PENDAHULUAN
Rancangan ini sudah di tolak oleh pak faruk dengan alasan masih terlalu jauh dari
cakupan yang ingin dibahas dalam novel ini. Cukup mencari isu-isu kekinian yang tidak
jauh dari masa sebelum terbitnya novel. Hal ini dimungkinkan dengan syarat tidak
bertentangan dengan kronologi penulisan untuk menghindari anakronisme penelitian.
Untuk itu, bagian pendahuluan ini akan dikonstruksi ulang.
dalam Al-Qur'an dan dipertegas melalui lisan dan tindakan Nabi Muhammad SAW.
penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqih dan teologi yang berbeda yang
tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial, kepentingan, dan budaya suatu bangsa.
Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya,
akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat
ormas Islam tersebut. Meskipun tidak dapat dipungkiri, antara Muhammadiyah dan
NU memiliki sejumlah perbedaan yang dalam beberapa hal dan pada satu masa
kedua organisasi ini selalu menyisakan ruang untuk penelaahan, khususnya dalam
bidang akademik.
memang telah dimulai sejak kedua organisasi itu masih dalam bentuk embrio,
yaitu klaim sebagai yang paling benar dan absah dalam memahami dan
mengamalkan ajaran Islam. Periode ini ditandai dengan sikap saling mengafirkan
antara NU dan Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan dituduh ‘Kristen Putih’ dan
Konflik pada periode ini bisa dikatakan bersifat sektarian dan ideologis.
Meski isu ortodoksi ini tidak sepenuhnya hilang dan dalam beberapa kasus masih
sering mengemuka kembali, pengikut kedua ormas ini lebih banyak memiliki
dan absah dalam Islam (sharing orthodoxy). Yang satu mengambil ortodoksi
selama ini banyak dipegangi oleh umat Islam (orthodoxy based on consensus).
sebagai kelompok tradisionalis atau dalam bahasa Geertz disebut kolot. Untuk
organisasi yang disebut pertama sering diidentikkan sebagai suatu lembaga yang
geneologi lebih didasarkan pada masyarakat yang berbasis perkotaan. Karena itu,
pola pemikiran keagamaannya pun dicap sebagai kelompok Islam Modernis karena
Sebagaimana yang diakui sendiri oleh Mitsuo Nakamura2 yang pernah memiliki
bahwa NU adalah organisasi ulama yang telah tertinggal zaman, yang letaknya di
pedesaan Jawa, yang secara intelektual tidak canggih, yang secara politis oportunis,
dalam kumpulan para ahli atau pengamat Islam, baik dalam konteks Indonesia
organisasi Islam yang dianggap modernis atau reformis. Terdapat banyak sekali
kajian yag dihasilkan para ahli dan pengamat tentang organisasi modernis dan
mendapatkan pemberitaan lebih luas dan ekstensif dalam media massa. Karena itu,
tidak heran bila menyeruak semacam complaints dari kalangan tradisional bahwa
dan “Islam modernis” dalam kajian tentang Islam Indonesia, tidak lain adalah
Deliar Noer dalam “karyanya yang kini sudah klasik.”8 Deliar Noer secara tegas
Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain dan Islam Tradisi yang diwakili NU serta
organisasi semacamnya.9
tahun 1980-an. Namun, jika mencermati dinamika yang ada, khususnya dewasa ini,
mulai menggugat polarisasi istilah modernis dan tradisionalis bila digunakan untuk
mengamati perkembangan pemikiran NU dan Muhammadiyah dewasa ini.
