Anda di halaman 1dari 28

BAB IV

ANALISIS MENGENAI MODEL INTERAKSI SOSIAL MENDUKUNG

TERCIPTANYA KERUKUNAN UMAT BERBEDA AGAMA;

Studi kasus di desa Sindangjaya kecamtan Ciranjang kabupaten Cianjur

A. Proses terjadinya interaksi sosial penganut Islam dan Kristen di desa

Sindangjaya kecamatan Ciranjang kabupaten Cianjur.

Desa Sindangjaya pada mulanya merupakan tanah yang tidak bertuan atau

disebut “leuweung geledegan”. Dalam perkembangan selanjutnya Sindangjaya

berasal dari daerah yang disebut “Gunung Halu”, yang terdiri dari empat desa yang

sekarang sudah dipecah oleh pemerintah, sebelah utara Desa Cikidang Bayabang,

sebelah selatan Desa Karangwangi, sebelah barat desa Sindangsari dan sebelah timur

Desa Kertajaya.

Pada tahun 1838 masa penjajahan Belanda. Sindangjaya merupakan salah satu

daerah kekuasan Belanda melalui kekuasaan tuan tanah (Nederlandsch Indie). Pada

waktu itu, daerah ini sudah dimasuki oleh beberapa orang yang beragama Islam, akan

tetapi mereka belum menetap. Salah satunya adalah Ama Santri yang pertama kali

membuka “serang”, dan sekaligus orang pertama yang memperkenalkan daerah ini

terhadap orang-orang yang kemudian membuka lahan pertanian. Nama Sindangjaya

berasal dari Girijaya yang dulunya masih satu dengan Gunung Halu. Nama

Sindangjaya sendiri diperkenalkan oleh Ama Wirat yang kemudian dikembangkan

oleh R. Dadang dan sampai sekarang nama Sindangjaya tetap dipakai.

57
Sejalan dengan pembukaan lahan di daerah Sindangjaya oleh para takoh dan

pemeluk Islam. Daerah sebelah timur Sindangjaya adalah Calincing, Palalangon dan

Rawa Selang. Daerah Calincing pertama kali dibuka oleh bapak Ruminah, yang pada

waktu itu sudah memeluk Islam.58 Daerah Palalangon pada waktu itu juga sudah

dihuni oleh orang Kristen, sedangkan daerah Rawaselang masih berupa hutan

belantara yang belum dihuni oleh siapapun. Masuknya Kristen di Rawa Selang,

karena mereka pindah dari Cikembar Sukabumi. Menurut cerita para pendiri Gereja

Pusaka, perpindahan mereka ke Rawa Selang dikarenakan mereka diusir oleh tuan

tanah yang bernama Padri (Bangsa Belanda), pada tanggal 13 Juni 1903 mereka

menemukan Rawa Selang yang kemudian dijadikan tempat tinggal mereka. Pada

waktu itu hanya 66 orang yang pindah dari Cikembar ke Rawa Selang yang semuanya

para pemeluk agama Kristen.59 Oleh sebab itu sampai sekarang pada tanggal 13 Juni

para pemeluk agama Kristen kerasulan Pusaka memperingatinya sebagai hari

bersejarah dan patut diingat o1eh semua anggota gereja Pusaka.

Menurut bapak Abung Gapi, juru tulis desa Sindangjaya, orang-orang Kristen

yang ada di Sindangjaya selain berasal dari daerah Cikembar, mereka juga ada yang

berasal dari daerah Cirebon dan Depok. Adapun kepemelukan agama Kristen oleh

orang-orang sunda tidak terlepas dari peran Zending disetiap daerah (istilah untuk

58 Menurut para tokoh setempat, penyebaran agama Islam berbarengan dengan pembukaan
lahan hutan menjadi pemukiman pertanian. Para tokoh Islam yang mempunyai murid kemudian
perjuangnnya dalam melawan penjajah mapun menyebarkan agama Islam diteruskan oleh muridnya
seperti, B.C Aslam, B.C Aci, Karhi, Tardi dan Tarmidi yang semuanya menjadi kyai setempat. Aki Pai
dan Nopelus Machasan dalam wawancara pribadi, Cianjur, 10 September 2007.
59 Dalam buku sejarah singkat gereja kerasulan pusaka yang disusun oleh rasul Mardi
Machasan, Rawa Selang, 8 Juni 1989

58
badan penginjilan protestan). Salahsatu Zending yang menyebarkan pekabaran injil di

Cianjur adalah C.J. Albers yang pindah dari daerah Cirebon. Adapun penduduk etnis

pribumi yang pertama kali di baptis di Cianjur adalah sepasang suami-isteri bernama

Ismail dan Murti terjadi pada 26 Desember 1863.60

Pada paruh tahun 40-an sampai tahun 60-an para penduduk desa Sindangjaya

sudah bercampur baur dalam berbagai hal terutama dalam kehidupan sosial.

Perjumpaan antara Islam dan Kristen menjadi harmonis karena mereka merasa

senasib, disebabkan pula pada paruh tahun-tahun tersebut, masyarakat sedang

merasakan kesusahan yang sangat luar biasa. Perpindahan tangan penjajah dari

Belanda ke tangan Jepang, sampai dengan menyerahnya Jepang ke tangan sekutu

masih menyisakan luka yang begitu dalam. Terlebih lagi masyarakat disibukkan

dengan adanya gerombolan DI/TII yang merupakan gerakan sparatis Islam yang

dirancang oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1905-1962). Pada intinya,

gerakan ini ingin mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan syariat Islam.61

Gerakan ini tidak ada bedanya dengan tangan para penjajah yang menyusahkan

masyarakat dan membuat masyarakat merasa gelisah, lagi-lagi pertumpahan darah

menjadi jalan penyelesaian. Menurut bapak Yusuf bin Osip Sobari yang pada waktu

meletusnya gerombolan DI/TII, bapak Osip menjabat sebagai kepala desa Gunung

Halu. Sindangjaya pada waktu itu menjadi daerah operasi para gerombolan DI/TII,

mereka menganggap bahwa keberadaan Kristen di Sindangjaya menjadi alasan

60 Lihat dalam sejarah gereja Kristen pasundan wikepedia.com


61 Untuk lebih jelasnya lihat karya C. Van Dijk, darul Islam; sebuah pemberontakan, (terj.),
Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, cet. Ke-4 1995, Hal. 1

59
mereka untuk membinasakannya. Dengan keberanian Bapak Osip dan masyarakat

Sindangjaya yang menganut Islam maupun Kristen mereka bersama-sama melawan

dan menentang keberadaan gerombolan DI/TII didaerahnya. Semangat kekeluargaan

dan saling memiliki satu sama lain menjadikan Sindangjaya bebas dari para

gerombolan DI/TII pada tahun 1962.62

Perjuangan masyarakat Sindangjaya tidak hanya berhenti di situ, mereka juga

disibukkan dengan kelahiran PKI. Mereka menganggap kelahiran PKI sebagai

ancaman yang sangat membahayakan dan meresahkan masyarakat. Secara geografis

keadaan tanah Desa Sindangjaya mempengaruhi kehidupan perekonomian mayarakat

yang secara umum sebagai petani. Dengan dalih pembentukan perkumpulan para

petani PKI telah mengelabuhi masyarakat, sampai pada pengangkutan para petani

kedaerah Monas Jakarta dengan dalih rekreasi atau liburan tanpa dipungut biaya.

Padahal para petani mau dijadikan anggota PKI dengan paksa dan mereka harus cap

jempol atau tandatangan.63

Keberlangsungan kehidupan keberagamaan mereka yang berbeda tidak

menjadikan kehidupan sosial yang berbeda. Sikap ini terlihat ketika mereka melawan

penjajah dan gerakan-gerakan sparatis ketika negara Indonesia mengalami

goncangan-goncangan yang sangat hebat dari dalam maupun luar. Bahkan mereka

bersatu dalam satu barisan kekuatan masyarakat yang cinta terhadap tanah air dengan

semangat juang yang pantang menyerah dengan satu cita-cita bersama yaitu keluar

62 Yusup bin Osip Sobari, wawancara Pribadi, Cianjur, 21 September 2007


63 Ki Adom, wawancara pribadi, Cianjur, 16 September 2007

60
dari tirani kekerasan dan penjajahan.

Sebagaimana telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, bahwa agama

Kristen dan agama Islam telah menjalin hubungan yang cukup panjang selama lebih

dari satu abad, yang ditandai dengan masa-masa konflik dan dan integrasi. Hubungan

kedua agama ini (Islam dan Kristen) di desa Sindangjaya didominasi oleh sikap

saling memahami dan sikap persahabatan ketimbang sikap permusuhan, kebencian

dan kecurigaan. Seperti diketahui pula, hubungan dua tradisi keimanan ini (Islam dan

Kristen) memiliki hubungan yang ambivalen. Artinya hubungan ini bisa menjadi

konflik atu pertentangan, tapi pada sisi yang lain kedua tradisi keimanan ini bisa

menjalin kerjasama yang produktif. Hal ini senada dengan penjelasan bapak Nopelus

Marchasan sebagai Rasul Gereja Pusaka, ia berpendapat bahwa masyarakat desa

Sindangjaya (Muslim dan Kristen) harus memegang teguh ajaran agamanya masing-

masing dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan sikap saling

menghormati, kasih dan mengasihi sesama umat manusia yang membutuhkan

pertolongan orang lain.64

B. Pola kerukunan umat beragama yang berkembang antara Islam dan

Kristen di desa Sindangjaya kecamatan Ciranjang kabupaten Cianjur.

Kondisi aktual dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa Sindangjaya

terlihat pada semua suasana kehidupan sosial sehari-harinya. Mereka hidup rukun

berdampingan satu dengan yang lainnya walaupun mereka berbeda agama. Dalam

64 Nopelus Marchasan, wawancara pribadi, Cianjur, 10 September 2007

61
kaitannya dengan pola kerukunan umat beragama masyarakat Sindangjaya secara

umum mempunyai pola kerukunan yang sangat dinamis. Hal ini terlihat dari pola

hubungan keluarga, sosial keagamaan, pola hubungan sosial, ekonomi masyarakat,

serta pola hubungan sosial adat kawin campur, yang mana hal-hal tersebut akan

menjelaskan bagaimana pola kerukunan umat beragama yang terjadi di desa

Sindangjaya.

1. Dalam Keluarga

Keluarga merupakan struktur sosial terkecil. Prilaku sosial masyarakat erat

sekali dengan keluarga. Sebuah keluarga yang bahagia cenderung tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang meresahkan dimasyarakat. Oleh karena itu salahsatu

barometer suksesnya kerukunan umat beragama adalah bagaimana kerukunan

tersebut dipraktekkan dalam keluarga. Terutama dalam keluarga yang anggotanya

yang menganut lebih dari satu agama.

Dalam kasus di desa Sindangjaya terdapat beberapa keluarga yang anggota

keluarga memeluk agama Kristen dan Islam. Contoh pada keluarga ibu Tati yang

mana orang tuanya menganut agama Kristen, sedangkan ibu Tati sendiri dan adik

ketiganya menganut agama Islam dan adik keduanya dan keempatnya beragama

Kristen.65

Dari temuan penulis ditemukan bahwa perbedaan agama dalam keluarga di

desa Sindangjaya tidak menjadi masalah yang signifikan. Mereka bisa menerima jika

65 Ibu Tati, Wawancara Pribadi, Cianjur, 26 September, 2007

62
seandainya anggota keluarganya beragama lain. Bagi mereka perbedaan dalam

beragama bukan sesuatu yang dapat melahirkan pertengkaran dalam keluarga apalagi

berpecahnya anggota keluarga. Sebab semua agama menurutnya sama-sama

mengandang ajaran ketuhanan dan mengajarkan kebaikan. Begitupula dalam

hubungan perkawinan dan kekerabatan, tidak ada diskriminasi bagi keluarga laki-laki

maupun perempuan.

2. Dalam Masalah Perkawinan Beda Agama

(kawin campur)

Walaupun banyak agama tidak memperbolehkan umatnya kawin dengan

orang yang berbeda agama, namun dalam realitas khususnya di desa Sindangjaya

masih banyak terajadi perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena masyarakat

Sindangjaya dalam hal ini sangat menitik beratkan kepada individu yang akan

menikah, dengan kata lain bahwa perkawinan yang akan berlangsung harus masuk

pada salah satu agama. Contoh yang paling sering penulis temukan ialah perkawinan

antara orang Muslim dan Kristen, ataupun sebaliknya.

