Anda di halaman 1dari 38

Peter Kasenda 1

Gemuruhnya Suara Buruh

“Bersatulah kaum buruh”


Karl Marx

Munculnya kehidupan serikat buruh adalah pada awal kapitalisme. Bertolak dari
kepentingan langsung untuk perbaikan syarat-syarat ekonomi dan sosial bagi kehidupan
kaum buruh, kaum buruh menyatakan diri dalam wadah organisasi berupa serikat buruh
Di dalam masyarakat kapitalis, pentingnya menyatukan diri adalah karena kaum buruh
menghadapi kekuatan yang lebih canggih Kendati tidak keluar dari jangkauan
kapitalisme, serikat buruh yang baru saja muncul dan bergerak, sudah menghadapi
tindakan-tindakan represif pihak majikan-majikan dan pemerintah. Bukan kejadian yang
langka, bahwa di dalam masyarakat kapitalis, aparat kekuasaan baik militer maupun
polisi dikerahkan untuk mengagalkan aksi-aksi kaum buruh yang diorganisasi oleh
serikat buruh. Gejala yang demikian pada umumnya berlatar belakang kekhawatiran
pihak borjuasi, bahwa gerakan serikat buruh akan melahirkan perjuangan revolusioner
kelas buruh menggulingkan kekuasaan negara untuk mengakhiri kapitalisme.

Dengan berkembangnya kapitalisme, berkembang pula jumlah kaum buruh sebagai


penjual tenaga kerja. Tugas-tugas yang menjembatani serikat buruh pun semakin
bertambah banyak dan semakin bervariasi. Lama-kelamaan tuntutan-tuntutan dan aksi-
kasi kaum buruh yang diorganisasi oleh serikat buruh semakin melewati jangkauan lama
Walaupun pangkal bertolaknya kepentingan pokok yang berbeda, menghadapi serikat-
buruh yang semakin kuat dan berpengalaman, majikan-majikan dan pemerintah terpaksa
bertoleransi dalam batas tidak terkutiknya hubungan produksi kapitalis

Banyak sengketa-sengketa antara serikat buruh dan majikan dan pemerintah yang bisa
melahirkan persetujuan atau kompromi dengan hanya melalui perundingan. Namun untuk
dapat melahirkan persetujuan dan kompromi, tidak sedikit perundingan-perundingan
yang menemui jalan buntu. Karenanya supaya bisa mencapai persetujuan atau kompromi,
oleh serikat buruh banyak diorganisasi pemogokan sebagai bentuk kekerasaan. Untuk
mematahkan pemogokan, terutama pihak majikan menggunakan beberapa cara. Misalnya
mengerahkan gerombolan “pematah pemogokan“ (strike breakers atau staking breakers),
menutup perusahaan (lack out) atau tidak mau membayar upah buruh selama waktu
mogok. Yang digunakan oleh majikan bisa hanya satu di antara tiga contoh, dia di
antaranya atau ketiga-tiganya serempak bersama-sama

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 2

Di negeri-negeri jajahan, objek utama gerakan serikat buruh adalah perusahaan-


perusahaan modal monopoli asing dan kekuasaan politik penjajah. Borjuasi domestik
yang masih lemah digencet juga oleh borjuasi besar pemilik perusahaan-perusahaan
modal monopoli asing dan oleh pemerintah kolonial. Borjuasi domestik yang masih
lemah digencet juga oleh borjuasi besar pemilik perusahaan-perusahaan modal monopoli
asing dan oleh pemerintah kolonial. Borjuasi domestik bukan sasaran pokok gerakan
serikat buruh. Borjuis domestik banyak yang menjadi penganjur nasionalisme, yaitu
nasionalisme yang dalam pertumbuhannya mempunyai karakter berbeda dengan
nasionalisme di Barat. Jika di Barat menjadi sandaran berkembangnya kapitalisme, di
negeri-negeri ini melawan kapitalisme yang sudah memuncak menjadi imperialisme yang
sudah melebarkan sayapnya dengan memaksa negara-negara lain untuk dijajah. Maka
serikat-buruh ikut berpartisipasi dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional.

Di negara berkembang, kelas buruh semakin kuat, demikian juga borjuasi domestiik.
Berdasar atas kepentingan pokok yang berbeda antara dua kelas sosial itu, dengan
maksud melemahkan atau jika mungkin melumpuhkan perjuangan kelas buruh, kaum
imperialis berkepentingan mengadu domba keduanya sambil merangkul borjuasi
domsetik. Karena kolonialisme dalam bentuk lamanya sudah tidak popular dan tidak
dapat dipertahankan, sandaran utama kaum imperialis adalah borjuasi domestik yang
memegang kekuasaan politik, yang bersedia menjadi panyalur kepentingan kaum
imperialis, terutama di bidang ekonomi. (Soegiri DS, 2003: 7 – 19)

Bermula Sarekat Buruh

Abab ke-19 adalah abad yang paling revolusioner dan penuh perubahan dalam sejarah
kepulauan yang saat ini dikenal sebagai Indonesia. Di awal abad ini konsep negara—
kolonial Hindia Belanda—disiapkan oleh Herman Willem Daendels (1806-1811)—
seorang pengagum revolusi Perancis—untuk mempertegas pengelolaan wilayah koloni
yang sebelumnya hanya merupakan mitra perdagangan Vereenigde Oost-Indiche
Compagnie (VOC).

Di abad itu pula struktur masyarakat kapitalistik, terbentuknya lembaga keuangan


Nederlansche Handels-Maatschapij (NHM) dan Javasche Bank didirikan. Tampil
pengusaha-pengusaha Eropa mengelola industri perkebunan dan pabrik-pabrik, sementara
kaum bumiputera disiapkan menjadi buruh. Di abad ini telah ada buruh—karena
industrial kapitalistik (hubungan buruh dengan modal) untuk memproduksi barang-
dagangan seca masaal (generalz commodity production) telah dimulai sejak 1830.

Bila kita membaca hasil-hasil penelitian abad ke-19 cenderung diangkat persoalan protes
petani. Sementara petani di Hindia Belanda adalah petani yang tidak dapat dikategorikan
sebagai farmer (tuan tanah kapitalis), namun lebih merupakan peasant (petani gurem
/miskin). Kaum tanai gurem ini untuk hidupnya harus bekerja pada industri-perkebunan
yang diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sehingga sebetulnya yang dimaksud

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 3

dengan protes petani—dengan telah adanya produksi barang dangang secara massal—
adalah buruh.

Di masa selanjutnya, mempekerjakan petani sebagai buruh semakin tidak bisa


dilandaskan pada penguasaan tanah, seperti dilaporkan oleh Commisie Umbgrove.
Diferensiasi sosial masyarakat desa sejak sikep (petani kaya) yang juga dapat mencakup
posisi loerah, wedono dan sebagainya, jelas mempunyai akses terhadap tanah. Namun
beberapa lapisan sosial di bawah seperti menoempang dan boedjang lebih merupakan
buruh ketimbang lapisan sosial berakses tanah. Dua klasifikasi sosial belakangan adalah
potensial menjadi buruh. Dan meskipun di beberapa daerah terjadi perubahan istilah dari
sikep menjadi kuli kenceng atau kuli kendo hal ini tidak berarti mereka dapat dipaksa
melepas hak-hak menjadi buruh tani. Mereka tetap bertahan sebagai kelas petani kaya
yang tidak perlu menjual tenaga kerjanya pada orang lain, atau pada pabrik.

Setelah 1870 perkembangan industri menjadi demikian pesat. Jaman liberal ini direspon
secara optimal oleh kalangan swasta Eropa. Beberapa perusahaan perdagangan swasta
mengambil alih peran yang selama ini dilakukan oleh NHM, seperti Maclaine Watson
(telah berdiri sejak 1820), George Wehry), Borneo Sumatra Maatschappij, Borsumij
(1894). Dan beroperasi bank-bank swasta seperti Nederlansch-Indisch Escompto
Maatschappij (1857), Nederlansch Indisch Handelsbank (1863), Internationale Crediten
Handelsvereeniging Rotterdam (1863), Internasionale Credit-en Handelsvereening
Rotterdam (1863), Handelsvereeninging Amsterdam (1878), dan Koloniale Bank (1881),
dan sebuah bank uang terbatas operasinya di Vorstenlanden. Dorrepaatsche Bank (1984).
Karena aktivitas mereka mendukung dana industri pertanian-perkebunan, bank-bank
tersebut dikenal pula sebagai cultuure-banken.

Investasi tidak hanya di Pulau Jawa namun juga merambah Pulau Sumatra. Bila investasi
di Jawa memerlukan proses-proses panjang dalam mentransformasikan petani menjadi
buruh; struktur feudal/kerajaan menjadi struiktur birokrasi kolonial. Hal ini tidak terjadi
dalam pembukaan Sumatra Timur

Hal berbeda yang berkembang di Sumatra Timur adalah, perkebunan-perkebunan


tembakau dibangun mulai tahun 1863 di daerah Deli oleh Jacobus Nienhuys,
mendatangkan buruh-buruh dari luar wilayah tersebut, seperi dari Semenanjung Melayu
(Malaysia dan Singapura), Pulau Jawa. Mereka diikat dengan kontrak. Dan kontrak
tersebut tidak dapat diakhiri oleh sang buruh. Bila buruh berusaha melarikan diri dari
tempat kerja merdeka akan dikenakan hukuman yang dikenal sebagai poenale sanctie:
suatu hukuman yang dalam ukuran sejaman pun sangat kejam yaitu dapat berupa hukum
cambuk untuk buruh laki-laki hingga dibunuh—Jacobus Nienhuys, pemilik Deli
Maatschapppij, menghukum cambuk 7 buruhnya hingga mati, hal mana membuat dia
pergi tergesa-gesa dari Sumatra Timur. Kasus lain, seorang buruh perempuan diikat pada
bungalow tuan kebun dan kemaluannya digosok dengan lada. Penyiksaaan-penyiksaan
ini, oleh Jan Breman, disebut menjalankan produksi menggunakan terror Para pemilik
perkebunan mempunyai otonomi begitu luas sehingga perkebunan-perkebunan itu
menjadi “negara dalam negara “.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 4

Serikat-serikat buruh orang-orang Eropa di Hindia Belanda berdiri sejak akhir abad ke-
19. Berturut-turut lahir Nederlandsch-Indisch Onderwijzers Genootschap (1897);
Staatsspoor Bond didirikan di Bandung pada 1905; Suikerbond (1906); Cultuurbond,
Vereeninging voor Spoor-en Bond van Geemployeerden bij de Suikerindustrie op Java
(1909); Bond van Ambtenaren bij de In-en Uitvoerrechten en Accijnzijn in Ned-Indie
(1911); Bond van Ambtenaren bij den Post-Telegraaft-en Telefoondisenst (1912);
Burgerlijke Openbare Werken in Ned-Indie (1912); Bond van Pabndhius Personeel
(1913)

Ciri serikat-serikat buruh ini adalah Pertama, tidak ada motif-motif ekonomi dalam
proses pendiriannya. Tidak ada masalah pada sekitar tahun berdirinya serikat-serikat
buruh tersebut misalnya, soal rendahnya tingkat upah, atau pun buruknya kondisi sosial
tenaga kerja “impor “. Faktor pertama yang mendorong pembentukan mereka adalah
pertumbuhan pergerakan buruh di Belanda. Pada sekitar 1860-1870 di Nederland sedang
mengalami pertumbuhan pergerakan buruh. Dan sejak 1878 ada pengaruh gerakan sosial-
demokrat yang mendorong berdiriinya National Asrbeids Secrretariats (NAS) sebagai
induk organisasi.

Pada saat itu di Hindia Belanda ada ketentuan pasal 111 Regeling Reglement (RR) yang
melarang dilakukannya rapat dan pembentukan sebuah organisasi tanpa ijin khusus dari
pemerintah kolonial. Namun disebabkan pada tahun 1903 pemerintah kolonial
menerapkan desentralisasi susunan pemerintah kolonial seperti Bandung, Semarang
Surabaya, Batavia menjadi suatu gemente dan pengaturannya dilaksanakan oleh
gementeraad (dewan kota). Menjadikan 111 RR tidak berlaku.

Pembentukan serikat-serikat oleh buruh “impor” ini selain merupakan pengaruh dari
perkembangan gerakan buruh yang berlangsung di Eropa pula merupakan bagian dari
“kepentingan politik”, terbatas kehidupan kota. Perkembangan selanjutnya dalam
keanggotaan serikat-serikat buruh ini tidak hanya merekut anggota “impor” saja, akan
tetapi juga menerima kalangan bumiputera. Ini terjadi sebagai pengaruh semangat etis.

Program Pendidikan yang merupakan salah satu program dalam politik balas jasa Etische
Politiek di awal 1900 memberi nuansa baru dalam perkembangan intelektual bumiputera
Ditambah lagi dengan pembentukan serikat-serikat oleh buruh “impor”, telah memicu
serikat buruh dibangun oleh kaum bumiputera dalam masa-masa sesudahnya. Beberapa
di antaranya yang dapat disebutkan adalah: Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (1911);
Persatoean Goeroe Bantoe (1912); Perseikatan Goeroe Hindia Belanda (1912); Persatoen
Pegawai Pegadaian Boemipoetera (1914); Opium Regie Bond dan Vereeniging van
Indlandsch Personeel Burgelijk Openbare Werken (1916); Personel Fabriek Bond (1917);
Perhimpoenan Kaoem Boroeh dan Tani (1917).

Di kalangan Tionghoa pada 26 September 1909, di Jakarta dibentuk Tiong Hoa Sim Gie
dipimpin oleh Lie Yan Hoei. Empat bulan kemudian kelompok ini merubah nama
menjadi Tiong Hoa Keng Kie Hwee yang menjadi inti dari Federasi Kaum Boeroeh
Tionghoa. (Edi Cahyono, 2003: 105—116)

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 5

Sarekat Buruh dan Perkembangan Kesadaran Politik

Aktivitas utama serikat-serikat buruh dalam masyarakat adalah mengoragnisir para buruh
dalam sebuah industri, sebuah tempat kerja maupun suatu daerah menjadi tindakan
bersama untuk memperbaiki gaji dan kondisi serta menuntaskan keluhan-keluhan dengan
para majikan. Dalam masyarakat yang dijajah, aktivitas tersebut merupakan tindakan
politik yang menentang keteraturan kontrol orang Eropa, serta sikap tunduk orang-orang
pribumi. Serikat-serikat buruh dalam masyarakat kolonial tak terelakkan adalah bagian
dari gerakan politik yang lebih luas, dengan tujuan mengakiiri peraturan kolonial secepat
mungkin. Pemerintah kolonial Belanda sangat mengerti hal ini. Beberapa pegawai yang
lebih berpikiran lebih liberal, membedakan aktivitas-aktivitas sosial dan ekonomi serikat-
serikat buruh—yang sangat terlihat bagus dari keterikatan mereka dengan agenda
nasionalis Indonesia—yang selalu terlihat buruk. Kebanyakan pegawai—dan hampir
semua pekerja—mengambil pandangan yang lain, dan percaya bahwa bahwa dalam
sebuah masyarakat kolonial segala usaha untuk mengorganisir para pekerja pribumi
merupakan aktivitas politik yang mengancam, tidak hanya kepentingan-kepentingan
ekonomi perusahaan-perusahaan Eropa tetapi juga keberadaan negara kolonial.

Apabila kita ingin mengukur pengaruh serikat-serikat buruh terhadap perkembangan-


perkembangan politik, maka ukuran keanggotaan yang relatif besar hanyalah sebuah
permulaan. Serikat-serikat buruh bagi masyarakat Indonesia perkotaan adalah
pengalaman pertama mereka dalam sebuah organisasi modern. Ratusan cabang lokal
serikat-serikat buruh, masing-masing memiliki seseorang ketua, seorang wakil ketua,
seorang sekretaris, seseorang bendahara dan sebanyak setengah lusin komisioner. Ribuan
pekerja perkotaan mendapat pengalaman pertama dalam suatu organisasi modern melalui
keterlibatan aktif dalam serikat-serikat buruh pada tingkat lokal; membutuhkan waktu
untuk beradaptasi dalam berorganisasi, mengurus pembukuan, menidskusikan soal
industri dan persoalan-persoalan yang lebih luas, serta belajar bagaimana menjadi
propaganda di antara dan perekut para rekan pekerja. Bagi banyak pekerja, keterlibatan
dalam serikat-serikat buruh merupakan langkah singkat untuk bergabung dalam partai
politik.