NU dan Muhammadiyah juga menjadi tema sentral dalam sebuah novel yang
berjudul Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan. Secara ringkas, novel ini
Tegal Centong yang digambarkan terletak di daerah Jawa Timur. Novel ini diawali
dengan kisah tentang dua remaja, Mifta dan Fauziah, yang saling mencintai namun
mereka tidak memiliki hubungan yang baik dalam sejarahnya. Ayah Mifta, Pak
Centong. Sementara itu, ayah Fauziah, Pak Fauzan, juga merupakan tokoh penting
konstelasi demikian, rencana mereka untuk menikah menjadi sulit diterima oleh
Mifta dan Fauziah pada akhirnya menikah dan hidup bahagia dalam perbedaan
menjadi pendorong utama dalam plot novel, namun sesungguhnya bukan Mif dan
Fauziah yang berperan sebagai tokoh utama. Yang secara akrab diperkenalkan
kepada pembaca dan memiliki porsi penceritaan yang lebih panjang tidak lain
adalah kedua ayah mereka, Pak Kandar dan Pak Fauzan. Kenyataan-kenyataan
yang kemudian muncul dalam novel ini menjadi lebih problematis lagi, sebab Pak
Iskandar dan Pak Fauzan yang dikisahkan sebagai representasi tokoh yang
Keduanya adalah sahabat karib yang selalu bersama. Koflik di antara keduanya
Melalui narasi Pak Iskandar dan Pak Fauzan, barangkali pembaca akan
novel ini bermula pada penetrasi paham kebaharuan yang dibawa oleh sekelompok
pemuda desa yang pada akhirnya harus berhadapan dengan tradisi keagamaan yang
Hal lain yang menarik lainya terletak pada kekuatan pengarang dalam
terlempar jauh ke masa lalu kemudian kembali lagi ke masa kini. Dengan
dengan berbagai sudut pandang tokoh yang dihadirkan. Semua itu diasumsikan
Ikhwan dengan tegas membuka novel ini dengan kalimat “Untuk para
orang tua, orang-orang tua, dan orang-orang yang ceritanya aku curi dan
Deliar Noer, maka sejak awal novel ini memang dimaksudkan untuk
yang diungkap oleh Nakamura, Deliar Noer, dan para ahli yang menggunakan
Dengan kata lain, Relasi oposisional Muhammadiyah dan NU itu tidak serta
merta hadir begitu saja sebagai sebuah konstelasi atas permasalahan di tengah teks
novel tersebut. Apa yang menjadi permasalahan dasar adalah bagaimana Ikhwan
stereotipe yang selama ini menjadi diskursus baik dalam masyarakat ilmiah maupun
dalam Kambing dan Hujan menjadi menarik untuk ditelaah. Bahwa ada usaha untuk
tataran yang lebih personal, yang bahkan tidak berhubungan dengan agama sama
sekali. Hal inilah yang menjadi dasar pijakan untuk membongkar bagaimana
dekonstruksi, dan inilah yang menjadi paradoksalitas yang harus diulas kembali.
Untuk itu, demi penelaahan yang komprehensif, analisis terhadap teks novel
Kambing dan Hujan menjadi menarik untuk ditelaah menggunakan teori dan
metode pembacaan dekonsturksi Derrida. Teks novel ini akan dianalisis dengan
tataran makna, menjadikan metode ini dianggap tepat untuk penelaahan yang lebih
komprehensif.
maka masalah dalam novel ini dapat dirumuskan menjadi dua, yakni:
didekonstruksi demikian?
