Anda di halaman 1dari 7

Pembahasan atas Manifesto Komunis (Bab “Borjuis dan proletar”)

dan Brumaire XVIII Louis Bonaparte (Bab “Ikhtisar”)

Oleh Dede Mulyanto

 
Gagasan Marx tentang kelas tidak mudah untuk ditangkap. Seperti buih-buih dari
gelombang besar, gagasan-gagasan itu timbul tenggelam dalam beberapa karyanya tanpa
ada upaya sistematisasi. Dua dari beberapa karya Marx yang membincangkan kelas
adalah Manifesto Komunis dan Brumaire XVIII.

Memahami gagasan Marx tentang kelas tidak bisa lepas dari konsepsi materialis atas
sejarahnya. Manusia mulai menundukkan alamnya ketika mereka memproduksi
kebutuhan hidupnya. Ketika manusia mulai memproduksi kebutuhan hidupnya, kutukan
pembagian kerja pun turun. Manusia mulai memilah kekuatan-kekuatan produktif yang
penting dalam konteks lingkungan alam dan sosialnya. Kemajuan teknologi produksi di
masa awal sejarah produksi, memunculkan kelebihan hasil kerja yang memungkinkan
masyarakat menyimpan hasil kerjanya. Pada awalnya, kelebihan hasil kerja kolektif
(surplus) yang masih tidak terlalu banyak ini bisa untuk memberi makan tukang-tukang
yang membuat dan mengembangkan perkakas kerja. Ketika perkembangan kekuatan
produksi meningkat, kelebihan hasil kerja juga meningkat. Hal ini memungkinkan untuk
memberikan makan pada para tawanan perang yang di masa sebelumnya harus dibunuh.
Munculnya budak tidak akan mungkin tanpa adanya kelebihan hasil kerja dalam
masyarakat. Sejak itulah ketimpangan penguasaan atas kekuatan-kekuatan produksi
muncul. Spesialis-spesialis mulai muncul dalam pembagian kerja. Spesialis pertama
tentunya adalah tukang pembuat alat kerja dan senjata. Lalu tentara untuk melindungi
kelebihan hasil kerja, perluasan lahan produktif, dan memperbanyak tenaga-tenaga kerja.
Kelebihan hasil kerja masyarakat ini diambil secara langsung oleh golongan yang
kemudian menjadi kelas penguasa melalui upeti dan/atau perampasan. Bandit-bandit
perampas yang menguasai senjata akhirnya mampu membiayai produsen pemikiran
seperti agamawan, penyair, atau filsuf guna menopang kekuasaanya lewat pemikiran.
Pada masa inilah moda produksi perbudakan muncul dan menjadi moda yang dominan
dalam peradaban Yunani-Romawi. Plato tidak perlu kerja di lahan pertanian atau
menggembala ternak. Aristoteles hanya harus mendidik Aleksander Agung tanpa perlu
melaut mencari ikan untuk makan.
Surutnya perbudakan di masa feodal tidak melenyapkan hubungan penindasan
antarmanusia. Petani-petani pengolah lahan sedikit lebih tinggi derajatnya dengan budak.
Budak bisa dijual-belikan, sedangkan petani tidak. Tapi mereka menjadi seperti budak
ketika mereka dikuasai oleh bangsawan-bangsawan feodal atau gereja sebagai
hamba. Keterikatan petani yang menjurus pada ‘semi-perbudakan’ ini pada tuan-
tuan tanah mereka diikat oleh gagasan tentang kewajiban, harga diri, dan takdir yang
dikembangkan agama. Selain itu, munculnya kelas pemegang senjata yang terpisah dari
produsen, memungkinkan kelas penguasa untuk menguatkan ketundukan dan
ketergantungan kolektif produsen.

Meski di masa feodal ‘produksi-untuk-dipakai’ masih mendominasi ekonomi masyarakat


dan setiap ‘manor-manor’ relatif memenuhi kebutuhannya sendiri, ‘produksi-untuk-
dijual’ juga ada untuk memenuhi kepentingan kelas penguasa terhadap barang mewah,
tentara, senjata, puisi, dan pesta-pora.

