PENDAHULUAN
BAB II
LANDASAN TEORI
Masyarakat Samin adalah masyarakat yang memiliki ciri-ciri khusus yang menjadi
identitas mereka dalam penampilan sehari-hari yang berbeda dengan masyarakat lain di
sekitarnya. Identitas itu menunjukkan karakter dan perlengkapan mereka sesuai dengan ajaran
saminisme yang mereka pertahankan dari waktu ke waktu terutama di kalangan generasi tua.
Mereka merasakan kebenaran dan keyakinan yang kuat terhadap ajaran-ajaran peninggalan
Samin Surontiko sebagai suatu pandangan hidup yang sangat berguna. Sikap perbuatan warga
Samin selalu diikuti bukti-bukti nyata dan konsekuen sesuai dengan ajaran yang diterima.
Simbol identitas masyarakat Samin antara lain terlihat pada pakaian yang dipakai dan juga
bahasa. Mereka tidak mengenal tingkataan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa
Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap
dan perbuatan yang ditunjukkan. Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak
memakai krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya
kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.
Ajaran saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda
yang sewenang-wenang. Perlawanan orang Samin yang dipelopori Samin Surontiko (nama
aslinya Raden Kohar) tidak dilaksanakan secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap
segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya tidak
membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan,
adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri. Misalnya perkawinan sudah dianggap sah
walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.
menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh
masyarakat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata sami-sami amin yang
artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah memberandalkan
diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak
hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan
pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata)
dengan cara ceramah di pendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi ceramah ini yaitu keinginan
membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu
meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam, dan
jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun, akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko dicekal oleh Belanda dan ia
dibuang ke Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ideidenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga disita
yang berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan
orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang
melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa
kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan
sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan
masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah
petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih
dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang
mapan.
bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian
tanpa membayar karcis kereta, dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan
menyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam.
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa Kawi yang ditambah dengan
dialek setempat, yaitu bahasa Kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang polos
dan jujur, hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan
makanan yang dimiliki dan tidak pernah menyimpan makanan yang dimilikinya. Pengetahuan
orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui
rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu
menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial, kekeluargaan dan tanggung jawab sosial.
Orang Samin percaya, dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini
dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller, dan lain-lain. Pakaian yang
digunakan orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat
dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup.
Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin
Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur
(Blora), Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya
fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin di antaranya:
1. Menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi Budha)
5. Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Berdagang bagi
orang Samin dilarang karena dalam perdagangan ada unsur ketidakjujuran. Juga tidak
boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.
tidak bersekolah,
tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala
mirip orang Jawa dahulu,
tidak berpoligami,
tidak berdagang.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin :
1. Keseimbangan
2.Harmonisi
3 Kesetaraan Keadilan
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
Samin yang semula diperkenalkan oleh Raden Kohar atau lebih dikenal dengan mbah Samin
Soerosentiko pada tahun 1889 di daerah Blora, Jawa Tengah. Ajaran Samin muncul sebagai
bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya terlalu
mengeksploitas orang-orang Jawa sehingga selalu menderita dan miskin. Perlawanan mereka
diwujudkan dalam bentuk menolak membayar pajak, menolak menyumbangkan tenaganya untuk
kerja pada Belanda, menolak ronda malam, menolak menyerahkan sebagian hasil panennya
sebagai upeti. Ajaran Samin yang semula hanya berkembang di desa Klopoduwur, Blora saja,
kemudian terus berkembang hingga mencapai wilayah Bojonegoro, Blora, Kudus, Grobogan,
Ngawi, Demak, Madiun, Tuban dan Pati. Hingga tahun 1907, desa Tapelan (Bojonegoro) tercatat
memiliki jumlah pengikut Samin terbesar yakni sekitar 7000 orang (Mumfangati, 2005:23).
Ajaran Samin dapat berkembang terus secara baik di masa kolonial Belanda, namun ketika
Indonesia telah merdeka masyarakat Samin terdesak eksistensinya. Bahkan di beberapa tempat
(seperti Madiun, Demak dan beberapa desa di Bojonegoro, Tuban, Ngawi, dll) telah lenyap.
Berdasarkan data-data yang sempat saya kumpulkan pada waktu itu (2007) serta analisis
sederhana yang saya lakukan, tampaknya ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
perubahan sosial-budaya masyarakat Samin. Penjelasan rinci akan saya berikan pada bagian
berikut nanti.
