Anda di halaman 1dari 98

MITOS KECANTIKAN DALAM CERPEN BARBITCH

DAN LIPSTIK MERAH TUA KARYA SAGITA SURYOPUTRI


(TELAAH KRITIK SASTRA FEMINISME)

SKRIPSI

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing dan telah dipertahankan di


hadapan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

OLEH

ASEP ANUGRAH
A1D1 11 098

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015

UCAPAN TERIMA KASIH


Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah Swt. karena taufiq dan

inayah-Nya jugalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini meski harus

melalui berbagai tantangan dan hambatan hingga berujung pada penyelesaian

masa studi yang cukup lama.

Selawat serta salam semoga senantiasa Allah Swt. sampaikan kepada

manusia agung, Muhammad Saw., yang warisan-warisannya senantiasa menjadi

bahan kontemplasi dan rujukan di tengah arogansi manusia dalam dunia yang

telah renta.

Melalui skripsi ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada Ayahanda tercinta, Muhammad Yusuf Djamal,

S.Pd.,M.Pd. dan Ibunda tersayang, Astina, S.Si. Tidak terhitung berapa banyak

sudah lantunan doa, motivasi, serta dukungan moral dan finansial yang diberikan

kepada penulis. Semoga Allah Swt. Selalu menyayangi mereka sebagaimana

mereka menyayangi anak-anaknya. untuk merekalah, Penulis persembahkan

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak mungkin

diselesaikan tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu, dengan segala hormat, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada

Bapak Prof.Dr. Haerun Ana, M.Pd., selaku pembimbing I dan Bapak Drs. La Ode

Balawa, M. Hum., selaku pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu

ii
untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan arahan selama proses penyusunan

skripsi ini. Semoga Allah SWT. membalas kebaikan-kebaikan Beliau.

Tidak lupa, penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada segenap

Pejabat Struktural Universitas Halu Oleo yang telah memberi bantuan hingga

penyusunan skipsi ini dapat diselesaikan. Hormat saya kepada beliau:

1. Prof. Dr. H. Usma Rianse, M.S., selaku Rektor Universitas Halu Oleo

2. Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Halu Oleo

3. Dra. Lelly Suhartini, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Halu Oleo

4. Yunus, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Halu Oleo

5. Segenap dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

memberikan banyak ilmu selama penulis berada di kampus.

Doa serta dukungan dari adik-adik penulis juga telah turut membantu proses

penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada ,

Muh. Asrif, Cici Juliasih Saputri, dan Muhammad Abdi Abdillah atas doa dan

dukungan yang menambah motivasi.

Selama penyusunan skripsi ini, Penulis banyak mendapatkan pengalaman,

pengetahuan, dan ilmu baru yang bermanfaat. Karena itu, penulis mengucapkan

terima kasih sedalam-dalamnya kepada kakak senior, La Ode Gusman Nasiru,

S.Pd., M.A., yang telah banyak memberi sumbangsih berupa saran dan koreksi
iii
selama proses penyusunan skripsi ini. Kepada Kakakku tersayang, Wa Ode

Rizky Adi Putri S.Pd. kata-katanya selalu menjadi semacam cambuk bagi penulis

untuk menjadi lebih baik. Kepada Rima Aprianti, S.Farm. Terima kasih atas

dukungan serta sarannya selama penulis menyusun skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada teman-teman Linguist ’11,

Reny, Jack, Mila, Anton, Sarti, Malik, Wati, Rahim, Tanti, Jamal, Asti, dan

teman-teman lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Selain itu,

Tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada sahabat-sahabat tentor 4JO Kendari

yang juga turut mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Kendari, Desember 2015

Penulis

DAFTAR ISI
HAL. JUDUL ............................................................................................. i
HAL. PERSETUJUAN.................................................................................... ii
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................
ABSTRAK ...........................................................................................................
vii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...............................................6
1.3.1 Tujuan Penelitian .....................................................................................6
1.3.2 Manfaat Penelitian ...................................................................................6
1.4 Batasan Operasional ................................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Cerita Pendek 9
2.1.1 Definisi Cerita Pendek ..........................................................................
9
2.1.2 Ciri-Ciri Cerpen ....................................................................................
11
2.1.3 Unsur-Unsur Cerpen .............................................................................
11
2.1.3.1 Unsur Intrinsik Cerpen .....................................................................
11
2.1.3.2 Unsur Ekstrinsik Cerpen ...................................................... 15
2.2 Kritik Sastra 15
2.3 Feminisme ...................................................................... 18
2.3.1 Pengertian Feminisme ................................................................... 18
2.3.2 Perkembangan Feminisme ........................................................... 19
2.3.3 Ragam Gerakan Feminisme .....................................................................
22
2.4 Kritik Sastra Feminisme ............................................................................
29

2.4.1 Pengertian Kritik Sastra Feminis................................................................


29
2.4.2 Jenis-Jenis Kritik Sastra Feminis............................................................30
2.4.3 Penerapan Kritik Sastra Feminis............................................................33
2.3 Konsep Mitos dan Kecantikan................................................................33
2.3.1 Pengertian Mitos.....................................................................................33
2.3.3 Pengertian Mitos Kecantikan..................................................................36
2.4 Hubungan Karya Sastra dan Pendidikan.................................................40
2.4.1 Pembelajaran Cerpen di SMA berdasarkan Kurikulum KTSP...............42

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Metode dan Jenis Penelitian ......................................................................43
3.1.1 Metode Penelitian ..................................................................................43
3.1.2 Jenis Penelitian ......................................................................................43
3.2 Data dan Sumber Data ..............................................................................44
3.3 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................44
3.4 Teknik Analisis Data .................................................................................44
3.5 Langkah-Langkah Penelitian..........................................................................44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Umum Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua....................... 46
4.2 Mitos Kecantikan dalam Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua........... 50
4.2.1 Mitos Kecantikan dalam Budaya Patriarki.............................................. 50
4.2.1.1 Kecantikan yang Ideal........................................................................ 51
4.2.1.2 Menua dan Rasa Takut di Dalamnya................................................ 56
4.2.2 Mitos Kecantikan dalam Industri Kosmetik............................................. 57
4.2.3 Mitos Kecantikan dalam Dunia Medis..................................................... 63
4.3 Pengaruh Mitos Kecantikan terhadap Tokoh Utama................................... 66
4.3.1 Diskriminasi yang Dialami Tokoh Utama 67
4.3.2 Obsesi yang Berlebihan 71
4.3.3 Operasi Plastik sebagai Jalan Pintas 73
4.4 Relevansi Hasil Penelitian
dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah 74

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 76
5.2 Saran 77

DAFTAR PUSTAKA

2
ABSTRAK

Sejak dulu perempuan telah dikonstruksikan sebagai mahluk yang cantik


dan identik dengan keindahan. Pandangan tersebut pada akhirnya mengotak-
ngotakkan perempuan berdasarkan tampilan fisik. Ironisnya, perempuan turut
mengamini standar kecantikan tersebut seolah-olah ia adalah fakta yang tidak
perlu dipertanyakan kebenarannya. Inilah yang selama ini disebut sebagai mitos
kecantikan. Membaca cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua memberikan
penggambaran bahwa betapa mitos kecantikan telah membelenggu pemikiran
masyarakat hari ini. Tokoh Mentari harus merasakan ketidakadilan karena
dianggap tidak cantik oleh teman-temannya. Tekanan akibat perasaan tidak cantik
telah membuat sang tokoh utama merasa rendah diri, dipenuhi rasa cemas, hingga
menjadi sosok yang terdiskriminasi oleh lingkungannya. Ia lantas berobsesi
menjadi cantik walau harus menghalalkan segala cara, termasuk menjual diri dan
operasi plastik.
Permasalahan dalam penelitian ini mencakup bagaimana mitos kecantikan
dalam cerpen yang dianalisis membentuk interpretasi perempuan dan bagaimana
pengaruhnya terhadap tokoh utama. Metode yang digunakan adalah metode
deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa teks
cerpen yang menggambarkan mitos kecantikan dan pengaruhnya terhadap tokoh
utama. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu teknik baca dan
catat. Kemudian, data yang diperoleh dianalisis menggunakan pendekatan kritik
sastra feminisme, khususnya teori mitos kecantikan Naomi Wolf.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mitos kecantikan membentuk
interpretasi tokoh perempuan dalam cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua
melalui beberapa aspek, yaitu: (1) budaya patriarki; (2) industri kosmetik; (3)
dunia medis. Adapun pengaruhnya terhadap tokoh utama dijabarkan melalui
beberapa poin, antara lain: (1) diskriminasi terhadap tokoh utama, (2) obsesi
berlebihan, (3) operasi plastik sebagai jalan pintas.

Kata Kunci : Feminisme, Kritik Sastra Feminisme, Mitos Kecantikan, Stereotipe


2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak zaman dahulu, perempuan telah dikonstruksikan sebagai mahluk

yang cantik dan identik dengan keindahan. Bila cantik dilabelkan pada laki-laki,

tentu akan menimbulkan persoalan karena pelabelan tersebut akan mengesankan

sifat banci atau waria. Oleh karena itu, kecantikan selalu melekat pada unsur

feminitas, bukan maskulinitas. Konstruksi ini telah berlaku sepanjang sejarah

sehingga kecantikan dipandang sebagai sesuatu yang objektif dan universal serta

melekat dalam diri perempuan.

Menurut Tong, kecenderungan perempuan untuk mengedepankan

penampilan fisik serta obsesinya untuk menjadi cantik dan tampil menarik

seringkali dilekatkan dengan unsur feminitas yang dimiliki perempuan. Oleh

karena itu, kecantikan merupakan bagian dari kodrat yang harus disandang oleh

kaum perempuan. Realitas ini menyiratkan tentang suatu hal bahwa kecantikan

adalah bagian integral dari diri perempuan (Tong, 2008:22).


Kecantikan sangat berharga bagi perempuan. Begitu berharganya

kecantikan, tidak jarang perempuan sangat terobsesi untuk mendapatkannya.

Tempat-tempat kebugaran, spa, salon kecantikan, dan berbagai institusi

kecantikan lainnya menjadi tempat yang diminati perempuan untuk mengubah diri

menjadi cantik. Uang tidak sedikit yang harus dikeluarkan tidak menyurutkan

hasrat perempuan untuk tampil cantik dan menarik. Namun, sebagian besar

perempuan tidak menyadari bahwa masyarakat yang menjadi pusat motivasinya

untuk menjadi cantik adalah masyarakat yang menganut budaya patriarki, budaya

yang memberikan kebebasan kepada laki-laki menjadi penentu segalanya,

termasuk konsep cantik itu sendiri (Wolf, 2004:23).

Menurut Beauvoir, ketika perempuan terjun ke dalam dinamika

masyarakatnya, ia akan segera menjadi objek penilaian publik yang cenderung

menuntutnya merepresentasikan daging yang murni sesuai dengan fungsinya.

Karena kita hidup dalam lingkaran “budaya tradisional”, yang dimaksud publik di

sini tidak lain adalah laki-laki. Perempuan kemudian tidak dipandang sebagai

subjek kepribadian, tetapi sebagai benda yang tertutup rapat dan tunduk pada

“kodratnya”. Tuntutan-tuntutan itu termanifestasi dalam konsep keinginan laki-

laki yang berkenaan dengan gaya berpakaian perempuan, bentuk tubuh yang

langsing, hingga penggunaan make up dan perhiasan (Beauvoir, 2003: 236).

Kecantikan seorang perempuan juga merupakan isu dalam media massa yang

masih representatif dibahas dalam konteks kekinian. Media massa kerap

menampilkan dan menghadirkan sosok perempuan cantik sebagai model, baik

2
dalam bentuk visual maupun verbal. Ciri-ciri cantik dalam media massa tampak

memunculkan bentuk yang seragam. Media terus-menerus merekonstruksi sosok

ideal perempuan sesuai dengan budaya dan tren pasar yang di dalamnya duduk

sekelompok orang yang berkuasa dan merasa bahwa cantik harus sesuai dengan

konsep-konsep dalam imajinasi mereka (Wolf, 2004:7).

Hal demikian pada gilirannya juga berdampak pada persepsi perempuan itu

sendiri yang mengidentifikasi sosok perempuan cantik dan ideal sebagai dia yang

kurus, tinggi, putih, dan berambut pirang, dengan wajah yang mulus tanpa noda,

simetris, hidung mancung, bibir tipis, dada yang menonjol, pinggul yang padat

berisi, kaki yang jenjang, dan tanpa cacat sedikitpun. (Wolf, 2004: 4).

Penentuan standar kecantikan dalam suatu masyarakat telah menyebabkan

penderitaan bagi sebagian perempuan yang dianggap berada di bawah garis

kecantikan (Wolf, 2004: 24). Ketika seorang perempuan tidak dapat memenuhi

standar kecantikan yang diterapkan dalam masyarakat, besar kemungkinan

mereka dihinggapi rasa tidak nyaman, kesepian, terasing, dan rasa percaya diri

yang rendah (Wolf, 2004: 24).

Kenyataan tersebut menegaskan bahwa kita sedang berada dalam

pertentangan melawan salah satu bentuk diskriminasi yang menggunakan citra

kecantikan sebagai senjata untuk menentang kemajuan perempuan. Inilah yang

selama ini disebut sebagai mitos kecantikan. Dalam bahasa yang lebih sederhana,

mitos kecantikan menggunakan citra kecantikan untuk menentang kemajuan

perempuan (Wolf, 2004: 24).


Dominasi dan pengasingan beserta konsep kecantikan yang dilekatkan

terhadap tubuh perempuan tidak hanya terjadi dalam dunia nyata tetapi juga

dalam karya sastra, khususnya cerpen. Karya sastra merupakan tulisan yang

mengekspresikan pikiran, perasaan, dan sikap pengarangnya terhadap kehidupan

atau realitas sosial sebagai refleksi fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya.

Hal inilah yang menjadi dasar penulis untuk mengkaji permasalahan

dalam cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua karya Sagita Suryoputri sebagai

dasar penelitian tentang mitos kecantikan yang membelenggu pikiran tokoh

perempuan dan pengaruhnya terhadap tokoh utama.

Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua adalah dua cerpen karya Sagita

Suryoputri yang mengisahkan tentang kehidupan satu tokoh utama dari latar dan

konflik yang berbeda. Tokoh utama dalam dua cerpen tersebut bernama Mentari.

Dalam cerpen Barbitch, tokoh Mentari digambarkan memiliki perasaan iri

terhadap sosok boneka Barbie yang cantik jelita dengan kulit putih, hidung

mancung, mata biru, dan bulu mata yang lentik. Mentari merasa bahwa cantik

yang direpresentasikan melalui tokoh Barbie merupakan standar perempuan ideal

yang begitu diidam-idamkan setiap kaum Adam.

Mentari sadar betul bahwa perlu biaya yang tidak murah untuk menjelma

dari sekadar itik buruk rupa menjadi Barbie yang cantik jelita. Menyadari akan

ketidakmampuan dirinya dari segi finansial, Mentari akhirnya mencari jalan pintas

untuk memantaskan dirinya disebut cantik. Ia turun ke jalan di tengah malam dan

menanti lelaki kesepian yang hendak mencari teman perempuan untuk diajak

bersenang-senang.

2
Mentari kemudian berubah cantik layaknya Barbie. Akan tetapi, dalam

konstruksi mitos kecantikan, selalu ada saja bagian tubuh yang dianggap tidak

indah. Ia akhirnya memutuskan untuk menjalani rhinoplasty atau operasi plastik

pada hidung karena menganggap hidungnya kurang mancung. Dengan pemikiran

bahwa setiap pilihan pasti membutuhkan pengorbanan, tokoh Mentari akhirnya

memutuskan berbaring di atas ranjang operasi dan rela membiarkan pisau bedah

menggores wajahnya.

Cerpen kedua berjudul Lipstik Merah Tua. Cerpen ini menceritakan

kehidupan Mentari dalam latar dan konflik yang berbeda. Lipstik Merah Tua

menceritakan sosok Mentari yang mengalami berbagai macam diskriminasi oleh

kawan-kawan sekolahnya. Mentari yang dianggap tidak menarik harus merasakan

ketidakadilan atas anggapan teman-temannya yang begitu terpengaruh oleh mitos

kecantikan.

Teman-teman sebayanya menganggap Mentari yang berkacamata tebal

dan rambut dikuncir sangat tidak memenuhi kriteria cantik. Berbeda jauh dengan

nasib temannya, Mey Mey, yang memiliki kulit putih bersih dan mata sipit khas

oriental. Kenyataan tersebut menjadikan Mey mudah bergaul dan memiliki

banyak teman. Ada rasa iri yang dirasakan Mentari terhadap sahabatnya, Mey.

Namun, Ia tak berdaya mengubah takdir.

Tokoh Mentari yang digambarkan oleh kedua cerpen Suryoputri tersebut

sangat mewakili kondisi sebagian besar perempuan yang terkungkung dalam

mitos kecantikan. Oleh sebab itu, penulis mengangkat kedua cerpen tersebut

sebagai objek kajian dalam penelitian ini. Adapun judul penelitian ini adalah
“Mitos Kecantikan dalam Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua Karya Sagita

Suryoputri (Telaah Kritik Sastra Feminisme)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana mitos kecantikan membentuk interpretasi tokoh perempuan

dalam cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua karya Sagita Suryoputri ?

2. Bagaimana pengaruh mitos kecantikan terhadap tokoh utama dalam

cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua karya Sagita Suryoputri?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Mendeskripsikan mitos kecantikan dalam cerpen Barbitch dan Lipstik

Merah Tua dalam membentuk interpretasi tokoh perempuan.

2. Mendeskripsikan pengaruh mitos kecantikan terhadap tokoh utama dalam

cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua karya Sagita Suryoputri.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan di atas, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat

sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoretis

2
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan studi bandingan

dalam upaya penelitian selanjutnya yang dianggap relevan, terutama penelitian

terkait kajian mitos kecantikan pada karya sastra menggunakan kritik sastra

feminisme.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berpartisipasi dalam rangka membantu

memperluas cakrawala interpretasi para pembaca sastra dalam memahami cerpen

Barbitch dan Lipstik Merah Tua dengan sudut pandang feminisme, khususnya

teori mitos kecantikan Naomi Wolf. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga

dapat menjadi bahan rujukan bagi guru dalam pembelajaran sastra, khususnya

kritik sastra feminisme.

1.5 Batasan Operasional

1. Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakini

kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Konteks mitos dalam

penelitian ini tidak terbatas pada kisah tentang dewa-dewa seperti dalam

mitologi Yunani, melainkan segala hal yang memberikan pembenaran

terhadap nilai-nilai dominan dalam masyarakat.

2. Cantik dalam KBBI diartikan elok; molek (berkaitan dengan wajah

perempuan).

3. Mitos kecantikan merupakan konsep kecantikan yang diyakini oleh

sebagian besar perempuan dalam rentan suatu masa (Wolf, 2004).


4. Kritik adalah evaluasi dan analisis dari segi bentuk dan isi melalui proses

menimbang, menilai, dan memutuskan.

5. Kritik sastra adalah salah satu studi karya sastra yang konkret dengan

penekanan pada nilai yang dibawa oleh suatu karya sastra.

6. Feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan

keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis

kelaminnya.

7. kritik sastra feminisme merupakan salah satu ragam kritik sastra yang

berlandaskan ideologi feminis. Adapun kritik sastra feminisme yang

dimaksud adalah kritik sastra yang mengacu pada pendapat Showalter

yaitu kritik sastra feminisme yang melihat perempuan sebagai pembaca

(Showalter dalam Wiyatmi, 2012).

8. Cerita pendek atau sering disingkat dengan cerpen adalah suatu bentuk 

prosa naratif fiktif yang cenderung padat dan langsung pada tujuannya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cerita Pendek

2.1.1 Definisi Cerita Pendek

Cerita pendek  atau disingkat cerpen  adalah suatu bentuk

prosa naratif fiktif. Dibandingkan dengan karya-karya fiksi lainnya, cerita pendek

cenderung padat dan langsung pada tujuannya. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Kosasih yang menyebutkan bahwa cerpen merupakan cerita yang

menurut wujud fisiknya berbentuk pendek (Kosasih, 2012:34). Definisi menurut

Kosasih sejalan dengan apa yang di kemukakan oleh Hendy bahwa cerpen adalah

kisahan pendek yang mengandung kisah tunggal (Hendy, 1991: 184).

Ciri dari sebuah cerpen diantaranya adalah: singkat, padu, memiliki unsur

utama berupa adegan, tokoh dan gerak, bahasa yang tajam, serta menarik

perhatian pembacanya (Kosasih, 2012:34). Hal senada juga dikemukakan oleh

Notosusanto. Ia berpendapat bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang panjangnya

sekitar lima ribu kata atau kira-kira tujuh belas halaman kuarto dengan spasi
rangkap yang berpusat dan lengkap pada dirinya sendiri (Notosusanto dalam

Kosasih, 2012:35).

Cerpen cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel.

Biasanya, cerpen memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot,

setting yang tunggal, jumlah tokohnya terbatas, dan mencakup jangka waktu yang

singkat (Kosasih, 2012:34).

Dalam bentuk-bentuk fiksi yang lebih panjang, cerita pendek cenderung

memuat unsur-unsur inti tertentu dari struktur dramatis seperti, eksposisi

(pengantar setting, situasi, dan tokoh utamanya); komplikasi (peristiwa di dalam

cerita yang memperkenalkan konflik); aksi yang meningkat, krisis (saat yang

menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka terhadap suatu langkah);

klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan titik cerita yang

mengandung aksi terbanyak atau terpenting); penyelesaian (bagian cerita di mana

konflik dipecahkan); dan moralnya (Kosasih, 2012:34).

Karena cenderung pendek, cerpen biasanya tidak dapat memuat pola yang

lebih kompleks seperti pada novel. Sebagai contoh, cerita-cerita pendek modern

hanya sesekali mengandung eksposisi. Cerpen pada umumnya memiliki awal

yang mendadak, dengan cerita yang dimulai di tengah aksi. Seperti dalam cerita-

cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga mengandung klimaks atau

titik balik. Namun demikian, akhir dari banyak cerita pendek biasanya mendadak

dan terbuka dan dapat mengandung (atau dapat pula tidak) pesan moral atau

pelajaran praktis. Seperti banyak bentuk seni manapun, ciri khas dari sebuah

cerita pendek berbeda-beda menurut pengarangnya (Kosasih, 2012:35).

2
2.1.2 Ciri-ciri Cerpen

Pendapat mengenai ciri-ciri cerita pendek dikemukakan oleh Kosasih

sebagai berikut:

1. Cerita Pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang

konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak

langsung.

2. cerita pendek hanya memiliki satu insiden yang utama dan menguasai

jalannya cerita.

3. Cerita pendek harus mempunyai pelaku atau tokoh utama.

4. Cerita pendek harus memiliki efek atau kesan yang menarik.

2.1.3 Unsur – Unsur Cerpen

Cerpen sebagai karya sastra fiksi (rekaan) dibangun atas dua unsur yaitu

unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur yang

membangun sebuah karya sastra dari dalam. Sedangkan, unsur ekstrinsik adalah

unsur-unsur yang berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung

mempengaruhi karya sastra. Unsur ekstrinsik juga dapat diartikan sebagai unsur-

unsur yang mempengaruhi bangun cerita namun bukan bagian dari cerita

(Nurgiyantoro, 2007: 22).

2.1.3.1 Unsur Intrinsik


Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya itu sendiri. Unsur–

unsur intrinsik cerpen mencakup:

1. Tema

Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema bercerita

tentang segala persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan,

kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya (Kosasih, 2012:40). Pendapat

tersebut juga didukung oleh pendapat para ahli lainnya, seperti Moeliana yang

menyatakan bahwa tema adalah pokok pikiran, dasar cerita (dipercakapkan)

yang dipakai sebagai dasar mengarang dan mengubah sajak (Moeliana,

1990:921). Pendapat lain dikemukakan oleh Stanton. Ia berpendapat bahwa

tema merupakan ide sentral atau pokok dalam karya (Stanton, 1965:4).

Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya. Untuk dapat

menyingkap tema suatu cerpen, seorang pembaca harus terlebih dahulu

mengenali unsur-unsur intrinsik yang dipakai oleh pengarang dalam

mengembangkan cerita fiksinya (Kosasih, 2012:40).

2. Plot/Alur

Plot atau alur adalah rangkaian peristiwa atau kejadian yang sambung-

menyambung dalam suatu cerita. Dengan demikian, alur merupakan suatu

jalur lintasan urutan peristiwa yang berangkai sehingga menghasilkan suatu

cerita. Rangkaian peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita bagaikan mata rantai

yang saling berkait. Hal itu dapat dimaklumi sebab suatu peristiwa pada

2
dasarnya merupakan sebab atau akibat peristiwa lain (Hayati & Muhlich,

2012:14). Menurut Scoh, plot adalah prinsip yang esensial dalam cerita (Scoh,

1966: 2). Setali tiga uang dengan apa yang dikemukakan Scoh, Boulton

berpendapat bahwa plot merupakan pengorganisasian dalam karya sastra

berbentuk prosa atau penentu struktur prosa (Boulton, 1975: 45).

3. Latar/Setting

Latar atau setting merupakan gambaran tempat, waktu, dan suasana

berlangsungnya kejadian dalam cerita. Latar berfungsi untuk memperkuat atau

mempertegas keyakinan pembaca terhadap jalannya cerita ataupun pada

karakter tokoh. Dengan kata lain,  latar adalah tempat, waktu, dan suasana

terjadinya cerita dalam kesusastraan (Kosasih, 2012:38).

Dalam arti luas, latar atau setting meliputi latar  tempat, waktu, dan

suasana kejadian atau peristiwa terjadi. Agar lebih rinci, penulis paparkan

penjelasan Kosasih sebagai berikut :

1. Latar tempat

Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin

berupa tempat-tempat dengan nama tertentu serta inisial tertentu.

2. Latar waktu

 Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan” terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ”kapan”

tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu.

3. Latar suasana
merupakan suasana sekeliling saat terjadinya peristiwa yang menjadi

pengiring atau latar belakang kejadian penting.

4. Penokohan

         Penokohan merupakan cara pengarang dalam menggambarkan dan

mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita (Kosasih, 2012:36). Ia

menjelaskan bahwa tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami

peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman,

1988:16). Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga

berwujud binatang atau benda yang diinsankan.  Selanjutnya,  Stanton,

berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tokoh utama ialah tokoh yang

aktif pada setiap peristiwa (Stanton, 1965:17). Kesimpulannya, tokoh adalah

individu yang berperan dalam suatu cerita.

5. Sudut Pandang

Cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang

dipaparkannya disebut sudut pandang atau biasa diistilahkan dengan point of

view (Kosasih, 2012:42). Pendapat tersebut dipertegas oleh Hayati dan

Muslich yang menyebutkan istilah sudut pandang atau point of view adalah

posisi dan penobatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana

pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu (Hayati

& Muslich, 2012:15).

2
Semi menegaskan bahwa titik kisah merupakan posisi dan penempatan

pengarang dalam ceritanya. Ia membedakan titik kisah menjadi empat jenis

yang meliputi : (1) pengarang sebagai tokoh, (2) pengarang sebagai tokoh

sampingan, (3) pengarang sebagai orang ketiga, (4) pengarang sebagai

pemain dan narator ( Semi, 1988:57-58). Berdasarkan pengertian tersebut,

penulis menyimpulkan bahwa Sudut Pandang adalah penempatan pengarang

dalam sebuah cerita.

6. Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak

disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya (Kosasih,

2012:41). Amanat yang terdapat dalam karya sastra tertuang secara implisit

dan eksplisit. Secara implisit yaitu jika jalan keluar atau ajaran moral itu

disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir (Sudjiman,

1986:35). Amanat secara eksplisit yaitu jika pengarang pada tengah atau akhir

cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan

sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu.

Amanat selalu berhubungan dengan tema cerita. Misalnya, tema suatu

cerita tentang hidup bertetangga, maka amanat ceritanya tidak akan jauh dari

tema tersebut. Misalnya pentingnya menghargai tetangga, pentingnya

menanyantuni tetangga yang miskin, dan sebagainya (Kosasih, 2012:41)

2.1.3.2 Unsur Ekstrinsik


Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra,

tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme

karya sastra. Unsur ekstrinsik meliputi:

1. Nilai-nilai dalam cerita (agama, budaya, politik, ekonomi)

2. Latar belakang kehidupan pengarang

3. Situasi sosial ketika cerita itu diciptakan

2.2 Kritik Sastra

Istilah kritik berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti “hakim”.

Krites sendiri berasal dari kritein “menghakimi”, kriteon yang berarti “dasar

penghakiman”, dan kritikos berarti “hakim kesusastraan”. Kritik sastra dapat

diartikan sebagai salah satu objek studi sastra {cabang ilmu sastra) yang

melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya

seni (Wiyatmi, 2012: 4).

Menurut Abrams, kritik sastra adalah studi yang berhubungan dengan

pendefinisian, penggolongan, penguraian, dan penilaian. Dalam menilai baik-

buruk dan bernilai seni atau tidaknya sebuah karya sastra, dibutuhkan sebuah

kritik sastra. Kritik sastra tersebut tidak lepas dari beberapa pandangan yang

berbeda yang tentunya memberikan hasil yang berbeda pula, meskipun karya

sastra yang dinilai adalah karya sastra yang sama (Abrams dalam Pradopo, 2002).

Kritik sastra di Indonesia sudah mulai berkembang sejak masa pujangga

baru (1930-an), tetapi istilah kritik sastra baru mulai dikenal secara nyata pada

1945 ketika H.B. Jassin menerbitkan bukunya yang berjudul “Sastra Indonesia

Modern dalam Kritik dan Essay”. Sampai 1935, istilah kritik sastra masih

2
dihindari karena terkesan tajam dan merusak sehingga Tatengke menggunakan

istilah “penyelidikan dan Pengakuan” untuk aktivitas menilai karya sastra. Bahkan

sampai hari ini pun kita seringkali masih alergi dengan kata kritik karena terkesan

mencari kelemahan suatu hal (Hardjana dalam Wiyatmi, 2012).

Seiring dengan perkembangan teori sastra yang digunakan sebagai landasan

dalam mengkaji dan menilai karya sastra, pada akhirnya mucul berbagai ragam

kritik sastra. Berdasarkan sejumlah penilaian karya sastra yang ada, pendekatan

yang paling populer adalah pendekatan yang dikemukakan oleh Abrams dengan

teori universe-nya. Pendekatan Abrams tidak lepas dari berbagai macam penilaian

yang pernah dilakukan oleh beberapa ahli sebelumnya. Abrams berpendapat

bahwa ada hubungan antara pengarang, semestaan, pembaca, dan karya sastra.

Abrams membuat diagram yang terdiri dari empat pendekatan kritik sastra. Kritik

tersebut meliputi kritik sastra ekspresif, objektif, mimetik, dan pragmatik

(Wiyatmi, 2012: 4).

Kritik sastra ekspresif menganalisis dan menilai karya sastra dengan

berorientasi kepada pengarang selaku pencipta karya sastra. Keberadaan karya

sastra tidak dilepaskan dari pengarang selaku penciptanya. Hal ini karena apa

yang ditulis oleh pengarang dianggap sebagai ekspresi dari perasaan, emosi, dan

pemikiran pengarang. (Wiyatmi, 2012: 5).

Kritik sastra objektif berorientasi pada karya sastra itu sendiri tanpa

dipahami dalam hubungannya dengan pengarang, masyarakat yang

melatarbelakanginya, serta pembaca. Analisis dan penilaian karya sastra hanya

didasarkan pada unsur-unsur intrinsik yang membangun karya tersebut. Dengan


kritik objektif, sebuah karya akan dianalisis dan dinilai alur, latar, tokoh, dan

penggambaran wataknya, sudut pandang cerita yang digunakan, bahasa, dan

temanya. Kekuatan dan kelemahan novel tersebut dilihat berdasarkan unsur-unsur

pembangun tersebut (Wiyatmi, 2012: 5).

