, dan komunikasi radio. Negara
ini memiliki 1.000 kantor pops dan menyediakan layanan pos paling efisien di
Asia Tenggara.

Menghubungkan perekonomian Filipina dan Amerika Serikat memberikan


dampak yang sangat merusak bagi produksi domestik karena banyak produk
Amerika menggantikan produl lokal. Orang Filipina menjadi senang terhadap
apapun yang datang dari ‘stateside (Amerika Serikat)’ dan menyamakan
kebiasaan konsumsi ini dengan modernitas. Hanya ada pabrik perakitan dan
pemprosesan yang tergantung pada bahan dan mesin impor. Negara ini tetap
tidak mampu memproduksi sendiri mesin manufaktur. Kebijakan tarif
menghambat pertukaran dengan negara-negara lain, memastikan
ketergantungan Filipina kepada Amerika Serikat. Kenyataannya,
pemerintahan Amerika di Filipina mengkombinasikan semua kebijakan politik
kolonial paling progresif dengan pembentukan salah satu hubungan ekonomi
kolonial dengan tingkat ketergantungan paling tinggi. Alhasil, nyaris sejak
awall segala sesuatu yang dilakukan Amerika Serikat di Filipina bukanlah
hubungan kolonial biasa. Ini adalah contoh pailng awal hubungan neokolonial
di Asia Tenggara, yaitu kemerdekaan politik yang dibatasi ketergantungan
ekonomi.

f. Dari Siam Menuju Thailand, 1910-1941

Alur perjalanan sejarah Thai selama periode ini relatif berbeda dengan
negeri-negeri tetangganya. Thailand lebih dibentuk oleh kekuatan internal
daripada kekuatan eksternal atau asing. Bahkan, perkembangan di Siam
sebelum Perang Dunia II lebih menyerupai masalah-masalah yang dihadapi
negara-negara Asia Tenggara lainnya setelah perang. Ketika itu, mereka
menghadapi dua tantangan, yaitu pembangunan bangsa dan pembangunan
negara setelah dekolonisasi. Narasi sejarah Thai pada abad ke-20 dibagi
menjadi dua bagian oleh kudeta yang dilakukan terhadap monarki absolut
pada 24 Juni 1932. Sebagian besar kajian terhadap perkembangan politik
negara ini membaginya menjadi bagian ‘pra-1932’ dan ‘pasca-1932’.
Walaupun Dinasti Chakri tetap menduduki takhta, struktur dominasi kerajaan
yang mulai diberlakukan oleh Rama V dan dipertahankan para penerusnya
telah digantikan oleh sistem konstitusional bergaya Barat. Namun sejak awal,
unsur-unsur berbeda dalam rezim baru memiliki agenda berbeda. Masalah dan
konflik yang melanda tahun-tahun awal pemerintahan konstitusional di Siam
menjadi bagian dari lanskap perpolitikan jangka panjang.

Semua orang mengakui, kecuali oleh pendukung kerajaan paling setiam


bahwa Vajiravudh (Rama VI) pada dasarnya tidak mampu menggantikan
ayahnya ketika mewarisi takhta. Sebagai penguasa pertama Siam yang
mendapat pendidikan di luar negeri (di Inggris), Vajiravudh adalah sosok
yang pintar dan pandai bicara, dwibahasa dan dwibudaya. Ia menghabiskan
waktu selama 15 tahun sebagai putra mahkota dan calon tetap pewaris takhta.
Jadi, ia memiliki waktu cukup lama untuk mempersiapkan diri sebelum naik
singgasana. Tetapi setelah berkuasa, ia malah mengalienasikan berbagai
kelompok di kalangan elite. Pada dasarnya, Vajiravudh berupaya
mempertahankan sistem absollut yang diciptakan ayahnya tetapi tanpa
memiliki aset yang sama terutama karisma pribadi Chulalongkorn dan
kemampuan untuk menerapkan pengaruhnya terhadap kepentingan-
kepentingan yang bersaing. Ia banyak menghabiskan uang untuk kepentingan
dirinya sendiri dan rekan-rekan favoritnya yang merupakan sejumlah
pangeran dan para bangsawan. Konsekuensi lain dari preferensinya terhadap
pertemanan dengan laki-laki adalah kekhawatiran akan pewaris takhta di
kemudian hari. Baru pada akhir masa pemerintahannya ia mulai memiliki
seorang pendamping dan pada akhirnya hanya memiliki seorang anak, yaitu
seorang putri yang dilahirkan beberapa saat sebelum ia meninggal.

