Anda di halaman 1dari 8

KASUS PENYIMPANGAN SILA KETIGA PANCASILA

Sila persatuan Indonesia menempatkan manusia Indonesia pada persatuan,


kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan Bangsa dan Negara di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
Menempatkan kepentingan negara dan kebangsa di atas kepentingan
pribadi berarti manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan
Neegara dan Bangsa bila diperlukan. Sikap rela berkorban untuj kepentingan
negara dan bangsa, maka dikembangkanlah rasa kebangsaan dan bertanah air
Indonesia, dalam rangka memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Persatuan dikembangkan
atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dnegan memajukan pergaulan demi kesatuan dan
persatuan Bangsa Indonesia. Kasus yang menyimpang dari nilai sila ketiga ini
diantaranya adalah :

B.1 DAYAK VS MADURA


Penduduk asli Kalimantan adalah Suku Dayak yang hidup sebagai petani
dan nelayan. Selain suku asli, suku lainnya juga telah masuk ke bumi Kalimantan
adalah Melayu, Cina, Madura, Bugis, Minang dan Batak.
Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa
Indonesia atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat
pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya
masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui kesalahpahaman di antara
mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura yang keras ditangkap Orang Dayak
sebagai kesombonan dan kekasaran.
Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan penyebab timbulnya suatu
konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya
kasus
Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999
termasuk Kabupaten Sambas), di Kalimantan Barat. Konflik sosial sepertinya
agak sulit terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan. Setelah
itu, pertikaian antar-etnis terjadi lagi di Sambas, lalu disusul di Kota Pontianak,
dan terakhir di Sampit serta menyebar ke semua wilayah Kalimantan Tenngah.
Orang Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman dengan
karakter orang Madura yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak
sebagai penduduk lokal yang menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang
peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka miliki adalah warisan
leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali mereka terkena tipu daya
masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau bahkan menyerobot
tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya orang
Madura menimbbulkan sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap
mereka sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan
kerja keras orang Madura mengelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam
bisnis pertanian.
Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi merupakan dasar dari munculnya
suatu konflik. Masyarakat Dayak juga mempunyai suatu ciri yang dominan dalam
mata pencaharian yaitu kebanyakan bergantung pada khidupan bertani atau
berladang. Dengan masuknya perusahaan kayu besar yang menggunduli kayu-
kayu yang bernilai, sangatlah mendesak keberadaannya dalam bidang
perekonomian. Perkebunan kelapa sawit yang menggantikannya lebih memilih
pendatang sebagai pekerja daripada orang Dayak. Hal yang demikian
menyebabkan masyarakat adatmerasa terpinggirkan atau tertinggalkan dalam
kegiatan perekonomian penting di daerahnya mereka sendiri. Perilaku orang
Madura terhadap orang Dayak dan keserakahan mereka yang telah menguras dan
merusak alamnya menjadi salah satu dasar pemicu timbulnya konflik di antara
merka.
Ketidakcocokan di antara karakter mereka menjadikan hubungan kedua
etnis ini mudah menjadi suatu konflik. Ditambahn lagi dengan tidak adanya
pemahaman dari kedua etnis terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing
etnis. Kecurigaan dan kebencian membuat hubungan keduanya menjadi tegang
dan tidak harmonis.
Ketidakadilan juga dirasakan oleh masyarakat Dayak terhadap aparat
keamanan yang tidak berlaku adil terhadap orang Madura yang melakukan
pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk menghukum orang Madura yang
melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum.
Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung terhadap orang
Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman orang Madura.
Identitas yang terancam sebagai suatu suku asli Kalimantan yang terusik oleh
kedatangan pendatang membuat suku Dayak mengambil sikap keras. Ditambah
lagi dengan tidak adanya perubahan sukap dari masyarakat pendatang. Hal ini
jelas terlihat pada dampak yang terjadi pasca konflik horizontal Dayak dan
Madura. Mereka tidak melihat dampak dari kekerasan bagi masyarakat mereka
sendiri yaitu korban jiwa dan harta benda, tetapi yang terpenting adalah keluarnya
orang Madura dari wilayah mereka.
Ketidakharmonisan dalam interaksi sosial antara kedua etnis ini tidak
cepat mendapat penanganan dari tokoh masyarakat setempat maupun oleh
aparatur pemerintah agar dapat ditangani. Pada pertikaian yang terjadi terlihat
adanya keberpihakan dari aparat kepada salah satu etnis menurut pendapat etnis
lain. Kondisi ini terus berlanjut, yang pada akhirnya menjadi konflik terbuka
berakar dan diiringi dengan kekerasan.
Konflik dipicu oleh persoalan yang sederhana, menjadi kerusuhan dan
diidentifikasi pemicu pecahnya konflik adalah adanya benturan budaya etnis lokal
dan etnis pendatang, lemahnya supremasi hukum, adanya tindak kekerasan.
Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyaj disebabkan oleh kesombongan dan
ketidakpedulian etnis Madura terhadap hukum adat dan budaya lokal yang sangat
dihormati masyarakat setempat seperti hak atas kepemilikan tanah.
PERISTIWA PEMICU TRAGEDI SAMPIT DAYAK VS MADURA
Menengok kembali peristiwa lama yang mungkin termasuk pemicu terjadinya
Tragedi Sadis di Sampit berdasarkan informasi yang beredar adalah :
1. Tahun 1972 di Palangkaraya, seorang gadis Dayak diperkosa. Terhadap
kejadian itu diadakan penyelsaian dengan mengadakan perdamaian menurut
hukum adat.
2. Tahun 1982 terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak,
pelakunya tidak tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak
ada.
3. Tahun 1983 di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan
etnis Dayak dibunuh. Perkelahian anatara satu orang Dayak dkeroyok oleh
tiga puluh orang Madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama
Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan
Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan
kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian
diatandatangani oleh kedua belah pihak, isinya anatara lain menyatakan
apabila orang Madura menyatakan apabila orang Madura mengulangi
perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari KalTeng
4. Tahun 1997 di Tumbang, Samba, Ibukota Kecamatan Katingan Tengah
seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh Suku Madura tukang
jualan sate. Sibelia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat 30
tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para
anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban
Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian saja.
5. Tahun 1999 di Palangka Raya seorang Tibum (Ketertiban Umum) dibacok
oleh orang Madura, pelakunya ditahan di Polresta Palangka Raya, namun
besoknya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya
dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya
membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
6. Tahun 1999 di Pangkut, Ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten
Kotawaringin Barat terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-
gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak
menambang Emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua
belah pihak tanpa penyelesaian hukum.
7. Tahun 1999 di Tumbang Samba, terjadi pernikahan terhadap suami-istri
bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di
RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan
ditanggung Pemda KalTeng. Namun para pembacok tidak ditangkap, karena
sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura
memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih,
karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas mereka
membacoknya, saat istri iba mau membela juga ditikam. Tindakan itu
dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
8. Tahun 2000 di Palangka Raya satu orang suku Dayak dibunuh oleh
pengeroyok suku Madura di depan Gereja Immanuel, Jalan Bangka. Para
pelaku lari tanpa proses hukum. Dan masih banyak lagi pemicu-pemicu
konflik lainnya.