Menurut Benda dan Castle (1960, dikutip oleh Winarno, 2003:58) masyarakat Samin di desa
Tapelan Bojonegoro telah ada sejak tahun 1890, dan tempat kedua terpenting dalam penyebaran
ajaran Samin selain daerah asalnya yaitu Klopoduwur, Blora Jawa Tengah. Secara geografis
antara desa Tapelan dengan kabupaten Blora hanya dipisahkan oleh sungai Bengawan Solo. Oleh
sebab itu sangat masuk akal jika Tapelan menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan ajaran
Samin. Menurut hasil wawancara saya dengan sesepuh masyarakat Samin di desa Tapelan, mbah
Sada (telah meninggal dunia pada bulan Juni 2008 karena usia tua), pada waktu penjajahan
Belanda, penduduk acapkali mendapatkan siksaan badan jika tidak mamu membayar pajak. Oleh
karena itu masyarakat desa menggunakan strategi Nyamin, yaitu berpura-pura gila atau
nggendheng. Jika ditanya, maka jawabannya ngawur atau tidak sesuai dengan pertanyaan,
kemudian juga (dipakai), tidur di pekarangan rumahnya kanggo maksudnya semua yang ada di
rumahnya itu dipakai/digunakan. Secara kasat mata orang Samin bisa dibedakan dengan orang
pada umumnya dari segi pakaian yang dikenakan. Kaum laki-laki menggunakan pakaian serba
hitam (biasa disebut dengan baju kampret), sedangkan kaum perempuan (terutama ibu-ibu)
menggunakan pakaian jarit dan kebaya sederhana. Namun ciri khas tersebut juga telah mulai
luntur (kaum lelaki menggunakan kaos dan hem, hanya orangtua saja yang masih kelihatan
bebaju kampret).
Pada saat ini (2007) komunitas Samin di desa Tapelan tinggal 8 keluarga saja, itupun hanya
orangtua saja, sebab anak-anaknya tidak lagi menganut ajaran Samin secara konsisten (artinya
hanya ajaran hidup yang baik-baik saja yang diambil, sedangkan ajaran lainnya yang berkaitan
dengan ekonomi dan perkawinan sudah ditinggalkan).
Jika di masa lampau perkawinan orang Samin menganut prinsip endogami (menikah hanya
dengan sesama orang Samin), namun saat ini hal itu sudah tidak lagi dilakukan. Berkaitan
dengan perkawinan orang Samin terdapat tradisi nyuwito, yakni sebelum dilakukan perkawinan
lelaki calon mempelai harus mengabdi pada orangtua si perempuan dengan jalan bekerja dan
tinggal di rumah orangtua calon istrinya hingga dirasa cukup. Tidak jarang pada masa nyuwito
anak perempuan calon istrinya sudah lebih dahulu hamil. Namun sekarang tradisi nyuwito dan
prinsip endogami sudah tidak lagi dilakukan. Mereka mencari pasangan tidak lagi terbatas pada
kelompoknya saja, melaiinkan sudah mengambil jodoh hingga ke luar batas-batas kelompok
bahkan desa. Demikian pula mereka kini sudah mengikuti hukum negara yakni menikah lewat
KUA jika menemukan jodoh Muslim.
Demikian pula dengan pekerjaan, jika dahulu orang Samin pantang untuk bekerja di luar
bidang pertanian, namun saat ini mereka (khususnya kaum muda) sudah tidak lagi bekerja di
lahan pertanian. Kebanyakan berdagang, bahkan ada yang merantau dan menetap di Jakarta dan
beberapa kota lainnya untuk bekerja di kantor selain berdagang. Jika di desa Tapelan, banyak
orang Samin yang berdagang kapuk randu dan menjual bantal guling hingga ke kota Ngawi dan
Bojonegoro. Beberapa perubahan yang terjadi pada masyarakat Samin desa Tapelan, khususnya
akan saya tampilkan dalam tabel berikut ini:
No.
Aspek Perubahan
1.
Samin Tua
Tetap menjadi
Samin Muda
Berdagang atau
pencaharian
petani.
dengan ketidakjujuran.
Berpegang pada konsep
Tetap, tidak
lain.
Memeluk agama
kepercayaan
manunggaling Kawula
berubah
2.
3.
Pakaian
Gusti, melakukan
lagi melakukan
Terkadang
tradisi leluhur
Sudah memakai
memakai kaos
dan kemeja,
4.
5.
Perkawinan
kebaya
Adat nyuwito dan tanpa
beralas kaki
Tetap dengan
Ada proses
mahar
perkawinan yang
tidak melakukan
dilakukan di KUA
Tata cara
nikah di KUA
Ada yang tetap,
Sepenuhnya
pemakaman
tanda
berubah mengikuti
berubah
Islam Jawa
nengikuti tradisi
6.
7.
Pajak
Pendidikan
Islam Jawa
Berubah, mau
Sudah mau
sebagai bentuk
membayar
membayar pajak
perlawanan terhadap
karena sudah
kolonial Belanda
Dilarang bersekoilah
Belanda
Tetap tidak
sekolah, hanya
sebagai kolonialisme
membantu
jika tidak
orangtua di
bersekolah
rumah dan di
sawah
sombong
Sumber tabel: diolah dari skripsi Yuristia Ardani, 2009 (sebagian data-data berdasarkan wawancara
prapenelitian bersama Pudjio tahun 2007).
Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan, dan baru disadari ketika mulai
membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi di masa lampau. Perubahan sosial yang terjadi
dapat disadari maupun tak disadari, dapat bersifat progress maupun regress (maju maupun
mundur). Davis (1960) menyebut perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi
dalam struktur dan fungsi masyarakat. Secara sosiologis, faktor-faktor yang mendorong
terjadinya perubahan sosial, baik eksternal maupun internal ada 6, yakni:
1. Adanya kontak dengan budaya lain
2. Meningkatnya pendidikan warga masyarakat
3. Adanya stratifikasi sosial yang bersifat terbuka
4. Meningkatnya penghargaan terhadap hasil karya pihak lain
5. Jumlah penduduk yang heterogen shg memungkinkan terjadinya interaksi sosial dan
budaya satu dengan lainnya
6. Adanya ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kondisi atau bidang-bidang tertentu
dalam masyarakat yang dinilai menghambat perkembangan dan kemajuan masyarakat
7. Meningkatnya intervensi teknologi informasi melalui media TV dan film
8. Makin lancarnya perjalanan dari satu tempat ke tempat lain karena perdagangan makin
lancar (Warsito,2001).
Demikian pula dengan yang dikemukakan oleh Maran (2000) bahwa ada lima faktor yang
menyebabkan perubahan sosial budaya, yakni:
1. Lingkungan alam seperti iklim, kekurangan bahan makanan atau jumlah penduduk
2. Kontak budaya dengan masyarakat luar yang mempunyai nilai-nilai budaya, normanorma yang berbeda
3. Adanya discovery dan invention pada masyarakat tersebut
4. Adopsi melalui proses difusi
5. Adopsi pengetahuan dan kepercayaan baru
Berdasarkan data-data perubahan sosial budaya orang Samin seperti yang tertera
dalam matriks di depan dan penjelasan teoritik seperti yang dikemukakan oleh Maran dan
Warsito, ada beberapa faktor penyebab perubahan sosial budaya orang Samin. Pertama,
berubahnya lingkungan, baik alam maupun sosial. Jika di masa lalu orang Samin di desa
Tapelan bermukim di bagian ujung (puthuk) desa dan tidak bisa secara leluasa kontak dengan
dunia luar karena halangan geografis, maka sejak dibukanya akses jalan dari dusun puthuk ke
jalan utama Bojonegoro Ngawi perubahan mulai terjadi dan makin cepat intensitasnya.
Kedua, adanya kontak dengan dunia luar maka terjadi asimilasi, dan makin lama posisi orang
Samin yang minoritas makin kehilangan pegangan budayanya dan masuk dalam pusaran
budaya dominan. Ketiga, terjadinya perubahan melalui difusi kebudayaan dari luar yang
dianggap lebih mampu menghadapi tantangan jaman---misalnya beralih dari pertanian ke
perdagangan dan jasa, memasukkan anaknya ke dunia pendidikan formal serta pemanfaatan
alat-alat elektronik. Keempat, adanya adopsi teknologi dan sistem kepercayaan baru. Adopsi
teknologi di masyarakat Samin Tapelan diawali dengan pemasangan listrik PLN, kemudian
pemanfaatan elektronika. Demikian pula dengan pilihan untuk menganut kepercayaan Islam,
sebab secara hukum formal sistem kepercayaan lama mereka (agama Adam) tidak
mendapatkan tempat sehingga untuk perkawinan dan mengurus surat-surat administrasi
kependudukan mereka harus mencantumkan agama yang diakui oleh pemerintah. Mereka
memilih Islam karena mayoritas agama di desa Tapelan adalah Islam.
Dalam perspektif fungsional. Khususnya Parson setiap masyarakat dan lembaga yang ada di
dalamnya akan senantiasa mengalami perubahan, dan perubahan tersebut akan mencapai
bentuknya yang stabil dan seimbang, sehingga tidak terjadi kekacauan
posisi rumah adat di Kampung Pulo tergambar seperti di bawah ini, nomor 1 adalah rumah
kuncen, dan nomor 7 adalah masjid, sedangkan sisanya adalah rumah yang dihuni masyarakat
adat Kampung Pulo dan jumlah rumah disini tidak boleh ditambah dan dikurangi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang kami dapat dari pembuatan makalah ini adalah bahwa
masyarakat samin masih bertahan sampai sekarang karena kefanatikan
mereka terhadap tokoh perintis ajaran samin itu sendiri yaitu Samin
Surontiko yang mereka anggap bahwa ajaran inilah yang patut meraka
lestarikan serta cocok untuk kehidupan meraka serta tradisi budaya
mereka.
4.2 Saran
Saran kami adalah agar tetap melestarikan ajaran yang mereka yakini
karena, ajaran ini yaitu ajaran samin merupakan suatu kebudayaan bagi
bangsa Indonesia itu sendiri, ajaran ini jugalah yang membuat bangsa
Indonesia memiliki berbagai macam adat istiadat dan ajaran, namun tetap
pada norma jangan menutup diri dari kebudayaan nasionalisme dan fanatic
terhadap ajarannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA