Anda di halaman 1dari 3

18/10/2007 | 07 Syawal 1428 H | Hits: 5.

747

Peran Pemuda dalam Gerakan Dakwah

Oleh: Tim dakwatuna.com

Saya selalu merasa sangat bergembira kalau bertemu dan harus berbicara di hadapan para pemuda.
Ini semua menandakan bahwa pemuda tetap bersemangat dan serius, karena setiap gerakan yang
berhasil pasti memiliki kemauan yang kuat, harapan yang jauh ke depan, dan orientasi yang jelas
serta terarah terutama di basis pemudanya.

Walaupun kadang-kadang gerakan pemuda kepentok masalah klasik kekurangan dana, misalnya.
Hal itu biasa dan terjadi di mana-mana, di setiap waktu dan tempat, bukan hanya di Indonesia dan
di masa sekarang saja. Meskipun tidak mempunyai materi berlimpah, semua pergerakan disusun,
dirancang, dan dilaksanakan oleh pemuda. Pemuda aktivis boleh miskin materi, tetapi jiwanya
kaya, sehingga pantang menyerah dan mengeluh. Mereka tidak mengorbankan iffah, kehormatan
diri, hanya untuk meminta-minta, karena pemuda perintis dan pelopor pergerakan yang berhasil
adalah mereka yang bermental baja.

Kekuatan moral dan spiritual menjadi modal utama dan pertama dalam setiap pergerakan.
Mungkin saja landasan moral dan spiritual sebuah pergerakan salah atau bathil, tetapi pasti punya
semangat. Apatah lagi kita yang mempunyai landasan moral dan spiritual yang benar, bersumber
dari petunjuk Allah Ta’ala. Kekuatan moral dan spiritual yang benar akan menghasilkan azam dan
iradah qawiyah. Bahkan, orang akan menjadi muda selamanya dan bergairah terus, jika bergerak
atas landasan moral dan spiritual yang benar. Alhamdulillah, kita telah diberikan karunia itu oleh
Yang Mahakuasa.

Modal kedua ialah kemampuan intelektual. Allah sangat merangsang manusia melalui ayat-ayat Al
Qur’an yang menyatakan: ‘afala ta’qilun, ‘afala yatafakkarun, dan lain-lain. Menurut penelitian,
otak manusia yang terpakai hanya 5% dari volume otak yang sebenarnya. Apalagi otak orang
Indonesia yang mungkin tidak mencapai batas maksimal itu. Bayangkan, jika kemampuan otak itu
ditambah dengan kekuatan pendidikan (tarbiyah) yang kita jalankan, bagaimana hasilnya. Menurut
catatan, anggota gerakan 70% adalah para sarjana yang diberi petunjuk dan kemudahan oleh Allah
untuk bergabung dalam jamaah dakwah, itu melebihi kualitas kelompok masyarakat pada
umumnya.

Modal ketiga adalah ideologi atau idealisme yang dengannya kita mempunya visi dan misi
perjuangan yang jelas. Ini juga merupakan karunia Allah kepada kita berupa pemikiran yang
paripurna, bisa memiliki pandangan jauh ke depan, walaupun pada masa-masa sulit. Kita selalu
menjadi barisan pelopor dan perintis dalam kejelasan ideologi.

Modal keempat adalah manhaj atau metodologi. Allah tidak hanya memberikan perintah saja,
melainkan juga konsepsi dan landasan operasional. Shalat dan haji memang diperintahkan oleh
Allah, tetapi dalam pelaksanaannya Allah mencontohkan melalui tindakan Rasulullah. Dalam
berjuang dan berjihad pun harus mengikuti Rasul, tidak membeo, tapi memahami dan mengerti
maksudnya. Qudwah kepada Rasul merupakan kebutuhan, bukan hanya sekadar kewajiban, karena
tanpa Rasul, maka ajaran Islam tak bisa jalan. Rasulullah-lah yang mencontohkan kepada kita,
bagaimana dakwah yang jelas, terarah dan sistemik.

Modal kelima adalah kefitrahan. Dinul Islam itulah modal besar, karena sesuai dengan fitrah
manusia, tidak berbenturan dengan kultur manusia, binatang, dan ekosistem. Bahkan, Allah
menegaskan bahwa semua makhluk itu adalah junud (tentara) Allah. Artinya, kita harus yakin
bahwa pergerakan yang bertentangan dengan fitrah manusia adalah bertentangan dengan kehendak
Allah, karena semuanya bergerak dalam nuansa dan irama yang sama. Semuanya bertasbih kepada
Allah. Jika perjuangan Islam kompak dengan perjuangan alam (universe), maka perjuangan itu
akan berhasil. Pohon dan tetumbuhan, binatang, cuaca, gejala alam semuanya menjadi teman-
teman perjuangan kita.

Berjuang tanpa fitrah alam akan gagal, karena hukum itu bersifat baku dan tetap sepanjang zaman.
Ini adalah modal yang sangat besar, walaupun kita tidak merasakannya. Padahal, bantuan Allah
lewat alam (nature) itu sangat banyak. Misalnya, bekerja dalam hujan, tetapi tidak masuk angin,
malah hujan itu menjadi penyegar. Bahkan, semuanya itu untuk mengokohkan, jika kita berstatus
juga sebagai Jundullah. Caranya, sesuaikanlah sifat jundiyah kita dengan jundiyah angin, binatang,
pohon, dan lain-lain.

Rasulullah sering dibantu oleh para jundi alam ini: tumbuhan, binatang, cuaca, dan sebagainya.
Bahkan, karamah para sahabat dalam perang Qadisiyah, ketika mereka menyeberang sungai
sambil berkata: “Wahai air, kita sama-sama jundullah, bantulah kami karena sedang melaksanakan
tugas”. Akhirnya, air yang dalam dan deras itu menjadi dangkal dan tenang untuk dilewati.

Modal keenam adalah modal institusional. Kerja kita adalah kerja jama’ah yang banyak orang
tidak melakukannya. Kita memperoleh banyak dukungan dari proses jama’i ini, seperti thawashau
bil haq dan thawashau bis shobri. Itu hanya bisa dilakukan dengan jamaah, karena saling
mengingatkan itu diperlukan dalam gerakan agar tidak tergelincir. Ba’duhum awliya’u ba’din.
Kritik dan peringatan itu perlu.

Kita sedih menyaksikan ada pejabat tinggi pemerintah yang tidak mau dinasehati salah seorang
ikhwah. Padahal kita hanya ingin menyelamatkan umat, bukan mengincar jabatan. Tetapi, pejabat
tersebut setelah menduduki posisinya justru keenakan dan tidak mau direpoti oleh saran-saran
yang berguna bagi umat.

Itu semua hanya bisa dilakukan dalam proses institusionalisasi, ketika tantangan dakwah berat dan
sulit. Ada tawashau bil haq wa bis shobri, sehingga menimbulkan daya tahan (QS Ali Imran: 157).
Wa ma dla’ufu wa ma istakanu (mereka tidak lemah dan tidak menyerah). Juga dilengkapi dengan
tawashau bil marhamah. Tatkala seseorang mendapat musibah dan menderita, maka orang
tersebut tidak sendirian, tetapi bersama-sama dengan banyak orang, sehingga potensinya tidak
terpuruk.

Modal ketujuh bersifat material. Sebenarnya Allah telah banyak memberikan modal material
kepada kita berupa alam semesta beserta segala isinya, tetapi mungkin kita belum bisa
mendayagunakannya. Bahkan, dalam al Qur’an surat al Hajj ayat 31, Allah berfirman: “Telah Aku
datangkan segala apa yang kamu butuhkan, wa in ta’uddu ni’matallah laa tuhsuha”. Karena
kezaliman dan ketidakproporsionalan sikap kita, sehingga tidak memiliki daya inovatif dan kreatif
untuk memanfaatkannya. Menyadari dan mensyukuri nikmat Allah itu penting. Bagaimana
nikmatnya udara, sehari kurang lebih 350 kilogram kita memakai oksigen untuk tubuh kita,
seperlima diantaranya dipakai oleh otak.

Kesadaran memiliki modal dasar itu penting demi iradah qawiyah dan azam yang tinggi. Kalau
melihat perjalanan dakwah ke belakang pada tahun 1980-an, ketika Orde Baru berkuasa,
bagaimana dakwah ini dikekang, diatur dan dikendalikan oleh pemerintah. Bahkan, dai yang
menafsirkan surat Al Ikhlas sebagai ajaran tauhid saja sudah diberangus, sampai dikejar-kejar,
sehingga akhirnya tema ceramah diubah menjadi syarat sahnya berwudlu. Justru di masa-masa
sulitlah dakwah berkembang dan berekspansi, karena punya modal banyak.

Pada saat itu para muwajjih tidak dijemput dengan mobil, tetapi banyak yang berjalan kaki, karena
keadaan ekonomi yang sulit. Cari tempat untuk acara pengajian atau daurah juga sulit. Halaqah
dilakukan di kebun binatang, di taman, di lapangan, di kebun raya – tanpa whiteboard dan
peralatan tulis memadai. Itu semua karena kita mempunyai kesadaran bahwa kita kaya, yang
menyebabkan kita selalu menjadi barisan perintis dan pelopor kebaikan.

Strategi awal dakwah kita adalah harakah at taghyir yang membutuhkan anashir at taghyir.
Karena kita membutuhkan banyak unsur perubahan, maka kita perlu mendapatkan akses dakwah
pada pusat-pusat perubahan, yaitu markaz at taghyir. Dalam tahap awal, pusat perubahan yang
kita akses adalah wilayah ilmiyah, yaitu kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Setelah itu kita
mengakses wilayah sya’biyah (masyarakat umum) melalui masjid-masjid dan pengajian umum.

Kampus dan sekolah itu pada dasarnya adalah milik umat. Sesudah itu, dakwah dalam amal
thullabi dilanjutkan dengan amal mihani (dakwah profesi). Seyogyanya memang amal thullabi
dan amal mihani itu disinergikan, karena mengarahkan kemampuan profesional harus dimulai
sejak masa mahasiswa.

Amal mihani terdiri dari dakwah di kalangan perusahaan (tenaga kerja) dan pengembangan
profesi. Harus disadari bahwa perusahaan-perusahaan umum itu tidak bisa atau sulit dijadikan
lembaga perjuangan, sehingga hanya dipenuhi dengan karir, ma’isyah (pekerjaan), rekrutmen dan
pengembangan kafa’ah saja. Yang masih lemah dari para aktivis adalah memasuki lembag-
lembaga profesi.

Itulah yang bisa dijadikan lembaga perjuangan. Tetapi kenyataannya sekarang lembaga-lembaga
profesi itu banyak yang lemah dari sisi perjuangan, hanya sekadar tempat kumpul-kumpul, bagi-
bagi proyek, dan kadang-kadang peningkatan kafa’ah saja. Fenomena kelemahan lembaga profesi
ini bukan hanya di Indonesia, tetapi terjadi di mana-mana.

Dakwah Islam memandang situasi itu sebagai sesuatu yang besar, bahkan keharusan perjuangan.
Di Mesir, tahun 1960-1970 an, aktivitas kemahasiswaan berjaya dan mulai memasuki dakwah
profesi. Lembaga-lembaga profesi yang tadinya lemah, maka sepuluh tahun kemudian menjadi
kuat dan hampir 90% organisasi profesi dikuasai aktivis dakwah. Ikhwan dan akhwat yang masuk
ke lembaga profesi harus kompetitif, jujur dan amanah. Aktivis Kristen Koptik di Mesir pun
memilih dan mengakui kepemimpinan aktivis dakwah yang dinilai paling amanah dan memiliki
etos perjuangan.

Semua proses tersebut berjalan secara wajar dan terjadi pemberdayaan yang luar biasa terhadap
lembaga profesi. Lembaga profesi teknik (persatuan insinyur) tidak hanya bekerja pada bidang
teknik, tetapi juga membuat RUU dan advokasi keteknikan yang bernuansa Islam, karena aktivis
dakwah mampu mewarnai lembaga tersebut. Akhirnya lembaga profesi itu bertindak seperti partai
politik dan pressure groups terhadap pemerintah. Karena aktivis mewarnai dan menguasai banyak
lembaga profesi, maka seakan-akan mereka memiliki banyak partai politik dan kelompok penekan
yang mengontrol pemerintah dengan kebijakan dasar yang sama.

Pada tahun 1995, pemerintah Mesir menyadari hal itu, sehingga lembaga-lembaga profesi mau
dibredel, tetapi sulit karena terkait dengan institusi negara, infrastruktur dan suprastruktur politik.
Kalau dibubarkan sulit, karena bertentangan dengan UU dan bisa membentuk lembaga yang baru
lagi. Kalau kantornya ditutup, pemerintah dituntut lewat pengadilan. Aktivis bisa membuka kantor
yang baru, atau menguasai dan mewarnai lembaga profesi sejenis. Kalau aktivisnya ditangkapi dan
dipenjarakan, industri dan pelayanan jasa (terutama rumah sakit, konsultan proyek, dan pengacara)
akan mengeluh, karena tidak bisa berjalan, sebab tidak ada tenaga ahlinya. Maka, proses
pembangunan pun bisa terhambat.

Kelompok Salsabil di Mesir, misalnya, membuat perusahaan komputer dan berkembang sampai
bisa mengikuti tender penyediaan software di Departemen Pertahanan Mesir, karena murah dan
paling baik, akhirnya menang. Setelah pejabat militer sadar bahwa perusahaan tersebut milik
aktivis dakwah, maka mereka ketakutan dan menggerebek serta menyegel kantornya. Peristiwa itu
menjadi berita besar, karena secara beramai-ramai lembaga profesi di Mesir bersuara, mulai dari
lembaga profesi teknik, komputer, pengacara dan lainnya, hingga akhirnya dibebaskan dan dibuka
kembali.

Para dokter di Mesir juga menggelar acara munasharah untuk kasus Bosnia sampai terkumpul
dana sebesar US$ 4 juta, tetapi dilarang pemerintah. Akhirnya kasus itu menjadi berita besar lagi,
karena dibela oleh lembaga profesi kedokteran, keperawatan, pengacara dan sebagainya. Kasus itu
dibawa ke pengadilan dan akhirnya dinyatakan menang, walaupun dananya terpaksa dibagi dua
(fifty-fifty) untuk lembaga pemerintah dan lembaga dakwah.

Jika ada bencana alam, gempa bumi, kebakaran dan sebagainya, aktivis selalu terdepan bersama
masyarakat menyantuni korban. Itu semua adalah hasil dakwah thullabi yang dilanjutkan dakwah
profesi. Yang lebih penting lagi di mihwar muassasi ini, tanpa pengembangan profesi akan sulit,
karena kita membutuhkan para ahli dalam bidangnya yang bisa menjawab dan menjelaskan
tantangan zaman melalui kacamata Islam. Konsep-konsep Islam harus dirumuskan dan
dilaksanakan sebagai solusi bagi persoalan bangsa ini. Semuanya itu mengharuskan kita, mau
tidak mau, untuk terjun dalam lembaga profesi.

Anda mungkin juga menyukai