Kritik sastra mimetik berorientasi pada karya sastra dalam hubungannya

dengan kenyataan atau realitas yang terjadi dalam masyarakat. Apa yang

diceritakan atau digambarkan dalam karya sastra dianggap sebagai cermin atau

refleksi dari kenyataan yang ada di masyarakat. Sedangkan kritik sastra

pragmatik berorientasi pada pembaca karya sastra. Melalui kritik sastra pragmatik

karya sastra dianalisis dan dinilai dalam hubungannya dengan pembaca, misalnya

bagaimana tanggapan pembaca terhadap karya tersebut, nilai pendidikan, moral,

ataupun nasionalisme apa yang dapat diperoleh pembaca dari karya tersebut

(Abrams dalam Wiyatmi, 2012: 7).

Selanjutnya, empat macam teori sastra yang dipetakan oleh Abrams

tersebut juga mengalami perkembangan dan memunculkan teori-teori berikutnya,

misalnya sosiologi sastra yang merupakan perkembangan dari teori mimetik,

resepsi sastra yang merupakan perkembangan dari teori pragmatik, strukturalisme

genetik yang merupakan perkembangan dari ekspresi dan sosiologi sastra, kritik

sastra feminis yang merupakan perkembangan dari perpaduan teori ekspresif,

mimetik, dengan feminisme (Wiyatmi, 2012:9).

2
2.3 Feminisme

2.3.1 Pengertian Feminisme

Kata feminisme memiliki sejumlah pengertian. Menurut Humm,

feminisme merupakan penggabungan doktrin persamaan hak bagi perempuan

dengan sebuah transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi

perempuan(Humm dalam Wiyatmi 2012:10). Selanjutnya, Humm menyatakan

bahwa feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan keyakinan

bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Feminisme

menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab dan pelaku dari penindasan

perempuan (Humm dalam Wiyatmi 2012:10).

Pendapat Humm tersebut dipertegas oleh Ruthven. Menurut Ruthven,

pemikiran dan gerakan feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi laki-laki

terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat. Melalui pemikiran dan gerakan

feminisme, kebiasaan yang menjadikan perempuan sebagai korban yang tidak

dihargai seperti struktur budaya, seni, hukum, keluarga yang berdasarkan pada

kekuasaan ayah dan negara, juga semua citra, institusi, adat istiadat harus

dihancurkan (Ruthven dalam Wiyatmi, 2012:11)


Seperti yang dikemukakan oleh Abrams bahwa feminisme sebagai aliran

pemikiran dengan gerakan berawal dari kelahiran era pencerahan (Enlightment) di

Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Worthley untuk perempuan pertama kali

didirikan di Middleburg, sebuah kota di selatan Belanda pada 1785. Menjelang

abad ke-19, feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapat perhatian dari

para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa

memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai Universal Sisterhood

(persaudaraan perempuan yang bersifat Universal) (Abrams dalam Wiyatmi,

2012:11).

2.3.2 Perkembangan Feminisme

Sejak kemunculannya pertama kali di Amerika, Eropa, dan Perancis,

Feminisme telah mengalami perkembangan dan penyebaran yang pesat ke

berbagai negara di penjuru dunia. Perkembangan dan penyebaran feminisme

tersebut telah memunculkan istilah feminisme gelombang pertama, feminisme

gelombang kedua, feminisme gelombang ketiga, posfeminisme, bahkan juga

feminisme Islam dan feminisme dunia ketiga (Wiyatmi, 2012: 12).

Gelombang pertama feminisme muncul pertama kali di Amerika dalam

kurun waktu 1840-1920. Gelombang pertama ditandai dengan adanya konvensi

hak-hak perempuan yang diadakan di Seneca Falls, New York pada 1848.

Pertemuan tersebut diprakarsai oleh Elizabeth Cady Stanton dan dihadiri oleh tiga

ratus perempuan dan laki-laki (Tong, 2006: 31). Pertemuan tersebut menghasilkan

pernyataan sikap dan dua belas resolusi. Deklarasi peryataan sikap tersebut

2
menekan isu yang sebelumnya telah dicanangkan oleh Mill dan Taylor di Inggris

terutama berhubungan dengan kebutuhan untuk mereformasi hukum perkawinan,

perceraian, hak milik, dan pengasuhan anak. Kedua belas resolusi menekankan

pada hak-hak perempuan untuk mengutarakan pendapatnya di depan umum

(Tong, 2006:32). Dengan mengikuti peta pemikiran feminisme yang dibuat Tong,

dapatlah diketahui bahwa gagasan dan gerakan feminisme Amerika gelombang

pertama pada dasarnya merupakan ragam feminisme liberal abad ke-19.

Feminisme Amerika gelombang kedua ditandai dengan berdirinya beberapa

kelompok yang memperjuangkan hak-hak perempuan, yaitu National

Organization for Woman (NOW), The National Women’s Political Caucus

(NWPC), dan The Women’s Equity Action League (WEAL) . Tujuan utama dari

organisasi tersebut adalah untuk meningkatkan status perempuan dengan

menerapkan tekanan legal, sosial, dan lain-lain terhadap berbagai lembaga mulai

dari Bell telephone Company hingga jaringan televisi dan partai-partai politik

utama (Tong, 2006:34).

Menurut Tong, semangat yang mereka miliki merupakan semangat

revolusioner kiri yang tujuannya bukanlah untuk mereformasi apa yang dianggap

sebagai sistem elitis, kapitalis, kompetitif, dan individual, melainkan untuk

menggantikannya dengan sistem egaliter, sosialistis, kooperatif, komuniter, dan

berdasarkan pada gagasan sisterhood is powerfull (persaudaraan perempuan yang

kuat) (Tong, 2006:34).

Setelah feminisme bergerak dalam dua gelombang tersebut, muncullah

feminisme gelombang ketiga yang lebih dikenal dengan feminisme postmodern


atau feminisme Perancis karena dipengaruhi oleh pemikiran postmodern yang

dikembangkan oleh para feminis berkebangsaan Perancis (Tong, 2006:248). Di

samping itu juga dikenal feminisme poskolonialisme atau dikenal sebagai

feminisme dunia ketiga.

Selain ketiga gelombang feminisme tersebut, muncul pula pemikiran

postfeminisme, seperti yang dikemukakan oleh Brooks (2005). Untuk

menjelaskan makna postfeminisme, Broooks (2005:2-3) menggunakan analogi

konsep pos pada kasus poskolonialisme dan posmodernisme. Pos merujuk pada

proses transformasi dan perubahan yang sedang berlangsung.

Poskolonialisme dapat dipandang sebagai tanda pertemuan kritis dengan

kolonialisme, sementara posmodernisme dipandang sebagai pertemuan kritis

dengan prinsip-prinsip modernisme. Dengan analogi tersebut, postfeminisme

dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarki atau menempati posisi yang

kritis dalam memandang kerangka feminisme sebelumnya yang pada saat

bersamaan melawan secara kritis terhadap wacana patriarki dan imperialisme

(Brook dalam Wiyatmi, 2012: 15). Posfeminisme dalam praktiknya menantang

asumsi-asumsi hegomonik yang dipegang oleh feminis gelombang kedua yang

mengatakan bahwa penindasan patriarki dan imperialisme adalah pengalaman

penindasan yang universal (Brook dalam Wiyatmi, 20012:15).

Tong dalam bukunya yang berjudul Feminist Thought mengungkapkan

bahwa feminisme bukanlah sebuah pemikiran yang tunggal, melainkan memiliki

berbagai ragam yang kemunculan dan perkembangannya sering kali saling

mendukung, mengoreksi, dan menyangkal pemikiran feminisme sebelumnya.

2
Tong (2006) mengemukakan adanya delapan ragam pemikiran feminisme,

yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis,

feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme eksistensialis, feminisme

posmodern, feminisme multikultural dan global, dan terakhir ekofeminisme.

2.4 Kritik Sastra Feminisme

Sebagai gerakan modern, feminisme yang mulai berkembang pesat

sekitar tahun 1960 di Amerika berdampak luas. Gerakan ini membuat

masyarakat sadar akan kedudukan perempuan yang inferior. Dampak dari

gerakan ini juga dapat dirasakan dalam bidang sastra. Perempuan mulai

menyadari bahwa dalam karya sastra pun terdapat ketimpangan mengenai

pandangan tentang manusia dalam tokoh-tokohnya. Hal inilah yang pada

akhirnya memunculkan apa yang dinamakan kritik sastra feminis (Tong,

2006:10).

2.4.1 Pengertian Kritik Sastra Feminisme

Kritik sastra feminisme adalah studi sastra yang mengarahkan fokus

analisisnya pada perempuan. Dasar pemikiran feminisme dalam penelitian sastra

adalah upaya pemahaman kedudukan peran perempuan seperti yang tercermin

dalam karya sastra (Suharto, 2002 : 15).

Pendapat lain dikemukakan oleh Madsen. Madsen berpendapat bahwa

kritik sastra feminisme merupakan salah satu ragam karya sastra yang didasari

oleh pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam

memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya


sastra-karya sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari

gerakan feminisme yang muncul pertama kali di Amerika Serikat pada 1700-an

(Madsen dalam Wiyatmi, 2012: 44).

Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra feminisme

dianggap sebagai kritik yang bersifat revolusioner yang ingin menumbangkan

wacana dominan yang dibentuk oleh suara tradisional yang bersifat patriarkal

(Ruthven dalam Wiyatmi, 2012: 44). Tujuan utama kritik sastra feminis adalah

menganalisis relasi gender, situasi ketika perempuan berada dalam dominasi laki-

laki (Flax dalam Wiyatmi, 2012:44).

Melalui kritik sastra feminisme, opresi perempuan yang terdapat dalam

karya sastra akan dideskripsikan (Humm dalam Wiyatmi, 2012: 22). Humm juga

menyatakan bahwa penulis sejarah sastra -sebelum munculnya kritik sastra

feminisme- masih dikonstruksikan oleh fiksi laki-laki. Oleh karena itu, kritik

sastra feminis melakukan rekonstruksi dan membaca kembali karya-karya tersebut

dengan fokus pada perempuan, sifat sosiolinguistiknya, dan mendeskripsikan

tulisan perempuan dengan perhatian khusus pada penggunaan kata-kata dalam

tulisannya (Humm dalam Wiyatmi, 2012: 22).

2.4.2 Jenis – Jenis Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis memiliki beberapa ragam berdasarkan teori beberapa

ahli. Salah satu ahli yang mengkategorikan kritik sastra feminis adalah

Showalter. Showalter mengemukakan bahwa secara garis besar kritik sastra

feminis terbagi atas dua jenis, yaitu : 1) kritik sastra yang melihat perempuan

2
sebagai pembaca (woman as reader) dan 2) kritik sastra yang melihat

perempuan sebagai penulis (woman as writer/gynocritics) (Showalter dalam

Wiyatmi, 2012:25).

Kritik sastra feminis aliran perempuan sebagai pembaca memfokuskan

kajian pada citra dan stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian, dan

kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik sebelumnya, dan celah-celah

dalam sejarah yang dibentuk oleh laki-laki (Showalter dalam Wiyatmi, 2012:25).

Kritik sastra feminis perempuan sebagai penulis atau lebih dikenal dengan

istilah ‘ginokritik’ meneliti sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan,

tema, genre, struktur tulisan perempuan, kreativitas penulis perempuan, profesi

penulis perempuan sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan

peraturan tradisi penulis perempuan (Showalter dalam Wiyatmi, 2012:25).

Selain Showalter, Penjenisan kritik sastra feminisme juga dikemukakan

oleh Humm. Humm membedakan adanya tiga jenis kritik sastra feminis, yaitu:

1) kritik feminis psikoanalisis, 2) kritik feminis marxis, dan 3) kritik sastra

feminis hitam dan lesbian (Humm dalam Wiyatmi, 2012:26).

Kritik sastra psikoanalisis memfokuskan kajian pada tulisan-tulisan

perempuan karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya

mengidentifikasikan atau menempatkan dirinya pada si tokoh perempuan,

sedangkan tokoh perempuan tersebut umumnya merupakan cermin penciptanya

(Wiyatmi, 2012:26).
Munculnya kritik sastra feminis psikoanalisis berawal dari penolakan para

feminis terhadap teori kompleks kastrasi Sigmund Freud. Kompleks kastrasi

menurut Freud adalah kecemasan yang dialami oleh anak laki-laki yang

memiliki pandangan yang salah ketika melihat perbedaan alat kelamin dengan

saudara perempuannya. Menurutnya, perempuan sebenarnya memiliki penis,

tetapi telah dipotong. Anggapan tersebut diperkuat oleh ancaman yang sering

disampaikan oleh orang tua akan mengebirinya atau menghukumnya karena

tingkah laku seksualnya. Itulah sebabnya dia mengalami “kecemasan kastrasi”

(Freud dalam Wiyatmi 2006:26).

Kritik sastra feminis marxis meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut

pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik mencoba

mengungkapkan bahwa kaum perempuan yang menjadi tokoh dalam karya

sastra merupakan kelas masyarakat yang tertindas (Humm dalam Wiyatmi,

2006:26).

Dengan menggunakan dasar teori marxis dan ideologi kelas Karl Marx,

kritik sastra feminisme marxis akan mengidentifikasi kelasisme sebagai

penyebab opresi terhadap perempuan tertindas (Humm dalam Wiyatmi,

2006:26).

Kritik sastra feminis hitam dan lesbian mencoba memberikan perhatian

kepada perempuan kulit hitam dan kaum lesbian yang selama ini dimarginalkan,

terutama dalam hubungannya dengan perempuan, laki-laki kulit putih, dan kaum

heteroseksual. Kritik feminisme ini memberikan perhatian terhadap keberadaan

para perempuan kulit hitam dan kaum lesbian yang menjadi tokoh-tokoh dalam

2
karya sastra yang selama ini menjadi korban penindasan kaum laki-laki maupun

perempuan, khususnya kulit putih (Humm, 1986:73).

Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis

menggunakan teori kritik sastra feminisme aliran perempuan sebagai pembaca

yang digagas oleh Showalter. Penggunaan teori tersebut dianggap paling tepat

karena relevan dengan tujuan penyusunan skripsi ini.

2.5 Definisi Mitos

kata mitos berasal dari kata Myth yang berasal dari kata mutos dalam

bahasa Yunani yang bermakna cerita atau sejarah yang dibentuk dan diriwayatkan

sejak atau tentang masa lampau (Zeffry, 1998:2). Mitos juga berarti suatu cerita

yang berisi dongeng legenda mengenai asal-usul kejadian alam semesta dan

hubungannya dengan keberadaan manusia.

Dalam KBBI, kata mitos bermakna cerita suatu bangsa tentang dewa dan

pahlawan zaman dulu, mengandung penafsiran tentang asal usul semesta alam,

manusia, dan bangsa yang mengandung arti mendalam dan diungkapkan secara

gaib (KBBI, 2008:7749).

Di sisi lain, Barthes, seorang semiolog asal Perancis, memiliki anggapan

lain tentang mitos. Melalui kajian semiologi, Barthes memberikan definisi yang

lebih luas terhadap mitos. Menurut Barthes, mitos merupakan suatu bentuk pesan

atau tuturan yang harus diyakini tetapi tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Mitos bukan konsep atau ide tetapi merupakan suatu cara pemberian arti (Barthes,

1972:109).
Menurut Barthes, mitos adalah bagian penting dari ideologi. Mitos yang

dimaksud Barthes bukan seperti mitologi Yunani tentang dewa-dewa atau mahluk

halus yang mendiami suatu tempat. Dalam konteks mitologi lama, mitos bertalian

dengan sejarah dan bentukan masyarakat pada masanya, tetapi Barthes

memandangnya sebagai bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakini

kebenarannya walau tidak dapat dibuktikan. Menurut Barthes, tuturan mitologis

bukan saja berbentuk tuturan oral melainkan dapat pula berbentuk tulisan,

fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, bahkan iklan dan lukisan

(Barthes dalam Iswidayati 2012:10).

Secara kasat mata, mitos sulit untuk dideteksi karena cenderung

mentransformasikan sejarah kepada sesuatu yang natural atau alami dan

mengacaukan publik bahwa apa yang dibaca, dilihat, disimak, dan didengar

adalah sesuatu yang natural atau memang sudah seharusnya begitu (Barthes dalam

Iswidayati 2012:10).