Koran jiuga merupakan alat yang penting bagi serikat-serikat buruh untuk meningkatkan
kesadaran para pekerja perkotaaan, tetapi yang lebih penting adalah jurnal-jurnal dan juga
majalah-majalah mereka sendiri. Serikat-serikat besar menerbitkan jurnal-jurnal regular
bagi para pegawai negeri—dibagikan kepada para anggota finansial, dan dijual, atau
diberikan oleh para anggota kepada teman-teman pekerja mereka. Semuanya memiliki
rasa nasionalis yang besar. Kebutuhan untuk mengakhiri kekuasaan kolonial dianggap
pasti. Gagasan atas Indonesia dipromosikan. Para pembaca diperkenalkan kepada kepada
gerakan serikat buruh di Eropa, disodorkan eksposisi sederhana mengenai topik-topik
berkisar dari Marxisme sampai prinsip-prinsip menolong diri sendiri, dan perkembangan
koperasi-koperasi serta masyarakat dengan keuntungan bersama di Eropa. Sementara
nada majalah-majalah serikat buruh biasanya lebih lunak, dari nada selebaran-selebaran
politik; meskipun demikian, dukungan penting bagi agenda politik gerakan nasionalis
sangatlah penting.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 6

Pada tahun 1930-an, kedudukan serikat-serikat buruh bahkan lebih penting lagi dalam
mengembangkan cita-cita kesadaran para pekerja perkotaan, dan dalam menjaga cita-cita
politik serta sosial ekonomi gerakan nasionalis yang lebih luas. Semakin gencarnya
partai-partai politik dihancurkan dan kebebasan berbicara serta berkumpul dilarang,
membuat aktivitas politik terbuka memiliki ruang umum yang sempit untuk bergerak
Ruang umum bagi serikat-serikat buruh ditekan, namun tetap mampu menjaga kontak
dengan para pekerja perkotaan. Melalui cara-cara yang tak mampu dilakukan oleh partai-
partai politik. Kontak tetap dijaga lewat rapat-rapat local regular, organisasi-organisasi
bantuan bersama, dan media jurnal mereka serta publikasi-publikasi lain. Mereka terus
memelihara dan membagi pengalaman diantara para pekerja perkotaan, menyadarkan
mereka akan hak-hak mereka. Menurut EP Thompson, lewat kegiatan kolektif telah
berkembang kesadaran politik kolektif.

Karena istilah Indonesia menggantikan istilah Hindia Belanda, atau Hindia, atas nama-
nama kelompok-kelompok politik—hampir lengkap sampai dengan tahun 1927—maka
serikat-serikat buruh juga menghadapi isu tersebut. Beberapa pada awalnya prihatin
bahwa. pengambilan istilah “Indonesia “ atas nama-nama mereka akan terlihat sebagai
kegiatan politik terbuka. Hal itu akan menarik negara kolonial untuk melakukan
pembalasan dendam, tetapi pada tahun 1923 hampir seluruh serikat buruh, bahkan paling
moderat sekalipun, telah mengubah nama-nama mereka dan memasukkan kata Indonesia.
Di tahun 1930-an, juga merupakan hal yang biasa untuk memulai rapat-rapat Sarekat
dengan menyanyikan lagi kebangsaan – Indonesia Raya. Para pemimpin politik di akhir
tahun 1930-an, benar-benar dilarang dalam kegiatan politik terbuka-semua melihat
pentingnya mengorganisir para pekerja perkotaan, dan menyadari bahwa kesadaran
pekerja perkotaan akan hak-hak mereka di tempat kerja, membawa perubahan dalam
pengembangan kesadaran politik yang lebih besar. (Ingelson, 2004: 239—245)

Organisasi-Organisasi Politik dan Serikat-Serikat Buruh

Pertumbuhan serikat-serikat buruh bukanlah satu-satunya konsekuensi dari pergolakan


sosial di Jawa pada awal abad 20. Bentuk yang lain adalah munculnya perkumpulan
politik nasionalis, yang berasal dari kalangan bangsawan Jawa moderat—mulai dari Budi
Utomo sampai organisasi multirasial Insulinde. Diikuti, setelah 1912, yakni Sarekat
Islam. Sarekat Islam tidak hanya mengangkat masalah ketidakbecusan sosial yang
berkembang di kota dan pedesaan di Jawa, tetapi juga suatu kebangkitan Islam yang telah
sampai pada suatu momentum di Jawa, yang dimulai sejak akhir abad ke-19. Keterlibatan
aktif dalam serikat-serikat buruh mengimplikasikan kesadaran yang besar akan alam
masyarakat kolonial dan kesadaran tidak hanya akan kebutuhan untuk perubahan,
melainkan juga akan peran kunci insitusi-insitusi modern dalam mencapainya. Tidak
aneh, kemudian, banyak dari mereka yang menyediakan diri mereka baik dalam
kepemimpinan lokal maupun “nasional” dalam serikat-serikat buruh juga secara aktif
terlibat dalam Sarekat Islam. Kepemimpinan menjadi berpautan satu sama lain dan,
dalam pandangan banyak orang, perjuangan untuk memperbaiki para buruh, sangatlah tak

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 7

dapat dipisahkan dari usaha-usaha yang lebih luas untuk membangun kembali msecara
keseluruhan dan untuk membebaskannya dari tekanan kolonial.

Walaupun banyak serikat telah ada ada sebelum munculnya Sarekat Islam., pada
pertengahan 1920-an, para pemimpin Sarekat Islam mulai menciptakan serikat-serikat
buruh di kalangan para buruh yang tak terorgainisr hingga saat itu. Kebanyakan, seperti
Serikat Pegawai Pabrik atau Serikat Percetakan adalah organisasi-organisasi mandiri, dan
berhubungan dengan Sarekat Islam melalui kenggotaan yang berhubungan satu sama
lain. Yang lainnya, terutama setelah tahun 1918, berkaitan lebih dekat dengan bagian
serikat-serikat buruh Sarekat Islam. Keterlibatan dalam serikat-serikat buruh dilihat
sebagai jalan yang penting dalam memperluas keanggotaan, dan pengaruh Sarekat Islam
dalam daerah-daerah perkotaan. Sementara para pemimpin lokal memiliki kebebasan
yang besar dalam bertindak, para pemimpin Sarekat Islam tingkat “nasional” berusaha
keras untuk melunakkan mereka dan mendesak perhatian dalam menghadapi para
majikan dan pemerintah.

Sarekat Islam bukanlah satu-satunya organisasi politik yang terlibat dengan serikat-
serikat buruh. Pada tahun 1914, Indische Sosciaal-Democratische Vereeninging berdiri di
Semarang. Didirikan oleh seklompok kecil sosialis Belanda, dan semakin terlibat dalam
mengorganisir para buruh kota dan kemudian juga pinggiran. Kondisi yang kemudian
membawa pada kompetisi langsung dengan Sarekat Islam. Hasilnya adalah, serikat-
serikat besar menjadi berhubungan dengan satu organisasi politik atau paling tidak,
memiliki hubungan pribadi dengan para pemimpin mereka. Dengan berdirinya Partai
Komunis Indonesia pada tahun 1920, kompetisi langsung dengan Sarekat Islam menjadi
lebih kuat. Pada tahun 1920, usaha-usaha untuk membentuk Federasi Serikat-serikat
Perdagangan mengalami kegagalan, akibat semakin meningkatnya pemutusan hubungan
yang pahit antara pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan PKI. Ketika dalam bulan
Oktober 1921, Sarekat Islam menggalakkan disiplin partai dan melarang anggota-
anggotanya untuk bergabung dengan PKI, kepahitan antara kedua partai politik tersebut
semakin meningkat dan berlimpah dalam serikat-serikat buruh.

Konflik antara Sarekat Islam dan PKI tercermin dalam kompetisi yang semakin
meningkat untuk menarik cabang-cabang serikat buruh. Hanya sedikit usaha yang
mengacu pada membangun serikat-serikat yang kompetitif dalam industri yang sama.
Serikat-serikat terus melanjutkan hubungan dengan satu partai politik melalui para
pemimpin mereka, namun perselisihan-perselisihan ideologi dan individu pada tingkat ini
tidak tercermin dalam pengaturan harian serikat tersebut. Pada tingkat dasar, semua
serikat baik yang berhubungan dengan PKI maupun Sarekat Islam, berreaksi terhadap
keluhan-keluhan sosial dan ekonomi yang umum dari para buruh. Serikat-serikat yang
berada di bawah para pemimpin PKI tidak lebih militan dari mereka yang berada
dibawah para pemimpin Sarekat Islam, yang juga terlibat dalam pemogokan-pemogokan
sama seringnya—tanpa alasan lain, karena kebanyakan pemogokan terjadi secara spontan
dan bukannya sebagai hasil kebijaksaan yang disengaja
Pemerintah Hindia memandang keterlibatan PKI dalam serikat-serikat buruh lebih
berbahaya daripada Sarekat Islam. Bukan karena tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
PKI m melainkan karena apa yang pemerintah lihat sebagai tujuan-tujuan politik PKI

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 8

yang lebih luas. Pemerintah. menghadapi seluruh kegelisahaan dan pemogokan buruh
dengan cara yang sama, baik mereka yang berasal dari PKI dan memiliki hubungan
dengan Sarekat Islam., dan Serikat Buruh Pegadaian, atau dari VSTP yang berhubungan
dengan PKI. Pemerintah tetap memegang pendirian tanpa kompromi terhadap serikat-
serikat yang dipimpin oleh orang-orang yang juga memimpin PKI. Pemerintah melihat
PKI sebagai penyokong revolusi, dan memandang semua serikat, bagaimanapun juga,
yang berkaitan dengannya sebagai bagian dari rencana besar Komunis. VSTP sangat
mudah mendapat kritikan, tidak hanya karena para pemimpinnya adalah anggota PKI
yang menonjol, tetapi karena pemerintah melihat sangat pentingnya sistem
perkeretaapian bagi ekonomi ekspor Hindia.

Seluruh pemimpin serikat, baik anggota PKI maupun Sarekat Islam, cukup menyadari
kenyataan-kenyatan politik dari situasi kolonial dan berhati-hati dalam memperhatikan
pemerintahan. Semenatara itu, mereka terus mencoba untuk mrenggunakan sistem
sebanyak mungkin dan memaksakan kelonggaran-kelonggaran dari para majikan Semaun
tokoh VSTP dan PKI sangat berhati-hati dalam pendekatannya terhadap gerakan buruh Ia
menyadari nilai dari tindakan pemogokan, namun juga menyadari bahwa dalam
masyarakat kolonial pemogokan hanya dapat menjadi senjata ampuh apabila digunakan
dengan hemat, dalam situasi-situasi yang terkalkulasi dan terkontrol. Ia cukup banyak
belajar dari gerakan buruh Eropa, dan sadar akan perbedaan-perbedaan yang besar antara
kesadaran-kesadaran sosial dan politik para buruh Indonesia dengan rekan-rekan Eropa
mereka. Dalam pandangannya, tugas pertama serikat-serikat Indonesia adalah
memperkuat organisasi internal mereka. Mendidik anggota-anggotnya kearah kesadaran
dan komitmen yang lebih kuat pada serikat, dan bekerjasama dalam undustri luas dengan
federasi-federasi buruh nasional. Semaun melihat dengan jelas bahwa gerakan buruh
yang terpecah-pecah adalah gerakan yang lemah. Jika di suatu negara terdapat kesadaran
buruh yang belum berkembang, maka sebuah pemerintah kolonial yang menindas, dan
sejumlah besar pengangguran sangat mudah dihasilkan oleh para penyulut pemogokan
Karena itulah serikat-serikat harus beroperasi dengan hati-hati. Ia juga yakin bahwa
banyak yang dapat diraih melalui para buruh yang berorganisasi dan menyalurkan
keluhan-keluhan mereka kepada perusahaan-perusahaan dan pemerintah. Dalam hal ini,
ia adalah negoisator tanpa lelah. (Ingelson, 2004: 51—54)

Zaman Mogok dan Munculnya Si Raja Mogok

Pada akhir 1918 dan 1919, “ perjuangan ekonomi “-didirikannya serikat-serikat buruh
dan dilancarkannya pemogokan-pemogokan—terbukti berhasil. Pada masa itu buruh
bumiputera bertambah resah karena inflasi yang terus terjadi, sementara bisnis Belanda
meraih keuntungan besar, namun upah buruh tetap rendah. Sikap pemerintah terhadap
gerakan serikat buruh dan pemogokan juga baik. Dengan deklarasi November pemerintah
telah mengambil jalur cepat menuju pemerintahan sendiri. Dalam konteks ini, pemerintah
melihat “tidak ada yang perlu dicela dari perjuangan ekonomi—yang akhirnya tidak
dapat dihindari—bagi perbaikan kesejahteraan sosial dan (meningkatkan) pengaruh
rakyat terhadap pengaruh rakyat terhadap tata pemerintahan kota praja, desa dan negara.
” Sebaliknya, ”jika orang buta terhadap hak-hak politik mereka, tidak melakukan apa-apa

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 9

terhadap keterbelakangan ekonominya, dan tidak memiliki kekuatan untuk mengangkat


diri dari keterbelakangannya, mereka tidak akan dapat mengembangkan diri baik secara
cepat maupun bertahap, dan akan menjadi mangsa pertentangan di dalam dirinya. Oleh
karena itu, perjuangan ekonomi akan merangsang perkembangan politik – jika dilakukan
dengan baik. ” Dengan demikian, sikap pemerintah pada dasarnya “netral yang baik“,
membatasi diri pada peran mempertahankan aturan dan hanya menjadi penengah, jika
diminta oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik perburuhan.

Dengan situasi yang menunjang ini. banyak pemogokan yang dilakukan dan serikat buruh
pun bermunculan. Serikat buruh yang sudah ada untuk beberapa waktu, seperti VSTP,
PGHB (Perserikatan Goeroe Hindia Belanda), dan PPPB menjadi aktif. Serikat buruh lain
umumnya dipimpin oleh propagandais serikat buruh yang berdiri sendiri Namun, di
antara semua serikat buruh ini, yang paling penting dan besar pada periode ini adalah
PFB-nya Soerjopranoto. Pendirian Personeel Fabriek Bond diumumkan secara resmi
segera setelah kongres Central Sarekat Islam tahun 1918 oleh Soerjopranoto dan
voorzitter SI Yogyakarta atas nama “komandan” Arbeidsleger—Adhi-Dharma. Dengan
kedudukannya sebagai aristokrat Pakualaman Soejopranoto menjadi tokoh pemimpin dan
berhasil mengubah perkumpulan itu dari sekedar perkumpulan aristokrat Pakualaman
menjadi jaringan patronase-aristocrat dan priyayi Pakualaman, yang melebar terus
melampui tembok-tembok Pakualaman, sampai ke Kesultanan dan daerah-daerah di luar
Jawa. Pada Agustus 1918, ketika terjadi kerusuhan buruh di pabrik gula Padokan,
Yogyakarta. Soerjopranoto mendirikan Arbeidsleger (tentara buruh), yang juga disebut
Prawiro Panodojo in Joedo, sebagai cabang Adhi Dharma yang membantu buruh-buruh
dipecat untuk memperoleh pekerjaan baru dan membantu keuangan mereka selagi
mencari kerja.