Dari uraian Manifesto bab pertama bisa disimpulkan bahwa kelas muncul berkaitan
dengan adanya pembagian kerja antaranggota masyarakat berkaitan dengan
penguasaan kekuatan produksi: lahan, perkakas kerja, dan tenaga kerja. Tentara-
tentara yang menaklukkan daerah-daerah disekitarnya dan menguasai penduduknya
sebagai tawanan perang yang kemudian dipekerjakan sebagai budak, menjadi kelas
penguasa kekuatan produksi. Hubungan-hubungan produksi pun diatur. Budak-budak
menjadi kelas yang dikuasasi. Begitu pula dengan bangsawan-bangsawan dan pemimpin
gereja feodal yang menampung petani dan budak di bawah ‘perlindungan’ prajurit-
prajuritnya, menjadi kelas yang menguasai kekuatan produktif. Petani menjadi kelas yang
dikuasai.

Munculnya kota-kota mandiri yang berdiri di atas ekonomi pertukangan atau industri
yang dikembangkan oleh orang-orang yang terbuang dari tatanan feodal, yaitu borjuis,
serta perkembangan yang terjadi dalam teknik-teknik industri karena akumulasi uang
melalui perdagangan, tatanan feodal perlahan runtuh. Pertumbuhan penduduk dan
migrasi ke pusat ekonomi baru ini mempercepat keruntuhannya. Petani-petani yang
kehilangan lahan-lahan pertaniannya menjadi orang yang tidak memiliki apapun selain
tenaga kerjanya untuk bertahan hidup. Orang-orang miskin yang bebas ini
memungkinkan munculnya pasar tenaga kerja. Mulailah tenaga kerja menjadi komoditi
yang dijual-belikan. Untuk bisa berlangsungnya keadaan ini kelas borjuis yang sedang
bertumbuh perlu gagasan-gagasan tentang ‘kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan’
yang menggantikan konsep ‘kewajiban, harga diri, dan takdir ilahi’. Filsafat Pencerahan
dan Reformasi Protestan merupakan buah dari perjuangan borjuis melenyapkan pola
hubungan ‘bangsawan-hamba’ dan memompa keluarnya tenaga-tenaga kerja bebas
(proletar) yang tidak terikat pada tanah dan tuan feodal dari manor-manor dan gilda-gilda
yang bangkrut. Proletar lahir sebagai anak haram kapitalisme. Individualisme,
liberalisme, demokrasi, dan negara modern lahir sebagai lembaga-lembaga baru yang
menopang perjuangan borjuis menghancurkan tatanan kelas feodal. Perjuangan ini
memuncak dalam Revolusi Perancis yang didahului oleh Revolusi Parlemen di Inggris
yang mengikis habis kekuasaan kelas bangsawan seabad sebelumnya.

Dalam Brumaire XVII, Marx menggambarkan perjuangan borjuis menumbangkan


feodalisme. Revolusi Perancis 1789 memenggal Bourbon, dinasti feodal yang runtuh
diterpa badai perubahan moda produksi yang dihembuskan borjuis-borjuis Perancis.
Inilah revolusi sosial yang kekuatannya membongkar tatanan ekonomi lama hingga ke
akar-akarnya. Kudeta Louis Bonaparte, pemimpin lumpenproletar yang tergabung dalam
Perhimpunan 10 Desember, adalah sebuah revolusi politik yang hanya berkenaan dengan
perebutan kekuatan antarkepentingan borjuis. Dengan memanfaatkan ‘massa
mengambang’ penduduk pedesaan Perancis yang terdiri dari petani-petani kecil, Louis
Bonaparte mereorganisasi kekuasaan, menata ulang pemerintahan dan birokrasi, tentara,
dan skema pajak, demi kepentingan kelas borjuis pada umumnya. Ideologi Napoleon
dikembangkan sebagai pembenar semua pembenahan yang dilakukan borjuis melalui
Louis Bonaparte. Proletar bertekuk lutut dan menjadi kelas tertindas dalam tatanan
ekonomi kapitalis.

Proletar, mau tidak mau, harus menjual tenaga kerjanya untuk bertahan hidup. Meski
Marx mengakui banyaknya kelas-kelas dalam tatanan kapitalis, tapi Marx melihat adanya
dua kelas yang harus berhadapan muka, borjuis/kapitalis dan proletar. Tugas terakhir
borjuis yang sukses adalah membuat insinyur, dosen, filsuf, penyair, seniman untuk
menjadi buruh upahan dalam tatanan ekonomi kapitalis. Seperti proletar, kelas ini harus
menjual kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi kita tahu bahwa kelas
ini lebih dekat dengan kepentingan borjuis. Tidak jarang kelas ini menjadi aparat ideologi
negara borjuis menciptakan berbagai teori dan konsep yang membenarkan tatanan
kapitalis.

