Anda di halaman 1dari 28

TRENDING NOW: Gambaran tentang Begitu Cepatnya Peristiwa Kiamat

Search 

TOKOH

M Said Budairy, Jurnalis Andal yang Aktivis Pergerakan


Kamis 22 Maret 2018 15:30 WIB

Bagikan:    

Foto (Istimewa)

Jurnalis, salah satu pendiri Lakpesdam NU, dan pemimpin umum majalah bulanan Risalah
Islamiyah. Lahir di Singosari, Malang, pada 12 Maret 1936, M. Said Budairy tumbuh dari keluarga
pesantren. Bapaknya, Budairy, adalah pedagang, guru, dan aktivis NU, pernah menjadi anggota
DPRD Kabupaten Malang dari Partai Nahdlatul Ulama. Ibunya bernama Mutmainnah binti Kiai
Alwi Murtadho adalah seorang mubaIighah, pergi dari kampung ke kampung untuk memberikan
ceramah keagamaan di majelis taklim kaum perempuan. Kiai Alwi Murtadho adalah salah satu
anggota Konstituante dari Partai NU. 

Said menempuh pendidikan agama di Pesantren Bungkung Singosari. Sementara pendidikan


umum didapat dari Madrasah lbtidaiyah Nahdlatul Ulama, Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul
Ulama, dan SMA. Saat Malang mengalami situasi sosiai dan pemerintahan penuh gejolak, jalan-
jalan dikuasai para ”Iaskar rakyat” pada 1947, Said mengungsi ke Kediri di rumah KH Abu Suja.
Di sana dia sempat mengaji. 

Keterlibatan Said di NU sudah sejak kecil. Semasa kanak-kanak, dia aktif di Athfal, organisasi
kepanduan di bawah Gerakan Pemuda Ansor. Dia juga salah satu pendiri lkatan Pelajar
Nahdlatul Ulama dan pada 1954 menjadi ketua cabang Kabupaten Malang. Saat muktamar
pertama IPNU pada 28 Februari 1955 di Malang, dia bertemu Presiden Soekarno dan tokoh
utama NU antara lain Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Masykur, dan Kiai Zainui Arifin. Tahun 1959
hingga 1961 dia menjadi sekretaris perwakilan pimpinan pusat IPNU. Pada tanggal 17 April 1960
di Kaliurang, Yogyakarta, bersama 12 pemuda, pelajar, dan mahasiswa NU, Said turut mendirikan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Keaktifannya di NU menghantarkan Said menjadi
anggota DPR-GR/MPRS dari Fraksi NU. Dia pernah menjadi anggota MPR-RI (Badan Pekerja)
fraksi PPP. 

Jelang Muktamar NU ke-27di Situbondo, Said aktif mengonsolidasi gerakan NU kembaii ke


Khittah 26. Rumahnya di Gang G, Bilangan Mampang, Jakarta Selatan, menjadi tempat
pertemuan untuk menggerakkan, menyiapkan, dan merumuskan kembali khittah NU 26,
sehingga terkenal dengan sebutan ”Kelompok G”. Dari kelompok ini muncul ”Majlis 24”,
beranggotakan 24 orang, Said ada di antara mereka. Dari keiompok Majlis 24 lantas mengerucut
menjadi ”Tim 7”. Gus Dur dan Zamroni dipilih menjadi ketua dan wakil ketua, Mahbub, Fahmi,
Danial Tanjung, dan Ahmad Bagdja sebagai anggota. Said sendiri ditunjuk sekretaris. Mereka
inilah ujung tombak gerakan khittah yang terkenal hingga sekarang dalam sejarah
perkembangan NU. Pascamuktamar, Said duduk sebagai salah satu bendahara PBNU. Tahun
1985 ia ikut mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(Lakpesdam), Iantas menjadi direkturnya hingga delapan tahun. 

Baca juga: Bagaimana M Said Budairy Menjadi NU?

Perjalanannya di bidang jurnalistik dimuiai 1 Juni 1961, di harian Duta Masyarakat. Tahun 1971,
Duta Masjarakat gulung tikar karena tekanan Orde Baru. Tahun 1970, Said menjadi pemimpin
umum majaiah bulanan Risalah Islamiyah yang diterbitkan organisasi di lingkungan NU, yakni
Misi Islam, Jakarta. Pada 1973, Said sempat menjadi pemimpin perusahaan koran Pedoman. 

Pada 1 April 1974, terbit koran resmi Partai Persatuan Pembangunan bernama harian umum
Pelita yang beralamat di Jalan Asemka Nomor 29-30, kawasan Jakarta Kota. Pemimpin umum
Pelita adalah M. Syah Manaf. Barlianta Harahap memegang redaksi. Said Budairy dan
Darussamin sebagai waklinya.
Said disingkirkan pelan-pelan di koran ini karena memberitakan kecurangan-kecurangan Goikar
pada Pemilu 1977. Pelita menerima surat peringatan keras dari Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban. Said menyimpan baik-baik surat bertanggal 4 Juni 1977 ini. Isi surat
menentang pemberitaan pembunuhan Kiai Hasan Basri serta pembakaran rumah di Situbondo.
Pelita dianggap, "Memutarbalikkan fakta, berlebihan, bersifat menghasut, dan mudah dapat
menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.” Surat ini ditandatangani Sudomo. Semasa aktif
sebagai jurnalis, Said ikut mengurus Persatuan Wartawan Indonesia Pusat. Dia pemah menjabat
ketua departemen pendidikan dan agama (1963-1967), wakil sekretaris jenderal (1967-1970),
serta bendahara (1970-1973).

Pasca Muktamar Situbondo, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menerbitkan Warta Nahdlatul
Ulama, tabloid bulanan di Jakarta. Warta NU terbit pertama kali pada September 1985, delapan
bulan setelah Muktamar Situbondo. Said duduk sebagai Pemimpin Umum. Di Majelis Ulama
lndonesia memangku ketua Komisi lnformasi dan Komunikasi, yang baru dibentuk dalam
Musyawarah Nasional MUI ke-7 di Jakarta pada 2005. Dia yang mengusulkan komisi baru ini.
Perannya, memantau program-program di televisi. Pada 1999, usai perubahan politik mengubah
struktur pemerintahan Orde Baru, Budairy menjadi anggota Lembaga Sensor Film. Maret 2001
hingga Maret 2003, dia juga diminta sebagai ombudsman majalah Pantau. 

Said mengembuskan napas terakhir pada 30 November 2009 di Rumah Sakit Islam Jakarta.
Almarhum meninggalkan seorang istri, Hayatun Nufus, yang juga aktivis NU sejak remaja, dan
empat orang anak. Jenazahnya dikebumikan di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat. (Sumber:
Ensiklopedia NU)

Tags: #tokoh

Bagikan:    

SELASA 20 MARET 2018 11:1 WIB


KH Achmad Shaleh Binaspa, Potret Keteladanan Ulama Lokal
KH Achmad Shaleh Binaspa.

Seperti kampung Bawean, Gresik, Jawa Timur lainnya, Burne-Binaspa pada masa awal abad 20
tradisi mistik masih sangat kental dan kuat, sementara kesadaran keagamaan masih rendah.
Kejadian-kejadian di masyarakat kerap dilihat dari sudut pandang mistik dari pada sudung
pandang ilmu pengetahuan dan agama. Sementara kegiatan keagamaan yang hidup pun lebih
banyak diikuti karena alasan trasidi dan peninggalan nenek moyang dari pada mengerti alasan
dan dalil syar’inya.

Hal ini bisa dipahami sebab orang yang mumpuni dalam bidang agama masih sangat
minim.Hanya satu dua orang yang terdidik dan cukup menguasai ilmu agama. Minimnya
lembaga agama dan pendidikan di Binaspa berjalan cukup lama hingga seperempat awal abad
20 yakni sekitar tahun 60-70an. Termasuk minimnya orang yang menuntut ilmu agama (tafaqquh
fiddin) ke luar daerah seperti ke Jawa juga masih sangat minin-untuk mengatakan tidak ada. 