B.2 KELUARNYA PAPUA DARI NKRI


Jakarta, PelitaOnline – Ketua Solidaritas Kemanusiaan untuk Papua, Frans
Tomoki meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
bertanggungjawab atas pelanggaran HAM di Papua. Jika Pemerintahan SBY-
Boedijono ini tidak bertanggungjawab, maka ia mengancam akan keluar dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Kami ingin Papua berdiri di
atasnkakinya sendiri untuk menentukan nasib rakyatnya. Kalau pemerintah tidak
memperhatikan kami, biarkan kami keluar dari NKRI,” kata Frans saat jumpa pers
di Kontras, Jakarta, Selasa (1/11)
Menurutnya para anggota militer yang ada di Papua hanya bisa membuat
rakyat Papua menjadi tidak aman lantaran terlalu represif dalam bertindak demi
kepentingan PT. Freeport Indonesia. Militer, kata dia. Juga membawa
kesejahteraan bagi rakyat di Bumi Cendrawasih.“Militer terlalu diskriminatif
untuk warga Papua. Seharusnya berlaku adil. Kami hanya ingin mandiri,”
pintanya tegas.Dia menjelaskan, Kapolsek Mulia Papua, Dominggus Awes, yang
ditembak di bandara merupakan jaringan Organisasi Papua Merdeka (OPM)
gadungan yang dipelihara oleh militer.“Itu OPM gadungan, yang memang sengaja
dipelihara oleh militer untuk mengalihkan isu, terkait meninggalnya buruh
Freeport yang menuntut kenaikan gaji,” jelas dia.Dia mengakui bahwa warga
Papua mendapatkan perlakuan diskriminatif dari negeri ini. Padahal Papua
merupakan bagian dari NKRI.“Bagi Bangsa Papua, sudah jelas untuk menentukan
nasib. Bagi saya lebih baik Papua menentukan nasibnya sendiri.
B.3 BANYAKNYA ALIRAN SESAT YANG MUNCUL
JEMBER– Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember menangani sebanyak
lima kasus aliran sesat di kabupaten setempat, yang semuanya bisa diatasi tanpa
kekerasan. Ketua MUI Jember bidang Fatwa dan Hukum, Abdullah Samsul
Arifin, Selasa menuturkan, pihaknya banyak menerima keluhan dari masyarakat
terkait dengan adanya aliran sesat yang meresahkan di sejumlah daerah. “Kami
menangani sebanyak lima kasus aliran sesat selama beberapa pekan terakhir,
namun semuanya bisa diatasi tanpa ada aksi kekerasan,” tutur Abdullah yang
akrab disapa Gus Aab. Menurut dia, faktor yang menyebabkan timbulnya aliran
sesat, antara lain keterbatasan keilmuan yang dimiliki oleh orang yang
bersangkutan dan motivasi pelaksanaan ibadah yang kurang tepat.
“MUI Jember selalu melakukan dialog dan membina penganut aliran sesat
itu, agar kembali ke jalan yang benar sesuai ajaran agama Islam,” ucap Gus Aab
yang juga Ketua PCNU Jember. Kasus aliran sesat yang terbaru adalah aliran
yang diasuh oleh Yayasan Qodriyatul Qosimiyah di Kecamatan Wuluhan karena
ucapan kalimat syahadat tersebut menyimpang dari ajaran agama Islam. Anggota
MUI Jember lainnya, Baharudin Rosyid, menambahkan biasanya tokoh aliran
sesat tersebut bukan berasal dari kalangan intelektual, dan mencari terobosan baru
yang mudah diikuti oleh masyarakat. “Biasanya mereka masih mencari jati diri
tentang agama Islam, seperti yang dilakukan Yayasan Qodriyatul Qosimiyah yang
mengarang buku kitab kuning sendiri, sehingga menyalahi ajaran Islam dan sudah
dinyatakan sesat oleh MUI Jember,” tuturnya. Menurut Baharudin yang juga
Pembina Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember, kriteria aliran sesat antara
lain mengingkari salah satu dari enam rukun iman dan lima rukun Islam,
menyakini atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al Quran dan sunnah,
dan meyakini turunnya wahyu setelah Al Quran. “Saya mengimbau masyarakat
tidak main hakim sendiri dan bertindak anarkhis, apabila ada aliran yang diduga
sesat dan menyimpang dari ajaran agama Islam. Lebih baik dilaporkan ke tokoh
agama setempat atau MUI Jember,” katanya, menambahkan.(republika.co.id)
C. PENANGANAN KONFLIK PADA KASUS PENYIMPANGAN SILA
KETIGA PANCASILA
Dari tiga kasus diatas memang harus ada tindakan tegas dari pemerintah
dan pihak yang berwenang, guna terciptanya keamanan dan keharmonisan dalam
keanekaragaman di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Adapun penanganan
yang dilakukan untuk mengatasi konflik di atas adalah sebagai berikut :

C.1 KASUS DAYAK VS MADURA


· Untuk sementara waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak
dan Melayu sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan
terutama di daerah konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bentrokan di
antara mereka karena sangat rentan tersulut oleh isu yang akan membakar
kemarahan kedua belah pihak.
· Rehabilitasi bangunan yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran
terhadap infrastruktur masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya
kegiatan masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga
perlu mendapat perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang
damai dan melibatkan kembali seluruh tokoh masyarakat.
· Re-evakuasi dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman.
Untuk itu perhatian terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus
didukung oleh pihak keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak.
· Dialog antar etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga
adat masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama
mengakhiri konflik yang berkepanjangan.
· Demikian juga dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran
hukum perlu dilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis
tertentu selain itu kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan

C.2 KASUS KELUARNYA PAPUA DARI NKRI


Dalam kasus keluarnya papua seharusnya pemerintah dapat menghimbau
kepada seluruh menteri-menterinya untuk Menciptakan kondisi yang mendukung
komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk
selalu membangun konsensus, menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya
primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi
KKN,dan juga menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal
kompromi.

C.3 KASUS BANYAKNYA ALIRAN SESAT YANG MUNCUL


Adanya tindakan tegas untuk membubarkan aliran yang dapat
menyesatkan umat islam, dan jika tetap membantah maka harus diberikan
hukuman yang dapat menimbulkan efek jera. Bisa juga dilakukan dengan
melakukan pendekatan secara spiritual

Anda mungkin juga menyukai