Personel Fabriek Bond tumbuh dari Arbeidsleger. Seluruh maknanya, seperti Tentara
Kanjeng Nabi Mohammad, terletak pada namanya yang militan, yaitu Arbeid yang
berarti “buruh” dan leger “tentara“. Zaman mogok telah dimulai, dan kaum buruh pabrik
gula resah karena upah mereka terus menurun dalam nilai riilnya Soerjopranoto dan
pasukan buruhnya memanfaatkan ketidakpuasan ini. Pada bulan pertama, PFB
berkembang dengan lambat. Pada Maret 1919, anggotanya hanya 750 orang dan terbatas
pada daerah Yogyakarta. Tetapi, pada musim panen dan penggilingan tahun 1918, PFB
berkembang pesat di semua tanah perkebunan gula di Jawa. Buruh mogok di berbagai
pabrik gula atas inisiatif sendiri untuk menuntut kenaikan upah, persamaan hak antara
buru Belanda dan bumiputera, perbaikan kondisi kerja, delapan jam kerja sehari, libur
dengan bayaran satu hari dalam seminggu dan tambahan bayaran untuk kerja lembur.
Saat buruh pabrik gula memutuskan mogok, mereka menghubungi pemimpin pusat PFB
dan minta agar organisasi itu mengirim seseorang propagandis untuk untuk memimpin
pemogokan. Hoofbestuur PFB lalu mengirim seorang konsul yang bertindak sebagai
wakil PFB dan mendirikan afdeling PFB menuntut lebih banyak dari pabrik dan lagi-lagi
dengan sukses mengoranisir pemogokan. Dalam gelombang pemogokan yang terus
tumbuh dan berhasil dengan baik ini, PFB tumbuh dengan cepat. Pada Juni, jumlah
anggotanya telah melampui seribu orang dan hoofbestuur mulai menerbitkan surat
kabarnya, Boeroeh Bergerak, dengan Sorjopranoto dan Soremodihardjo, dan
Hadisoebroto sebagai editor. Padsa akhir tahun 1919, PFB menjadi serikat buruh yang

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 10

paling besar dan militan di Hindia dengan sembilan puluh afdeling dan sepuluh ribu
anggota dan calon anggota. (Shiraishi, 1997: 147—151)

Pemogokan Buruh yang terbesar

Pemogokan buruh kereta api, yang terjadi di Jawa tanggal 9 Mei 1923, adalah yang
terbesar dan yang paling menyebar luas di Indonesia di masa kolonial. Dipelopori oleh
VSTP—salah satu serikat tertua di koloni. VSTP dibentuk di Semarang, tanggal 14
November 1908 didirikan oleh 63 buruh Eropa dari 3 perusahaan kereta api swasta yang
berbasis di Semarang. Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda (NIS), Perusahaan Kereta
Uap Semarang-Joana (SJS), dan Perusahan Kereta Api Uap Semarang–Cirebon.
Pemogokan ini memperlihatkan ketidakpuasan yang besar di antara para buruh Setelah
selama bertahun-tahun telah diabaikan, baik oleh perusahaan-perusahan maupun
pemerintah. Keluhan-keluhan yang banyak dijumpai di antara para buruh kereta api
mencakup jam kerja yang panjang (sepuluh sampai dua belas jam per hari adalah biasa),
hari libur yang tidak teratur (satu hari per dua minggu adalah wajar), dan denda yang
tidak jelas dikenakan untuk semua jenis kesalahan dan pelanggaran ringan. (Para pegawai
Eropa menganggap sistem denda ekstensif adalah satu-satunya jalan untuk menggalakkan
disiplin industrial kepada para buruh yang tak berapa lama meninggalkan dunia kampung
yang tak teratur). Sumber lainnya adalah ketidakpuasan terhadap perlakuan sewenang-
wenang para pegawai Eropah. Kekerasan fisik memang jarang, namun seorang Eropa
muda yang baru tiba akan dengan cepat belajar sederetan kata-kata kasar dalam bahasa
Jawa maupun Melayu. Kelangkaan perumahan perusahaan tingginya biaya penyewaan
akomodasi, dan tentunya, gaji yang tak mencukupi adalah keluhan-keluhan besar yang
lebih jauh lagi. Secara meningkat, rapat-rapat serikat dan jurnal-jurnal VSTP
menekankan bahwa akar dari seluruh masalah terletak pada ketidakadilan rasial yang
mencolok dalam masyarakat kolonial. Lagi-lagi, penyebab di balik tnntutan –tuntutan di
tingkat lokal untuk perbaikan perumahan, pengurangan jam kerja, atau gaji yang lebih
tinggi adalah kesadaran para anggota bahwa para pegawai Eropa diperlakukan dengan
sangat lebih baik. Tuntutan kunci VSTP, setelah tahun 1914, adalah persamaan
pembayaran dan kondisi bagi seluruh buruh, terlepas dari ras. Para buruh terlatih
terutama sangat marah dan cepat menyatakan ketidakpuasannya dalam halaman-halaman
jurnal VSTP.

Tindakan-tindakan pencegahan pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya adalah


mengantisipasi sabotase kereta-kereta api dan perlengkapan serta kekerasan di kampong
dan pusat-pusat kota. Meskipun dalam suasana emosi, di mana para buruh berpenghasilan
rendah harus menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga-keluarga mereka tanpa
simpanan untuk bersandar. Sementara sisanya, banyak yang diusir dari tempat tinggal
mereka. Sabotase yang terjadi sangat kecil. Terdapat sedikit kasus, yang dilaporkan
mengenai hal-hal yang menimbulkan aksi. Seperti pemotongan kabel telegraf, kebakaran
yang disengaja di hutan, atau usaha untuk memutuskan persedian air ke bengkel, namun
tanpa kepentingan apa pun. Serupa dengan itu, beberapa laporan sehari-hari menyatakan
telah terjadi kekerasan kecil, beberapa peristiwa pelemparan batu ke rumah orang-orang
yang masih berada di tempat kerja, surat-surat kaleng tanpa nama yang dikirimkan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 11

kepada kepala stasiun-stasiun, atau ancaman-ancaman dan intimidasi terhadap mereka


yang tidak ikut mogok. Para pemogok, tentunya, menaruh tekanan besar pada teman-
teman buruh mereka untuk bergabung dengan mereka, dan kadang hal tersebut disertai
oleh ancaman-ancaman. Namun para pegawai pemerintah, manajemen-manajemen kereta
api, dan editor-editor koran memiliki dasar kecil untuk menambahkan bahwa intimidasi
adalah alasan kuat pemogokan bertahan selama itu dengan mengabaikan perkara-perkara
sosial dan ekonominya.

Tekanan dari teman-teman sejawat, ancaman-ancaman kekerasaan, dan yang lebih


penting, rasa takut akan ganti rugi setelah pemogokan berakhir, tidak diragukan lagi
memang berperan dalam membujuk beberapa buruh untuk bergabung dalam pemogokan
Namun yang paling penting, adalah bergabungnya 11 buruh terlatih yang lebih tua di
bengkel SCS di Semarang. Selain itu, juga termotivasi oleh pemotongan-pemotongan
gaji, pada saat harga-harga penyewaan, makanan, dan pakaian masih membayangi inflasi
yang tinggi. Ketika pemogokan pecah di Blitar, Jawa Timur, pada tanggal 11 Mei,
pengawas polisi kota berkeliling rumah-rumah para pemogok menanyakan setiap orang
alasan mereka telah ikut mogok. Mereka yang berada di rumah, seperti para masinis,
kondektur, dan buruh terlatih lainnya, sebagian besar menjawab bahwa mereka ikut
mogok sebagai bentuk solidaritas dengan teman-teman kerja mereka Beberapa
mengatakan, mereka takut akan pembalasan,jika tidak bergabung dalam pemogokan.
Residen Banyumas, yang tidak dapat menerima keluhan-keluhan ekonomi sebagai alasan
pemogokan sesungguhnya terpaksa menyatakan bahwa pemogokan yang terjadi di Maos
di Kresidenannya, karena ini adalah stasiun kereta api, yang memiliki sejumlah besar
masinis dan pegawai kereta api, yang paling suka melawan di antara para buruh.

Ketika pemogokan dimulai pada tanggal 8 Mei, para pemimpin VSTP memiliki setiap
alasan untuk percaya bahwa mereka akan didukung oleh serikat-serikat lain dan oleh
gerakan nasionalis. Di sini mereka dikecewakan. Tentu saja hampir semua pemimpin
nasionalis dan serikat memberikan dukungan moral. Namun di hadapan penerapan
hukum pemerintah yang tanpa belas kasihan yang bahkan mencegah pengumpulan uang
bagi keluarga-keluarga para pemogok, dukungan nyata datang dalam bentuk terbatas
Memang terjadi beberapa pemogokan simpati di Semarang, tapi terbatas pada
pemogokan sehari oleh para sopir taksi tanggal 10 Mei. Pemogokan lain dilakukan oleh
para penjual daging di pasar-pasar lokal selama dua hari. Tukang-tukang cetak di kota
besar juga mogok pada tanggal 14 Mei, sebagian karena simpati kepada buruh kereta api,
tapi pada dasarnya karena perselisihan mengenai dimajukannya pembayaran gaji
menjelang perayaan Lebaran di akhir bulan puasa. Pemogokan-pemogokan simpati yang
singkat dan menyebar juga dilaporkan juga dilaporkan dari Salatiga dan Bandung
Serikat-serikat lain memanggil para anggota mereka untuk mendukung para buruh kereta
api yang mogok, namun mereka dilarang mengumpulkan uang bagi pemogokan sehingga
hanya sedikit yang dapat dilakukan serikat-serikat lain.

Optimisme pada hari-hari awal pemogokan, bagaimanapun juga, cepat sirna. Hampir
semua pemogok, bersama dengan banyak pemimpin mereka, telah mengharapkan
manajemen-manajemen kereta api untuk mengakui permintaan-permintaan mereka
dengan sangat cepat. Sedikit mengantisipasi bahwa pemerintah akan memihak pada para

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 12

majikan dan pada kenyataannya inilah yang terjadi. Kata-kata berani disingkirkan,
kebanyakan tidak bertahan lebih dari beberapa hari, atau paling lama satu atau dua
minggu.

Pada tanggal 22 Mei, Eksekutif Harian VSTP menghentikan pemogokan. Dengan ratusan
pemogok kembali bekerja dan ribuan lebih dipecat dan digantikan oleh para buruh baru,
Eksekutif tunduk pada yang pasti terjadi. Buletin mengumumkan keputusannya mengakui
bahwa pemogokan telah terjadi di luar dugaan dan bahwa para pemimpin telah tidak
mengantisipasi reaksi pemerintah. Para pemogok diyakinikan atas usaha-usaha dilakukan
untuk memperkerjakan mereka kembali, yang diakui, sejauh itu tanpa keberhasilan.
Buletin VSTP diakhiri dengan catatan tidak hanya mengenai kekalahan tetapi juga
kesedihan.

Pemogokan secara sungguh-sungguh dan tidak kenal ampun dapat ditundukkan di mana
VSTP ada di dalamnya. Semaun secara pribadi membayar harga yang mahal. Ia
diasingkan pada bulan Agustus 1923 dan tidak kembali ke tanah air hingga tahun 1957.
VSTP kehilangan tidak hanya ketuanya, tetapi juga banyak pemimpin lokal dan pusatnya,
baik dipenjara dan karena dipenjara maupun karena dipecat dari pekerjaan-pekerjaan
mererka. Ribuan anggota biasa bereaksi terhadap ketidakmampuan serikat mereka untuk
melindungi mereka dari baik majikan-majikan maupun pemerintah dengan membiarkan
mereka kehilangan keanggotaan mereka, VSTP mogok bersama sekitar 13. 000 anggota
tetapi ketika semuanya usai hanya 535 yang masih sisa.

Tentu saja, kegagalan pemogokan menunjukkan kelemahan serikat-serikat buruh di


Indonesia kolonial di hadapan pemerintah yang terkoordinir dan aksi industri
Komerasialisasi Belanda dan kepentingan-kepentingan indusutrial di Indonesia di
tentukan untuk mempertahankan persedian buruh murah dan telah mulai mengorganisir
mereka sendiri untuk membahas serikat-serikat buruh pribumi. Pemerintah, paling tidak
telah semakin memperkeras sikapnya terhadap serikat-serikat buruh sejak tahun 1921
Pemogokan kereta api 1923 adalah ujian besar pertama dari kebijaksanaan tegasnya yang
baru. Setelah pemogokan tersebut usai, bagian-bagian anti pemogokan ditambahkan pada
Hukum Pidana pada bulan Mei 1923 sebagai senjata ampuh untuk pengunaan di masa
yang akan datang. Untuk selanjutnya, pemogokan pemogokan yang terorganisir
diperlakukan sebagai tantangan terhadap kekuasaan kolonial. Ketidakhormatan pada
afiliasi politik para pemimpinnya di masa depan akan sangat sulit bagi serikat apapun
untuk mengadakan perbaikan-perbaikan atas gaji dan kondisi-kondisi mereka. (Ingelson,
2004: 37—104)

Buruh dan Revolusi

Bersama dengan serikat-serikat buruh lainnya yang dipimpin oleh komunis, VSTP lagi-
lagi dilarang pada tajhun 1926, larangan yang beralih menjadi larangan besar setelah
penghancuran PKI pada akhir tahun itu. Serikat buruh di Indonesia sesudah tahun 1926,
sangat berbeda dengan organisasi serupa yang hidup pada decade sebelumnya. Undang-
Undang dan Peraturan (regulasi) yang dibuat, dalam kenyataannya adalah sangat jauh

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 13

membatasi. Pemogokan sebenarnya tidak dianggap melawan hukum (illegal). Namun,


sebagai konsekuensi dan prinsip atau klausal: “kepentingan umum“ ditambahkan dalam
Penal Code. Regulasi itu, memungkinkan pemerintah kolonial untuk menganggap bahwa
setiap pemogokan sebagai suatu ancaman terhadap rust en orde (ketertiban dan
keamanan).

Selama lebih dari tiga dekade, setelah serikat buruh yang pertama dibentuk pada tahun
1908, pemimpin serikat kerja berjuang untuk membangun organisasi-organisasi dengan
mengabaikan suku, bahasa dan pembagian-pembagian kelas sosial tempat-tempat kerja di
Indonesia. Mereka meraih keberhasilan yang terbatas. Namun serikat-serikat buruh
memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan gaji para buruh, menyampaikan
keluhan-keluhan mereka kepada para majikan. Memaksa pemerintah kolonial untuk
menekan para majikan supaya meningkatkan kesadaran politik, menciptakan kesempatan
Bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh ketrampilan-ketrampilan organisasi dan
menyediakan saluran bagi banyak orang Indonesia untuk bergabung ke dalam partai-
partai politik nasionalis. Pada tahun 1941, menjelang masa pendudukan Jepang, serikat-
serikat buruh berada di antara organisasi-organisasi Indonesia yang terkuat di kota-kota
dan kota-kota besar kolonial Pada masa pendudukan militer Jepang semua kegiatan
organisasi, baik politik maupun sosial ekonomi, dilarang. Serikat buruh praktis tidak ada
lagi berfungsi. Seluruh masyarakat Indonesia termasuk kaum buruhnya, menderita akibat
penindasan pemerintah balatentara Jepang. Meraka tidak dapat berbuat apa-apa kecuali
menerima kenyataan yang pahit. Tetapi sekali beban ini berhasil dihempaskan, meraka
akan bangkit militansi yang tinggi untuk melanjutkan perjuangan. (Soeri Soeroto, 1985:
29). Sebagai hasil kemerdekaan, bulan Agustus 1945, serikat-serikat buruh secara cepat
dibentuk ulang. Khawatir akan banyaknya larangan dari negara-negara bagian koloni,
mereka merekut sejumlah besar para pekerja perkotaan. Keberhasilan-keberhasilan dan
kegagalan-kegagalan gerakan buruh kolonial adalah bagian dari ingatan kolektif para
pemimpin dan anggotanya, yang mempengaruhi tujuan kegiatan setelah kemerdekaan.

Setelah penaklukan dan deklarasi kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus 1945. serikat-
serikat buruh dengan cepat muncul kembali untuk mengorganisir para pekerja pedesaan
dan perkotaan. Dalam waktu singkat para pekerja yang teroganisir kembali menghadapi
para majikan dan negara yang baru merdeka tersebut. Para pemimpin serikat menghadapi
tantangan dalam mengorganisir para pekerja perkotaan, yang terbagi oleh suku, kelas,
agama dan sentiment kedaerahan. Pemerintah Indonesia menghadapi banyak pertanyaan
mengenai cara mengatur kondisi-kondisi buruh, menangani perselishan-perselisihan
buruh, serta menegoisasikan kedudukan buruh yang terorganisir dalam badan politik.
Tokoh kunci politik dan para pemimpin serikat buruh setelah tahun 1945, mulai aktif
dalam politik dan serikat-serikat buruh setelah perang. Mengeluarkan beberapa
kebijaksanaan dan petunjuk-petunjuk yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman-
pengalaman sebelum perang. Pengalaman-pengalamannya tersebut—bersama cita-cita
dan pengalaman sejarah tahun 1920-an dan tahun 1930-an yang membekas, menjadi
bagian penting dalam membentuk tujuan serikat-serikat buruh setelah perang dan
hubungan antara serikat-serikat buruh, partai politik dan negara.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 14

Bagi kaum buruh, Proklamasi 17 Agustus 1945 dirasakan sebagai pembebasan dari
penjajahan dan eksploitasi modal asing yang didukung oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah nasional menjadi faktor penting dalam perjuangan kaum buruh untuk
memperbaiki kesejahteraannya. Karena itu pemerintah republik wajib dipertahankan, dan
kaum buruh terpanggil untuk menunaikan kewajiban itu. Bersama-sama dengan
kekuatan-kekuatan sosial lain, kaum buruh bergerak membela dan mewujudkan
kekuasaan NKRI. Mereka melancarkan aksi perebutan dan pengambialihan kantor-
kantor, perusahaan-perusahaan dan sarana-sarana penting yang masih dikuasai tentara
Jepang. Secara terbuka gerakan buruh turut terjun dan melibatkan diri dalam revolusi
politik. Sebagai pembela revolusi maka pada tanggal 15 September dibentuk Barisan
Buruh Indonesia (BBI) yang akan menampung semua buruh agar dapat menjadi kekuatan
yang tangguh. BBI ternyata tidak cukup menarik untuk menjadi wadah aksi-aksi buruh
karena. Karena itu muncul Laskar Buruh Indonesia dan juga Barisan Buruh Wanita.