Penulis melihat bahwa adanya perkawinan campur ini terkait dengan

perubahan struktur keluarga yang mana perubahan struktur keluarga berupa proses

kontraksi keluarga yaitu proses perubahan dari keluarga luas menjadi keluarga inti

(batih). Proses kontraksi keluarga ini memunculkan otonomi dan liberalisasi keluarga

inti yang lebih kuat. Adanya otonomi keluarga menunjukkan tingkat kemandirian

keluarga inti yang tinggi. Anggota keluarga inti lebih mempunyai kebebasan dalam

63
memutuskan semua hal yang berkaitan dengan persoalan intern keluarga termasuk

pilihan dalam hal agama anggota keluarga tersebut.

Semakin kuatnya otonomi dan munculnya liberalisasi keluarga inti akibat

proses kontraksi keluarga dapat menjadi penyebab terjadinya perkawinan beda

agama. Sebab dari faktor tersebut mengindikasikan juga adanya kontrol sosial yang

melemah dari kerabat luas terhadap anggota keluarga. Hal ini pada akhirnya

memberikan keluluasaan bagi anggota keluarga menentukan pasangan perkawinan

tanpa terpaku dengan nilai-nilai dan terjadi anutan dari pihak keluarga, terutama nilai

keberagamaan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama setempat dikemukakan

bahwa perkawinan beda agama pada dasarnya tidak ada. Yang kemudian berkembang

di masyarakat, perkawinan itu harus didasarkan pada salah satu agama yang dianut

oleh salah seorang pasangan tersebut. Misalkan perempuannya beragama Islam dan

laki-lakinya beragama Kristen, salah satu dari mereka harus rela meninggalkan agama

yang dianut dan pindah agama. Ini pun terjadi bisaanya kalau pasangan itu didasarkan

cinta sama cinta. Di lain pihak perkawinan campur ini merupakan sebagai ajang

untuk saling menghargai perbedaan di antara kedua belah pihak.66

Menurut mereka masalah perkawinan lintas agama atau perkawinan campur

adalah hak asasi setiap munusia yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun, karena

manusia mmmpunyai kebebasan untuk memeluk agama dan menentukan jalan

66 K.H, Zaenal Aripin, Ketua MUI desa Sindangjaya dan sekaligus pimpinan Ponpes Al-Huda,
Wawancara Pribadi, Cianjur, 29 September 2007

64
hidupnya sendiri.

Perkawinan campur secara otomatis mejadikan salah seorang berpindah

agama atau lebih dikenal dengan konversi. Konversi adalah suatu tindakan seseorang

atau kelompok masuk atau berpindah kepada keyakinan yang sebelumnya

berlawanan. Konversi juga dapat diberi deskripsi sebagai suatu tindakan dengan mana

seseorang atau kelompok mengadakan perubahan yang mendalam mengenai

pengalaman dan tingkat keterlibatannya dalam agama ketingkat yang lebih tinggi.67

Di desa Sindangjaya ini perpindahan agama kerap kali terjadi, menurut data

yang penulis dapatkan bahwa perkawinan lintas agama dalam hal ini selalu

memunculkan konversi, baik dari Islam ke Kristen maupun dari Kristen ke Islam.

Dalam hal ini, perkawinan yang mengarah kepada konversi agama seperti bapak Lili

Kosim yang tadinya beragama Kristiani berpindah agama menjadi muslim ketika

menikah dengan ibu Tati. Sebenarnya dalam hal ini, masih banyak kasus-kasus

pernikahan yang hampir sama.

Menurut data yang ada, konversi agama kebanyakan dari Kristen ke Islam.

Data kependudukan agama Kristen pada tahun 2004 sebanyak 1300 jiwa pada data

tahun 2006 menjadi berkurang menjadi 1115 jiwa. Hal tersebut dikuat oleh informasi

yang didapatkan penulis dari juru tulis desa Sindangjaya yang menyebutkan

setidaknya ada seratus orang lebih masyarakat Kristen berpindah agama selama kurun

waktu dua tahun belakangan.68

67 Max Heirich, Change of heart; A test of Some Wedely Held Theories about Religious
Conversion, dalam American Journal of sociology, Vol. 83, Hal. 654
68 Abung Gapi, juru tulis desa Sindangjaya, wawancara pribadi, Cianjur 20 September 2007

65
Adapun perkawinan yang berlangsung selama ini di desa Sindangjaya,

menurut bapak Kades Didin Supriatna semua berjalan dengan jalur keagamaan yang

benar. Artinya semua penduduk Sindangjaya dalam hal pernikahan tidak

memberatkan kepada seseorang yang berbeda agama untuk melangsungkan

pernikahan, asalkan salah satu dari mereka merelakan untuk pindah keyakinan.69

Tradisi seperti ini dalam masyarakat Sindangjaya sudah terjadi puluhan tahun dan

sampai sekarang masih terjadi.

3. Dalam Bidang Sosial Keagamaan

Masing-masing umat beragama yang ada di desa Sindangjaya menjalankan

ajaran agama yang mana telah digariskan oleh agamanya masing-masing, baik ajaran

ritual perorangan, kelompok, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pola sosial

keagaman yang secara nyata membentuk interaksi sosial yang harmonis serta

komunikusi sosial selalu terjadi antara pemeluk agama yang berbeda.

Masyarakat Sindangjaya memandang bahwa perbedaan paham keagamaan

adalah urusan individu dengan Tuhan. Keyakinan yang mereka pegang dan masalah

keimanan tidak bisa dilihat oleh orang lain. kebebasan dalam hal memeluk agama

sangat dijunjung tinggi. Serta perbedaan agama tidak menjadi jurang pemisah yang

suram bagi mereka dalam berinteraksi antar pemeluk agama yang berbeda. Seperti

halnya keluarga bapak Agus, yang mana ia memiliki anggota keluarga yang berbeda

agama. Bapak Agus sendiri menganut agama Kristen, istrinya beragama Islam dan

69 Didin Supriatna, Kepala Desa Sindangjaya , Wawancara pribadi, Cianjur 20 September 2007

66
anak perempuannya menikah dan masuk Islam. Dalam keluarga ini tercipta hubungan

yang harmonis, mereka menganggap perbedaan agama dalam keluarga itu adalah

sesuatu hal yang wajar, kebebasan agama dan keyakinan terhadap suatu agama tidak

bisa dipaksakan.70

Dari contoh di atas jelas bahwa perbedaan agama dalam keluarga tidaklah

menjadi api permusuhan, tetapi mereka menyadari benar perbedaan itu harus dibina

dan tidak saling menggangu dalam beribadah. Secara formal pola hubungan sosial

keagamaan ini terlihat dengan adanya satu bentuk dialog antara pemuka agama

ditingkatan desa seperti MUI dengan MG (majlis gereja), yang mana mereka

mengakomodir segala bentuk permasalahan yang berkembang di masyarakat, terlebih

lagi mereka membina pemeluk agamanya masing-masing.71

Kita tahu bahwa tradisi keberagamaan yang mengarah pada adanya

keterbukaan secara teologi sebenarnya terdapat tradisi spiritualitas yang

memungkinkan adanya titik temu universal agama-agama. Oleh sebab itu, sebagai

salah satu jalan keluar dari problem klasik ini haruslah ada perbaharuan sikap

beragama.72

Agama-agama menurut hemat saya tidak bisa melepaskan diri pada ideology

yang dibawanya, lebih-lebih agama-agama yang masuk pada rumpun Abraham, dan

bisa juga disebut Abrahamic religions (Yahudi, Kristen, Islam). Ketiga rampun agama