Hikmah yang bisa diambil dari Manifesto dan Brumaire XVII adalah bahwa negara
merupakan alat kekuasaan kelas berkuasa. Revolusi-revolusi yang bertujuan untuk
mengganti kekuasaan politik negara hanyalah sebentuk hasil persaingan antaranggota
kelas berkuasa atau hanya sebentuk revolusi politik. Sebagai misal, perang-perang
kemerdekaan di negara-negara Asia-Afrika tiada lain adalah perang kepentingan antara
borjuis nasional dan borjuis penjajah. Hikmah lainnya adalah bahwa kelas berkuasa akan
menciptakan dan terus berupaya melanggengkan ideologi yang membenarkan
tindakannya dalam revolusi di mata semua kelas yang (akan) dikuasainya. Nasionalisme,
satu-nusa satu-bangsa, senasib-sepenanggungan, patriotisme, dan sebagainya adalah
contoh hasil perjuangan borjuis nasional mengkonsolidasi kekuatan-kekuatan produksi
negerinya mengusir borjuis asing.

Dalam ideologi borjuis yaitu liberalisme dan demokrasi, kebebasan (termasuk pasar
bebas tenaga kerja) merupakan tujuan akhir. Semua orang mempunyai hak untuk
melakukan atau memiliki sesuatu yang diinginkan. Semua orang berhak untuk
memperoleh pendidikan dan penghidupan yang layak. Tapi hanya borjuis yang bisa
memperoleh pendidikan dan penghidupan yang (lebih dari) layak. Semua orang berhak
menentukan jalannya negara. Namun hanya borjuis yang mampu mempengaruhi
pengambil kebijakan dengan kekuasaannya atas mesin politik dan ekonomi. Boikot
investasi, penekanan lewat tenggat waktu hutang, penutupan pabrik, atau penggerakan
lumpenproletar (terutama preman-preman) untuk membuat huru-hara, sudah menjadi cara
manjur bagi borjuis untuk mengembalikan kekuasaannya. Ketika kepentingan mereka
terganggu, tidak jarang aparat bersenjata digunakan untuk memulihkannya. Kapitalis
yang menarik investasinya dengan pemindahan pabrik-pabrik bukanlah penggangu
ketertiban dan keamanan, tapi proletar yang berujuk rasa harus dihadapkan pada
moncong senjata tentara. Kapitalis yang hutang macet bermilyar dolar bukanlah penjahat,
tapi proletar yang menagih tunjangan kesehatan dan transportasi adalah orang yang tak
tahu keadaan. Borjuis yang aktif dalam klub belanja atau klub makan malam adalah
warga negara tehormat, tapi proletar yang aktif dalam serikat buruh harus disingkirkan.