Ke dalam BBI juga tidak utuh, terdapat kelompok yang lebih berorientasi pada gerakan
politik di samping kelompok yang lebih mengutamakan pada perjuangan untuk
kepentingan kesejahteraan buruh pada umumnya. Dalam Kongresnya pada bulan
November 1945 kelompok pertama memperoleh dukungan kuat dan untuk itu dibentuk
Partai Buruh Indonesia (PBI). Tetapi oleh kelompok ini kemudian didirikan juga partai
lain yaitu Partai Buruh Merdeka (PBM), Kelompok kedua tetap mendukung BBI. Dalam
Kongresnya di Madiun 1946 nama BBI diganti dengan Gabungan Serikat Buruh
Indonesia (GABSI) di bawah Syamsu Hardja Udaya. Serikat Buruh Minyak selaku
pendukung utama GABSI pada tahun itu juga keluar dan mendirikan Gabungan Sarekat
Buruh Vertikal (GSBV). Alimin yang tidak suka melihat perpecahan-perpecahan itu
berusaha menyatuhkannya dalam satu wadah baru yaitu Serikat Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI). Berhasil tergabung dalam SOBSI waktu itu 34 serikat buruh
dengan 2. 5 juta anggota. Ke dalam garis perjuangannya ialah membela RI dan keluar
bergabung dengan WFTU, Perserikatan buruh ini berorientasi kiri. Karena itu ketika
ketika pada 1946 SOBSI menerima Persetujuan Linggarjati, kelompok radikal keluar dan
mendirikan Gabungan Serikat Buruh Revolusioner Indonesia (GASBRI). Di luar kedua
perserikatan itu terdapat serikat-serikat buruh lainnya yang memang tidak menerima
paham perjuangan yang dianut. Kebanyakan dari mereka termasuk kelompok yang
mengutamakan perjuangan untuk perbaikan nasib.

Meskipun dalam situasi politik yang gawat, pemerintah cukup tanggap terhadap
kepentingan buruh. Berturut-turut pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan dalam bentuk
undang-undang yang menguntungkan kaum buruh, seperti UU Kecelakaan No. 33 /1947,
UU Kerja No. 12 /1948 dan UU Pengawasan Perburuhan No. 27/1948.

Situasi ekonomi yang tidak mengutuingkan akibat blockade Belanda dan daerah Republik
yang makin sempit karena agresi militer tetapi dipadati oleh pengungsi-pengungsi,
memancing kaum buruh untuk mengadakan gerakan yang bersifat sosial-ekonomis
Dengan sebagai SOBSI penggerak, dilancarkan pemogokan di daerah Klaten pada bulan
Mei 1948 dengan berpusat di Delanggu. Di samping aspek sosial ekonomis, pemogokan
ini pun ternyata mengandung aspek politik. Terdapat move politik yang merupakan awal
dari gerakan politik yang lebih besar. Pemogokan itu sendiri dapat diatasi, namun aspek

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 15

politisnya terus berkembang. SOBSI akhirnya bergabung dengan PKI dan terlibat dalam
Peristiwa Madiun yang pecah beberapa bulan kemudian. Akibat dari langkah politik
SOBSI itu, kelompok moderat menarik diri dan mendirikan perserikatan sendiri antara
lain Persatuan Organisasi Buruh (POB) dan Badan Perhubungan Serikat Sekerja (BPSS).

Sesudah kedaulatan RI diakui oleh Belanda, berdasarkan keputusan politik yang diambil,
pemerintah mempersilahkan kembalinya modal asing dengan jalan mengembalikan
semua perusahaan-perusahaan yang semula telah diambil alih (dikuasai) selama revolusi
fisik. Ini berarti kembalinya struktur perekonomian lama dengan perubahan digantinya
pemerintah kolonial oleh pemerintah nasional. Dalam situasi demikian eksistensi serikat
buruh sebagai alat perjuangan tetap relevan. Selain perjuangan langsung dengan
perusahaan, perjuangan tidak langsung lewat saluran politik merupakan kebutuhan
strategis untuk mendapatkan campur tangan pemerintah secara formal dan informal.

Mengenai serikat-serikat buruh yang hidup sesudah revolusi fisik boleh dikatakan tidak
mengalami perubahan. Mereka merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Afiliasinya
dengan partai politik sebagaimana telah dirintis pada awal kemerdekaan menjadi
keharusan yang merupakan strategi perjuangan secara tidak langsung. Dengan kata lain
sifat dualistic dari gerakan buruh menjadi ciri perjuangan sampai lahirnya Orde Baru.
(Soeri Soeroto, 1985: 29—30)

Buruh Di Bawah Soekarno

SOBSI yang bangun kembali pada tahun 1950 berusaha menggalang kembali serikat-
serikat buruh seperti masa sebelumnya. Tetapi GASBRI dalam bulan Juli 1950 lebih dulu
membentuk Badan Permusyawaratan Buruh (BPB) Dalam Kongres Buruh Umum yang
diselenggarakan tahun berikutnya yang dipengaruhi oleh tokoh-tokoh Partai Murba tetapi
tidak diikuti oleh SOBSI dibentuk vaksternal baru bernama Sentral Organisasi Buruh
Republik Indonesia (SOBRI). Selain SOBSI dan SOBRI masih terdapat vaksentral-
vaksentral lain seperti GSBI, POB, BPSS dan sebagainya. Bahkan ke dalam vaksentral-
vaksentral itu tergabung pula serikat-serikat sekerja yang didirikan oleh pegawai negeri,
meskipun sebenarnya pegawai negeri menurut pemerintah tidak termasuk sebagai buruh.

Sarekat Buruh Islam Indonesia (SBII) dibentuk oleh Masyumi. SBII mempunyai prinsip
bahwa perjuangan buruh berbeda dengan perjuangan politik. Bila gerakan buruh berhasil
memperjuangkan tuntutannya, maka yang mengeyam langsung adalah buruh
bersangkutan; misalnya kenaikan upah, mendapat bonus, hadiah tunjangan dan
sebagainya. SBII menyeruhkan kepada kaum buruh agar berpegang teguh pada persatuan
dan jangan ada permusuhan antara buruh dan majikan. Untuk itu pengurus besar SBII
mengusahakan pertolongan bagi kaum buruh, baik berupa uang maupun kebutuhan
lainnya. Maksud dari upaya ini adalah agar lambat laun di setiap pusat buruh seperti
pabrik-pabrik dan tempat-tempat kerja lainnya terdapat keharmonisan.

Presiden Soekarno di akhir tahun 1959 melarang akitivitas Masyumi dan PSI karena
keterlibatan mereka dalam PRRI-Permesta. Kemudian SBII melebur ke Gabungan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 16

Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo). Jusuf Wibisono, salah seorang pendiri
Gasbiindo, memunculkan Bahaya Merah di Indonesia dan mengusulkan front anti
komunis. Front tersebut akhirnya dibentuk bersama-sama dengan Angkatan darat disebut
Badan Kerjasama Buruh-Militer (BKS-BuMil).

Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indionesia (SOKSI) didirikan tahun 1961. Serikat
ini disponsori oleh Angkatan Darat untuk melwan SOBSI. Beberapa perwira yang terlibat
dalam pemberontakan Permesta-PRRI, seperti Sumual, Lahade, Nawawi, Ahmad
Hussein, M Simbolon dan Zulkifli Lubis menjadi pejabat-pejabat SOKSI. Brigjen
Suhardiman, ketua SOKSI saat itu, pula berkedudukan sebagai Presiden Direktur PT PP
Berdikari. (Edi Chayono, 2003: 142—144)

Kendaraan buruh yang paling terorganisasi di Indonesia adalah SOBSI. Saingan


utamanya pada dasawrasa 1950-an dan akhir 1960-an antara lain meliputi organisasi-
organisasi seperti SBII, yang kemudian dikenal Gssbiindo, Serikat Buruh Muslim
Indonesia) Sarbumussi, Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia (KKBI), dan Kongres
Buruh Seluruh Indonesia (KBSI), yang masing-masing terkait, baik langsung maupun
tidak langsung, dengan organisasi partai-partai politik yang bersaing saat itu.

Organisasi-organisasi ini mewakili berbagai organisasi buruh yang ada pada dasarwarsa
1950-an, yang antara lain meliputi sekirat-serikat buruh Muslim, Katolik, dan Protestan,
maupun buruh sosialis dan nasionalis. Hampir semuanya telah menempatkan para tokoh
dari partai-partai politik. sebagai pimpinannya. Tokoh-tokoh ini merupakan sarana bagi
organisasi-organisasi buruh dalam hal orientasi ideologi dan patrtonase. Situasi ini untuk
sebagian merupakan cerminan dari keterbelakangan ekonomio dan sosial Indonesia.
Sistem ekonomi pada pada awal kemerdekaan morat-marit akibat perang, salah urus yang
parah, dan dengan tingkat infdustrialisasi yang rendah, serta tidak dapat mengubah
warisan zaman akhir kolonial—yang sedikit banyak ditandai dengan tetap dominannya
sektor perkebunan.

Namun euphoria perjuangan kemerdekaan pada saar itu, di mana milisi-misili kaum
pekerja (laskar buruh) telah ikut ambil bagian, belum terkonsolidasinya Indonesia sebagai
negara pascakolonial, serta tiadanya kaum borjuasi domestic yang signifikan, telah
memberikan suasana di mana pengorganisasian buruh dapat tumbuh subur. Etos
egalitarian perjuangan revolusioner kaum nasionalis—yang oleh pihak kirti dilihat
sebagai perjuangan antikapitalis sekaligus antiimperialis—telah mendorong
perkembangan serikat-serikat buruh radikal dan militant, terutama yang terkait dengan
SOBSI. Sekalipun serikat serikat buruh tumbuh pada tahun 1950-an tidak sebanding
dengan jumlah kelas pekerja itu sendiri, estimasi yang akurat tentang kekuatan serikat-
serikat buruh ternyata tidak sesuai dengan klaim-klaim mereka yang berlebihan.

Gerakan buruh senantiasa menghadapi perpecahan ideologis yang serius. Persaingan


utama yang terjadi pada 1950-an dan 1960-an adalah antara SOBSI berhadapan dengan
berbagai serikat buruh nonkomunis, khususnya yang berafiliasi dengan partai-partai
politik Islam. Masal;ah utama yang diperselisihkan saat itu adalah konsep “perjuangan
kelas“, yang asing bagi hampir semua serikat buruh nonkomunis. Perbedaan pokok antara

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 17

SOBSI dan serikat-serikat buruh non-komunis, sebagai contoh adalah: yang pertama
menekankan perjuangan kelas, sementara yang kedua menekankan prinsip penyisihan
kekayaan kepada kaum miskin. Serikat-serikat pekerja Muslim kadang-kadang menolak
untuk bergabung dalam pemogokan-pemogokan, dank arena itu, mereka dianggap kurang
radikal.

SOBSI jauh lebih berhasil dibandingkan federasi-federasi serikat pekerja lainnya dalam
meraih kepemimpinan di kalangan para pekerja biasa. Lebih dari itu, ia juga cenderung
mempresentasikan pekerja kurang trampil yang jumlahnya lebih banyak. Sebaliknya,
serikat-serikat pekerja nonkomunis cenderung memiliki daya tarik bagi pekerja kerah-
putih yang lebih terampil. Karena itu, perbedaan basis konsituen ini sangat mungkin
menjadi salah satu faktor menjelaskan kecenderungan-kecenderungan politik yang
berbeda antara SOBSI dan saingan-saingannya yang nonkomunis. SOBSI juga “dibantu”
oleh fakta bahwa ia terkait dengan sebuah partai yang “secara alamiah“ sedikit banyak
berorioentasi pada kepentingan kelas pekerja, sementara saingannya seperti Gasbiindo
terkait dengan sebuah partai (yakni partai modernis Islam Masyumi) yang sedikit-banyak
merepresentasikan kelas borjuis kecil kota. Yang terakhir ini secara alamiah merasa
terancam dengan jargon-jargon radikal yang dipergunakan SOBSI.

Namun, oposisi terhadap gagasan perjuangan kelas tidak hanya terbatas pada serikat-
serikat peperja Islam saja. Pandangan yang sama juga dianut oleh serikat pekerja Sentrtal
Organisasi Buruh (SOB) Pantjasila, yang terkait dengan partai Katolik dan berpegang
pada surat edaran Paus Rerum Novarum (1891) dan Quadrogesimo Anno (1931) tentang
masalah-masalah perburuhan. Kedua surat edaran ini menekankan kerja sama antara para
pekerja dan majikan untuk menfgatasi perbedaan dan konflik kelas, demi mengejar
“kebaikan bersama“. Pandangan yang bernada organistik dari Gereja Katolik itu
ditampilkan oleh SOB Pantjasila sebagai suatu alternatif terhadap pandangan liberalisme,
komunisme, dan sosialisme (Barat).

Warisan penting lain dari 1950-an dan 1960-an adalah meningkatnya keterlibatan militer
dalam masalah-masalah perburuhan. Pada periode 1950-an, para komandan militer
daerah telah memaksakan pembatasan-pembatasan terhadap hak buruh di wilayah
yuridiksi mereka. Belakangan, manakala para personil militer menduduki posisi-posisi
menajemen di perusahaan-perusaahaan yang telah dinasionalisasi, mereka mengalami
konflik dengan gerakan buruh militan yang berasosiasi dengan SOBSI/PKI. Dalam
kontekss inilah pihak militer kemudian membentuk organisasi-organisasi seperti BKS-
BUMIL, yang ditujukan untuk membangun kerja sama antara angkatan bersenjata dan
buruh. Bahkan mereka kemudian membentuk serikat buruhnya sendiri: SOKSI.
Sebagaimana yang diceritakan sebelumnya.

Sebagian besar serikat-serikat pekerja nonkomunis bersekutu dengan militer dalam


memerangi SOBSI dan PKI. Hal ini tidak lain karena mereka merasa tidak senang
melihat pengaruh SOBSI dan PKI yang semakin kuat dalam perubahan-perubahan besar
di bidang politik saat itu—yang antara lain adalah dihapuskannya sistem parlementer
pada 1958 – 1959. Pada tahun 1960, bersama dengan Departemen Perburuhan, pihak

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 18

militer hampir berhasil mensponsori pembentukan serikat pekerja dukungan negara.


Namun upaya ini gagal, terutama karena oposisi dari pihak SOBSI.

Namun demikian, ironisnya, gelombang militansi buruh tetap saja terbendung oleh
meningkatnya keterlibatan militer dalam masalah-masalah perburuhan. Dalam
kenyataannya, pada awal dan pertengahan era 1960-an, militansi serikat-serikat buruh
SOBSI telah pula dikoreksi oleh pengarahan pimpinan PKI yang menyandarkan diri pada
gagasan Soekarno tentang suatu Front Nasional yang luas serta masuk ke dalam alinasi
kekuatan Nasakom (nasionalis, agama dan komunis). Karena aliansinya dengan Presiden
Soekarno, pemogokan-pemogokan yang disponsori oleh SOBSI menjadi tidak popular
dan benar-benar menghilang pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya. Namun, selama
bintang PKI masih terus bersinar SOBSI pada dasarnya tidak mengkomporomikan
pendiriannya. Sebagai akibatnya, kebekuan hubungan antara militer dan buruh militan
tetap bertahan terus hingga pembataian berdarah menyusul Peristiwa 30 September 1965,
yang kemudian meratakan jalan bagi kemunculan Orde Baru-nya Soeharto. (Hadiz, 2005:
6—10)

Situasi politik yang terus hangat dan meninggi suhunya pada masa pembebasan Irian
Barat dan Ganyang Malaysia yang mecapai klimaks pada Peristiwa 30 September 1965
nampaknya menyediakan kesempatan dan ruang gerak bagi gerakan buruh yang
mengikut jalur politik.

Kepentingan kaum buruh yang memerlukan intervensi pemerintah secara formal dalam
periode ini berhasil dipenuhi dengan dikeluarkannya berbagai peraturan dan perundang-
undangan untuk melengkapi yang ada sudah ada sebelu,mnuya. Mengenai soal upah
dikeluarkan UU No. 21 /1954/ mengenai perburuhan dikeluarkan UU No. 22/1957 dan
mengenai pemutusan hubungan kerja dikeluarkan UU No. 12/1964.

Politik konfrontasi untuk pembebasan Irian Barat dan dikeluarkannya BE (Bukti ekspor)
dalam rangka meningkatkan volume ekspor nasional ternyata mendatangkan masalah
sosial ekonomi, khususnya bagi kaum buruh. Mereka terdorong untuk mengadakan aksi-
aksi yang akhirnya bercorak politik. Karena harga barang, termasuk barang konsumsi,
terus membumbung, kaum buruh mengajukan tuntutan kepada perusahaan-
perusahaannya. Oleh pemrintah, perusahaan-perusahaan dianjurkan untuk menaikkan
upah dengan 20 % upah minimal. Dalam rangka mendukung politik pembebasan Irian
Barat pada tanggal 2 Desembner 1957 dilancarkan pemogokan di perusahaan-perusahaan
Belanda selama 24 jam. Pemogokan itu kemudian dilanjutkan dengan aksi pengambil-
alihan perusahaan. Kejadian-kejadian itu meningkatkan militansi gerakan buruh terutama
yang berhaluan kiri, yaitu menuntut untuk diikutsertakan dalam pengelolaan perusahaan.
Pada tahun 1960 oleh pemerintah dikeluarkan peraturan tentang Pembentukan Dewan
Perusahaan dengan maksud untuk mengikutsertakan unsur masyarakat dalam
pengawasan terhadap jalannya perusahaan, dan ada integrasi antara pimpinan perusahaan
dan buruh. Dalam PPN wakil buruh ditempatkan dalam Badan Pertimbangan PPN, baik
yang ada di pusat maupun di daerah. Pada tahun berikutbnya ketika perkembangan
politik beralih ke Ganyang Malaysia dengan Dwikoranya, kedudukan kaum buruh

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 19

menjadi semakin penting. Kaum buruh adalah salah satu soko guru (tiang utama)
Revolusi di samping kaum tani. (Suri Suroto, 1985: 30—31)

Penataan Kembali Organisasi Perburuhan


.
Pembentukan Orde Baru pada dasarnya terjadi setelah AD memenangkan perturangan di
tahun 1965-1966. Salah satu sasaran politik koalisi awal yang membentuk Orde Baru
adalah untuk mengengkang kemungkinan perkembangan gerakan-gerakan dalam
masyarakat yang berorientasi radikal. Koalisi politik yang membangun Orde Baru itu
terdiri dari tentara lapisan teratas birokrasi serta elemen-elemen borjuasi kecil kota
maupun pedesaan, dengan tentara sebagai elemen paling dominan. Akhirnya sifat dasar
strategi politik Orde Baru bukan hanya ditandai oleh kecenderungan untuk mengekang
setiap gerakan yang bersifat radikal, tetapi juga bagi setiap gerakan atau organisasi yang
mempunyai sifat massal, termasuk partai politik, serikat buruh dan organisasi tani.

Buruh adalah kelompok dalam masyarakat yang mendapat perhatian agak khusus karena
gerakannya cenderung didominasi kelompok pro-komunis, bahkan sejak masa awal
gerakan nasionalis. Elemen-elemen tertentu dalam koalisi Orde Baru—misalnya
kelompok borjuasi pedagang pendukung Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia—
mungkin berkeberatan dengan pembatasan yang dikenakan terhadap partai politik, namun
semua tampak sepakat perlunya dikembangkan sebuah gerakan buruh yang terkendali
dan berideologi moderat. Kekhawatiran khusus terhadap pengaruh komunis dalam
gerakan buruh di masa lalu terlihat dalam sejumlah pernyataan pejabat negara di akhir
1960-an. Pada tahun 1967, misalnya Menteri Tenaga Kerja Awaloeddin Djamin
memperingatkan “bangsa dan rakyat Indonesia“ bahwa buruh akan selalu menjadi
“masalah“ sampai PKI benar-benar dihancurkan. Hal serupa disampaikan oleh Jendral
Sukowati, Ketua Umum Golkar, pada bulan Oktober 1868 yang memperingatkan bahwa
aksi-aksi pemogokan buruh dapat dimanfaatkan sisa-sisa PKI.

Tetapi ini bukan berarti antara kebijaksanaan ekonomi dan perburuhan Orde Baru tidak
ada hubungan sama sekali. Tentunya kemunculan gerakan buruh independen dan
potensial radikal dianggap tidak mendukung program pemerintah yang saat itu hendak
menarik masuk investor asing. Memang di tahun-tahun pertama Orde Baru, sekelompok
ekonomi yang berbasis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia diberi tugas untuk
mengarahkan kebijaksanaan ekonomi Indonesia terhadap bantuan dan investasi asing,
serta memusatkan perhatian pada strategi industrialisasi subsitusi impor berlandaskan
barang-barang konsumsi sepertti tekstil. Pada tahun 1967 diperkenalkan UU Penanaman
Modal Asing yang memberi keringanan tarif impor bahan baku serta suku cadang. UU
tersebut juga menyediakan sejumlah pengaman bagi repatriatisasi keuntungan serta
kemungkinan nasionalisasi sebagaimana yang terjadi pada akhir 1950-an.

Kebijakan para teknokrat tersebut mengandaikan lenyapnya kekuatan-kekuatan politik


yang secara ideologis mengutamakan redistribusi kekayaan dan sumberdaya secara
radikal. Menurut visi teknokrat, pertumbuhan ekonomi memang bukan merupakan hasil
redistribusi kekayaan tetapi hasil investasi, perkembangan teknologi, serta konsentrasi

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 20

kekuatan ekonomi dan politik. Dalam cara Rostowian, diasumsikan bahwa hasil-hasil
pembangunan yang menetes ke bawah. Janji pembangunan ekonomi seperti itu—tanpa
diiringi oleh gejolak sosial—memang sangat menarik bagian-bagian tertentu masyarakat,
seperti warga perkotaan yang bergaji tetap dan pegawai pemerintah. Tidaklah secara
kebetulan mereka inilah yang paling menderita akibat kebijaksanaan-kebijakasanaan
inflantoris Orde Lama.

Sisa-sisa gerakan buruh yang ada, yaitu organisasi buruh di luar SOBSI yang hancur
bersama PKI, dianggap perlu memainkan peranan dalam membentuk citra baru Indonesia
di kalangan investor asing. Mereka bahkan diberi tugas menyakinkan para donor dan
investor bahwa buruh Indonesia dapat diandalkan untuk mendukung program ekonomi
pemerintah. Dalam kaitan ini, pada bulan Juni dan Juli 1969 sebuah delegasi serikat
buruh tingkat tinggi diutus ke beberapa negara Eropa untuk menjalankan tugas tersebut.
Delegasi terdiri dari Agus Sudono (Gasbiindo-Masyumi), Adolf Rachman (SOKSI-
Golkar), Darius Marpaung (Kespekri-Partai Protestan), PDF Manuputty (SOB Pantjasila
–Partai Katolik), A Dahlan Sieragar (Sarbumussi-NU) dan MO Tambunan (KBM-
Nasionalis). Seperti dijelaskan oleh Dahlan Siregar, tujuan delegasi adalah untuk
meyakinkan calon investor Eropa bahwa para pekerja Indonesia tidak lagi mengancam
kepentingan modal asing. Menurut INDOC, delegasi tersebut tidak mengadakan kontak
dengan serikat-serikat buruh Eropa selama mengadakan kunjungan.

Kesedian tokoh-tokoh buruh menjalankan tugas seperti ini menunjukkan masa depan
gerakan buruh waktu itu sangat tergantung pada kebijaksanaan para pemegang kekuasaan
negara yang baru. Karena organisasi-organisasi mereka sangat lemah—SOBSI yang
sudah lenyap dianggap sebagai organisasi buruh yang paling kuat pada tahun 1950-an—
para pemimpin buruh memahami bahwa kelangsung hidup organisasi mereka masing-
masing akan terjamin apabila dapat menyumbang pada strategi pembangunan ekonomi
Orde Baru.

Sikap yang diambil tampaknya memberi kesan sangat baik di mata para investor. Pada
akhir 1960-an, misalnya sebuah penerbitan di AS yang ditujukan kepada mereka yang
berminat menanamkan modal di Indonesia menulis bahwa, “Sumber utama militansi dan
pemogokan telah lenyap dari gerapan buruh. Pemogokan sudah tidak merupakan masalah
dan tidak akan menjadi bahaya yang potensial dalam beberapa tahun mendatang.
Penilaian seperti itu tentunya sejalan dengan apa yang diharapkan oleh para perancang
pembangunan ekonomi waktu itu.

Pada saat bersamaan, tuntutan-tuntutan pembangunan ekonomi Orde Baru memberikan


legitimasi tertentu terhadap praktek-praktek yang mengenakan kontrol ketat terhadap
gerakan buruh. Gagasan “pembangunaisme“ yang ditunjang oleh versi Huntington dari
teori modernisasi jelas sangat mendukung pemberlakuan kontrol semacam itu. Di
Indonesia, gagasan ala Huntington yang menekan ketertiban dan stabilitas negara sebagai
ukuran modernitas banyak dikemukakan oleh pejabat negara, terutama yang berhubungan
dengan kelompok OPSUS (Operasi Khusus) pimpinan Ali Moertopo yang saat itu
memainkan peranan politik sangat penting.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 21

“Pembangunaisme“ juga menekankan “ancaman“ terhadap stabilitas yang dapat


menyertai gerakan buruh yang kuat. Bahkan, usaha mencari format kelembagaan baru
bagi buruh pada masa awal Orde Baru menjadi bagian yang tak terpisahkan dari usaha
untuk mengembangkan lembaga-lembaga dalam masyarakat secara umum yang
“menunjang“ pembangunan dengan turut menjamin stabilitas sosial politik. FBSI
(Federasi Buruh Seluruh Indonesia), sebagai wadah tunggal organisasi yang diakui oleh
negara, akhirnya dibangun hampir bersamaan dengan didirikannya organisasi
“korporatis“ semacam HNSI (nelayan), HKTI (tani), dan KNPI (pemuda). Hal ini, dalam
tataran ideologis menyebabkan berkumandangnya gagasan tentang hubungan kemitraan
antara buruh, modal, dan negara serta usaha untuk membuang segala gagasan tentang
konflik antarkelas atau kelompok dalam masyarakat.

Ali Moertopo, misalnya, mengatakan bahwa perbedaan antara majikan dan buruh harus
lenyap. Menurutnya, yang boleh tinggal; hanyalah kelas “karyawan“ sebuah kategori
yang diciptakan oleh SOKSI awal tahun 1960-an untuk menggantikan konsep “buruh“
yang menyiratkan adanya proses eksploitasi (oleh “lawannya“,yaitu “majikan“). Menteri
Tenaga Kerja tahun 1960-an, Marsekal Mursalin, juga menyatakan bahwa hubungan
perburuhan berdasarkan konflik kelas dan liberalisme harus digantikan oleh hubungan
perburuhan berdasarkan Pancasila. Sementara Pancasila sendiri mulai digambarkan pada
awal Orde Baru sebagai konsep yang menentang konflik macam apapun di dalam
masyarakat.

Belakangan pada tahun 1975, gagasan hubungan kemitraan antara majikan dan buruh
dikodifikasi dalam doktrin Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). Doktrin ini melihat
hubungan perburuhan mirip dengan hubungan di dalam keluarga—dengan negara
berperan sebagai bapak yang bijaksana. Doktrini ini pada dasarnya menentang konflik—
dan karena itu—dalam praktek juga menolak hak untuk menolak aksi mogok karena
dianggap tidak selaras dengan prinsip kekeluargaan yang melandasi Pancasila. Lebih
jauh, sesuai dengan semakin berpengaruhnya gagasan “Pembangunaisme“, pernyataan
pejabat negara pada awal Orde Baru, mulai menempatkan “tanggung jawab“ pada buruh
untuk menjamin keterberhasilan pembangunan. Menteri Mursalim, misalnya,
mengemukakan bahwa organisasi buruh mempunyai tanggung jawab terhadap
pembangunan ekonomi secara umum dan pada produktivitas secara khusus. Pada saat
yang sama kegiataan organisasi buruh juga semakin dipersempit ruang lingkupnya ke
masalah sosial-ekonomi, sesuatu yang yang sangat berlawanan dengan ciri gerakan buruh
yang sangat politis di masa Orde Baru.

Portofolio Menteri Tenaga Kerja saat awal Orde Baru selalu berpindah tangan antara
tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang militer, karenanya tentu mempunyai perhatian
yang lebih terhadap masalah keamanan, dan tokoh teknokrat yang sedang menjalankan
tugas sulit merestukturisasi perkenomian Indonesia. Pada tahun 1968, Awaloeddin
Djamin, pejabat tinggi kepolisian serta tokoh Golkar yang merupakan Menteri Tenaga
Kerja Orde Baru yang pertama, digantikan oleh Mursalin, seorang Marsekal AURI yang
juga turut mendirikan Sekber Golkar. Belakangan, pada tahun 1971, Mursalin digantikan
oleh Muhammad Sadli, tokoh teknokrat, yang kemudian diganti lagi pada tahun 1973
oleh Subroto, tokoh teknokrat lainnya. Meskipun demikian, tokoh yang kelak paling

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 22

berpengaruh dalam proses pencarian format perburuhan yang baru bukanlah seorang
Menteri Tenaga Kerja. Ia adalah Jendral Ali Moertopo, pimpinan Opsus. (Hadiz, 1996: 4
—7)

Pengetatan dan Perluasan Kontrol


.
Sejak tahun 1970-an pemerintah berupaya mengatur organisasi serikat buruh, bagi
perusahaan swasta, dalam wadah tunggal FBSI. Perhatian Mennaker Sudomo terhadap
satu-satunya organisasi buruh ini sangat besar, malah sejak ia masih menjabat
Kaskopkamtib. Ketika memberi sambutan dalam Kongres II FBSI, akhir November
1965, ia mengulangi pernyataannya yang mengeritik sifat federatif dari organisasi ini. Ia
memandang bahwa sejak terbentuk tahun 1973, struktur organisasi FBSI mengikuti
konsep “liberal“, sehingga perlu disederhanakan. Ia juga mengomentari istilah buruh
yang melekat pada organisasi itu. Baginya, konsep buruh memberi konotasi:kelompok
tertindas yang selalu memberontak. Ia menganggap istilah buruh tidak tepat digunakan di
Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila, lalu mengusulkan agar diganti menjadi
pekerja. Akhirnya Kongres memutuskan, antara lain, merubah nama (FBSI menjadi
SPSI) serta stuktur organisasi (federatif menjadi unitaris); dan basis –basis SBLP SBSI
diubah menjadi Unit Kerja SPSI. Setelah Kongres II, dengan sendirinya SBLP dianggap
bubar. Sejak saat itu struktur serta mekanisme organisasi baru ini semakin sentralistis.
Dalam struktur organisasi SPSI, eks 21 SBLP dilebur menjadi 9 departemen pada tingkat
DPP, 9 biro pada tingkat DPD dan 9 seksi pada tingkat DPC. Penciutan ini memang
disesuaikan dengan sektor-sektor industri menurut kategori jenis industri dari
Departemen Perindustrian.

Walaupun dremikian, pada saat maupun setelah Kongres II FBSI tersebut berlangsung
sebagian peserta kongres serta sebagian pemimpin buruh yang tidak ikut kongres tidak
menyetujui perubahan sifat dan struktur organisasi dari federatif menjadi unitaris. Merka
umumnya menganggap bahwa SBLP tidak dapat dengan sendirinya dianggap bubar
karena SBLP belum mengadakan kongres dan menyatakan diri bubar. Sebagai reaksinya,
beberapa dari mereka bergabung dan mendirikan apa yang mereka namakan: Sekratariat
Bersama Serikat Buruh Lapangan ekerjaan (Sekber SBLP). Mungkin pendirian Sekber
ini dimaksudkan sebagai alternatif bentuk organisasi buruh lain SPSI. Tetapi mereka
tidak memperoleh pengakuan resmi dari pemerintah.

Untuk mencegah organisasi Sekber SBLP tersebut diakui resmi, sekurangnya muncul dua
tanggapan dari Sudomo. Pertama, ia mengirim surat kepada Mendagri yang meminta
Mendagri untuk tidak menerima pendaftaran organisasi serikat buruh lainnya kecuali
SPSI. Mennaker kwatarir bahwa organisasi Sekber SBLP atau organisasi organisasi
buruh yang lama akan memanfaatkan peluang mendaftar ke Departemen Dalam Negeri
(sebagai alternatif pengakuan resmi di luar Depnaker) sehingga secara administratif,
berdasarkan UU No. 8 /1985. bisa sah menjadi Ormas. Untuk menegaskan sikap dan
dukungannya kepada SPSI sebagai satu-satunya organisasi buruh di ndonesia, Mennaker
mengeluarkan Permen No 05/Men/1987 tentang Pendaftaran Organisasi Pekerja yang
menetapkan bahwa persyaratan organisasi pekerja yang dapat difatrakan ke Departemen

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 23

Tenaga Kerja anatara lain: (1) serikat pekerja yang bersifat kesatuan; dan (2) mempunyai
pengurus sekurang-kurangnya di dua puluh daerah tingkat I, seratus daerah tingkat II, dan
seribu unit kerja tingkat perusahaan. Menghadapi peraturan tersebut, melalui Sekbernya,
SBLP sendiri maupun bersama-sama tidak mungkin menyatakan keberadaannya,
meskipun defacto mungkin saja mereka masih memiliki basis di tingkat perusahaan
maupun pimpinan cabang atau daerah.