Mitos tumbuh dari konotasi. Dalam pandangan Barthes, masyarakat kini

hidup bukan di antara benda-benda, melainkan dari opini-opini yang yang sudah

diyakini. Kekuatiran Barthes dalam hal ini adalah jika opini-opini yang diyakini

tersebut dianggap wajar dan alamiah sebab yang dianggap wajar dan alamiah

adalah kekuatan yang dominan (Barthes dalam Iswidayati 2012:10).

Definisi mitos yang dikemukakan oleh Barthes berlaku juga untuk

kecantikan yang tengah dibahas sebagai isu utama dalam penelitian ini.

Kecantikan yang dibentuk oleh media lengkap dengan ukuran-ukuran, batasan-

batasan, dan cara-cara pemerolehannya menjadi semacam wacana yang pada

2
gilirannya memberi pemahaman kepada para perempuan bahwa kecantikan yang

sejati adalah kecantikan yang dipublikasikan oleh media massa. Penyebaran

definisi cantik yang menjadi objek berita media massa berganti menjadi pelbagai

sugesti dan agitasi persis seperti apa yang dikemukakan Barthes.

Istilah mitos kecantikan secara orisinil telah digagas oleh Naomi Wolf.

Naomi Wolf adalah tokoh feminis asal Amerika. Mitos kecantikan versi Naomi

Wolf lebih mengacu pada teori konspirasi atas budaya patriarki bagi

keberlangsungan pencitraan kecantikan perempuan. Keseluruhan ulasan Wolf

mengenai mitos kecantikan terhimpun dalam Buku “Beauty Myth”.

Kita patut bersyukur, betapa Wolf juga menekankan, dalam hal ini dia

sangat bersejalan dengan Barthes, bahwa kecantikan yang dihadirkan sebagai

sebuah wacana dan bermutasi menjadi mitos tidak memiliki ukuran yang

substansial (Iswidayati 2012:10).

2.6 Definisi Mitos Kecantikan

Bukanlah satu bentuk kerja ilmiah bila terlebih dahulu tidak dipaparkan

bagaimana mitos kecantikan mengubah interpretasi perempuan dalam memahami

tentang konsep kecantikan. Pemahaman tentang mitos kecantikan memang

diperlukan untuk mengkaji dan mengupas secara mendetail bagaimana kerja

konsep ini dalam hubungannya dengan perempuan. Untuk itu, penulis

memaparkan konsep mitos kecantikan yang menjadi isu utama dalam penelitian

ini dengan harapan konsep tersebut tidak disalahartikan menjadi sesuatu yang

dianggap menyalahi aturan dan tidak ilmiah.


Mengawali tulisannya, Wolf menggambarkan keberhasilan gerakan

feminisme pada tahun-tahun 1970-an meraih hak-hak hukum dan reproduksi,

disamping mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Wolf, 2004:

23). Keberhasilan-keberhasilan itu tampak tidak berbanding lurus dengan

kebebasan yang sesungguhnya juga mereka impikan. Pada kenyataanya

kurangnya kebebasan itu berhubungan dengani isu-isu yang seharusnya tidak

perlu dipermasalahkan. Para perempuan mulai memberi perhatian khusus terhadap

hal-hal semacam penampilan fisik, tubuh, wajah, rambut, atau pakaian. Hal ini

membawa mereka pada pertentangan pemahaman antara kebebasan dan

kecantikan perempuan (Wolf, 2004:24).

Selepas perempuan dari belenggu arena pertarungan antara ranah domestik

dan ranah publik, mitos kecantikan mengambil alih dan terus memperluas

kekuasaannya sebagai kontrol sosial (Wolf, 2004 : 26). Alam bawah sadar

perempuan masa kini banyak dipenuhi oleh gambaran yang muram tentang

kebencian terhadap diri sendiri, obsesi fisik, teror atas usia yang terus bertambah

tua, dan ketakutan atas hilangnya kontrol diri (Wolf, 2004 : 25). Masyarakat

tengah berada dalam pertentangan melawan feminisme yang menggunakan citra

kecantikan perempuan sebagai senjata politis untuk menentang kemajuan

perempuan. Inilah yang kemudian disebut sebagai mitos kecantikan (Wolf, 2004 :

25).

2.7 Mitos kecantikan Membentuk Interpretasi Perempuan

2
Mitos kecantikan mengintimidasi perempuan melalui jalan yang demikian

sistematis dan terorganisasi. Selama perempuan berpikir bahwa menjadi cantik

sesuai dengan representasi kacamata masyarakat adalah satu kebutuhan yang mut-

lak, mitos kecantikan akan selalu membelenggu (Wolf, 2004:8).

Berdasarkan teori Naomi Wolf, mitos kecantikan membelenggu dan

mengubah interpretasi perempuan dalam memandang kecantikan melalui

beberapa aspek. Antara lain : media massa, budaya patriarki, industrik kosmetik,

dan dunia medis. Aspek tersebut diuraikan sebagai berikut :

2.7.1 Mitos Kecantikan Membentuk Interpretasi Perempuan melalui Media

Massa

Media massa kerap menampilkan dan menghadirkan sosok perempuan

cantik sebagai model dalam wacana yang tengah dibahasnya, maksudnya, tentu

saja dalam bentuk visual dan verbal. Media terus-menerus merekonstruksi sosok

ideal perempuan sesuai dengan budaya dan trend pasar yang di dalamnya duduk

sekelompok orang yang berkuasa dan merasa bahwa cantik harusnya sesuai

dengan konsep-konsep dalam imajinasi mereka (Wolf, 2004:4). Hal demikian

pada gilirannya juga berimplikasi pada persepsi perempuan itu sendiri yang

mengidentifikasi sosok perempuan yang disebut cantik dan ideal sebagai dia yang

kurus, tinggi, putih, dan berambut pirang, dengan wajah yang mulus tanpa noda,

simetris, hidung mancung, bibir tipis, dada yang menonjol, pinggul yang padat

berisi, kaki yang jenjang, dan tanpa cacat sedikitpun (Wolf, 2004: 4).

Batasan-batasan kecantikan seperti yang tergambar di atas memang tidak

terlepas dari pengaruh media dan iklan-iklan yang menawarkan perubahan menuju
ke arah kebaikan bagi perempuan. Perlu ditekankan, idealisme yang berada di

belakang media dan layar iklan tidak lain adalah juga letupan-letupan ambisi dan

pemikiran laki-laki (Nasiru, 2014: 32).

Menurut Wolf, tidak mudah memberi pengertian kepada para perempuan

bahwa konsep-konsep ideal tidak langsung datang dari surga, bahwa konsep-

konsep itu sesungguhnya datang dari suatu tempat dan bahwa mereka punya

tujuan tertuntu—tujuan peningkatan finansial (Wolf,2003:7).

Secara tegas media massa telah membentuk sebuah ideologi tentang makna

atau imaji gaya hidup dan penampilan terutama tentang konsep kecantikan bagi

perempuan (Winarni, 2009:3). Sejalan dengan pendapat Winarni, Prabosmoro

mengungkapkan bahwa melalui kerangka feminitas dan seksualitas perempuan

dalam iklan, tubuh perempuan dikonstruksi untuk menyesuaikan dengan selara

“pasar”, yang dalam hal ini pasar adalah kuasa penentu apakah bentuk seksualitas

atau femininitas (termasuk kecantikan, bentuk tubuh, jenis rambut, dan

sebagainya) tertentu berterima atau tidak (Prabosmoro, 2006: 325).

Dengan demikian, sebagai pribadi yang juga mengonsumsi iklan-iklan dalam

media, perempuan secara sadar maupun tidak akan ikut terbawa arus konsep

cantik paling mutakhir seperti yang disuguhkan media (Nasiru, 2014:33).

Pada akhirnya kita tidak dapat mengelak dari gagasan Wolf yang

mengatakan semua hal yang “ideal” bukanlah semata-mata tentang harga diri

perempuan, melainkan lebih dalam dari itu: ini tentang uang. Konsep tentang

“yang ideal” diciptakan oleh para pengiklan dalam media massa yang telah

2
menginvestasikan banyak dana untuk meraih laba ekonomis yang sangat besar

(Wolf, 2004: 463).

Menurut Handoko, iklan dewasa ini menjadi salah satu sumber pemasukan

media-media besar tanah air, terutama media swasta. Ia menyebutkan majalah

Femina sebagai salah satu contoh. Iklan menjadi harapan yang berkembang tetapi

sekaligus menjadi bayangan yang belum tentu kebenarannya (2014: 135-138).

2.7.2 Mitos Kecantikan Membentuk Interpretasi Perempuan Melalui

Budaya Patriarki

Patriarki berasal dari bahasa Yunani, patria berarti ‘ayah’ dan ark yang

berarti ‘akal’. Berdasarkan asal kata tersebut dapat disimpulkan bahwa patriarki

adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas

utama yang sentral dalam organisasi sosial (http//id.wikipedia.org).

Berdasarkan fakta sejarah, tidak dapat dinafikkan bahwa laki-laki

senantiasa mempertahankan kekuasaannya. Dengan basis ideologi yang cacat

mereka bertekad untuk mempertahankan perempuan agar selalu dalam kondisi

ketergantungan. Segenap peraturan dikemas dalam bentuk yang tidak pernah adil

sehingga perempuan benar-benar dibedakan sebagai “sosok yang lain”. Begitu

laki-laki berusaha menonjolkan diri, kelompok “sosok yang lain” ini bukan

merupakan suatu kepentingan baginya: laki-laki mengidentifikasi dan

mensubjektifikasi dirinya hanya melalui kenyataan ini, kenyataan yang bukan

merupakan perwujudan dirinya dan merupakan sesuatu yang lain dari dirinya

(Beauvoir via Nasiru, 2014: 25-26).


Setiap perempuan pasti ingin memiliki kecantikan, dan laki-laki pastilah

ingin memiliki perempuan yang cantik. Tekanan yang muncuk akibat perasaan

ingin memiliki ini dirasakan oleh perempuan, dan bukan laki-laki (Wolf, 2004:

29). Situasi ini menjelma menjadi sesuatu yang alamiah dan diperlukan karena hal

itu bersifat biologis, seksual, dan evolusioner. Lihat saja, para laki-laki perkasa

selalu berperang demi perempuan cantik (Wolf, 2004: 29).

Mitos kecantikan cenderung membuat laki-laki mencemaskan tubuh

perempuan (Wolf, 2004: 331). Ketika perempuan terjun ke dalam dinamika

masyarakatnya, ia akan dengan segera menjadi santapan batasan-batasan penilaian

publik yang cenderung menuntutnya merepresentasikan daging yang murni sesuai

dengan fungsinya. Karena kita hidup dalam lingkaran “budaya tradisional”,

sehingga yang dimaksud publik di sini tidak lain adalah laki-laki. Perempuan

kemudian tidak dipandang sebagai subjek kepribadian, tetapi sebagai benda yang

tertutup rapat dan tunduk pada “kodratnya”. Tuntutan-tuntutan itu termanifestasi

dalam konsep keinginan laki-laki yang berkenaan dengan gaya berpakaian

perempuan, bentuk tubuh yang langsing, hingga penggunaan make up dan

perhiasan (Beauvoir via Nasiru, 2014: 26).

Mitos kecantikan sesungguhnya bukan semata-mata tentang perempuan.

Mitos tersebut lebih cenderung merupakan persoalan institusi laki-laki dan

kekuasaan institusional (Wolf, 2004: 32). Perbedaan biologis antara laki-laki dan

perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat

memandang perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak

2
setara. Perempuan yang tidak memiliki otot dipercaya sebagai alasan mengapa

masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior).

Millet menyatakan bahwa muscular weakness tidak dapat digunakan

sebagai alasan peletakan perempuan pada posisi inferior. Laki-laki dianggap

memiliki fisik kuat. Tetapi, perbedaan yang lebih dalam antara laki-laki dan

perempuan tampak karena masyarakat memperlakukan keduanya secara berbeda

(Millet dalam Wolf, 2004: 27).

2.7.3 Mitos Kecantikan Membentuk Interpretasi Perempuan Melalui

Industri Kosmetik

Industri kecantikan semakin berkembang seiring dengan kemajuan

teknologi. Produk-produk kecantikan turut dikemas dan diperjualbelikan dalam

masyarakat yang tentu saja konsumen utamanya adalah perempuan. Produk-

produk tersebut lebih dikenal dengan istilah produk kosmetik

Kosmetik berasal dari bahasa Yunani ‘Kosmetikos’ yang mempunyai arti

keterampilan menghias atau mengatur. Sedangkan definisi kosmetik menurut

peraturan Menkes adalah bahan atau campuran bahan yang digosokkan,

dilekatkan, dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam,

dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk

membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa,

melindungi agar tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak

dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Depkes RI,

1976).
Secara gamblang dapat dikatakan bahwa teknologi-teknologi baru yang

berfungsi sebagai alat penyebaran berhasil mengembangkan industri kosmetik

sebagai media dalam mengontrol perempuan (Wolf, 2004: 27). Kemudian hal

tersebut dimanfaatkan oleh produsen kosmetik dengan memproduksi berbagai

produk tata rias dengan aneka kelebihan. Perempuan yang ingin melentikkan bulu

mata bisa menggunakan mascara dan pipi merona dengan blush on. Ditambah

dengan produk perawatan yang menjanjikan wajah putih, mulus dan bebas

jerawat. Perempuan berlomba-lomba menggunakannya demi menjadi sosok yang

dipuja lawan jenis. Tanpa disadari, perempuan dijadikan sasaran untuk mendapat

keuntungan bagi produsen kosmetik (Nasiru, 2014:7).

Sistem ekonomi kapitalis dengan berbagai cara mengkonstruksi pikiran

perempuan dengan konsep-konsep kecantikan yang melekat pada tubuh

perempuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Seperti yang

dikemukakan oleh Adlin & Kurniasih bahwa keterpaduan antara tubuh dan

kosmetik yang dilekatkan kepada perempuan menghasilkan sebuah tanda baru

yaitu kecantikan (Adlin & Kurniasih, 2006: 217-239).

Representasi perempuan yang paling kuat dan berpengaruh adalah bahwa

kebudayaan Barat mempromosikan “tubuh langsing” sebagai norma kultural

disipliner (Bordo, via Barker, 2004: 258). Menurutnya, tubuh yang langsing

adalah tubuh perempuan. Kelangsingan adalah kondisi ideal terkini bagi daya

tarik perempuan sehingga perempuan secara kultural sangat menghindari kondisi

“salah makan” yang berpotensi menaikkan berat badan mereka dan menjelma

menjadi perempuan-perempuan gendut yang seolah tidak memiliki arti apa-apa.

2
Kita dapat berasumsi bahwa apa yang dikatakan Wolf barangkali baru

berlaku untuk mereka yang masuk dalam golongan “perempuan-perempuan

modern”. Namun, tetap saja mereka adalah korban dari patron kecantikan yang

mengekang. Seorang perempuan seharusnya menjadi diri sendiri, menentukan

bagaimana mereka ingin menampilkan dirinya dan ingin menjadi perempuan

macam apa mereka (Wolf, 2004: 5). Ini tentu sejalan dengan hak mereka sebagai

seutuh-utuhnya perempuan dan sebebas-bebasnya manusia.

2.7.4 Mitos kecantikan Membentuk Interpretasi Perempuan Melalui Dunia

Medis

Seiring perkembangan jaman, perkembangan pesat juga terjadi dalam dunia

medis. Tuntutan akan kesiapan dalam menyelesaikan masalah umat manusia dari

aspek kesehatan telah menjadi pemicu perkembangan tersebut. Berkembangnya

dunia medis modern kemudian membawa pengaruh terhadap segala aspek

kehidupan masyarakat. Misalkan demi memenuhi permintaan masyarakat,

khususnya perempuan, dalam rangka memperindah bentuk tubuh, memperhalus

permukaan kulit, hingga mempercantik penampakan wajah mereka.

