Anda di halaman 1dari 2

BECOMING MUHAMMADIYAH:

Mencari Titik Konvergensi Muhammadiyah dan NU (Bagian I)

Oleh Ma'mun Murod Al-Barbasy

Sekedar Pengantar

Tulisan berikut adalah tulisan saya yang dibuat di buku “Becoming Muhammadiyah” yang diterbitkan oleh
Penerbit Mizan tahun 2016 dan telah dibedah di beberapa tempat, termasuk oleh IMM Komisariat FISIP
UMJ. Hadir sebagai pembedah di antaranya Mas Dr. Sudarnoto Abdul Sudarnoto Abdl Hakim, Mas Dr. Ulil
Abshar Abdalla, Mas Syafiq Hasyim, Ph.D., Andar Nubowo, dan saya sendiri.

Saya merasa penting untuk memuatnya dalam bentuk bersambung di media sosial –di mana dalam setiap
harinya akan saya muat satu bagian– karena yakin tidak semua berkenan untuk membeli bukunya. Letak
pentingnya agar kita mampu mendudukan secara proporsional relasi Muhammadiyah dan NU, tentu
berdasarkan atas sejarah yang berbasis fakta, bukan berbasis “katanya” yang terkadang sangat subyektif.

Tulisan yang dimuat di media sosial ini praktis sama persis dengan yang dimuat dalam bentuk buku. Hanya
terkait dengan footnote tidak saya cantumkan, karena terlalu banyak footnote.

Sementara yang terkait dengan relasi politik Muhammadiyah dan NU sebagaimana tercantum dalam catatan
penutup, suatu saat akan saya tulis secara serius dan lebih detail lagi, agar publik bisa membacanya secara
proporsional dan utuh.

Dalam menulis ini saya mencoba untuk berusaha menjadi orang yang “bebas nilai”, sehingga dalam
menulisnya bisa bersikap seproporsional mungkin. Selamat membaca.

Pendahuluan

Menarik ketika ditawari untuk menulis tentang pengalaman “menjadi Muhammadiyah”. Letak menariknya,
buku ini rasanya akan menjadi buku pertama yang menuturkan beragam pengalaman “menjadi
Muhammadiyah”. Bila dalam risetnya, Munir Mulkhan menghasilkan empat tipologi Muhammadiyah, Al-
Ikhlas, Kiai Dahlan, MUNU, dan MUNAS. maka buku yang dimaksudnya sebagai kado untuk Muktamar
Makassar 2015 ini, sepertinya akan menemukan lebih banyak lagi model “menjadi Muhammadiyah”. Salah
satunya melalui “perkulihan” di lembaga pendidikan milik Muhammadiyah.

Saya termasuk orang yang “menjadi Muhammadiyah” karena kuliah di perguruan tinggi Muhammadiyah,
tepatnya. pada Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Malang sejak 1991-1995. Sejak itulah saya mulai mengenal dan menjadi Muhammadiyah.

Sebagai orang yang dilahirkan dan tumbuh dari keluarga NU, mulanya tentu mengalami kesulitan untuk bisa
menerima Muhammadiyah, organisasi yang sejak kecil dikenalkan sebagai “musuh”, “serba salah”, “sesat”
dan pengikut Wahabi, yang pandangan keagamaannya “dibenci” di kalangan NU, karena dinilai telah
“menelanjangi” praktek-praktek tradisi keberagamaan yang dianut NU.

Kesulitan ini bahkan masih saya rasakan hingga awal-awal perkuliahan. Nada-nada “kebencian” terhadap
Muhammadiyah masih belum beranjak dari pandangan dan sikap keberagamaan saya. Tentu hal ini harus
dipahami dalam kerangka “transisi keberagamaan” yang tengah berproses.

Namun saya mulai bisa “menerima” Muhammadiyah sejak aktif Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Ada keinginan kuat untuk mengetahui Muhammadiyah. Satu bekal yang diperoleh saat di pesantren, yaitu
Kitab Rahmatul Ummah fi-Ikhtilafil Aimmah, begitu membantu saya dalam mengenal Muhammadiyah.

Sejak duduk menjadi pengurus Pimpinan Cabang IMM Malang, mulai ada kecintaan terhadap
Muhammadiyah, meski model “ubudiyah NU” belum sepenuhnya bisa ditanggalkan. Dan kecintaan terhadap
Muhammadiyah semakin meningkat setelah banyak mengenal Muhammadiyah, baik melalui kajian-kajian
terhadap pandangan keagamaan Muhammadiyah, dalam konteks ubudiyah, kemasyarakatan, maupun
politik kenegaraan. Juga kecintaan terbangun karena pengalaman dan keteladanan dalam
bermuhammadiyah yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah.

Lahir dari Keluarga NU Minded


Saya dilahirkan dari keluarga NU minded, terutama dari jalur ibu (biasa memanggilnya ema). Keluarga dari
garis ema bisa disebut sebagai representasi dari varian santri, meminjam istilah Geertz. Ema saya pernah
menjadi Ketua Muslimat NU Ranting di desa. Sementara abah dari Ema, yaitu Kiai Sjamsuri bin Abi Shufyan
adalah seorang Hafidz al-Qur’an (30 Juz). Meski tidak duduk dalam struktur NU, namun Kiai Sjamsuri cukup
berpengaruh di lingkup NU Brebes.

Menantu Kiai Sjamsuri, Kiai Anas Yahya, semasa hidupnya pernah menjadi Rais Syuriah NU di desa saya.
Sementara paman dan pak de’ lainnya yang kebetulan tinggal di Jakarta hampir semua aktif di struktural NU,
baik di tingkat MWC, PCNU maupun PBNU. Ada pak de’ (sepupu ema), KH. Achmad Zabidi (alm), sempat jadi
pengurus PBNU, tepatnya Wakil Sekjen hasil Muktamar Cipasung 1994.

Kiai Zabidi pernah menjadi politisi PPP dan Anggota DPRD Kota Bandung dan DPRD Jawa Barat. Dalam
perjalanannya, saat Pemilu 1997, Kiai Zabidi “lompat pagar” ke Golkar dan sempat menjadi anggota DPR RI
(1997 sampai 1999).

Ditilik dari sisi pendidikan, kebanyakan keluarga besar dari garis Ema adalah alumni pesantren salaf yang
berafilisi ke NU. Ada yang jebolan Pesantren APIK Kaliwungu Jawa Tengah dan alumni Pesantren Lirboyo
Kediri. Sementara di antara sepupu, ada yang alumni Pesantren APIK Kaliwungu, Pesantren Putri Walisongo
Cukir Jombang, dan alumni Pesantren Tebuireng dan Pesantren Tambakberas.
Dari sisi afiliasi politik, hampir semua keluarga besar berafiliasi ke PPP.

Kalaupun ada yang menjadi PNS juga tidak secara demontratif menunjukan ke-Golkar-annya. Namun
selepas NU kembali ke Khittah lewat Muktamar Situbondo 1984, ada yang berpindah ke Golkar. Tercatat Bu
De’ Eny Nadziroh (sepupu ema) yang sebelumnya menjadi anggota DPRD Brebes dari PPP, saat Pemilu 1987
pindah ke Golkar. Selepas Orde Baru tumbang, mayoritas afiliasi politik keluarga berpindah ke PKB. Bahkan
ada saudara sebuyut, Andi Najmi Fuaidi, pernah menjadi Anggota DPR RI PKB (1999-2004). Dalam
perkembangannya, ada yang tetap bertahan di PKB dan PPP, namun ada juga yang mengalami “diaspora
politik”, dengan hijrah ke PAN, PKS, dan Partai Demokrat.

Sementara dari sisi seni, sebagaimana lazimnya keluarga santri, saya sangat menyukai musik bernafaskan
“Islam” (Arab), seperti qasidah, gambus, Padang Pasir. Sejak kecil, saya begitu familiar dengan penyanyi
legendari Mesir yang wafat 1972, Umi Kalsum (Barat menyebutnya Oum Kalthoum).

Selain itu, saya juga menyukai lagu-lagu Fairuz (Kristen) penyanyi legendaris Libanon.
Sejak Kecil Familiar Mendengar Cerita Politik NU
Dari paparan di atas tergambar bahwa tidak saja dilahirkan dari keluarga NU minded, tapi saya juga lahir
dari keluarga yang familiar dengan politik. Budaya “melawan” yang dilakukan pak de’-pak de’ sudah saya
dengar sejak kecil. Mungkin karena hal ini, tak heran bila “darah politik” mengalir pada diri saya. Sejak kecil
saya sudah dengar cerita politik seputar Pemilu 1971.

Diceritakan, beberapa Pak De’ sempat menjadi “buron” rezim Orde Baru karena aktif di Partai NU yang saat
itu menjadi rival utama Golkar. Untuk mengamankan kebijakan-kebijakan politiknya, Orde Baru
menargetkan dan dengan cara apapun Golkar harus bisa memenangkan Pemilu 1971.

Cerita lain yang saya dengar adalah seputar Peristiwa G30S/PKI. Diceritakan soal kekejaman dan ancaman
tokoh-tokoh PKI di Brebes jika berhasil memenangkan Pemilu 1955. Peristiwa DI/TII juga diceritakan.
Menariknya dalam cerita ini, ada pak de’ yang begitu semangat dan terlihat sangat mendukung DI/TII,
namun ada juga yang biasa saja.

Selain cerita di atas, tentu saja yang paling banyak diceritakan adalah soal politik NU, baik ketika masih
bergabung dengan Masyumi, menjadi partai sendiri tahun 1952 sampai soal Khittah 1926. Untuk soal yang
terakhir, pak de’ cerita cukup lengkap, karena kebetulan saat Muktamar NU ke-27 1984, turut
menghadirinya.

Dari cerita-cerita ini saya menjadi tahu politik NU, tahu tentang Khittah, dan tentu mulai mengenal siapa itu
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tentu “tahu dan mengerti” di sini harus dipahami sebagai “tahu dan
mengertinya” mumayyiz yang sedang berusaha untuk mengerti soal politik. Saat mendengarkan cerita-
cerita ini, usia saya berkisar antara 11-17 tahun.

Anda mungkin juga menyukai