Untuk mengatur prosedur pembentukan serikat buruh di tingkat perusahaan. Mennaker


Sudomo menerbitkan keputusan Menteri (Kepmen) No. 1109/MEN/1986. Pengakuan
pemerintah bahwa hak mengambil inisiatif membntuk unit kerja dapat datang dari
perangkat SPSI dan dari saran pengusaha, sangat memungkinkan terbentuknya unit kerja
yang bukan atas kehendak sebagaian besar buruh sendiri. Kendati misalnya “panitia
pembentukan“ bersama pengusaha diminta penganjurkan agar buruh ikut dalam
organisasi yang akan dibentuk tersebut, tetapi Mennaker berpendapat bahwa
pembentukan serikat pekerja di perusahan swasta merupakan “keharusan”, bahwa murlak
diadakan.

Hak berserikat merupakan hak dasar yang staretgis dan instrumental. Berserikat
memungkinkan buruh (secara kolektif) mengadakan, antara lain, Perjanjian Kerja
Bersama atau Kesepakatan Kerja Bersama dengan pengusaha . Sebagai instrumen, serikat
buruh merupakan sarana mempermudah peningkatan kehidupan mereka. Dalam hak
berserikat, inklusif didalamnya terdapat hak menggunakan serikat buruh untuk
memperjuangkan kepentingan mereka. Ini sekaligus jawaban atas “bersikat untuk apa?”
Semenetara itu cara-cara yang biasa dipakai buruh untuk memperjuangkan
kepentingannya, antara lain melalui mogok, perlambatan kerja (slow down) dan
demontrasi. Karena itu pembahasan hak mogok dan demontrasi bagi buruh merupakan
bagian dari pembicaraan mengenai hak berserikat. Tetapi Mennaker jelas tidak
menghendaki adanya pemogokan seperti tampak dalam Kepmen No. 120/MEN/1988
tentang Pedoman Penututan Perilaku (Code of Conduct) dalam Pencegahan dan
Penyelesaian Perselisihan Industrial. Selain itu, untuk meningkatkan kontrol pihak
penguasa maupun pemerintah, Menanker Sudomo juga mengeluarkan Permen mengenai
check off system, yaitu iuran serikat buruh yang secara kolektif dikutip melalui
perusahaan.

Selain pengendalian atas serikat buruh—yang mengharuskan serikat buruh yang unitaris
dan tunggal, memperketat syarat-syarat pendaftarannya, mengendalikan tata cara
pembentukannya di tingkat perusahaan, dan sebagainya seperti uraian di atas—di bawah
Mennaker Sudomo, seluruh tindakan tersebut dibimbing atau kemudian dilegalkan
melalui peraturan menteri yang hakekatnya seringkali bertentangan dengan UU. Misalnya
lagi jika kita bandingkan per definisi batasan serikat buruh, maka tampak bahwa Permen
yang terakhir (No 06/1987) makin membatasi, paling sedikit mempersulit, upaya
pembentukan serikat buruh di tingkat pabrik (unit kerja) atas prakarsa buru itu sendiri.
Kalaupun sudah terbentuk hanya bisa daikui dan diatur secara vertial melalui SPSI dari
“atas“ ke “bawah“. (Rudiono, 1992: 67—69)

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 24

Pemogokan Buruh yang Terbesar

Gelombang pemogokan buruh pada 1990-an ini bukan hanya mengulang dan melampui
pasang naik pemogokan di awal 80-an, tapi pada hakekatnya berwatak berbeda. Pada
awal dasawarsa ini kita mencatat, setidaknya dari sudut jumlah dan kualitas buruh, 3
kasus pemogokan buruh yang terpenting yaitu mogok kerja dan aksi protes di kompleks
kelompok PT Gadjah Tunggal (1991), demontrasi turun ke jalan 3. 000 buruh tekstil dan
pakaian jadi di Solo menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 1994, dan dalam tahun yang
sama, demontrasi yang berakhir dengan kerusuhan di Medan dan kawasan industri
sekitarnya.

Dalam hampir setiap kasus, entah diundang ataupun tidak, apalagi dalam pemogokan
yang disertai unjuk rasa, tentara diperkenankan oleh peraturan perburuhan dan kemaman
yang ada, tapi juga dibenarkan dalam kerangka ideologi pembangunan dan Hubungan
Industrial Pancasila yang secara sistimatis dan canggih menempatkan negara sebagai
penjamin utama ketenangan industrial. Karena itu tidak menghernakan bila campur
tangan mereka yang ringan tangan dalam perselisihan industrial, pada gilirannya
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa seperti Marsinah di Sidoardjo.

Memang represi dan koersi aparat negara dalam mensubordinasikan buru ke dalam modal
bukanlah watak khas rejim-rejim otoriter di negeri-negeri pascakolonial yang sedang
gencar-gencarnya melakukan industrialisasi. Seabad yang lalu, buruh-buruh di Eropa
misalnya, harus berjuang melalui berbagai bentuk resistensi termasuk pemogokan
menghadapi tekanan polisi dan tentara demi hak-hak yang mereka peroleh sekarang,
yakni kebebasan berserikat dan demokrasi di tingkat pabrik, upah yang tinggi,
kesejahteraan, serta kondisi kerja yang layak, bahkan waktu luang dan penguasaan buruh
atas sarana-sarana produksi serta kontrol terhadap proses kerja (self management)
Artinya pertentangan antara negara yang secara instrumental bisa dirumuskan sebagai
panitia yang menyelenggarakan dan menjamin kepentingan pemodal vis a vis buruh,
bukanlah keunikakan Indonesia, melainkan suatu perjuangan yang berlingkup universal.
Walaupun demikian, kita harus memperhatikan bagaimana hubungan-hubungan spesifik
antara pemodal-negara—buruh itu bekerja di sini.

Pada! Agustus 1991 pada sebuah kompelks pabrik milik kelompok perusahaan PT
Gadjah Tunggal Group, pecah pemogokan yang pertama kali terbesar sepanjang Orde
Baru, melibatkan tak kurang 12. 000 buruh kehilangan 192 jam kerja, dan pengerahan
empat batalyon tentara dari empat kesatuan di empat wilayah. Sambil menggemakan lagu
perjuangan seperti “Hallo-Hallo Bandung“ dan “Maju Tak Gentar“, dengan menggedor
pintu pabrik, para buruh menjemput kawan-kawannya dari satu pabrik ke pabrik
berikutnya. Dalam tempo kurang lebih dari tiga jam, halaman kompleks pabrik tersebut
dibanjiri ribuan pemogok. Kasintel Kodim 0506 Kapten Ginting beberapa kali
melepaskan tembakan pistol ke udara, menginstruksikan agar para buruh berkumpul di
lapangan bola yang sudah dijaga ketat tentara, lalu menyusul datang dua truk militer
pasukan bersenjata lengkap dari Yon Infranteri 203 Arya Kemuning, Kodim 0506,
Koramil, Polres, Polsek, Muspika Kecamatan Jatiuwung, kemudian tiba aparat DPC SPSI
dan lain-lain, termasuk aparat Depnaker. Meraka yang disebut terakhir ini dengan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 25

mengendarai mobil militer mengaciung-acungkan tangannya berteriak: “Hidup SPSI,


Hidup Golkar, Hidup Orde Baru”, sambil menyarankan buruh supaya mengumpulkan
tuntutannya. Buruh menolak anjuran itu dengan berteriak-teriak dan mengatakan bahwa
wakil buruh yang menghadap biasanya kemudian dipecat. Para buruh tetap bergerombol
di lapangan, walaupun secara lisan perusahaan menjamin bahwa perwakilan buruh yang
akan diajak berunding tidak akan di PHK. Setelah buruh-buruh menerima jaminan tertulis
dan atas desakan kawan-kawannya, tampillah Zukifli Saleh, seorang buruh, ke atas mobil
militer sebagai wakil mereka. Dengan melibatkan 14 wakil buruh dari 14 pabrik dan
wakil –wakil perusahaan, hari itu juga, perundingan diadakan di ruang diklat Hadir aparat
Kodim, Koramil, Polres, Polsek dan Muspika di samping Depnaker dan DPC SPSI.

Di situ di bahas 23 tuntutan buruh, diantaranya penyesuaian upah minimum, tunjangan


transport, perhitungan upah lembur, tambahan uang makan, uang pemondokan,
penggantian biaya pengobatan, ganti rugi kecelakan kerja, tunjangan keluarga m hak cuti,
ikut serta dalam program Astek, bonus. Sebagaimana kejadian yang sudah-sudah,
tuntutan buruh itu oleh petugas Depnaker dipilah kedalam tuntutan yang bersifat normatif
dan kepentingan. Tuntutan yang digolongkan ke dalam kategori normatif adalah Astek,
perhitungan upah lembur, upah tidak dipotong bisa cuti, pembagian KKB perlindungan
terhadap buruh perempuan, dan lain-lain. Sedang yang digolongkan ke dalam tuntutan
kepentingan adalah tunjangan keluarga, biaya transport, jaminan sosial, jaminan
kesehatan, dan bonus.

Lantas seorang aparat Depnaker meminta waktu sepuluh menit untuk berunding dengan
perusahaan dan aparat lainnya di luar ruang perundingan. Setelah setengah jam mereka
masuk dan mengumumkan keputusan. Para wakil buruh diminta menandatangani hasil
keputusan yang dianggap sebagai KKB. Setelah itu tinggal mendengarkan pengarahan
dan wejangan. Seorang aparat Kodim berpangkat Lettu malah menuduh para buruh
bahwa aksi mereka ditunggangi pihak lain dan merupakan tindakan subversif. Ia
mengancam: “Saya akan comot muka-muka yang ditandai bila melakukan aksi lagi.”
Sementara di luar gedung, massa buruh tetap menanti wakil mereka, tentara berjaga-jaga.

Perundingan demikian itu, di mana pihak-pihak yang bukan pengusaha ataupun buruh
dalam melibatkan diri di dalamnya, jelas-jelas berlangsung dengan maksud tertentu
Mereka berusaha menyingkirkan sepnuhnya buruh dari ajang pembuatan keputusan.
Keterlibatan itu begitu dalam. Di sini yang berlaku bukanlah mediasi melainkan
pemihakan. Maka tak aneh bila buruh mogok lagi pada 2 Agustus dengan gegap gempita
seperti hari pertama 14 wakil buruh yang sudah terlibat dalam perundingan dikumpulkan
kembali oleh aparat DPC SPSI, Depanaker, Kodim, dan Koramil untuk mengecek cara
para wakil tersebut dalam memberi penjelasan kepada buruh mengenai hasil perundingan
kemarin. Lalu, para wakil buruh disuruh memberi penjelasan di pabrik masing-masing
didampingi aparat Depnaker. Pada hari itu juga Ketua SPSI Imam Sudarwo, berkunjung
ke pabrik dan menemui pengusaha serta Ketua PUK, SPSI, namun sama sekali tidak
menemui buruh.

Pada 3 Agustus para buruh berangsur bekerja kembali namun mereka masih saling
bertanya-tanya tentang tuntutan upah yang dapat digolongkan sebagai bersifat

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 26

kepentingan. Keesokan harinya keempat belas wakil buruh mengirim surat kepada
kepada UK SPSI yang mendesak agar tuntutan-tuntutan yang sudah digolongkan sebagai
berisfat kepentingan dipenuhi. Tetapi keesokan harinya justru ketua UK SPSI, yang juga
berdudukan sebagai asisten manajer personalia menjelek-jelekan Zufkifli yang tidak
hadir. Di sutu buruh tidak diberi kesempatan bicara dan hanya disuruh mendengar
pengarahan-pengarahan dari Dewan Komisaris. Pada tanggal 16 Agustus Zulkifli dibawa
dari tempat kerjanya ke kantor Kodim Tangerang tanpa surat panggilan. Pada 19
Agsustus, 8 wakil buruh dibawah dari tempat kerjanya ke Kantor Kodim, juga tanpa surat
panggilan. Mereka diinterogasi. dari pukul 13,30 sampai 00. 45 dengan tuduhan PKI,
subversi, sabotase dan semacamnya Mereka. Mereka melihat Zulkifli Saleh yang masih
ditahan Kodim tapi tidak dapat saling bertutur sapa.

Pada 20 Agustus 1991, bebarapa wakil buruh dipanggil Kodim mengajukan surat
pengunduran diri sebagai wakil buruh, yang konsepnya dibuat aparat Kodim Mengetahui
intimidasi ini, pada tengah hari secara serentak buruh PT GTG nergerombol di lapangan
pabrik. Meraka mogok total lagi dan mengajukan tuntutan yakni: (1) Zulkifli dibebaskan
dari tahanan Kodim; (2) realisasi tuntutan mereka yang dijanjikan oleh Ketua SPSI; (3)
bubarkan UK SPSI PT GTG. Empat truk militer yang dipenuhi pasukan bersenjata
lengkap dari Yon Infanteri, Kodim, Koramil, Armed, Kaveleri, Arhanud, dan lain-lain
diterjunkan ke tengah-tengah aksi. Pintu gerbang pabrik ditutup. Terjadi bentrokan fisik
antara massa buruh dengan petugas militer. Massa buruh melampui kantor Satpam. Pagar
tembok bobol.

Pada 21 Agustus pagi, buruh shift pagi menerima formulir isian yang berupa surat
pernyataan bahwa buruh tidak akan mogok lagi dan dan bersedia menerima sanksi bila
melakukannya. Sebagian buruh menyobek-nyobek surat itu. Pasukan militer bersenjata
lengkap dan pasukan huru-hara terus menjaga pabrik.

Betapun, pasukan militer ini tak dapat membendung sekitar 5. 000 yang mendesak keluar
pabrik, berjalan sejauh 8 kilometer menuju gedung DPRD Tangerang. Sepanjang
perjalanan mereka menyanyikan lagu-lagu perjuangan sambil mengangkat poster-poster
protes (yang dinataranya berbunyi “Bebaskan Zulkifli dan rekan-rekan”; “Berikan Hak
Kami Seutuhnya”; ”Ganti Pengurus SPSI“). Mereka berjalan sambil berteriak, “Zulkifli,
Zulkifli, Bebaskan Zulkifli”. Ketika mereka tiba, gedung DRPD sudah dijaga ketat oleh
pasukan militer. Kepada ketua DPRD mereka menuntut agar Zulkifli dibebaskan.
Komandan Kodim Tangerang lantas berbicara di depan massa buruh dan berkata bahwa
pemogokan ini didalangi oknum yang ingin menghasut buruh. Buruh dengan digiring
pasukan militer lalu dengan tertib meninggalkan gedung DPRD setelah mendapat
jaminan bahwa Zulkifli dibebaskan. Sementara itu, pada hari itu Menkapolkam Soedomo
menyatakan bahwa ada pihak ketiga yang menggerakkan aksi buruh di PT Gadjah
Tunggal Group, dan mengatakan pelakunya akan ditindak dengan tegas. Selain itu ia
meminta Pangab untuk mengambil langkah-langkah pengamanan.

Pada 22 Agustus buruh diperintahkan oleh perusahaan dan sejumlah aparat militer dari
Kaveleri dan Kodam Jaya untuk berkumpul di beberapa tempat. Mereka digiring masuk
kerja dengan serentetan tembakan ke udara. Sekitar 100 buruh menolak masuk kerja.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 27

Mereka dikumpulkan di lapangan bola dan dibawa aparat militer. Empat buruh ditahan di
kantor Satpam dan dianiaya kemudian ditahan di Polres Tengerang. Meraka dipaksa
mengakui pengerusakan dan menghina aparat militer, serta dikenai wajib lapor. Buruh-
buruh lainnya berangsur-angsur kembali. Tapi lingkungan pabrik tetap dijaga ketat oleh
militer. Bahkan pada 23 Agustus, ruang kerja setiap departemen di seluruh perusahaan
maupun warung-warung di sekitar pabrik, dijaga pasukan dari Batalyon Arhanud.