Merasuknya pengaruh sistem medis dalam segala aspek kehidupan juga

dapat dibuktikan melalui acara televisi saat ini. Berbagai macam produk kosmetik

untuk membuat kulit wajah putih dan segar. Hal ini menunjukkan bahwa

kecantikan melibatkan sistem medis modern untuk perawatannya. Berbagai jenis

paket kecantikan telah ditawarkan oleh dunia medis hari ini, dari yang hanya
bersifat refitalisasi atau merawat, hingga yang bersifat konstruktif atau mengubah

bagian tertentu dengan tujuan mempercantik. Dalam masyarakat awam, kegiatan

tersebut lebih dikenal dengan istilah operasi plastik. Secara gamblang dapat

dikatakan bahwa teknologi-teknologi baru yang berfungsi sebagai alat penyebaran

berhasil mengembangkan industri kosmetik sebagai kontrol media bagi

perempuan (Wolf, 2004: 27).

Industri bedah plastik menjadi semakin luas karena adanya proses

manipulasi atas gagasan tentang kesehatan dan kesakitan (Wolf, 2004: 438-440).

Perempuan telah sekian lama didefinisikan sebagai sosok yang sakit. Anggapan

ini menjadi alat untuk mensubjektifikasikan perempuan terhadap kontrol sosial

(Wolf, 2004:440). Dalam tradisi pemikiran Barat, lelaki merepresentasikan

keutuhan, kekuatan, dan kesehatan. Sementara perempuan dianggap sebagai lelaki

yang salah arah, lemah, dan tidak sempurna (Wolf, 2004: 438-440).

Rasa sakit dan kecemasan itu menjadi bahan baku utama yang diusung

prinsip mitos kecantikan (Wolf, 2004: 457). Ketika perempuan modern didorong

untuk percaya bahwa bagian-bagian tubuh kita yang normal dan sehat adalah

penyakit, kita telah memasuki fase baru dari tekanan medis yang begitu

mengerikan, hingga tak seorang pun ingin memandang ke arahnya (Wolf, 2004:

444).

Kebohongan vital yang menghubungkan keperempuanan dengan penyakit

telah memberikan keuntungan bagi para dokter sejarah obat-obatan. Operasi

plastik dengan penggunaan sinar laser merupakan sebagian dari teknologi modern

yang mengontrol perasaan perempuan tentang diri mereka sesuai apa yang

2
ditampilkan media. Dan itu tidak lain merupakan bagian dari pengembangan

teranyar dalam pasar industri kosmetik (Nasiru, 2014:45).

Lebih jauh, hal ini juga menjamin bertahannya anggapan bahwa perempuan

adalah makhluk yang “sakit” dan mereka akan menjadi pasien yang terus

memberikan keuntungan di mana pun dapat ditemukan perempuan dari kalangan

kelas menengah (Wolf, 2004: 438-440).

Wolf pernah mengatakan bahwa sekarang ini, apa yang menyakitkan adalah

kecantikan. Sementara itu, sejarawan Jules Michelet menyebutkan perempuan

sebagai “rasa sakit yang terus berlangsung” (Michelet via Wolf, 2004:435-439).

Persepsi tentang kecantikan dan perempuan yang diutarakan kedua ahli itu berasal

dari sistem dalam masyarakat yang dibentuk oleh laki-laki. Sistem itu kemudian

menjadi media yang mencampuradukkan pemahaman tentang perempuan sebagai

makhluk subordinat dengan rasa sakit dan iming-iming kecantikan dengan cara

yang demikian absurd. Seolah-olah rasa sakit dan perempuan menjadi satu

kesatuan yang padu dan menyeluruh (Wolf, 2004: 435-439).

Wolf dalam wacananya bahwa sekarang ini perempuan yang sungguh-

sungguh bisa menjalankan fungsinya tidak merasakan cukup kepuasan atas

tubuhnya, lebih tidak merasa puas jika dibandingkan dengan orang-orang yang

cacat (Wolf, 2004: 454).

Pada asasnya, tidak mudah menyadarkan para perempuan bahwa cantik itu

bukanlah konsep yang baku, konsep kolot yang seragam bagi semua perempuan,

yang batas-batasnya mampu melampaui dimensi ruang dan waktu (Wolf, 2004:

454). Mereka telah meyakini bahwa cantik adalah seperti apa yang selama ini
mereka saksikan lewat saluran media massa. Bahwa cantik itu memiliki patron

yang tidak dapat berubah, dan selalu sama kapan dan di mana pun mereka berada.

Fakta konstruksi kultural kemudian mengklaim bahwa kualitas yang disebut

sebagai ‘cantik’ benar-benar ada, secara ojektif dan universal. Perempuan pasti

ingin memiliki kecantikan, dan laki-laki pastilah ingin memiliki perempuan yang

cantik. Tekanan yang muncul aikibat perasaan ingin memiliki ini dirasakan oleh

perempuan, bukan laki-laki (Wolf, 2004:29).

Kebohongan vital yang menghubungkan keperempuanan dengan penyakit

telah memberikan keuntungan bagi para dokter sejarah obat-obatan. Lebih jauh,

hal ini juga menjamin bertahannya anggapan bahwa perempuan adalah makhluk

yang “sakit” dan mereka akan menjadi pasien yang terus memberikan keuntungan

di mana pun dapat ditemukan perempuan dari kalangan kelas menengah (Wolf,

2004: 438-440).

Hal yang perlu diwaspadai adalah bahwa sesungguhnya pada dokter bedah

kosmetik ini menggantungkan pendapatnya pada bagaimana mereka membungkus

persepsi diri perempuan dan bagaimana mereka melipatgandakan kebencian

perempuan terhadap diri mereka sendiri. Jika tiba-tiba saja perempuan berhenti

merasa bahwa dirinya jelek, bidang spesialis medis yang berkembang paling cepat

ini akan menjadi bidang yang mati paling cepat (Wolf, 2004: 467).

Tindakan operasi plastik yang digalakkan oleh individu yang bergerak dalam

bidang medis dijadikan sebagai mesin pencetak keuntungan yang menjanjikan.

Pemikiran perempuan terus diinjeksi dengan infeksi virus pemahaman bahwa

mereka adalah makhluk yang “sakit” (Nasiru, 2014

2
Menurut Wolf, tidak mudah memberi pengertian kepada para perempuan

bahwa konsep-konsep ideal tidak langsung datang dari surga, bahwa konsep-

konsep itu sesungguhnya datang dari suatu tempat dan bahwa mereka punya

tujuan tertentu—tujuan peningkatan finansial (2004: 7).


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Jenis Penelitian

3.1.1 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut

Sukmadinata adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan

menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,

pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Adapun menurut Tylor

penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang akan menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

diamati (Taylor dalam Margono 2005: 36).

Bertolak pada pengertian tersebut, penulis mengambil objek kajian berupa

teks cerpen yang mendeskripsikan bentuk penindasan perempuan melalui mitos

kecantikan lalu dituangkan dalam hasil penelitian yang berupa data deskriptif

tertulis.

2
3.1.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian kepustakaan dengan kajian

studi dokumen/ teks (document study). Dikatakan penelitian kepustakaan karena

objek kajian berupa data tertulis dan semua kegiatan dalam mencari,

mengumpulkan, dan mendapatkan data-data yang diperlukan umumnya dengan

cara menelaah Cerpen Barbitch dan Cerpen Lipstik Merah Tua dengan

pendekatan kritik sastra feminisme. Studi dokumen atau teks merupakan kajian

yang menitikberatkan pada analisis atau interpretasi bahan  tertulis berdasarkan 

konteksnya. Bahan bisa berupa catatan yang terpublikasikan, buku teks, surat

kabar, majalah, surat-surat, film, catatan harian, naskah, artikel, dan sejenisnya

(Rahardjo, 2010: 2).

3.2 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah teks dalam dua cerpen yang

menggambarkan tentang belenggu mitos kecantikan terhada perempuan. Adapun

sumber data dalam penelitian ini Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua karya

Sagita Suryoputri yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama tahun 2013.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah

teknik baca catat. Teknik baca catat yaitu membaca teks Cerpen Barbitch dan

Lipstik Merah Tua karya Sagita Suryoputri yang menjadi objek penelitian ini.
Teknik catat yaitu mencatat data-data atau informasi yang diperoleh dari hasil

bacaan sesuai dengan masalah dalam penelitian ini.

3.4 Teknik Analisis Data

Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan kritik sastra

feminisme khususnya perempuan sebagai pembaca (woman as reader) dan

menggunakan teori mitos kecantikan Naomi Wolf. Kritik sastra feminisme aliran

perempuan sebagai pembaca dalam penelitian ini memfokuskan kajian pada teks

Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua karya Sagita Suryoputri yang

menggambarkan citra dan stereotipe perempuan melalui mitos kecantikan.

3.5 Langkah-Langkah Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Membaca secara keseluruhan teks cerpen Barbitch dan cerpen Lipstik Merah

Tua karya Sagita Suryaputri secara mendalam guna menguasai dan memahami

teks cerpen sebagai data penelitian.

b. Menentukan fokus masalah yang sesuai dengan perspektif kritik sastra

feminisme. Fokus masalah yang dimaksud adalah mitos kecantikan yang

membelenggu tokoh perempuan dan pengaruhnya terhadap tokoh utama

dalam cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua karya Sagita Suryoputri.

2
c. Melakukan kajian pustaka untuk memahami sejumlah masalah yang akan

dianalisis dan tulisan kritikus maupun peneliti sebelumnya yang membahas

masalah yang sama atau mirip.

d. Mengumpulkan data primer maupun sekunder yang relevan dengan fokus

masalah yang akan dianalisis. Data primer dalam penelitian ini adalah Cerpen

Barbitch dan Lipstik Merah Tua karya Sagita Suryoputri, sementara data

sekunder berasal dari berbagai sumber informasi yang relevan dengan masalah

yang akan dianalisis. Sumber sekunder yang dominan dalam penelitian ini

berasal dari teori Mitos Kecantikan Naomi Wolf yang terangkum dalam

bukunya yang berjudul “Beauty Myth”

e. Menganalisis data dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis.

Dalam hal ini, peneliti menggunakan kritik sastra feminisme aliran perempuan

sebagai pembaca (woman as reader) dan teori mitos kecantikan Naomi Wolf.

f. Menginterpretasikan dan memberikan penilaian terhadap hasil penelitian

sesuai dengan kritik sastra feminisme aliran perempuan sebagai pembaca.

g. Melaporkan hasil analisis dalam bentuk tulisan.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua

Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua adalah dua cerpen karya Sagita

Suryoputri yang mengisahkan tentang kehidupan satu tokoh utama dari latar dan

konflik yang berbeda. Tokoh utama dalam dua cerpen tersebut bernama Mentari.

Dalam cerpen Barbitch, Mentari digambarkan sebagai perempuan yang sangat

mendambakan kehidupan penuh kemewahan. Sebab, kemewahan menurutnya

akan membawa kemudahan dalam mencapai impiannya. Sementara itu, ia

menyadari bahwa kemewahan tidak datang dengan sendiri, tetapi diperlukan

usaha yang keras untuk mendapatkannya.

Mentari berpendapat bahwa kesuksesan dan kemewahan akan datang

bersama dengan kecantikan. pandangan Mentari ini bermuara pada obsesinya

yang ingin tampil cantik dan elegan layaknya Barbie. Hal inilah yang kemudian

menjadikan Mentari merasa iri dengan mutlaknya “kesempurnaan” yang

direpresentasikan oleh boneka cantik jelita tersebut. Ia berpendapat bahwa cantik

yang ditampilkan Barbie adalah standar ukuran perempuan ideal yang begitu

diidam-idamkan setiap kaum Adam. Pemikiran Mentari tentang konsep

2
kecantikan ideal telah membawanya pada keputusan untuk memermak dirinya

agar tampil layaknya Barbie.

Mentari sadar betul bahwa perlu biaya yang tidak murah untuk menjelma

dari sekadar itik buruk rupa menjadi Barbie yang cantik jelita. Menyadari akan

ketidakmampuan dirinya dari segi finansial, tokoh Mentari akhirnya mencari jalan

pintas untuk memantaskan dirinya disebut cantik. Akhirnya, Ia turun ke jalan di

tengah malam dan menanti lelaki kesepian yang hendak mencari teman

perempuan untuk diajak bersenang-senang. Mentari dan teman-temannya

menjuluki diri dengan sebutan Barbitch, singkatan dari Barbie Bitch. Pelesetan

dari nama Barbie yang dianggap mampu mewakili diri dan pemikirannya.

Mentari kemudian berubah cantik layaknya Barbie. Akan tetapi, dalam

konstruksi mitos kecantikan, selalu ada saja bagian tubuh yang dianggap tidak

indah. Ia akhirnya memutuskan untuk menjalani rhinoplasty atau operasi plastik

pada hidung. Dengan pemikiran bahwa setiap pilihan membutuhkan pengorbanan,

tokoh Mentari akhirnya memutuskan berbaring di atas ranjang operasi dan rela

membiarkan pisau bedah menggores wajahnya.

Melalui cerpen Barbitch, pembaca disuguhkan fenomena masyarakat urban

saat ini, khususnya perempuan. Pengarang menggambarkan bagaimana sebagian

besar perempuan masa kini menginterpretasi makna kecantikan. Kecantikan yang

sejatinya sebagai hal yang relatif justru dalam cerpen ini digambarkan telah

menjadi sesuatu yang nisbih dengan segala standar ukuran yang telah ditetapkan

oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan.


Dengan membaca cerpen Barbitch, kita akan dihadapkan pada satu fakta

bahwa cantik dan menjadi cantik tak jarang membutakan rasionalitas perempuan.

Obsesi Mentari untuk menjadi cantik telah telah membawanya pada satu prinsip

hidup bahwa kecantikan membutuhkan pengorbanan. Dengan itu, ia pun nekad

untuk mengoperasi hidungnya dan melakukan sedot lemak.

Cerpen kedua berjudul Lipstik Merah Tua. Cerpen ini menceritakan

kehidupan Mentari dalam latar dan konflik yang berbeda. Lipstik Merah Tua

berkisah tentang sosok Mentari yang mengalami berbagai macam tindakan

diskriminasi oleh kawan-kawan sekolahnya. Mentari yang dianggap tidak

memiliki kecantikan fisik ideal harus merasakan ketidakadilan atas anggapan

teman-temannya yang begitu terpengaruh oleh mitos kecantikan.

Teman-teman sebayanya menganggap Mentari yang berkacamata tebal dan

rambut dikuncir sangat tidak memenuhi kriteria cantik. Berbeda jauh dengan nasib

temannya Mey Mey yang memiliki kulit putih bersih dan mata sipit khas oriental.

Kenyataan tersebut menjadikan Mey Mey mudah bergaul dan memiliki banyak

teman. Ada rasa iri yang dirasakan Mentari terhadap sahabatnya Mey Mey.

Namun, Ia tak berdaya mengubah takdir.

Selain tindakan diskriminatif yang dialami Mentari pada masa sekolah,

konflik perceraian kedua orangtuanya turut mewarnai kisah hidup Mentari dalam

cerpen Lipstik Merah Tua. Perceraian tersebut didasari oleh kondisi ekonomi

keluarganya yang semakin memburuk semenjak perusahaan ayahnya gulung tikar.

Mentari yang semasa kecil dimanjakan oleh fasilitas mewah tiba-tiba harus

merasakan pahitnya kemiskinan yang melanda.

2
Setelah jatuh miskin, masalah dalam hidup Mentari bertambah ketika sang

ibu memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ibu Mentari yang digambarkan

sebagai ibu rumah tangga biasa ternyata tidak mampu bertahan dengan perubahan

nasib yang begitu drastis. Sang ibu pun pergi bersama lelaki lain dan

meninggalkan Mentari bersama sang ayah.

Penampilan Mentari yang selalu menjadi bahan lelucon dan perceraian yang

dialami orangtuanya telah mengubah pandangan serta tujuan hidupnya. Kesulitan

hidup telah mengajarkan satu hal bahwa kemewahan adalah harga mati untuk

membuat keluarga dan dirinya hidup bahagia. Tekadnya pun membulat. Kelak

suatu saat nanti ia akan menjadi sosok perempuan mandiri dan bergelimang

kemewahan. Menurutnya, kecerdasan yang ia miliki tidak berarti apa-apa tanpa

paras yang cantik nan ideal. Boneka Barbie yang menjadi teman bermainnya

semasa kecil pun menjadi patokan akan standar kecantikan.

