Anda di halaman 1dari 12

Pengisian poin C sampai dengan poin H mengikuti template berikut dan tidak dibatasi jumlah kata atau halaman

namun
disarankan seringkas mungkin. Dilarang menghapus/memodifikasi template ataupun menghapus penjelasan di setiap poin.

C. HASIL PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan secara ringkas hasil pelaksanaan penelitian yang telah dicapai
sesuai tahun pelaksanaan penelitian. Penyajian dapat berupa data, hasil analisis, dan capaian luaran (wajib dan atau
tambahan). Seluruh hasil atau capaian yang dilaporkan harus berkaitan dengan tahapan pelaksanaan penelitian
sebagaimana direncanakan pada proposal. Penyajian data dapat berupa gambar, tabel, grafik, dan sejenisnya, serta
analisis didukung dengan sumber pustaka primer yang relevan dan terkini.

A. Potret Masyarakat Samin di Kawasan Klopoduwur, Kabupaten Blora


1. Sejarah Asal-usul Masyarakat Samin
Masyarakat Samin, adalah sekelompok masyarakat yang terdapat dan berawal di kawasan Blora, Jawa
Tengah propinsi Jawa Tengah. Komunitas Suku Samin atau wong sikep bermukim di Dukuh Karangpace, Desa
Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Masyarakat Samin yang berada di (Rukun
Tetangga) RT 1 dan 2, dengan jumlah penduduk 5063. Dengan komposisi 2.494 perempuan dan laki-laki
berjumlah 2.569. kata Samin adalah berasal dari kata sami, yang berarti sama. Jadi maksudnya adalah semua
orang itu sama dan berarti semua orang dihadapan Tuhan itu semua sama. Masyarakat Samin sendiri menyebut
diri mereka adalah “Wong Sikep”. Sikep itu sendiri adalah suatu ungkapan yang menyebutkan manusia
mempunyai suatu keyakinan, sifat sisinya manusia itu harus cinta kepada satu pencipta. Salah satu ajaran yang
selalu mereka patuhi adalah “Kalau bukan punyanya, Jangan diambil, Kalau tidak suka dengan seseorang,
Jangan diomongin”.
Masyarakat Samin merupakan masyarakat memiliki identitas yang unik. Sebab, dalam masyarakat
awam, istilah Samin dikonotasikan sebagai orang bodoh atau nyeleneh atau bertingkahlaku yang tidak umum,
seperti menggunakan keseharian yang sulit dipahami. Masyarakat Samin itu, muncul sebagai respon perlawanan
terhadap kesewenangan pemerintah kolonial Belanda (tahun 1890). Tindakan perlawanan mereka, dilakukan
dengan mengasingkan diri dan tidak tunduk pada aturan pemerintah kolonial. Terutama dalam membayar pajak
dan menolak paham baru yang datang dari luar komunitas mereka. 1 Dalam arti lain, masyarakat Samin memiliki
keinginan bebas menjalani hidup kemana pun pergi.
Masyarakat Samin merupakan diantara komunitas social masyarakat yang tinggal dan berdiam di
wilayah Indonesia. Sampai saat ini, masyarakat Samin masih memiliki semangat tradisional yang kuat. Masyrakat
Samin adalah potret kehidupan masyarakat jawa yang dalam sejarahnya disebutkan sebagai kelompok yang
mempertahankan ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda.2 Nama Samin diambil dari
Samin Surosentiko yang lahir pada tahun 1859 di desa ploso, Kediren sebelah Utara Randublatung, kabupaten
Blora, Jawa Tengah. Samin Surosentiko hitungan kerabat keturunan Pangeran Kusumoningayu atau kanjeng
Pangeran Arya Kusunowinahyu, ayahnya bernama Raden Surowijoyo yang dikenal sebagai Samin sepuh dan
bekerja sebagai bromocorah (Robeenhood) yang hasil curiannya diserahkan untuk membantu orang miskin di
daerah Bojonegoro.
Dalam kehidupan keseharaian, masyarakat Samin mempunyai norma sendiri yang digunakan menjalin
kehidupan Bersama. norma-norma itu diturunkan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Sampai
sekarang norm-norma itu masih dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Diantara norma
masyarakat Samin yang dapat dicontoh adalah kejujuran. Masyarakat Samin mengedepankan kejujuran yang
tercermin dari perkataan dan berbuatan. Selain sifat kejujuran, juga mengutamakan kebersamaan. Sikap
kebersamaan Samin terlihat dari penyambutan tamu yang berkeunjung ke sana. Dalam penyambutan tamu,
mereka sangat bersikap ramah dan memberikan jamuan.
Norma lain yang dianut oleh masyarakat Samin adalah pernikahan hanya boleh dilakukan seumur
hidup. Artinya, mereka tidak mengenal cerai atau poligami. Tepai apabila salah satu diantara suami istri tadi
meninggal, maka diperbolehkan untuk menikah lagi. Norma-norma lain seperti larangan berjudi, larangan mencuri
masih berlaku sampai sekarang, bahkan masih melekat dalam kehidupan mereka dalam keseharaian. Apabila
ada diantara anggota masyarakat mereka melanggar ketentuan-ketentuan tadi, maka sanksi yang diberikan
berupa teguran agar pelaku kejahatan tadi tidak mengulangi perbuatan jahantnya lagi.
2. Munculnya Ajaran Samin
Samin Surosentiko bernama asli Raden Kohar, putra dari Raden Surowijoyo atau Samin Sepuh. Lahir
tahun 1859 di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora. Sejak kecil Samin telah dijejali oleh
pandangan-pandangan figurative pewayangan menggunakan tapa brata, gemar prihatin, suka mengalah (demi

1
Deden Fathurrohman. Hubungan Pemerintah dengan Komunitas Samin, dalam Andrik Purwasito,
Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, (Yogyakarta, LKiS, 2003), hlm. 18
2
Andik Purwasita (ed), Agama Tradisional (Yogyakarta, Lkis, 2003), hlm. 18
kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Dari ayahnya, Samin banyak belajar mengenai realisme politik anak
jalanan.
Tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Blora dan mulai memiliki
banyak pengikut. Ajaran ini awalnya hanya dianggap remeh oleh pemerintah Kolonial Belanda. Dalam ajarannya,
Kyai Samin berusaha menciptakan masyarakat bersahaja lahir dan batin, dengan konsepsi yang terencana
sehingga ajarannya mudah diterima oleh masyarakat. Tahun 1907 pengikut Samin sudah mencapai 5000 orang
dan mulai dianggap ancaman oleh pihak Belanda. Kyai Samin dalam penyamarannya sebagai kawulo alit
sebenarnya telah memiliki wilayah tepatnya di desa Ploso Kedhiren yang dijadikan basis pemberontakan melawan
pemerintahan Hindia Belanda. Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat sebagai Ratu Adil oleh
pengikutnya dengan gelar Prabu Panembahan Suryongalam.
Karena keberadaannya dianggap menebar ancaman, pemerintah kolonial Belanda mulai bergerak
menjegal ajaran ini dengan menangkap para pengikut Samin. Dan 40 hari setelah menjadi Ratu Adil, Samin
Surosentiko ditangkap oleh Asisten Wedana Randublatung dan diasingkan ke Padang, Sumatera Barat dan
meninggal di pengasingan tujuh tahun kemudian. Penangkapan yang mendadak atas Kyai Samin beserta
perampasan buku pusaka dan wawasan platoniknya menyebabkan tokoh ini menjadi kabur. Konsep Ajaran
Samin:
Pawelinge Ki Surosentiko Samin
dhateng para anak putu sedaya
Aja ninggalke tata carane
madepo kanthi teguh
Aja melu kang ngaku suci
pilahen kanthi waspada
Mlebu nang gegayuhanipun
kanggo nggayuh kamerdhikan
Sami netepna rasa kang nyawiji
kanthi adil lan merdhika
Sebuah tembang jawa yang berisi tentang pesan Ki Samin Surosentiko kepada anak cucunya menjadi
penutup sebuah film dokumenter berjudul Kula Ndika Sami. Pesan yang berisi peringatan untuk tidak serta merta
menjadi pengikut orang-orang yang mengaku sebagai orang yang suci dan selalu menjaga kewaspadaan untuk
dapat mewujudkan keadilan dan kemerdekaan dalam kehidupan mereka. Termasuk didalamnya keadilan dan
kemerdekaan untuk tidak memilih agama yang “dijajakan” oleh negara.
Untuk menelusuri tentang ajaran Samin dan perkembangannya. Penulis melihat ada beberapa versi,
tapi pada umumnya, cerita yang didapatkan tidak lepas dari sosok yang mereka hormati dan mengkultuskannya
yaitu Samin Surasentiko atau ada juga yang menyebutnya Suruntiko.3 dan orang yang mengkultuskannya
mengatakan bahwa sosok Suransentiko adalah “wong tiban” atau orang yang tidak diketahui darimana datangnya
dan darimana perginya. Bahkan ada diantara para pengikutnya yang mengatakan bahwa Suronsentiko mash
hidup.
Versi lain mengatakan, bahwa Suronsentiko Samin adalah cucu kyai Keti dari Rajakwesi, daerah
kabupaten Bojonegoro. Mereka masih memiliki pertalian darah dengan Pangeran Kusumaningayu dari kerajaan
Pajang. Waktu kelahiran kira-kira tahun 1859 di desa Plosokediren, kira-kira 30 meter dari kota Blora.
Pada versi lain, Suronsentiko Samin adalah keturunan diantara pengikut Pangeran Diponegoro yang
melarikan diri dari daerah Blora karena di kejar-kejar Belanda. Pada saat Belanda menangkap dan membuang
Pangeran Diponegoro, Samin meneruskan perjuangannya dengan hidup di hutan-hutan dan banyak bertapa
(tirakat). Dan dalam tapa itulah dikatakan, bahwa Samin mendapatkan buku, yaitua “kalimosodo”. Dengan
mendapatkan buku tadi, Samin menyeberkannya kepada keluarganya dan sanak famili serta masyaakat yang
berada di sekelilingnya. Diantara ajaran dalam buku kalimosodo itu adalah 1) Serat Punjer Kawitan yaitu yang
berisikan tentang silsilah raja-raja Jawa, adipate-adipati wilayah Jawa Timur dan penduduk Jawa. 2) Serat
Pikukuh Kasjaten ajaran tentang tata cara hukum perkawinan yang dipraktikkan oleh masyarakat Samin. 3) Serta
Uri Pambudi berisi tentang ajaran perilaku yang utama terdiri dari ajaran, angger-angger pratikel (hukum tingkah
laku), nagger-angger Pangucap (hukum berbicara), angger-angger Laksono (hukum yang harus dilakukan). 4)
Serat Jati Sawit, yang membahas tenang kemulian hidup sesudah mati (kemulian hidup di akhirat) 5) serat

3
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta, Badan
Litbang Agama Kementerian Agama RI, 1999), hlm, 30-32
lamping urip. Yaitu berisikan tentang primbon yang berkaitan dengan kelahiran, perjodohan mencari hari baik
untuk seluruh kegiatan aktivitas kehidupan.
Proses penyebaran ajarannya disampaikan dari mulut ke mulut dari pada peristiwa-peristiwa penting,
misalnya pada Surosentiko Samin menikahkan anak perempuannya yang bernama Samiyah dengan Surokidin.
Menurut cerita, ketika berlangsung pesta pernikahan anak Samin, terjadi peristiwa hujan lebat hingga banjir, bagi
mereka yang mempercayai ajaran Samin, terhindar dari genangan air, sedangkan bagi mereka yang tidak
mempercayainya ajarannya, terkena air hujan dan basah kusup. Dari peristiwa itulah orang-orang sekitarnya
banyak yang berminat mengikuti ajarannya hingga berkembang keluar daerah, meliputi daerah Bapangan,
Kunduran, Meden, Bandul, Wirosari Klopoduwur, Ngawi, dan lain-lain.
Salah satu faktor mengapa kepercayaan ini mudah diterima sebagian masyarakat adalah karena
konsep ajarannya yang sederhana, seperti penekanan pada persamaan manusia,kerukunan, sikap gotong royong
kejujuran dan hidup sederhana, ditambah lagi dengan sederhana,ditambah lagi dengan hidup Suransentika
Samin yang jujur, bersahaja, dan suka menolong sesama merupakan model yang menarik bagi masyarakat untuk
mengikuti dan mengaguminya. Semakin hari semakin banyak pengikutnya, penerimaan pengikut diatur
sedemikian rupa. Jika ada pengikut baru, diadakan upacara penerimaan dan di haruskan bersumpah setia
menurut ajaran samin gurunya (dibaiat). Karena pengikut dari daerah pun semakin banyak, maka dibukalah
berbagai perwakilan yang di anggap”tertua”.
Diantara ciri yang menjadi kekhasan komunitas Samin adalah pemberontakannya dengan kolonial
Belanda. Masyarakat Samin memberontak dengan menolak membayar pajak dan membangkang kepada apparat
keamanan. Terlebih setelah Surosentiko Samin didaulat menajadi sosok Sang Ratu Adil oleh Suryowiryo, seorang
Carik desa Medalem yang kemudian hari diangkat menjadi Patih. Akibat pemberontakan mereka kepada
penguasa kolonial Belanda, Surosentiko, dan beberapa orang pemuka masyarakat ditangkap penguasa colonial,
seperti Surowiryo (Madalem), Saryani (Klupang, Randublatung), Ronodikmoro (Nggondel), Kamituwa Tengklik
(Ploro Kederi). Mereka diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan deklarasi adanya Ratu Adil dan Patih.
Tetapi pengadilan itu macet dan menghasilkan keputusan apa-apa karena Surosentiko Samin mengelak dan
memberikan argumentasi :
“Dadi Ratu naning ratune bojone dewe, dadi patih yo patih bojone dewe” (Jadi raja bukan raja suatu
negara, akan tetapi raja dari isterinya sendiri. Demikian pula jadi patih, ya patih untuk isterinya sendiri).

Tetapi penguasa Belanda tidak berhenti mengawasi Samin sampai situ, mereka terus mencari-cari kesalahan
Samin dan pengikutnya, sehingga Samin di penjarakan di Rembang selama 1 tahun, kemudian dikirim ke Jakarta dan
selanjutnya bersama Kramamanggala dan Singotirto dikirim ke Lubuk Lagan, Padang, Sumatera Barat. Carik Surowiyro,
Kamituwo Tangklik dan Kitokromo ke kampung Banjar, Manado. Sedangkan Sarejo, Saryati dan Ronodikrono dibuang ke
Bengkulu. Setelah 8 tahun lamanya Sorosentiko Samin dalam pembuangan, dia pun meninggal dunia.
Sepeninggal Surosantika Samin, pusat pimpinan penyabaran ajaran Samin berpindah ke desa Ploso Kediren ke
desa Tanduran, kecamatan Kedung, Tuban,Cepu yang dipimpin oleh Surokidin, menantunya Samin, karena mereka sangat
meyakini kebenaran ajarannya.
Meskipun tidak lagi dipimpin oleh Surosentiko Samin, komunitas Samin tetap tidak mau berkompromi dengan
Belanda, menolak menjalankan perintah-perintah Pamongpraja dan alat negara tidak mau membayar pajak, membantah
bekerja rodi, sehingga diantara mereka banayak yang dikenakan hukum, dikenai denda dan dirampas hak miliknya.
Keadaan demikian baru berubah setelah datangnya pemerintah Jepang. Mereka menganggap pemerintah Jepang akan
membawa keadilan. Oleh karena itu, mereka pun mentaati peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh pemerintahan
Jepang. Sikap seperti ini berlaku sampai diproklamasikannya Kemerdekaan RI, ditambah gencarnya usaha-usaha
pemerintah RI agar masyarakat tidak terisolasi dengan masyarakat lain.
Sikap dan perilaku yang dijalankan oleh Masyarakat samin tersebut pada akhirnya menimbulkan multi tafsir. Ada
yang menganggap bahwa Masyarakat Samin mungkin saja hanya sebuah komunitas yang memiliki tradisi berbeda dengan
komunitas lain. Mereka meyakini dan melestarikan pokok-pokok ajaran yang pernah disebarkan oleh leluhur mereka.
Namun kemudian para pakar dan masyarakat luas menyebut tradisi komunitas ini sebagai sebuah gerakan membangkang
terhadap pemerintah (civil disobedience). Tak hanya melakukan penolakan terhadap agama ”negara” mereka juga memiliki
lima ajaran utama yang lain: (a) tidak bersekolah, (b) tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang
diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu, (c) tidak berpoligami, (d) tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai
celana selutut, (e) tidak berdagang (penolakan terhadap kapitalisme).
Ajaran Samin pada intinya lebih menjelaskan kerangka cita-cita kemanusiaan. Menurut Kyai Samin Surosentiko
adalah membangun kebudayaan yang paling inti dengan melakukan perkawinan dalam ajaran kesaminan. Perkawinan
adalah wadah prima bagi manusia menekuni kesunyatan. Bukan saja karena nanti perkawinan membuahkan keturunan
yang akan meneruskan sejarah hidup manusia, tapi karena sarana ini menegaskan hakekat ketuhanan, berhubungan
antara pria dan wanita, rasa sosial dan kekeluargaan, dan tanggung jawab.
Konsep ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin : Keseimbangan , Harmonisi
, Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup masyarakat Samin tetap diyakini sampai saat ini. Dengan menjaga
budaya dan tradisi lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4. Tradisi lisan ini berbentuk puisi, tembang, dan
macapat. Ajaran-pokok masyarakat Samin tertuang dalam Kitab Serat Jamus Kalimasada, yang sebenarnya hanya sebuah
buku yang berisi kumpulan-kumpulan falsafah dan petuah hidup manusia. Kitab Serat Jamus Kalimasada ditulis oleh Kyai
Samin Surowijoyo yang terdiri dari Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri Uri Pambudi, Serat Jati Sawit,
dan Serat Lampahing Urip, yang mana seluruhnya memiliki ide tentang membangun negara batin yang jauh dari sikap
tercela.
3. Penyebaran Masyarakat Samin