Vajiravudh juga memiliki hubungan buruk dengan militer. Keputusan


Chulalongkorn untuk membangun pasukan permanen dan dilatih mengikuti
cara-cara Barat memiliki arti bahwa militer sekarang menjadi kekuatan militer
yang harus di perhitungkan. Rama VI sangat menyukai aktivitasa militer
tetapi tentara secara umum lebih setia kepada saedaranya, Pangeran
Chakrabongse. Masyarakat Siam mengalami banyak perubahan dan
Vajiravudh seringkali tidak puas melihat perubahan tersebut. Komunitas Cina
semakin besar dan lebih gelisah, terutam jika berkaitan dengan kebijakan
pemerintah yang bersifat diskriminatif. Sebagai seorang penulis produktif
untuk pers menggunakan nama alias yang tidak menyembunyikan
identitasnya, Vajiravudh marah terhadap semua orang yang mempraktikan apa
yang disebutnya ‘imitasionisme’, meniru gaya Barat dan mencoba mengimpor
nilai-nilai asing ke dalam masyarakat Siam. Ia juga menyerang komunitas
disebutnya ‘Yahudi dari Timur’ karena kegagalan mereka berasimilasi dan
dianggap kurang memiliki kesetiaan terhadap negara tempat mereka tinggal.

Walaupun Siam pada masa pemerintahan Vajiravudh relatif stabil (selain


kudeta gagal 1912), negara ini tidak berkembang secara politik. Raja lebih
tertarik menaikkan citra negaranya di mata internasional melalui jaringan
dengan keluarga-keluarga kerajaan Eropa dan mengirimkan kontingen kecil
untuk bergabung dengan upaya perang Sekutu dari pada melakukan reformasi
politik. Ia sangat mempromosikan nasionalisme tetapi dalam pandangannya,
monarki harus tetap menjadi pusat bangsa. Pers memiliki kebebasan cukup
besar untuk memutuskan apa yang bisa diterbikan. Namun, perdebatan politik
semacam itu hanya menimbulkan frustrasi di kalangan calon reformis.
Nasionalisme Vajiravudh yang kadang kala terlalu fanatik tidak memperkuat
komunitas nasional dan bisa dikatakan bahwa hal ini malah melemahkannya
dengan cara mengecualikan orang-orang yang tidak sesuai dengan definisinya
sebagai ‘orang Thai’, entah itu orang Siam yang mengalami Westernisasi atau
orang Cinta yang tidak berasimilasi.

Ekonomi Siam semakin kompleks selama periode ini. Tanah semakin


menjadi moditas berharga. Para anggora keluarga kerajaan dan bangsawan
yang kuat mendapatkan bidang tanah yang cukup luas di daerah Bangkok,
terutama di sekitar jaringan kanal yang telah dibangun untuk memfasilitasi
transportasi dan pengeringan daerah-daerah yang sedang dibersihkan untuk
pertanian. Namun, semakin jauh meninggalkan Bangkok situasinya semakin
beda. Sepanjang ‘perbatasan beras’, budidaya meluass di tangan-tangan petani
yang secara efektif bertindak sebagai kolonis. Mereka membersihkan dan
mendiami tanah yang biasanya bisa mereka dapatkan hak miliknya. Namun,
kebebasan dari status sebagai petani penyewa tidak selalu berubah menjadi
kemakmuran karena kondisi pertanian di lembah Chao Phraya seringkali tidak
ideal. Pajak dari pemerintah menggantikan uang sewa tetap saja menjadi
beban utama petani.

Vajitavudh relatif lebih memberikan perhatian terhadapt peran ekonomi


orang Cina daripada kesulitan yang dihadapi para petani Siam. Walaupun
sindiran-sindiran anti-Cina biasanya lebih ditulis dalam istilah budaya
ketimbang istilah ekonomi, tuduhan bahwa komunitas asing ini menjadi kaya
di Siam tetapi mengirimkan sebagian kekayaan ini ke Cina memang muncul
dalam tulisan-tulisannya. Walaupun peran orang Cina dalam perbankan dan
peradgangan tidak selalu dipandang ekspoitatif, peran ini tentu saja membuat
mereka takon bahwa rakyat ‘Thai sebenarnya’ adalah rakyat yang bahagia,
makmur, dan setia. Ia merasa bahwa pengamatan kritis terhadap kemiskinan
bersifat biasa dan defini ‘sejahtera’ hanya didasarkan pada sudutpandang
Barat. Pembahasan terhadap kemiskinan di Siam secara otomatis
diterjemahkan sebagai kritik tidak adil terhadap kebijakan pemerintah. Ketika
seorang pejabat menulis buku teks ekonomi yang melukiskan gambaran suram
terhadap eksploitasi dan penindasan yang dihadapi oleh banyak petani
dikerajaan, Raja melarang penerbitannya.

g. Tahun-tahun Terakhir Monarki Absolut (1925-1932)

Ketika Vajiravudh meninggal tanpa pewaris takhta pada 1925, takhta


kerajaan digantikan oleh saudaranya Prajadhipok (Rama VII, bertakhta 1925-
1935) yang merupakan putra termuda Chulalongkorn yang masih hidup.
Menurut pengakuannya, ia adalah kandidat ‘kuda hitam’ takhta karena pada
walnya terdapat tiga orang saudara laki-laki andara Vajiravudh dengan
dirinya, termasuk Chakrabongse yang populer dan berpengaruh. Namun,
semuanya meninggal selama Pemerintahaan Raja Keenam. Ini membuat
Prajadhipok menjadi pewaris takhta kendati ia sejatinya enggan. Ia berbeda
dari saudaranya dalam banyak hal, karena relatif lemah lembut dan sikap
hormatnya terhadap orang lain. Ia juga menikmati perkawinan monogami
yang berbahagia walaupun tidak memiliki keturuan. Pada situasi lainnya, ia
mungkin bisa menjadi penguassa populer tetapi ia menghadapi tantangan
politik dan ekonomi yang terbukti di luar kemampuannya.

Prajadhipok sangat menyadari ketidakpuasan yang menyebar luas


terhadap saudaranya dan perlu dihargai bahwa ia berusaha keras untuk
menjadi ‘anti-Vajiravudh’. Ia juga berupaya melawan dampak pemborosan
finansial pendahulunya dengan memotong pengeluaran kerajaan dan
mengadopsi gaya hidup yang relatif lebih sederhana. Ketidakpuasan ada
dalam tubuh militer dan juga birokrasi. Sebagian, ini merupakan warisan
kesuksesa Chulalongkorn dalam mengirimkan para pemuda dari keluarga
bangsawan ke luar negeri untuk menuntun ilmu bersama para pemuda
kerajaan. Ketika orang-orang muda ini kembali ke Siam, mereka menyadari
‘langit-langit kaca’ dalam sistem yang dipenuhi oleh para perwira dan
pejabat yang sering kali menggenggam posisi lebih karena darah mereka dan
bukan karena keahliannya. Kebangsawanan sendiri bukanlah institusi
monolitik, walaupun eselon teratas menikmati kewenangan yang cukup
besar, tingkat menengah dan terbawah lebih tidak menyukai dominasi
kerajaan. Ketika perlawanan aktif terhadap monarki absolut mulai muncul,
perlawanan ini terkonsentrasi pada tingkatan yang mengandung banyak pria
yang kompeten dan berpendidikan memadai.

Situasi ekonomi Siam selama Kekuasaan Raja Ketujuh adalah faktor


penting lainnya di belakang perlawanan terhadap pemerintah. Pemborosan
pengeluaran di masa pemerintahan Vajiravudh dituding sebgai penyebab
masalah-masalah di awal pemerintahan ini. Prajadhipok mampu
mengembalikan sebagian keseimbangan finansial. Tetapi, ketika Depresi
seluruh dunia turut menerpa negeri itu, Siam terlalu terintegrasi dalam
ekonomi global untuk melepaskan diri dari konsekuensinya. Prajadhipok
menerapkan kebijakan-kebijakan penghematan dalam konteks anggaran dan
sumber daya manusia yang agaknya menjadi senjata utama yang tersedia
untuk menghadapi krisis. Namun, karena terlalu terlihat bahwa adalah orang
biasa dan bukan para pangeran yang sedang mengalami penghematan,
kebijakan ini menambah rasa favoritisme dan ketidakadilan. Prajadhipok
tidak melarang pers. Suratkabar-suratkabar di masa pemerintahannya
menerbitkan banyak kritik tentang monarki absolut, baik tersirat maupun
tersurat.

Prajadhipok tidak marah terhadap kriti-kritik ini seperti telah dilakukan


saudaranya tetapi ia juga tidak menerapkan reformasi signifikan apapun. Ia
setidaknya perna memikirkan ide untuk menyusun konstitusi dan
kemungkinan meretrukturisasi pemerintah Siam menurut garis yang lebih
demokratis tetapi usulan-usulan ini diveta oleh para pangeran yang lebih
konservatif dalam Dewan Agung. Tidak jelas juga seberapa banyak
Prajadhipok benar-benar mempercayai perlunya reformasi semacam itu.
Walaupun belakangan ini ia mendapatkan reputasi sebagai demokrat yang
frustasi, pada saat itu ia menunjukkan sedikit rasa urgensi dalam pembagian
kekuasaan atau membuat monarki menjadi tidak terlalu absolut.

h. Dari Monarki Absolut Menuju Monarki Konstitusional (1932-1937)

Rencana untuk menggulingkan monarki absolut disusun oleh sekelompok


warga sipil dan perwira militer yang menuntut ilmu di Paris beberapa tahun
sebelumnya. Dari generasi pertama Siam yang dikrim ke luar negeri, tidak
ada satu pun yang pergi ke Prancis karena Chulalongkorn merasa takut atass
pengaruh republik. Ketakutannya terbukti memang benar ketika telah cukup
banyak bangsawa tingkat renda yang memiliki kesempata untuk belajar di
sana. Ironisnya, salah satu dari sedikit pangeran yang belajar di Prancis
adalah Prajadhipok yang bersekolah di sekolah militer setelah menyelesaikan
studinya di Inggris. Dari kelompok inti yang kemudian berkembang untuk
mencakup para perwira yang dilatih di Jerman, terdapat dua orang yang akan
memainkan peran kuncul dalam peta perpolitikan Thai selama lebih dari dua
dekade. Mereka adalah Pridi Phanomyong dam Phibun Songkhram.

Para perencana kudeta mengambil nama ‘Khana Ratsadon (Partai Rakyat)’


dan secara bertahap membangun kelompok beranggotakan para perwira
angkatan darat dan angkatan laut serta beberapa orang sipil. Mereka
melakukan kudeta spada 24 Juni 1932, ketika Prajadhipok sedang berada di
intananya di selatan Siam. Tidak lama kemudian, Prajadhipok kembali ke
Bangkok dan setuju untuk bertakhta di bawah rezim konstitusional.
Konstitusio sementara disusun pada bulan Juni, dan konstitusi ‘permanen’
pada bulan Desember. Konstitusi ‘permanen’ ini pada akhirnya bertahan
selama 14 tahun, lebih lama daripada konsitusi yang ada sebelumnya.

Prajadhipok dan orang-orang yang setia kepadanya tidak pernah benar-


benar mau menerima hilangnya monarki absolut. Terjadi kudeta militer pada
Juni 1933 yang menandai pergeseran kekuasaan jangka panjang dari warga
sipil kepada militer. Pendukung kerajaan berupaya melakukan kudetanya
sendiri pada Oktober tetapi berhasil digagalkan. Tidak lama kemudian,
Prajadhipok pergi mengasingkan diri ke Inggris. Ketika ia memulai
perundingan dengan pemerintah untuk mendapatkan konsesi yang
dimaksudkan demi memperkuat kekuatannya sendiri, rezim menolak dan
pada Maret 1935 Prajadhipok turun takhta dan tetap tinggal di pengasingan
hingga kematiannya pada 1941.

Kudeta 1933 membawa seorang perwira militer bernama Phanon


Phahonyusena ke puncak kekuasaan. Ia kemudian menjadi Perdana Menteri
selama empat tahun. Phanon relatif moderat dan mampu menyeimbangkan
berbagai faksi dalam Khana Rasadon yang mewakili berbagai pandangan
tentang bagaimana negara seharusnya dikelola. Namun, Phanon tidak perna
benar-benar menikmati perannya sebagai Perdana Menteri dan beberapa kali
mencoba mengundurkan diri. Pada akhirnya, ia benar-benar melakukannya
pada awal 1938 setelah beberapa anggota kabinetnya kedapatan terlibat
skandal tanah. Ia digantikan oleh Phibun yang telah mulai membangun basis
kekuasaannya sendiri sejak ia membantu menumpas pemberontakan
pendukung kerjaan pada 1933. Perkembangan politik Siam kemudia bergerak
ke arah bededa pada masa Phibun yang jauh tidak moderat dibandingan
Phanon dan lebih suka menghilangkan faksi-faksi oposisi daripada
bekerjasama dengan mereka. Ketika Prajadhipok turun takhta pada 1935,
dibuat keputusan untuk menggantikan Prajadhipok dengan keponakannya,
Ananda, yang baru berusia 10 tahun untuk menjadi Raja Rama VIII
(bertakhta 1935-1946). Tanpa kudeta, putra Mahidol (keponakan
Prajadhipok, putra Pangeran Mahidol, putra Chulalongkorn) kemungkinan
tidak akan bisa tinggi posisinya dalam daftar suksesi tetapi seorang pangeran
tingkat tinggi yang mungkin saja bisa menjadi kandidat sedang berada di
pengasingan. Baik sang pangeran maupun putranya tidak dapat diterima oleh
rezim. Memiliki penguasa muda yang secara geografis terpisa dari
kerajaannya tentu saja sangat sesuai dengan keinginan pemerintah untuk
mengkonsolidasikan kekuasaannya yang merugikan monarki.

i. Phibun Berkuasa, 1938-1941

Naiknya Phibun menjadi perdana menteri pada 1938 secara efektif


menghentikan evolusi Siam sebagai demokrasi parlementer. Menurut
konstitusi 1932, parlemen dibagi menjadi anggota yang dipilih dan diangkat,
yang didasarkan pada argumentasi bahwa rakyat Siam belum siap atau
belum cukup sadar secara politik untuk memilih seluruh anggota parlemen.

Anda mungkin juga menyukai