Pada 4 September 1991, 4 buruh yang ditahan Polres mengundurkan diri dari perusahaan
Dua wakil buruh dibawa di kantor Kodim dan pulang ke rumah dengan bibir luka.
Sorenya mereka keluar dari ketua UK SPSI dengan membawa surat pengalaman kerja
dan “uang kebijaksaan“ Para wakil buruh lainnya menjadi resah. Kejadian hampir serupa
terjadi pada wakil buru yang lainnya. Mereka diciduk aparat militer diajukan pertanyaan-
pertanyaan untuk mengetahui siapa yang menjadi otakk pemogokan dan kemudian
dpaksa mengundurkan diri dari perusahaan. (Arini, 1994: 61—66)

Buruh Di Akhir Orde Baru

Tahun-tahun terakhir Soeharto ditandai dengan menjamurnya sekoci-sekoci kecil


pengorganisasian buruh yang acapkali berbasis komunitas dan tidak memiliki tempat
formal dalam sistem hubungan industrial resmi, dan banyak diantaranya menjalain kerja
sama-dengan ornop-ornop berbasis buruh. Tingkat pemogokan meningkat secara
dramatis—dilaporkan ada 360 pemogokan terjadi di Indonesia tahun 1996, tidak lama
sebelum Krisis Asia, dibandingkan hanya sembilan kasus yang tercatat resmi sepanjang
1989. Cakupan variasi pemicu pemogokan cukup luas, kendari para pekerja biasanya
tergerak untuk melakukan aksi dengan isu-isu yang terkait dengan upah. Tuntutan-
tuntutan lain yang acapkali muncul adalah kondisi-kondisi kerja yang buruk dan masalah-
masalah kesehatan serta keselamatan di tempat kerja. Pemogokan-pemogokan juga
dilakukan sebagai solidaritas atas pemecatatan yang dilakukan secara tidak adil terhadap
rekan-rekan kerja mereka Kadangkala pemogokan kerja terjadi karena tuntutan untuk
mendirikan perwakilan seriokat kerja yang lebih efektif, karena hal ini acapkali diabaikan
lantaran perusahan biasanya mengambil pengurusnya dari pejabat-pejabat cabang
SPSI/FBSI yang acapkali tidak efektif.

Sejumlah besar serikat-serikat kerja independen yang didirikan selama periode ini
menantang insitusional yang hanya hanya mengakui serikat-serikat buruh dari
FBSI/SPSI/FSPSI, paling tidak, hingga 1994 ketika reformasi terbatas memungkinkan
keberadaan serikat-serikat buruh internal (in-house) yang bersifat nonafliasi. Organisasi
serikat pekerja independent paling terkenal adalah Serikat Buruh Merdeka Setiakawanan
yang berusia pendek dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang dipimpin
Muchtar Pakpahaqn. Aktivis mahasiswa dan buruh yang lebih radikal membentuk Pusat
Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), terkait dengan partai kecil sayap kiri Partai Rakyat
Demokratik (PRD), yang pada 1996 ditindas oleh pemerintahan Soeharto.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 28

Terlepas dari kelemahan organisional dan campur tangan berlebihan dari aparat
keamanan pada era Soeharto, gejolak perburuhan terus berlangsung tanpa bisa dikontrol
sejak awal 1990-an hingga terjadi krisis ekonomi. Sejumlah pejabat negara mulai
merasakan keterbatasan-keterbatasan strategi kontrol yang didasarkan pada respresi.
Upaya yang mereka lakukan untuk menenangkan para pekerja adalah membuat kebijakan
menaikkan secara periodik tingkat upah minimum yang ditentukan negara serta berbagai
reformasi terbatas lainnya. Sebelum terjadi krisis ekonomi, upah minimum dalam nilai
rupiah praktis telah meningkat tiga kali lipat dari tahun 1990, kendati dalam dollar
nilainya hanya sekitar US $ 2,50 per hari.

Telah dikatakan bahwa peningkatan aktivitas buruh pada decade 1990-an terkait dengan
perubahan sosial dan ekonomi yang luas dalam tiga dekade industrialisasi terus-menerus
di bawah Orde Baru. Salah saru dampak sampingnya adalah muncul dan berkembangnya
secara perlahan kelas-kelas sosial-baru, termasuk kelas pekerja industrial kota, di mana
kondiosi-kondisi kehidupan dan pekerjaan mereka mengalami perubahan secara dramatis.
Transformasi ini dipercepat dengan penerapan strategi industrialisasi yang lebih
berorientasi ekspor pada decade 1980-an—yang merupakan respons terhadap jatuhnya
harga minyak di pasar internasional. Pengembangan strategui pembangunan baru ini
didasarkan pada upah-murah di sektor manufaktur padat karya pada upah-murah di sektor
manufaktur, terutama dari kalangan perempuan.

Lingkungan sosial di wilayah-wilayah yang cukup luas di banyak kota besar, khususnya
di Jawa dan Sumatra, secara dramatis berubah dengan didirikannya zona-zona
manufaktur, yang disertai dengan munculnya daerah-daerah kumuh yang luas dan dihuni
terutama oleh para pekerja muda perkotaan. Angka-angka statistik makro menunjukkan
bahwa para pekerja sektor manufaktur meliputi 12,6 persen dari tenaga kerja sebelum
terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, dibandingkan 6,5 persen di tahun 1971. Gejala ini
menunjukkan adanya peningkatan yang lambat namun pasti.

Dikatakan juga bahwa, tidak seperti para pendahulunya pada dekade-dekade sebelumnya,
para pekerja perkotaan kotemporer lebih sedikit memiliki pilihan untuk kembali ke
tempat tinggal mereka di daerah pedesaan setelah bekerja sementara di kota Persepsi
kemapanan tentang eksistensi perkotaan agaknya telah menjadi faktor penting dalam
membentuk cara pandang kelas pekerja industrial muda ini dan mendorong muncullnya
kesadaran bahwa ada banyak hal yang dipertaruhkan dalam keberhasilan perjuangan
mereka untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan kota dan pekerjaan di pabrik.
Kendati faktor-faktor etnik, kedaerahan, dan agama kelas masih mempengaruhi identitas
–diri para pekerja, bentuk-bentuk solidaritas baru dapat dikatakan mulai terbentuk pula
berkat tumbuhnya kesadaran tentang sifat relatif permanen dari eksistensi perkotaan
mereka yang suram, kendati tumbuh pula berbagai harapan. Rasa keadilan baru bisa jadi
telah dipicu oleh pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari dengan gaya hidup
makmur kalangan atas, yang tinggal tidak jauh dari daerah kumuh kota atau pinggiran
kota di mana pekerja tinggal.

Krisis ekonomi—yang mengakibatkan pengangguran dan setengah pengangguran


(employment) besat-besaran di saat perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik ditutup atau

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 29

dikurangi—jelas menguji daya tahan para pekerja untuk tetap tinggal di kota-kota.
Banyak dari mereka yang merasa hanya memiliki sedikit pilihan selain mengungsi ke
desa mereka, paling tidak untuk sementara waktu. Namun sulit untuk mengatakan secara
pasti berapa banyak yang pulang ke desa untuk waktu lebih lama sebelum mereka
kembali ke pusat-pusat perkotaan untuk mencari sesuap nasi, barangkali di sektor
informal yang tumbuh subur. (Hadiz, 2005: 64—67)

Buruh dan Reformasi

Cikal-bakal gerakan buruh di Indonesia masih terus mengorganisir diri sebagai suatu
kekuatan yang koheren. Dalam sisa-sisa gerakan buruh yang ada, tidak ada satu pun yang
berbentuk pusat pergerakan nasional, dan mampu bernegoisasi atas nama para pekerja,
tidak ada partai politik besar yang memiliki hubungan organic dengan gerakan buruh.
Pusat pergerakan “resmi” sebelumnya, yakni FSPSI, telah tercerai-berai segera setelah
kejatuhan Soeharto. Dengan pecahnya serikat-serikat pekerja dukungan negara itu,
mantan suara pengurusanya membentuk organisasi-organisasi mereka sendiri. Dalam hal
ini yang paling terkenal di antaranya adalah SPSI-Reformasi. Di samping itu, FSPSI tidak
pernah mendapat legitimasi domestic maupun internasional, karena perannya di bawah
Orde Baru yang sangat tergantung pada kekuasaan negara.

Di masa selanjutnya, bertolak belakang secara langsung dengan kebijakan resmi era
Soeharto, menjelang akhir 1998 telah ada sekitar selusin organisasi serikat kerja baru
tercatat di Departemen Tenaga Kerja. Upaya yang dilakukan pemerintahan Habibie untuk
menegakkan kredibilitasnya sebagai reformis di bidang perburuhan antara lain adalah
melonggarkan peraturan-peraturan tentang pendirian serikat pekerja, ratifikasi Konvesi
ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat, serta penghapusan undang-undang
ketenagakerjaan yang sangat keras (yang telah disahkan parlemen pada tahun 1997).
Untuk lebih menyenangkan para pekerja, pemerintah juga memberlakukan kembali
kebijakan peningkatan berkala upah minimum. Di antara berbagai serikat buruh baru ini
itu adalah SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), yang dipimpin oleh pengacara
Muchtar Pakpahan. Selama pemerintahan Soeharto, organisasi ini telah lama ditolak
untuk mendapat pengakuan resmi dan kerap kali menjadi target represi negara.

Perkembangan-perkembangan seperti itu telah menodorong kelompok-kelompok lainnya


untuk mendirikan organisasi-organisasi serikat pekerja baru. Beberapa dari asosiasi-
aosiasi baru ini tidak bersedia mendaftarkan diri ke Departemen Tenaga Kerja, barangkali
untuk memperlihatkan ketidaksukaan mereka kepada klaim-klaim reformis pemerintahan
Habibie. Namun, konteks ekonomi saat itu tidak terlalu menguntungkan bagi upaya-
upaya pengorganisasian buruh. Krisis ekonomi Indonesia mengakibatkan pertumbuhan
ekonomi merosot sebesar 14 persen tahun 1998 dan meluasnya pengangguran. Hal ini
jelas tidak banyak membantu meningkatkan posisi tawar para aktivis buruh.

Kelompok-kelompok buruh baru yang menonjol di wilayah Jakarta-Jawa Barat antara


lain adalah KABI (Kesartuan Aksi Buruh Indonesia), Kobar (Komite Buruh Untuk Aksi
Reformasi), dan Jebak (Jaringan Buruh Antar Kota), Perpubas, sebuah serikat pekerja di

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 30

bidang industri sepatu di wilayah Jabotabek, yang telah terbentuk dengan ikatan yang
kuat kepada ornop berbasis buruh, yakni SISBIKUM.

KABI, yang berbasis di Jabotabek, sangat aktif dalam mepresentasikan para pekerja
selama tahap-tahap akhir “pendudukan“ gedung parlemen bulan Mei dan belakangan
membentuk Serikat Buruh Jabotabek (SBJ). Jebak, kendati posisinya cukup kuat di
daerah-daerah industri sekitar Bandung yang juga telah memperluas pengikutnya di
Jakarta dan sejumlah wilayah lain. Kobar, seperti KABI, yang sangat aktif di Jakarta,
namun juga memiliki basis-basis dukungan di wilayah lain. Ia juga menjalin hubungan
dengan para aktivis PRD dan dengan kelompok mahasiswa radikal, khususnya di
Universitas Indonesia. Bulan Mei 1999, Kobar ikut mendirikan Front Nasional
Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI). Selain itu, suatu supra-grouping yang bersifat ad
hoc dari berbagai kelompok buruh Jabotabek, yakni ASBI, telah terlibat dalam
rancangan-rancangan aksi, kendati tidak banyak bukti tentang kedsatuan di antara
mereka. Jaringan yang serupa dilaporkan terbentuk pula di Jawa Timur dan Sulawesi
Selatan. Di Surabaya, sebuah serikat pekerja bernama Serikat Buruh Reformasi, telah
terbentuk kendati basisnya terdiri dari sekitar dua puluh pabrik di wilayah industri yang
nengitari kota itu.

Secara signifikan, dari organisasi-organisasi tersebut, tidak ada yang yang memiliki
kaitan langsung dengan elite negara, atau oposisi politik. Selain itu, tidak mustahil bahwa
jumlah serikat-serikat pekerja tidak resmi akan meningkat dengan mengambil format
lokal atau daerah, mengingat adanya kesulitan teknis dalam mendirikan serikat-serikat
pekerja nasional, di samping karena semakin pentingnya perjuangan di tingkat lokal
bersamaan dengan menurunnya kekuasaan sentral negara.

Di antara organisasi-organisasi buruh baru itu terdapat pula PPMI (Persaudaraan Pekerja
Muslim Indonesia) serta Sarbumussi baru yang yang merupakan kebangkitan kembali
federasi serikat pekerja lama bebasis-NU era 1960-an. Di antara keduanya, PPMI
merupakan kelompok yang paling memiliki “bobot“ karena keterkaitannya dengan
kelompok-kelompok elite negara melalui ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
se-Indonesia) yang diciptakan oleh Soeharto dan Habibie. Kendati Sarbumusi
menawarkan gagasan penyusunan kembali basis lamanya di kalangan pekerja pabrik
rokok, makanan dan perkebunan, ia agaknya tidak mendapat dukungan penuh dari
pimpinan NU. Pendiriannya harus dilihat sebagai hal yang agak terpisah dari strategi elite
untuk memobilisasi buruh.

Sebaliknya, PPMI, yang didirikan pada Maret 1998 oleh aktivis-aktivis politik, terkait
dengan ICMI, kendati keberadaannya baru diumumkan pada Maret tak lama sebelum
kejatuhan Soeharto. Tidak mustahil untuk membaca pendirian PPMI sebagai suatu upaya
membangun kredibilitas populis bagi organisasi yang sebelumnya dimpimpin Habibie,
maupun untuk mengarahkan gerakan buruh agar lebih moderat atau bentuk-bentuk
perjuangan yang lebih terkontrol. Namun, adalah tidak musthail juga untuk menafsirkan
hal ini sebagai suatu insisiatif elite dalam mengembangkan sekoci berbasis-buruh
Instrumen semacam itu dapat digunakan untuk melakukan mobilisasi massa yang berasal

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 31

dari unsure-unusr kaum miskin perkotaan dalam rangka menganatisipasi kelanjutan


pergulatan kekuasaan pasca-Soeharto.

Masih harus dilihat lagi, apakah organisasi-organisasi seperti seperti PPMI yang akan
bertahan dalam ujian waktu dan perjuangan politik. Namun, yang kita saksikan sejauh ini
adalah meningkatnya ketegangan di antara mereka yang mengaitkan perjuangan buruh
dengan proyek sosial democrat ataiu radikal dengan mereka yang ingin menggunakan
perjuangan buruh dalam rangka membantu elite-elite Orde Baru untuk memosisikan diri
kembali di lingkungan politik baru ini. Format politik yang baru tampaknya mengambil
bentuk mobilisasi massa selektif yang dilakukan oleh elite-elite yanmg bertarung dengan
menggunakan retorika nasionalis atau populis maupun melalui politik uang dan
premanisme.

Dengan demikian, hanya ada sedikit bukti tentang kembalinya pola perubahan era 1950-
an di mana organisasi-organisasi buruh terikat erat dengan partai politik. Pembentukan
sekoci politik melalui pengorganisasian buruh yang baru setelah kejatuhan Soeharto
terjadi secara bersamaan dengan didirikannya partai-partai politik baru, yang kebanyakan
menggunakan identitas religius-politis. Akan tetapi, sejauh ini hanya sedikit kaitan yang
terjalin antara partai-partai politik dan gerakan buruh, kendati beberapa partai seperti
PAN telah mendirikan departemen buruh. Tidak adanya keterkaitan ini bisa saja sekadar
cerminan dari masih barunya partai-partai politik serta ketidakmampuan mereka untuk
mengembangkan strategi pemilihan umum yang efektif.

Sejauh ini para pekerja mengisyaratkan bahwa mereka tidak antusias dengan partai-partai
yang baru didirikan, bahkan terhadap partai buruh sekalipun. Tidak banyak yang berubah
sejak saat itu. Pada suatu pertemuan yang tidak banyak dipublikasikan dengan wakil-
wakil partai politik di Makkasar, para pekerja menyuarakan opini mereka tidak satu pun
partai-partai politik yang benar-benar propekerja. Maka tidak, tidak mengejutkan jika
empat partai politik yang berindentitas buruh gagal total dalam pemilihan umum Juni
1999. Tidak ada satu pun, termasuk Partai Buruh Nasional pimpinan Muchtar Pakpahan,
yang berhasil memenangkan satu kursi saja di parlemen.