Cerpen Lipstik Merah Tua memberikan penggambaran bahwa konsep

kecantikan yang dipahami oleh masyarakat telah membawa penderitaan pada

tokoh Mentari. Tokoh Mentari dalam cerpen ini harus merasakan ketidakadilan

dari teman-temannya karena penampilan yang dianggap tidak cantik dan menarik.

Hal tersebut menegaskan bahwa mitos kecantikan begitu membelenggu pemikiran

dan tindakan masyarakat saat ini. Selain itu, hal yang dapat dimaknai melalui

cerpen ini adalah konflik dalam keluarga turut andil dalam mengubah pemahaman

serta obsesi tokoh utama. Kemiskinan dan perceraian yang dialami oleh

keluarganya telah menjadi motivasi yang membuatnya kokoh mengejar obsesi dan

cita-citanya, cantik layaknya Barbie.


4.2 Mitos Kecantikan Membentuk Interpretasi Tokoh Perempuan dalam

Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua

Mitos kecantikan merupakan mitos yang memandang perempuan cantik

melalui kacamata budaya patriarki. Mitos kecantikan mengintimidasi perempuan

melalui jalan yang demikian sistematis dan terorganisasi. Perempuan ditindas den-

gan cara yang paling halus hingga tidak sadar bahwa mereka telah terperangkap

dalam mitos kecantikan. Selama perempuan berpikir bahwa menjadi cantik sesuai

dengan representasi kacamata masyarakat adalah satu kebutuhan yang mutlak,

mitos kecantikan akan selalu membelenggu (Nasiru, 2014:23).

Mitos kecantikan membentuk konsep bahwa seolah-olah kualitas yang

disebut ‘cantik’ benar-benar ada, secara objektif dan universal. Situasi itu

kemudian menjelma sebagai sesuatu yang alamiah dan diperlukan karena bersifat

biologis, seksual, dan evolusioner. Akan tetapi, hal itu tidak sepenuhnya benar,

karena secara fundamental kecantikan juga ditentukan oleh sistem politik.

Kecantikan bukan hal yang universal juga bukan bagian dari fungsi evolusi. Tidak

ada legitimasi historis atau pembenaran biologis bagi mitos kecantikan. Dengan

begitu, dapat ditarik prinsip bahwa mitos kecantikan merupakan kombinasi dari

jarak emosional, represi politik, ekonomi, dan seksual. Mitos kecantikan

sesungguhnya bukan semata-mata tentang perempuan. Mitos itu cenderung

merupakan persoalan institusi laki-laki dan kekuasaan institusional (Nasiru,

2014:54).

Mitos kecantikan bekerja dengan sangat lihai demi menjerumuskan perem-

puan jauh ke dalam ketersesatan pemikiran dan sikap yang membelenggu. Perem-

2
puan dibekap oleh tangan mitos kecantikan dari segala arah, dan dengan satu hen-

takan telak melempar perempuan jauh ke dalam keterpurukan yang gelap dan

membunuh. Hal ini tentu bisa saja terjadi mengingat bahwa kuasa mitos ini telah

menjelma menjadi endemi yang mewabah dalam dinamika budaya masyarakat

dalam konteks kekinian.

Mitos kecantikan menjadi bayang-bayang hitam yang berdiri di belakang

perempuan. Ia mengikuti dan menghantui perempuan selama mereka sadar bahwa

menjadi cantik sesuai dengan representasi kaca mata masyarakat adalah satu ke-

butuhan yang mutlak. Perempuan diintimadisi dengan cara yang paling halus

hingga mereka tidak sadar bahwa mereka telah terperangkap dan terbuai dalam

dekap mitos kecantikan (Nasiru, 2014:43). Intimadisi teraktualisasi melalui jalan

yang demikian sistematis dan terorganisir. Mitos ini menyebar dan menebar

dalam lembar-lembar dan tayangan media massa. Ia mewujud menjadi sebuah

kebenaran yang nyata dan absolut. Kebenaran itu kemudian mengalir dan

bertransformasi menemukan jalan yang baru dalam dunia medis. keberadaan mi-

tos kecantikan dalam dunia yang baru itu melegitimasi “kebenaran” di dalamnya

untuk kemudian disuntikkan ke dalam tubuh-tubuh perempuan, sesaat setelah

kepercayaan diri mereka berhasil dilumpuhkan melalui “kebenaran” media massa

yang mengambil peran ketika proyek intimadisi ini dimulai. Perempuan yang ter-

jerumus dalam batasan-batasan cantik yang ditelurkan media massa—yang juga

merasuki dunia medis—dengan segera terperosok dalam rasa cemas. Mereka mu-

lai khawatir terhadap citra diri mereka sendiri ketika melihat bayangan mereka
terpantul di depan cermin. Cermin yang juga telah kabur dan tersaput napas mitos

kecantikan yang diembuskan dengan begitu lembut dan dingin (Nasiru, 2014:43).

4.2.1 Mitos Kecantikan Membentuk Interpretasi Tokoh Perempuan Melalui

Budaya Patriarki

Patriarki berasal dari bahasa Yunani, patria berarti ‘ayah’ dan ark yang

berarti ‘akal’. Berdasarkan asal kata tersebut dapat disimpulkan bahwa patriarki

adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas

utama yang sentral dalam organisasi sosial (http//:wikipedia.org).

Patriarki adalah konsep yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, terutama

dalam antropologi dan studi referensi feminisme . Dalam konteks kebudayaan,

patriarki merupakan budaya dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi

dari perempuan. Muara dari bentukan budaya itu memberi kebebasan mutlak

kepada laki-laki untuk mengendalikan perempuan, termasuk bagaimana

perempuan memahami konsep kecantikan (Wolf, 2004:55).

Kekuasaan budaya patriarki dalam mengubah cara pandang perempuan

terhadap konsep cantik salah satunya dibuktikan dengan adanya perbedaan standar

kecantikan yang dipahami oleh perempuan dari waktu ke waktu. Layaknya mitos,

kecantikan yang diyakini sebagai sesuatu yang nisbih, ternyata tidak memiliki

bentuk yang tetap dan selalu berubah-ubah.

Perbedaan konsep kecantikan yang dipahami oleh perempuan juga

teraktualisasi dalam cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua karya Sagita

Suryoputri. Meskipun bercerita tentang tokoh yang sama, kedua cerpen tersebut

2
memiliki latar waktu dan konflik yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat

dalam kutipan berikut :

“Barbie Bitch
Bukan berarti aku tidak suka boneka Barbie. Boneka tersebut
memiliki kecantikan yang sangat mengagumkan. Membuat banyak
hati tergugah untuk memuja dan memiliki paras sepertinya. Mungkin
saja aku iri dengan mutlaknya kesempurnaan yang dimilikinya. Sama
seperti wanita lainnya.” (Barbitch, hal.38)

Mentari memiliki perasaan kagum terhadap boneka Barbie. Ia beranggapan

bahwa Barbie adalah representasi dari kecantikan yang mutlak. Barbie yang

memiliki kulit putih, rambut panjang, tubuh langsing, hidung mancung, dan bibir

merona menjadi patokan kecantikan bagi Mentari. Karena kesempurnaan fisik

Barbie, Mentari pada akhirnya merasa iri dan terobsesi ingin menjelma sepertinya.

Kecantikan Barbie layaknya mitos yang membuat Mentari percaya bahwa

konsep ideal tersebut adalah syarat mutlak agar ia mendapat predikat cantik.

Bagaimana tidak, Barbie sebagai piranti bermain telah bertransformasi menjadi

standar ukuran kecantikan dan membuat Mentari iri akan kecantikannya. Perasaan

iri tersebut tak jarang menjadikan perempuan berlomba-lomba menyulap diri agar

tampil cantik layaknya Barbie (Rogers, 2012). Pada kenyataannya, boneka Barbie

merupakan senjata kapitalisme patriarkat untuk mengontrol perempuan dalam

menampilkan dirinya. Sejalan dengan pendapat Wolf yang menyatakan bahwa

laki-laki menciptakan imaji perempuan dalam kedaulatannya. Imaji tersebut

menjadi tolok ukur bagi masyarakat patriarki dalam menilai perempuan cantik

(Wolf, 2004).
Rogers berpendapat bahwa Barbie merupakan boneka yang menjadi piranti

bermain gadis kecil menjadi sebuah mitos tentang kecantikan (Rogers, 2012).

Selanjutnya ia mengatakan Boneka Barbie menunjukkan feminitas yang tegas.

Sejumlah predikat yang disematkan pada Barbie adalah sesuatu yang identik

dengan perempuan. Dia mengatakan bahwa konstruksi tubuh Barbie yang

digambarkan sebagai seorang gadis muda yang sangat sempurna adalah ikon

kecantikan khas Amerika (Rogers, 2012). Barbie adalah ikon rasisme, seksisme,

konsumerisme, dan materialisme. Bahkan secara fisik, Barbie telah mengajarkan

rasisme (Rogers, 2012). Pada awalnya, Barbie adalah boneka berkulit putih

walaupun kemudian telah banyak versi warna kulit padanya seperti versi Afrika,

Amerika, Asia, dan Hispanik. Mata Barbie yang biru, rambutnya pirang adalah

bukti nyata dominasi budaya kulit putih atau ras kaukasian dan anggapan ras

kaukasian lebih baik daripada ras Asia, Hispanik, maupun Afrika (Rogers, 2012).

Rogers juga menegaskan bahwa iklan di televisi dan film Barbie meracuni

pikiran masyarakat, khususnya perempuan sehingga ia menginginkan tubuh

seperti boneka Barbie. Kondisi demikian merefleksikan adanya hierarki sosial dan

etnik dimana “putih” dipahami sebagai bersih, terhormat, sukses, bermoral baik,

serta sehat dan menarik. Pilihan orang terhadap Barbie kulit putih secara tidak

langsung merefleksikan pandangan rasialis dalam masyarakat yang didominasi

kulit putih (Rogers, 2012).

Laki-laki sebagai pihak yang memandang telah menciptakan batasan-

batasan serta ukuran-ukuran dalam konsep kecantikan. Perempuan sebagai pihak

yang dipandang pun tentu akan berusaha mencapai standar tersebut demi

2
menyandang predikat cantik. Fakta tersebut pada akhirnya menyiratkan bahwa

standar ukuran kecantikan adalah konstruksi budaya. Pembenaran atas konsep

yang berlaku tersebut telah menciptakan satu mitos baru yang disebut mitos

kecantikan (Wolf, 2004:7).

Berbeda dengan cerpen Barbitch, cerpen Lipstik Merah Tua mengisahkan

Mentari dalam latar dan konflik yang berbeda. Waktu kecil, Mentari memiliki

seorang sahabat yang selalu menjadi teman bermainnya saat pulang sekolah.

Temannya bernama Mey. Mey adalah gadis kecil berparas oriental. Melalui

pendeskripsian tersebut, tentu kita dapat mengasumsikan bahwa Mey memiliki

kulit putih, mata sipit, dan bibir tipis khas oriental. Karena kecantikan Mey

tersebut, Mentari sangat mengaguminya. Bahkan teman-temannya di sekolah

lebih memilih bermain bersama Mey daripada Mentari. Hal inilah yang

menjadikan Mentari merasa iri dan memiliki hasrat untuk menjadi seperti Mey.

Kisah Mentari tersebut digambarkan melalui penggalan berikut:

“Sambil memperhatikan wajah Mey saat sedang mengepang


rambutku, entah mengapa aku langsung mengaguminya. Aku berpikir
bahwa ia sangat apik dan cantik. wajah orientalnya yang selalu
tampak riang, rambutnya yang lurus panjang, tubuhnya yang mungil
dan gaya bicaranya yang sangat khas dan lucu.” (LMT, hal. 53)

Menelisik wacana dalam dua penggalan narasi tersebut, kita dapat

menyimpulkan bahwa Mentari dalam cerpen Barbitch memiliki boneka Barbie

sebagai patokan standar kecantikan yang ideal. Sementara itu, Mentari dalam

cerpen Lipstik Merah Tua menjadikan Mey, temannya, sebagai tolok ukur dalam

memahami konsep kecantikan. Sepintas, tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
Namun, jika kita membandingkannya, kecantikan yang dimiliki oleh boneka

Barbie jelas berbeda dengan kecantikan khas oriental yang dimiliki Mey.

Perbedaan konsep kecantikan tersebut pada akhirnya bermuara pada satu

kesimpulan bahwa konsep kecantikan tidaklah seperti yang selama ini diyakini

bahwa ia memiliki batasan objektif dan universal. Seperti yang dikemukakan oleh

Wolf bahwa mitos kecantikan membentuk konsep seolah-olah kualitas yang

disebut “cantik” benar-benar ada, secara objektif dan universal (Wolf, 2012). Pada

kenyataanya, konsep kecantikan selalu berubah-ubah dan tidak memiliki batasan

yang standar.

Bagaimana perempuan menilai tubuhnya akan sangat berkaitan dengan

bagaimana lingkungan sosial dan budaya di luar dirinya menilai tubuh perempuan

(Mulyana, 2005). Pendapat Mulyana tersebut nampaknya berlaku juga bagi tokoh

Mentari. Hidup dalam lingkungan patriarki telah menjadikannya sebagai sosok

termarginalkan akibat perasaan tidak cantik. Perasaan tersebut kemudian

membawanya pada obsesi mengejar kecantikan. Padahal, kecantikan yang ia kejar

merupakan standar yang telah dimanipulasi demi menyenangkan pihak yang

memandang, dalam hal ini lelaki.

Selain perbedaan standar kecantikan yang dipahami, perempuan juga telah

diajarkan sejak usia dini untuk menganggap penampilan fisiknya sebagai salah

satu faktor penting dalam menumbuhkan rasa bangga dan rasa percaya diri. Orang

tua mengajari anak perempuan mereka bahwa selain kecerdasan, penampilan fisik

juga dibutuhkan untuk menunjang kesuksesan sang anak kala dewasa nanti.

Karena itu, bagi perempuan, penampilan fisik juga menjadi sesuatu yang tidak

2
kalah penting. Hal inilah yang juga dialami oleh tokoh Mentari dalam cerpen yang

dianalisis.

‘Ibuku sangat cantik. Aku selalu memperhatikan dirinya saat sedang


bersolek. Ia selalu mengenakan lipstik merah muda sebagai polesan
akhir di bibir tipisnya.
‘kenapa mama pakai warna itu?’ tanyaku pada suatu kali.
‘Mama kurang suka dan nggak cocok pakai warnah merah tua, Mama
kelihatan lebih tua.’ jawab mama” (LMT, hal.58)

Mentari bertanya mengapa ibunya menggunakan lipstik merah muda lalu

ibunya menjawab bahwa lipstik merah tua akan membuatnya terlihat lebih tua.

Realitas yang digambarkan melalui kutipan dialog di atas memberi kita tanda

seolah-olah perempuan takut termakan usianya sendiri. Seolah-olah laki-laki anti

terhadap perempuan yang telah beranjak tua.

Jawaban ibu atas pertanyaan Mentari secara tidak langsung mengajarkannya

bahwa terlihat tua itu tidak baik dan tidak cantik. Perempuan akan dipandang

sebelah mata jika terlihat tua. Hal tersebut sesuai dengan teori Wolf dalam

bukunya “Beauty Myth” yang menyatakan bahwa perempuan sekarang ini

memiliki ketakutan terhadap pertambahan usia (Wolf, 2012:3).

Dalam mitos kecantikan, penuaan dianggap sebagai musuh yang nyata

meskipun ia niscaya. Musuh bagi perempuan maupun bagi laki-laki yang

berkepentingan untuk melihat perempuan senantiasa dalam kemudaan mereka.

Pemahaman seperti itu pada akhirnya telah menjadi mitos yang dipahami oleh

sebagian besar perempuan.


Ketika mitos kecantikan mulai dianalisis pada awal 1990-an, konsep

kecantikan ideal menjadi sangat ketat. Naomi Wolf dalam bukunya menegaskan

bahwa wajah perempuan yang lebih tua hampir tidak pernah ditampilkan di

majalah dan jika mereka ditampilkan, mereka telah direkayasa sedemikian rupa

sehingga tampak lebih muda (Wolf, 2012:15).