Suku Samin. Tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan
Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Masyarakat Samin boleh
dikatakan tempat tinggalnya terpencar dalam beberapa buah desa dan bercampur gaul dengan orang-orang desa
itu yang bukan dari golongannya. Di antara desa-desa yang ditempati oleh orang Samin itu yang terbanyak ialah
di Desa Bapangan, Kecamatan Mendenrejo, Kabupaten Blora, dan yang paling sedikit ialah di Jepon. Di
Bapangan + 1700 jiswa, di Ngawen + 650 jiwa, di Ngaringan ± 375 jiwa, di Jepon + 300 jiwa. Persebaran
masyarakat Samin terjadi di wilayah Kabupaten Blora, dan sampai ke luar wilayah Kabupaten Blora.
Persebarannya di wilayah Kabupaten Blora diawali dari desa tempat kelahiran Samin Surosentiko, yakni Desa
Ploso Kedhiren, Kecamatan Randublatung. Di Desa Ploso karena pengikutnya makin bertambah, Samin
Surosentiko mencari tempat yang lebih luas, yakni di Desa Bapangan, wilayah Kecamatan Menden. Dari
Bapangan inilah penyebaran masyarakat Samin diawali. Persebaran masyarakat Samin di wilayah Kabupaten
Blora diawali dari Randublatung ke Menden. Selanjutnya ke daerah-daerah Kedungtuban, Sambongjiken, Jepon,
Blora, Tunjungan, Ngawen, Todanan, Kunduran, Banjarejo, dan Doplang. Selama satu dasa warsa, keluarga
Samin menyebar sampai ke luar wilayah Kabupaten Blora, antara lain: Kudus, Pati, Rembang, Bojonegoro,
Ngawi. Dan dalam catatna Soerjanto Sastroatmodjo bahwa persebaran masyarakat Samin berikut pahamnya,
sampai di Dusun Tapelan (Bojonegoro), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunungsegara
(Brebes), dan sebagian lagi di Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). 4
Ada dua alasan kuat penyebaran masyarakat Samin baik yang terjadi di wilayah Kabupaten Blora
maupun sampai ke luar wilayah Kabupaten Blora. Pertama, berkenaan dengan pengembangan ajaran Samin
Surosentiko yang dilakukan oleh Samin Surosentiko sendiri maupun oleh para pengikutnya, seperti Wongsorejo
(di wilayah Jiwan, Madiun), Engkrek ada juga yang menyebut Engkrak (di wilayah Grobogan, Purwodadi),
Karsiyah atau Pangeran Sendang Janur (di Kayen, Pati). Kedua, berkenaan dengan gerakan orang- orang Samin
yang menentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda dengan cara menolak untuk membayar pajak dan
menyerahkan sebagian hasil panen ke pihak desa. Cara ini semakin berkembang yang kemudian dirasa
mencemaskan dan membahayakan pemerintah kolonial. Oleh sebab itu banyak orang Samin yang ditangkap.
Mereka yang lolos, menghindarkan diri dari dari penangkapan pemerintah kolonial. Untuk itu mereka
meninggalkan desanya, tinggal sembunyi di pinggiran hutan jati atau sungai. Apalagi setelah Samin Surosentiko
ditangkap bersama delapan pengikutnya, sampai meninggal di Sawahlunto, Sumatera tahun 1914.
4. Ajaran Samin Surosentiko
Suku Samin terkenal dengan kejujurannya. Mereka hidup di dalam area hutan milik negara dan terletak
di sebelah Selatan Desa Klopoduwur. Desa Klopoduwur yang tenang ini merupakan tempat pertumbuhan ajaran
Samin. Raden Kohar atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Samin Surosentiko yang menyebarkan ajaran ini.
Lelaki yang lahir pada tahun 1859 ini sejatinya berasal dari Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora.
Namun, lelaki buta aksara ini memilih daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah sebagai tempat
pengembangan ajarannya. Pada tahun 1890 pergerakan Samin berkembang didua desa hutan kawasan
Randublatung dan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-
desa lainnya. Mulai dari pantai Utara Jawa sampai keseputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng
Selatan. Ajaran yang pada permulaannya hanya dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini,
ternyata berkembang dengan cepat. Dalam waktu kurang lebih 17 tahun pengikut ajaran Samin telah mencapai
sekitar 5000 orang. Mulai tahun 1907 banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah
(Belanda). Prinsip mereka yang senang membantu serta tidak ingin merepotkan orang lain merupakan sikap yang
pantas diacungi jempol dan harus senantiasa dilestarikan. Perjuangan Samin demi sebuah eksistensi di tengah
peradaban yang semakin modern, masih ada beberapa suku atau daerah yang masih mempertahankan tradisi
ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan tradisional yang makin ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan
kebudayaan aslinya. Tetapi masih banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya. Salah satu suku
yang masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin. Samin berasal dari kata sami-sami amin yang artinya
sama rata, sama sejahtera dan sama mufakat. Sebuah nama yang berdasarkan wong cilik (orang kecil) serta
berjuluk ”Samin Sepuh”. Mereka hidup dengan alam dan hidup dengan kesederhanaan.
Paham Samin atau Saminisme tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang samin tidak
pernah mengingkari atau membenci agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya. Paham Saminisme juga
dinamakan agama Nabi Adam, sebab ajaran saminisme yang terwariskan hingga kini sebenarnya mencuatkan

4
Soerjanto Sastroatmojo, Masyarakat Samin, (Yogyakarta, Narasi, 2003), hlm. 20
nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras. Ajarannya meliputi ojo drengki
srei, tukar padu, dahpen kemiren, ojo kutil jumput, mbedhog colong, nemu barang teng ndalan mawon disimpangi,
artinya jangan berhati jahat, bertengkar mulut, iri hati, rakus dan mencuri, bila menjumpai barang di jalan dijauhi.
Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak
yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya. Dalam ajaran Samin dikenal
dengan enam prinsip dasar etika yaitu:
“Prinsip meniko antawise pantangan (larangan) drengki, srei, panasten, dawen, kemeren, lan nyiyo
marang sepodo. Masyarakat Samin mempunyai falsafah bejok reyot iku dulure, waton meningso tur
gelem di daku sedulur. Ada lima hal lain lagi yang tidak boleh dilakukan. Yaitu bedok (menuduh), colong
(mencuri), pethil (mengambil barang yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat dalam
sumber kehidupannya), jumput (mengambil barang yang jadi komoditas di pasar), nemu wae ora kena
(menemukan barang milik orang lain, tidak boleh diambil/harus dikembalikan kepada si empunya).
Sementara itu, hal-hal yang harus di-ugemi dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam prinsip adalah
kudu weru the-e dhewe (tahu barang miliknya dan yang bukan miliknya, Lugu (komitmen tegas kalau berjanji,
kalau bisa katakan bisa kalau tidak katakan tidak), Mligi (taat pada aturan yang berupa prinsip beretika dan prinsip
berinteraksi) dan Rukun dengan isteri, anak, orangtua, tetangga dan siapa saja.
B. Potret Keyakinan Masyarakat Samin
Pandangan hidup dan keyakinan Masyarakat Sikep yang dihayati dan dilampahi (dijalani) secara patuh dan
konsekuen telah membangunkan adat-istiadat tertentu dan spesifik, sehingga tampak nyata menjadi budaya tersendiri
yang membedakan mayarakat Sikep dari lingkungan sosial yang lebih luas yaitu masyarakat budaya Sikep.
Masyarakat Jawa yang kebetulan bersaudara kandung dengan orang-orang yang menjalani keyakinan Sikep dan
rumahnya berada di pedukuhan warga Sikep mengakui adanya perbedaan ini. Oleh karena itu, bisa dimengerti jika
ahli antropologi, M. Junus Melalatoa, menggolongkan masyarakat Sikep sebagai salah satu “suku” tersendiri diantara
beraneka macam suku (etnis) lain di Indonesia dengan sebutan Wong Samin.
Adat perkawinan warga Sikep ini tidak melewati prosedur formal dihadapkan pejabat pemerintah yang
mewakili salah satu agama resmi yang diakui Negara. Oleh orang beragama disekitar yang beragama Islam santri,
seringkali perkawinan Sikep itu dianggap sebagai tidak sah dan dipoyoki (dicemooh) seperti “kumpul kebo” saja.
Kedudukan Manusia Pada Masyarakat Samin.
Berdasarkan struktur sosial-keagamaan warga Sukolilo, khususnya di desa Baturejo sangat unik dan
menarik. Islam merupakan agama terbesar di Desa Baturejo. Terdapat beragam organisasi masyarakat dan mereka
hidup saling berdampingan karena sudah mempunyai wilayah masing-masing. Dalam suasana keagamaan yang
seperti itu terdapat sekelompok komunitas Samin yang mengaku menganut agama Adam, hal tersebutlah yang
menjadi salah satu alasan pentingnya penelitian tentang masyarakat Samin. Respon organisasi masyarakat terhadap
masyarakat Samin baik-baik saja, saling menghargai satu sama lain. Karena organisasi masyarakat sudah paham
dengan karakteristik masyarakat Samin, sehingga dapat hidup dalam satu lingkup dengan solidaritas yang tinggi.
Namun akhir-akhir ini banyak masyarakat Samin yang mulai masuk Islam.
Dalam kepercayaan masyarakat Samin yang menganut agama Adam. Bahwa kata “agama” (dalam dialek
Jawa) berasal dari “gaman lanang damele rabi” yang berarti senjata laki-laki (kemaluan laki-laki) yang pekerjaannya
melakukan persetubuhan (dalam suatu ikatan perkawinan). Adapun kata “Adam” berarti “ucape/pengucap” yang
berarti ucapan. Jadi agama Adam berarti senjata laki-laki yang pekerjaannya melakukan persetubuhan (dalam suatu
ikatan perkawinan) yang didahulu oleh ucapan (dalam bentuk kata sepakat ke dua belah pihak). Dari pengertian yang
demikian ini mereka sangat mengagungkan nilai suatu perkawinan dan mereka sangat menekankan pada ucapan.
Artinya, kepribadian seseorang ditentukan oleh ucapannya. Ucapan bagi mereka merupakan wujud konkrit dari
seluruh kehendak manusia. Semuanya ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa “sekabehe pancadriya kandhege
neng pengucap” yang berarti keseluruhan panca indera terwujud dalam ucapan. Oleh karena itu apabila belum ada
suatu ucapan berarti belum ada sesuatu. Di lain pihak, karena mereka sangat mengagungkan nilai suatu perkawinan
dan mereka sangat menekankan pada ucapan, yaitu perkawinan sebagai lembaga yang suci/sakral, maka mereka
menamakan dirinya sebagai “wong sikep”. Kata “sikep” memiliki beberapa pengertian yaitu dapat berarti isteri,
memeluk, atau persetubuhan.5
Interaksi antara sesama anggota masyarakat Samin dalam suatu desa sangat erat sekali, demikian pula
terhadap warga desa yang non Samin. Hal ini disebabkan adanya prinsip yang dianut yang dianut oleh orang Samin
bahwa mereka harus hidup rukun dengan warga se desanya, yang mana prinsip ini mereka pegang teguh. Mereka
merupakan suatu kesatuan yang memiliki kesadaran sebagai warga desa yang menganut agama Adam. Dengan lain
perkataan mereka menyadari sebagai suatu golongan yang memiliki tata susunan ke dalam yaitu antar sesama
anggota masyarakat Samin, dan bertindak sebagai kesatuan terhadap orang luar desanya. Indikator lain untuk
mengetahui mereka terikat pada ikatan tempat tinggal adalah dalam memutuskan suatu masalah. Mereka tidak begitu

5
Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum, (Jakarta, CV. Rajawali, Jakarta, 1984), hlm, 60-62
terikat pada ikatan kekerabatan tetapi mereka lebih terikat pada ikatan tempat tinggal, dengan mengadakan
musyawarah di antara mereka. Demikian pula dalam pemberian nama terhadap anaknya yang baru lahir, mereka
tidak pernah mengikat sertakan nama salah satu orang tuanya.
Ditinjau dari sudut sistem kekerabatan atau keturunan masyarakat Samin tidak membeda-bedakan
kedudukan keluarga dari pihak wanita maupun pihak laki-laki. Semua pihak, yaitu pihak laki-laki maupun wanita,
diakui sebagai kerabatnya. Dengan demikian masyarakat Samin menganut prinsip bilateral atau parental.
Sebagimana telah diuraikan di atas masyarakat Samin menganut agama Adam. Menurut mereka kata
“agama” (dalam dialek Jawa) berasal dari “gaman lanang damele rabi” yang berarti senjata laki-laki (kemaluan laki-
laki) yang pekerjaannya melakukan persetubuhan (dalam suatu ikata perkawinan). Adapun kata “Adam” berarti
“ucape/pengucap” yang berarti ucapan. Jadi agama Adam berarti senjata laki-laki yang pekerjaannya melakukan
persetubuhan (dalam suatu ikatan perkawinan) yang didahulu oleh ucapan (dalam bentuk kata sepakat ke dua belah
pihak). Dari pengertian yang demikian ini mereka sangat mengagungkan nilai suatu perkawinan dan mereka sangat
menekankan pada ucapan ; kepribadian seseorang ditentukan oleh ucapannya. Ucapan bagi mereka merupakan
wujud konkrit dari seluruh kehendak manusia. Semuanya ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa “sekabehe
pancadriya kandhege neng pengucap” yang berarti keseluruhan panca indera terwujud dalam ucapan. Oleh karena itu
apabila belum ada suatu ucapan berarti belum ada sesuatu. Di lain pihak, karena mereka sangat mengagungkan nilai
suatu perkawinan dan mereka sangat menekankan pada ucapan, yaitu perkawinan sebagai lembaga yang suci/sakral,
maka mereka menamakan dirinya sebagai “wong sikep”. Kata “sikep” memiliki beberapa pengertian yaitu dapat berarti
isteri, memeluk, atau persetubuhan. Karena adanya berbagai pengertian, menurut Harry J. Benda dan Lance Castles
“wong sikep” berarti orang yang memeluk (isteri). Namun apabila ditelaah lebih mendalam, maka “wong sikep” berasal
dari “wong sikep rabi” yang berarti manusia berasal dari hasil persetubuhan dan dapat juga berarti orang yang
melakukan hidup perkawinan (“laku sikep”). Pengertian ini selalu mereka kemukakan dengan mengatakan “Kabeh
wong kuwi wong sikep, ya kuwi saka sikep rabi”, (terjemahannya: ”Semua orang itu adalah wong sikep, yaitu berasal
dari hasil-hasil persetubuhan.”). Selanjutnya, mereka menamakan laki-laki dengan sebutan “wali” atau lengkapnya
“wong sikep kukuh wali adam” yang berarti seorang laki-laki yang berasal dari persetubuhan (atau melakukan
persetubuhan) yang teguh akan kemauannya karena ucapannya. Adapun sebutan bagi wanita adalah “nabi” atau
lengkapnya “wong sikep kukuh nabi adam”. Dari dasar keyakinan yang demikian ini, maka terbentuklah sistem nilai-
nilai yang menjadi anutan mereka.
Menurut masyarakat setempat (disebut non Samin) dan pemerintah setempat (Jawatan Penerangan Propinsi
Jawa Tengah), aliran Samin terdiri dari dua bagian yaitu Samin Lugu dan Samin Sangklak. Adapun yang dimaksud
dengan Samin lugu adalah mereka yang bersikap sabar, tidak pernah gentar sedikitpun, tidak dendam dan tidak suka
membalas dendam terhadap lawan sekalipun. Segala sesuatu mereka hadapi sengan tenang, sekalipun bahaya
mengancam mereka. sedangkan yang dimaksud dengan Samin Sangklak adalah Samin pemberani, artinya apabila ia
mendapat serangan dari lawannya ia menangkis untuk melindungi diri. Mereka banyak menaruh curiga, banyak
alasan-alasan yang tidak masuk akal yang dimaksudnya hanya untuk menangkis atau untuk menghindari serangan
lawannya.
Bagi masyarakat setempat pembedaan Samin Lugu dan Samin Sangklak hanyalah didasarkan pada cara
bicaranya. Samin Lugu adalah apabila mereka bicara terhadap orang yang bukan anggota masyarakat Samin tidak
berbeda satu dengan lain, sedangkan Samin Sangklak adalah cara bicaranya “nyangkak” atau menyangkal.
Sebab-sebab timbulnya aliran Samin tersebut, apabila ditelaah lebih jauh, terletak pada cara menjalankan
ajaran agama Adam. Pada Samin Lugu, mereka menggunakan bahasa khusus hanya pada sesama mereka saja.
Menurut mereka apabila penggunaan bahasa khusus disamaratakan baik terhadap sesama anggota-anggota
masyarakat Samin maupun terhadap orang luar, maka akan menimbulkan kekecewaan bagi orang luar, hal mana
berarti telah berbuat dosa. Hanya dalam hal yang prinsip saja, mereka akan menggunakan bahasa mereka terhadap
orang luar. Adapun pada Samin Sangklak, mereka berpegang teguh pada ajaran agama Adam yang sangat
menekankan pada ucapan. Akibatnya mereka tidak memandang terhadap siapa mereka bicara, mereka tetap
menggunakan bahasa khusus mereka, yang mengakibatkan mereka mendapat sebutan Samin Sangklak. Namun kini
pembagian, tersebut dalam kenyataan sehari-hari sudah tidak ada, karena disebabkan banyak faktor.
Di dalam setiap masyarakat selalu terjadi interaksi sosial yaitu hubungan yang dinamis, yang menyangkut
hubungan antara orang-orang perseorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perseorangan dengan kelompok manusia. Dalam interaksi sosial tersebut para pihak mengadakan atau saling
bertukar pengalaman, pengetahuan dan juga kepercayaan yang dimiliknya. Dari hasil pengalaman berinteraksi
menghasilkan sistem nilai-nilai. Adapun suatu ajaran agama dapat mempengaruhi terbentuknya sistem nilai-nilai
merupakan sebagai hasil dari interaksi sosial antara seorang penyebar agama tertentu dengan orang perorangan atau
kelompok manusia yang belum atau tidak memeluk ajaran tersebut maka terbentuk kelompok manusia yang
membentuk sistem nilai-nilai berdasarkan ajaran agama yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan ajaran
agama Adam, yang mula-mula disebar luaskan oleh Surosentiko Samin, yang diterima dan dianut oleh para
pengikutnya, membentuk sistem nilai-nilai pada masyarakat Samin. Bila demikian halnya sistem nilai-nilai sebenarnya
mencakup dan merupakan:
1) Hasil abstraksi dari pengalaman manusia,
2) Yang senantiasa diisi dan bersifat dinamis,
3) Yang merupakan patokan untuk memilih tujuan hidup,
4) Dan berperan sebagai pedoman serta pendorong bagi perikelakuan manusia.

