Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Rancangan ini sudah di tolak oleh pak faruk dengan alasan masih terlalu jauh dari
cakupan yang ingin dibahas dalam novel ini. Cukup mencari isu-isu kekinian yang tidak
jauh dari masa sebelum terbitnya novel. Hal ini dimungkinkan dengan syarat tidak
bertentangan dengan kronologi penulisan untuk menghindari anakronisme penelitian.
Untuk itu, bagian pendahuluan ini akan dikonstruksi ulang.

1.1 Latar Belakang

Islam merupakan salah satu agama mayoritas di dunia. Diyakini sebagai

kebenaran tunggal oleh penganutnya. Bersumber dari wahyu Tuhan sebagaimana

dalam Al-Qur'an dan dipertegas melalui lisan dan tindakan Nabi Muhammad SAW.

sebagaimana dalam Hadist. Setelah Nabi wafat, Islam kemudian mengalami

penafsiran oleh penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah. Dari perbedaan

penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqih dan teologi yang berbeda yang

tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial, kepentingan, dan budaya suatu bangsa.

Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya,

akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat

perkembangan sejarah tertentu pula, agama bisa memperlihatkan struktur intern

yang berbeda-beda, yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam bentuk

organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.

Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama menjadi dua organisasi tertua, yang

eksistensinya tidak pernah terputus sejak dilahirkan1. Hampir dalam setiap

1. Azyumardi Azra, 1999: 146


dinamika sosial di Indonesia selalu dapat dibaca melalui peran yang diambil kedua

ormas Islam tersebut. Meskipun tidak dapat dipungkiri, antara Muhammadiyah dan

NU memiliki sejumlah perbedaan yang dalam beberapa hal dan pada satu masa

tertentu dapat memproduksi ketegangan. Dinamika yang mewarnai perjalanan

kedua organisasi ini selalu menyisakan ruang untuk penelaahan, khususnya dalam

bidang akademik.

Genealogi dari kompetisi dan persaingan antara NU dan Muhammadiyah

memang telah dimulai sejak kedua organisasi itu masih dalam bentuk embrio,

ketika K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah mulai

memperkenalkan gagasan-gagasan keislamannya. Konflik pada periode awal

sering disebut sebagai proses pembentukan ortodoksi (construction of orthodoxy),

yaitu klaim sebagai yang paling benar dan absah dalam memahami dan

mengamalkan ajaran Islam. Periode ini ditandai dengan sikap saling mengafirkan

antara NU dan Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan dituduh ‘Kristen Putih’ dan

kafir, sementara pengikut tradisi NU dituduh pengamal takhayul, bidah, dan

churafat atau lebih dikenal dengan istilah TBC.

Konflik pada periode ini bisa dikatakan bersifat sektarian dan ideologis.

Meski isu ortodoksi ini tidak sepenuhnya hilang dan dalam beberapa kasus masih

sering mengemuka kembali, pengikut kedua ormas ini lebih banyak memiliki

kesadaran bahwa Muhammadiyah dan NU adalah sama-sama ortodoks, yakni benar

dan absah dalam Islam (sharing orthodoxy). Yang satu mengambil ortodoksi

berdasarkan referensi kepada Al-Quran dan Sunnah (orthodoxy based on scripture),


sementara yang lain disebut ortodoks karena mengacu kepada tradisi dan kitab yang

selama ini banyak dipegangi oleh umat Islam (orthodoxy based on consensus).

Namun, perbedaan demikian sebenarnya tidak hanya pada level itu.

Terdapat pertarungan diskursus antara modern dan tradisional yang mengiringi

pergumulan NU dan Muhammadiyah. Pertarungan tersebut menempatkan

Muhammadiyah sebagai modernis sedangkan NU sebaliknya cederung dipandang

sebagai kelompok tradisionalis atau dalam bahasa Geertz disebut kolot. Untuk

organisasi yang disebut pertama sering diidentikkan sebagai suatu lembaga yang

lahir dan berkembang serta anggota-anggotanya berbasis di daerah pedesaan. Pola

pemikiran keagamaannya pun ditipologikan sebagai “Islam tradisionalis” yang

terbelakang dan rigid. Sedangkan untuk organisasi yang disebutkan terakhir,secara

geneologi lebih didasarkan pada masyarakat yang berbasis perkotaan. Karena itu,

pola pemikiran keagamaannya pun dicap sebagai kelompok Islam Modernis karena

dianggap mampu mengantisipasi perkembangan zaman.

Pemaknaan dikotomis demikian pada akhirnya menimbulkan ambivalensi.

Sebagaimana yang diakui sendiri oleh Mitsuo Nakamura2 yang pernah memiliki

semacam bias intelektual tidak hanya dari pengalamannya ketika melakukan

penelitian tentang Muhammadiyah di Kotagede, tetapi juga dengan menganggap

bahwa NU adalah organisasi ulama yang telah tertinggal zaman, yang letaknya di

pedesaan Jawa, yang secara intelektual tidak canggih, yang secara politis oportunis,

dan yang secara kultural sinkretik.

2 Nakamura Mitsuo, hal. 69-70


Akibat dari bias intelektual tersebut bermuara pada kecenderungan kuat

dalam kumpulan para ahli atau pengamat Islam, baik dalam konteks Indonesia

maupun internasional, untuk lebih memberikan perhatian kepada organisasi-

organisasi Islam yang dianggap modernis atau reformis. Terdapat banyak sekali

kajian yag dihasilkan para ahli dan pengamat tentang organisasi modernis dan

reformis Islam seperti Muhammadiyah. Bahkan organisasi ini cenderung

mendapatkan pemberitaan lebih luas dan ekstensif dalam media massa. Karena itu,

tidak heran bila menyeruak semacam complaints dari kalangan tradisional bahwa

media massa di negara-negara yang mayoritas muslim, seperti Indonesia, memiliki

bias modernis dengan mengorbankan kaum tradisionalis seperti Nahdatul Ulama.

Dalam pandangan Azyumardi Azra, sarjana Indonesia yang paling

bertanggung jawab dalam menyebarluaskan dikotomi antara “Islam tradisionalis”

dan “Islam modernis” dalam kajian tentang Islam Indonesia, tidak lain adalah

Deliar Noer dalam “karyanya yang kini sudah klasik.”8 Deliar Noer secara tegas

membuat semacam Wetertight Distinction antara Islam modernis yang diwakili

Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain dan Islam Tradisi yang diwakili NU serta

organisasi semacamnya.9

Anggapan di atas mungkin dapat dibenarkan untuk konteks NU sebelum

tahun 1980-an. Namun, jika mencermati dinamika yang ada, khususnya dewasa ini,

tampaknya diperlukan pengkajian ulang dengan mempertanyakan kembali masih

relevankah dikotomi modernis dan tradisionalis apabila dirujukkan pada organisasi

NU dan Muhammadiyah. Sebagaimana dapat dilihat, bahwa sebagian pengamat

mulai menggugat polarisasi istilah modernis dan tradisionalis bila digunakan untuk
mengamati perkembangan pemikiran NU dan Muhammadiyah dewasa ini.

Terutama, sejak organisasi NU kembali ke Khittah 1926, di bawah kepemimpinan

Abdurrahman Wahid. NU bergerak melakukan perubahan-perubahan, baik dari

segi visi, orientasi, maupun strategi (Mujamil Qomar, 2002: 27).

