Anda di halaman 1dari 3

ANALISIS FILM “TANAH SURGA KATANYA”

Sebuah film karya Deddy Mizwar mengenai nasionalisme di perbatasan pulau Kalimantan. Film yang
seakan “menampar” bangsa ini untuk sadar akan cinta tanah air. Film yang seharusnya mampu
mengoyak para kelas berkuasa – jika mereka masih memiliki hati nurani –. Film yang sederhana
tetapi begitu dalam pesan moralnya. Film yang memaksa kita untuk merenung sejenak dan
merasakan seluruh bulu kuduk kita berdiri akan realita yang terjadi di negeri yang kaya raya
(katanya) ini.

Bermula dari sebuah keluarga yang hidup sederhana, film ini mulai membawa penonton larut dalam
alurnya. Seorang kakek yang berbagi pengalaman kepada cucunya ketika perang melawan malaysia
pada akhir era orde lama. Hidup sederhana tetapi memiliki rasa nasionalisme yang tidak sederhana.
Konflik pun selanjutnya muncul ketika seorang anak dari kakek dan ayah dari dua bocah yang masih
polos mengajak keluarganya pindah ke negeri yang lebih makmur, yaitu Malaysia. Penolakan sang
kakek menjadi awal konflik dalam film ini. Ditambah lagi si anak laki-laki memilih tetap tinggal
bersama kakenya ketimbang ikut untuk merasakan hidup sejahtera di negeri seberang.

Pada latar yang berbeda, film ini juga menyadarkan rakyat Indonesia tentang bagaimana pendidikan
dan kesehatan di daerah pelosok yang jauh dari pembangunan dan tidak mengenal rupiah sebagai
alat tukar. Sekolah yang jauh kata layak. Satu ruang diberi sekat untuk dijadikan dua kelas. Sekolah
yang hanya memiliki seorang guru yang “terjebak” untuk mengajar di daerah tersebut. Sekolah yang
murid-muridnya hanya hafal lagu “kolam susu”. Walaupun terjebak, sang guru telah jatuh hati untuk
tetap mendidik generasi penerus bangsa di perbatasan tersebut. Realitas kesehatan di perbatasan
pun ditampilkan dengan apik. Bagaimana akses sangat terbatas ditampilkan dalam film ini. Eksklusi
sosial di bidang kesehatan sangat terasa dengan tidak adanya fasilitas kesehatan yang memadai.
Dengan konteks yang ditampilkan adalah seorang kakek yang bermasalah dengan jantungnya dan
harus dibawa ke rumah sakit. Dengan keterbatasan transportasi dan jauhnya rumah sakit, kakek
tersebut akhirnya harus menghembuskan nafas terakhir di atas sampan dalam perjalanan menuju
rumah sakit.

Koruptor pun mungkin akan malu menonton film ini. Apalagi ketika sekolah yang reot di perbatasan
tersebut kedapatan pejabat yang meninjau untuk memberikan bantuan. Pada awalnya semua
berjalan lancar. Si pejabat mau memberikan bantuan untuk sekolah tersebut. Semuanya menjadi
terbalik ketika seorang siswa membacakan seutas puisi dengan bait dari lagu “kolam susu” yang
ditambahkan beberapa kata yang begitu membuat sang pejabat terhina dan tersinggung. Dalam
sekejap saja bantuan yang telah dijanjikan langsung dibatalkan begitu saja. Begitu ironis ketika sebait
puisi mampu memutarbalikkan rencana yang akan dilaksanakan.

Klimaks dari film ini adalah mengenai nasionalisme. Begitu banyak bagian dari cerita film ini yang
menampakkan nasionalisme di garis terluar perbatasan negeri ini. Pertama, dari konflik dari sang
kakek dengan anaknya tentang kehidupan yang sejahtera di negeri seberang dibandingkan dengan
negeri sendiri. Quote-quote yang keluar pun sungguh mengenyak hati. Kedua, nasionalisme yang
ditunjukkan dari alat tukar yang digunakan di daerah perbatasan. Ringgit lebih berharga daripada
rupiah. Ketiga, tidak ada satupun warga bahkan kepala dusun sekalipun yang memiliki bendera
merah putih. Hanya seorang kakek yang memilikinya dan dirawat dengan baik sejak bendera
tersebut tidak lagi dikibarkan setelah masa peperangan dengan malaysia tahun 1965. Keempat,
bagaimana para siswa tidak tahu bagaimana lirik dan cara menyanyikan lagu kebangsaan indonesia
raya. Mereka menganggap lagu “kolam susu” adalah lagu kebangsaan indonesia. Kelima, bagaimana
seorang anak rela menukar kain yang dibelikan untuk kakenya di negeri seberang dengan bendera
merah putih yang dijadikan kain pembungkus dagangan di negeri seberang. Di akhir cerita,
nasionalisme diangkat dengan apik ketika sang kakek menghembuskan nafas terakhirnya dan
memberikan wasiat yang begitu dalam kepada cucunya.

Analisis konten

Film tersebut menunjukkan dengan apik bagaimana realitas perbatasan di Kalimantan dengan
Malaysia. Bagaiamana harga diri bangsa dipertaruhkan di garda terluar negeri ini. Ketimpangan
ekonomi yang begitu jelas terlihat telah menunjukkan jauhnya taraf hidup bangsa kita dengan
negara tetangga. Tidaklah heran ketika banyak generasi bangsa ini menukarkan nasionalismenya
dengan materi dan kehidupan yang lebih layak dibandingkan di rumah sendiri.

Eksklusi sosial pun begitu tampak di daerah perbatasan. Bisa dikatakan mereka yang hidup disana
mengalami eksklusi berganda. Eksklusi dibidang pendidikan, ekonomi, kesehatan bahkan eksklusi
sosial terlihat dengan kebutuhan yang paling mendasar disegala sisi kehidupan. Dalam konteks lokal
masyarakat perbatasan mengalami eksklusi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan oleh
orang-orang yg telah menggadaikan nasionalismenya ke negeri seberang. Sedangkan dalam konteks
nasional, eksklusi sosial dirasakan ketika mereka berhubungan langsung dengan negeri seberang.
Indonesia pun secara tidak langsung dilecehkan. Dengan tampilan ketika bendera merah putih hanya
diperlakukan sebagai kain pembungkus dagangan yang tidak memiliki arti dan nilai.

Korupsi dan kesewenang-wenangan para pejabat pun tidak luput dari radar skenario film ini. Bisa
dikatakan kondisi yang ditampilkan pada film ini benar-benar terjadi pada kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sebenarnya. Kalau boleh dikatakan, jangan bermain api dengan para pejabat jika
tidak ingin diberangus dan dilupakan oleh para pejabat. Begitu keji perbuatan pejabat yang
ditampilkan dalam film ini. Kepentingan pribadi dan kelompok selalu didahulukan tanpa melihat
bahwa mereka hidup dari uang rakyat dan mereka adalah pelayan rakyat yang seharusnya melayani
rakyat yang memiliki hak untuk diurus oleh negara.

Analisis non-konten

Penulis melihat film ini tidak total menggambarkan realita perbatasan di pelosok Kalimantan. Kalau
boleh penulis umpamakan, film ini seakan sayur tanpa garam dan kurang nampol untuk menyentil
mereka yang duduk manis di kursi mewah negara ini. Penulis yakin – lihat tulisan CATATAN KECIL
DARI PAPUA – bahwa permasalahan di perbatasan tidak hanya sekedar yang ditampilkan oleh film
ini. Tidak hanya menyoal menggadaikan nasionalisme demi materi. Tidak hanya melulu tentang
kemiskinan. Tetapi juga tentang permasalahan kehidupan yang begitu kompleks dan dapat dijadikan
bahan utama untuk mengkritik dan memukul mundur para penguasa yang duduk manis di senayan.

Kalau boleh penulis katakan, film ini sudah banyak direduksi ketika proses perizinan. Hanya realita-
realita yang tidak menohok yang boleh ditampilkan. Sedangkan realitas yang jauh lebih kompleks
harus diabaikan dan tidak boleh diumbar ke khalayak umum. Tidaklah heran penulis dengan hal ini.
Bagaimanapun juga, film ini dibuat demi kepentingan industri. Industri yang mendewakan
keuntungan dengan berbagai cara yang salah satunya melalui film yang bertajuk nasionalisme.
Terlepas dari sisi gelap kondisi tersebut, penulis mengacungkan jempol dengan adanya film ini.
Setidaknya film ini telah membuka hati setiap orang tentang kondisi di daerah perbatasan di pelosok
Kalimantan....

Anda mungkin juga menyukai