Dengan mengutip pendapat Kluckhown, Koentjaraningrat menyatakan bahwa :

“Semua sistem nilai . . . dalam setiap kebudayaan di dunia itu, sebenarnya mengenai lima masalah pokok dalam
kehidupan manusia. Ke lima masalah itu adalah :

1) Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia;


2) Masalah mengenai hakekat dari karya manusia;
3) Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu;
4) Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya;
5) Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.”

C. Perilaku Hukum Masyarakat Samin


1. Hubungan Masyarakat Samin dengan Sesamanya
Menurut keyakinan masyarakat Samin, bahwa seluruh manusia memiliki derajat yang sama. Mereka tidak
mengenal pembedaan manusia di dunia ini berdasarkan stratifikasi sosial. Sebagai dasar pandangan ini adalah bahwa
semua sama-sama berdiri di atas tanah, sama-sama dapat berbicara dan sma-sama menjadi lakon kehidupan. Karena
lakon kehidupan ditentukan oleh pribadi yang bersangkutan, dari sini muncul konsep pembedaan manusia, pembedaan
mana didasarkan pada “laku” manusia. Yang dimaksud adalah bahwa semua manusia adalah sama, yang berbeda adalah
“laku”nya atau perilakunya.
Bertitik tolak dari pandangan manusia adalah penentu lakon bagi dirinya sendiri, maka manusia sebagai individu
merupakan pribadi yang utuh, yang berarti bahwa tidak ada suatu pihak manapun yang memiliki hak untuk memaksakan
kehendaknya terhadap pihak lain. Oleh karena itu, kemerdekaan dalam menentukan sikap adalah hak yang paling tinggi
yang tidak boleh ditiadakan oleh siapapun dalam bentuk apapun. Pandangan yang demikian ini dalam kehidupan sehari-
hari sangat tampak sekali, di mana masyarakat Samin sangat individualistis. Dan individualisme ini mereka rumuskan dalam
kata-kata “wong sikep mung weruh theke dhewe” (terjemahannya: “wong sikep hanya tahu miliknya sendiri”) atau melalui
suatu ungkapan “tanggung dulur ora tanggung karepe” (terjemahannya; “tanggung saudara tidak menanggung
kemauannya.”).
Seluruh manusia tanpa memandang suku atau agama menurut orang Samin adalah “sedulur” atau saudara.
Semua manusia dianggap sebagai saudara karena setiap manusia lahir dari orang tua yang terdiri laki-laki dan wanita.
Mereka selalu akan berkata : “mbokm padha karo mbokku ya kuwi padha-padha wedoke, semono uga bapakm padha karo
bapakku ya kuwi padha lanange. Amargo mbokm padha karo mbokku dadi mbokm sedulur wedok mbokku, semono uga
bapakm sedulur lanang bapakku. Dadi ndika ya sedulurku.” (terjemahannya :”Ibumu sama dengan ibuku yaitu sama-sama
wanita, begitu juga ayahmu sama dengan ayahku yaitu sama-sama lelaki. Karena ibumu sama wanitanya dengan ibuku,
jadi ibumu saudara wanita ibuku, begitu juga ayahmu saudara lelaki ayahku. Jadi kamu ya saudaraku.”. apabila ditelaah
lebih jauh, sebenarnya alasan yang mereka berikan hanyalah usaha untuk meniadakan perbedaan antara sesama manusia.
Karena semua orang adalah saudara maka setiap orang hendaknya rukun dan saling tolong menolong. Dalam
hubungan sosial mereka berpegang pada patokan orang tidak diperkenankan “dahpen-kemeren, drengki-srehi, bedok-
colong, nemok-jupuk, kampak-begal.” Menurut mereka tolong menolong dengan sesamanya harus didasarkan pada
kerelaan. Maksudnya adalah bahwa tolong-menolong tidak boleh mengurangi kemerdekaan dari orang yang bersangkutan.
Satu hal yang mereka pegang dalam hubungan sosial adalah bahwa mereka tidak melawan kekerasan dengan kekerasan.
Bahasa yang mereka pergunakan sehari-hari adalah bahasa Jawa. Dalam berbicara dengan orang lain yang
bukan segolongan, mereka akan melihat dulu bahasa yang digunakan lawan bicaranya. Apabila lawan bicaranya
mempergunakan bahasa Jawa “ngoko” (kasar) maka merekapun menggunakan bahasa Jawa ngoko, demikian pula halnya
bila lawan bicaranya mempergunakan bahasa Jawa krama (halus). Pada diri mereka terdapat suatu kecenderungan yang
kuat untuk menghindari penggunaan bahasa di luar bahasa Jawa. Mereka beranggapan bahwa “wong Jawa saka jawab”
(terjemahannya : “orang jawa berasal dari ucapannya”). Maksud ungkapan ini bukan berarti mereka sebagai anggota suku
Jawa yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari suku-suku lain, tetapi sebagi suatu usaha untuk mempertahankan ajaran
agama yang mereka anut yang sangat menekankan pada ucapan. Justru melalui ungkapan tersebut mereka menjadi
berhati-hati dalam bicara, karena menurut mereka akan menentukan apakah ia seorang Jawa yang baik ataukah tidak.
Dalam ajaran Samin, proses perkawinan seorang pengantin laki laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang
berbunyi kurang lebih demikian:

“Janji sepisan kanggo selawase, Sejak Nabi Adam, pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini
seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani
berdua.”
Ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi
warga Samin. Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua
pengantin. Ajaran perihal perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):
“Saha malih dadya garan, (maka yang dijadikan pedoman), anggegulang gelunganing pembudi, (untuk
melatih budi yang ditata), palakrama nguwoh mangun, (pernikahan yang berhasilkan bentuk),
memangun traping widya, (membangun penerapan ilmu), kasampar kasandhung dugi prayogântuk,
(terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai), ambudya atmaja 'tama, (bercita-cita menjadi
anak yang mulia), mugi-mugi dadi kanthi.” (mudah-mudahan menjadi tuntunan)."