4.2.2 Mitos Kecantikan Membentuk Interpretasi Tokoh Perempuan Melalui


Industri Kosmetik

Industri kecantikan semakin berkembang seiring dengan kemajuan

teknologi. Produk-produk kecantikan turut dikemas dan diperjualbelikan dalam

masyarakat yang tentu saja konsumen utamanya adalah perempuan. Produk-

produk tersebut lebih dikenal dengan istilah produk kosmetik. Alasan utama

tingginya tingkat pemakaian kosmetik bagi perempuan tidak lain yaitu agar

memperoleh predikat cantik.

Kosmetik berasal dari bahasa Yunani ‘Kosmetikos’ yang mempunyai arti

keterampilan menghias atau mengatur. Sedangkan definisi kosmetik menurut

peraturan Menkes adalah bahan atau campuran bahan yang digosokkan,

dilekatkan, dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam,

dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk

membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa,

melindungi agar tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak

dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Depkes RI,

1976).

2
Penggunaan kosmetik juga digambarkan oleh pengarang melalui tokoh

perempuan dalam cerpen Barbitch. Tokoh tersebut bernama Vega. Vega adalah

salah satu sahabat Mentari. perhatikan kutipan berikut:

“Tari : Gue pengen rhinoplasty dan sedot lemak. Enaknya di


Jakarta atau sekalian di Korea?

Vega : Nggak usahlah operasi-operasian. Zaman sekarang


udah ada penemuan mutakhir yang namanya make-up! I
can’t live a day without my baby brown dan my fake
ayelashes (Aku takdapat hidup sehari pun tanpa Baby
Brown dan bulu mata palsuku.) (Barbitch, hal. 41 )”.

Vega menyarankan Mentari agar mengurungkan niatnya karena operasi

plastik dan sedot lemak membutuhkan proses yang menyakitkan dan

menghabiskan banyak biaya. Sebagai solusi atas sarannya, Vega menawarkan

Mentari agar menggunakan make-up, “Sebuah penemuan mutakhir zaman ini”,

katanya. cukup dengan make-up atau produk kosmetik, Mentari akan terlihat

cantik dan menawan. Tidak hanya itu, Vega menegaskan bahwa ia tak tidak bisa

hidup tanpa Baby Brown (salah satu merek produk kosmetik) dan bulu matanya

walau sehari. Penegasan Vega tersebut menyiratkan bahwa ia sangat bergantung

dengan kosmetik. Seolah-olah tanpa produk kosmetiknya, ia tidak akan terlihat

cantik. Kondisi ketergantungan ini membuatnya terus menerus mengonsumsi dan

membelanjakan uangnya demi produk kosmetik yang tentu tidak murah dan

menghabiskan banyak biaya. Tuntutan tersebut begitu membelenggu. Namun,

Vega tidak menyadari hal tersebut karena merasa kecantikan yang ia kejar adalah

sesuatu yang pasti dan tak perlu dipertanyakan kebenarannya. Ketakutan dan rasa
cemasnyalah yang membentuk pemahaman tersebut. Seolah-olah tanpa

kosmetiknya, ia akan berubah wujud dan tidak dianggap selayaknya manusia.

Secara gamblang dapat dikatakan bahwa teknologi-teknologi baru yang

berfungsi sebagai alat penyebaran berhasil mengembangkan industri kosmetik

sebagai media dalam mengontrol perempuan (Wolf, 2004: 27). Kemudian hal

tersebut dimanfaatkan oleh produsen kosmetik dengan memproduksi berbagai

produk tata rias dengan aneka kelebihan. Perempuan yang ingin melentikkan bulu

mata bisa menggunakan mascara dan pipi merona dengan blush on. Ditambah

dengan produk perawatan yang menjanjikan wajah putih, mulus dan bebas

jerawat. Perempuan berlomba-lomba menggunakannya demi menjadi sosok yang

dipuja lawan jenis. Tanpa disadari, perempuan dijadikan sasaran untuk mendapat

keuntungan bagi produsen kosmetik.

Sistem ekonomi kapitalis dengan berbagai cara mengkonstruksi pikiran

perempuan dengan konsep-konsep kecantikan yang melekat pada tubuh

perempuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (Wolf,

2012:28). Tokoh Vega yang ditampilkan dalam cerpen ini telah membuktikan

bahwa mitos kecantikan telah mengekang kebebasan perempuan dalam

menampilkan dirinya dalam masyarakat. Ketergantungan akan kosmetik telah

membuat Vega menjadi tidak jujur dengan dirinya sendiri. Ironisnya, Vega tidak

menyadari hal tersebut dan terus menggantungkan citra cantiknya kepada industri

kosmetik. Apa yang dilakoni Vega seakan menjadi cermin yang merefleksikan

kisah nyata perempuan yang menganggap bahwa tubuh, kosmetik, dan kecantikan

merupakan tiga hal yang saling berkaitan erat membentuk satu kesatuan

2
representasi akan kesempurnaan. Seperti yang dikemukakan oleh Adlin &

Kurniasih bahwa keterpaduan antara tubuh dan kosmetik yang dilekatkan kepada

perempuan menghasilkan sebuah tanda baru yaitu kecantikan (Adlin &

Kurniasih, 2006: 217-239).

Mitos kecantikan yang menyerang pemikiran Vega dalam memaknai

tentang konsep kecantikan juga dialami oleh Mentari dalam Cerpen Lipstik Merah

Tua. Berikut penggalan narasinya :

“Sore itu aku masuk diam-diam ke kamar ibuku dan mengambil


lipstik berwarna merah muda tersebut dari dalam kotak kosemetik
yang trletak di dalam laci mejanya. Dengan sembunyi-sembunyi
kubawa lipstik itu ke rumah Mey mey. Di kamar Mey Mey, kami
bermain dengan lipstik ibuku. Mematut diri dengan centil di depan
cermin sambil mengenakan baju pesta berenda milik kami. (LMT,
hal. 52)”

Narasi di atas mengisahkan Mentari kecil ketika ia mengambil lipstik

ibunya. Seperti anak kecil pada umumnya, Mentari tentu didorong oleh rasa ingin

tahu dan hasrat ingin mencoba segala hal, termasuk menggunakan pemerah bibir.

Dengan sembunyi-sembunyi, Mentari membawa lipstik tersebut ke rumah

temannya, Mey. Mereka bermain dengan lipstik tersebut, mematut diri dengan

centil di depan cermin sambil mengenakan baju pesta milik mereka. Mentari kecil

tentu sangat senang. Menurutnya, apa yang ia lakukan bukanlah kesalahan. Dalam

hal ini, menggunakan pemerah bibir ibunya agar terlihat cantik bukanlah sesuatu

yang salah. Bukankah lipstik memang diciptakan untuk perempuan? begitu

mungkin pikirnya.
Tindakan Mentari yang mengambil diam-diam lisptik ibunya tentu didasari

oleh keinginan untuk tampil cantik. Mentari yang masih kecil nampaknya paham

betul bahwa bibir yang merona adalah simbol dari kecantikan perempuan. Dengan

berani, ia diam-diam mengambil lipstik ibunya lalu membawanya ke rumah Mey.

Apa yang dilakukan Mentari tentu tergolong berani untuk ukuran anak kecil. Ia

rela mengambil risiko dimarahi ibunya asalkan dapat menggunakan lipstik

tersebut. Hal ini menyiratkan bahwa kemarahan ibunya bukanlah apa-apa

dibandingkan dengan sensasi dari perasaan cantik yang akan ia rasakan saat

menggunakan lipstik. Menurutnya, mencoba untuk terlihat lebih dewasa bukanlah

dosa. Melalui pengisahan tersebut, pembaca tentu bisa merasakan betapa mitos

kecantikan telah menyerang perempuan bahkan sebelum perempuan mampu

melawan.

Seorang ibu adalah pendidik pertama dalam lingkungan keluarga.

Biasanya, seorang anak perempuan akan belajar tentang batasan norma-norma dan

tingkah laku dari ibunya, termasuk bagaimana seorang perempuan menampilkan

dirinya. Mentari yang menganggap bahwa dengan lipstik, ia akan terlihat cantik

tentu dipengaruhi oleh ibunya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal

tersebut dibuktikan melalui penggalan narasi berikut:

“Ibuku sangat cantik. aku selalu memperhatikan dirinya saat


sedang bersolek. Ia selalu mengenakan lipstik merah muda sebagai
polesan akhir di bibir tipisnya.
“kenapa mama pakai warna itu?” tanyaku pada suatu kali.
“ Mama kurang suka dan nggak cocok pakai warnah merah tua,
Mama kelihatan lebih tua.” (LMT, hal.52)

2
Perbincangan Mentari dan ibunya dalam penggalan dialog tersebut telah

menegaskan bahwa pengetahuan Mentari tentang fungsi lipstik diperoleh dari

ibunya. seorang anak adalah peniru yang baik. Berbekal rasa ingin tahu, Mentari

pada akhirnya berani dengan sembunyi-sembunyi mengambil lipstik yang

disimpan rapi oleh ibunya di dalam tas kosmetik. Kebanyakan orang tua mungkin

akan beranggapan bahwa apalah artinya sebuah lipstik dibandingkan kesenangan

yang diperoleh anak kesayangannya. Lagipula, lipstik akan menjadi kebutuhannya

kelak. Tidak ada salahnya ia belajar dari kecil bagaimana menggunakan lipstik.

Pemahaman orang tua seperti inilah yang menjadi bagian dari cara penyebaran

mitos kecantikan. Budaya patriarki masih terus mengopresi perempuan dengan

menciptakan batasan-batasan tentang perempuan cantik. Bagaimana mungkin

kualitas kecantikan perempuan diukur hanya dengan seoles gincu di bibirnya.

Ideologi konsumerisme dengan jelas menyatakan bahwa mengkonsumsi

secara terus menerus adalah baik, khususnya bagi perempuan dalam

mempercantik dirinya. Perempuan selalu berlomba merawat dan mempercantik

diri dalam upaya pemenuhan konsep kecantikan yang ada dalam sistem budaya

dimana perempuan itu berada. Hal ini juga dilakukan agar perempuan dapat

menyenangkan orang yang melihat mereka, laki-laki khususnya. De Beauvoir

mengatakan bahwa perempuan hanyalah mahluk kedua yang tercipta secara

kebetulan setelah laki-laki dan dirinya harus dapat menyenangkan hati suami agar

selamat dikemudian hari dengan berdandan secantik mungkin (Beauvoir, 1989:9).


4.2.3 Mitos Kecantikan Membentuk Interpretasi Tokoh Perempuan Melalui
Dunia Medis

Seiring perkembangan jaman, perkembangan pesat juga terjadi dalam dunia

medis. Tuntutan akan kesiapan dalam menyelesaikan masalah umat manusia dari

aspek kesehatan telah menjadi pemicu perkembangan tersebut. Berkembangnya

dunia medis modern kemudian membawa pengaruh terhadap segala aspek

kehidupan masyarakat. Misalkan demi memenuhi permintaan masyarakat,

khususnya perempuan, dalam rangka memperindah bentuk tubuh, memperhalus

permukaan kulit, hingga mempercantik penampakan wajah mereka.

Merasuknya pengaruh sistem medis dalam segala aspek kehidupan juga

dapat dibuktikan melalui acara televisi saat ini. Berbagai macam produk kosmetik

untuk membuat kulit wajah putih dan segar. Hal ini menunjukkan bahwa

kecantikan melibatkan sistem medis modern untuk perawatannya. Berbagai jenis

paket kecantikan telah ditawarkan oleh dunia medis hari ini, dari yang hanya

bersifat refitalisasi atau merawat, hingga yang bersifat konstruktif atau mengubah

bagian tertentu dengan tujuan mempercantik. Dalam masyarakat awam, kegiatan

tersebut lebih dikenal dengan istilah operasi plastik.

Operasi plastik bukanlah hal yang tabuh hari ini. Kita telah banyak melihat

dan mendengar bahwa perempuan baik dari kalangan ibu rumah tangga hingga

kalangan selebritis banyak yang melakukan operasi bedah plastik. Tujuannya pun

bermacam-macam, mulai dari takut terlihat gemuk, ingin menyenangkan hati

pasangan, hingga terlihat sempurna di depan kamera. Semua hal tersebut

mengarah pada satu tujuan yaitu menjadi cantik. Berdasarkan penelitian Naomi

Wolf yang melibatkan 33 ribu responden perempuan dari seluruh dunia

2
menyatakan bahwa mereka lebih suka jika berhasil menurunkan berat badan

sebanyak sepuluh hingga lima belas kilogram dibandingkan meraih tujuan-tujuan

yang lain (Wolf, 2012:25).

Kegiatan operasi plastik dan sedot lemak yang banyak dilakukan oleh

perempuan modern hari ini juga teraktualisasi melalui cerpen Barbitch. Berikut ini

penggalan narasinya :

“menurut lo gimana kalo gue operasi hidung?” tanyaku.


“apaan sih, Tar. Lo itu udah cakep, kalo lo yang udah mancung
aja mau operasi hidung, apa kabar gue?!” ujar Vega
menanggapi. (Barbitch, hal. 40)

Rasa sakit dan kecemasan itu menjadi bahan baku utama yang diusung

prinsip mitos kecantikan (Wolf, 2004: 457). Mengacu pada teori mitos kecantikan

Wolf tersebut, penulis menyimpulkan bahwa bentuk mitos kecantikan yang

tergambar melalui kutipan dialog tersebut yaitu adanya anggapan Mentari bahwa

dengan mengubah bentuk hidungnya melalui operasi plastik akan membuatnya

lebih cantik dan menarik. Tindakan tersebut ia inginkan karena menganggap

hidungnya kurang mancung seperti tokoh idolanya, Barbie. Vega, sahabatnya,

mempertanyakan niat Mentari tersebut. Menurutnya, hidung Mentari sudah

terlihat mancung walau tanpa operasi. Ketidaksetujuan Vega atas ide Mentari

telah membuktikan bahwa anggapan Mentari yang merasa bahwa cantik dengan

hidung operasi merupakan sesuatu yang mutlak ternyata hanyalah mitos.

Anggapan tersebut muncul karena suara dominan dari mayoritas perempuan yang

menempuh jalan operasi plastik demi mengubah bagian dari dirinya agar lebih

menarik. Pada kenyataannya, tidak semua perempuan beranggapan seperti

Mentari. Vega adalah salah satu perempuan yang menyangkal mitos tersebut.
Sehingga, cantik dengan jalan operasi seperti yang diyakini Mentari bukanlah

sesuatu yang mutlak diperlukan untuk tampil cantik.

Kalau dicermati lebih mendetail, banyak hal yang dikorbankan perempuan

untuk memenuhi tuntutan laki-laki. Rasa sakit dan pengeluaran dalam bentuk

finansial harus dijalani oleh perempuan. Untuk mencapai “cantik” menurut batas-

batas ukuran budaya konvensional, mau tidak mau Mentari harus merelakan

nasibnya di tangan dokter ahli bedah dengan bayaran yang tidak sedikit. Rasa

sakit dan kecemasan itu menjadi bahan baku utama yang diusung prinsip mitos

kecantikan (Wolf, 2004: 457).

Pada akhirnya, Mentari mewujudkan keinginannya dan berbaring pasrah di

atas ranjang operasi, merelakan wajahnya dipermak oleh dokter bedah. Menurut

Mentari, segala hal butuh pengorbanan untuk diraih, begitu pula kecantikan.

“Kubiarkan pisau bedah yang tajam itu menggores kulit wajahku.


Kuserahkan sepenuhnya kepercayaanku pada dokter ahli bedah
plastik yang berpakaian serba putih dan kini berada tepat di
hadapanku.”(Barbitch, hal.45)

Ketika perempuan menjadi pasien utama bedah kecantikan, para dokter

diperbolehkan mendiagnosa kelanjutan nasib perempuan dan memberikan

jaminan bahwa mereka dapat mengubah perempuan menjadi sosok yang

diinginkan masyarakat. Mentari yang mengalami tindak diskriminasi karena

dianggap tidak cantik tentu akan sangat mendambakan kecantikan yang

ditawarkan oleh dokter ahli bedah kosmetik. Karena biaya yang tidak murah,

Mentari pada akhirnya menghalalkan segala cara demi berbaring di atas ranjang

operasi sang dokter ahli bedah.