Novel Kambing dan Hujan dapat diasumsikan sebagai alternatif untuk menolak
berpasangan dalam novel ini. Dengan begitu, tujuan utama yakni mengungkap
pola dekonstruksi demikian. Dalam usaha tersebut, penelitian ini akan merujuk
Sejak diterbitkan pada tahun 2015, Novel Kambing dan Hujan karya Mahfud
Ikhwan telah banyak dibicarakan dalam berbagai diskusi sastra maupun karya tulis,
baik artikel lepas maupun dalam kerangka karya tulis ilmiah. Hal ini
Penelitian pertama dilakukan oleh Atikah Silma Nabila (2017) yang berjudul “
Novel Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan: Kajian Representasi Stuart
Hall”. Hasil penelitan ini dijabarkan melalui dua paradigma, yakni semiotik Roland
dilihat dari sudut pandang persamaan dan perbedaan sebagai dua organisasi yang
berada di bawah payung yang sama, yaitu islam. perbedaan kedua kubu tersebut
karyanya. Penelitian yang dilakukan oleh Silma hanya sampai pada tahap
digunakan tanpa menelisik lebih jauh bagaimana representasi tersebut tumbuh dan
memparafrasekan isi novel. Selain itu, Penelitian ini dirasa kurang memanfaatkan
teori wacana yang sejak awal menjadi objek formal penelitian sehingga teori
Penelitian lain yang membahas Novel Kambing dan Hujan karya Mahfud
Ikhwan yakni penelitian yang berjudul “Konflik Sosial dalam novel Kambing dan
Hujan karya Mahfud Ikhwan (kajian Konflik Sosial Lewis A. Coser)” oleh Esa
Wahyu Setyo Linggar (2017). Berdasarkan teori yang digunakan, hasil penelitian
konflik juga dijelaskan memiliki fungsi-fungsi yang inheren bagi kedua kubu. Baik,
memandang kedua kubu sebagai dua entitas yang berbeda secara universal dan
relasi-relasi di luar konflik itu sendiri sehingga teori sosiologi sastra secara umum
mendapatkan tempatnya dalam penelitian ini dan hanya berfokus pada paradigma
Hujan yaitu jurnal ilmiah yang berjudul “Strategi Naratif dalam Penggambaran
Konflik Ideologi pada Novel Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan” oleh
Hilda Septiani dkk (Atavisme, 20 [1], 2017, 68-8). Hasil penelitian ini
fokalisasi, alur, dan latar. Selain itu, peneliti juga membahas Konflik ideologis yang
dalam novel. Pada akhirnya, berbagai negosiasi ditampilkan dalam teks melalui
sebelumnya barangkali hanya terletak pada teori yang digunakan yakni teori
dikatakan persis - dengan penelitian yang dibahas sebelumnya. Adapun dari cara
penyajian, penelitian ini cenderung bias dalam memetakan antara strategi naratif
dan konflik ideologis. Permasalahan lain dalam penelitian ini yaitu peneliti hanya
membahas narator dalam sudut pandang orang pertama tanpa menyadari adanya
narator yang berdiri sebagai orang ketiga. Memang ada pembahasan tentang
dalam Novel Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan” oleh Rusi
lapis konflik dengan teori interaksi simbolik Herbert Mead untuk mengetahui
proses terjadinya konflik serta makna yang terbentuk dari adanya konflik tersebut.
ternyata hanyalah merupakan bagian dari konflik utama saja. Dalam hal ini, konflik
agama hanya menjadi penutup dari konflik pribadi para tokoh besarnya saja. Dari
konflik percintaan Mif dan Fauzia dan cinta segitiga orang tua mereka, terdapat
superior. Sementara itu, dari konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dapat
dipahami bahwa Nahdlatul Ulama berpaham sinkretisme dan Muhammadiyah
berpaham puritan yang disimbolkan dengan Kambing dan Hujan. Usaha untuk
yang sifatnya lebih individual. Dalam hal ini peneliti seakan menghindari dengan
Muhammadiyah dalam rentetan kisah dalam novel ini. Hal ini dapat dipahami
sebagai usaha penulis untuk memasuki konflik yang lebih sempit dimana penulis
memasukkan kajian feminism, tempat kisah cinta Mif dan Fauziah dibingkai di
konflik yang ada karena tidak menjelaskan hubungan tiap-tiap konflik, seolah-olah
penelitian “Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai Toleransi pada Novel Kambing dan
Hujan Karya Mahfud Ikhwan serta Relevansinya dengan Materi Ajar Apresiasi
Sastra Kelas XII”. Berdasarkan identifikasi Sukma, setidaknya, ada lima hal yang
dapat disimpulkan. Pertama, latar sosial dalam novel adalah kondisi sosial dan
konflik agama di Desa Tegal Centong, Jawa Timur. Aspek-aspek latar sosial yang
terdapat dalam novel, yaitu kebiasaan hidup masyarakat makan bersama di tegalan,
rambu, dan buwuh; adat istiadat pernikahan dimulai dari pihak perempuan; tradisi
wayang kulit, gambyong, ludruk, tayuban, dan selamatan; cara berpikir dan
bersikap masyarakat yang kaku terhadap hal-hal baru; keyakinan dan pandangan
masyarakat yang kental dengan agama Islam. Kedua, latar belakang sosial
pengarang, yakni seorang pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur pada 7 Mei 1980.
(GLI), serta penulis ulasan sepak bola dan film India. Pengalaman hidup sebagai
seorang muslim di Lamongan menjadi salah satu motivasi untuk menulis novel
Kambing dan Hujan. Ketiga, pembaca menyatakan novel tersebut bagus dan
menarik serta memberikan pengaruh positif bagi pembaca. Keempat, nilai toleransi
yang terkandung dalam novel berupa nilai toleransi terhadap kebiasaan, keadaan,
pandangan, dan kelakuan. Kelima, novel Kambing dan Hujan relevan dengan
materi ajar apresiasi sastra di SMA karena telah memenuhi syarat identifikasi
materi ajar pembelajaran dan sesuai dengan materi ajar dalam silabus mata
pelajaran bahasa Indonesia Kurikulum 2013 edisi revisi tahun 2016. Sebagaimana
begitu, penelitian ini tidak memberi sebuah kebaharuan di dalam usahanya. Adapun
fakta-fakta sosial yang coba diangkat oleh peneliti tanpa analisis sosiologi sastra –
menempatkan penelitian ini dalam jejeran artikel semata. Memang ada bagian yang
mengaitkan dengan usaha menjadikan novel Kambing dan Hujan sebagai bahan
ajar di sekolah sesuai kurikulum, namun usaha tersebut lagi-lagi tidak memberikan
alasan yang komprehensif mengapa tema pertikaian dua aliran dalam satu agama
Kambing dan Hujan dalam hubungannya dengan nilai-nilai dalam hukum Islam
seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim Wirawan dengan judul penelitian “Nilai
Trilogi Islam dalam Novel Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan” oleh Abdul
Karim Wirawan (2017). Hasil penelitian ini terwujud dalam usaha identifikasi
penulis terhadap nilai trilogi Islam dalam novel Kambing dan Hujan. Nilai trilogi
Islam pertama adalah wujud nilai keislaman. Wujud nilai keislaman yang terdapat
dalam novel Kambing dan Hujan yakni mendirikan salat, membayar zakat, serta
mengerjakan puasa. Nilai trilogi Islam kedua adalah wujud nilai keimanan. Wujud
nilai keimanan yang dapat diidentifikasi dalam novel Kambing dan Hujan yakni
percaya pada Tuhan, percaya pada Kitab, percaya pada Rasul, serta percaya pada
takdir. Nilai trilogi Islam ketiga adalah nilai keihsanan. Ihsan adalah berbuat baik
di mana pun dan kapan pun dengan tulus dan ikhlas karena merasa diawasi oleh
Quran, yang diikuti dengan sikap sedekah, sabar, jihad, takwa, dan adil. Oleh
karena itu, kelima sikap tersebut dijadikan sebagai indikator keihsanan. Penelitian
nilai-nilai Islam tanpa melihat lebih jauh bagaimana tokoh-tokoh memaknai nilai-
nilai tersebut.
dan Hujan yaitu penelitian yang berjudul “Perilaku Sufisme pada Penokohan Novel
Pertama, wujud pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan, yang terdiri atas
tiga aspek yakni fakir, takwa, dan tawakal. Fakir adalah salah satu wujud
apa pun selain Tuhan. Takwa adalah terpeliharanya diri untuk tetap melaksanakan
mutlak antara manusia dan Tuhan, yang terdiri atas perilaku zuhud dan sabar.