II
 
“Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan
kelas.” Itulah kalimat pembuka Manifesto. Bagi Marx, kelas merupakan pengelompokan
sosial yang paling mendasar dalam masyarakat yang di dalamnya terkandung kekuatan
dahsyat bagi perubahan sosial. Melihat arti penting kelas dalam analisis Marx atas
sejarah, cukup mengagetkan juga bahwa Marx tidak menawarkan analisis yang sistematik
terhadap konsep ini. Pertanyaan yang hadir setelah membaca beberapa karya Marx adalah
‘ada berapakah kelas dalam tatanan masyarakat borjuis?’ Dalam Kapital jilid III, Marx
menyebut model tiga kelas: pekerja-upahan, kapitalis, dan pemilik lahan. Dalam
Manifesto Marx mengajukan model dua-kelas: borjuis-proletar. Menurut Marx
masyarakat secara keseluruhan pada akhirnya hanya akan menyisakan dua kelas utama
yang saling berhadapan dalam tatanan ekonomi kapitalis. Borjuis adalah sekelompok
pemilik alat-alat produksi dan pembeli tenaga kerja; proletariat adalah sekelompok orang
yang tidak memiliki sama sekali alat produksi dan hidup dari menjual tenaga kerjanya.
Jadi, patokan untuk menentukan sebuah kelas adalah hubungannya dengan kepemilikan
atau kekuasaan dalam produksi kapitalis. Tapi, selain borjuis dan proletar, Marx juga
menyebut ‘brojuis kecil’ dan petani sebagai kategori kelas sosial-ekonomi. Kedua kelas
tengah-tengah ini, menurut Marx, akan mengalami tekanan dalam tatanan kapitalis dan
harus memilih takdirnya, menjadi bagian dari barisan proletar atau bisa naik kelas
menjadi borjuis. Contoh jelas di sekitar kita adalah pertumbuhan industri maklun dalam
industri pakaian di Majalaya dan sekitarnya. Borjuis-borjuis kecil yang memiliki alat
produksi (mesin jahit) dalam industri rumah tangganya, mau tidak mau harus terintegrasi
ke dalam sistem industri yang lebih besar dan menjalankan produksi pesanan dalam jalur
monopoli. Industri-industri kecil ini akhirnya hanya menjadi pekerja upahan dari pemilik
kapital yang lebih besar. Tekanan persaiangan antarborjuis tidak lagi memungkinkan
mereka menghasilkan produk yang bisa bersaing dengan produk pabrik kapitalis besar.
Kemampuan kapitalis besar untuk mengekploitasi lebih banyak tenaga kerja menjadikan
harga produk mereka jauh lebih murah daripada yang dihasilkan industri rumahan.
Kapitalisasi pertanian dan monopoli bibit, pupuk, dan kredit di tangan borjuis telah
menjadikan marhaen-marhaen di pedesaan Jawa hanya buruh upahan untuk industri
pertanian besar. Petani-petani yang menguasai lahan luas dan mampu membayar tenaga
kerja untuk sementara berada dalam jaringan kapitalis dan menjadi borjuis desa.
Persaingan antarborjuis perdagangan eceran (mal, supermarket, grosir dll.) akan menekan
harga beli di tingkat petani serendah mungkin. Selain itu petani sama sekali tidak
mempunyai kedaulatan atas apa yang (ingin) mereka tanam.

Kelas yang cukup sulit ditempatkan dalam model dua-kelas adalah kaum terpelajar dan
produsen jasa seperti guru, dosen, politikus partai, konsultan, sastrawan, atau seniman.
Golongan ini jelas tidak secara langsung menjadi bagian dari hubungan produksi. Tapi,
perkembangan mutakhir menegaskan teori Marx bahwa kelas terpelajar ini telah dikutuk
menjadi pekerja-pekerja upahan yang hidup dari menjual kemampuannya. Ketika
lembaga-lembaga pendidikan berubah menjadi pabrik produksi tenaga-tenaga kerja yang
akan mengabdi pada kapital, maka dosen atau guru tidak berbeda dengan proletar pada
umumnya. Mereka menjadi bagian dari kekuatan produksi perusahaan pendidikan yang
hidup dari upah. Tetapi, berbeda dengan proletar pada umumnya, kelas ini cenderung
pada kepentingan kelas borjuis dan menjadikan gaya hidup kapitalis sebagai orientasi
gaya hidup mereka. Anggota kelas ini, sebagian besar, bersama-sama dengan borjuis
kecil dan petani pemilik lahan bisa saja aktif dalam setiap revolusi politik yang hanya
mengganti satu golongan borjuis dengan golongan borjuis lainnya, tapi akan menjadi
reaksioner dalam revolusi sosial yang mengubah tatanan sosial ekonomi secara mendasar
karena kepentingan mereka terkait langsung maupun tidak dengan kepentingan borjuis.
Dalam peristiwa penggulingan Soeharto 1998 revolusi politik terjadi sebagai puncak
pertentangan kepentingan antara borjuis konglomerasi besar di pusat kekuasaan dengan
borjuis-borjuis kecil yang berada di pinggiran kekuasaan baik di Jawa maupun (dan
terutama) luar Jawa. Perjuangan borjuis nasional ini didukung oleh kaum terpelajar,
termasuk mahasiswa lewat gagasan desentralisasi kekuasaan, otonomi daerah, dan
pemerataan pembangunan wilayah. Beberapa waktu kemudian tidak heran banyak yang
kecewa dengan gerakan reformasi. Jelas kiranya bahwa kelompok-kelompok yang
menggulingkan rezim Soeharto tidak akan mau menghancurkan tatanan dasar ekonomi
borjuis tempat mereka menjadi bagiannya. Yang ditentang bukan tatanan borjuasi itu
sendiri, tapi monopoli kapitalis konglomerasi di pusat kekuasaan. Tujuannya tiada lain
adalah merangsek ke dalam gudang-gudang kekuasaan politik dan ekonomi dan
membongkarnya agar daya gaib kekuasaan itu menyebar ke semua borjuis lokal di
daerah. Desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah memungkinkan daerah berhubungan
langsung dengan kapital dari luar negeri. Investasi asing lebih mudah masuk. Semua ini
ditopang oleh konsep, teori, dan analisis kaum terpelajar tentang demokratisasi, otonomi
daerah, pembangunan wilayah tertinggal, dan investasi langsung.