Kecenderungan untuk mempertanyakan kembali dasar perbedaan antara

NU dan Muhammadiyah juga menjadi tema sentral dalam sebuah novel yang

berjudul Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan. Secara ringkas, novel ini

menampilkan kontestasi antara NU dan Muhammadiyah dalam ruang desa bernama

Tegal Centong yang digambarkan terletak di daerah Jawa Timur. Novel ini diawali

dengan kisah tentang dua remaja, Mifta dan Fauziah, yang saling mencintai namun

harus menerima kenyataan bahwa sebagaimana kambing dan hujan, keluarga

mereka tidak memiliki hubungan yang baik dalam sejarahnya. Ayah Mifta, Pak

Iskandar, adalah seorang tokoh penting dalam kelompok Muhammadiyah di desa

Centong. Sementara itu, ayah Fauziah, Pak Fauzan, juga merupakan tokoh penting

yang merepresentasikan kelompok Nahdatul Ulama di desa yang sama. Dengan

konstelasi demikian, rencana mereka untuk menikah menjadi sulit diterima oleh

keluarga masing-masing. Namun karena kegigihan untuk memperjuangkan cinta,

Mifta dan Fauziah pada akhirnya menikah dan hidup bahagia dalam perbedaan

aliran paham keagamaan.

Meskipun usaha Mifta dan Fauziah untuk memperoleh restu orangtua

menjadi pendorong utama dalam plot novel, namun sesungguhnya bukan Mif dan

Fauziah yang berperan sebagai tokoh utama. Yang secara akrab diperkenalkan

kepada pembaca dan memiliki porsi penceritaan yang lebih panjang tidak lain
adalah kedua ayah mereka, Pak Kandar dan Pak Fauzan. Kenyataan-kenyataan

yang kemudian muncul dalam novel ini menjadi lebih problematis lagi, sebab Pak

Iskandar dan Pak Fauzan yang dikisahkan sebagai representasi tokoh yang

berseberangan, ternyata memiliki hubungan yang akrab di masa kecil mereka.

Keduanya adalah sahabat karib yang selalu bersama. Koflik di antara keduanya

bukanlah sesuatu yang terberi, yang sejak mulanya ada.

Melalui narasi Pak Iskandar dan Pak Fauzan, barangkali pembaca akan

sangat mudah menyimpulkan bahwa pertentangan Muhammadiyah dan NU dalam

novel ini bermula pada penetrasi paham kebaharuan yang dibawa oleh sekelompok

pemuda desa yang pada akhirnya harus berhadapan dengan tradisi keagamaan yang

mapan di desa tersebut. Kesimpulan itu tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan

namun belum dapat merepresentasikan secara utuh konstruksi hubungan antara

Muhammadiyah dan NU dalam novel ini.

Hal lain yang menarik lainya terletak pada kekuatan pengarang dalam

bermain-main dengan alur penceritaan. Bermula pada masa kini, kemudian

terlempar jauh ke masa lalu kemudian kembali lagi ke masa kini. Dengan

permainan alur demikian, kompleksitas penceritaan semakin memuncak ditambah

dengan berbagai sudut pandang tokoh yang dihadirkan. Semua itu diasumsikan

sebagai usaha pengarang dalam menghadirkan gambaran yang berimbang antara

pengikut Muhammadiyah dengan Nahdatul Ulama.

Ikhwan dengan tegas membuka novel ini dengan kalimat “Untuk para

orang tua, orang-orang tua, dan orang-orang yang ceritanya aku curi dan

kacaukan..”(Ikhwan, 2015). Jika yang dimaksud Ikhwan dengan “orang-orang


yang ceritanya aku curi dan kacaukan” adalah para sarjana seperti Nakamura dan

Deliar Noer, maka sejak awal novel ini memang dimaksudkan untuk

mendekonsturksi pola dikotomi antara Muhammadiyah dengan NU sebagaimana

yang diungkap oleh Nakamura, Deliar Noer, dan para ahli yang menggunakan

dikotomi serupa. Ada usaha merekonsruksi batas-batas perbedaan dan pertentangan

antara Muhammadiyah lawan NU melalui karyanya.

Dengan kata lain, Relasi oposisional Muhammadiyah dan NU itu tidak serta

merta hadir begitu saja sebagai sebuah konstelasi atas permasalahan di tengah teks

novel tersebut. Apa yang menjadi permasalahan dasar adalah bagaimana Ikhwan

menciptakan sebuah nuansa penolakan atau dalam istilah teoretis, mendekonstruksi

stereotipe yang selama ini menjadi diskursus baik dalam masyarakat ilmiah maupun

masyarakat awam. Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa tradisionalisme

yang dilekatkan pada NU dan Muhammadiyah telah menjadi semacam kebenaran

yang diterima begitu saja.

Betapa persoalan NU dan Muhammadiyah yang diangkat oleh Ikhwan

dalam Kambing dan Hujan menjadi menarik untuk ditelaah. Bahwa ada usaha untuk

mengacaukan dikotomi yang selama ini dilanggengkan pada masing-masing

organisasi, sebuah anggapan yang dianggap baku coba dibongkar. Bahwa

pertentangan Muhammadiyah dan NU adalah pertentangan yang kompleks, yang

terkadang tidak hanya melibatkan masalah religiusitas semata, melainkan pada

tataran yang lebih personal, yang bahkan tidak berhubungan dengan agama sama

sekali. Hal inilah yang menjadi dasar pijakan untuk membongkar bagaimana

konstruksi Muhammadiyah dan NU dalam novel KH.


Singkatnya, teks dalam novel ini dikonstruksi untuk mendekonstruksi teks

hierarkis yang tunggal dan justru di sinilah paradoks dekonstruksi tersebut

mempermainkan upaya tersebut. upaya pembongkaran teks mengindikasikan suatu

tujuan, sementara tujuan merujuk pada logosentris yang cenderung anti-

dekonstruksi, dan inilah yang menjadi paradoksalitas yang harus diulas kembali.

Untuk itu, demi penelaahan yang komprehensif, analisis terhadap teks novel

Kambing dan Hujan menjadi menarik untuk ditelaah menggunakan teori dan

metode pembacaan dekonsturksi Derrida. Teks novel ini akan dianalisis dengan

cara membongkar varian oposisi-oposisi berpasangan dalam makna invarian

oposisi NU-Muhammadiyah. cara kerja dekonsturksi yang tidak berhenti pada

tataran makna, menjadikan metode ini dianggap tepat untuk penelaahan yang lebih

komprehensif.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasakan latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya,

maka masalah dalam novel ini dapat dirumuskan menjadi dua, yakni:

1. Bagaimana pola konstruksi dan dekonstruksi hubungan Muhammadiyah

dan NU dalam Novel Kambing dan Hujan?

2. Mengapa hubungan NU dan Muhammadiyah oleh pengarang

didekonstruksi demikian?

1.3 Tujuan Penelitian

Novel Kambing dan Hujan dapat diasumsikan sebagai alternatif untuk menolak

segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku terhadap


Muhammadiyah dan NU. Berangkat dari konteks itu, penelitian ini mencoba

mengungkap konstruksi yang dibagun oleh pengarang melalui oposisi-oposisi

berpasangan dalam novel ini. Dengan begitu, tujuan utama yakni mengungkap

dekonstruksi-diri yang dilakukan Mahfud Ikhwan sebagai pengarang terhadap

hubungan Muhammadiyah dan NU dapat dengan mudah dilakukan. Selain itu,

penelitian ini juga dimaksudkan untuk menelaah alasan-alasan pengarang di balik

pola dekonstruksi demikian. Dalam usaha tersebut, penelitian ini akan merujuk

pada konteks hubungan Muhammadiyah dan NU secara riil.

