DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
BAB I
A. Latar Belakang
Kebudayaan atau budaya berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu “buddhayah”,
merupakan wujud jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal yang
memiliki kaitan dengan budi, serta akal manusia.Budaya merupakan cara hidup
yang berkembang, serta dimiliki bersama oleh kelompok orang, serta diwariskan
dari generasi ke generasi. Budaya ini terbentuk dari berbagai unsur yang rumit,
termasuk sitem agama dan politik, adat istiadat, perkakas, bahasa, bangunan,
pakaian, serta karya seni.
Seperti halnya pada Kota Cepu, sebuah Kecamatan yang berada diujung
Pulau Jawa Tengah. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan daerah Jawa
Timur, batas kedua daerah ini adalah sebuah sungai yang bernama Sungai
Bengawan Solo. Sungai ini menjadi satu-satunya pembatas bagi kedua daerah
tersebut. Banyak orang yang mengenal Kecamatan Cepu ini sebagai Kota
Minyak. Hingga banyak orang dari luar Pulau Jawa yang datang untuk
mengeksplorasi minyak bumi di kota ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Kota Cepu memang dikenal sebagai Kota Minyak, hal ini dikarenakan
banyak terdapat sumber minyak bumi, gas bumi yang terdapat di Kota Cepu.
Sumber-sumber minyak bumi, gas alam dan lain sebagainya ini di kuasaia
oleh Pertamina, Migas, dan Exxon.Meskipun dapat dikatakan sebagai kota
Minyak , namun masyarakat di daerah Cepu hanya sekitar 30 persen saja
yang bekerja di bidang perminyakan. Baik sebagai tenaga ahli, tenaga
pengajar, dan lain sebagainya. Selain dikenal dengan pengahasil minyak
bumi, Kota Cepu juga dikenal dengan kayu Jati gelondong nya. Hal itu pula
yang menyebabkan Kota Cepu dapat dikatakan lebih dikenal oleh
masyarakat luas dibandingkan dengan kabupaten nya.
Selain itu Kota Cepu yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Blora
terdapat salah satu suku yang sangat terkenal, yaitu Suku Samin. Suku samin
ini merupakan sebuah pergerakan atau suatu ajaran yang dahulu perbah
diajarkan oleh seorang pemuda berasal dari daerah Randublatung yang
bernama Samin Surosentiko. Ia merupakan seorang pemuda yang dahulu
pada masa penjajahan Belanda, menolak seluruh peraturan yang dibuat oleh
pemerintah Belanda. Salah satu peraturan yang ditolak oleh Samin
surosentiko adalah penarikan atau pembayaran upeti atau pajak kepada
pemerintah Belanda.
Akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh samin Surosentiko yang juga
diikuti oleh masyarakat disekitarnya, membuat Samin Surosentiko harus
mengalami pengasingan diluar daerah Blora. Sehingga pada akhirnya ajaran
samin, masih berkembang sampai saat ini. Masyarakat samin berbicara
menggunakan Bahasa Kawi. Mereka tinggal di dalam hutan, hal ini
dikarenakan mereka sengaja menjauhkan diri dari kehidupan keramaian
untuk menjalankan tradisi hidup mereka yang berbeda dengan masyarakat
kebanyakan. Mereka memperlakukan alam dengan baik, mengambil kayu
bakar hanya seperlunya dan tidak mengeksploitasi secara berlebihan, mereka
lebih suka berjalan kaki, sejauh apapun yang mereka tempuh, mereka juga
tidak dapat berbahasa Indonesia.
Terdapat pecahan suku Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin
Anyar, yang telah meninggalkan tatacara hidup suku Samin dahulu. Selain
itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal
Wong Sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan tata cara
hidup dan keyakinan suku Samin yang dahulu, dan memilih agama resmi,
yakni agama Budha-Dharma.
Tidak bersekolah
Tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain
yang diikat di kepala
Tidak berpoligami
Tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut
Tidak berdagang
Beberapa makanan ini memang asli berasal dari daerah Cepu dan ada
juga yang perpaduan dari berbagai daerah, ataupun merupakan sebuah
adaptasi dari suatu makanan di salah satu daerah. Namu terdapat salah satu
makanan yang memang asli dari daerah Cepu yaitu “enthung”. Enthung
merupakan kepompong ulat jati yang masih muda