Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENTINGNYA JURU DAKWAH

Dosen Pengampu :

Dr. Dahlan Lama Bawa, M.Ag.

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Retorika Dakwah

Oleh :

Kelompok 12
Khaerunnisa Wildana
105271102921
St Rahma Nur Rukman
105271102121
Adel Fina
105271109720

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

1444 H/2023 M
PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah Ta’ala yang telah

menganugerahkan berbagai macam nikmat kepada kita semua, terutama nikmat

Islam, Iman, sehat dan nikmat pendidikan, yang dengan nikmat tersebut

sempurnalah segala upaya untuk mencapai kebaikan yang buahnya tertuang pada

selesainya makalah ini. Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah

kepada manusia yang menjadi rujukan akademik dan keilmuan seluruh sivitas

akademika sedunia dan lintas masa yakni Baginda Nabi Besar Muhammad SAW,

beserta keluarga, sahabat, pengikut dan siapa saja yang senantiasa merujuk baik

sikap maupun keilmuannya kepada Beliau. Saya menyadari bahwa rampungnya

makalah ini sebagai tugas mata kuliah tidak bisa lepas dari bantuan berbagai

pihak. Tanpa bantuan, arahan, motivasi dan semangat dari semuanya, rasanya

kecil kemungkinan saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makassar, 01 Januari 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1

A. Latar Belakang ……………………………………………….……….. 1

B. Rumusan Masalah …………………………………………….………. 2

C. Tujuan Penulisan ……………………………………………………… 2

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………….……. 3

A. Pengertian Dai ………………………………………………………… 3

B. Kewajiban Dakwah ………………………………………………….… 6

C. Pentingnya Juru Dakwah ………………………………………………. 7

BAB III PENUTUP ……..…………………………………………………….. 11

A. Kesimpulan ……………………………………………………………. 11

B. Saran …………………………………………………………………... 11

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur segala tingkah laku

kehidupan manusia demi keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan

akhirat. Sejak turunnya agama Islam, kehidupan manusia lebih terarah dan teratur.

Agama Islam telah mampu mengubah tingkah laku masyarakat jahiliah menjadi

masyarakat yang berkeadaban. Agama Islam membawa kebenaran yang

datangnya dari Allah karena itulah kebenaran yang ada harus selalu

disebarluaskan kepada umat manusia seluruhnya agar mereka mendapat

kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, Islam menjadi agama dakwah. Sebagai

agama dakwah, Islam mewajibkan kepada seluruh umatnya agar selalu

menyebarkan ajaran agama Islam di manapun dan kapanpun, sesuai dengan

kemampuan mereka masing-masing. Setiap orang yang telah menemukan dan

telah meyakini kebenaran dalam agamanya, maka mereka pasti akan berusaha

agar ajaran agama yang mereka yakini tersebar luas. Begitu juga para penganut

agama Islam, mereka akan selalu berusaha menyebarkan atau mendakwahkan

agamanya.

Jika kita melihat keadaan zaman globalisasi seperti sekarang ini, yang arus

informasi, teknologi, dan ilmu pengetahuannya semakin maju, maka tantangan

dakwah Islam pun akan semakin kompleks. Jalan dakwah akan terasa semakin

sulit dan berliku. Oleh karena itu, diperlukan orang-orang yang benar-benar siap

1
2

untuk menjalankan tugas mulia ini. Orang yang menjalanklan tugas dakwah ini

sering disebut dengan dai atau juru dakwah. Para dai harus orang yang benar-

benar mampu untuk menjalankan aktivitas dakwah ini. Seorang dai ibarat seorang

dokter, dia hendaknya mampu menyembuhkan penyakit-penyakit yang ada pada

umat. Seorang juru dakwah harus memiliki kepandaian dan kesiapan, serta

kemampuan yang diperlukan dalam dakwah sebelum mereka melakukan aktivitas

dakwah.

Apabila seorang juru dakwah tidak memiliki kesiapan dan kemampuan untuk

menjalankan dakwah, kemungkinan besar dakwah yang dilakukan tidak bisa

efektif. Kemampuan seperti apakah yang diperlukan oleh seorang juru dakwah?

Dalam makalah ini, akan diuraikan kemampuan atau kompetensi yang harus

dimiliki juru dakwah agar mereka mampu melakukan tugasnya dengan baik dan

efektif.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa itu Dai atau Juru Dakwah ?
2. Siapa saja yang Berkewajiban untuk Berdakwah ?
3. Apa Pentingnya Juru Dakwah ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mendeskripsikan siapa itu Dai atau Juru Dakwah
2. Untuk mengetahui siapa saja yang berkewajiban untuk berdakwah
3. Untuk mengetahui apa saja pentingnya juru dakwah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dai

Kata Da’i berasal dari bahasa Arab yang berarti orang yang mengajak.

Dalam pengertian yang khusus (pengertian Islam), Da’i adalah orang yang

mengajak orang lain baik secara langsung atau tidak langsung dengan

kata-kata, perbuatan atau tingkah laku ke arah kondisi yang baik atau lebih

baik menurut syariat Alquran dan sunnah. Dalam pengertian khusus

tersebut Da’i identik dengan orang yang melakukan amar ma’ruf nahi

munkar.1

Banyak ulama yang mencoba mendefinisikan tentang siapa dai itu. Di

antara pendapat-pendapat tersebut antara lain:

a. Muhamad Abu Fatah Al-Bayanuni dalam bukunya Al Madhol Ila al-’Ilmi

da ‘wah2 menjelaskan bahwa kata dai menurut bahasa adalah orang yang

melakukan proses dakwah. Dai adalah isim fail dari daa’a, yad’u ditambahkannya

ha pada akhirnya untuk muballaghoh atau yang menunjukkan arti sangat. Oleh

karena itu, orang yang sering berdakwah disebut sebagai dai, sedangkan menurut

istilah adalah orang yang menyampaikan ajaran Islam, orang yang mengajarkan

Islam, dan orang yang menuntun pada ajaran yang sesuai dengan Islam.

b. Menurut M. Natsir yang dikutip oleh Tohir Luth, dai atau juru

dakwah adalah orang yang membawakan dakwah dengan tujuan membina

1
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 69
2
Abu Fatah al Bayanuni, Al Madhol ila ‘Ilmi Da’wah(Madinah: Muassasah al Risalah,
TT), hal. 40.

3
4

pribadi dan membangun umat sehingga pribadi dan umat itu berkembang

maju sesuai dengan hidup manusia yang diridhai oleh kholiknya.3

c. Jum’ah Amin Abdul Aziz, dai Ilallah adalah orang yang berusaha

mengajak manusia dengan perkataan dan perbuatan kepada Islam,

menerapkan manhaj-Nya, memeluk akidah-Nya, dan melaksanakan

syari’at-Nya.4

Dari pengertian-pengertian di atas menunjukkan kepada kita bahwa

yang dinamakan dai bukan hanya orang yang sering memberikan ceramah

agama, orang yang mengisi pengajian atau orang yang berkhutbah saja.

Akan tetapi, pengertian dai lebih luas dari pada itu, yaitu semua orang

yang melakukan aktivitas dakwah atau mengajak manusia ke jalan yang

diridhai oleh Allah, baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan. Dalam

pengertian yang sangat luas, proses dakwah itu tidaklah semata-mata

merupakan suatu komunikasi yang bersifat oral maupun tulisan saja. Akan

tetapi, semua kegiatan serta sarana yang secara hukum adalah sah, dapat

saja dijadikan alat untuk berdakwah sesuai dengan kemampuan diri mad’u

masing-masing.

Dengan demikian, kita mengenal istilah dakwah, yaitu suatu proses

yang setiap muslim dapat mendayagunakan kemampuan masing-masing

dalam rangka mempengaruhi orang lain agar bersikap dan bertingkah laku

sesuai dengan mission sacre dari ajaran-ajaran Islam tersebut. 5 Oleh karena

3
Thohir Luth, Muhamad Natsir dan Pemikirannya(Jakarta: Gema Insani, 1999), hal. 74.
4
Jum’ah Amin Aziz, Fiqh Dakwah(Solo: Inter Media, 1997), hal. 28.
5
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hal. 39.
5

itu, semua orang yang menyeru ke jalan Allah atau melakukan kegiatan

dakwah sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam rangka

mempengaruhi orang lain agar melakukan ajaran agama Islam bisa disebut

sebagai dai. Walaupun demikian, kita bisa membagi dai menjadi dua yaitu:

a. Secara umum; dai adalah setiap muslim atau muslimat yang

mukallaf(dewasa), yang bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu

yang melekat tidak terpisahkan dari missinya sebagai penganut Islam,

sesuai dengan perintah rasulullah “sampaikanlah walaupun hanya satu

ayat”.

b. Secara khusus; dai adalah mereka yang mengambil keahlian secara

khusus dalam bidang dakwah Islam yang dikenal dengan panggilan ulama,

dai, atau mubaligh.6

Menurut M. Ghozali, orang yang mengkhususkan dirinya dalam

bidang dakwah baginya ada dua syarat utama yang harus dimiliki oleh

seorang juru dakwah yaitu:

a. Pengetahuan mendalam tentang Islam; juru dakwah harus benar-benar

mendalam ilmunya tentang ushul (pokok) dan furu’ (cabang) Islam sehingga

apabila dia mengajari atau mendakwahkan manusia lain, benar-benar dia bisa

mengindahkan kepada mereka hakikat risalah yang sempurna.

b. Juru dakwah jiwa kebenaran; para juru dakwah haruslah menjadi “ruh” yang

penuh kebenaran, kegiatan, kesadaran, dan kemauan. Yang penting, juru dakwah

haruslah memandang kehidupan ini dengan mata menyala dan pandangan besi
6
Ibid., hal. 42.
6

sehingga apabila dia melihatpenyelewengan dalam masyarakat dengan tegas dia

berteriak meluruskannya.

B. Kewajiban Dakwah

Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin dan muslimat untuk

menyeru manusia ke jalan Allah sebagaimanafirman-Nya dalam surat an-

Nahl ayat 125, yang artinya, “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan

hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang

baik.”7 Ayat tersebut memerintahkan kepada kita semua tanpa terkecuali

untuk mengajak manusia ke jalan Allah. Seluruh ulama sepakat bahwa

hukum dakwah adalah wajib. Dalam hal ini, masih menjadi perdebatan

apakah kewajiban itu dibebankan kepada individu muslim (fardu ‘ain),

atau kewajiban itu hanya dibebankan kepada sekelompok orang saja dari

seluruh umat Islam secara keseluruhan (fardu kifayah). Perbedaan

pendapat tentang hukum dakwah itu disebabkan oleh perbedaan

pemahaman mereka tentang dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an dan

Hadis.

Perbedaan-perbedaan tentang hukum dakwah seharusnya tidak

menjadi perdebatan panjang yang pada akhirnya akan melemahkan strategi

dan kiat kita dalam mengembangkan dakwah Islam. Oleh karena itu, perlu

diupayakan untuk mengkompromikan perbedaan-perbedaan tersebut.

Dakwah merupakan kewajiban individu, tetapi harus ada kelompok khusus


7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 421.
7

yang menangani dakwah secara profesional. Kewajiban dakwah secara

individu berlaku pada tingkatan wa tawaa shaw bi al-haq wa tawaa shaw

bi al-shabr. Sementara itu, secara kolektif, kewajiban dakwah

membutuhkan organisasi, menejemen, dan jaringan sosial yang kuat.8

Menurut M. Natsir yang dikutip Mulkhan, pada prinsipnya, semua

umat Islam adalah juru dakwah di tempat masing-masing sesuai dengan

tingkat kecerdasannya. Namun demikian, pelaksanaan kegiatan dakwah

tentu harus dipercayakan kepada korps juru dakwah yang telah menjadi

ahli dalam hal ini. Hanya saja beban untuk menjalankanya wajib dipikul

oleh seluruh anggota masyarakat Islam, laki-laki maupun perempuan,

dengan harta benda, tenaga, dan pikirannya. la harus me-rasakan sebagai

fardu ‘ain, suatu kewajiban yang tidak seorang muslim dan muslimah pun

yang dapat terlepas dari kewajiban dakwah.9

Jika kita lihat keadaan masyarakat kita sekarang, yang masalahnya

semakin kompleks dan berat sebagai akibat dari semakin derasnya arus

globalisasi, maka kiranya tidak memadai lagi jika dakwah masih dilakukan

sendiri, merencanakan dan mengerjakan dakwahnya sendiri. Akan tetapi,

hendaklah dakwah dilakukan secara jam‘i melalui sebuah organisasi atau

lembaga yang ditata dengan manajemen yang baik dengan menghimpun

berbagai keahlian yang dibutuhkan dalam proses dakwah.

C. Pentingnya Juru Dakwah

8
Abdul Basit, Wacana Dahwah Kontemporer(Purwokerto: STAIN Press, 2005), hal. 58.
9
Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi, hal. 53.
8

Suksesnya dakwah sangat bergantung kepada pribadi dari pembawa

dakwahnya itu sendiri. Dengan kepribadian yang baik serta beramal shaleh

yang memancar pada diri da’i, jama’ah akan lebih percaya apa yang telah

disampaikan serta materi dakwahnya pun akan lebih mudah diterima.10

Pada dasarnya tugas pokok seorang da’i adalah meneruskan tugas

Rasul Muhammad Saw, ia adalah pewaris Nabi (warasatu al-nabiy) yang

berarti harus menyampaikan ajaran-ajaran Allah seperti termuat dalam Al-

Qur’an yang juz 30 atau 114 surat. Sebagai pewaris Nabi ia juga harus

menyampaikan ajaran-ajaran Nabi Muhammad (al-Sunnah).11

Tidak ada teladan terbaik dalam berdakwah selain dakwah Rasulullah

Saw. Bagaimana mungkin sebagai seorang rasul, jika perilaku dakwahnya

tidak menjadi teladan bagi segenap para pengikutnya, apalagi kesuksesan-

kesuksesan yang pernah dicapainya. Hanya 23 tahun beliau berhasil

mengubah tatanan masyarakat Arab yang jahiliyah kepada masyarakat

Islam, dari masyarakat penyembah berhala kepada masyarakat penyembah

Allah Swt, dari masyarakat gemar berjudi dan minum arak menjadi

masyarakat taat kepada Allah dan rasul-Nya, dari kemusyrikan kepada

tauhid, dari perpecahan kepada persatuan, dari biadab menjadi beradab.

Yang menjadi ciri kesuksesan dakwah Rasulullah Saw ialah pertama

dakwah Rasulullah Saw adalah dakwah etis, Ali Mufrodi dalam tulisannya

Sejarah dan Dakwah Nabi Saw, sekurang-kurangnya ada dua nilai etis

10
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-
Ikhlas, 1983, hlm. 34.
11
Ibid., hlm. 74.
9

yang terpancar dari dakwah Nabi Saw, yaitu nilai konsistensi dan nilai

keteladanan. Kedua, Nabi Saw sngat mampu menjaga dan merawat

kompetensinya, dan inilah yang menjadi energi kekuatan yang melahirkan

serangkaian perilaku etis dalam berdakwah.12

Adapun persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang da’i ialah

sebagai berikut : persyaratan jasmani, persyaratan ruhani dan persyaratan

ilmu pengetahuan.13

Persyaratan jasmani, seorang da’i ialah seorang yang senantiasa

berada di tengah-tengah masyarakat dan selalu berhubungan dekat dengan

masyarakat. Oleh karena itu kesehatan jasmani merupakan faktor yang

paling penting untuk diperhatikan dalam mempelancar tugas dakwah.

Disamping itu pula kondisi jasmani dan penampilan fisik seseorang akan

menjadi kebanggaan bagi pendengarnya.

Persayaratan ilmu pengetahuan, persyaratan jasmani sebenarnya

tidaklah mutlak, karena ternyata pengabdian demi tegaknya agama Islam

melalui dakwah tidak memandang siapapun. Namun yang mutlak dari

seorang pendakwah ialah persyaratan ilmu pengetahuan. Karena

persyaratan ilmu pengetahuan mempunyai kaitan dengan pemahaman da’i

terhadap keseluruhan unsur-unsur dakwah yang ada.

Persyaratan ruhani, persyaratan ruhani menyangkut masalah

keseluruhan tentang batin yang kemudian tersermin dalam sikap, sifat dan

12
Ibid., hlm.71-73
13
Ibid, hlm. 105.
10

tingkah laku yang dihiasi oleh akhlaqul karimah atau budi pekerti yang

luhur. Persyaratan ini penting karena ada kaitannya dengan subjek itu

sendiri disamping sebagai penyampai misi keagamaan, dia juga sebagai

pemimpin, panutan umat dan juga sebagai manusia teladan. Suksesnya

usaha dakwah tergantung juga kepada kepribadian da’i yang bersangkutan.

Status da’i bukan hanya sebatas berceramah dan memenuhi undangan

pengajian, ada status yang sangat penting dari seorang da’i diantaranya

ialah :

1. Da’i sebagai pemimpin, dalam artian bahwa sebagai seorang pemimpin

tentunya tidak hanya sekedar memerintah saja. Tetapi keteladanan memegang

peran sangat penting dalam kepemimpinan itu sendiri. Keteladanan merupakan

salah satu faktor kewibawaan bagi seorang pemimpin.

2. Da’i sebagai mujahid, sebagai pejuang ia harus sanggup menggalang

umat, menggerakkan mereka untuk kepentingan dakwah serta pengayoman

kepada mereka. Semua itu dilakukan semata-mata mengharapr ridho Allah Swt.

3. Da’i sebagai objek, seorang da’i hendaknya selalu menyadari bahwa apa

yang diberikan kepada orang lain pada hakikatnya bukan untuk orang lain saja,

tetapi juga untuk dirinya.disinilah tanggung jawab moral seorang da’i, disamping

ia sebagai subjek dakwah juga sebagai objek dakwah.

4. Da’i sebagai pembawa misi, dalam artian seorang da’i perlu menyadari

bahwa amanah Allah selalu berada dipundaknya, kapan dan dimana pun ia berada.

Amanah Allah harus selalu dijaga dan disampaikan kepada yang berhak

menerimanya.
11

5. Da’i sebagai pembangun, seorang da’i hendaknya selalu melakukan amar

ma’ruf nahi mungkar. Jadi tidak hanya sekedar membina yang baik saja,

sedangkan yang tidak baik dibiarkan tumbuh dan berkembang. Keduanya harus

bersama-sama dilakukan demi kelestarian pembangunan itu sendiri.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dari pengertian-pengertian di atas menunjukkan kepada kita bahwa yang

dinamakan dai bukan hanya orang yang sering memberikan ceramah agama,

orang yang mengisi pengajian atau orang yang berkhutbah saja. Akan tetapi,

pengertian dai lebih luas dari pada itu, yaitu semua orang yang melakukan

aktivitas dakwah atau mengajak manusia ke jalan yang diridhai oleh Allah, baik

secara lisan, tulisan, maupun perbuatan.

2. Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin dan muslimat untuk

menyeru manusia ke jalan Allah sebagaimanafirman-Nya dalam surat an-Nahl

ayat 125, yang artinya, “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan

nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” Ayat tersebut

memerintahkan kepada kita semua tanpa terkecuali untuk mengajak manusia ke

jalan Allah. Seluruh ulama sepakat bahwa hukum dakwah adalah wajib.

3. Juru dakwah sangat penting karena suksesnya dakwah sangat bergantung

kepada pribadi dari pembawa dakwahnya itu sendiri. Dengan kepribadian yang

baik serta beramal shaleh yang memancar pada diri da’i, jama’ah akan lebih

percaya apa yang telah disampaikan serta materi dakwahnya pun akan lebih

mudah diterima.

B. Saran

Juru Dakwah sangat penting dalam keberlangsungan dakwah, maka

sebaiknya seorang pendakwah perlu memperhatikan kualitas dirinya sendiri.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Basit, Wacana Dahwah Kontemporer(Purwokerto: STAIN

Press, 2005), hal. 58.

Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi, hal. 53.

Abu Fatah al Bayanuni, Al Madhol ila ‘Ilmi Da’wah(Madinah:

Muassasah al Risalah, TT), hal. 40.

Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-

Ikhlas, 1983, hlm. 34.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 421.

Jum’ah Amin Aziz, Fiqh Dakwah(Solo: Inter Media, 1997), hal.

28.

Thohir Luth, Muhamad Natsir dan Pemikirannya(Jakarta: Gema

Insani, 1999), hal. 74.

Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah(Jakarta: Gaya Media Pratama,

1997), hal. 39.

Ibid., hal. 42.

Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 69

Ibid., hlm. 74.

Ibid., hlm.71-73

Ibid, hlm. 105.

13

Anda mungkin juga menyukai