1.3 Kajian Pustaka

Sejak diterbitkan pada tahun 2015, Novel Kambing dan Hujan karya Mahfud

Ikhwan telah banyak dibicarakan dalam berbagai diskusi sastra maupun karya tulis,

baik artikel lepas maupun dalam kerangka karya tulis ilmiah. Hal ini

mengindikasikan novel tersebut cukup berhasil menarik respon pembaca untuk

sekadar berkomentar atau bahkan menganalisis dengan paradigma tertentu. Pada

bagian ini, uraian terhadap tulisan-tulisan tersebut akan coba dipetakan.

Penelitian pertama dilakukan oleh Atikah Silma Nabila (2017) yang berjudul “

Novel Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan: Kajian Representasi Stuart

Hall”. Hasil penelitan ini dijabarkan melalui dua paradigma, yakni semiotik Roland

Barthes dan teori wacana Foucault. Bagian pertama, NU dan Muhammadiyah

dilihat dari sudut pandang persamaan dan perbedaan sebagai dua organisasi yang

berada di bawah payung yang sama, yaitu islam. perbedaan kedua kubu tersebut

dalam hal tata pelaksanaan ritual ibadah,karakteristik, pandangan hidup, tradisi,

sampai pada pemberian stereotipe yang disematkan oleh masing-masing kubu.


Persamaan dan perbedaan tersebut berimplikasi pada wacana umum yang

melahirkan pertentangan dan perdamaian. Selain itu, representasi NU dan

Muhammadiyah juga dipengaruhi oleh posisi diskursif pengarang yang cenderung

berafiliasi dengan salah satu kubu; Muhammadiyah. Namun, pengarang dianggap

cukup berimbang dalam merepresentasikan kedua organisasi tersebut ke dalam

karyanya. Penelitian yang dilakukan oleh Silma hanya sampai pada tahap

pendeskripsian yang cenderung memetakan konflik sosial berdasarkan teori yang

digunakan tanpa menelisik lebih jauh bagaimana representasi tersebut tumbuh dan

berkembang sampai menjadi sebuah representasi tunggal. Memang ada beberapa

bagian yang mengindikasikan usaha penulis dalam menganalisis, namun, usaha

tersebut kemudian terbaca hanya sebagai penggambaran umum yang cenderung

memparafrasekan isi novel. Selain itu, Penelitian ini dirasa kurang memanfaatkan

teori wacana yang sejak awal menjadi objek formal penelitian sehingga teori

wacana kurang mendapat porsinya dalam penelitian ini.

Penelitian lain yang membahas Novel Kambing dan Hujan karya Mahfud

Ikhwan yakni penelitian yang berjudul “Konflik Sosial dalam novel Kambing dan

Hujan karya Mahfud Ikhwan (kajian Konflik Sosial Lewis A. Coser)” oleh Esa

Wahyu Setyo Linggar (2017). Berdasarkan teori yang digunakan, hasil penelitian

ini kemudian membagi konflik dalam beberapa karakteristik yakni, 1. Konflik

realistis, 2. Konflik non-realistik, 3. Konflik in-group, 4. Konflik Out-group. Fungsi

konflik juga dijelaskan memiliki fungsi-fungsi yang inheren bagi kedua kubu. Baik,

NU maupun Muhammadiyah sama-sama memanfaatkan konflik sebagai sarana

meningkatkan integrasi internal dan solidaritas kelompok dan menekan


pertentangan di dalam kelompok. Penelitian Linggar (2017) ini yang mencoba

mengungkapkan wacana keterbelahan di dalam masing-masing kubu dan tidak

memandang kedua kubu sebagai dua entitas yang berbeda secara universal dan

menisbihkan keretakan di dalam masing-masing kubu. Sayangnya, penelitian ini

tidak secara mendalam mengungkap bagaimana konflik tersebut dipengaruhi oleh

relasi-relasi di luar konflik itu sendiri sehingga teori sosiologi sastra secara umum

yang - menurut penulis dalam pendahuluannya – akan digunakan justru tidak

mendapatkan tempatnya dalam penelitian ini dan hanya berfokus pada paradigma

teori konflik Lewis A. Coser secara parsial.

Penelitian selanjutnya yang membahas konflik dalam novel Kambing dan

Hujan yaitu jurnal ilmiah yang berjudul “Strategi Naratif dalam Penggambaran

Konflik Ideologi pada Novel Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan” oleh

Hilda Septiani dkk (Atavisme, 20 [1], 2017, 68-8). Hasil penelitian ini

menunjukkkan bahwa untuk menggambarkan konflik ideologis antara NU dan

Muhammadiyah, pengarang menggunakan strategi naratif melalui narator,

fokalisasi, alur, dan latar. Selain itu, peneliti juga membahas Konflik ideologis yang

muncul karena adanya ketidaksamaan praktik-praktik keagamaan yang dilakukan

oleh para tokoh sebagai representasi anggota kelompok NU dan Muhammadiyah di

dalam novel. Pada akhirnya, berbagai negosiasi ditampilkan dalam teks melalui

representasi tokoh yang berafiliasi dengan NU dan Muhammadiyah untuk meredam

konflik ideologis di antara keduanya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya barangkali hanya terletak pada teori yang digunakan yakni teori

strategi naratif Mieke Bal&Flaudernik (1997) yang disandingkan dengan konsep


ideologi milik Althusser (1997). Penelitian ini hampir sama – kalau tidak bisa

dikatakan persis - dengan penelitian yang dibahas sebelumnya. Adapun dari cara

penyajian, penelitian ini cenderung bias dalam memetakan antara strategi naratif

dan konflik ideologis. Permasalahan lain dalam penelitian ini yaitu peneliti hanya

membahas narator dalam sudut pandang orang pertama tanpa menyadari adanya

narator yang berdiri sebagai orang ketiga. Memang ada pembahasan tentang

bagaimana fokalisator merepresentasikan konflik, namun lagi-lagi, pembahasan

tersebut terjebak pada tokoh-tokoh yang bersudut padang “akuan” tanpa

mempertimbangkan kehadiran fokalisator yang bertindak sebagai pihak serba tahu

dengan segala ideologinya.

Penelitian berikutnya merupakan tesis yang berjudul “Keberlapisan Konflik

dalam Novel Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan” oleh Rusi

Aswidaningrum (2017). Aswidaningrum kemudian menguraikan masing-masing

lapis konflik dengan teori interaksi simbolik Herbert Mead untuk mengetahui

proses terjadinya konflik serta makna yang terbentuk dari adanya konflik tersebut.