Zuhud adalah sikap tidak tamak atau tidak mengutamakan kesenangan duniawi
yang bisa menjauhkan diri dari Tuhan. Sabar adalah sikap tabah dan tahan
Tuhan, yang terdiri atas taubatan nasuha, wara’, dan rida.Taubatan nasuha adalah
sadar dan menyesal akan dosa dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan
perbuatan. Perilaku wara’ dapat diartikan menahan diri dengan cara menjauhi atau
meninggalkan segala hal yang belum jelas halal atau haramnya. Rida adalah hasil
penerimaan seseorang atas segala sesuatu yang dialami baik lahir maupun batin.
komprehensif terkait dengan masalah yang coba diangkat. Selain itu, peneliti
nilai-nilai tersebut. Sehingga, apa yang dilakukan oleh peneliti tidak benar-benar
memanfaatkan konflik sosial dalam novel untuk dimaknai berdasarkan aspek-aspek
Tulisan lain yang juga mengambil bagian dalam membahas novel ini yaitu
(Bandel: 2016). Bandel memandang hubungan antara tokoh Fauzan dan Iskandar
sebagai imaji yang unik yang dapat dibaca “sebagai sebuah maskulinitas alternatif”
(Bandel, 2017:97). Asumsi Bandel mengambil acuan dari konsep R.W. Connell,
global. Menurut Connell, penyebaran imaji laki-laki kini bersifat global dan terjadi
interaksi yang rumit antara berbagai jenis maskulinitas lokal dan global. Interaksi
posisi yang setara atau sekadar parallel. Yang terjadi adalah sebuh jaringan relasi
yang lain dan memaksa untuk bertahan di posisi pinggiran atau alternatif. Laki-laki
hari ini dibentuk oleh norma maskulinitas yang disebut Connel sebagai
satu sama lain, berusaha saling mengungguli dalam hal kepemilikan modal dan
mengikuti logika pasar. Esai Bandel ini mengarahkan pembaca Novel Kambing dan
Hujan pada suatu paradigma alternatif dalam memandang hubungan antar laki-laki
dalam tangkup yang lebih feminine, yang saling berpisah untuk tak saling
menyakiti. Esai Bandel tentu saja menarik bila dilihat dari konteks kekinian ketika
dipaparkan oleh Bandel juga bukan merupakan konsep yang ahistoris, melainkan
berakar pada konsep humanisme universal, dimana individu dipisahkan dari
konteks poskolonial, hal ini tentu problematis karena sejak awal, konsep humanism
universal memiliki akar yang sama dengan kapitalisme yakni, imperialisme Barat.
disimpulkan betapa masih terbuka ruang-ruang lain dalam novel ini yang
problematis dan belum tersentuh. Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk
mengambil bagian dalam membahas novel ini melalui teori dan metode pembacaan
dirinya dalam oposisi biner antara Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama? atau
bagaimana saling tuding dan sikap saling curiga menjadi pilihan tunggal dalam
merupakan sesuatu yang terberi, yang taken for granted? Sekiranya pertanyaan-
Differance dan yang kedua adalah konsep trace. Dua konsep tersebut pada
biasa.
1.4.1 Dekonstruksi
dapat menjadi pijakan awal dalam menguraikan apa itu dekonstruksi. Pada dasarnya
kata yang pertama kali keluar melalui mulutnya. Konon, pembacaan Derrida
filsafat Barat di dunia modern. Dalam menjawab segala persoalan yang muncul,
kata dianggap sebagai jalan untuk menjelaskan segala hal. Kata memiliki kekuatan
rasional untuk membenarkan dunia. Anggap tersebut oleh Derrida disebut sebagai
yang dikembangkan oleh Aristoteles. Salah satu ciri penting logosentrisme yakni
3 Lihat K Bertens, Sejarah Filsafat Barat Perancis, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal.2.
4 ibid
berpasangan selayaknya hitam dan putih Akibatnya, manusia cenderung berpikir
Logos. Pada zaman modern, logos nampak menguasai pikiran manusia. Para filsuf
suara hati, Allah, manusia dan seterusnya. Mereka menganggap bahwa dengan
menolak pandangan tersebut, justru menurutnya, tanda, kata atau (trace). ―Bekas
akan hilang jika telah ada sesuatu yang menggantikannya. Bekas merupakan teks
yang terjalin dengan teks-teks yang lain. Menurut Derrida, tidaklah beralasan
Derrida menyatakan bahwa dalam kenyataannya ―yang ada bersifat majemuk, tak
dalam kata, tanda, atau konsep tunggal. Pandangan metafisika modern tersebut
pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan
tanpa batas.
dari gagasan Saussure mengenai posisi suara dalam bahasa sehingga Derrida
mestinya hanya mempelajari ujaran, bukan ujaran dan tulisan yang juga nampak
yang makna (bahasa) hadir dalam suara dan itu adalah Logos, Kata, Pikiran Illahi,
yakni kehadiran diri kesadaran diri yang penuh6. Analoginya adalah, sebuah kata
diucapkan, dipancarkan dari sebuah tubuh yang hidup yang lebih dekat kepada
pikiran, daripada sebuah kata yang tertulis. Derrida menekankan bahwa pemberian
5 Idealitas Objek, yang masih abstrak, hanya dapat diungkap melalui sebuah elemen dan itu
adalah suara; suara yang didengar, tanda-tanda fonik. Lihat, Derrida, “The Voice that Keeps
Silence,” dalam Derrida, Jacques. 1973. Speech and Phenomena, and Other Essays on Husserl’s
Theory of Signs (terj. David B. Allison dan Newton Garver. Evanston: Northwestern University
Press, hlm. 76.
6 Sarup, Madan. 1993. Postructuralism & Postmodernism. Hertfordshire: Hemel Hempstead, hlm.
36
hak istimewa terhadap tuturan atas tulisan (fonosentrisme) adalah sebuah ciri klasik
bersama suara, bukan tulisan8. Dengan kata lain, suara seperti pintu masuk
linguistik menuju wilayah keasadaran, dan kesadaran ini yang akhirnya menjadi
makna, makna hadir melalui bahasa sementara bahasa terpoles secara struktural dan
deffering, di mana kedua kata ini membentuk kata differance, yang jika disuarakan
terdengar ambigu (dalam bahasa Perancis) dan hanya dapat dibedakan dengan jelas
jika dituliskan. Différance mengacu pada sifat natural tanda-tanda yang berbeda,
7 Selden, Raman., dkk. 2005. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory (edisi ke-5).
Harlow: Pearson Education Limited, hlm. 164.
8 Dalam Derrida, Jacques. 1981b. Positions (terj. Alan Bass). Chicago: The University of Chicago
Press, hlm. 24—25, tulisan dianggap sebagai sesuatu yang dapat mengancam kelestarian bahasa
karena sifat ambiguitasnya. Lihat juga, Saussure, Course in General linguistics, dia seolah-olah
mengatakan “berhati-hatilah dengan tulisan.”
9 Ibid. Hal.22
menunda pada jejak-jejak. Oleh karena itu, Derrida mengatakan bahwa proses
pemberian makna adalah proses yang tak-berkesudahan. Kata-kata tak akan meraih
kestabilan, tidak hanya karena terhubung satu sama lain atau pengambilan bagian
dari bentuk makna, atau kata-kata yang hanya didahului, akan tetapi karena
maknanya selalu dimodifikasi oleh hal yang mengikutinya10. Pada poin utamanya,
mengenai apa yang paradoks dan tidak terbatas dalam pencarian makna karena itu
nama trace atau jejak pada struktur tanda, sehingga “makna” hadir sebagai jejak,
yang selalu hadir dan menghilang12. Makna akan selalu hadir dan makna-makna
baru akan selalu hadir dan kehadiran makna baru, bagi Derrida tidak menghapus
makna yang sebelumnya telah hadir yang ia istilahkan sebagai sous roture (under
Makna yang telah hadir sebelumnya tidak dihapus melainkan disilang dalam artian
masih bisa digunakan tetapi kemungkinan tidak akan memadai untuk dipakai lagi.
Proses inilah yang menjadi titik krusial bahwa différance hadirsebagai proses
dekonstruksi. Derrida membiarkan makna-makna itu tetap ada dan hasil pencarian
makna itulah disebutnya jejak; jejak-jejak ini hadir dalam sisi paradoksnya,
dalam etika.
10 Bertens, Hans. 2001. Literary Theory: The Basics (edisi ke-2). New York: Routledge, hlm. 125
11 Tyson, Lois. 2006. Critical Theory Today : A User-Friendly Guide. New York: Routledge, hlm.
253.
12 Op.cit., Sarup, hlm. 33
13 Derrida, Jacques. 1997. Of Grammatology (terj. Gayatri Chakravorty Spivak). Baltimore: The
Johns Hopkins University Press, hlm xv- xvi
1.4.2 Konsep Différance
sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer yang bisa
sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, yang
Différance adalah istilah yang diusulkan oleh Derrida pada tahun 1968 dalam
sehat yang bisa dikonsepkan dengan perbedaan yang tidak dikembalikan kepada
tatanan yang sama dan menerima identitas melalui suatu konsep. Perbedaan itu
bukan suatu identitas dan juga bukan merupakan perbedaan dari dua identitas yang
berbeda. Perbedaan perbedaan yang ditunda (defer) karena dalam bahasa Prancis,
kata kerja yang sama (diffèrer) bisa berarti membedakan (to differ) atau
bagaimana bahasa mempunyai arti, Ia tidak puas dengan jawaban yang diberikan
oleh kaum modernis yang sering keliru karena meletakkan ”arti” dalam kekuatan
rasio dan kalimat manusia dipakai untuk menggambarkan realitas yang
sebenarnya.14
sebagai cermin dari ucapan. Kritik Derrida ini terutama ditujukan pada
terhadap cita-cita modern untuk menciptakan suatu dasar mutlak yang menopang
rasio dan bahasa. Husserl mencoba menemukan struktur asal dari pikiran dan
muncul dari “kehadiran-diri”. Dalam karya Husserl, pembedaan yang paling utama
adalah pembedaan antara bahasa ”ekspresif” dan ”indikatif” dimana kode ekspresif
memuat maksud pribadi, sementara kode indikatif tidak memuat maksud pribadi
Derrida menyerang pendapat Husserl dimana arti dalam terletak dalam kesadaran
pribadi, dan terikat pada konteks serta tidak dapat berdiri sendiri. Bagi Derrida
sebuah kata tidak mempunyai arti yang tetap dalam dirinya. Lewat différance
Derrida juga ingin mengkritik tradisi barat yang mengatakan bahwa tulisan
hanyalah gambaran atau representasi dari ucapan manusia karena ucapan lebih
paham strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Struktur itu
Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa
ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem
perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara
Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa
ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem
perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara
Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama
Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih superior
dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap
lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan sebagainya.
Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari tulisan,
karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan. Derrida, seperti
oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat Barat tersebut.
atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi diri pada membongkar
disembunyikan.
Oposisi biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida,
adalah antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida, pemikir-
sekadar representasi dari ujaran, hanyalah turunan kedua, atau sekadar simbol dari
simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut. Ujaran menurut De Saussure adalah
menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Makna atau
kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa
suara/bentuk.
15 Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hal. 250.
Kebenaran yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian
menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat
penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut
bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara
bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan.
Tanpa mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan dan
membenarkan oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa strategi
narasi tidaklah berdiri sendiri, melainkan bekelindan dengan konsep yang lain,
dengan teks yang lain. Narasi muncul dari teks dan teks secara langsung berurusan
makna di balik teks-teks tersebut, yang antara lain dengan mencari sistem-sistem
dengan Logosentrisme.
Derrida menyadarkan kita bahwa sekarang sudah bukan lagi saatnya kita
harus berbicara atas nama filsafat sebagai suatu sistem yanb tunggal atau satu-
satunya yang paling benar. Lalu ia menawarkan untuk berpikir “tanpa konsep
tentang kehadiran.” Semua itu dalam rangka merombak semua sistem filsafat yang
pengetahuan yang terlembagakan dalam sejarah, institusi sosial, kultur dan berbagai
sistem aturan yang lainnya. Dari sudut pandang ini, dekonstruksi dapat dipandang
Tafsir sebuah dekonstruksi berasal dari kepekaan adanya perbedaan yang mungkin
hadir, entah kapan, dari suatu benda, suatu pengalaman ataupun ingatan. Perbedaan
karenanya tak tertangkap oleh indera. Oleh karena itu, sebuah penafsiran
dekonstruksi tidak memiliki titik jangkau yang dapat diramalkan oleh rasio
maupun indera.
yang tidak mempercayai adanya kebenaran yang dapat dipegang. Demikian pula,
untuk tidak melihat kebenaran yang kita yakini sebagai satu-satunya kebenaran.
Ada banyak kebenaran, bahkan terlalu banyak dan kita boleh memilih berbagai
pada sebuah metode yang memiliki sebuah rancangan jelas dan sistematis. Proses
ini akan terus berlanjut karena penundaan dalam dekonstruksi tidak mengarah
penafsir selalu dibentuk oleh sejarah dan sebuah penafsiran merupakan efek dari
Makna bukanlah suatu institusi yang stabil dari teks. Dekonstruksi senantiasa
17 Jean Grodin, Sejarah Hermeneutika: Dari Plato Sampai Gadamer, terj. Add Qodir Sholeh,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), hal 253.
terus-menerus. Dekonstruksi meradikalkan permainan makna sehingga menuntut
sang penafsir untuk selalu memperbaiki tafsirannya setiap saat dan memulai
tafsirannya dengan semangat baru, sudut pandang baru, strategi baru dan semua hal
sang pemburu makna. Impian akan proses yang mengatasi perubahan dan
kontingensi absolut ini terus menghantui proses penulisan. Nyatanya, tak ada
penafsiran yang terbebas dari nostalgia akan kehadiran yang hilang. Sebuah proses
penafsiran akan terus diliputi hasrat akan kembalinya kehadiran. Namun, kita harus
membiarkan impian itu tetap hadir karena dengan demikian proses penulisa itu
terjadi. Pasti, selalu saja ada yang kurang dan kekurangan itu harus ditebus dengan
Terminal akhir dari dekonstruksi adalah sans avoir –tidak memiliki. Pada
moment ini kebenaran didevaluasi dari klaim otoritatifnya. Kebenaran tidak lagi
penafsiran yang lain yang beda. Tak ada lagi otoritas pengarang transendental yang
memiliki kuasa mutlak atas teks. Teks tidak lagi dibentuk oleh pengarangnya,
dinamika penafsir dan pembaca. Tak ada lagi kerja kepengarangan, yang ada
hanylah pengarang yang mati dan bunuh diri, atau bermetamorfosis menjadi
Bagian ini akan memaparkan hal-hal metodologis dalam proses analisis, sebagai
penopang kredibilitas dari sisi akademis. Beberapa hal yang akan dipaparkan yaitu
Sumber data penelitian ini adalah novel kambing dan Hujan karya Mahfud
Ikhwan. Teks dalam novel menjadi data primer berupa kata, frasa, kalimat,
paragraf, maupun wacana yang berelasi biner, yang kemudian akan dilengkapi
dengan data sekunder berupa pendapat-pendapat yang bersumber dari buku, jurnal,
majalah, ataupun laporan penelitian, yang semuanya berada dalam ranah ilmiah dan
mampu dipertanggungjawabkan.
Mahfud Ikhwan yang terbit tahun 2015 oleh penerbit Gramedia adalah objek
oposisi biner yang ditemukan dalam objek penelitian. Dengan bersandar pada teori
ditetapkan sendiri oleh teks. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Faruk, standar-
standar dan definisi yang dibangun oleh teks digunakan secara reflektif untuk
sebuah metode membaca yang cermat. Menurut Derrida, pembacaan cermat yang
dengan cermat momen yang tak terputuskan, pemlesetan yang hampir tidak
bukunya bahwa setidaknya ada tiga langkah kerja dalam dekonstruksi Derrida.
istilah atau gagasan baru yang bisa dimasukkan ke dalam oposisi lama. Hanya
yang dikiritik.
Penelitan ini terdiri dari empat bab yang dibagi sebagai berikut: Bab I menjadi
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab
dan Hujan karya Mahfud Ikhwan”. Bab III berjudul “Dekonstuksi Pengarang