Prinsip pernikahan Samin anak (calon mempelai) laki-laki/perempuan mempunyai orang tua. Orang tua dari calon
mempelai perempuan, Ibu berkewajiban merukunkan anak dan Bapak menyetujui perkawinan. Jika tidak ada Bapak, bisa
diwakili oleh kakak dari Bapak (Pak De) atau adik dari Bapak (Pak Lek).6
Moch Rosyid mengatakan bahwa ada lima tahapan perkawinan masyarakat Samin,
1) Nyumu’ yaitu kedatangan keluarga (calon) penganten putra ke keluarga (calon) penganten putri untuk
menanyakan keberadaan calon menantu, apakah sudah mempunyai calon suami atau masih gadis
(legan).
2) Ngendek yaitu pernyataan calon besan dari keluarga penganten putri untuk menindaklanjuti prosesi
nyumu’. Pelaksanaan ngendek diawali dengan pernyataan calon penganten putra kepada bapak-
ibunya (di rumahnya sendiri) bahwa dirinya berkeinginan mempersunting seorang putri. Dalam prosesi
ngendek calon penganten putra tidak ikut (menghadiri) di rumah calon penganten putri.
3) Nyuwito-ngawulo yaitu hari dilangsungkannya perkawinan niat penganten putra untuk meneruskan
keturunan (wiji sejati, titine anak adam). Dalam proses ini penganten putra hidup bersama keluarga
pengantin putri dalam satu rumah (ngawulo) atau pengantin putri hidup bersama keluarga pengantin
putra, berdasarkan kesepatakan keluarga kedua belah pihak. Dalam proses nyuwito pada dasarnya
untuk mencari kecocokan calon pengantin dengan hidup bersama di tempat calon mertuanya. Waktu
yang dibutuhkan dalam proses nyuwito tidak ditentukan.
4) Paseksen merupakan forum ungkapan penganten putra di hadapan orang tua (mertua) yang dihadiri
penganten putri, keluarga, dan tamu undangan baik dari warga Samin maupun non Samin. Acara
tersebut setelah kedua calon penganten melangsungkan hubungan suami-istri (kumpul) dalam proses
nyuwito tersebut. Proses paseksen ini merupakan proses ”resepsi” pernikahan atau ”walimatul ’ursy”
dalam masyarakat non Samin (atau umat Islam).
5) Tingkep setelah pengantin hamil dalam usia kandungan tujuh bulan, diadakan prosesi selamatan bayi
dalam kandungan yang disebut brokohan (selamatan).
Pelaksanaan perkawinan juga ada ijab qobul berupa ungkapan, Tanggung jawab demen janji, janji sepisan
kanggo selawase. Maksudnya ungkapan mempelai laki-laki terhadap mempelai perempuan di hadapan bapak ibunya.
Prosesi ini dilakukan tanpa menghadirkan petugas KUA atau Catatan Sipil. 7
Dalam proses perkawinan Samin, usia mempelai tidak memiliki batas minimal. Hal ini didasarkan pada
argumentasi; a) manusia lahir dalam kondisi tidak memiliki usia, b) standar dilangsungkannya prosesi perkawinan adalah
ketika mereka senang dan siap untuk nikah (usia adam brahi), dan c) dalam pembicaraan tentang angka, tanggal, dan
tahun mengingat warga Samin mentradisikan budaya lisan, maka bagi generasi tua tidak bisa memberikan jawaban secara
jelas.
Prinsip perkawinan masyarakat Samin bahwa yang mengawinkan anak adalah orang tua (Ibu, merukunkan,
Bapak, mengawinkan). Perkawinan dianggap sah bila telah dilaksanakan oleh orang tua, bukan dengan pencatatan
administrasi oleh pemerintah (KUA atau Catatan Sipil). Ketika terjadi perceraian, suami menyerahkan istri kepada
mertuanya karena ketika perkawinan mendapatkan persetujuan mertua, sehingga jika terjadi perceraian di serahkan kepada
mertua. Pembagian harta dari hasil perkawinan (gono-gini) maupun harta bawaan diputuskan bersama antara suami dan
istri. Perkawinan pengikut Samin dimaksudkan sebagai salah satu langkah strategi agar kedua generasi baru tersebut siap
dan mampu melanjutkan ajaran nenek moyangnya. Perkawinan antara komunitas Samin dilakukan untuk menepis
pengaruh baru dengan cara menjauhkan proses asimilasi dan akulturasi. Meskipun ada warga Samin yang menikah, seperti
terlihat bahwa masyarakat Samin yang tinggal di wilayah Kudus selain Blora dengan warga Kudus non Samin yang
beragama Islam atau Buddha. Pada perkawinan Samin ini juga terdapat larangan kawin. Larangan kawin ini diperuntukkan
bagi saudara kandung, perkawinan sejenis, dan beristri lebh dari satu. Poligami dianggap penyebab terjadinya konflik dalam
kelarga, sehingga diantisipasi dan dipantang adanya praktek poligami.

6
Moh. Rosyid., Samin Kudus: Bersahaja di tengah Asketisme Lokal, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 76-79
7
Moh. Rosyid., Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 182
2. Hubungan Masyarakat Samin dengan Negara
Gerakan Samin tersebut secara historis muncul pada tahun 1890, ketika seorang petani Jawa, Samin Surosentiko
mulai menentang kolonial di Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang, suatu wilayah di Jawa Tengah bagian utara. Pada
tahun 1905 gerakan Samin mulai menarik perhatian dari pihak kolonial Belanda. Pada waktu itu gerakan Samin ini
menentang Politik Etis yang diterapkan di Jawa termasuk Blora. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih
cenderung mempergunakan metode protes pasif, artinya gerakan yang tidak merupakan pemberontakan yang radikal.
Gerakan Samin Surosentiko adalah gerakan protes petani yang anggota-anggotanya terdiri dari petani kaya dan petani
miskin.
D. Tingkah Laku Jahat dalam Keyakinan Masyarakat Samin
Masyarakat Samin berwujud kesederhanaan hidup, pakaian apa adanya dengan celana tanggung, bertutur
bahasa dengan yang tidak banyak bercampur bahasa lain. Masyarakat Samin adalah komunitas yang konsisten
dalam berperilaku antara lain menjunjung tinggi nilai kejujuran, tidak iri, dengki, tidak berprasangka jelek pada orang
lain, bersikap dan bertindak apa adanya (tidak mengada-ada). Bagi mereka yang penting tidak mengganggu orang
lain dan sebaliknya mereka tidak mau orang lain mengganggu mereka. Menurut ajaran Saminisme, orang itu harus
rajin bekerja jangan mencuri milik orang lain dan apabila ada seseorang minta sesuatu barang milik orang lain, maka
orang itu wajib memberikan.
Masyarakat Samin memiliki pemikiran yang cenderung lugu, kritis dan menggunakan logika. Mereka jujur
dan tidak suka berbohong, oleh karena itu mereka tidak suka berdagang karena menganggap berdagang itu penuh
dengan kebohongan. Mereka lebih menyukai bekerja di sawah yang mereka miliki dan memanfaatkan hasil alam yang
ada. Mereka memiliki kekerabatan yang sangat erat dan saling berkunjung ke rumah kerabatnya sesama Samin untuk
menjaga hubungan kekerabatan yang baik antar sesama masyarakat Samin.

E. Analisa Temuan: Pandangan Masyarakat Samin Terhadap Kejahatan


Sebagaimna telah disinggung sebelumnya, bahwa gambaran orientasi masyarakat terhadap kehidupan
hukum disebut sebagai budaya hukum (legal culture). Seperti budaya hukum masyarakat Samin, yaitu budaya hukum
mereka bukan budaya pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat Samin sebagai satu kesatuan sikap
atau tingkah laku. Artinya, budaya hukum masyarakat sebenarnya terdapat dalam semua masyarakat, baik pada
masyarakat modern (kota) maupun pada masyarakat sederhana (desa) seperti masyarakat Samin.
Kemudian, perbedaan perubahan sistem hukum (budaya hukum) pada masyarakat modern (kota), dapat
dilatar belakangi oleh perubahan sistem kekuasaan. Tapi tidak demikian pada masyarakat sederhana seperti Samin.
Sistem hukum (budaya hukum) masyarakat sederhana (Samin), akan mengalami statis (tetap), pola budaya
hukumnya bersifat parokial subjek, sistem hukumnya sedikit sekali mengalami perubahan. Memang, pola hukum
idealnya sempit dan terbatas yang tercermin dalam pandangan hidup, cita hidup, cita hukum, norma hukum dan
perilaku.
Budaya hukum pada masyarakat Samin, dapat dikategorikan sebagai budaya hukum yang parokial (picik).
Yaitu yang cara berpikir para anggota masyarakatnya masih terbatas, maka tangapannya terhadap hukum hanya
terbatas dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat Samin masih kuat bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-
kaidah hukum yang telah digariskan dari zaman leluhur meupakan azimat yang pantang diubah, barangsiapa yang
berperilaku menyimpang dari norma-norma leluhur itu akan mendapat kutukan yang gaib. Dalam masyarakat
demikian ini belum bayak diadakan pembagian kerja, sehingga pemimpinnya bertindak serbaguna, ia sebagai kepala
suku dan sekaligus sebagai kepala adat ataupun juga sebagai kepala agama. Ia bertindak sebagai kepala polisi dan
jaksa penuntut serta sebagai hakim dan memutuskan perselisihan warga adatnya.
Jika mengacu kepada persoalan hukum, seperti sengketa hukum (dispute) kasus-kasus kejahatan, maka
perkara hukum itu tadi terlihat lebih banyak ditemukan pada masyarakat perkotaan seperti perkara sengketa tanah,
sengketa malpraktek (kesalahan tindakan kesehatan oleh dokter), sengketa hutang piutang, sengketa melibatkan
keluarga, dan sengketa terkait bisnis atau perdagangan. Sedangkan bagi masyarakat suku Samin (wong sikep), lebih
cenderung memiliki budaya hukum pedesaan sesuai dengan adat istiadatnya, dan lebih menghandalkan sumber
pertanian dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka, ternyata perkara sengketa sangat sedikit
dan jarang terjadi, bahkan dalam setahun pun hampir tidak ditemukan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh AIPDA
Susilo, SH. Petugas Babinkamtibmas, Klopoduwur. Dia mengatakan,

Selama saya bertugas sebagai Babhinkamtibmas di wilayah Klopoduwur ini, saya sangat jarang
melihata atau menangani kasus-kasus hukum diwilayah ini, bahkan dalan setahunpun selam saya
bertugas, belum saya temukan kasus kejahatan di wilayah yang didiami masyarakat Samin.

Begitu jarangnya kejadian kasus kejahatan di daerah Klopoduwur, oleh petugas Babinsa dari desa
Klopoduwur, kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora pun mengatakan hal yang sama. Yaitu, sebagai petugas
Babinsa belum pernah menangani kejadian atau kasus pelanggaran hukum atau yang mengarah kepada
persoalan keamanan.
Kalaupun perkara sengketa atau pelanggaran hukum muncul seperti sengketa tanah, pencurian,
hubungan remaja di luar nikah, kasus poligami, maka mereka akan menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.
Tapi jika itu melanggar hukum negara (pidana), maka akan diserahkan ke aparat hukum untuk turut
menyelesaikannya.8
Sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Jasmin salah satu Perangkat Adat Samin.
Di daerah sini, jarang terjadi kejahatan, karena masyarakat masih memagang hukum adat istiadat, jadi
kalua ada barang yang jatuh, jangankan untuk diambil menjadi milik sendiri, diperhatikan pun apalagi di
pegang, itu nama melanggar adat.

Kalaupun perkara sengketa muncul (seperti sengketa tanah, pencurian, hubungan remaja di luar nikah,
kasus poligami), maka mereka akan menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan. Tapi jika itu melanggar hukum
negara (pidana), maka akan diserahkan ke aparat hukum untuk turut menyelesaikannya. 9
Dengan adanya hukum dari adat dan ajaran moral dari keyakinan mereka, menjadikan perilaku dan
budaya hukum dalam hidup mengacu kepada pesan-pesan moral yang diturunkan oleh mbah Ngkrek. Seperti
ajaran Samin yang mengatakan bahwa prinsip hidup, yaitu “prinsip meniko antawise pantangan (larangan)
drengki, srei, panasten, dawen, kemeren, lan nyiyo marang sepodo. Masyarakat Samin mempunyai falsafah bejok
reyot iku dulure, waton meningso tur gelem di daku sedulur. Ada lima hal lain lagi yang tidak boleh dilakukan.
Yaitu bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang yang masih menyatu dengan alam atau
masih melekat dalam sumber kehidupannya), jumput (mengambil barang yang jadi komoditas di pasar), nemu
wae ora kena (menemukan barang milik orang lain, tidak boleh diambil dan harus dikembalikan kepada si
empunya).
Dengan adanya pemegangan teguh atas ajaran Samin tadi, adalah suatu kemungkinan, bahwa
kejahatan di daerah kediaman mayarakat Samin, khususnya di daerah Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo
sesuatu yang dianggap tabu, seperti mencuri. Selain itu, pengaruh dari tetua adat pun sangat berperan dalam
mengontrol tingkahlaku masyarakat untuk selalu setia dan memegang teguh ajaran Samin. Seperti pengaruh
mbah Suyoto, Mbah Sutoyo, dan mbah Lasio. Mereka bertiga adalah keturunan ketiga atau buyut mbah Ngkrek.
Saat ini, mereka bertiga menjadi penasehat Kepala Desa Klopoduwur dalam mengeluarkan kebijakan yang
menyangkut kemaslahatan desa Klopoduwur. Dan jika ada sengketa (dispute) di masyarakat suku Samin, para
sesepuh tadi selalu diikutsertakan.

F. Kesimpulan
Dari urain di atas, maka kesimpulan dan saran-saran peneliti dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat Samin (wong sikep) yang memiliki budaya hukum parokial, menjalani kehidupannya sangat
sederhana dan tradisional dan lebih cenderung menggunakan sistem hukum dan adat leluhur dan
mengutamakan kekuatan dan kewibawaan pada kepala suku dan pihak-pihak yang mengitarinya dalam
menyelesaikan setiap sengketa (dispute) atau kasus-kasus kejahatan. Masyarakat Samin yang di cap (labeli)
semakai masyarakat lugu atau bodoh menurut pandangan masyarakat yang bukan Samin, ternyata memiliki
aturan hukum yang arif. Praktek hukum bagi masyarakat Samin diturunkan secara turun temurun dari
pendahulu mereka, dalam hal ini adalah sosok Samin Surosentiko (mbah Ngkrek) sebagai pelopor “nabi”
yang membawa ajaran moral bagi mereka. Dalam keyakinan keagamaan, masyarakat Samin menganut
keyakinan agama Adam (ucape) yang mengandung nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan,
keadilan, dan kerja keras.
2. Prinsip hidup yang diajarkan oleh pendahulu mereka, yaitu “prinsip meniko antawise pantangan (larangan)
drengki, srei, panasten, dawen, kemeren, lan nyiyo marang sepodo. Masyarakat Samin mempunyai falsafah
bejok reyot iku dulure, waton meningso tur gelem di daku sedulur. Ada lima hal lain lagi yang tidak boleh
dilakukan. Yaitu bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang yang masih menyatu dengan
alam atau masih melekat dalam sumber kehidupannya), jumput (mengambil barang yang jadi komoditas di
pasar), nemu wae ora kena (menemukan barang milik orang lain, tidak boleh diambil dan harus dikembalikan
kepada si empunya). dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam prinsip adalah kudu weru the-e dhewe
(tahu barang miliknya dan yang bukan miliknya, Lugu (komitmen tegas kalau berjanji, kalau bisa katakan bisa
kalau tidak katakan tidak), Mligi (taat pada aturan yang berupa prinsip beretika dan prinsip berinteraksi) dan
Rukun dengan isteri, anak, orangtua, tetangga dan siapa saja. Dengan adanya ajaran Samin seperti itu,
menciptakan budaya hukum Samin yang khas masyarakatnya. Dan perbuatan kejahatan dan sikap berkonflik
menjadi tabu dan larangan bagi penganut Samin.