Penelitian ini mengungkap unsur-unsur dominan seperti tata, perspektif, dan

penutur membangun adanya keberlapisan konflik. Dengan menemukan adanya

keberlapisan konflik, konflik-konflik yang sepintas terlihat sebagai fokus kisah

ternyata hanyalah merupakan bagian dari konflik utama saja. Dalam hal ini, konflik

agama hanya menjadi penutup dari konflik pribadi para tokoh besarnya saja. Dari

konflik percintaan Mif dan Fauzia dan cinta segitiga orang tua mereka, terdapat

budaya patriarki yang beroperasi dalam menempatkan laki-laki menjadi posisi

superior. Sementara itu, dari konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dapat
dipahami bahwa Nahdlatul Ulama berpaham sinkretisme dan Muhammadiyah

berpaham puritan yang disimbolkan dengan Kambing dan Hujan. Usaha untuk

memetakan konflik yang dilakukan oleh Aswidaningrum dalam penelitiannya

masih menyimpan beberapa hal yang problematis. Konflik NU dan

Muhammadiyah menjadi konflik yang dianggap sebagai “penutup” bagi konflik

yang sifatnya lebih individual. Dalam hal ini peneliti seakan menghindari dengan

cara mengecilkan dan kemudian menihilkan adanya pengaruh konflik NU dan

Muhammadiyah dalam rentetan kisah dalam novel ini. Hal ini dapat dipahami

sebagai usaha penulis untuk memasuki konflik yang lebih sempit dimana penulis

memasukkan kajian feminism, tempat kisah cinta Mif dan Fauziah dibingkai di

dalamnya. Analisis demikian menjadikan penelitian ini ambigu dalam memetakan

konflik yang ada karena tidak menjelaskan hubungan tiap-tiap konflik, seolah-olah

konflik yang satu terpisah dengan konflik yang lain.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ayu Sukma (2018) dengan judul

penelitian “Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai Toleransi pada Novel Kambing dan

Hujan Karya Mahfud Ikhwan serta Relevansinya dengan Materi Ajar Apresiasi

Sastra Kelas XII”. Berdasarkan identifikasi Sukma, setidaknya, ada lima hal yang

dapat disimpulkan. Pertama, latar sosial dalam novel adalah kondisi sosial dan

konflik agama di Desa Tegal Centong, Jawa Timur. Aspek-aspek latar sosial yang

terdapat dalam novel, yaitu kebiasaan hidup masyarakat makan bersama di tegalan,

rambu, dan buwuh; adat istiadat pernikahan dimulai dari pihak perempuan; tradisi

wayang kulit, gambyong, ludruk, tayuban, dan selamatan; cara berpikir dan

bersikap masyarakat yang kaku terhadap hal-hal baru; keyakinan dan pandangan
masyarakat yang kental dengan agama Islam. Kedua, latar belakang sosial

pengarang, yakni seorang pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur pada 7 Mei 1980.

Saat ini tinggal di Jomblangan, Banguntapan, Yogyakarta dan berprofesi sebagai

penulis novel, editor, fasilitator di Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia

(GLI), serta penulis ulasan sepak bola dan film India. Pengalaman hidup sebagai

seorang muslim di Lamongan menjadi salah satu motivasi untuk menulis novel

Kambing dan Hujan. Ketiga, pembaca menyatakan novel tersebut bagus dan

menarik serta memberikan pengaruh positif bagi pembaca. Keempat, nilai toleransi

yang terkandung dalam novel berupa nilai toleransi terhadap kebiasaan, keadaan,

pandangan, dan kelakuan. Kelima, novel Kambing dan Hujan relevan dengan

materi ajar apresiasi sastra di SMA karena telah memenuhi syarat identifikasi

materi ajar pembelajaran dan sesuai dengan materi ajar dalam silabus mata

pelajaran bahasa Indonesia Kurikulum 2013 edisi revisi tahun 2016. Sebagaimana

penelitian terdahulu, penelitian ini juga mengambil bagian dalam usaha

mendeskripsikan nilai-nilai dalam novel berdasarkan paradigma tertentu. Dengan

begitu, penelitian ini tidak memberi sebuah kebaharuan di dalam usahanya. Adapun

fakta-fakta sosial yang coba diangkat oleh peneliti tanpa analisis sosiologi sastra –

seperti yang ditegaskan dalam kerangka penelitian ini-, justru semakin

menempatkan penelitian ini dalam jejeran artikel semata. Memang ada bagian yang

mengaitkan dengan usaha menjadikan novel Kambing dan Hujan sebagai bahan

ajar di sekolah sesuai kurikulum, namun usaha tersebut lagi-lagi tidak memberikan

alasan yang komprehensif mengapa tema pertikaian dua aliran dalam satu agama

dapat menjadi bahan ajar yang sesuai di bangku sekolah.


Beberapa penelitian juga mengkhususkan pengkajiannya terhadap Novel

Kambing dan Hujan dalam hubungannya dengan nilai-nilai dalam hukum Islam

seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim Wirawan dengan judul penelitian “Nilai

Trilogi Islam dalam Novel Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan” oleh Abdul

Karim Wirawan (2017). Hasil penelitian ini terwujud dalam usaha identifikasi

penulis terhadap nilai trilogi Islam dalam novel Kambing dan Hujan. Nilai trilogi

Islam pertama adalah wujud nilai keislaman. Wujud nilai keislaman yang terdapat

dalam novel Kambing dan Hujan yakni mendirikan salat, membayar zakat, serta

mengerjakan puasa. Nilai trilogi Islam kedua adalah wujud nilai keimanan. Wujud

nilai keimanan yang dapat diidentifikasi dalam novel Kambing dan Hujan yakni

percaya pada Tuhan, percaya pada Kitab, percaya pada Rasul, serta percaya pada

takdir. Nilai trilogi Islam ketiga adalah nilai keihsanan. Ihsan adalah berbuat baik

di mana pun dan kapan pun dengan tulus dan ikhlas karena merasa diawasi oleh

Tuhan. Indikator keihsanan ditentukan dengan kemunculan kata Ihsan dalam Al

Quran, yang diikuti dengan sikap sedekah, sabar, jihad, takwa, dan adil. Oleh

karena itu, kelima sikap tersebut dijadikan sebagai indikator keihsanan. Penelitian

ini menjadikan objek materialnya hanya sebatas jembatan untuk menyampaikan

nilai-nilai Islam tanpa melihat lebih jauh bagaimana tokoh-tokoh memaknai nilai-

nilai tersebut.

Penelitian lain yang mencoba mengangkat sisi religiusitas novel Kambing

dan Hujan yaitu penelitian yang berjudul “Perilaku Sufisme pada Penokohan Novel

Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan” oleh Muhammad Syakkaruddin

Panatagama (2017). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Panatagama


mengidentifikasi ada tiga perilaku sufisme dalam novel Kambing dan Hujan.

Pertama, wujud pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan, yang terdiri atas

tiga aspek yakni fakir, takwa, dan tawakal. Fakir adalah salah satu wujud

ketergantungan manusia kepada Tuhan berupa perbuatan yang tidak membutuhkan

apa pun selain Tuhan. Takwa adalah terpeliharanya diri untuk tetap melaksanakan

perintah Tuhan serta menjauhi laranganNya. Tawakal adalah memercayakan atau

menyerahkan segenap masalah dan menyandarkan penanganan berbagai masalah

yang dihadapikepada Tuhan. Kedua, wujud pengakuan adanya perbedaan yang

mutlak antara manusia dan Tuhan, yang terdiri atas perilaku zuhud dan sabar.

Zuhud adalah sikap tidak tamak atau tidak mengutamakan kesenangan duniawi

yang bisa menjauhkan diri dari Tuhan. Sabar adalah sikap tabah dan tahan

menghadapi cobaan. Ketiga, wujud pengakuan adanya norma-norma mutlak dari

Tuhan, yang terdiri atas taubatan nasuha, wara’, dan rida.Taubatan nasuha adalah

sadar dan menyesal akan dosa dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan

perbuatan. Perilaku wara’ dapat diartikan menahan diri dengan cara menjauhi atau

meninggalkan segala hal yang belum jelas halal atau haramnya. Rida adalah hasil

penerimaan seseorang atas segala sesuatu yang dialami baik lahir maupun batin.

Penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang sekadar

mengidentifikasi dengan pisau analisis tertentu tanpa ada analisis yang

komprehensif terkait dengan masalah yang coba diangkat. Selain itu, peneliti

terkesan memaksakan nilai-nilai religius tersebut untuk dicocokkan secara banal

tanpa ada penjelasan komprehensif mengapa kutipan yang dicatut mencerminkan

nilai-nilai tersebut. Sehingga, apa yang dilakukan oleh peneliti tidak benar-benar
memanfaatkan konflik sosial dalam novel untuk dimaknai berdasarkan aspek-aspek

yang peneliti gunakan.

Tulisan lain yang juga mengambil bagian dalam membahas novel ini yaitu

Katrin Bandel dalam bukunya “Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial”

(Bandel: 2016). Bandel memandang hubungan antara tokoh Fauzan dan Iskandar

sebagai imaji yang unik yang dapat dibaca “sebagai sebuah maskulinitas alternatif”

(Bandel, 2017:97). Asumsi Bandel mengambil acuan dari konsep R.W. Connell,

seorang sosiolog asustralia yang memetakan politik maskulinitas dalam konteks

global. Menurut Connell, penyebaran imaji laki-laki kini bersifat global dan terjadi

interaksi yang rumit antara berbagai jenis maskulinitas lokal dan global. Interaksi

tersebut tidak memposisikan maskulinitas-maskulinitas yang beragam itu pada

posisi yang setara atau sekadar parallel. Yang terjadi adalah sebuh jaringan relasi

kuasa yang rumit, dimana maskulinitas tertentu menghegemoni imaji maskulinitas

yang lain dan memaksa untuk bertahan di posisi pinggiran atau alternatif. Laki-laki

hari ini dibentuk oleh norma maskulinitas yang disebut Connel sebagai

transnational business masculinity yang mengimajikan laki-laki untuk bersaing

satu sama lain, berusaha saling mengungguli dalam hal kepemilikan modal dan

mengikuti logika pasar. Esai Bandel ini mengarahkan pembaca Novel Kambing dan

Hujan pada suatu paradigma alternatif dalam memandang hubungan antar laki-laki

dalam tangkup yang lebih feminine, yang saling berpisah untuk tak saling

menyakiti. Esai Bandel tentu saja menarik bila dilihat dari konteks kekinian ketika

kepemilikan modal adalah segalanya. Namun, konsep maskulinitas alternatif yang

dipaparkan oleh Bandel juga bukan merupakan konsep yang ahistoris, melainkan
berakar pada konsep humanisme universal, dimana individu dipisahkan dari

komunitasnya untuk kemudian dipandang melalui kacamata humanis. Dalam

konteks poskolonial, hal ini tentu problematis karena sejak awal, konsep humanism

universal memiliki akar yang sama dengan kapitalisme yakni, imperialisme Barat.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat

disimpulkan betapa masih terbuka ruang-ruang lain dalam novel ini yang

problematis dan belum tersentuh. Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk

mengambil bagian dalam membahas novel ini melalui teori dan metode pembacaan

dekonsturksi. Pertanyaan-pertanyaan semisal bagaimana pengarang memosisikan

dirinya dalam oposisi biner antara Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama? atau

bagaimana saling tuding dan sikap saling curiga menjadi pilihan tunggal dalam

menyikapi perbedaan antara NU dan Muhammadiyah? Adakah hal tersebut

merupakan sesuatu yang terberi, yang taken for granted? Sekiranya pertanyaan-

pertanyan demikian akan coba diuraikan dalam penelitian ini.

1.4 Landasan Teori

Permasalahan dalam penelitian ini akan dijawab berdasarkan pada teknik

pembacaan dekonsturksi Derrida. Dalam prosesnya, ada dua konsep dasar

pembacaan dekonstruktif yang menjadi acuan. Yang pertama adalah konsep

Differance dan yang kedua adalah konsep trace. Dua konsep tersebut pada

perjalanannya akan digunakan sebagai kacamata baca yang akan membantu

menguak makna-makna lain yang kerap tersingkirkan dalam proses pembacaan

biasa.
1.4.1 Dekonstruksi

“Tidak ada apa-apa di luar teks”. Barangkali kalimat Derrida tersebut

dapat menjadi pijakan awal dalam menguraikan apa itu dekonstruksi. Pada dasarnya

dekonstruksi Derrida menyuguhkan sebuah pembacaan secara radikal terhadap

teks-teks filsafat dan kemudian mempermainkannya. Ia menggugat klaim filsafat

sebagai satu-satunya penjelas bagi segala-galanya. Kata “dekonstruksi” merupakan

kata yang pertama kali keluar melalui mulutnya. Konon, pembacaan Derrida

tidaklah mengenal kata akhir. Ia selalu memulai pembacaannya dengan pertanyaan

dan mengakhirinya dengan pertanyaan3.

Abad ke-20 ditandai dengan berkembang pesatnya filsafat di dunia Barat.

Seriring perkembangan tersebut, banyak persoalan yang juga menyertai ide-ide

filsafat Barat di dunia modern. Dalam menjawab segala persoalan yang muncul,

kata dianggap sebagai jalan untuk menjelaskan segala hal. Kata memiliki kekuatan

rasional untuk membenarkan dunia. Anggap tersebut oleh Derrida disebut sebagai

logosentrisme, suatu rasionalisme yang cenderung menghadirkan segala hal

melalui bahasa atau teks. 4

Logosentrisme Barat sebenarnya memperoleh acuannya awal pada logika

yang dikembangkan oleh Aristoteles. Salah satu ciri penting logosentrisme yakni

selalu menekankan pentingnya melihat segala sesuatu secara mutlak dan

3 Lihat K Bertens, Sejarah Filsafat Barat Perancis, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal.2.

4 ibid
berpasangan selayaknya hitam dan putih Akibatnya, manusia cenderung berpikir

dikotomis. Selama berabad-abad prinsip logika tersebut telah diterima sebagai

kebenaran dan bahkan mentradisi dalam paham filsafat Barat.

Pemikiran Barat selalu menunjukkan terjadinya pertarungan antara Mitos dan

Logos. Pada zaman modern, logos nampak menguasai pikiran manusia. Para filsuf

berdebat tentang dasar-dasar, asas-asas, eidos, arche, telos, energeia, ousia

(hakekat, eksistensi, subtansi, subyek) altheia, transendentalitas, kesadaran atau

suara hati, Allah, manusia dan seterusnya. Mereka menganggap bahwa dengan

berhasil menjelaskan konsep tersebut, berarti telah menguasasi realitas. Derrida

menolak pandangan tersebut, justru menurutnya, tanda, kata atau (trace). ―Bekas

akan hilang jika telah ada sesuatu yang menggantikannya. Bekas merupakan teks

yang terjalin dengan teks-teks yang lain. Menurut Derrida, tidaklah beralasan

mengatakan bahwa kata, tanda, dan konsep telah menghadirkan kenyataannya.

Derrida menyatakan bahwa dalam kenyataannya ―yang ada bersifat majemuk, tak

berstruktur dan tak bersistem, sehingga tidak bisa sewenang-wenang direkayasa

dalam kata, tanda, atau konsep tunggal. Pandangan metafisika modern tersebut

harus didekonstruksi (dibongkar) jika menginginkan solusi atas dilema modernitas

Konsep Dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi,

pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas

pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda

(siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology,

Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara

murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain.


Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki

oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan

demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di

pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan

dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan

tanpa batas.

Saussure-lah yang memicu Derrida untuk membongkar metafisika kehadiran

dari gagasan Saussure mengenai posisi suara dalam bahasa sehingga Derrida

menjadikan objek tulisan5 (oposisi dari suara) sebagai dasar pembongkaran

fonosentrisme ini. Derrida juga mengkritik Saussure yang mengatakan linguistik

mestinya hanya mempelajari ujaran, bukan ujaran dan tulisan yang juga nampak

direproduksi oleh Jacobson, Levi-Strauss dan semua pemikir struktural semiologis.

Derrida mengatakan dalam Of Grammotology bahwa penolakan pada tulisan

dikarenakan tulisan hanyalah teknik dan ancaman bagi ujaran. Derrida

menghubungkan fonosentrisme ini dengan logosentrisme, yakni keyakinan bahwa

yang makna (bahasa) hadir dalam suara dan itu adalah Logos, Kata, Pikiran Illahi,

yakni kehadiran diri kesadaran diri yang penuh6. Analoginya adalah, sebuah kata

diucapkan, dipancarkan dari sebuah tubuh yang hidup yang lebih dekat kepada

pikiran, daripada sebuah kata yang tertulis. Derrida menekankan bahwa pemberian

5 Idealitas Objek, yang masih abstrak, hanya dapat diungkap melalui sebuah elemen dan itu
adalah suara; suara yang didengar, tanda-tanda fonik. Lihat, Derrida, “The Voice that Keeps
Silence,” dalam Derrida, Jacques. 1973. Speech and Phenomena, and Other Essays on Husserl’s
Theory of Signs (terj. David B. Allison dan Newton Garver. Evanston: Northwestern University
Press, hlm. 76.
6 Sarup, Madan. 1993. Postructuralism & Postmodernism. Hertfordshire: Hemel Hempstead, hlm.
36
hak istimewa terhadap tuturan atas tulisan (fonosentrisme) adalah sebuah ciri klasik

logosentrisme7. Posisi bunyi dianggap menempati posisi sangat sentral; bunyi

memungkinkan kehadiran citra penutur, sehingga fonosentrisme menghantui

sebagai metafisika kehadiran karena penutur dimanifestasikan seolah-olah hadir

bersama suara, bukan tulisan8. Dengan kata lain, suara seperti pintu masuk

linguistik menuju wilayah keasadaran, dan kesadaran ini yang akhirnya menjadi

objek perhatian fenomenologis9. Derrida mencoba untuk menghilangkan

keterpusatan ini menjadi tercecer (decentering) karena subjek terkonstruksi oleh

makna, makna hadir melalui bahasa sementara bahasa terpoles secara struktural dan

maknanya menjadi distabilkan. Dalam hubungannya dengan decentering atau

meleburkan pusat menjadi plural, Derrida meracuni logosentris (yang fonosentris

tersebut) dengan difference; pembedaan atau differing dan penundaan atau

deffering, di mana kedua kata ini membentuk kata differance, yang jika disuarakan

terdengar ambigu (dalam bahasa Perancis) dan hanya dapat dibedakan dengan jelas

jika dituliskan. Différance mengacu pada sifat natural tanda-tanda yang berbeda,

sedangkan tulisan berhubungan dengan penundaan makna. Pembedaan makna-

makna menyebabkan penundaan makna yang terus-menerus. Singkatnya adalah,

dekonstruksi harus dilihat sebagai proses, bukan hasil; menyingkap ketidakhadiran

dalam ketidakterbatasannya. Ketidakhadiran ada karena kehadiran yang selalu

7 Selden, Raman., dkk. 2005. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory (edisi ke-5).
Harlow: Pearson Education Limited, hlm. 164.
8 Dalam Derrida, Jacques. 1981b. Positions (terj. Alan Bass). Chicago: The University of Chicago
Press, hlm. 24—25, tulisan dianggap sebagai sesuatu yang dapat mengancam kelestarian bahasa
karena sifat ambiguitasnya. Lihat juga, Saussure, Course in General linguistics, dia seolah-olah
mengatakan “berhati-hatilah dengan tulisan.”
9 Ibid. Hal.22
menunda pada jejak-jejak. Oleh karena itu, Derrida mengatakan bahwa proses

pemberian makna adalah proses yang tak-berkesudahan. Kata-kata tak akan meraih

kestabilan, tidak hanya karena terhubung satu sama lain atau pengambilan bagian

dari bentuk makna, atau kata-kata yang hanya didahului, akan tetapi karena

maknanya selalu dimodifikasi oleh hal yang mengikutinya10. Pada poin utamanya,

dekonstruksi, seperti yang dikatakan Derrida, menjelaskan secara implisit

mengenai apa yang paradoks dan tidak terbatas dalam pencarian makna karena itu

hanyalah jejak-jejak dari permainan penanda-penanda11. Derrida memberikan

nama trace atau jejak pada struktur tanda, sehingga “makna” hadir sebagai jejak,

yang selalu hadir dan menghilang12. Makna akan selalu hadir dan makna-makna

baru akan selalu hadir dan kehadiran makna baru, bagi Derrida tidak menghapus

makna yang sebelumnya telah hadir yang ia istilahkan sebagai sous roture (under

erasue)—tanda silang yang diadopsi dari Heidegger tentang penyilangan Being13.

Makna yang telah hadir sebelumnya tidak dihapus melainkan disilang dalam artian

masih bisa digunakan tetapi kemungkinan tidak akan memadai untuk dipakai lagi.

Proses inilah yang menjadi titik krusial bahwa différance hadirsebagai proses

dekonstruksi. Derrida membiarkan makna-makna itu tetap ada dan hasil pencarian

makna itulah disebutnya jejak; jejak-jejak ini hadir dalam sisi paradoksnya,

infinitasnya dan bahkan heteronormatifitas dalam artian, menawarkan pluralitas

dalam etika.

10 Bertens, Hans. 2001. Literary Theory: The Basics (edisi ke-2). New York: Routledge, hlm. 125
11 Tyson, Lois. 2006. Critical Theory Today : A User-Friendly Guide. New York: Routledge, hlm.
253.
12 Op.cit., Sarup, hlm. 33
13 Derrida, Jacques. 1997. Of Grammatology (terj. Gayatri Chakravorty Spivak). Baltimore: The
Johns Hopkins University Press, hlm xv- xvi
1.4.2 Konsep Différance

Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis

sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer yang bisa

berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/ menunda.” Kita tak bisa membedakan

differance dan difference hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya

sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, yang

sekaligus membuktikan tulisan lebih unggul ketimbang ujaran, sebagaimana

diyakini Derrida. Derrida menunjukkan kelemahan dari ucapan untuk

mengungungkapkan makna dengan menggunakan kata différance.

Différance adalah istilah yang diusulkan oleh Derrida pada tahun 1968 dalam

hubungannya dengan penelitiannya tentang teori Saussurean dan teori bahasa

strukturalis. Derrida menginginkan untuk memisahkan perbedaan menurut akal

sehat yang bisa dikonsepkan dengan perbedaan yang tidak dikembalikan kepada

tatanan yang sama dan menerima identitas melalui suatu konsep. Perbedaan itu

bukan suatu identitas dan juga bukan merupakan perbedaan dari dua identitas yang

berbeda. Perbedaan perbedaan yang ditunda (defer) karena dalam bahasa Prancis,

kata kerja yang sama (diffèrer) bisa berarti membedakan (to differ) atau

menangguhkan. Konsep différance ini muncul ketika Derrida mencoba menemukan

bagaimana bahasa mempunyai arti, Ia tidak puas dengan jawaban yang diberikan

oleh kaum modernis yang sering keliru karena meletakkan ”arti” dalam kekuatan
rasio dan kalimat manusia dipakai untuk menggambarkan realitas yang

sebenarnya.14

Derrida mengkritik kaum modernis karena mereka menganggap tulisan

sebagai cermin dari ucapan. Kritik Derrida ini terutama ditujukan pada

fenomenologi-nya Husserl, dimana Husserl melakukan tindakan pembaharuan

terhadap cita-cita modern untuk menciptakan suatu dasar mutlak yang menopang

rasio dan bahasa. Husserl mencoba menemukan struktur asal dari pikiran dan

persepsi. Baginya usaha itu berhasil karena menggunakan pengetahuan yang

muncul dari “kehadiran-diri”. Dalam karya Husserl, pembedaan yang paling utama

adalah pembedaan antara bahasa ”ekspresif” dan ”indikatif” dimana kode ekspresif

memuat maksud pribadi, sementara kode indikatif tidak memuat maksud pribadi

dan hanya menunjuk pada sesuatu.

Titik berangkat kritik Derrida terhadap Husserl terutama ditujukan pada

logika kehadiran. Untuk mengkritik itu maka Derrida menggunakan différance.

Derrida menyerang pendapat Husserl dimana arti dalam terletak dalam kesadaran

pribadi, dan terikat pada konteks serta tidak dapat berdiri sendiri. Bagi Derrida

sebuah kata tidak mempunyai arti yang tetap dalam dirinya. Lewat différance

Derrida juga ingin mengkritik tradisi barat yang mengatakan bahwa tulisan

hanyalah gambaran atau representasi dari ucapan manusia karena ucapan lebih

langsung sifatnya dibandingkan dengan tulisan.

14 F. Budi Hardiman, Seni Memahami (Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida)


(Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm. 287.
1.4.3 Oposisi Biner

Untuk memahami Derrida, kita mencoba melacak kronologi pemikirannya

dari strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas tersebut. Menurut

paham strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Struktur itu

sendiri adalah saling hubungan antar-konstituen, bagian-bagian, atau unsur-unsur

pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan

koeksistensi, dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda.

Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa

ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem

perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara

penanda/ petanda, ujaran/tulisan, langue/ parole.

Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa

ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem

perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara

penanda/ petanda, ujaran/tulisan, langue/ parole.

Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama

dalam tradisi filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan,

transendental/imanen, baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin,

intelligible/sensible, idealisme/materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya.

Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih superior

dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap

lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan sebagainya.
Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari tulisan,

karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan. Derrida, seperti

banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar kecenderungan

oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat Barat tersebut.

Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah mengajukan sebuah narasi besar

atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi diri pada membongkar

narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan hirarki-hirarki dualistik yang

disembunyikan.

Oposisi biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida,

adalah antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida, pemikir-

pemikir seperti Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, semua telah

melecehkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan mengontraskan,

dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran murni bagi makna.15

Argumen mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari

pengalaman mental (makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis sebagai

sekadar representasi dari ujaran, hanyalah turunan kedua, atau sekadar simbol dari

simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut. Ujaran menurut De Saussure adalah

kesatuan petanda (signifie) dan penanda (signifiant), yang dianggap kelihatan

menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Makna atau

kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa

suara/bentuk.

15 Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hal. 250.
Kebenaran yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian

menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat

penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut

Derrida sebagai metafisika kehadiran (metaphysic of presence). Metafisika

kehadiran, yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi bahwa sesuatu yang

bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara

bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan.

Tanpa mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan dan

membenarkan oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa strategi

pertama dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang sudah ada. Derrida

menyangkal oposisi-oposisi biner semacam itu, dan akhirnya juga menolak

kebenaran tunggal atau logos itu sendiri.16

Derrida menyadari bahwa konsep-konsep yang menjembatani filsafat dalam

narasi tidaklah berdiri sendiri, melainkan bekelindan dengan konsep yang lain,

dengan teks yang lain. Narasi muncul dari teks dan teks secara langsung berurusan

dengan bahasa. Ia kemudian mencermati bagaimana teks-teks menuturkan wacana

dan menciptakan klaim-klaimnya berdasarkan struktur atau tata pikiran yang

dibangun di dalamnya. Dan Derrida kemudian mencari strategi pembentukan

makna di balik teks-teks tersebut, yang antara lain dengan mencari sistem-sistem

perlawanan yang tersembunyi atau didiamkan oleh pengarang. Derrida memegang

asumsi bahwa sesungguhnya filsafat adalah tulisan.

16 Ibid., hal. 251.


Dalam pemikirannya, filsafat selama ini selalu berambisi untuk melepaskan diri

dari statusnya sebagai tulisan. Ia ingin menghadirkan bahwa tulisan adalah

penyingkap realitas, tuturan mampu menyingkap kebenaran. Dan karena itulah

peranan logika dimainkan. Namun sayangnya, upaya tersebut selalu gagal.

Kecurigaan Derrida selalu menyiratkan bahwasanya filsafat pada dasarnya ingin

menjaring segala persoalan ke dalam metafisis universal (adanya suatu rumusan

universal yang mampu menuntaskan segala-galanya). Atau Derrida menyebutnya

dengan Logosentrisme.

Derrida menyadarkan kita bahwa sekarang sudah bukan lagi saatnya kita

harus berbicara atas nama filsafat sebagai suatu sistem yanb tunggal atau satu-

satunya yang paling benar. Lalu ia menawarkan untuk berpikir “tanpa konsep

tentang kehadiran.” Semua itu dalam rangka merombak semua sistem filsafat yang

telah didominasi oleh logosentrisme. Barangkali, itulah semangat dekonstruksi.

Dekonstruksi merupakan tantangan terhadap totalitas makna, penafsiran atau

pengetahuan yang terlembagakan dalam sejarah, institusi sosial, kultur dan berbagai

sistem aturan yang lainnya. Dari sudut pandang ini, dekonstruksi dapat dipandang

sebagai “hermeneutika radikal”. Ia menyajikan tafsir tetapi tidak pernah

berpretensi menjadikan tafsir sebagai satu-satunya penjelas terhadap semua hal.

Tafsir sebuah dekonstruksi berasal dari kepekaan adanya perbedaan yang mungkin

hadir, entah kapan, dari suatu benda, suatu pengalaman ataupun ingatan. Perbedaan

tersebut barangkali terselip, tersembunyi di balik lipatan-lipatan waktu dan

karenanya tak tertangkap oleh indera. Oleh karena itu, sebuah penafsiran
dekonstruksi tidak memiliki titik jangkau yang dapat diramalkan oleh rasio

maupun indera.

Walau demikian, dekonstruksi bukanlah sebuah ajakan untuk bersikap

nihilistik terhadap makna dan kebenaran. Dekonstruksi melampaui nihilisme naif

yang tidak mempercayai adanya kebenaran yang dapat dipegang. Demikian pula,

dekonstruksi juga melampaui dogmatisme tradisional yang mempercayai hanya ada

satu kebenaran sejati. Namun dekonstruksi lebih merupakan sebuah rangsangan

untuk tidak melihat kebenaran yang kita yakini sebagai satu-satunya kebenaran.

Ada banyak kebenaran, bahkan terlalu banyak dan kita boleh memilih berbagai

kebenaran sejauh yang kita butuhkan.

Menurut Derrida, dekonstruksi lebih merupakan strategi pembacaan dari

pada sebuah metode yang memiliki sebuah rancangan jelas dan sistematis. Proses

ini akan terus berlanjut karena penundaan dalam dekonstruksi tidak mengarah

menuju satu telos tertentu, melainkan menyebar ke banyak arah. Pemahaman

penafsir selalu dibentuk oleh sejarah dan sebuah penafsiran merupakan efek dari

dialektika dengan sejarah. Dalam dekonstruksi, makna atau sejarah dilampaui.

Makna bukanlah suatu institusi yang stabil dari teks. Dekonstruksi senantiasa

mengajak penafsir untuk melampaui institusi yang membentuk dirinya dan

pengalaman eksistensialnya dengan teks.17

Dalam hermeneutika radikal, ketidakmungkinan untuk mencapai makna

ditebus dengan meninggalkan pijakan dan terjun dalam ambiguitas, perubahan

17 Jean Grodin, Sejarah Hermeneutika: Dari Plato Sampai Gadamer, terj. Add Qodir Sholeh,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), hal 253.
terus-menerus. Dekonstruksi meradikalkan permainan makna sehingga menuntut

sang penafsir untuk selalu memperbaiki tafsirannya setiap saat dan memulai

tafsirannya dengan semangat baru, sudut pandang baru, strategi baru dan semua hal

dengan serba baru.

Derrida mengakui bahwa dekonstruksi akan tampak mencemaskan bagi

sang pemburu makna. Impian akan proses yang mengatasi perubahan dan

kontingensi absolut ini terus menghantui proses penulisan. Nyatanya, tak ada

penafsiran yang terbebas dari nostalgia akan kehadiran yang hilang. Sebuah proses

penafsiran akan terus diliputi hasrat akan kembalinya kehadiran. Namun, kita harus

membiarkan impian itu tetap hadir karena dengan demikian proses penulisa itu

terjadi. Pasti, selalu saja ada yang kurang dan kekurangan itu harus ditebus dengan

penafsiran dan penafsiran yang baru.

Terminal akhir dari dekonstruksi adalah sans avoir –tidak memiliki. Pada

moment ini kebenaran didevaluasi dari klaim otoritatifnya. Kebenaran tidak lagi

berada di pangkuan pengarang, melainkan bergerak menyebar ke penafsiran-

penafsiran yang lain yang beda. Tak ada lagi otoritas pengarang transendental yang

memiliki kuasa mutlak atas teks. Teks tidak lagi dibentuk oleh pengarangnya,

melainkan memiliki otonominya sendiri. Otonominya bergerak seiring dengan

dinamika penafsir dan pembaca. Tak ada lagi kerja kepengarangan, yang ada

hanylah pengarang yang mati dan bunuh diri, atau bermetamorfosis menjadi

penafsir (homo reader).18

18 Muhammad al-Fayadl, Derrida, hal. 167.


1.5 Metode Penelitian

Bagian ini akan memaparkan hal-hal metodologis dalam proses analisis, sebagai

penopang kredibilitas dari sisi akademis. Beberapa hal yang akan dipaparkan yaitu

terutama terkait dengan data dan metode analisisnya.

1.5.1 Data dan Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah novel kambing dan Hujan karya Mahfud

Ikhwan. Teks dalam novel menjadi data primer berupa kata, frasa, kalimat,

paragraf, maupun wacana yang berelasi biner, yang kemudian akan dilengkapi

dengan data sekunder berupa pendapat-pendapat yang bersumber dari buku, jurnal,

majalah, ataupun laporan penelitian, yang semuanya berada dalam ranah ilmiah dan

mampu dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan kategori objek kajiannya, novel Kambing dan Hujan karya

Mahfud Ikhwan yang terbit tahun 2015 oleh penerbit Gramedia adalah objek

material, sementara wacana kontestasi Muhammadiyah-NU di luar bangun teks

novel menjadi objek formalnya.

1.5.2 Metode Analisis Data

Metode penelitian dalam kerangka teori dekonstruksi pada dasarnya adalah

menunda atau bahkan menggagalkan logosentrisme yang diejawantahkan melalui

oposisi biner yang ditemukan dalam objek penelitian. Dengan bersandar pada teori

dan metode dekonsturksi, teks yang memiliki kecenderungan inkonsisten dan

paradoks dalam konstruksinya dapat dinilai berdasarkan oposisi yang telah

ditetapkan sendiri oleh teks. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Faruk, standar-
standar dan definisi yang dibangun oleh teks digunakan secara reflektif untuk

menghancurkan perbedaan-perbedaan semula19.

Untuk melakukan penelitian dekonstruksi, Derrida telah menawarkan

sebuah metode membaca yang cermat. Menurut Derrida, pembacaan cermat yang

dekonstruktif itu adalah yang setelah mengintrogasi teksnya menghancurkan

pertahanannya, dan menunjukkan adanya oposisi berpasangan. Derrida sebenarnya

telah menawarkan langkah-langkah pembacaan dekonstruktif, yakni meneliti

dengan cermat momen yang tak terputuskan, pemlesetan yang hampir tidak

tertangkap, yang, jika tidak, akan membuat pembaca melewatinya20

Metode demikian seiring dengan yang dipaparkan oleh Culler dalam

bukunya bahwa setidaknya ada tiga langkah kerja dalam dekonstruksi Derrida.

Pertama, mengidentifikasi oposisi berpasangan dalam teks dan menentukan relasi

hierarkisnya. Kedua, oposisi-oposisi itu kemudian dibalik dengan menunjukkan

adanya saling ketergantungan di antara oposisi-oposisi yang saling berlawanan itu,

ata dengan mengusulkan previlage secara terbalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah

istilah atau gagasan baru yang bisa dimasukkan ke dalam oposisi lama. Hanya

dengan langkah demikian, dekonstruksi dapat bekerja menembus oposisi-oposisi

yang dikiritik.

19 Lihat Faruk, 2012, Metode Penelitian sastra, hal.210


20 Green, Keith & Jill Lebihan. 1996. Critical Theory & Practice: A Coursebook. London:
Routledge, hlm. 216.
1.6 Sistematika penyajian

Penelitan ini terdiri dari empat bab yang dibagi sebagai berikut: Bab I menjadi

pendahuluan yang menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab

II berjudul “Dekonstruksi Hubungan Muhammadiyah-NU dalam novel Kambing

dan Hujan karya Mahfud Ikhwan”. Bab III berjudul “Dekonstuksi Pengarang

Dikotomisasi Pengarang”. Bab IV merupakan kesimpulan dari penelitian.

Anda mungkin juga menyukai