Anda di halaman 1dari 3

Review film Lari dari Blora Cerminan Kearifan Lokal Bangsa Indonesia Oleh Alfiyan N.P.

Pikoli (20090510168) dan Eka Riyan Paramita (20090510146) Film ini mengisahkan kehidupan masyarakat Samin dan berbagai aktivitas yang terjadi di dalamnya baik itu kebudayaan dan interaksi antara pemerintah setempat, LSM, dan rakyat Samin itu sendiri. Kebudayaan masyarakat Samin merupakan turunan dari ajaran saminisme yakni sebuah ajaran yang dicetuskan oleh Samin Surosantiko sebagai perlawanan terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnyadengan tidak membayar pajak. Ajaran ini sangat mengakar kuat di dalam kebudayaan masyarakat Samin. Film ini menyoroti kebudayaan itu dalam perspektif kekinian. Keharmonisasian yang tercipta dalam kehidupan masyarakat Samin patut menjadi panutan, karena karakter kehidupan masyarakat senantiasa menjunjung tinggi kearifan lokal tanpa ada perselisihan dan intervensi hukum eksternal ditiadakan. Betapa mereka hidup dalam ruang gobal, namun tetap memegang sendi-sendi kedaeahan lokal yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan. Ada bagian yang juga patut menjadi renungan. Ketika desa itu dimasuki LSM (orang asing yang bernama Cynthia), ternyata keharmonisan desa tersebut mulai terusik, kecurigaan akan ganggung paham yang dianut ternyata membuat masyarakat resah. Belum lagi ada seorang guru yang bernama Ramadian yang mencoba menuangkan ide dan meneriakkan tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak usia sekolah. Ramadian berusaha sekeras mungkin dalam bernegoisasi dengan pejabat daerah (birokrasi) demi mendapatkan izin mengajar anak-anak desa. Inilah salah satu contoh nyata, betapa pendidikan modern masih terhalang oleh belenggu adat. Di sini Ramadian ingin mendobraknya. Ia beralasan, pendidikan membuat masa depan anak-anak desa akan menjadi lebih baik. Masuknya pendidikan di desa tersebut terus dihalang-halangi oleh Birokrat kampung. Mereka ingin terus mempertahankan budaya dan tradisi yang telah ada,

modernisasi hanya akan merusak moral dan sikap mereka, cita rasa dan ajaran saminisme akan luntur. Birokrat berusaha untuk terus mempertahankan kebudayaan yang telah ada sebagai representasi Cagar Budaya di daerah tersebut yang diharapkan bisa menambah devisa bagi daerah. Pendidikan dan masuknya intervensi eksogenous people sebagai tawaran baru atas proses pembangunan secara bertahap hanya akan memarginalkan kebudayaan Samin. Inti cerita dalam film ini memang berpusara pada 2 (dua) orang buronan, sesuai judulnya, Lari dari Blora. Dua orang buronan tersebut dalam pengejaran polisi dan melakukan persembunyian di desa tersebut. Si Mbah (W.S Rendra), yang mengetahui keberadaan kedua buronan, tidak melapor ke polisi, tetapi ia menasehati mereka untuk menjadi orang baik. Dalam perjalanannya polisi justru curiga Si Mbah dan warga Samin melindungi pelarian 2 buronan tersebut. Dalam bagian ini peran militer (kepolisian) berusaha menerjemahkan konsep pembangunan dalam hal yang berbeda. Pembangunan haruslah sesuai dengan tatanan pemerintahan yang sudah diatur oleh pemerintahan pusat. Masyarakat Samin sudah saatnya mentaati peraturan-peraturan pemerintah. Ketakutan dari militer sendiri akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan pada masyarakat Samin. Militer memposisikan masyarakat Samin sebagai masyarakat pembangkang yang tidak mau mentaati peraturan-peraturan. Bahkan militer mengannggap keberadaan masyarakat Samin sangat berbahaya dan mengganggu stabilitas keamanan. Selanjutnya tersebar isu bahwa Desa Samin menjadi sarang penjahat dan berpotensi dijadikan sarang teroris, gerakan aktivitas LSM asing dan dalam negeri yang menebarkan provokasi, serta ajaran Simbah dicurigai sebagai aliran sesat. Clash of values terjadi dalam film ini, NGO, Masyarakat Samin, Birokrat dan Militer yang saling berebut kepentingan berusaha menerjemahkan sendiri makna dari sebuah pembangunan, kebahagiaan hidup dan harmoni kehidupan. Proses modernisasi yang ditawarkan oleh eksogenous people dianggap kontradiktif dengan apa yang telah diwariskan kepada masyarakat Samin (indigenous people) tentang pemahaman ajaran Saminisme. Film ini mencerminkan bahwa kearifan local yang diciptakan oleh Negara batin yang berpaham Saminiah, yang di dalamnya kehidupan saling berharmoni, hitam-putih, baik-buruk, interaksi manusia-alam, benar salah menjadi sebuah perpaduan. Kedatangan orang-orang tak bertanggung jawab, manusia di desa itu makin lama, makin terancam kenyamanannya. Eksogenous factor tidak menjadi tawaran yang menarik dalam hal membentuk keharmonisasian masyarakat. Ada

hal penting yang justru lebih dianggap penting dibandingkan kehidupan modern yang serba ada, yakni kehidupan yang berdampingan, harmonis, nyaman, dan damai. Sementara suatu ironi terjadi di sisi lain: negara dengan ahli-ahli hukumnya dengan bahasa langit yang saling bergulatdengan teori-teori hukum dan keadilan ternyata gagal dalam menciptakan harmoni yang merupakan esensi dari hukum itu sendiri. Selain itu, kita juga bisa mengaca disebabkan film ini, betapa hukum dunia yang digagas hanya berupa konsep yang bual, ketika mereka digagas untuk kepentingan segelintir golongan. Berbeda dengan Saminiah, paham yang digagas atas dorongan solidaritas bersama untuk membuat hidup lebih tentram dan damai, tanpa pemerintahan yang zalim.

Anda mungkin juga menyukai