Desa Sindangjaya pada mulanya merupakan tanah yang tidak bertuan atau
berasal dari daerah yang disebut “Gunung Halu”, yang terdiri dari empat desa yang
sekarang sudah dipecah oleh pemerintah, sebelah utara Desa Cikidang Bayabang,
sebelah selatan Desa Karangwangi, sebelah barat desa Sindangsari dan sebelah timur
Desa Kertajaya.
Pada tahun 1838 masa penjajahan Belanda. Sindangjaya merupakan salah satu
daerah kekuasan Belanda melalui kekuasaan tuan tanah (Nederlandsch Indie). Pada
waktu itu, daerah ini sudah dimasuki oleh beberapa orang yang beragama Islam, akan
tetapi mereka belum menetap. Salah satunya adalah Ama Santri yang pertama kali
membuka “serang”, dan sekaligus orang pertama yang memperkenalkan daerah ini
berasal dari Girijaya yang dulunya masih satu dengan Gunung Halu. Nama
57
Sejalan dengan pembukaan lahan di daerah Sindangjaya oleh para takoh dan
pemeluk Islam. Daerah sebelah timur Sindangjaya adalah Calincing, Palalangon dan
Rawa Selang. Daerah Calincing pertama kali dibuka oleh bapak Ruminah, yang pada
waktu itu sudah memeluk Islam.58 Daerah Palalangon pada waktu itu juga sudah
dihuni oleh orang Kristen, sedangkan daerah Rawaselang masih berupa hutan
belantara yang belum dihuni oleh siapapun. Masuknya Kristen di Rawa Selang,
karena mereka pindah dari Cikembar Sukabumi. Menurut cerita para pendiri Gereja
Pusaka, perpindahan mereka ke Rawa Selang dikarenakan mereka diusir oleh tuan
tanah yang bernama Padri (Bangsa Belanda), pada tanggal 13 Juni 1903 mereka
menemukan Rawa Selang yang kemudian dijadikan tempat tinggal mereka. Pada
waktu itu hanya 66 orang yang pindah dari Cikembar ke Rawa Selang yang semuanya
para pemeluk agama Kristen.59 Oleh sebab itu sampai sekarang pada tanggal 13 Juni
Menurut bapak Abung Gapi, juru tulis desa Sindangjaya, orang-orang Kristen
yang ada di Sindangjaya selain berasal dari daerah Cikembar, mereka juga ada yang
berasal dari daerah Cirebon dan Depok. Adapun kepemelukan agama Kristen oleh
orang-orang sunda tidak terlepas dari peran Zending disetiap daerah (istilah untuk
58 Menurut para tokoh setempat, penyebaran agama Islam berbarengan dengan pembukaan
lahan hutan menjadi pemukiman pertanian. Para tokoh Islam yang mempunyai murid kemudian
perjuangnnya dalam melawan penjajah mapun menyebarkan agama Islam diteruskan oleh muridnya
seperti, B.C Aslam, B.C Aci, Karhi, Tardi dan Tarmidi yang semuanya menjadi kyai setempat. Aki Pai
dan Nopelus Machasan dalam wawancara pribadi, Cianjur, 10 September 2007.
59 Dalam buku sejarah singkat gereja kerasulan pusaka yang disusun oleh rasul Mardi
Machasan, Rawa Selang, 8 Juni 1989
58
badan penginjilan protestan). Salahsatu Zending yang menyebarkan pekabaran injil di
Cianjur adalah C.J. Albers yang pindah dari daerah Cirebon. Adapun penduduk etnis
pribumi yang pertama kali di baptis di Cianjur adalah sepasang suami-isteri bernama
Pada paruh tahun 40-an sampai tahun 60-an para penduduk desa Sindangjaya
sudah bercampur baur dalam berbagai hal terutama dalam kehidupan sosial.
Perjumpaan antara Islam dan Kristen menjadi harmonis karena mereka merasa
merasakan kesusahan yang sangat luar biasa. Perpindahan tangan penjajah dari
masih menyisakan luka yang begitu dalam. Terlebih lagi masyarakat disibukkan
dengan adanya gerombolan DI/TII yang merupakan gerakan sparatis Islam yang
gerakan ini ingin mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan syariat Islam.61
Gerakan ini tidak ada bedanya dengan tangan para penjajah yang menyusahkan
menjadi jalan penyelesaian. Menurut bapak Yusuf bin Osip Sobari yang pada waktu
meletusnya gerombolan DI/TII, bapak Osip menjabat sebagai kepala desa Gunung
Halu. Sindangjaya pada waktu itu menjadi daerah operasi para gerombolan DI/TII,
59
mereka untuk membinasakannya. Dengan keberanian Bapak Osip dan masyarakat
dan saling memiliki satu sama lain menjadikan Sindangjaya bebas dari para
yang secara umum sebagai petani. Dengan dalih pembentukan perkumpulan para
petani PKI telah mengelabuhi masyarakat, sampai pada pengangkutan para petani
kedaerah Monas Jakarta dengan dalih rekreasi atau liburan tanpa dipungut biaya.
Padahal para petani mau dijadikan anggota PKI dengan paksa dan mereka harus cap
menjadikan kehidupan sosial yang berbeda. Sikap ini terlihat ketika mereka melawan
goncangan-goncangan yang sangat hebat dari dalam maupun luar. Bahkan mereka
bersatu dalam satu barisan kekuatan masyarakat yang cinta terhadap tanah air dengan
semangat juang yang pantang menyerah dengan satu cita-cita bersama yaitu keluar
60
dari tirani kekerasan dan penjajahan.
Kristen dan agama Islam telah menjalin hubungan yang cukup panjang selama lebih
dari satu abad, yang ditandai dengan masa-masa konflik dan dan integrasi. Hubungan
kedua agama ini (Islam dan Kristen) di desa Sindangjaya didominasi oleh sikap
dan kecurigaan. Seperti diketahui pula, hubungan dua tradisi keimanan ini (Islam dan
Kristen) memiliki hubungan yang ambivalen. Artinya hubungan ini bisa menjadi
konflik atu pertentangan, tapi pada sisi yang lain kedua tradisi keimanan ini bisa
menjalin kerjasama yang produktif. Hal ini senada dengan penjelasan bapak Nopelus
Sindangjaya (Muslim dan Kristen) harus memegang teguh ajaran agamanya masing-
terlihat pada semua suasana kehidupan sosial sehari-harinya. Mereka hidup rukun
berdampingan satu dengan yang lainnya walaupun mereka berbeda agama. Dalam
61
kaitannya dengan pola kerukunan umat beragama masyarakat Sindangjaya secara
umum mempunyai pola kerukunan yang sangat dinamis. Hal ini terlihat dari pola
serta pola hubungan sosial adat kawin campur, yang mana hal-hal tersebut akan
Sindangjaya.
1. Dalam Keluarga
sekali dengan keluarga. Sebuah keluarga yang bahagia cenderung tidak melakukan
keluarga memeluk agama Kristen dan Islam. Contoh pada keluarga ibu Tati yang
mana orang tuanya menganut agama Kristen, sedangkan ibu Tati sendiri dan adik
ketiganya menganut agama Islam dan adik keduanya dan keempatnya beragama
Kristen.65
desa Sindangjaya tidak menjadi masalah yang signifikan. Mereka bisa menerima jika
62
seandainya anggota keluarganya beragama lain. Bagi mereka perbedaan dalam
beragama bukan sesuatu yang dapat melahirkan pertengkaran dalam keluarga apalagi
hubungan perkawinan dan kekerabatan, tidak ada diskriminasi bagi keluarga laki-laki
maupun perempuan.
(kawin campur)
orang yang berbeda agama, namun dalam realitas khususnya di desa Sindangjaya
masih banyak terajadi perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena masyarakat
Sindangjaya dalam hal ini sangat menitik beratkan kepada individu yang akan
menikah, dengan kata lain bahwa perkawinan yang akan berlangsung harus masuk
pada salah satu agama. Contoh yang paling sering penulis temukan ialah perkawinan
perubahan struktur keluarga yang mana perubahan struktur keluarga berupa proses
kontraksi keluarga yaitu proses perubahan dari keluarga luas menjadi keluarga inti
(batih). Proses kontraksi keluarga ini memunculkan otonomi dan liberalisasi keluarga
inti yang lebih kuat. Adanya otonomi keluarga menunjukkan tingkat kemandirian
keluarga inti yang tinggi. Anggota keluarga inti lebih mempunyai kebebasan dalam
63
memutuskan semua hal yang berkaitan dengan persoalan intern keluarga termasuk
agama. Sebab dari faktor tersebut mengindikasikan juga adanya kontrol sosial yang
melemah dari kerabat luas terhadap anggota keluarga. Hal ini pada akhirnya
tanpa terpaku dengan nilai-nilai dan terjadi anutan dari pihak keluarga, terutama nilai
keberagamaan.