Baik dalam Manifesto maupun Brumaire XVII, Marx mencantumkan lumpenproletar


sebagai kelas. Lumpenproletar mencakup jembel, luntang-lantung, preman, bajingan,
penjahat, dan semua orang yang terdepak dari hubungan-hubungan produksi yang ada
dalam masyarakat. Pengangguran miskin, pekerja serabutan yang jarang bekerja, juga
bisa dimasukkan dalam kelas ini. Salah satu faktor dalam kemenangan Louis Bonaparte
tiada lain adalah organisasi para lumpenproletar Perkumpulan 10 Desember. Dengan
mengorganisasi para luntang-lantung, preman, pengangguran, dan jembel, Louis
Bonaparte membubarkan parlemen dan mengukuhkan dirinya sebagai Kaisar. Dalam
kasus ini lumpenproletar merupakan kelas yang dimanfaatkan borjuis keuangan Perancis
dalam menyingkirkan sisa-sisa dinansti feodal dan golongan borjuis lainnya sekaligus
menghalangi proletar Paris untuk memegang tampuk kepemimpinan revolusi. Menurut
Marx, lumpenproletar itu reaksioner dalam arti ketika dibeli oleh borjuis, maka
kepentingannya akan sejalan dengan borjuis dalam revolusi-revolusi politik.
Lumpenproletar adalah senjata ampuh borjuis untuk memukul perjuangan proletar.
Konflik kepentingan borjuis-proletar bisa disulap sebagai konlfik horizontal antaretnis
atau antaragama. Dalam naungan borjuis, lumpenproletar bisa menjadi alat akumulasi
kapital yang brutal lewat pemerasan, pengorganisasian pengemis, penguasaan ekonomi
gelap dan jasa-jasa ilegal (penyelundupan, pelacuran, perjudian, penagih utang,
pembunuh bayaran, lahan-lahan parkir, keamanan, dan lain-lain).

Dinasti-dinasti lumpenproletar terorganisasi di Indonesia yang umumnya di bawah


naungan kelas birokrasi militer pada mulanya diorganisasi untuk membantu memukul
mundur kekuatan politik kaum komunis pasca-G30S. Dalam perjalanannya, mereka
menjadi mesin pengambilan surplus secara brutal dan pengaman informal partai borjuis
nasional. Perusahaan-perusahaan yang membiayai dan dilindungi parta-partai borjuis
nasional ini yang akan tetap menjaga lumpenproletar terorganisasi berada dalam
kedudukannya sebagai tangan-tangan dinasti borjuis nasional. Terusirnya para petani dan
buruh-buruh tani miskin dari ekonomi pertanian pedesaan menyediakan suplai abadi
kelas lumpenproletar. Borjuis-borjuis nasional memanipulasi ideologi keagamaan serta
etnisitas pada baju-baju lumpenproletar terorganisasi untuk mengaburkan perjuangan
kepentingan ekonomi-politik mereka dalam melanggengkan penindasan terhadap
proletar.

Secara sosiologis, model dua kelas Marx tidak memadai menggambarkan kenyataan
sosial, namun model ini menampung juga kenyataan bahwa meski di luar skema borjuis-
proletar, kelas-kelas yang ada merupakan ‘calon-calon kuat’ untuk mengisi barisan
perjuangan kelas borjuis atau proletar dalam kutukan abadi kapitalisme.

Wallahu’alam bishshawab...
29/8/06
 
Perhimpunan Muda

Anda mungkin juga menyukai