Dalam situasi dan kondisi daerah yang minim orang terdidik, apa lagi di daerah pedalaman
seperti Binaspa maka dirasa wajar jika hanya segilintir orang saja yang paham ilmu agama.
Sebab kala itu, masyarakat lebih berfokus pada penghidupan dari pada pendidikan. 

Masyarakat lebih konsentrasi pada urusan pencaharian dan keletarian mata pencaharian dari
pada urusan agama dan dakwah. Di antara segelintir orang tersebut adalah KH Achmad Sholeh,
kiai yang cukup disegani dan berpengaruh di daerah Binaspa. Beliau adalah salah satu menantu
dari Kiai Badri, termasuk seorang tokoh syiar Islam di Binaspa yang cukup berhasil.
Membincang Kiai Sholeh, masih cukup relevan mengingat jasa dan keteladan beliau yang sangat
kuat di kawasan Binaspa dan sekitarnya. Keteladan beliau masih sangat relevan untuk
diterapkan oleh generasi saat ini sebagai bekal hidup dan berdakwah.Kiai Soleh, demikian
namanya popular, dilahirkan di Sumber Torak, Sidogedungbatu, Sangkapura pada tahun 40an,
wafat pada 2009 lalu.

Makam beliau ada dipemakaman umum Panyalpangan, sebelah utara Burne. Kiai Sholeh adalah
salah satu putera dari pasangan Siti Num dengan Mis’ab Sumber Torak. Mis’ab adalah salah
satu tokoh masyarakat Sumber Torak yang juga mendidik santri di kampungnya.Mushalla
peninggalannya masih ada sampai sekarang.

Kiai Mis’ab, orang tua Kiai Soleh, adalah teman dekat Kiai Hamid Pancor, tokoh yang cukup
berpengaruh di Bawean. Sama dengan Kiai Badri, yang diceritakan sebelunya, juga teman akrab
Kiai Hamid. Yang mana kelak Kiai Badri menjadi mertua Kiai Sholeh atas permintaan Kiai Hamid.

Orang tua dan mertua Kiai Sholeh sebenarnya sama-sama jaringan Kiai Hamid Pancor. Saking
dekatnya, saat pernikahannya, Kiai Sholeh diantar dari dalem Kiai Hamid. Hal ini pertanda betapa
Kiai Hamid dengan Kiai Mis’ab dan kiai Badri cukup dekat baik secara emosional maupun
kultural.

Konon, sebelum Kiai Badri mengawinkan Aisyah (istri Kiai Sholeh), sempat bingung mencarikan
calon suami buat anaknya yang satu itu, yang cukup dibanggakan karena akhlak dan ibadahnya
yang baik dan tekun, perempuan yang langka pada masanya. Akhirnya suatu saat
dipersuntingkan dengan santrinya sendiri yaitu Kiai Sholeh dengan anjuran Kiai Hamid. 

Sebelum dikawinkan, Kiai Hamid Pancor sempat melihat (menengok) calon istri Sholeh. Menurut
cerita, saat Kiai Hamid melihat Aisyah, bilau mengatakan “begus-begus, shalehah, cocok-
cocok”... artinya bagus, cocok dijadikan istri Sholeh, insyaallah barokah, sakinah mawaddah
warahmah. Perkataan beliau tersebut pertanda setuju dan mengiyakan dilanjutknnya pernikahan.
Persetujuan Kiai Hamid, yang katanya orang Bawean adalah wali Allah, adalah nilai plus
tersendiri bagi Kiai Sholeh.


Saat pernikahan digelar, sebagaimana tradisi Bawean yang berlaku, si mempelai putera
diantarkan ke rumah mempelai perempuan. Saking dekatnya antara Kiai Hamid dengan Kiyai
Shaleh yang dinggap santrinya sendiri, beliau (Kiai Hamid) sendirilah yang mengiringinya dan
bahkan membawa payung untuk mempelai putera (Kiai sholeh) menuju rumah mempelai puteri
di kampung Burne.

Bahkan pemberangkatannya mempelai putera bukan dari Sumber Torak (rumah Sholeh), tapi
dari Pancor, dalem Kiai Hamid. Sebuah kebanggan tersendiri buat Sholeh, sebab tidak semua
santri yang dapat pelayanan  demikian dari Kiai Hamid, kiai yang terkenal karamoh dan
keberaniannya.
Menurut penuturan Basori Alwi, putera Kiai Sholeh, saat mempelai putera (Sholeh) sampai di
Burne bersama Kiai Hamid, tiba-tiba Kiai Hamid menepuk-nepukkan tangggannya ke tanah Burne
sambil mengatakan “Sholeh….!!! Tempat kamu di sini, kamu cocok tinggal di sini, kamu tidak
akan meninggal dunia sebelum kamu naik haji ke baituulah.” 

Setelah berselang beberapa tahun kemuida, apa yang dikatakan Kiai Hamid menjadi kenyataan,
Burne dibawah bimbingan Kiai Sholeh makin maju dan baik utamanya dari segi pendidikan dan
keagamaan. Dan fakta berikutnya, beliau baru meninggal dunia seteleh melaksanakan ibdah haji.

Kiai sholeh sendiri sadar dan pernah mengatakan saat akhir hayatnya, setelah beliau datang dari
Mekkah, mengatakan bahwa dirinya sudah tidak lama lagi akan dipanggil kehadirat ilahi. Sambil
mengingat dawu Kiai Hamid yang dahulu kala pernah mengatakan bahwa dirinya tidak akan
meninggal dunia sebelum menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan haji, bagi Kiai Sholeh
kematian sudah dekat.

Sekalipun bukan santri langsung yang ngaji ke Kiai Hamid, Kiai Sholeh termasuk orang
kesayangan Kiai Hamid.Tidak heran jika beliau terus dikawal oleh Kiai Hamid sampai ke jenjeng
pernikahan. Sebagaimana adat yang sudah berlangsung lama di Bawean, saat diselenggarakan
selamatan/walimah ursy, ada panitia yang membawa kotak untuk menarik sumbangan berupa
uang seikhlasnya dari para undangan.

Saat panitia menyuguhkan kotak sumbangan, undangan tidak banyak yang memberi uang/
mengisi kotak terebut. Hanya satu dua orang yang tampak memberinya. Namun pada saat itu,
Kiai Hamid, langsung mengepakkan dan menjulurkan sorbannya ke para undangan, tiba-tiba dan
seakan otomatis, para undangan langsung memberi sumbangan. Konon, menurut kesaksian
undangan, hampir semua undangan memberikan sumbangan.Hal tersebut merupakan salah
satu kekaramahan Kiai Hamid menurut penuturan masyarakat.

Lebih lanjut, dengan pernikahannya bersama Aisyah, Kiai Sholeh dikaruniai tiga putera yaitu
Bashori Alwi, Maliha dan Sulaikha.Sejak pernikahannya bersama Aisyah, Kiai Sholeh tinggal di
kampung Burne hingga akhir hanyatnya.Beliau dengan sabar dan istikamah mendidik dan
membina santri dan siswa di madrasah dan langgar dari berbagai daerah.

Siang mengajar di lembaga, dan malamnya mengajar santri di Langgar. Di Burne, dis sela-sela
kesibukannya bertani dan beternak, seperti kegiatan masyarakat yang lain, Kiai Sholeh tetap
setia mendampingi santrinya siang dan malam mengajarkan ilmu agama.

Sholeh muda,sama seperti anak-anak lainnya suka bergaul dan bermain layakknya orang
Bawean yang lain. Menurut cerita beliau tidak terlalu cerdas, namun beliau tekun dan tabah
dalam belajar sehingga walaupun tidak cerdas secara kognitif akhirnya beliau menjadi orang
alim.

Sebelum melanjutkan pendidikannya ke Jawa, Sholeh nagji/nyantri ke Kiai Badri, yang kelak
menjadi mertuanya sendiri. Kepada Kiai Badri beliau belajar al-Quran,  ilmu fiqh dan ilmu agama
lainnya. Selepas belajar dari kiyai Badri Burne, Sholeh muda kemudian melanjutkan beajarnya ke
Kiai Hatmin Laccar, desa Kebuntelukdalam, Kiai yang terkenal alim dan taadlu’.

Di Laccar, Sholeh punya kesempatan medalami Quran dan ilmu agama lebih mendalam. Sebab
di sanaSholeh tidak hanya ngaji malam hari seperti halnya di Burne, tapi mondok, menetap di
asrama pondok, pulang kampung setelah libur pondok. Oleh karenanya Sholeh bisa lebih focus
belajar ke Kiai Hatmin, yang kolega Kiai Umar, Kiai Usman dan Kiai Hamid Pancor. Namun Kiai
Hatmin tidak dikauniai putera.Sehingga setelah beliah wafat tidak ada generasi yang
melanjutkan pondokya di Laccar.

Setelah beberapa tahun modok di Laccar, Sholeh kemudian merantau ke Sengkep, Kepulauan
Riau, daerah kawasan Pulau Tanjung Pinang. Di sana beliau bekerja layaknya orang Bawean
yang lain. Sengkep termasuk salah satu tujuan orang Bawean mencari nafkah, selain ke
Singapura dan Malaysia. Namun tidak lama kemudian setelah dari Sengkep, Sholeh kemudian
melanjutkan belajarnya ke Jawa, yaitu Wonorejo, Luamajang Jawa Timur.

Di sana Sholeh belajar ke Kiai Syarifuddin, kayai yang terkenal alim dan melahirkan banyak kiai
baik di Jaa maupun di Bawean. Kebanyakan orang Bawean yang mondok di sana, setelah pulang
ke masyarakat menjadi tokoh masyarakat, seperti Kiai Muhammad Yusuf Telukdalam yang
kemudian mendirikan pondok Lao’an, Kiai Suyuthi Guntung, dan lain-lain. Saat ini pondok
Wonorejo di berinama sesuai nama pendirinya yaitu Pesantren Kiai Syarifuddin, untuk
mengabadikan nama Kiai Syarifuddin sebagai perintis dan pendiri pesantren. Saat ini pondok
tersebut diasuh oleh puteranya yang bernama KH Adnan.

Mengabdi kepada Masyarakat


Selepas dari Lumajang, Kiai Sholeh akhirnya mengabdikan dirinya di masyarakat, khususnya di
Burne-Bisanpa bersama istrinya Aisyah sebagaimana diceriatakan sebelumnya untuk
menyebarkan syiar agama Islam sebagaimana para pendahulunya. Awal mula Kiai Sholeh
tinggal di Burne, Burne tidak seramai saat ini. Hanya ada satu dua rumah di sana, begitu pula
dengan santri yang ngaji.

Jumlahnya tidak sebanyak waktu beliau menjadi pengasuh.Santri yang mengaji ke beliau
diperkirakan mencapai 60-sampai 100an. Jumlah yang cukup banyak untuk kalangan
pedalaman, pegunungan, termasuk kawasan Bawean secara umum.Sebab kiyai-kiyai kampung
yang ngajar ngaji paling tidak santrinya hanya berkisar tidak lebih dari 30 kala itu.

Bahkan saat kepemimpinan beliau di Burne, Kiai Sholeh sempat mendirikan pondok pesantren
karena banyaknya wali santri yang meminta beliau untuk memondokkan anaknya, tidak hanya
ngaji mosengan (malam hari) saja tapi juga mondok (full day).Di tengah kesibukannya sebagai
kiyai yang tugas kesehariannya sebagai guru dan pengayom masyarakat, beliau juga selalu
menyempatkan diri mengahadiri undangan masyarakat dan mengisi pengajian di berbagai
tempat.

Mulai dari undangan hari besar Islam seperti Isra’ mi’raj, maulid nabi, hari raya sampai hajatan
masyarakat seperti selamatan sunatan, mau mondok, walimah ursy, tahilalan dan sebagainya.
Bahkan menurut pengakuan salah satu santrinya, Hasiwi, kini jadi tokoh masyarakat
Panyalpangan, dia (Hasiwi) dapat menghafal surat Yasin bukan karena sengaja menghafal, tapi
karena seringnya diajak kai ikut mengahadiri selamatan yang diadakan masyarakat yang di
dalamnya selalu dibaca surat Yasin.

Di samping itu, beliau juga sabar melayani setiap tamu yang datang untuk meminta petunjuk
atas masalah yang dihadapinya. Mulai dari urusan lembaga pendidikan, keagamaan dan
kemasyarakatan sampai urusan yang sangat pribadi, seperti mau merantau ke luar negeri,
masalah kesehatan, penyakit yang menjangkitnya,urusan kanuragan, jodoh dan lain sebagainya.

Banyaknya tamu, undangan, santri yang ngaji menandakan betapa kepercayaan masyarakat
begitu tinggi kepada baliau, hingga tidak heran jika pesan, patuah-patuah, dan dawuh-dawuh
beliau masih kuat mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sebagian besar masyarakat Burne-
Binaspa dan sekitarnya (Panyalpangan, Somber Torak, Kajubulu Rampak) setia mengikuti apa
yang menjadi perintahnya.

Jika ada masalah tertentu yang dihadapi masyarakat, beliau selalu menjadi rujukan utama. Jika
beliau melarangnya, masyarakat pun setia menaatinya, begitu pun sebaliknya. Artinya
masyarakat tidak berani melangkah sebelum ada petunjuk yang jelas dari beliau.

Berkat kegigihannya dalam berdakwah, baik dakwah bil lisan (dengan ucapan) dan bil hal
(dengan tindakan), kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan
pun meningkat. Hal itu terbukti dengan banyaknya santri yang ngaji ke Kiai Sholeh, yang
melanjutkan ke jenjang pendidikanm yang lebih tinggi, baik melanjutkan di daerah Bawean atau
ke Jawa.

Dimana pemandangan tersebut sangat jarang sebelum beliau menekuni lembaga pendidikan di
Burne. Dengan banyaknya santri yang ngaji dan melanjutkan ke luar kampung, di Binaspa-
Panyalpangan tidak lagi mengalami kesulitan mencari orang ahli di bidang agama.Bahkan
banyak alumninya yang sudah menjadi ustadz, guru ngaji yang mendirikan langgar di
kampungnya masing-masing, mushalla pun menjamur di berbagai tempat.

Terkenal Sakti
Pada paruh awal abad 20 banyak kiyai  di Bawean yang terkenal sakti. Banyak kesaksian
masyarakat yang menyaksikan kesaktian kiyai. Bukan hanya kiyai tapi juga tokoh atau pendekar-
pendekar pencak silat, tidak terkecuali Kiai Sholeh. Pernah suatu ketika di Burne ada hujan lebat
bersama angin yang sangat kencang, orang-orang sekitar merasa sangat ketakutan dan
khawatir akan terjadi bencana dan musibah yang tidak diinginkan, tidak lama kemudian Kiai
Sholeh dengan bacaan takbir serta mengibaskan tserbannya ke atas, angin pun hilang seketika.
Orang-orang disekitarnya pun terheran-heran menyaksikan kejadian tersebut.

Dalam kesaksian yang lain, konon suatu ketika ada kejadian di daerah Bawean, ada sebuah
mobil yang jatuh ke jurang. Masyarakat pun sibuk bergotong-royong mencoba mengangkat
mobil tersebut dari jurang dengan berbagai cara. Segala usaha pun sudah dilakukan, namun
usaha mereka tidak membuahkan hasil yang memuaskan, hingga pada akhirnya tinggallah Kiai
Sholeh.Sebagian masyarakat yang menjadi saksi kala itu, meminta beliau untuk mengangkat
mobil yang jatuh ke jurang tersebut.

Akhirnya, berkat pertolongan Allah swt dengan hanya bermodalkan tangannya sendiri beliau
mampu mengangkat mobil tersebut dari jurang tanpa bantuan orang lain. Masyarakat yang
menyksikan kejadian tersebut pun terheran-heran dan makin percaya akankehebatan Kiyai
sholeh.

Sementara dalam kesaksian yang lain, Kiai Sholeh pernah dicari polisi karena kejadian tertentu,
lalu dengan bacaan mantra beliau menghilang seketikadan tidak terlihat oleh siapa pun
termasuk polisi yang sedang mencarinya. Kerena orang yang dicari sudah tidak ada kemana
rimbanya, polisi yang mencarinya pun dengan kecewa pergi tanpa hasil.Beliau mengatakan
bahwa ilmu semacam itu bisa dipelajari, ada bacaannya dan bukan pertanda orang yang bisa
melakukan hal tersebut dekat dengan Allah.

Beberapa kejadian aneh di laur nalar kebanyak orang, kerap terjadi di masyarakat Bawean kala
itu. Hal itu bisa dipahami, mengingat kultur masyarakat yang masih kental dengan budaya mistik
dan trasional. Di samping itu persoalan yang terjadi di masyakat tidak selalu bisa diselasaikan
dengan ilmu pengetahuan (ilmiah). 

Kadang bahkan sering kali harus menggunakan kekuatan supra rasional, kekuatan fisik, sebab
tantangan dakwah pun selalu berbenturan dengan kekautan yang sifatnya supra natural.
Sehingga seorang da’i, tokoh masyarakat perlu menguasai dan membekali dirinya dengan ilmu
tersebut agar dakwahnya lebih efektif dan mudah diterima oleh masyarakat.

Santun dan tak pernah menyinggung perasaan


Kesan yang sangat kuat terasa dibenak masyarakat, salah satunya adalah beliau terkenal santun
dan lemah lembut baik dalam berucap maupun bertindak. Beliau sangat santun baik terhadap
keluarga maupun terhadap masyarakat. Santun dan lembut  bukan berarti lemah, beliau sangat
tegas dalam urusan agama dan ibadah. Beliau punya komitmen yang tinggi dalam urusan
menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama.

Disamping itu, dalam berdakwah tabligh (menyampaikan pesan) kepada masyarakat beliau tidak
pernah menyinggung hati dan perasaan orang lain. Beliau sangat hati-hati dalam pemilihan kosa
kata, kata-kata yang dipakai dalam menyampaikan pesan (mauidzah hasanah) kepada
masyarakat sehingga masyarakat menerimanya dengan legowo, menerima dengan lapang dada.

Sekalipun beliau tahu persis persoalan dan sumber masalah yang terjadi di masyarakat, jika
berkenaan dengan perasaan orang lain, beliau selalu menyampaikan dengan kata-kata yang
sopan dan santun tidak menyakiti hati orang di sekelilingnya.

Sebuh teladan yang sangat berarti dan layak kita jadikan contoh, namun berat melaksanakannya
kecuali bagi mereka yang memiliki pikiran yang jernih dan hati yang bersih.Tidak heran jika
beliau diterima banyak kalangan, mulai dari kalangan masyarakat paling bawah hingga
masyarakat professional.Tidak heran setelah beliau tiada masyarakat merasa sangat kehilangan
yang belitu mendalam atas kepergiannya.

Pesan yang selalu belaiu sampaikan kepada masyarakat adalah shalat lima waktu, yakni
pentingnya menjaga shalat wajib. Sesibuk apa pun, kata beliau kita jangan sampai meninggalkan
shalat. Kalau bisa sebaiknya shalat dengan berjamaah di awal waktu. Sebab shalat adalah kunci
kemakmuran, keberhasilan dan kesuksesan seseorang baik secara individu maupun secara
kolektif (bersama-sama), baik di dunia maupun di akhirat.

Beliau dalam menyampaikan urusan agama tidak selalu memperberat masyarakat, maksudnya
tidak menyuguhkan pesoalan agama yang sifatnya khilafiyah, yang banyak membingungkan dan
mempersulit masyarakat. Tapi beliau lebih memilih yang sekiranya mudah dipahami dan
dikerjakan masyarkat tapi tidak memudah-mudahkan apa lagi mengentengka urusan agama.

Kesederhanaan dan kebersahajaan beliau juga semakin menambah simpati masyarakat kepada
beliau. Beliau tidak pernah menampakkan kealiman kepada orang lain baik dari sisi penampilan,
tindakan maupun ucapan. Beliau selalu tampil sederhana dan bersahaja apa adanya di tengah-
tengah masyarakat. Bahkan beliau dikenal selalu mengalah jika ada masalah di masyarakat,
tidak maunya dan menang sendiri. Ketawadhu’an dan kelembuatan Kiai Sholeh dalam bertutur
menjadi kesan tersendiri di hati masyarakat.

Dalam berdakwah di masyarakat, Kiai Sholeh termasuk berhasil khususnya di daearah kawasan.
Keberhasilan dakwah beliau tidak lepas dari keistikamahan, kesabaran dan ketelatenan beliau
dalam membimbing santri dan masyarakat.

Di samping itu dukungan dari keluraga, masyarakat, dan teman-teman sejawatnya tidak kalah
penting dalam keberhasilan syiar Islam beliau. Sehingga dengan kekuatan di intenal diri beliau
yang sudah mapan serta jaringan, hubungan baik dengan koleganya membuat keberhasilan
dakwahnyapun makin terasa di tengah-tengah masyarakat. Wallahu a’lam bisshawab.

Ainul Yakin, asal Bawean, saat ini aktif sebagai pengajar di Universitas Nurul Jadid Paiton
Probolinggo.

SELASA 20 MARET 2018 7:0 WIB


Mbah Zein, Kiai Sederhana Penuh Talenta
Namanya adalah KH Zaenurrahman Arrahili atau akrab dipanggil Mbah Zein. Sosok Kiai 80 tahun
asli Tanah Sekuping Jepara ini adalah satu diantara tokoh langka di wilayah Banyumas, Jawa
Tengah. Petualangan berpuluh-puluh tahun mengantarkan hidupnya sampai ke Banyumas. Mbah
Zein merupakan pengasuh Pondok Pesantren Gubuk Sekuping Bani Rasul yang berlokasi sekitar
500 meter sebelah utara stasiun Purwokerto.

Mbah Zein termasuk sosok yang sangat spesial di Banyumas. Beliau sangat sering disambangi
para tokoh dari semua kalangan masyarakat. Kepandaiannya dalam bergaul, sikap supel dan
tidak membeda-bedakan, mendorong siapapun betah berdiskusi dan bertamu kekediamannya.

Terlebih setiap ajang Pilkada atau Pileg. Para politisi tidak mau melewatkan doa dari Mbah Zein.
Baik politisi level Kabupaten Banyumas maupun Cagub dan Cawagub Jawa Tengah.

Mbah Zein bukan sosok sembarangan. Ia adalah satu di antara Murid Mbah Bisri Mustofa
(Ayahanda Gus Mus). Ia piawai dan mewarisi kepandaian Mbah Bisri dalam menulis sastra serta
syair-syair berbahasa Arab dan Jawa. Ia senantiasa istiqomah memberikan kajian Tafsir Ibris
dan Ihya Ulumaddin rutin untuk umum setiap Ahad Pagi hingga saat ini.
 
Para santrinya mengenal Kiai sederhana ini sebagai sosok yang tidak pernah berkeluh kesah
menghadapi ganasnya kehidupan. Ajarannya tentang Qona'ah (menerima) tidak hanya dalam
bentuk ujaran semata. Mbah Zein selalu mencontohkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika para santri tidak memiliki biaya hidup atau sekedar untuk makan, Mbah Zein mengajak
santrinya memanen kelapa di kebun dan kemudian menjualnya di warung untuk ditukar dengan
beras, bumbu dan kebutuhan dapur lainnya.

Sosok yang tidak pernah memakai kacamata dalam setiap membaca kitab-kitab sampai saat ini,
juga mahir berbahasa Arab dan Inggris. Dua bahasa yang menjadi momok sepanjang kuliah para
mahasiswa ini dipelajari saat Mbah Zein menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor Jawa Timur
bersama Almarhum KH Maftuh Basyuni, Mantan Menteri Agama. Selain memiliki kemampuan
berbicara berbahasa asing, Mbah Zein juga sangat mahir dalam hal tata bahasa Nahwu atau
Grammar.

“Jangan pernah tamak (berharap dengan pemberian dari orang lain)" adalah salah satu nasihat
hidupnya kepada para santri dan tamu yang datang. Ini ditunjukkan sampai dengan saat ini
pondok pesantrennya tidak pernah membuat proposal ataupun brosur layaknya lembaga-
lembaga pendidikan lainnya.

Baginya pesantren dan santri adalah titipan Allah SWT, maka Allah lah yang akan mengurusnya
termasuk dalam hal maju dan tidaknya pondok serta banyak-sedikitnya santri yang belajar.

Dalam kesehariannya, para santri senantiasa diajari untuk tidak lepas dari shalat jamaah.
Setelah shalat subuh, Mbah Zein sering mengajak para santrinya bersafari ke mushala dan
masjid sekitar untuk memberikan taushiyah.

Mbah Zein yang penuh talenta juga memiliki istri yang sangat aktif berorganisasi dengan
menjadi aktifis Muslimat NU. Istri Mbah Zein juga adalah seorang hafidzah yang mulai
menghafal Al Qur'an setelah pensiun dari pekerjaannya di Pengadilan Agama Kabupaten
Banyumas. Setiap pagi dengan naik angkot, Istri Mbah Zein pergi ke Cilongok untuk
menyetorkan hafalannya kepada Mbah Yusuf, Ayahanda Almarhum KH Slamet Efendi Yusuf.

Mungkin kebanyakan orang hanya mengetahui Mbah Zein sebagai sesepuh yang di setiap acara
sosial keagamaan dan even kabupaten selalu memimpin doa saja. Sesungguhnya menurut para
santri dan orang-orang terdekatnya, Mbah Zein itu bisa jadi “Wali” masa kini yang sudah jarang
ditemukan. (Kunanfadinaka/Muhammad Faizin)

SABTU 17 MARET 2018 17:30 WIB


KH Anwari Faqih Bawean, Pendidik Visioner
“…kita itu harus punya idealisme, dan idealisme kita jangan pernah hilang…” (KH Anwari Faqih)

Demikian salah satu potongan kalimat yang pernah disampaikan KH Anwari saat memberi
pengajian rutin yang pernah didengar langsung oleh penulis. Satu potongan kalimat yang masih
mengiang kuat di telinga penulis bahkan sejumlah santri beliau yang mengikutinya saat itu.

Kalimat yang memiliki muatan makna yang cukup dalam dan bisa menjadi bekal yang amat
berharga bagi kita dalam menajalani kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun dalam berjuang
di masyarakat.

Kiai Berik, demikian nama KH Anwari Faqih populer di masyarakat, adalah sosok yang memiliki
peran yang cukup besar dalam bidang pendidikan di masyarakat Bawean, khususnya desa
Kebuntelukdalam. Tidak lama setelah terjun ke masyarakat, Kiai Berik dipercaya oleh
masyarakat untuk mendidik putera-puterinya mengaji Al-Qur’an dan belaajr ilmu agama lainnya. 

Satu persatu masyarakat memercayakan dan menitipkan anakknya untuk diajari beliau. Ada
yang dari Kebuntekukdalam sendiri, ada pula yang dari Gunung sawah, Duku, dan sebagainya
sampai akhirnya beliau mendirikan pondok pesantren. 

Sebelum kembali ke masyarakat, Kiai Berik sempat menimba ilmu di Jawa, yaitu di Pondok
Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Di sana beliau belajar langsung kepada KH Zaini
Mun’im, pengasuh sekaligus pendiri pesantren Nurul Jadid.  Di samping itu beliau juga berguru
kepada KH Hasan Abdul Wafi, menantu KH Zaini, yang terkenal  kealiman dan ketegasannya di
Jawa Timur.

Kiai Berik belajar di Pesantren Nurul Jadid sekitar lima tahun lamanya pada tahun 1970-an
bersama teman-teman sejawatnya dari Bawean, salah satunya, KH Abdul Aziz, Kiyai Hilmi, Kiai
Nawawi, Kiai Abdur Rauf, Kiai Zaini, Kiai Sarbini Dahlan dan lain-lain.Waktu di pondok, beliau
dikenal sangat dekat dengan pengasuh, bahkan sering kali pengasuh memanggil Anwari muda
untuk kepentingan pesantren. 

Seletah kembali ke masyarakat, Kiai Berik menikahi seorang puteri dari Bapak Asyari yang
bernama Adifah. Bersama Nyai Adifah beliau dikaruniai putera-puteri yang beranama, Laili Muji
Rahman, Moch. Lutfi, Lis Isnaningsih dan Farah Diana. Beliau tinggal bersama keluarga besarnya
di Pettong Kebuntelukdalam dengan bahagia sampai akhir hayatnya.

Sebelum meninggalkan kita, di akhir masa hidupnya beliau melengkapi rukun Islam yang ke lima
yakni menunaikan ibdah haji ke Baitullah. Tepat pada hari yang sangat mulia, Jumat (5/12/2014)
Kiai Berik atau KH Anwari Faqih berpulang ke Rahmatullah di usainya yang ke 74 tahun. 

Mendirikan Pesantren
Sekalipun alumni pesantren, awal mula kembali ke masyarakat (Kebuntelukdalam), Kiai Anwari
tidak langsung dipercaya oleh masyarakat untuk mengajar ngaji apa lagi medirikan pesantren.
Mungkin hal ini wajar karena usianya belaiu yang masih muda dan gayanya yang nyentrik. Tidak
seperti santri yang lain yang selalu setia dengan kopiah, serban dan sarung khas seorang santri.

Awal-awal kembali ke masyarakat, beliau tidak terlalu familiar dengan sarung dan kopyah,
bahkan sering kelihatan mengenakan celana, tanpa mengenakan kopyah. Pemandangan yang
kurang lumrah bagi seorang santri pada masanya. 

Namun seiring berjalannya waktu, dengan komitmen dan konsistensi beliau dalam menjalankan
ilmunya sekalipun tanpa atribut kesantrian yang mencolok, lambat laun mulai dipercaya oleh
masyarakat. Pelan tapi pasti masyarakat satu persatu mulai menitipkan putera puterinya untuk
diajari ilmu agama. Mulai dari tetangganya, familinya sendiri, hingga ke dusun  lain seperti
Gunung Sawah, Duku dan sekitarnya hingga akhirnya makin banyak.

Karena banyaknya santri yang datang dari berbagai daerah seperti Alas Timur, Pamona, Tanjung
Ori, Daun, Sangkapura, yang tidak mungkin bolak-balik tiap hari ke pondok, serta tuntutan
masyarakat untuk mendirikan pesatren,  akhirnya didirkanlah pondok pesantern yang diberi
nama Ummi Roti’ah (sang ibu pengembala).

Di pesantren yang posisinya ada di Pettong itu, beliau mengajar langsung kepada para santrinya
tentang Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama. Setelah santrinya makin banyak, beliau dibantu oleh
santri senior dalam mengajar santri. Model pembelajarannya pun mengalami perkembangan,
yang sebelumnya dilakukan secara floor.
Akhirnya dimodel klasikal dan berjenjang, ada yang tingkatan pemula dan ada pula yang tingkat
senior. Materi yang dijarkannya pun berbeda-beda. Mulai dari ilmu alat seperti nahwu Jurmiyah,
Imrithi, Mutammiah dan Alfiyah, ilmu fiqh seperti kiatb Safinah dan Fathul Qarib sampai kitab
Nashaihul Ibad dan Tafsir Jalalain. Bahkan pada tahun 1997-2000 an santri sempat diajari
Bahasa Ingris yang gurunya didatangkan dari luar pesantren. 

Berkat keistikamahan beliau dalam membina santri, tidak sedikit almuninya yang sudah
mengabdi di masyarakat, ada yang menjadi guru, kiai, dosen dan menjadi aparat pemerintah.
Alumninya pun tersebar di berbagai daerah di Bawean bahkan hingga ke luar negeri seperti
Malaysia dan Singapura. 

Di sela-sela kesibukannya membina santri, Kiai Anwari tidak puas dengan model pendidikan
tradisional yang digelutinya yakni lenggar (pesantren). Oleh karenanya beliau juga merintis
berdirinya lembaga formal yaitu MTs dan MA Kebuntelukdalam yang nantinya diberinama
Himayatul Islam.

Di lembaga formal itulah beliau optimalkan kemampuan manajerial dan kepemiminannya dalam
mengurus pendidikan. Hari-harinya banyak dihabiskan di pesantren dan lembaga. Seakan tidak
punya waktu luang untuk bersantai-santai dan berleha-leha.

Belakangan, setelah usianya makin sepuh, dan udzur hingga tidak bisa mengurus santri dengan
maksimal, akhirnya peran beliau sebagai pengasuh pesantren banyak dialihkan kepada Kiai
Fauzi Rauf, menantunya sekaligus Ketua PCNU Bawean.

Merintis Lembaga Formal


Awal mula merintis lembaga formal yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah
(MA), tidak sedikit Kiyai Anwari mendapat tantangan dari masyarakat. Di sani-sini banyak yang
mengkritik dengan nada sumbang, tapi ada juga yang mendukungnya.

Mengkritik barangkali karena tidak tahu maksud dan tujuannya beliau mendirikan lembaga
formal, atau karena persoalan non teknis lainnya. Sebaliknya mereka yang mendukung mungkin
karena ada harapan baik dan positif khususnya untuk kemajuan pendidikan Kebuntelukdalan ke
depannya.

Polemik tersebut barangkali bisa dipahami,  sebab tren pendidikan pesantren kala itu adalah
model salaf dan tradisional. Jarang sekali ada pesantren yang sekaligus di dalamnya terdapat
pendidikan formal. Pendidikan formal yang ada di masyarakat waktu itu kebanyakan hanya
pendidikan tingkat dasar yakni SD/MI.

Di samping itu tenaga yang cukup mumpuni untuk mengisi pada lembaga formal yang digagas
Kiai Anwari pun sangat terbatas. Dengan segala pertimbangan serta dukungan tokoh
masyarakat Telukdalam akhirnya didirikalah Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang diberinama
Himayatul Islam pada tahun 86/87an. 
Pada tahun pertama dibuka, lembaga tersebut (MTs) mendapatkan siswa yang cukup banyak,
suatu prestasi yang cukup menarik, sekalipun tidak sedikit siswa yang akhirnya berhenti
dipertengahan jalan. Satu persatu mereka berhenti tidak sampai tuntas karena banyak hal.
Pemandangan yang cukup menyedihkan dalam lembaga pendidikan.  Padahal, Kiai Anwari
selaku pimpinan saat itu tidak begitu memperketat siswa.

Bagi siswa yang masih punya kesibukan seperti mencari rumput, membantu orang tua di rumah,
beliau tetap memperkenankan agar mengerjakan tugas kesehariannya, tapi sebisa mungkin
tetap masuk sekolah. Yang penting mereka punya keinginan sekolah bagi Kiyai Anwari sudah
bagus, kala itu. Sekalipun demikian hanya beberapa siswa saja yang mampu bertahan hingga
lulus.

Namun demikian peride pertama telah berhasil meluluskan sekitar 30 siswa. Lalu, tahun
berikutnya, setelah angkatan pertama lulus, dibukalah pendaftaran siswa Madrasah Aliyah (MA)
yang berafiliasi ke MA Umar Mas’ud. Konon pada tahun pertama dibuka MA hanya mendapatkan
satu siswa yaitu Fathorrazi. Sekalipun satu siswa, Rosi demikian orang menyebutnya berhasil
menuntaskan sampai lulus Aliyah. 

Ketabahan dan kerja keras Kiai Anwari dalam membina Madrasah yang dirintisnya, akhirnya
membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Madrasah yang dulunya tidak dilirik orang
akhirnya menjadi madrasah yang cukup diperhitungkan di kawasan Bawean. Animo masyarakat
pun untuk menyekolahkan putera-puterinya di Kebuntelukdalam semakin meningkat.

Adanya lembaga formal jenjang menengah menjadi daya tarik sendiri bagi
masyarakat.Belakangan sejumlah desa dan pesantren mendirikan lembaga formal yang sama
seperti yang telah digagas oleh Kiai Anwari beberapa tahun silam. Walhasil, lembaga tersebut
telah banyak melahirkan alumni dan sarjana yang pengabdiannya telah nyata di masyarakat.

Pekerja Keras dan Visioner


Sebagaimana kiyai lainnya, beliau memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikaan. Dalam
menekuni pendidikan yang dibidaninya, Kiai Anwari termasuk sosok yang sangat peduli dan
focus mulai sejak berdirinya pesantren maupun lembaga formal hingga akhir hayatnya. Setiap 
saat beliau selalu menyempatkan diri untuk mengontrol kondisi pesantren dan lembaga. Seakan
tidak tidak ada waktu kosing buat bersantai ria.

Dalam mendidik santri-santrinya, beliau tidak hanya mencukupkan dengan menyampaikan


konsep dan pengetahuan yang sifatnya teoritis belaka, tapi beliau mengajak santrinya terjun
langsung ke lapangan. Kiai Anwari selalu mendapingi dan mengajak santri-santrinya untuk kerja
bakti, turun ke lapangan, membangun pesantren bersama santri-santrinya.

Tidak hanya memerintah tapi ikut terlibat langsung bekerja bersama santri. Bahakan urusan
kebutuhan air santri misalnya, beliau selalu terjun langsung ke lapangan, beliau selalu
mengontorl kondisi air santri, jika ada kendalan air, beliau mengajak santri untuk mengontorol
langsung sumbernya, Olo Tompo. 
Beliau adalah sosok pekerja keras, tidak suka berpangku tangan apa lagi bermalas-malasan.
Mulai dari pekerjaan yang sifatnya fisik seperti membenahi kamar santri dan mushalla yang
rusak sampai pekerjaan kepesantrenan dan kelembagaan yang sifatnya menguras otak dan
pikiran beliau tangani langsung dengan penuh kesabaran dan ketelatenan.

Kesungguhan dalam mebina pesantren dan lembagabeliau tunjukan dengan kerja nyata. Malam
harinya beliau mendampingi santri mengaji, siangnya aktif di lembaga. Beliau control guru dan
kondisi pembelajaran di sekolah. Tidak bosan-bosannya beliau menanyakan kondisi lembaga
sebagai bentuk tanggung jawab beliau sebagai pimpinan dan pemangku pesantren. 

Disamping itu, beliau juga terkenal sebagai sosok yang cerdas dan visioner. Gagasan-gagasan
dan kebijakan Kiai Anwari kadang susah ditangkap, bahkan ungkapannya pun kadang dianggap
aneh. Cara pandang dan visi beliau yang terlampau jauh ke depan barangkali yang membuat
orang di sekelilingnya seringkali salah paham dan susah menagkap, kadang cenderung menolak.
Bahkan santri sendiri seringkali merasa lucu dan aneh terhadap ungkapan dan keputusan
beliau.Hanya segelintir santri dan koleganya yang cerdas saja yang dapat memahaminya dengan
baik.
 
Sebuah contoh, konon, beliau pernah bilang kepada santri, “mak la nenggu TV maloloh, TV paghik
bede e kocekna bekna kanak.” (kok nonton TV terus, suatu saat nanti TV itu ada di saku kalian
anak-anak..). Sabagai tanggapan terhadap santri yang selalu nonton TV sehabis pengajian, yang
sedikit bernada ngeluh agar santri tidak terlalu banyak nonton TV, wong pada akhirnay TV itu
bukan lagi barang aneh dan baru. 

Sontak, mendengar ungkapan kiyai tersebut, santri pun merasa lucu dan senyum kecut, dalam
benaknya masak TV ada di saku, aneh-aneh saja kiai. Ternyata, hari ini, ungkapan kiyai puluhan
tahun lalu menjadi nyata. TV sudah ada di gadget kita masing-masing. Ungkapan yang cukup
aneh dan susah diterima akal pada masa itu, dan hari ini kita baru tahu jawabannya.

Labih lanjut, saat memberi pengajian pada santri sekitar tahun 1990-an, Kiai Anwari pernah
mengatakan, “..suatu saat nanti, guru, imam masjid, mushalla, khatib, semuanya akan ada
sertifikatnya,….” Maksudnya, nanti, entah kapan persisnya, akan ada sertifikasi guru, imam dan
khatib bahkan semuanya yang berkenaan dengan kepentinagn publik. Ungkapan tersebut
sebagai motivasi kepada santri agar mempersiapkan diri sebelum diberlakukannya sertifikat
sekaligus agar santri tidak terkejut jika nantinya ada tuntutan sertifikasi. 

Hari ini, ungkapan beliau 20 tahun silam tentang sertifikasi guru/pengajar sudah menjadi
kenyataan yang tak terbantahkan. Bahkan belakangan, wacana sertifikasi imam dan khatib juga
makin menguat. Barangkali dulu orang tidak pernah menyangka akan ada sertifikasi khatib apa
lagi imam shalat, tapi apa boleh  buat kedunya sudah menjadi wacana yang cukup kuat di
kalangan pemerintah.

Beberapa tahun silam, saat hari libur kiai kerap kali mengajak santri mengangkut batu untuk
menguruk sungai ujung utara gedung MA (dulu), sekarang menjadi MTs. Yang namanya santri ya
mau-mau saja tanpa menanyakan maksud kiai. Sungai yang begitu dalam dan curam di uruk
untuk meratakannya pun butuh waktu yang tidak sebentar.

Dengan sabar, bulan-bulan demi bulan, tahun demi tahun hasil urukannya hingga rata. Ternyata,
hari ini hasil urukan tersebut sudah kita nikamti bersama dalam bentuk jeding dan toilet siswa,
termasuk tempat parkir sepeda. Mungkin, kala itu bekerja semacam itu terasa capai dan penat
bagi mereka yang pragmatis dan berpikir jangka pendek. Namun bagi mereka yang idealis dan
visioner justru sebaliknya.

Dari sejumlah contoh kasus baik berupa ungkapan maupun tindakan Kiai Anwari di atas,
menunjukkan betapa beliau memiliki kecerdasan melihat masa depan yang susah ditangkap
kebanyakan orang. Di samping itu pilihan tindakan beliau yang tidak mudah dimengerti santri
saat itu ternyata memiliki visi dan orientasi jangka panjang. Keduanya hanya bisa dimengerti dan
dipahami setelah menjadi kenyataan. 

Menyinggung ungkapan kiyai tentang idealisme, tidak mudah sebenarnya kita mengungkap
makna yang dikehendaki kiyai tentang idealisme. Secara harifiah, idealisme berarti “cita-cita
mulia, keinginan yang sempurna, gagasan dan angan-angan yang kuat dan ideal”. Jika idealisme
kita maknai sebagai cita-cita, keinginan, angan-angan yang sempurna dan mulia, maka sudah
semestinya setiap kita memilikinya.

Dengan cita-cita tersebut kita akan berusaha menggapainya tanpa kehilangan kendali. Sebab
idealisme adalah mesin yang menajdi motor  penggerak dalam tindakan kita. Jika kita hidup dan
bertindak tanpa idealsime, itu artinya kita sudah terjebak pada hal-hal yang sifatnya pragmatis
dan kesenangan sesaat.

Artinya sudah semestinya kita menjaga dan merawat cita-cita mulia yang berorientasi jangka
panjang, tidak hanya urusan yang sifatnya material semata tapi lebih dati adalah yang
immaterial, tidak hanya usuran duniawi tapi juga ukhrawi, tidak hanya urusan pribadi tapi juga
kemasyarakatan bahkan kamnusiaan.  Itulah yang semestinya menjadi idealismee dalam hidup
kita.

Dalammengarungi hidup dan kehidupan ini agar tindakan kita lebih terarah, maka berpegang
pada cita-cita ideal menjadi penting.Sebab cita-cita itulah yang menjadi orientasi sekaligus visi
kita dalam menjalankan roda kehidupan ini.Baik dalam kehidupan pribadi  atau dalam
bermayarakat, termasuk dalam dunia pendidikan.

Dengan keinginan yang ideal kita tak mudah puas dengan pencapaian yang didapat dan tak
pernah merasa cukup dalam menuju ke arah yang lebih baik dan labih baik. Sehingga perjuangan
menuju kebaikan tak akan menemukan ujung dan taka da habis-habisnya. Artinya kita akan terus
selalu bergerak menuju cita-cita ideal tersebut untuk kebaikan bersama bukan untuk
kepentingan pribadi yang sifatnya sesaat.
Idealisme adalah wujud dan keberadaan seseorang, eksistensi seseorang tergantung
idelisemnya, cita-ciata dan tujuan mulia akan manjadi cermin keberadaan dirinya di tengah-
tengah kehidupan bersama. Barangkali ini yang dimaksudkan Kiai Anwari soal idealisme.

Sebab itu, beliau tak pernah merasa letih dan merasa selasai dalam berjuang di masyarakat
karena idealismeenyatak pernah hilang dari benaknya. Tidak heran jika beliau berpesan agar
idealisme kita jangan sampai hilang. Jika idealisme kita sudah hilang, maka hilang pulalah diri
kita sekalipun kita hidup secara biologis. Jika idelaisme kita hilang, maka keberadaan dan
eksistensi kita pun sirna.

Demikian pula dalam dunia pendidikan. Beliau tidak pernah puas dengan pencapaian yang sudah
didapatnya. Misalnya denganeksisnya pesantren, MTs dan MA yang dirintisya. Tidak puas dalam
arti tidak merasa cukup dengan kebaikan yang telah digapainya, dan bukan berarti tidak pernah
bersyukur dengan pemberia Tuhan, tapi justru kedidakpuasan dalam mencapai kebaikan adalah
bentuk kesyukuran beliau untuk terus mencapai kebaikan berikutnya, untuk melakukan
perjuangan yang lebih gigih lagi demi kebaikan dan kemajuan yang lain berikutnya yang lebih
baik.
 
Bahkan belakangan, beliau pernah mengungkapkan keinginannya untuk mendirikan perguruan
tinggi di Kebuntelukdalam, yang tenaganya diharapkan dari alumninya sendiri yang sudah
dicanangkan jauh hari sebelumnya dan siap berjuang mewarisi idealismebeliau. 

Menyebarkan Gagasan melalui Silaturrahim


Kiyai Anwari bukanlah sosok yang pandai berorasi, tentu bukan sosok yang jago panggung,
dalam kesehariannya beliau tampak tidak banyak bicara, lebih banyak berbuat. Lebih pas
dikatakan sebagai figur yang low profile, tidak banyak bicara tapi lebih banyak berbuat dan
bertindak yang lebih pasti dan nyata. Beliau terkenal suka silaturrahim baik kepada masyarakat
biasa maupun koleganya. Gagasannya pun lebih banyak disebarkan melalui cara-cara kultural,
dngan cara silaturrahim door to door ke rumaha tokoh masyarakatdari pada cara-cara yang
formal dan kaku. 

Tak henti-hentinya beliau melakukan silaturrahim kepada tokoh-tokoh masyarakat, kolega dan
wali santri, sebagai bentuk kepedulian dan upaya memikirkan persoalan kemasyarakatan.
Hampir setiap turun dari jumatan beliau tidak langusng pulang ke dalemnya tapi masih
menyempatkan untuk silaturrahim ke tokoh-tokoh masyarakat seperti kepada kiyai Abdullah, Kiai
Muhammad Yusuf, dan lain-lain. Dengan cara demikian hubungan antar tokoh masyarakat makin
baik, gagasan dan cita-cita ideal beliau lambat laun pun dapat diterima dan bahkan dapat
dukungan yang kuat dari berbagai elemen. 

Beliau lebih suka marangkul dari pada “memukul”. Apalagi kepada tokoh masyarakat. Kepada
anak muda sekalipun beliau perlakukan demikian, beliau tidak pandang buluh, mereka tokoh
atau bukan, nakal atau tidak, semuanya beliau rangkul demi kebaikan masyarakat secara umum.
Tak segan-segannya beliau merangkul anak muda kampong. 
Dengan cara tersebut, anak muda yang dulunya sering kali “usil” terhadap santrinya menjadi
sungkan, bahkan mereka yang tidak mendukungnya malah justru menjaga dan mendukung
pesantren yang dipangkunya.

Sebelum beliau meninggalkan kita untuk selamanya, beliau pernah mengutarakan keinginannya
untuk mendirikan perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Yang akan mengisi
dan membidaninya  adalah santri-santrinya yang sudah menjadi sarjana dan mumupuni dalam
bidang pendidikan. Sebuah cita-cita yang mulia yang belum tercapai saat beliau masih hidup
yang sepatutnya kita realisasikan sebagai generasi penerus perjuangan beliau. 

Keberhasilan Kiai Anwari dalam berdakwah dan mengembangkan pendidikan di masyarakat


tidak lepas dari kerja keras dan kedisilpinan beliau. Beliau bukan sosok yang suka berpangku
tanga,mudah menyerah dan pasrah kepada kenyataan, apa lagi putus asa.

Dengan idealisme dan pandangannya yang visioner beliau mampu eksis dan mewujud di tengah-
tengah masyarakat yang cukup dinamis. Hasil karyanya pun nyata dan kita rasakan saat ini di
masyarakat. Ide dan visinya yang kadang susah ditangkap menjadi karakter dan ciri khas
tersendiri yang membuat beliau makin dicintai selakigus disegani oleh kolega dan
masyarakatnya. 

Beragkat dari kenyataan dan jejak-jejak perjuangan beliau, barangkali kalau boleh menafsirkan
visi dan ide beliau tentang pendidikan adalah menyiapkan tenaga dan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang sesuai dengan kebutuhan zamannya dan siap diposisikan diberbagai lini. 

Oleh karena itu, sebelum beliau meninggalkan kita pernah berucap sebagai bentuk kesyukuran
bahwa lembaga yang dipangkunya baik pesantren maupun lembaga formal tidak sedikit telah
melahirkan alumni yang sudah mengisi dan mengabdi secara nyata di masyarakat, baik di
instansi pemerintah maupun nonpemerintah seperti aparat desa, menjadi kiai, dosen, guru dan
sebagainya, yang selama ini dirasa cukup sulit didapatkan.

Barangkali tidak berlebihan jika beliau dikatakan sebagai sosok yang visioner dengan idealisme
yang tak pernah lekang oleh waktu dan lapuk ditelan masa. Semoga kita dapat mewarisi
idealisme dan melanjutkan visinya. Amin… Wallahu a’lam bisshowab.

Ainul Yakin, Santri Pettong 1997-2000, Pengajar di Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Rekomendasi

Mewadahi Gairah Baru dalam Berislam

Arti Lambang NU
Alasan Gus Dur Ubah Nama Irian Jaya Menjadi Papua

Khutbah Jumat: Rasisme, Dosa Pertama Iblis Laknatullah

Sudahkah Masjid Memenuhi Hak Beribadah Kelompok Difabel?

Opini

Banser [Attack]: Siasat Jalanan Orde Baru


Matinya Keulamaan

Indonesia Rumah Moderasi Dunia

Pramuka dan Gerakan Kepemudaan di Tubuh NU

KH Maimoen Zubair dan 'Al-‘Ulama’ Al-Mujaddidun'

Terpopular

1 Jika Ibu Kota Dipindahkan ke Kaltim, Indonesia Mendekati Konflik Kawasan


2 Banser [Attack]: Siasat Jalanan Orde Baru

3 Dari Internet, Ketiga Anak Jepang ini Mondok di Pesantren Al-Ikhlash Subang

4 Onani dan Masturbasi Menurut Hukum Islam

5 Habib Luthfi Sudah Maafkan Pelaku yang Menghinanya di Medsos

6 PBNU Tegaskan Dakwah Tak Boleh Ejek Agama Orang Lain

7 Santri Asal Papua Ini Kumandangkan Adzan Lima Waktu di Pesantrennya Gus Mus

8 Menelusuri Posisi Makam Mbah Moen di Ma'la

9 Ketua Ansor Jatim Perintahkan Anggotanya Lindungi Warga Papua di Jawa Timur

10 Ciptakan Kesejukan, Yenny Ajak Mahasiswa Papua Ziarahi Makam Gus Dur
Berita Terkini Haji 2019
Harlah Ke-85 Mahbub Djunaidi
1

Kumpulan Khutbah Menyambut Hari Kemerdekaan


2

Kumpulan Khutbah Idul Adha Terfavorit


3

Wafatnya KH Maimoen Zubair


4

Topik Terkini

Ibu Kota Negara Dipindah, Bagaimana Nasib Jakarta?


Nasional

Jambore Nusantara IPNU-IPPNU Babat untuk Ukhuwah Islamiyah


Daerah

Perselisihan Bisa Diselesaikan dengan Dialog Intensif

Daerah

Jihad Zaman Now Juga Merambah Dunia Maya


Daerah

Bupati Tegal: Festival Anak Shaleh Sarana Penguatan Pendidikan Karakter


Daerah
Warta Foto

1/6

❮ ❯
❮ ❯

Seminar Internasional Bersama Ulama Lebanon

Seni Budaya

1 Perang Shiffin dan Akhir Perseteruan Jokowi-Prabowo

2 Jangan Marah

3 Muasal Al-Athlal

4 Menjadikan Buku sebagai Suluh

5 Memilih Pesantren NU agar Toleran


Risalah Redaksi

1 Memperluas Ruang Para Ahli Non-Agama di Lingkungan NU

2 Kualitas SDM Kunci Kemajuan Bangsa

3 Menahan Diri dari Keserakahan Mengeksploitasi Alam

4 Memberi Ruang Kelompok Disabilitas untuk Mengabdi dan Berkreasi

5 Sudahkah Masjid Menyumbang Kesejahteraan Umat?


Beranda Tentang NU Redaksi Kontak Kami Download



Copyright © 2019 | All rights reserved | NU Online

Anda mungkin juga menyukai