bahwa perkawinan beda agama pada dasarnya tidak ada. Yang kemudian berkembang
di masyarakat, perkawinan itu harus didasarkan pada salah satu agama yang dianut
oleh salah seorang pasangan tersebut. Misalkan perempuannya beragama Islam dan
laki-lakinya beragama Kristen, salah satu dari mereka harus rela meninggalkan agama
yang dianut dan pindah agama. Ini pun terjadi bisaanya kalau pasangan itu didasarkan
cinta sama cinta. Di lain pihak perkawinan campur ini merupakan sebagai ajang
adalah hak asasi setiap munusia yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun, karena
66 K.H, Zaenal Aripin, Ketua MUI desa Sindangjaya dan sekaligus pimpinan Ponpes Al-Huda,
Wawancara Pribadi, Cianjur, 29 September 2007
64
hidupnya sendiri.
agama atau lebih dikenal dengan konversi. Konversi adalah suatu tindakan seseorang
berlawanan. Konversi juga dapat diberi deskripsi sebagai suatu tindakan dengan mana
pengalaman dan tingkat keterlibatannya dalam agama ketingkat yang lebih tinggi.67
Di desa Sindangjaya ini perpindahan agama kerap kali terjadi, menurut data
yang penulis dapatkan bahwa perkawinan lintas agama dalam hal ini selalu
memunculkan konversi, baik dari Islam ke Kristen maupun dari Kristen ke Islam.
Dalam hal ini, perkawinan yang mengarah kepada konversi agama seperti bapak Lili
Kosim yang tadinya beragama Kristiani berpindah agama menjadi muslim ketika
menikah dengan ibu Tati. Sebenarnya dalam hal ini, masih banyak kasus-kasus
Menurut data yang ada, konversi agama kebanyakan dari Kristen ke Islam.
Data kependudukan agama Kristen pada tahun 2004 sebanyak 1300 jiwa pada data
tahun 2006 menjadi berkurang menjadi 1115 jiwa. Hal tersebut dikuat oleh informasi
yang didapatkan penulis dari juru tulis desa Sindangjaya yang menyebutkan
setidaknya ada seratus orang lebih masyarakat Kristen berpindah agama selama kurun
67 Max Heirich, Change of heart; A test of Some Wedely Held Theories about Religious
Conversion, dalam American Journal of sociology, Vol. 83, Hal. 654
68 Abung Gapi, juru tulis desa Sindangjaya, wawancara pribadi, Cianjur 20 September 2007
65
Adapun perkawinan yang berlangsung selama ini di desa Sindangjaya,
menurut bapak Kades Didin Supriatna semua berjalan dengan jalur keagamaan yang
pernikahan, asalkan salah satu dari mereka merelakan untuk pindah keyakinan.69
Tradisi seperti ini dalam masyarakat Sindangjaya sudah terjadi puluhan tahun dan
ajaran agama yang mana telah digariskan oleh agamanya masing-masing, baik ajaran
keagaman yang secara nyata membentuk interaksi sosial yang harmonis serta
adalah urusan individu dengan Tuhan. Keyakinan yang mereka pegang dan masalah
keimanan tidak bisa dilihat oleh orang lain. kebebasan dalam hal memeluk agama
sangat dijunjung tinggi. Serta perbedaan agama tidak menjadi jurang pemisah yang
suram bagi mereka dalam berinteraksi antar pemeluk agama yang berbeda. Seperti
halnya keluarga bapak Agus, yang mana ia memiliki anggota keluarga yang berbeda
agama. Bapak Agus sendiri menganut agama Kristen, istrinya beragama Islam dan
69 Didin Supriatna, Kepala Desa Sindangjaya , Wawancara pribadi, Cianjur 20 September 2007
66
anak perempuannya menikah dan masuk Islam. Dalam keluarga ini tercipta hubungan
yang harmonis, mereka menganggap perbedaan agama dalam keluarga itu adalah
sesuatu hal yang wajar, kebebasan agama dan keyakinan terhadap suatu agama tidak
bisa dipaksakan.70
Dari contoh di atas jelas bahwa perbedaan agama dalam keluarga tidaklah
menjadi api permusuhan, tetapi mereka menyadari benar perbedaan itu harus dibina
dan tidak saling menggangu dalam beribadah. Secara formal pola hubungan sosial
keagamaan ini terlihat dengan adanya satu bentuk dialog antara pemuka agama
ditingkatan desa seperti MUI dengan MG (majlis gereja), yang mana mereka
memungkinkan adanya titik temu universal agama-agama. Oleh sebab itu, sebagai
salah satu jalan keluar dari problem klasik ini haruslah ada perbaharuan sikap
beragama.72
Agama-agama menurut hemat saya tidak bisa melepaskan diri pada ideology
yang dibawanya, lebih-lebih agama-agama yang masuk pada rumpun Abraham, dan
bisa juga disebut Abrahamic religions (Yahudi, Kristen, Islam). Ketiga rampun agama
67
ini memiliki ideology sendiri yang kita sebut sebagai missionery ideology, yang tak
yang telah mengakar sebagai sebuah sistem kenyakinan umat beragama. Jelas bahwa
sistem teologi tidak semua salah, tetapi jika pada akhirnya antara penganut agama
satu dengan yang lainnya senantiasa “bermusuhan” dan saling mengintip, akhirnya
belah. Agama kemudian tidak lagi menjadi integrating faktors, tetapi menjadi
oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal.74 Dalam
68
nyata telah menunjukkan pada kehidupan sosial yang terintegrasi. Hal ini dibuktikan
bahwa selama lebih satu abad masyarakat Sindangjaya hidup rukun dan damai, saling
menghormati berasaskan silih asah, silih asih dan silih asuh.75 Kehidupan yang kian
terjaga tercipta karena adanya keterikatan antara norma yang menjadi acuan
masyarakat dengan nilai-nilai agama maupun nilai adat atau kebudayaan yang
Sindangjaya umumnya berpropesi sebagai petani. Oleh karena itu tidak terdapat
banyak digunakan untuk mengelola tanah, nilai lebihnya karena dengan begitu
mereka dapat saling membantu, saling bekerjasama dan tolong menolong dalam
menggarap lahan pertaniananya. Para petani yang beragama Islam bekerja kepada
pemilik tanah yang beragama Kristen, sebaliknya petani yang beragama Kristen
bekerja kepada pemilik tanah yang beragama Islam. Dengan demikinan sikap saling
masyarakat Sindangjaya.
tempat tinggal mereka secara georafis yang berdekatan dan becampur baur antara
penduduk muslim dan Kristen. Bercampur baurnya penduduk beda agama ini
mencapai 9 RT.76 Misalnya, daerah Rawa Selang RT 04/RW 05 daerah ini mempunyai
75 Untuk lebih jelas bisa dilihat dalam buku yang membahas tentang kebudayaan jawa barat,
salah satunya adalah bukunya Moh. E, Hasim, Rupa-Rupa Adat Sunda Jaman Ayeuna, Bandung, PT.
Sumur Bandung, 1984
76 Dari data dilapangan ke sembilan RT itu sebagai berikut; RT 01/06 masyarakatnya
69
keunikan dan pluralitas agama sampai sekup yang terkecil yaitu keluarga. Dalam satu
keluarga memungkinkan ada perbedaan agama satu dengan yang lainnya. Dari segi
bertetangga mereka selalu mencerminkan hubungan yang baik. Hal ini, tidak lepas
kehidupan masyarakat atau bertetangga yang harmonis, tidak diwarnai oleh tindakan-
Masyarakat Sindangjaya mempunyai solidaritas yang tinggi, baik itu dari segi
keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Solidaritas ini dibangun dengan sikap dan
interaksi yang baik di antara mereka. Misalkan diadakan kerjabakti pembuatan jalan
dan tempat ibadah oleh pihak RW/RT, semua masyarakat yang berada di lingkungan
setempat, Islam maupun Kristen ikut berpartisipasi dalam kerja bakti tersebut.
harinya. Adanya beragam perbedaan baik yang disebabkan oleh tingkat perbedaan
kepenganutan agama, etnis, ekonomi, dan budaya tidak menyeret mereka kedalam
seabad lebih.
campuran-daerah Rawa Selang, RT 02/06 dan RT 01/06 masyarakatnya menganut agama Kristen
Protestan, sedangkan RW 05 terdiri dari 5 RT masyaraktanya campuran dan RT 01/07 daerah Pasir
Saar masyarakatnya campuran, wawancara pribadi dengan bapak Abung Gapi jurutulis desa
Sindangjaya, Cianjur, 20 September 2007
70
Cianjur.
1. Ikatan kekerabatan
proses alih kebudayaan antar generasi termasuk dalam pengalihan nilai-nilai moral,
toleransi dan pengakuan terhadap perbedaan. Keluarga juga dapat berposisi sebagai
struktur mediasi penting dalam proses sosialisasi nilai-nilai dan ide-ide dari intitusi
Dari hasil temuan di lapangan dapat dikatakan bahwa faktor kekerabatan atau
kekeluargaan ini cukup baik dan kuat di masyarakat Sindangjaya. Dalam hal
kehidupan sosial nampaknya ikatan kekerabatan menjadi faktor penting, ini terlihat
dari interaksi dengan adanya kerjasama saling membantu satu dengan yang lainnya.
kekerabatan yang saling bertalian, hal ini memungkinkan satu keturunan keluarga
besar akan memunculkan perbedaan dalam segi beragama atau kenyakinan. Hal ini
sangat terasa, baik dalam bersikap maupun dalam mengembangkan silih asah, silih
71
asih dan silih asuh sangat tertatanam dalam tradisi masyarakat yang tercermin dalam
Adapaun konfik yang terjadi di Desa Sindangjaya memiliki tensi yang sangat
rendah. Konflik ini bisaanya terjadi antara pribadi yang bermuara pada masalah
keluarga, hal ini bisa diatasi dengan jalur ikatan kekerabatan yang mana menitik
tidak melebar sampai pada tataran sosial kemasyarakatan. Seperti dikemukakan oleh
Unang Firmansyah seorang tokoh pemuda, ia mengatakan bahwa “kita hidup rukun
karena masih satu keturunan, walaupun corak kehidupan yang berbeda, tapi itu tidak
mereka”.77
2. Tradisi Masyarakat
tahlilan, syukuran, rajaban, muludan, tujuh bulanan, dan sebagainya. Begitu pula
umat Kristen di Sindangjaya, mereka juga memiliki kebiasaan unik yang disebut
dengan upacara “Pesta Panen”, Upacara tersebut dilaksanakan ketika selesai musim
panen sebagai rasa syukur atas rejeki yang mereka dapatkan dari hasil bercocok
72
tanam. Acara pesta panen yang paling meriah dilaksanakan setiap bulan Agustus
Sunda Kristen tersebut disuguhkan tarian, musik dan lagu sunda, dan bazar berupa
hasil bumi seperti: beras, sayur, buah-buahan, ikan asin, dsb produk dari masyarakat
perorangan maupun kelompok yang merekatkan tali persaudaraan yang kuat, mislnya
tradisi “slametan”78 memiliki nilai spritual maupun sosial yang tinggi. Slametan
dalam tradisi orang sunda perlu dilihat dari aspek waktu biasanya dilakukan pada hari
yang bagus secara agama semisal malam Jum’at. Partisipasi orang-orang terdekat
seperti tetangga dan saudara satu keturunan menjadi lebih terlihat. Dalam slametan
orang-orang yang datangpun tidak membedakan dari segi etnis atau agama, acara ini
berkaitan dengan niat tuan rumah untuk berbagi kebahagiaan atau atau memohon
do’a sesuatu. Contoh yang paling lumrah adalah ketika seseorang anaknya disunat,
orang tua si anak akan mengadakan slametan dan meminta do’a restu atau
78 Dalam tulisan Azyumardi Azra, disebut sebagi tardisi kecil atau lokal tradition, yang mana
tradisi ini lahir dari pengaruh-pengaruh Islam dan kebudayaan setempat. Untuk lebih lanjut bisa dilihat
dalam Azyumardi Azra, Konteks berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta, Paramadina,
1999, Hal. 12-44
79 Dapat dilihat dalam buku “Adat Upacara Daerah Jawa Barat”, Proyek Penelitian dan
pencatatan Kebudayaan daerah, (Departemen pendidikan dan Kebudayaan; Pusat Penelitian Sejarah
dan Budaya, 1978/1979)
73
pada kerukunan. Upacara slametan tersebut bisa menjadi mediator atau penghubung
bagi masyarakat yang sedang berselisih. Karena mau tidak mau masyarakat yang
diundang oleh tuan rumah, apalagi mereka berdekatan harus menghadiri acara
tersebut. Dalam kaitannya dengan strata atau status sosial, acara slametan juga
merupakan suatu upaya untuk membawa kebahagiaan si pemilik rumah dengan para
tetangga yang kurang punya oleh karena itu upacara slametan satu peristiwa di mana
tidak membedakan secara status sosial, pendidikan, agama bahkan latar belakang
harmonis. Hal ini bisa terlihat ketika salah satu agama sedang merayakan hari-hari
besar keagamaan atau salah seorang sedang menyelenggarakan sukuran yang bersifat
ritual keagamaan. Contoh yang paling sering dijumpai di lapangan adalah perayaan
hari besar agama Islam yaitu Idul Fitri, tradisi perayaan di masyarakat Sindangjaya
terutama makanan berbentuk kue seperli dodol. Masyarakat yang menganut agama
Kristen dalam hal ini mereka sering membuat kue-kue dodol untuk diberikan
Sikap perang Islam menghormati apa yang sedang dirayakan masyarakat yang
74
Tradisi kehidupan beragama itu tidak hanya sebatas menghormati hari-hari
besar keagamaan yang berlainan. Hal lain yang mengarah pada pola hubungan sosial
seperti halnya upacara kematian dan upacara-upacara keagamaan yang bersifat privat.
bantuan ketika mereka sedang berta’jiah atau dalam bahasa sunda “ngalawat”,
bantuan itu bisa berupa pare/beras, uang dan kebutuhan-kebutuhan yang lainnya.
Menurut kepala dusun II yaitu bapak H. Abdurahman, dalam hal kematian khususnya
orang muslim sudah mempunyai program dari MUI pengajian untuk orang mati.
Pengajian dan selamatan atau tahlilan tidak membebankan kepada pihak keluarga
yang ditinggalkan, bahkan program ini supaya meringankan kepada pihak yang
perbedaan agama tidak menjadi dis-integrating faktors, tetapi malah menjadi perekat
dengan Bapak Rudi Jamaluddin selaku sekretaris MUI desa Sindangjaya, dijelaskan
75
tiap-tiap agama baik Islam maupun Kristen. Kesadaran agama itu tumbuh
yang mereka peluk, serta selalu berusaha menghormati ajaran agama lain dalam
yang begitu panjang dan rumit. Oleh sebab itu kesadaran setiap pemeluk agama
terhadap agama yang diyakininya dan sadar dengan perbedaan yang ada di
sekelilingnya adalah salah satu faktor yang dapat menjamin keberlangsungan dan
obyektifikasi adalah jalan tengah bagi konflik ideologis yang sering kali menyeruak
sebagai eksistensi yang berdiri sendiri. Dengan kata lain obyektifikasi dalam
nilai internal agama yang mereka peluk kedalam katagori obyektif yang berdiri
82 Kuntowijoyo, Obyektifikasi; Agenda Reformasi Ideologi, Kompas, 13 Juli 1999 dan Agenda
Umat Islam I dan II, Republika, 15 dan 16 Mei 1999.
76
Masyarakat Sindangjaya secara umum sudah mengerti pentingnya kesadaran
agama dengan pemahaman keagamaan yang tidak lagi bersifat eksklusif. Interaksi
dan komunikasi dimungkinkan untuk dapat terjalin dengan baik tatkala terdapat suatu
pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini. Beberapa tahun kebelakang di Desa
Sindangjaya ada beberapa konflik sara seperti pada kasus program bimbingan belajar
(Bimbi) 83 yang diselengarakan oleh team pelayanan sunda (TPS) Saung Saloom di
Inggris, Kursus Komputer Anak dan dewasa, Kursus Tari Sunda, dan Pelatihan
mungkin untuk menahan diri dan berkomunikasi dengan para tokoh agama. Menurut
beberapa sumber yang ditemukan di lapangan oleh penulis ternyata konflik atau
masalah sara maupun kemasyarakatan secara umum itu dilakukan oleh orang
pendatang yang tidak paham dengan adat-istiadat dan nilai-nilai keagamaan yang
bagi peningkatan harkat hidup manusia sekaligus menciptakan kehidupan yang aman,
83 Bimbi ini didirikan oleh orang Kristen pendatang di desa Sindangjaya untuk membuat
pelajaran tambahana kepada anak-anak Kristen. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya mereka juga
merekrut anak-anak muslim dan mereka harus mengikuti ritual-ritual kristen.
77
4. Budaya Gotong Royong
dengan orang lain. Karena kondisi seperti itulah manusia harus melatih dari sejak dini
untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain dan bekerjasama dalam
pekerjaan.
dilakukan tanpa pamrih dan secara sukarela oleh semua warga menurut batas
desa. Sikap gotong royong seperti inilah yang terlihat di masyarakat Sindangjaya,
yang mana gotong royong menjadi salah satu tradisi masyarakat setempat. Gotong
royong merupakan salah satu faktor pendorong terwujudnya sikap dan keadaan rukun
menemukan bahwa gotong royong merupakan salah satu elemen yang berkembang di
masyarakat desa Sindangjaya selama puluhan tahun, hal ini juga yang skaligus
menyebabkan mereka dapat bersikap rukun diantara masyarakat yang berbeda agama.
“Di Indonesia dan khususnya di Jawa aktivitas gotong royong bisaanya tidak
78
hanya menyangkut Lapangan bercocok tanam saja, tetapi juga menyangkut
kehidupan sosial lainnyu seperti: 1. Dalam kematian, sakit atau kecelakaan, di
mana keluarga yang sedang menderita itu dapat tertolong, berupa tenaga dan
benda dari tetangga-tetangganya dan orang-orang lain sedesa. 2. Dalam hal
pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah,
mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali
sumur dan sebagainya, untuk pemilik rumah dapat memberi bantuan dari
tetangga-tetangganya yang dekat dengan memberi jamuan makanan. 3. Dalam
hal pesta-pesta, misalnya pada waktu mengawinkan anaknya, bantuan tidak
hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari tetangga-
tetangganya untuk persiapan dan penyelenggaraan pestanya. 4. Dalam
mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam
masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan dan irigasi, bangunan
umum dan sebagainya untuk mana penduduk desa dapat tergerak untuk
bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.”84
mempunyai semangat gotong royong yang tinggi dan masih banyak pekerjaan-
menganggap bahwa nilai kebersamaan tersebut lebih tinggi dari pada uang.
Sedangkan bagi masyarakat kota prinsip gotong royong sudah kian pudar dan hilang
Seperti yang dikatan oleh bapak Dede Badri S.Ag, masyarakat Sindangjaya
secara umum masih memegang teguh nilai-nilai dan adat-istiadat nenek moyang
mengerjakan semua hal dalam bentuk kerjasama baik yang bersifat pribadi maupun
sosial kemasyarakatan. Dari pandangan inilah timbul suatu kesadaran bahwa tidak
79
boleh hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok kita sendiri. Oleh karena itu,
bersama.85
5. Toleransi Agama
yang tertib, aman dan rukun. Kekhusuan beribadat tidak mungkin terwujud dalam
suasana yang tidak aman. Di sinilah letak pentingnya kerukunan, ketertiban, dan
rukun dalam kehidupan umat beragama selalu memupuk sikap saling menghormati
dan menghargai antar sesama pemeluk umat beragama yang berbeda. Hal ini terlihat
pemeluk agama dan tidak memaksakan suatu agama kepada orang lain. Hal ini
kepercayaannya masing-masing.86
Dengan prilaku tersebut, kehidupan beragama yang tertib, aman, dan rukun
80
akan tercapai. Sikap egois pada dasarnya merupakan penyakit manusia yang
yang paling tinggi dengan tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Sikap selalu
berpengaruh, merupakan sikap egois yang perlu dihindari. Sikap egois akan
seratus tahun lebih mereka berada dalam keadaan hidup rukun, aman dan damai
Salah satu bagian dari kerukunan umat beragama adalah perlu dilakukannya
dialog antar agama. Sepintas sudah dijelaskan bahwa problem utama dalam hubungan
antar umat bergama yaitu problem teologis dan filosofis yang sampai sekarang juga
tidak dapat terselesaikan dengan sempurna. Pluralisme agama, konflik intern atau
antar agama adalah realitas yang tidak dapat dihindari. Tantangan seperti ini selalu
mewarnai kehidupan umat beragama sejak dahulu sampai sekarang. Akan tetapi,
dikarenakan sikap inklusivisme pada masa lampau belum mencuat keluar, kehidupan
keagamaan relatif lebih tentram dan damai dibandingkan dengan masa sekarang, di
81
mana banyak sekali persoalan yang harus dikritisi oleh setiap umat beragama.87
para pemeluk umat beragama. Menurut Arkoun, walaupun Islam dan Kristen
memiliki sumber rujukan utama seperti wahyu, teks-teks fundamental, akan tetapi
dihindari. Seperti dalam Islam terdapat beberapa macam antara lain, Sunni, Syiah,
Khawarij dan juga dalam Kristen terdapat gereja Ortodoks, Katholik dan Protestan
dan masing-masing dari komunitas besar ini mengandang banyak mazhab dan
kelompok.88
konflik dan sekaligus memiliki potensi perekat. Potensi konflik semisal dapat
Sindangjaya merupakan hasil dari proses perjumpaan yang begitu pelik dan penuh
ketegangan antara masyarakat sekitar dengan penjajah. Oleh sebab itu masyarakat
Sindangjaya memandang bahwa perbedaan agama itu hak pribadi dan tidak bisa
Nono Suryono, perbedaan agama itu harus selalu dikomunikasikan dengan baik di
antara sesama pemeluk agama yang berbeda. Komunikasi yang baik akan
menciptakan satu bentuk interaksi sosial yang baik dan satu agama dengan agama
87 Alwi Shihab, Islam inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam beragama, Bandung, Mizan,
1997, Hal. 39
88 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer: Menuju Dialog antar Agama, yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2001, Hal. 151
82
yang lainnya tidak pernah saling tuding menuding maupun saling jelek-menjelekan.89
Dialog antar agama sebenarnya tidak hanya sebatas pada individu beragama
dan firqah di dalam agama, tetapi dialog yang telah menjelma menjadi kesadaran
keberagamaan yang tidak hanya peduli pada umat sendiri, tetapi juga ummat
beragama lain yang hidup sebagai tetangga dan saudara. Islam tidak boleh
memonopoli “Tuhan”, oleh karena itu ummat Islam memiliki kewajiban moral (moral
kritis dan transformatif yang mendukung penguatan terhadap nilai-nilai dan civil
society.
Menurut KH. Zaenal Arifin konteks dialog dalam Islam kita dapat merujuk
Allah menerangkan secara naratif dan deskriptif tentang dialog. Misalkan dalam surat
al-Baqarah, isi dan subtansi dialog antara Allah dengan Malaikat adalah bahwa Allah
ingin menjadikan dan menciptakan mahluk baru yang bernama manusia. Sedangkan
di bagian surat al-Baqarah 142, surat Ali-Imran ayat 110 dan surat Al-Hujurat ayat
83
Begitu juga dengan ajaran Kristen, menurut bapak Yosiman Endong salah satu
dari Majlis Gereja Pusaka. Beliau berpendapat dalam ajaran Kristus terdapat apa yang
dinamakan dengan ajaran “kasih”, di mana ajaran kasih ini harus diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran ini, tidak hanya untuk orang Kristen saja akan
tetapi ajaran ini untuk umat manusia secara umum. Lebih jauh bapak Yosiman
Endong menjelaskan bahwa ajaran kasih ini akan melahirkan satu kesalehan sosial, di
mana sesorang akan saling menghormati dan menghargai terhadap orang lain ataupun
Dialog yang pruduktif tidak akan dapat terwujud jika masing-masing pihak tidak mau
membuka diri dan saling memberi dan menerima secara sukarela dan antusias.
84