Tentu saja, secara historis mobilisasi kelas pekerja untuk kepentingan kelas borjuis kecil
atau kepentingan politik konservatif bukan suatu yang baru. Dukungan yang sama pernah
diberikan kelas pekerja Eropa pada abad kesembilan belas kepada rezim populis dan
fasis. Anggota paramiliter, preman dan kriminal sebagain besar direkut dari kelas buruh.
Buruh yang terorganisasi juga membantu menopang rezim Margas dan Peron di Amerika
Latin. Kelompok-kelompok yang ada dalam gerakan kelas buruh Indonesia mungkin saja
akan ditarik lebih jauh lagi ke dalam strategi koalisi-koalisi kekuatan konservatif yang
dalam rangka mempertahankan kekuasaann dan pengaruhnya. (Hadiz, 2005: 19—31)

Buruh Di Tengah Globalisasi

Pengaruh globalisasi pada kaum buruh secara jelas tercermin di Indonesia m sebuah
negeri yang sebelum malapetaka ekonomi tahun 1997, berjuang untuk mendapatkan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 32

tempat dalam pembagian kerja internasional sebagai wilayah produksi bagi industri
manufaktur padat-kerja. Di Indonesia, perkembangan sektor manufakur berorientasi
ekspor—yang selama satu dekade dikendalikan oleh aliran-aliran modal asing yang
begitu besar—merupakan elemen paling penting dari suatu usaha yang lebih luas untuk
mengurangi ketergantungan masa lalu negeri itu pada penghasilan minyak. Tak
diragukan lagi, para investor asing ini merupakan pelaku-pelaku yang secara global
mempunyai mobilitas paling tinggi, dan dengan demikian, mengubah para pekerja
manufaktur Indonesia menjadi pekerja-pekerja yang secara global paling rapuh.

Daya tawar modal yang semakin tinggi jelas semakin memperlemah daya tawar kaum
pekerja di negara yang memiliki tenaga kerja berlebih seperti Indonesia, yang tengah
menghadapi berbagai kesulitan besar dalam membangun gerakan buruh yang efektif.
Meskipun hubungan antara munculnya gerakan buruh yang efektif dan penyempitan
pasar buruh lebih kompleks daripada yang sering diandaikan oleh para ekonom klasik,
kondisi kelebihan tenaga kerja yang krponis umumnya menjadi rintangan bagi
munculnya kekuatan potensial buruh terorganisasi. Dalam keadaan seperti itu, seseorang
dari garis pengangguran yang lebih penurut akan dengan mudah menggantikan pekerja
yang mempunyai kecenderungan berorganisasi, dan dengan demikian, menghalangi
perkembangan organisasi pekerja yang kuat. Tidak mengejutkan bahwa para investor
internasional yang beroperasi di Indonesia sangat gemar mengulang-ulang pernyataan
bahwa daya tarik negeri ini sebagai tempat produksi sebagain terletak pada adanya buruh
yang murah (dan umumnya tidak-terorganisasi). Perubahan keadaan ini, ungkap mereka,
dapat memudahkan perubahan keputusan investasi Vietnam dan Cina serta banyak negeri
lain yang menawarkan tenaga kerja murah dan sampai derajat tertentu, stabilitas politik.

Terdapat beberapa kecenderungan yang bertentangan, terutama saat terjadinya rangkaian


pergolakan buruh yang semakin besar sejak awal tahun 1990-an yang menghantam para
majikan dan negara di Indonesia. Yang sangat mengejutkan adalah bahwa para pekerja—
yang tampaknya tidak menyadari perkembangan-perkembangan global—dengan gigih
mulai menuntut upah yang lebih tinggi, kondisi kerja yang lebih baik, pengakuan akan
kebebasan untuk berorganisasi, serta hak-hak buruh yang lain. Aksi pemogokan
meningkat; hanya terdapat sembilan belas pemogokan di Indonesia di tahun 1989, dan
meningkat menjadi 350 di tahun 1996—berdasarkan perhitungan resmi pemerintah yang
umumnya berada pada posisi konservatif yang ekstrim.

Kontradiksi utama terletak dalam kenyataan bahwa integrasi Indonesia yang lebih besar
dengan perekonomian dunia melalui ekspor manufaktur ringan juga memacu
pertumbuhan tenaga kerja industri yang lebih besar dengan kecenderungan yang lebih
kuat untuk berorganisasi. Kecenderungan semacam itu tampak berkembang, meskipun
terdapat mekanisme kontrol buruh dari negara yang telah lama berlangsung, yang
biasanya dilegitimasi melalui wacana resmi dengan mengacu pada nilai-nilai Indonesia
yang dianggap “asli“. Yang terakhir ini terejawantah dalam ideologi negara, Pancasila–
yang, menurut wacana ini, menghindari setiap bentuk perselisihan demi menuju
keselarasaan dan kerja sama dalam semua aspek kehidupan. Pandangan tentang
hubungan negara-civil society dalam ideologi resmi tersebut serupa dengan pandangan
Hegelian klasik, di mana negara menyatakan kehadirannya sebagai sintesa universal dari

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 33

kepentingan partikular yang saling bertentangan dalam masyarakat. Seperti halnya negara
Hegelian, negara Pancasila sebagaimana yang ditafsirkan oleh Orde Baru-nya Soeharto
dianggap lebih penting dari civil society,

Sebelum malapetaka ekonomi tahun 1997, Orde Baru memimpin 30 tahun masa
pertumbuhan dan industrialisasi ekonomi yang berlangsung terus-menerus. Munculnya
kelas pekerja industri baru di wilayah urban, yang kemudian membangun suatu
kecenderungan yang semakin kuat untuk berorganisasi, sangat terkait dengan proses ini.
Dibentuk oleh pengalaman dan perjuangan hidup serta bekerja di wilayah-wilayah
industri perkotaan dan semi-perkotaan yang begitu luas dan baru, para pekerja muda yang
jumlahnya semakin meningkat itu telah mengadakan percobaan dengan berbagai bentuk
organisasi di luar kerangka resmi hubungan-hubungan industri. Tidak seperti para
pendahulu mereka pada dua dekade sebelumnya, pilihan untuk kembali secara permanen
ke kampung halaman mereka setelah bekerja dalam waktu singkat di kota tidak lagi
tersedia, oleh karenanya, mereka cenderung lebih bertaruh untuk mencapai sukses
perjuangan di kota. pada umumnya, para pekerja telah melakukan protes terhadap gaji
yang rendah, kondisi kerja yang buruk, kesehatan dan keamanan yang mengenaskan,
serta penganiayaan oleh majikan. kebanyakan pekerja juga telah menuntut kebebasan
berorganisasi yang lebih besar serta hak untuk membentuk serikat-serikat pekerja-baru
mengingat tidak efektinya organisasi serikat pekerja yang ditopang-negara.

Terlepas dari kecenderungan untuk berorganisasi yang semakin besar itu, kaum buruh
sebagai suatu kekuatan sosial tetap berada pada posisi lemah, Proses industrialisasi
selama tigapuluh tahun memang membantu menciptakan sebagai prasyarat bagi
tumbuhnya suatu gerakan buruh yang lebih aktif, namun sebagaimana yang terjadi
dengan civil society pada umumnya, warisan kekuasaan otoriter untuk sebagian
bertanggung jawab atas melemahnya kemampuan organisasional kaum pekerja. Selain
itu, suatu gerakan buruh baru dan independen yang mulai di Indonesia—dalam suatu era
yang dicirikan melemahnya buruh global vis-à-vis modal, yang umumnya disebabkan
oleh mobilitas modal yang semakin meningkat sangat tidak menmguntungkan bagi
kepentingan kaum buruh Indonesia. (Hadiz, 2005: 42—48)

Penutup

Bagi sebagian aktivis dan akademisi yang menaruh minat pada isu perburuhan dan
perjuangan pekerja, terutama pekerja dari sektor industri manufaktur, kejatuhan rezim
otoritarian Soeharto pada 1998 sempat membangkitkan optimisme terhadap masa depan
gerakan buruh di Indonesia. Tradisi-tradisi radikal pada paruh pertama tahun 1990-an
berupa aksi kolektif dan keterlibatan buruh dalam organisasi-organisasi perburuhan untuk
menghadapi kepentingan kapital dan negara Himpitan ekonomi terhadap kelas pekeeja
industri manufaktur yang datang silih beraganti sejak krisis politik pada 1997/1998
menciptakan pula momentum lain untuk melandasi optimisme akan kematangan serta
solidaritas gerakan buruh Indonesia. Berbagai persoalan klasik yang dialami buruh
pertengahan tahun 1990-an berkaitan dengan kondisi kerja dan marginalisasi tidak serta-
merta menemukan jawabannya hingga permulaan abad ke-21. Tuntutan kenaikan upah

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 34

buruh agar layak dengan kondisi ekonomi pada umumnya—termasuk di dalamnya


tingkat inflasi, kesesuaian dengan indikator-indikator hidup yang memadai, dan kenaikan
konstan harga bahan baker minyak—merupakan motor penggerak yang tetap ada untuk
menghidupkan gerakan buruh, seperti yang dijumpai pada decade sebelumnya Namun
demikian, optimisme yang berangkat dari kondisi-kondisi objektif ini tidak dapat
disangkal masih belum menjelma menjadi sebuah realitas seutuhnya seperti yang
dibayangkan dari para aktivis dan akademisi yang berpihak pada perbaikan nasib buruh
Indonesia.

Dalam sebuah studi empiris di sebuah kawasan industrial di Kotamadya Tangerang,


ditemukan bahwa kondisi-kondisi subjektif dalam gereakan buruh masih belum
sepenuhnya siap mennstranformasikan dirinya menjadi sebuah instrumen kelas pekerja
yang solid. Status pekerja dalam organisasi –organisasi perburuhan di tingkat lokal,
apalagi nasional, yang masih bersifat peripheral – sebatas pada hubungan dalam bentuk
pemotongan gaji untuk iuran serikat pekerja di tempat kerja – menegaskan pernyataan
Hadiz diatas tentang problema “konsolidasi“ dalam organisasi-organisasi kelas pekerja.
Ini belum termasuk keluhan para buruh atas kegagalan serikat pekerja, yang kerap
dibahasakan oleh pekerja sebagai “orang-orang dari Jakarta”, untuk mempresentasikan
aspirasi-aspirasi yang berkibar di tingkatan akar rumput. (Warouw, 2005: 1—3)

Krisis yang berkepanjangan yang terjadi berulang-ulang dalam kapitalisme sesungguhnya


korban utamanya selalu bukan kaum penguasa. Fakta-fakta yang nyata dan terang-
benderang terus-menerus dipelintir dan dikaburkan sehingga realitas yang sungguhnya
tidak dikenali lagi. Begitu kabur hingga hanya sedikit pakar yang mengemukakan realitas
pahit yang terus terjadi, bahkan setelah berkahirnya rezim otoriter Soeharto, seperti yang
selalu diingat bahwa kelas bawah terus dipaksa membayar previlege dan kemewahaan
buat kelas atas.

Setelah berjalannya agenda neoliberalisme untuk melakukan privatisasi dan pasar bebas,
mulai muncul persoalan baru bagi kaum pekerja Indonesia yaitu relokasi industri dan
penciutan jumlah pekerja. Pada tahun 2002 lalu, misalnya, terjadi relokasi pabrik Sony
Indonesia ke Vietnam. Kasus Sony Corp ini menjadi gunung es dari persoalan
neoliberalisme yang tidak mengenal batas-batas negara. Kemudian mulai terjadi
demontrasi dan mogok kerja pekerja-pekerja BUMN yang sebelumnya dikenal moderat
(plat kuning). Selain PT Dirgantara Indonedsia, Indosat, Semen Padang, dan banyak lagi
BUMN lain di Indonesia pernah melakukan hal serupa yang menggugat privatisasi yang
sedang berlangsung terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Persoalan ini semakin
memberatkan buruh karena ada UU Penyelesaian Hubungan Industrial Pancasila lewat
pengadilan yang mengancam posisi tawar para pekerja (Aditya, 2005: 19—24).

Pengalaman perjuangan sejak tahun 1998 adalah modal penting bagi perjuangan para
pekerja ke depan. Persatuan dan pembaruan ke dalam komunitas merupakan sebuah
langkah politik untuk menguatkan posisi kelas pekerja, sekaligus memberikan dan
mendapatkan dukungan dalam perjuangan pada lingkup yang lebih khusus
Perkembangan ekonomi-politik, sejauh tidak ada ada perubahan yang fundamental dari
pemerintah, akan menghasilkan sejumlah masalah sosial baru yang harus dihadapi oleh

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 35

para pekerja secara keseluruhan. Mengorganisasikan masyarakat dalam komunitas adalah


salah satu langkah antisipasi dan penguatan dalam,menghadapi masalah tersebut. Hal
penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa selain melampui batas sektoral dalam
tertori tertentu, pengorganisasian komunitas para pekerja juga perlu diperluas dalam
suatu jaringan dan koordinasi. Ini setidaknya tindakan yang dapat dilakukan oleh para
pekerja.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 36

Bibliografi

Aditya, Willy. “’Lapak’ Politik Kelas Dalam Sejarah Indonesia? (Sekelumit Persoalan
Pengorganisasian Rakyat Pekerja Indonessia),” Jurnal Analisis Sosial Vol. 10/No.
2/Oktober 2005, hlm. 19—38.

Abdullah, Fausi. ”Pemutusan Hubungan Kerja: Akibat dan Latar Belakangnya”, Prisma
No. 3/Tahun XIV/ 1983. hlm. 27—35.

Arini, Titis Edi. ”Pasang Naik Gelombang Pemogokan dan Politik Perburuhan (Laporan
Khusus)“, Prisma No. 4 /Tahun XXIII/April1994, hlm. 48—73.

Barret, Francois. Perburuhan. Dari Masa ke Masa. Jakarta: Pustaka Rakyat

Budiawan. ”RM Soerjopranoto. Bangsawan yang Bersimpang Jalan”, Prisma No. 8


/Tahun XX, Agustus 1991, hlm. 78—96.

DS, Soegiri dan Edi Cahyono. Gerakan Serikat Buruh. Jaman Kolonial Belanda Hingga
Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra. 2003.

Djawamaku, H. Anton. ”Profil Pemogokan Buruh Indonesia Pada Awal 1980-an.


”Analisa No. 7/Tahun XII/Juli 1983. hlm. 612—627.

Hadiz, Vedi R. ”Gerakan Buruh dalam Sejarah Indonesia (Esai)”, Prisma No/10/Tahun
XXIII/Oktober / 1994, hlm. 77 – 79.

…… ”Buruh dalam Penataan Politik Awal Orde Baru”. Prisma No. 7 / Juli 996, hlm. 3
—15.

…… Dinamika Kekuasaan. Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.


2005.

Ingelson, John. 2004. Tangan dan Kaki Terikat. Dinamika Buruh Sarekat Kerja dan Per
kotaan Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu. .

Octavianus, Dominggus,” Melepas Perbedaan, Menemukan Persatuan Rakyat Pekerja


dalam Dinamika Perjuangan Kelas Buruh dan Rakyat Pekerja. ” Jurnal Analisis Sosial
Vol/ 10/No. 2/ Oktober 2005, hlm. 39—58.

Prisma, ”Masihkah Dibutuhkan Kearifan Menangani Masalah Perburuhan“ (Dialog),


Prisma /No. 3. Tahun XXI / 1992, hlm. 67—85.

Razif. “Penguasaan Tenaga Kerja dan Perkebunan Besar di Sumatra Timur: Tinjuan
Historis”. “Prisma No 4 /Tahun XX/April 1991, hlm. 41—50.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 37

Ramos, Elias T. ”Strategi Hubungan Perburuhan Asia Tenggara, Analisa Perbandingan”.


Prisma No. 12/Tahun XI/Desember 1982. hlm. 38—47.

Rudiono, Danu. ”Kebijakan Perburuhan Pasca Boom Minyak”. Prisma No/1/Tahun XXI
Januari 1992. hlm. 61—80.

Sadali. 2002. Sejarah Gerakan Buruh Indonesia. Tanpa kota: Pustaka Pena.

Sharaishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak. Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 – 1926.
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Suroto, Suri. ”Gerakan Buruh dan Permasalahnnya”. Prisma/ No11/Tahun XIV / 1985.
Hlm. 25—34.

Saptari, Ratna. ”Diferensiasi Buruh dalam Industri Rokok Kretek”, Prisma No. 1/Tahun
XXI, Januari 1992, hlm. 3—22.

Warouw, Nicolaas. “Pekerja Industri Indonesia, Gerakan Buruh, dan New Social
Movement; Merajut Sebuah Kemungkinan”. Jurnal Analisis Sosial Vol. 10/No2/ Oktober
2005, hlm. 1—18.

Wibowo, I dan Francis Wahono. 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka


Rakyat Cerdas.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda 38

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai