Anda di halaman 1dari 5

I.

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Pemberontakan Petani Banten 1888

Penulis : Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo

Penerbit : Pustaka Jaya

Kota Terbit : Jakarta

Tahun Terbit : 1984

Jumlah Halaman : 508

II. ULASAN BUKU

Dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888 yang merupakan bentuk


terjemahan dari buku asli yang berjudul The Peasents’ Revolt of Banten in 1888,
merupakan karya historiografi oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo mengungkap
rentetan peristiwa atau kejadian tentang pemberontakan yang dilakukan oleh
kaum petani yang ada di wilayah Jawa Barat khususnya Banten pada abad XIX.
Peristiwa pemberontakan ini disebabkan oleh masuknya perekonomian barat yang
tidak diharapkan oleh masyarakat Banten khususnya para petani karena ditakutkan
akan terjadi penguasaan politik yang merugikan para petani. Selain itu, adanya
pajak yang dibebankan kepada masyarakat miskin terlalu berat. Oleh sebab itu
munculah pemberontakan yang tidak lain dilakukan oleh para petani Banten.
Namun disini yang melakukan pemberontakan bukan hanya para petani saja
melainkan juga para pemuka agama seperti Haji Abdul Karim, Haji Tubagus
Ismail, Haji Wasid, dan Haji Abdu Karim. Para pemuka agama ini merupakan
pimpinan dalam pemberontakan yang juga sebagai sarana untuk mengungkapkan
keinginan para petani terhadap pemerintahan barat. Tetapi dalam prakteknya para
petani justru bersifat pasif dan hanya dijadikan sebagai alat oleh para bangsawan
dan pemuka agama untuk memberontak agar tetap berpegang pada kesultanan
atau sistem tradisional. Dalam hal ini, pemberontakan yang terjadi di Banten pada
9-30 Juli 1888 tersebut termasuk dalam pergolakan sosial daerah. Dengan adanya
karya dari Sartono ini juga mematahkan pemikiran bahwa sejarah hanya dibuat
oleh orang-orang besar atau kaum bangsawan dan kaum elite politik saja. Maka
dengan munculnya buku Sartono Kartodirdjo yang berjudul Pemberontakan
Petani Banten 1888 dapat mengubah paradigma bahwa sejarah juga dapat
diciptakan oleh kaum kecil yang tidak memiliki kekuasaan seperti para petani
yang ada di Banten. Dalam penulisannya, Sartono juga menggunakan pendekatan
multi-dimensional yang memanfaatkan peristiwa-peristiwa masa lalu sebelum
adanya pemberontakan petani Banten untuk dikaitkan satu sama lain.

III. RINGKASAN ISI

Dalam Bab I membahas pemberontakan petani dapat dipandang sebagai


bentuk protes terhadap masuknya perekonomian barat dan terhadap pengawasan
politik. Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, menimbulkan adanya
buruh upah dan dari itu terjadilah keruntuhan struktur ekonomi dan politik yang
tradisional. Pemberontakan petani di Banten tahun 1888 merupakan
pemberontakan yang besar, yang menjadi pergolakan sosial yang menonjol di
Jawa pada abad XIX. Para pemimpinnya merupakan satu golongan elite, yang
mengembangkan dan menyebarkan ramalan-ramalan dan visi sejarah yang sudah
turun-temurun mengenai akan datangnya Mahdi yang juga bersamaan dengan
munculnya bencana alam seperti meletusnya gunung Krakatau. Sedangkan
anggota gerakan itu tidak hanya terdiri dari petani, melainkan juga berasal dari
pemuka agama yang memainkan peranan utama dalam hampir semua
pemberontakan besar. Sehingga dalam hal ini peran petani dianggap pasif oleh
para pemimpin.

Dalam Bab II membahas tentang latar belakang sosio-ekonomis Banten.


Kesultanan Banten berdiri pada tahun 1520 oleh pendatang-pendatang dari
kerajaan Demak di Jawa Tengah yang mana masyarakatnya berkerja sebagai
petani terlihat dari letak wilayah yang agraris. Adapun peran sultan adalah sebagai
pelindung segala stabilitas ekonomi masyarakat. Namun, Daendels menghapuskan
sistem Kasultanan Banten dan segala aspek meliputi daerah pesisir utara serta
wilayah-wilayah lain terdiri dari daerah pegunungan Banten, bagian barat Bogor
dan Jakarta, dan juga Lampung di Sumatera bagian Selatan. Sedangkan pada masa
Raffles tanah pusaka dipungut pajaknya dalam bentuk sewa tanah. Mereka yang
memiliki tanah pusaka tersebut mendapat ganti rugi. Kebijakan seperti ini ternyata
tidak memberikan kepuasan terhadap anggota kerabat dan pejabat-pejabat Sultan,
karena banyak dikorupsi oleh para pamongpraja. Kebudayaan Barat menciptakan
peraturan-peraturan, yaitu dengan diberlakukannya sistem uang, memunculkan
buruh upah, adanya administrasi yang terpusat, perpajakan yang seragam, serta
adanya sarana-sarana komunikasi yang lebih modern. Dari sinilah muncul rasa
ketidakadilan oleh masyarakat khususnya para petani yang tidak menginginkan
diadakanya pajak. Di daerah-daerah, agama mempunyai peranan yang sangat
penting, akhirnya para petani mengemukakan gagasan-gagasan milenarinya
kepada para pemuka agama dengan maksud pemuka agama melancarkan gagasan-
gagasannya itu.

Dalam Bab III membahas munculnya kekuatan Belanda dalam sistem politik
Banten membuat situasi semakin tidak terkendali. Pemerintahan kolonial
membentuk satu sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan yang
tidak sah kepada rakyat. Setelah kaum bangsawan mengalami kemerosotan dan
kemiskinan membuat elit agama menjadi berperan penting dalam memberontak
pemerintahan kolonial untuk tetap berpegang pada tradisional. Mereka
menggunakan gerakan-gerakan yang radikal dan milenari, akan tetapi elit baru
justru ingin ikut arus mordenisasi yang diciptakan oleh pemerintahan kolonial.

Dalam Bab IV membahas tentang runtuhnya kesultanan membuat Banten


mengalami pergolakan sosial yang sudah sangat parah. Ttidak adanya suatu
kekuatan membuat sistem tatanan di Banten menjadi carut marut. Nilai-nilai
tradisional selalu bertabrakan dengan nilai-nilai modern. Kekuatan pemerintah
kolonial yang kuat di Banten tidak membuat rakyat hormat dan tunduk pada
pemerintakan kolonial. Munculnya tindakan-tindakan kriminal seperti;
perampokan, pembegalan, pencurian serta tindakan-tindakan lain yang melanggar
hukum membuat pejabat-pejabat lokal tidak bisa menjaga dan mengatur keadaan
di daerah-daerah pedesaan. kerusuhan-kerusuhan itu juga didukung oleh
administrasi lokal yang memburuk, ketidak berdayaan polisi serta adanya
dukungan oleh rakyat jelata.

Dalam Bab V membahas tentang keresahan sosial. Keadaan yang terjadi di


Banten pada abad XIX tidak saja dianggap sebagai pergolakan sosial yang
mengubah tatanan kehidupan tetapi juga sebagai tempat munculnya kebangkitan
agama. Dijelaskan bangkitnya kembali agama, selama pertengahan abad XIX
terjadi kenaikan jumlah orang yang naik haji. Karena adanya pencerahan dari
orang-orang yang berdakwah di daerah-daerah, munculnya tarekat-tarekat islam,
dan berkembangnya pesantren dan sekolah agama. Gerakan-gerakan ini
merupakan upaya untuk mendapatkan simpati serta dukungan dari rakyat.
Anggota-anggota tarekat inilah yang akan dijadikan sebagai kelompok
revolusioner yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan kolonial. Tahun
1880-an mulai bermunculannya semangat ikut fanatisme agama yang menunjukan
sikap agresif terhadap orang-orang Belanda. Hal ini membuat kekhawatiran
Belanda terhadap fanatisme yang menggangap orang-orang Belanda sebagai
orang kafir dan membuat Belanda tidak lagi percaya pada pejabat-pejabat Banten.

Dalam Bab VI menjelaskan tentang persiapan-persiapan untuk melancarkan


pemberontakan. Setelah mendirikan pesantren, tarekat serta berdakwah-dakwah
para ulama mengobarkan konsep pemberontakan dengan perang jahil. Tarekat-
tarekat dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan informasi-informasi rahasia dan
komunikasi antara komplotan-komplotannya tanpa di ketahui oleh pejabat-pejabat
daerah. Tarekat juga digunakan sebagai tempat untuk berkumpul melakukan zikir,
sholat yang kemudian mempertemukan kiyai sebagai pemimpin dalam
revolusioner. Mereka membahas tentang berbagai strategi-strategi kampanye
untuk memberontak pemerintah Belanda.

Dalam Bab VII menjelaskan pemberontakan di Banten, pemberontakan


meletus pertama kali pada malam hari tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan
pertama diadakan di Cilegon yang dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail dan
pemimpin-pemimpin terkemuka lainnya. Pemberontakan di susul dengan
serangan terhadap Serang. Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat
pamongpraja, Eropa dan pribumi yakni, asisten residen, kontrolir muda, patih,
wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam dan
pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial. Dalam
pemberontakan ini terjadi banyak pertumpahan darah.

IV. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU

A. Kelebihan

Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo
ini sangat menarik karena adanya tema baru dalam dunia historiografi di
Indonesia. Selain itu isi dari buku ini cukup komplit, tidak hanya menuliskan apa
yang terjadi dan kapan, akan tetapi juga bagaimana dan apa sebabnya itu terjadi.
Dengan menggunakan pendekatan multi-dimensional yang dilakukan Sartono
juga memperkaya pembahasan historis permasalahannya karena dihubungkan
dengan beberapa peristiwa masa lampauyang terjadi sebelum pemberontakan
petani Banten itu sendiri. Tulisan Sartono Kartodirjo ini juga membuktikan bahwa
sejarah tercipta bukan hanya berasal dari peristiwa yang berkaitan dengan kaum
bangsawan maupun kaum elite, namun juga dapat diciptakan oleh kaum kecil
seperti para kaum petani Banten yang melakukan pemberontakan sebagai fokus
utama pada tulisannya.

B. Kekurangan

Kekurangan buku ini menurut saya hanya sedikit, yaitu terletak pada
bahasanya yang kaku dan kurang efektif sehingga sulit dipahami. Sebenarnya
wajar bagi buku ilmiah karangan Sartono Kartodirjo. Namun alangkah lebih
baiknya apabila bahasa dapat dipermudah atau disederhanakan lagi sehingga
pembaca tidak memerlukan usaha yang cukup keras dan membaca berulang-ulang
untuk mengerti setiap bagian dari buku Pemberontakan Petani Banten 1888 ini.

Anda mungkin juga menyukai