8
Wawancara Penulis dengan Pak Jasmin salah satu Perangkat Adat Samin (wawancara dilakukan 25
Desember 2015)
9
Wawancara Penulis dengan Pak Jasmin salah satu Perangkat Adat Samin (wawancara dilakukan 25
Desember 2015)
G. Saran
Dari hasil penelitian ini diharapkan ada manfaatnya bagi masyarakat, utamanya kalangan akademisi, mahasiswa,
dosen, aparat hukum, para pengambil kebijakan, dan lembaga-lembaga yang memiliki kepedulian terhadap
model-model penanggulangan kejahatan di masyarakat sebagai berikut:
1. Budaya hukum masyarakat dalam menanggulangi dan menyelesaikan tingkah laku kejahatan dan bentuk-
bentuk konflik atau sengketa lainnya, khususnya masyarakat Samin di Klopoduwur kabupaten Blora menjadi
alternatif dalam usaha menegagkan sistem hukum di tengah-tengah masayarakat pluralis ini. Artinya, dalam
menanggulangi kejahatan, pemegangan kuat terhadap norma adat istiadat yang diwariskan leluhur secara
turun menurun dapat menjadi pencegah atau setidaknya dapat memberikan alat pengurung atau banteng
(containment) bagi seseorang untuk tidak melakukan kejahatan. Bagi penganut ajaran Samin (wong sikep),
perkara sengketa tanah, tingkah laku pencurian, hubungan remaja di luar nikah, kasus poligami, diselesaikan
dengan cara kekeluargaan mengacu kepada norma-norma Samin namun, jika terkait melanggar hukum
negara (pidana), diselesaikan sesuaikan hokum yang berlaku.
2. Hampir tidak dapat dipungkiri bahwa tingkah laku jahat di masyarakat selalu muncul oleh berbagai faktor.
Tapi tidak demikian dengan masyarakat Samin. Meskipun dianggap lugu atau bodoh, namun mereka
memiliki nrmoa hukum yang ditaati. Dan cara penyelesaiannya pun mengacu kepada norma yang dipakai
dari adat istiadat mereka. Dengan demikian, masyarakat Indonesia yang pluralis ini, dan para pihak
pengambil kebijakan lebih mendorong penguatan konsep hukum yang mengacu kepada budaya hukum lokal
yang ada pada masayarakat setempat dalam menyelesaikan perkara hokum mereka. Bahwa hokum nasional
yang diatur dalam undang-undang tidak menjadi satu-satunya aturan hukum yan harus dipaksakan kepada
semua masyarakat. Dalam arti lain, hokum yang tertulis ini, dapat dibelakngkan dan mendahulukan bentuk
budaya hukum masayarakat menyangkut perkara hukum. Bagi akademisi dan sarjana hokum, terus
berupaya menggali potensi budaya hokum masyarakat agar tercipta keadilang yang sesungguhnya bagi
masyarakat yang beragam ini.

D. STATUS LUARAN: Tuliskan jenis, identitas dan status ketercapaian setiap luaran wajib dan luaran tambahan (jika
ada) yang dijanjikan pada tahun pelaksanaan penelitian. Jenis luaran dapat berupa publikasi, perolehan kekayaan
intelektual, hasil pengujian atau luaran lainnya yang telah dijanjikan pada proposal. Uraian status luaran harus
didukung dengan bukti kemajuan ketercapaian luaran sesuai dengan luaran yang dijanjikan. Lengkapi isian jenis
luaran yang dijanjikan serta mengunggah bukti dokumen ketercapaian luaran wajib dan luaran tambahan melalui
Simlitabmas mengikuti format sebagaimana terlihat pada bagian isian luaran

Luaran yang direncanakan adalah publikasi jurnal nasional. Jurnal nasional telah disusun dan masih dalam proses review
dari pihak reviewer jurnal.

E. PERAN MITRA: Tuliskan realisasi kerjasama dan kontribusi Mitra baik in-kind maupun in-cash (jika ada). Bukti
pendukung realisasi kerjasama dan realisasi kontribusi mitra dilaporkan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Bukti dokumen realisasi kerjasama dengan Mitra diunggah melalui Simlitabmas mengikuti format sebagaimana
terlihat pada bagian isian mitra

F. KENDALA PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan kesulitan atau hambatan yang dihadapi selama melakukan
penelitian dan mencapai luaran yang dijanjikan, termasuk penjelasan jika pelaksanaan penelitian dan luaran
penelitian tidak sesuai dengan yang direncanakan atau dijanjikan.

Kendala yang dialami dalam menyelesaikan penelitian ini adalah jarak dari lokasi peneliti dengan pihak responden
penelitian. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan data real mengenai hasil penelitian. Oleh karena itu pada penelitian
selanjutnya akan dilakukan teleconference sehingga data observasi lebih konkret untuk dapat meningkatkan kualitas hasil
penelitian.
G. RENCANA TINDAK LANJUT PENELITIAN: Tuliskan dan uraikan rencana tindaklanjut penelitian selanjutnya dengan
melihat hasil penelitian yang telah diperoleh. Jika ada target yang belum diselesaikan pada akhir tahun pelaksanaan
penelitian, pada bagian ini dapat dituliskan rencana penyelesaian target yang belum tercapai tersebut.

Berdasarkan kendala yang dialami dari penelitian ini, yaitu jarak dari lokasi peneliti dengan lokasi penelitian yang cukup
jauh. Sehingga waktu untuk observasi menjadi terbatas dan mempengaruhi kualitas hasil penelitian. Oleh karena itu, agar
data lebih konkret dan mengetahui variabel lain yang mungkin memiliki peran dalam penelitian ini, sebaiknya dilakukan
penelitian lebih lanjut. Penelitian selanjutnya dilakukan dengan observasi lebih intens melalui teleconference dengan pihak
responden ataupun melalui pihak ketiga yang memiliki intensitas lebih untuk bertemu dengan responden.

H. DAFTAR PUSTAKA: Penyusunan Daftar Pustaka berdasarkan sistem nomor sesuai dengan urutan pengutipan.
Hanya pustaka yang disitasi pada laporan akhir yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

1. Atho Mudzhar, 2013, Merayakan Kebhinnekaan Membangun Kerukunan, Jakarta, Badan Litbang dan Diklat Kemenag
RI
2. Bacharuddin Jusuf Habibie, Membangun Benua Maritim Indonesia . Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis ke 52,
Institut Teknologi Sepuluh Novpmber (ITS), Grha Sepuluh Nopember Surabaya, 10 Nopember 2012.
3. Barda Nawawi Arief, 2000, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang,
BP UNDIP.
4. Edhard Blankanburg, (1994), The infrstructure of Legal Behavior in the Netherlands and West Germany, dalam Law and
Society Review, No. 28, 1994.
5. Hilman Hadikusuma, 2010, Antropologi Hukum Indonesia, Bandung, Alumni Kartono, Kartini, (2003). Patologi Sosial,
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
6. Koentjaraningrat,(2005), Pengantar Antropologi, Jakarta, Rineke Cipta Koenjtaraningrat,(2009), Pengantar Ilmu
Antropologi, Jakarta, Rineka Cipta
7. Kroeber dan Kluckhohn, 1955, Culture: A Critical of Concepts and Definitions, New York, Alfred A. Knopt,.
8. Mustofa, Muhammad, (2007). Kriminologi, Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan
Pelanggaran Hukum. Depok: Fisip UI Press.
9. Nader, L dan H.F. Todd Jr (ed) 1978. Dispute Processes-Law in Ten Societies. Colombia University Press.
10. Roscoe Pound, 1986, Interpretation of Legal History, Florida-USA: Holmes Beach.
11. Ronny Rahaman Nibaskara, 2009, Perangkap Penyimpangan dan Kejahatan, YPKIK, Jakarta
12. Soerjono Soekanto, 1984, Antropologi Hukum, Jakarta, CV. Rajawali.
13. T.O. Ihromi, 1993, Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa Yang Digunakan dalam Antropologi Hukum,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai