Anda di halaman 1dari 6

Mas’uliyatud Da’wah (Tanggung Jawab Dakwah)

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya,
dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat
bodoh”. (Al-Ahzab: 72)

Tugas dan tanggung jawab adalah tuntutan kehidupan yang tak bisa dielakkan. Manusia yang
brilian tidak akan pernah lari darinya. Sekalipun ia amat melelahkan dan banyak bahkan kadang
lebih banyak dari waktu yang tersedia. Malah tanggung jawab itu sering tidak dapat dituntaskan
sehingga perlu dilanjutkan oleh yang lain. Karena ia datang terus menerus seiring berjalannya
waktu. Semakin bergulir semakin banyak tugas dan tanggung jawab yang mesti dipikul. Ia
muncul dan terus muncul sesuai dengan tuntutan zamannya. Terlebih lagi tanggung jawab
terhadap dakwah (mas’uliyatud da’wah).

Seorang pendaki gunung pernah berujar, ‘Naik gunung itu amat melelahkan, berat dan cape.
Akan tetapi bila sudah sampai di puncak maka kita akan merasakan nikmatnya berada di
puncak gunung. Namun bila kita lengah maka akan menjadi mara bahaya sebab banyak jurang
yang dalam yang siap menelan kita’.

Ungkapan ini bila dikaitkan dengan perjalanan dakwah memiliki kemiripan. Ketika perjalanan
dakwah ini meniti jalan kemenangannya terasa memang berat dan melelahkan. Akan tetapi di
saat mencapai cita-citanya ada rasa senang dan sekaligus perasaan galau lantaran beratnya
memikul amanah dan tanggung jawab yang jauh lebih besar lagi. Taruhannya adalah kekuatan
mengemban amanah dan kepercayaan umat. Bila gagal maka gelembung manusia yang
berhimpun itu akan lari meninggalkan barisan dakwah ini.

Sekalipun tanggung jawab selalu datang namun kader dakwah tidaklah boleh mengeluh dan
kecewa terhadapnya. Kader harus selalu memandang bahwa tanggung jawab merupakan sesuatu
yang dapat memuliakan dirinya. Meski ia kesulitan untuk memikulnya. Sehingga bila telah
selesai menunaikan satu tanggung jawabnya maka ia perlu menyiapkan diri untuk segera
melaksanakan tugas barunya. Sebagaimana firman Allah SWT.

“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain”. (Al-Insyirah: 7).

Hari-hari kemarin yang telah kita lalui sudah kita pergunakan untuk memperlebar jaringan
dakwah. Agar umat manusia banyak berhimpun di jalan yang mulia ini. Telah banyak upaya
yang kita lakukan, mulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga hingga kalangan yang lebih luas.
Dengan kerja yang berkesinambungan dalam rangka mempertahankan eksistensi dakwah ini
maka Allah SWT anugerahkan kasih sayang-Nya pada mereka yang aktif mengemban tugas
tersebut. Tampak oleh kita banyak hati manusia yang tertarik, simpatik dan energik memberikan
dukungannya pada dakwah ini.
Dari banyaknya manusia yang berhimpun dalam dakwah ini tentu mengandung tugas dan
tanggung jawab yang berat. Dan ini bagian dari manuver dakwah yang harus ditindaklanjuti
dengan selalu menjaga perluasan jaringan dakwah ini (Ri’ayah Munawaratud Da’awiyah).

Adapun bentuk upaya menjaganya adalah:

1. Tarbiyah Jamahiriyah (Mentarbiyah masyarakat luas)

Kita telah menyaksikan bahwa masyarakat memberikan dukungan yang luar biasa baik dari
dukungan materi, pikiran, tenaga dan politik.

Dukungan dari beragam lapisan mulai masyarakat perkotaan hingga pedesaan, masyarakat
terdidik hingga yang buta huruf, dari kalangan santri yang shalih hingga anak gaul di pinggir
jalan. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa mereka pun ingin menjadi bagian dari dakwah ini.
Malah ada yang merasa sudah menjadi salah satu bagian dari dakwah ini.

Realita dukungan ini harus dipandang bahwa masyarakat yang berhimpun itu mesti mendapatkan
hak tarbawiyahnya sebagaimana yang didapat para kader. Sekalipun yang telah mereka rasakan
selama ini baru sebatas sentuhan awal. Tentunya mereka pun ingin mendapatkan pembinaan
yang bisa membentuk diri mereka menjadi kader sejati sesuai dengan kondisi mereka masing-
masing. Sehingga mereka dapat bergabung lebih dalam bersama kader lainnya. Agar ia menjadi
bagian dakwah yang besar ini walau hanya satu elemen kecil saja.

Adapun bentuk tanggung jawab dakwah dan kadernya pada mereka adalah melakukan tarbiyah
kepada masyarakat luas atau pembinaan massal (tarbiyah jamahiriyah) dengan perlu
menyesuaikan muatan dan arahannya. Apakah dengan melakukannya dalam bentuk tarbiyah
regular atau secara massal dengan melaksanakan taklim rutin yang diikuti oleh sekian banyak
orang.

2. Tarqiyah Nau’iyatul Jundiyah (Peningkatan Kualitas Kader)

Semakin banyak tugas maka semakin perlu meningkatkan kualitas dan kapabilitas agar dapat
menunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Abul Hasan An Nadawi dalam kitab
Mudzakiratu Sa’ihin fil ‘Alamil Arab menyatakan bahwa sudah menjadi keharusan untuk
membentuk kader-kader yang dapat meneruskan dan menjalankan tugas tanggung jawab dakwah
dengan meningkatkan kemampuan kader agar bisa mengisi peluang-peluang dakwah yang amat
banyak.

Karena setiap gerakan dakwah betapapun kuatnya dan betapapun banyak kader-kadernya masih
tetap terancam kebangkrutan. Mengingat berlalunya waktu maka semakin bertambahnya
tanggung jawab yang mesti dipikul segera. Sehingga menjadi sebuah aksioma bahwa
kemampuan kader untuk menunaikan tanggung jawab harus diimbangi dengan peningkatan diri
mereka sesuai dengan tuntutannya masing-masing.

Sebagaimana kaedah dakwah,


li kulli da’watin marhalatuha, wa likulli marhalatin muthallibatuha, wa lukulli muthallibatin
rijaluha.

Setiap dakwah ada marhalahnya, setiap marhalah ada tuntutannya, dan setiap tuntutan
ada orangnya yang akan mengerjakannya.

Sangatlah lumrah orang banyak memberikan komentar terhadap kader yang ada saat ini dengan
menyatakan ‘apa mungkin orang-orang masjid itu mampu mengelola urusan besar ini (mengelola
Negara)’. Anggapan ini bermula dari aktivitas kader yang berawal dari mengelola sebatas dari
satu majelis taklim ke majelis taklim lainnya, dari satu kegiatan keagamaan ke kegiatan
keagamaan lainnya. Dan sekarang tanggung jawab itu melebihi aktivitas sebelumnya. Tugas dan
kewajiban yang bakal dipikul bebannya jauh lebih berat dari hari-hari yang kemarin. Maka tidak
bisa dielakkan bahwa kemampuan kader harus bisa memenuhi kebutuhan lapangan yang amat
beragam di hari ini. Keahlian dan kecakapan mereka menjadi tahurannya untuk meraih dukungan
yang lebih besar lagi.

3. In’asy ‘Amaliah Tarbawiyah (Penyegaran Aktifitas Tarbiyah)

Setelah beberapa saat aktivitas tarbiyah belum berjalan optimal karena kesibukan dakwah yang
begitu banyak. Dan hal ini merupakan bagian dari siklus ekspansi dakwah yang besar. Dimana
kesibukan kader dakwah melebihi volume kesibukannya di waktu yang lain. Sehingga sedikit
banyak aktivitas tarbiyah yang regular mengalami sedikit gangguan. Bila hal ini dibiarkan
berlarut-larut maka akan berdampak pada kelambanan geliat dakwah dan gerakannya. Apalagi
sudah dimafhumi bahwa tarbiyah merupakan munthalaknya. Seorang penyair Tunis, Ahmad
Mukhtar Al Wazi, menyatakan

‘wain wanat waqfatuha ‘ajalahal munthalaqu,

Bila diamnya terlalu lama akankah ia tergugah oleh keharusanya bergerak’.

Maka perjalanan tarbiyah yang menjadi pijakan asasiyah mesti berjalan normal dan segar
kembali. Melalui berbagai aktivitas tarbiyah yang reguler. Seperti liqa’ pekanan rutin, mabit,
tatsqif, daurah dan lain-lainnya. Oleh karena itu mereka yang berkepentingan dalam
menormalkan dan menyegarkan aktivitas tarbiyah ini harus berada pada pusat intruksional agar
dapat menggerakkan dengan sesegera mungkin dan membunyikan peluitnya dengan keras. Baik
mereka itu para murabbi, naqib atau mereka yang berada dalam jajaran struktural.

Hal ini tentu menjadi antisipasi yang dini agar tidak terjadi situasi yang cenderung memburuk
dengan ‘mengabaikan’ iklim asasi dalam dakwah ini. Syaikh Mushtafa Mahsyur Rahimahullah,
mengingatkan agar aktivitas perpolitikan ini jangan mengalahkan dan mendominasi dari pada
aktivitas tarbawiyah, ghalabatis siyasiyah at tarbawiyah.

4. Taqwiyah Ittishalil Wujahiyah (Pengokohan interaksi pada tokoh)

Begitu banyak para tokoh yang telah terjalin hubungan sosial kemasyarakatannya dengan
dakwah ini melalui silaturahim dengan mereka atau menjadikan mereka bagian dari rekruting
dakwah ini. Sudah barang tentu mereka juga ingin bahwa hubungan itu tidak berhenti hanya
karena aktivitas menggalang massa telah usai melainkan mereka sangat mengharapkan bahwa
jalinan itu bisa lebih erat lagi dari waktu sebelumnya.

Islam tentu sudah mengajarkan bagaimana mensikapi para tokoh di tengah-tengah


masyarakatnya dengan memuliakan mereka. Sehingga mereka pun dapat menerima ajakan dan
seruan yang ditujukan padanya karena kedudukan mereka pun dihormati dan dihargai.

Rasulullah SAW. tatkala menaklukan Mekkah, beliau mengatakan

“Siapa yang masuk ke mesjid maka aman. Dan siapa yang menutup pintu rumahnya maka ia
aman dan siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka ia pun aman”.

Pernyataan itu jelas menampakkan bahwa ajaran Islam tetap memandang bahwa para tokoh itu
mempunyai kedudukan yang perlu ditempatkan secara pas dan tepat. Dan ini menjadi pelunak
hati mereka untuk ikut dalam barisan dakwah ini. Karenanya pendekatan para tokoh harus
dikokohkan sehingga mereka akan mendukung dakwah ini secara optimal. Apalagi bila para
tokoh itu memiliki perasaan bahwa merekapun telah memberikan andil yang teramat besar dalam
pemenangan dakwah ini.

5. Matanah Tanzhimiyah (Soliditas struktural)

Aktivitas yang padat sering berimbas pada ketahanan struktural. Terlebih lagi struktur yang
masih sangat sederhana. Kesederhanaan fungsi dan bagan struktural kadang menciptakan aktivis
berfungsi ganda atau bahkan multi fungsi. Sehingga banyak kamar-kamar struktur yang tak terisi
apalagi terisi lengkap. Ditambah persoalan bahwa program yang sedang digerakkan bersama
bertumpu pada satu program besar sehingga beberapa unsur dari struktural itu ikut
berkonsentrasi pula pada kerja massal. Sehingga kadang yang terjadi adalah ‘mengesampingkan’
tugas-tugas regulernya. Dan bila hal ini dibiarkan maka dapat berdampak pada perjalanan
struktural yang termehek-mehek.

Mengingat peran struktural untuk menjalankan agenda berikutnya yang juga besar maka
ketahanan soliditas struktural ini tidak bisa ditunda lagi. Ia perlu diperhatikan seksama agar dapat
mengokohkan kader yang ada didalamnya disertai pemberdayaan struktural dalam tugas-tugas
besar berikutnya. Baik struktur pada tingkat pusat juga pada tingkatan di bawahnya. Dengan
demikian langkah-langkah struktural dapat bergerak dengan lincah dan leluasa mengemban tugas
dakwah besar lainnya.

Disamping pengokohan struktural juga perlu diperhatiak masalah pengembangannya. Sebab


dengan tanggung jawab yang semakin besar maka dibutuhkan penopang struktural yang semakin
lengkap. Imam Mawardi, penulis Al Ahkamus Sulthaniyah memaparkan bahwa semenjak futuhat
dakwah dicapai kaum muslimin pada masa Khalifah Umar ibnul Khaththab berkembang pula
jajaran struktur yang baru dengan segala dinamika dan urusannya yang pada masa lalu tidak
ditemukan persoalan tersebut.
Itulah sebagian kecil dari tanggung jawab dakwah yang besar ini. Paling tidak dari situ kita dapat
memulai apa yang perlu kita lakukan. Untuk merealisasikan (Tahqiq) tanggung jawab yang besar
ini diperlukan upaya kerja keras yang maksimal, diantaranya adalah:

1. Al Jiddiyah wal Mu’azhibah (Bersungguh-sungguh dan tekun).

Kesungguhan adalah modal utama untuk dapat menunaikan setiap tugas. Dan kesungguhan
merupakan indikasi dari sikap yang penuh tanggung jawab. Ia pun cerminan dari keimanan dan
keyakinan yang kuat akan pertemuannya dengan Sang Rabbul Izzati. Sehingga melahirkan
perilaku siap dan sedia menunaikan suatu tugas yang diamanahkan kepadanya. Dari sinilah akan
diukur seberapa besar kesiapan dan kesediaan yang berdampak pada kepuasan masyarakat akan
pelayanan dan penunaian tanggung jawab tersebut.

Bila melihat sederetan tugas-tugas tersebut diatas maka kita temukan bahwa tugas tersebut betul-
betul tidak sepele. Tugas dan tanggung jawab itu tidak boleh dianggap main-main. Apalagi
harapan yang dimiliki banyak orang teramat tinggi. Mereka berharap bahwa kader dakwah pasti
dapat memikul tugas itu dan dapat memberikan pengaruh kebaikan yang dirasakan oleh umat.

2. Istimrariyatul Amal (Aktivitas yang berkesinambungan).

Karena waktu senantiasa berjalan tak kenal henti maka amalpun tak boleh berhenti. Memang
suatu tugas dikira sudah selesai namun ternyata masih ada setumpuk tugas lainnya yang sedang
menunggu untuk diselesaikan. Gambaran yang sering diungkapkan orang adalah bergeraknya
amal ini bagai deburan ombak di lautan yang datang silih berganti dengan deburan ombak
lainnya kadang ombak besar kadang ombak kecil. Bila amal tersebut dilakukan bak ombak tadi
niscaya amal datang susul menyusul dan tidak akan pernah mati. Oleh kreatifitas amal perlu
digesahkan kepada seluruh lapisan kader. Sehingga mereka bisa menciptakan berbagai amal
yang variatif.

3. Al-Indhibat bil Manhaj (Kedisiplinan terhadap Manhaj).

Manhaj merupakan rambu perjalanan dakwah ini. Ia bagaikan denah yang menunjukan arah dan
apa yang mesti dilakukan. Karena itu setelah selesainya satu tugas perlu melihat kembali apa
yang telah digariskan oleh manhaj dakwah tentang tugas-tugas kedepan. Bila terkait dengan
tarbiyah maka ia perlu diterapkan secara disiplin sesuai arahannya. Sebagaimana petun juk Allah
SWT. kepada Nabi Yahya AS:

“Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan
kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak”. (Maryam: 12).

Tentunya hal ini juga berlaku kepada seluruh kader untuk menerapkan tuntutan manhaj secara
disiplin. Sehingga ia dapat menghantarkan perjalanan dakwah ini dari satu mihwar ke mihwar
lainnya dengan sistematis.

4. Al Qudwah wat Taujih (Keteladanan dan Arahan).


Komunitas suatu masyarakat kadang akan mudah terbentuk bila memiliki cermin jernih yang
menjadi panutan bagi yang lain. Karena panutan bagai mercusuar yang akan mengarahkan dan
juga menjadi ukuran atau kiblat mereka. Disinilah pentingnya keteladanan antara satu dengan
yang lain. Keteladanan dalam ubudiyah, ijtima’iyah, mu’amalah maupun keteladanan dalam
amal siyasi. Tentu keteladanan yang dimaksud adalah bahwa seluruh kader menjadi contoh bagi
yang lain. Apalagi seluruh elemen masyarakat menjadi penilainya. Mereka tentu ingin
panutannya bagai cermin jernih tanpa goresan.

Sekarang ini persoalannya adalah siapkah kader dakwah ini memikul tanggung jawab yang amat
besar itu.

Wallahu ‘alam bishshawab.

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah.
Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah
kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang
yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan
kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)”. (Muhammad: 38).

Anda mungkin juga menyukai