70 Agus, Wawancara Pribadi, Cianjur, 20 September 2007


71 lihat dalam lampiran transkip wawancara dengan KH. Zaenal Aripin dan Dede Badri
Assayuti, S.Ag, Cianjur, 29 September 2007
72 Eric J. Sharpe, The goal of inter religious Dialogue, dalam Jhon Hick (ed), Truth and
Dialogue, New York, Sheldon Press, 1974, halamn 77.

67
ini memiliki ideology sendiri yang kita sebut sebagai missionery ideology, yang tak

jarang membawa akibat bentrokan-bentrokan di antara ketiganya, juga dengan

agama-agama di luar tiga rumpun agama semitik ini.73

Sesungguhnya bukan persoalan mudah untuk membedakan paham teologi

yang telah mengakar sebagai sebuah sistem kenyakinan umat beragama. Jelas bahwa

sistem teologi tidak semua salah, tetapi jika pada akhirnya antara penganut agama

satu dengan yang lainnya senantiasa “bermusuhan” dan saling mengintip, akhirnya

membuat orang beragama seakan-akan harus senantiasa bermusuhan dan berpecah

belah. Agama kemudian tidak lagi menjadi integrating faktors, tetapi menjadi

disintegrating factors. Ini yang sesungguhnya berbahaya jika terus berkembang di

tengah-tengah masyarakat kita.

4. Dalam bidang sosial, ekonomi Masyarakat

Masyarakat desa Sindangjaya merupakan tipe masyarakat yang berbentuk

paguyuban (gemeinschaft) yang dikembangkan oleh ferdinand Tonnies. Menurut

Tonnies paguyuban adalah kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat

oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal.74 Dalam

masyarakat Sindangjaya bentuk paguyuban biasanya dilihat dari sistem kekerabatan,

keluarga dan pola pemukiman yang berdekatan.

Pola sosial kemasyarakatan yang berkembang di desa Sindangjaya secara

73 Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Bandung, Mizan, 2001, Hal. 72-119


74 Ferdinand Tonnies, Gemeinschaft and Gesselchaft yang dikutip dalam bunga setangkai
sosiologi, Hal. 461..

68
nyata telah menunjukkan pada kehidupan sosial yang terintegrasi. Hal ini dibuktikan

bahwa selama lebih satu abad masyarakat Sindangjaya hidup rukun dan damai, saling

menghormati berasaskan silih asah, silih asih dan silih asuh.75 Kehidupan yang kian

terjaga tercipta karena adanya keterikatan antara norma yang menjadi acuan

masyarakat dengan nilai-nilai agama maupun nilai adat atau kebudayaan yang

kemudian menjelma dalam sikap dan cara kehidupan sehari-hari.

Dalam masalah perekonomian, baik pemeluk Islam maupun Kristen didesa

Sindangjaya umumnya berpropesi sebagai petani. Oleh karena itu tidak terdapat

kesenjangan kesejahteraan antar pemeluk agama. Masyarakat petani waktunya lebih

banyak digunakan untuk mengelola tanah, nilai lebihnya karena dengan begitu

mereka dapat saling membantu, saling bekerjasama dan tolong menolong dalam

menggarap lahan pertaniananya. Para petani yang beragama Islam bekerja kepada

pemilik tanah yang beragama Kristen, sebaliknya petani yang beragama Kristen

bekerja kepada pemilik tanah yang beragama Islam. Dengan demikinan sikap saling

bekerjasama dan tolong menolong tidak dapat diragukan lagi kehadirannya di

masyarakat Sindangjaya.

Dalam bentuk kerukunan bertetangga antara pemeluk agama, tercermin oleh

tempat tinggal mereka secara georafis yang berdekatan dan becampur baur antara

penduduk muslim dan Kristen. Bercampur baurnya penduduk beda agama ini

mencapai 9 RT.76 Misalnya, daerah Rawa Selang RT 04/RW 05 daerah ini mempunyai
75 Untuk lebih jelas bisa dilihat dalam buku yang membahas tentang kebudayaan jawa barat,
salah satunya adalah bukunya Moh. E, Hasim, Rupa-Rupa Adat Sunda Jaman Ayeuna, Bandung, PT.
Sumur Bandung, 1984
76 Dari data dilapangan ke sembilan RT itu sebagai berikut; RT 01/06 masyarakatnya

69
keunikan dan pluralitas agama sampai sekup yang terkecil yaitu keluarga. Dalam satu

keluarga memungkinkan ada perbedaan agama satu dengan yang lainnya. Dari segi

bertetangga mereka selalu mencerminkan hubungan yang baik. Hal ini, tidak lepas

dan peranan seorang tokoh agama maupun masyarakat, sehingga menciptakan

kehidupan masyarakat atau bertetangga yang harmonis, tidak diwarnai oleh tindakan-

tindakan yang sifatnya menghasut atau menghina agama lain.

Masyarakat Sindangjaya mempunyai solidaritas yang tinggi, baik itu dari segi

keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Solidaritas ini dibangun dengan sikap dan

interaksi yang baik di antara mereka. Misalkan diadakan kerjabakti pembuatan jalan

dan tempat ibadah oleh pihak RW/RT, semua masyarakat yang berada di lingkungan

setempat, Islam maupun Kristen ikut berpartisipasi dalam kerja bakti tersebut.

Dari pemaparan diatas terlihat bahwa masyarakat desa Sindangjaya lebih

mengedepankan sikap kooperatif, akomodatif dan akulturatif dalam kehidupan sehari-

harinya. Adanya beragam perbedaan baik yang disebabkan oleh tingkat perbedaan

kepenganutan agama, etnis, ekonomi, dan budaya tidak menyeret mereka kedalam

pertentangan, tetapi sebaliknya mempererat kerukunan agama yang dibangun selama

seabad lebih.

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerukunan umat beragama antara

Islam dan Kristen di desa Sindangjaya kecamatan Ciranjang kabupaten

campuran-daerah Rawa Selang, RT 02/06 dan RT 01/06 masyarakatnya menganut agama Kristen
Protestan, sedangkan RW 05 terdiri dari 5 RT masyaraktanya campuran dan RT 01/07 daerah Pasir
Saar masyarakatnya campuran, wawancara pribadi dengan bapak Abung Gapi jurutulis desa
Sindangjaya, Cianjur, 20 September 2007

70
Cianjur.

Kerukuanan di desa Sindangjaya didorong oleh beberapa faktor, yaitu: ikatan

kekeluargaan, tradisi masyaraka, kesadaran beragama, gotong royong, rasa saling

menghormati dan menghargai, serta dialog agama.

1. Ikatan kekerabatan

Keluarga sebagai institusi sosial terkecil mempunyai peranan penting dalam

proses alih kebudayaan antar generasi termasuk dalam pengalihan nilai-nilai moral,

toleransi dan pengakuan terhadap perbedaan. Keluarga juga dapat berposisi sebagai

struktur mediasi penting dalam proses sosialisasi nilai-nilai dan ide-ide dari intitusi

Negara (pemerintah) atau masyarakat kepada individu (anggota keluarga)..

Dari hasil temuan di lapangan dapat dikatakan bahwa faktor kekerabatan atau

kekeluargaan ini cukup baik dan kuat di masyarakat Sindangjaya. Dalam hal

kehidupan sosial nampaknya ikatan kekerabatan menjadi faktor penting, ini terlihat

dari interaksi dengan adanya kerjasama saling membantu satu dengan yang lainnya.

Hubungan kekerabatan yang ada di Desa Sindangjaya memiliki hubungan

kekerabatan yang saling bertalian, hal ini memungkinkan satu keturunan keluarga

besar akan memunculkan perbedaan dalam segi beragama atau kenyakinan. Hal ini

adalah salah satu modal masyarakat Sindangjaya dalam rangka untuk

mengembangkan hubungan yang lebih harmonis di tengah-tengah kehidupan

berbangsa dan bermasyarakat. Pengaruh hubungan kekerabatan atau kekeluargaan

sangat terasa, baik dalam bersikap maupun dalam mengembangkan silih asah, silih

71
asih dan silih asuh sangat tertatanam dalam tradisi masyarakat yang tercermin dalam

kerukunan umat beragama di desa Sindangjaya .

Adapaun konfik yang terjadi di Desa Sindangjaya memiliki tensi yang sangat

rendah. Konflik ini bisaanya terjadi antara pribadi yang bermuara pada masalah

keluarga, hal ini bisa diatasi dengan jalur ikatan kekerabatan yang mana menitik

beratkan pada musyawarah untuk menyelesaikan masalahnya, supaya masalah ini

tidak melebar sampai pada tataran sosial kemasyarakatan. Seperti dikemukakan oleh

Unang Firmansyah seorang tokoh pemuda, ia mengatakan bahwa “kita hidup rukun

karena masih satu keturunan, walaupun corak kehidupan yang berbeda, tapi itu tidak

menyurutkan rasa persaudaraan yang begitu lekat, sehingga masalah-masalah yang

timbul dapat diseleseikan dengan jiwa persaudaraan dan musyawarah diantara

mereka”.77

2. Tradisi Masyarakat

Masyarakat desa Sindangjaya mempunyai tradisi keagamaan yang kuat.

Mayoritas pemeluk Islam di Sindangjaya adalah pengikut NU yang terkenal kuat

dalam memegang tradisi agama. Upacara-upacara keagamaan sering digelar semisal

tahlilan, syukuran, rajaban, muludan, tujuh bulanan, dan sebagainya. Begitu pula

umat Kristen di Sindangjaya, mereka juga memiliki kebiasaan unik yang disebut

dengan upacara “Pesta Panen”, Upacara tersebut dilaksanakan ketika selesai musim

panen sebagai rasa syukur atas rejeki yang mereka dapatkan dari hasil bercocok

77 Unang Firmansyah, tokoh pemuda. Wawancara Pribadi, Cianjur 27 September 2007

72
tanam. Acara pesta panen yang paling meriah dilaksanakan setiap bulan Agustus

beretepatan dengan perayaan kemerdekaan Indonesia. Dalam acara yang bernuansa

Sunda Kristen tersebut disuguhkan tarian, musik dan lagu sunda, dan bazar berupa

hasil bumi seperti: beras, sayur, buah-buahan, ikan asin, dsb produk dari masyarakat

Kristen desa Sindangjaya.

Dalam tradisi orang Sunda memiliki kebisaan dalam hal kehidupan

perorangan maupun kelompok yang merekatkan tali persaudaraan yang kuat, mislnya

tradisi “slametan”78 memiliki nilai spritual maupun sosial yang tinggi. Slametan

dalam tradisi orang sunda perlu dilihat dari aspek waktu biasanya dilakukan pada hari

yang bagus secara agama semisal malam Jum’at. Partisipasi orang-orang terdekat

seperti tetangga dan saudara satu keturunan menjadi lebih terlihat. Dalam slametan

orang-orang yang datangpun tidak membedakan dari segi etnis atau agama, acara ini

biasanya ditunjukkan kepada kaum laki-laki. Upacara slametan ini dilakukan

berkaitan dengan niat tuan rumah untuk berbagi kebahagiaan atau atau memohon

do’a sesuatu. Contoh yang paling lumrah adalah ketika seseorang anaknya disunat,

orang tua si anak akan mengadakan slametan dan meminta do’a restu atau

menikahkan anaknya dan memiliki anak yang baru lahir.79

Tradisi upacara slametan, ada nilai-nilai sosial kemasyarakat yang menuju

78 Dalam tulisan Azyumardi Azra, disebut sebagi tardisi kecil atau lokal tradition, yang mana
tradisi ini lahir dari pengaruh-pengaruh Islam dan kebudayaan setempat. Untuk lebih lanjut bisa dilihat
dalam Azyumardi Azra, Konteks berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta, Paramadina,
1999, Hal. 12-44
79 Dapat dilihat dalam buku “Adat Upacara Daerah Jawa Barat”, Proyek Penelitian dan
pencatatan Kebudayaan daerah, (Departemen pendidikan dan Kebudayaan; Pusat Penelitian Sejarah
dan Budaya, 1978/1979)

73
pada kerukunan. Upacara slametan tersebut bisa menjadi mediator atau penghubung

bagi masyarakat yang sedang berselisih. Karena mau tidak mau masyarakat yang

diundang oleh tuan rumah, apalagi mereka berdekatan harus menghadiri acara

tersebut. Dalam kaitannya dengan strata atau status sosial, acara slametan juga

merupakan suatu upaya untuk membawa kebahagiaan si pemilik rumah dengan para

tetangga yang kurang punya oleh karena itu upacara slametan satu peristiwa di mana

tidak membedakan secara status sosial, pendidikan, agama bahkan latar belakang

kebudayaan menjadi satu dalam kebahagian.

Dari penemuan penulis di lapangan, tradisi tersebut mempengaruhi hubungan

dan sosial keagamaan masyarakat kearah pembentukan nilai-nilai sosial yang

harmonis. Hal ini bisa terlihat ketika salah satu agama sedang merayakan hari-hari

besar keagamaan atau salah seorang sedang menyelenggarakan sukuran yang bersifat

ritual keagamaan. Contoh yang paling sering dijumpai di lapangan adalah perayaan

hari besar agama Islam yaitu Idul Fitri, tradisi perayaan di masyarakat Sindangjaya

yang beragama Islam selalu menyedikan ketupat dan macam-macam makanan

terutama makanan berbentuk kue seperli dodol. Masyarakat yang menganut agama

Kristen dalam hal ini mereka sering membuat kue-kue dodol untuk diberikan

kemasyarakat muslim sebagai bentuk penghormatan terhadap perayaan Idul fitri.

Begitupun sebaliknya orang Kristen sedang merayakan hari-hari besar keagaman.

Sikap perang Islam menghormati apa yang sedang dirayakan masyarakat yang

menganut agama Kristen.80

80 R. Endang Juhaendi, Wawancara Pribadi, Cianjur 23 September 2007

74
Tradisi kehidupan beragama itu tidak hanya sebatas menghormati hari-hari

besar keagamaan yang berlainan. Hal lain yang mengarah pada pola hubungan sosial

keagamaan bisa dilihat dari berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat

seperti halnya upacara kematian dan upacara-upacara keagamaan yang bersifat privat.

Dalam hal upacara kematian, tradisi masyarakat Sindangjaya selalu meberikan

bantuan ketika mereka sedang berta’jiah atau dalam bahasa sunda “ngalawat”,

bantuan itu bisa berupa pare/beras, uang dan kebutuhan-kebutuhan yang lainnya.

Menurut kepala dusun II yaitu bapak H. Abdurahman, dalam hal kematian khususnya

orang muslim sudah mempunyai program dari MUI pengajian untuk orang mati.

Pengajian dan selamatan atau tahlilan tidak membebankan kepada pihak keluarga

yang ditinggalkan, bahkan program ini supaya meringankan kepada pihak yang

ditinggalkan dan masyarakat Sindangjaya secara umum melaksanakan tradisi ini

dengan tangan terbuka.81

Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kebersamaan masyarakat dalam hal

perbedaan agama tidak menjadi dis-integrating faktors, tetapi malah menjadi perekat

sosial yang kuat antar umat beragama demi terciptanya kerukunan.

3. Kesadaran Hidup Beragama

Dari hasil wawancara dengan tokoh-tokoh agama setempat, salah satunya

dengan Bapak Rudi Jamaluddin selaku sekretaris MUI desa Sindangjaya, dijelaskan

bahwa di dalam masyarakat Sindangjaya tumbuh dengan baik kesadaran beragama di

81 H. Abdurahman, Wawancara Pribadi, Cianjur 29 September 2007

75
tiap-tiap agama baik Islam maupun Kristen. Kesadaran agama itu tumbuh

dikarenakan masing-masing agama sudah bisa memahami dan menghayati agama

yang mereka peluk, serta selalu berusaha menghormati ajaran agama lain dalam

kehidupan bermasyarakat. Kesadaran beragama tidak semata-mata hidup di tengah-

tengah masyarakat, tetapi kesadaran beragama hidup dikarenakan melalui proses

yang begitu panjang dan rumit. Oleh sebab itu kesadaran setiap pemeluk agama

terhadap agama yang diyakininya dan sadar dengan perbedaan yang ada di

sekelilingnya adalah salah satu faktor yang dapat menjamin keberlangsungan dan

terciptanya kerukunan umat beragama.

Misalkan dalam hal ini Kunto Wijoyo menyebutnya dengan obyektifasi di

mana masin-masing agama harus menterjemahkan cica-cita dalam terminologi

obyektif sehingga dapat diterima oleh semua pihak.82 Bagi Kuntowijoyo,

obyektifikasi adalah jalan tengah bagi konflik ideologis yang sering kali menyeruak

kepermukaan. Obyektifikasi merupakan suatu perilaku atau proses untuk

mengobyektifkan suatu gagasan abstrak sehingga menjadi bersifat eksternal dari

pikiran subyek. Dengan demikian gagasan tersebut memperoleh status obyektif

sebagai eksistensi yang berdiri sendiri. Dengan kata lain obyektifikasi dalam

masyarakat plural seharusnya mereka sebisa mungkin untuk menerjemahkan nilai-

nilai internal agama yang mereka peluk kedalam katagori obyektif yang berdiri

sendiri ke dalam masyarakat.

82 Kuntowijoyo, Obyektifikasi; Agenda Reformasi Ideologi, Kompas, 13 Juli 1999 dan Agenda
Umat Islam I dan II, Republika, 15 dan 16 Mei 1999.

76
Masyarakat Sindangjaya secara umum sudah mengerti pentingnya kesadaran

agama dengan pemahaman keagamaan yang tidak lagi bersifat eksklusif. Interaksi

dan komunikasi dimungkinkan untuk dapat terjalin dengan baik tatkala terdapat suatu

pemahaman yang sebisa mungkin dapat diselesaikan dengan musyawarah antara

pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini. Beberapa tahun kebelakang di Desa

Sindangjaya ada beberapa konflik sara seperti pada kasus program bimbingan belajar

(Bimbi) 83 yang diselengarakan oleh team pelayanan sunda (TPS) Saung Saloom di

daerah palalangon. TPS saung saloom tersebut menyelengarakan Bimbel Bahasa

Inggris, Kursus Komputer Anak dan dewasa, Kursus Tari Sunda, dan Pelatihan

Ketrampilan. Ketika masalah ini muncul kepermukan masyarakat Sindangjaya sebisa

mungkin untuk menahan diri dan berkomunikasi dengan para tokoh agama. Menurut

beberapa sumber yang ditemukan di lapangan oleh penulis ternyata konflik atau

masalah sara maupun kemasyarakatan secara umum itu dilakukan oleh orang

pendatang yang tidak paham dengan adat-istiadat dan nilai-nilai keagamaan yang

berkembang di desa Sindangjaya.

Agama sebagai bagian penting dari kehidupan sosial selayaknya memberikan

perhatian yang serius pada masalah-masalah yang berkembang di masyarakat.

Sehingga interaksi antar umat beragama benar-benar memberikan kontribusi nyata

bagi peningkatan harkat hidup manusia sekaligus menciptakan kehidupan yang aman,

nyaman dan tentram terhadap masyarakat.

83 Bimbi ini didirikan oleh orang Kristen pendatang di desa Sindangjaya untuk membuat
pelajaran tambahana kepada anak-anak Kristen. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya mereka juga
merekrut anak-anak muslim dan mereka harus mengikuti ritual-ritual kristen.

77
4. Budaya Gotong Royong

Sejak lahir manusia memerlukan bantuan dan membutuhkan kerjasama

dengan orang lain. Karena kondisi seperti itulah manusia harus melatih dari sejak dini

untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain dan bekerjasama dalam

menyelesaikan suatu masalah atau pekerjaan. Sejak berabad-abad bangsa Indonesia

selalu menggunakan asas gotong-royong yang bersifat kekeluargaan dalam setiap

pekerjaan.

Gotong-royong mengandung arti bahwa sesuatu usaha atau pekerjaan yang

dilakukan tanpa pamrih dan secara sukarela oleh semua warga menurut batas

kemampuannya masing-masing. Prinsip hidup seperti ini tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat Indonesia sejak berabad-abad lamanya terutama dalam masyarakat

desa. Sikap gotong royong seperti inilah yang terlihat di masyarakat Sindangjaya,

yang mana gotong royong menjadi salah satu tradisi masyarakat setempat. Gotong

royong merupakan salah satu faktor pendorong terwujudnya sikap dan keadaan rukun

satu dengan yang lainnya.

Dari hasil observasi dan wawancara langsung dengan masyarakat, penulis

menemukan bahwa gotong royong merupakan salah satu elemen yang berkembang di

masyarakat desa Sindangjaya selama puluhan tahun, hal ini juga yang skaligus

menyebabkan mereka dapat bersikap rukun diantara masyarakat yang berbeda agama.

Koentjaraningrat dalam hal ini mengatakan bahwa:

“Di Indonesia dan khususnya di Jawa aktivitas gotong royong bisaanya tidak

78
hanya menyangkut Lapangan bercocok tanam saja, tetapi juga menyangkut
kehidupan sosial lainnyu seperti: 1. Dalam kematian, sakit atau kecelakaan, di
mana keluarga yang sedang menderita itu dapat tertolong, berupa tenaga dan
benda dari tetangga-tetangganya dan orang-orang lain sedesa. 2. Dalam hal
pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah,
mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali
sumur dan sebagainya, untuk pemilik rumah dapat memberi bantuan dari
tetangga-tetangganya yang dekat dengan memberi jamuan makanan. 3. Dalam
hal pesta-pesta, misalnya pada waktu mengawinkan anaknya, bantuan tidak
hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari tetangga-
tetangganya untuk persiapan dan penyelenggaraan pestanya. 4. Dalam
mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam
masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan dan irigasi, bangunan
umum dan sebagainya untuk mana penduduk desa dapat tergerak untuk
bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.”84

Dari pemaparan Koentjaranigrat di atas jelas dalam masyarakat desa

mempunyai semangat gotong royong yang tinggi dan masih banyak pekerjaan-

pekerjaan yang dilakukan bersama-sama, misalkan memperbaiki rumah dan

membersihkan jalan. Pekerjaan bersama ini tidak menghasilkan upah, mereka

menganggap bahwa nilai kebersamaan tersebut lebih tinggi dari pada uang.

Sedangkan bagi masyarakat kota prinsip gotong royong sudah kian pudar dan hilang

dari kehidupan masyarakat yang bersifat individualistik.

Seperti yang dikatan oleh bapak Dede Badri S.Ag, masyarakat Sindangjaya

secara umum masih memegang teguh nilai-nilai dan adat-istiadat nenek moyang

secara utuh. Seperti halnya gotong royong, masyarakat Sindangjaya selalu

mengerjakan semua hal dalam bentuk kerjasama baik yang bersifat pribadi maupun

sosial kemasyarakatan. Dari pandangan inilah timbul suatu kesadaran bahwa tidak

84 Koentjaraningrat, Bunga Rampai Antropologi Terapan; Masalah-Masalah


Pembangunan,Jakarta, LP3ES, 1982

79
boleh hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok kita sendiri. Oleh karena itu,

perlu ditumbuhkan suatu kesadaran dan tanggung jawab terhadap kepentingan

bersama.85

5. Toleransi Agama

Untuk mengembangkan kehidupan beragama diperlukan suasana kehidupan

yang tertib, aman dan rukun. Kekhusuan beribadat tidak mungkin terwujud dalam

suasana yang tidak aman. Di sinilah letak pentingnya kerukunan, ketertiban, dan

keamanan dalam menunjang kehidupan beragama.

Masyarakat Sindangjaya untuk menciptakan suasana yang tertib, aman dan

rukun dalam kehidupan umat beragama selalu memupuk sikap saling menghormati

dan menghargai antar sesama pemeluk umat beragama yang berbeda. Hal ini terlihat

dari berbagai sikap atau prilaku seperti, mengembangkan perbuatan-perbuatan luhur

yang mencerminkan sikap saling menghormati dan menghargai di antara sesama

pemeluk agama dan tidak memaksakan suatu agama kepada orang lain. Hal ini

disebabkan masalah keyakinan beragama merupakan masalah pribadi yang

menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan yang dipercayainya.

Menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan

kepercayaannya masing-masing.86

Dengan prilaku tersebut, kehidupan beragama yang tertib, aman, dan rukun

85 Dede Badri, wawancara Pribadi, 29 Sepetember 2007


86 M. Dahlan adalah babinsa desa Sindangjaya, wawancara pribadi, Cianjur, 23 September
2007

80
akan tercapai. Sikap egois pada dasarnya merupakan penyakit manusia yang

senantiasa mementingkan dirinya sendiri dan menempatkan dirinya pada kedudukan

yang paling tinggi dengan tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Sikap selalu

menganggap dirinya sebagai yang terpenting, terpandai, terpercaya atau paling

berpengaruh, merupakan sikap egois yang perlu dihindari. Sikap egois akan

mengakibatkan orang lain selalu merasa direndahkan. Hal tersebut, dapat

menimbulkan kebencian orang lain. Dengan berkembangnya kebencian, suasana

kerukunan dalam kehidupan akan lenyap.

Dengan selalu menghormati dan menghargai, masyarakat Sindangjaya sudah

seratus tahun lebih mereka berada dalam keadaan hidup rukun, aman dan damai

antara umat beragama.

6. Dialog Antar Umat Beragama

Salah satu bagian dari kerukunan umat beragama adalah perlu dilakukannya

dialog antar agama. Sepintas sudah dijelaskan bahwa problem utama dalam hubungan

antar umat bergama yaitu problem teologis dan filosofis yang sampai sekarang juga

tidak dapat terselesaikan dengan sempurna. Pluralisme agama, konflik intern atau

antar agama adalah realitas yang tidak dapat dihindari. Tantangan seperti ini selalu

mewarnai kehidupan umat beragama sejak dahulu sampai sekarang. Akan tetapi,

dikarenakan sikap inklusivisme pada masa lampau belum mencuat keluar, kehidupan

keagamaan relatif lebih tentram dan damai dibandingkan dengan masa sekarang, di

81
mana banyak sekali persoalan yang harus dikritisi oleh setiap umat beragama.87

Realitas umat beragama yang, seperti ini menyebabkan ketegangan di antara

para pemeluk umat beragama. Menurut Arkoun, walaupun Islam dan Kristen

memiliki sumber rujukan utama seperti wahyu, teks-teks fundamental, akan tetapi

perbedaan dalam kenyakinan mendasar dalam agama masing-masing tidak dapat

dihindari. Seperti dalam Islam terdapat beberapa macam antara lain, Sunni, Syiah,

Khawarij dan juga dalam Kristen terdapat gereja Ortodoks, Katholik dan Protestan

dan masing-masing dari komunitas besar ini mengandang banyak mazhab dan

kelompok.88

Dengan demikian masyarakat Sindangjaya sebenarnya memiliki potensi

konflik dan sekaligus memiliki potensi perekat. Potensi konflik semisal dapat

diidentifikasi lewat perbedaan agama. Perbedaan agama yang terjadi di Desa

Sindangjaya merupakan hasil dari proses perjumpaan yang begitu pelik dan penuh

ketegangan antara masyarakat sekitar dengan penjajah. Oleh sebab itu masyarakat

Sindangjaya memandang bahwa perbedaan agama itu hak pribadi dan tidak bisa

dicampur baurkan dengan masalah-masalah sosial keasyarakatan. Menurut bapak

Nono Suryono, perbedaan agama itu harus selalu dikomunikasikan dengan baik di

antara sesama pemeluk agama yang berbeda. Komunikasi yang baik akan

menciptakan satu bentuk interaksi sosial yang baik dan satu agama dengan agama

87 Alwi Shihab, Islam inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam beragama, Bandung, Mizan,
1997, Hal. 39
88 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer: Menuju Dialog antar Agama, yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2001, Hal. 151

82
yang lainnya tidak pernah saling tuding menuding maupun saling jelek-menjelekan.89

Dialog antar agama sebenarnya tidak hanya sebatas pada individu beragama

dan firqah di dalam agama, tetapi dialog yang telah menjelma menjadi kesadaran

bersama di masing-masing lembaga keagamaan. Bahkan dialog yang telah menjadi--

meminjam terminology Hans Kung--“Ethic Global”.90 Dalam kasus Sindangjaya,

sebagai umat mayoritas, ummat Islam diharapkan menjadi semacam “penengah” di

antara umat-umat beragama lain dan dituntut untuk mengembangkan sikap

keberagamaan yang tidak hanya peduli pada umat sendiri, tetapi juga ummat

beragama lain yang hidup sebagai tetangga dan saudara. Islam tidak boleh

memonopoli “Tuhan”, oleh karena itu ummat Islam memiliki kewajiban moral (moral

obligation) untuk selalu berusaha menumbuhkan iklim kebersamaan yang dialogis,

kritis dan transformatif yang mendukung penguatan terhadap nilai-nilai dan civil

society.

Menurut KH. Zaenal Arifin konteks dialog dalam Islam kita dapat merujuk

kepada sumber-sumber yang, tesirat maupun tersurat di dalam al-Qur’an sendiri,

Allah menerangkan secara naratif dan deskriptif tentang dialog. Misalkan dalam surat

al-Baqarah, isi dan subtansi dialog antara Allah dengan Malaikat adalah bahwa Allah

ingin menjadikan dan menciptakan mahluk baru yang bernama manusia. Sedangkan

di bagian surat al-Baqarah 142, surat Ali-Imran ayat 110 dan surat Al-Hujurat ayat

10-13 sebagai spirit dialog antar agama dalam bingkai kerjasama.91


89 Nono Suryono, wawancara pribadi, Cianjur 30 September 2007
90 Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel, Etik global, Yogyakarta, Sisipus dan Pustaka pelajar,
Hal. Xiii.
91 KH. Zaenal Arifin, wawancara pribadi, 29 September, 2007

83
Begitu juga dengan ajaran Kristen, menurut bapak Yosiman Endong salah satu

dari Majlis Gereja Pusaka. Beliau berpendapat dalam ajaran Kristus terdapat apa yang

dinamakan dengan ajaran “kasih”, di mana ajaran kasih ini harus diimplementasikan

dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran ini, tidak hanya untuk orang Kristen saja akan

tetapi ajaran ini untuk umat manusia secara umum. Lebih jauh bapak Yosiman

Endong menjelaskan bahwa ajaran kasih ini akan melahirkan satu kesalehan sosial, di

mana sesorang akan saling menghormati dan menghargai terhadap orang lain ataupun

kelompok yang di luar kelompoknya.92

Masyarakat Sindangjaya yang plural sudah sejak lama memupuk rasa

keterbukaan, kesabaran, pengalaman, kepercayaan diri serta kematangan pribadi.

Dialog yang pruduktif tidak akan dapat terwujud jika masing-masing pihak tidak mau

membuka diri dan saling memberi dan menerima secara sukarela dan antusias.

92 Yosimin Endong, wawancara pribadi, 25 September, 2007

84

Anda mungkin juga menyukai