2
Industri bedah kosmetik menjadi semakin luas karena adanya proses

manipulasi atas gagasan tentang kesehatan dan kesakitan. Perempuan telah sekian

lama didefinisikan sebagai sosok yang sakit. Anggapan ini menjadi alat untuk

mensubjektifikasikan perempuan terhadap kontrol sosial. Dalam tradisi pemikiran

Barat, lelaki merepresentasikan keutuhan, kekuatan, dan kesehatan. Sementara

perempuan dianggap sebagai lelaki yang salah arah, lemah, dan tidak sempurna.

Seolah perempuan adalah rasa sakit yang terus berlangsung. Kebohongan vital

yang menghubungkan keperempuanan dengan penyakit telah memberikan

keuntungan bagi para dokter (Wolf, 2004: 438-440).

Hal ini nampaknya juga berlaku pada tokoh utama dalam dua cerpen yang

dianalisis. Mentari menganggap hidungnya yang tidak semancung Barbie adalah

penyakit. Anggapan tersebut telah membuatnya menghalalkan segala cara untuk

menaikkan harga dirinya sebagai perempuan yaitu dengan menjadi lebih cantik.

Ketidakpuasan Mentari dengan bentuk hidungnya telah membutakan rasionalitas

hingga ia merelakan dirinya menahan rasa sakit. Selama konsekuensi dari rasa

sakit tersebut adalah menjadi cantik, Mentari akan merelakan pisau bedah

menggores wajahnya. Anggapannya tersebut telah membuatnya kebal dengan rasa

sakit. Kondisi Mentari tersebut senada dengan pendapat Wolf. Ia mengatakan

bahwa mitos kecantikan menumbuhkan anggapan bahwa perempuan adalah

makhluk yang “sakit” dan mereka akan menjadi pasien yang terus memberikan

keuntungan di mana pun dapat ditemukan perempuan dari kalangan kelas

menengah (Wolf, 2004: 438-440).


4.3 Pengaruh Mitos Kecantikan Terhadap Tokoh Utama

Pada bagian sebelumnya, penulis telah memaparkan tentang bagaimana

mitos kecantikan membentuk interpretasi tokoh utama. Mitos kecantikan

membentuk interpretasi tokoh utama melalui beberapa aspek. Aspek-aspek

tersebut yakni budaya patriarki, industri kecantikan dan dunia medis.

Selanjutnya, pada bagian ini penulis akan memaparkan pengaruh mitos kecantikan

terhadap tokoh utama dan dampak dari kesalahpahaman tokoh utama dalam

memaknai kecantikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa

terdapat beberapa pengaruh mitos kecantikan terhadap tokoh utama dalam Cerpen

Barbitch dan Lipstik Merah Tua. Pengaruh mitos kecantikan tersebut antara lain :

diskriminasi terhadap tokoh utama, timbulnya obsesi berlebihan tokoh utama

untuk memperoleh standar kecantikan, dan adanya anggapan bahwa menjadi

cantik dengan jalan operasi plastik adalah hal yang baik. Berikut ini

pemaparannya :

4.3.1 Diskriminasi terhadap Tokoh Utama

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diskriminasi diartikan

sebagai tingkah laku yang membedakan perlakuan terhadap sesama warga negara

berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan jenis kelamin.

Berdasarkan pengertian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan

diskriminasi yang dialami oleh tokoh utama didasari oleh perbedaan golongan

yang mengotakkan perempuan dalam dua kubu: golongan perempuan cantik dan

2
golongan perempuan tidak cantik. stereotipe yang dilekatkan tersebut telah

membawa dampak buruk bagi perempuan. Tindakan diskriminasi akibat

pembedaan status berdasarkan rupa fisik tersebut tidak jarang berujung pada

perasaan cemas, rendah diri, serta obsesi yang berlebihan. Hal inilah yang terjadi

pada Mentari dalam cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua.

Dalam cerpen Barbitch, tindakan diskriminatif mewarnai perjalanan karier

Mentari. Patron cantik yang ada telah memaksanya untuk tampil sebagai

perempuan yang tidak dianggap manusia seutuhnya. Banyaknya tekanan akibat

perasaan tidak cantik terus menghantui Mentari. Hingga pada akhirnya, ia

mengubah pandangan dan tujuan hidup. Tekanan yang dirasakan Mentari akibat

tindak diskriminasi digambarkan melalui kutipan berikut :

“... Aku tidak pernah lupa betapa buruk rasanya saat itu. Menjadi
sosok perempuan berkacamata yang hanya bisa duduk diam di pojokan
kelas. Tidak punya teman dan selalu merasa tidak menarik. Terabaikan
dan selalu merasa ketakutan...” (Barbitch, hal. 41)

Terasa benar nasib yang dialami Mentari lewat penggalan narasi tersebut.

Patron cantik yang berlaku telah mengubahnya menjadi sosok yang terabaikan

dan selalu merasa ketakutan. Mentari hanya bisa duduk diam dan meratapi nasib.

Kecanggungan yang seringkali membuatnya gugup juga telah merombak

kepribadiannya menjadi sosok yang penakut. Ia hanya bisa merelakan kegugupan

itu menjadi bahan lelucon teman-teman sekolahnya. Bertahun-tahun ia berusaha

keras agar tampil seperti teman-temannya namun bertahun-tahun juga ia

merasakan perasaan yang sama, tertindas dan ketakutan. Mentari menyadari

sepenuhnya bahwa penampilannya yang tidak cantiklah yang membuatnya dijauhi


dan dianggap tidak menarik. Pada akhirnya, Mentari telah menjadi korban atas

mitos yang menyatakan bahwa perempuan cantik haruslah seperti yang

digambarkan oleh media.

Diskriminasi yang dialami tokoh Mentari dalam cerpen Barbitch mengalami

penegasan dalam cerpen berikutnya, Lipstik Merah Tua. Dalam cerpen Lipstik

Merah Tua, pengarang nampaknya melakukan pendeskripsian yang rinci atas

diskriminasi yang dialami tokoh utama. Penulis berasumsi bahwa pengarang ingin

membeberkan alasan atas obsesi yang membelenggu Mentari dalam cerpen

Barbitch. Diskriminasi yang dialami tokoh Mentari dalam cerpen Lipstik Merah

Tua digambarkan melalui kutipan berikut:

“... Mey Mey sangat menyenangkan. Tidak seperti teman-temanku


yang lain di sekolah. Tidak seperti Stella yang pernah memberiku tissue
bekas lumuran ingusnya. Tidak seperti Bob yang menabrakku hingga
bekalku jatuh berhamburan di lapangan. Tidak seperti Andre yang
kerap meledekku dengan sebutan aneh yang tidak kumengerti.” (LMT,
hal. 51)

Melalui kutipan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tindakan diskriminasi

yang dialami tokoh Mentari dalam cerpen Lipstik Merah Tua telah mengalami

pendeskripsian yang tegas. Hal tersebut dibuktikan dengan penyebutan nama

tokoh serta lengkap dengan bentuk diskriminasi yang dilakukannya. Bagaimana

mungkin anak sekolah dasar yang selalu identik dengan sosok innocence atau

polos tiba-tiba melakukan tindakan yang di luar nalar anak SD? Namun,

kehidupan nyata telah, menyiratkan hal yang lebih ironis.

Sebagai penyimak tayangan berita kriminal, tidak jarang kita disuguhi

berita-berita kriminal menampilkan sosok anak kecil sebagai pelakunya. Dengan

2
modus kejahatan semisal kasus pembunuhan, pemerkosaan, penyalahgunaan

narkoba.

Kenyataan tersebut memang tidak terjadi dalam cerpen Barbitch dan Lipstik

Merah Tua. Namun, melihat kenyataan bahwa aksi kriminal seringkali dilakoni

anak-anak dalam dunia nyata, tidak menutup kemungkinan tindakan diskriminasi

yang dilakukan yang dilakukan Stella, Bob, dan Andre terjadi juga dalam dunia

nyata. Mentari sebagai sosok yang tertindas boleh jadi mewakili perasaan anak-

anak yang mengalami tindakan diskriminasi tersebut.

Hadirnya istilah mem-bully dan di-bully di kalangan anak-anak usia Sekolah

Dasar juga dapat menjadi indikator bahwa praktik diskriminasi telah terjadi di

sekolah. Istilah bully berasal dari bahasa Inggris yang berarti penganiayaan atau

orang yang suka mengganggu orang yang lemah. Para anak usia sekolah telah

akrab dengan istilah ini. Selain itu, hal yang dapat disimpulkan melalui kutipan

tersebut yaitu tindakan diskriminasi terhadap Mentari tidak hanya dilakukan oleh

kaum laki-laki, tetapi juga dilakukan oleh kaum perempuan.

Dalam masyarakat yang heteroseksual, nama Stella selalu identik dengan

jenis kelamin perempuan. Sehingga, penulis berasumsi bahwa tokoh Stella adalah

seorang perempuan yang menjadi salah satu agen penindas tokoh utama.

Pengalaman hidup yang dipaparkan oleh narasi di atas telah membawa

pengaruh buruk bagi psikologis Mentari. Menurutnya, andai saja ia cantik, Stella

tidak mungkin memberinya tissue bekas lumuran ingus dan Bob tidak akan tega

menabraknya hingga bekalnya jatuh berhamburan atau Andre yang sering

melemparkan kata-kata kasar mungkin akan berbalik mengasihinya.


Pengalaman pahit Mentari di masa SD telah membuat Mentari terobsesi

memburu kecantikan. Indikator cantik yang ia pahami lewat sosok Barbie telah

membutakan rasionalitasnya sehingga rela menjual diri asalkan kebutuhannya

untuk tampil cantik selalu terpenuhi. Pada akhirnya, ia menyerah dengan mitos

yang membelenggu.

4.3.2 Obsesi yang Berlebihan

Mentari dalam cerpen Barbitch digambarkan memiliki keinginan kuat untuk

tampil cantik layaknya Barbie. Menurutnya, kecantikan yang dimiliki oleh boneka

tersebut adalah lambang dari kesempurnaan yang mutlak. Barbie yang memiliki

postur tubuh tinggi, berkulit putih, langsing, hidung mancung, bulu mata yang

lentik, pipi merona dan bibir tipis memang telah menjadi standar kecantikan hari

ini. Setiap perempuan dari berbagai usia tentu akan senang dengan kecantikan

yang direpresentasi oleh Barbie, begitu pula Mentari.

“Sayangnya kami tidak terlahir dengan nasib seberuntung Barbie.


wajah cantiknya, tubuhnya yang indah, Kekasihnya juga bukan pria
sembarangan, Ken yang tampan. Dengan kesempurnaannya, Barbie
dapat menanggapi mimpi dengan mudah, semulus dan selancar
kendaraan yang melintas di jalan tol. Bebas dari hambatan. Sementara
kebanyakan wanita lain harus bermacet-macetan lewat jalan raya. Jadi
manakah jalan yang harus kami pilih, jalan tol atau jalan raya?”
(Barbitch, hal. 39)

Penggalan narasi di atas menggambarkan kekecewaan mentari atas kondisi

hidupnya yang terlahir tidak seberuntung Barbie. kecantikan seperti Barbie yang

ia dambakan masih menjadi angan-angan semata. Ia menyadari bahwa menjadi

cantik bukanlah hal yang mudah. Kecantikan tidak datang begitu saja melainkan

2
butuh pengorbanan baik itu materi maupun harga diri. Akhirnya, ia berusaha

dengan cara turun ke jalan di tengah malam menanti lelaki kesepian yang mencari

perempuan untuk diajak ‘bersenang-senang’. Mentari seakan tidak mempedulikan

lagi pesoalan harga diri atau semacamnya, baginya, menjadi cantik adalah tujuan

utama dan ia rela mengorbankan harga diri demi meraih mimpinya tersebut.

Obsesi mentari tersebut telah membawanya terpuruk jauh dalam lubang kesesatan.

Dengan pemikiran bahwa segala hal membutuhkan pengorbanan, ia pun menjelma

menjadi Barbitch, singkatan dari Barbie Bitch, sebuah pelesetan yang menurutnya

begitu menggambarkan pemikiran dan tindakannya.

Mentari mengilustrasikan kehidupan layaknya jalan tol. Menurutnya, jalan

tol yang mulus dan bebas hambatan adalah jalan yang mampu mengantarkannya

dengan cepat pada obsesi yang selama ini kejar yakni berubah menjadi cantik

layaknya Barbie. Ia pun mencoba segala cara demi mendapat topangan finansial.

Topangan tersebut ia dapatkan dari lelaki hidung belang yang mapan. Kebanyakan

dari mereka adalah lelaki yang telah berumah tangga, namun tidak jarang lelaki

muda yang memiliki kemapanan juga menjadi pelanggan. Lelaki-lelaki ini

dijuluki “Dona” oleh Mentari dan kawan-kawannya. Dona adalah kepanjangan

dari donatur. Begitulah Mentari dan kawan-kawannya menjuluki para lelaki yang

dengan baik menawarkan tumpangan bagi mereka agar sampai ke tujuan, menjadi

cantik seperti Barbie. Berikut kutipannya :

“Kadang kami suka geli sendiri membayangkan sosok misterius


yang akan muncul dari mobil mewah tersebut. Sebab biasanya
yang muncul adalah ayah Barbie atau Ken yang sedang kesepian.
namun tak apa, kami juga letih terlalu lama menunggu dalam
kesendirian. Kami tidak menampik uluran tangan orang-orang
asing yang telah berbaik hati menawarkan tumpangan dan berbagi
kemudahan. Kadang aku juga bertanya-tanya dalam hati, apakah
dalam semua royalitas ini masih tersimpan ketulusan?“
(Barbitch, hal. 40)

Mentari begitu terjerat dalam mitos kecantikan. Ia begitu memburu

kecantikan tersebut. Obsesinya telah membutakan hingga merelakan dirinya untuk

dijadikan bahan pelampiasan para lelaki hidung belang. Mentari tidak peduli lagi

dengan norma atau pun pandangan orang lain terhadapnya. Baginya, asal dapat

meraih kesuksesan, segalanya halal untuk dijalani.

“Setiap manusia bertahan demi idealisme dan mimpinya masing-


masing. Begitu pula dengan kami. Aku dan teman-temanku memiliki
begitu banyak harapan. Meski harapan tersebut kerap orang lain
bilang ketinggian. Obsesi yang berlebihan. Emansipasi yang
kelewatan.” (Barbitch, hal. 38)

Melalui penggalan tersebut, Mentari digambarkan membela obsesinya.

Setiap orang memiliki idealisme dan mimpi masing-masing, begitu pula dengan

dirinya. Pada akhirnya, obsesinya tersebut telah membuat mentari melakukan

segala upaya, termasuk menjual diri.

4.3.3 Operasi Plastik sebagai Jalan Pintas

Setelah mendapatkan cita-cita yang dikejarnya, Mentari masih belum

merasa puas. Ia menganggap bahwa kecantikannya belum sempurna karena

hidungnya belum semancung Barbie. Ia pun melakukan rhinoplasty atau operasi

pada bagian hidung agar lebih mancung. Watak mentari yang keras dan tak pernah

puas digambarkan lewat kutipan berikut :

2
“...biarin aja Ve, Mentari emang gitu Anaknya. Nggak pernah puas.
Padahal kalau dipikir-pikir liat aja nih doi sekarang. Rumah ada,
mobil ada, kerjaan oke...” (Barbitch, hal. 40)

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Mentari memiliki cita-cita dan

obsesi. Setelah meraih obsesinya tersebut, Mentari ternyata belum puas dengan

apa yang telah diperolehnya. Menurutnya, agar Kecantikannya mutlak layaknya

Barbie, ia perlu hidung yang mancung,hidung yang sempurna. Ia pun pada

akhirnya menjalani operasi plastik. Menurutnya operasi plastik adalah jalan untuk

mendapatkan kecantikan yang selama ini dikejarnya. Tanpa mempedulikan rasa

sakit, ia rela berbaring di atas ranjang operasi yang dingin.

Pengaruh mitos kecantikan yang membelenggu Mentari sejalan dengan

pendapat yang dikemukakan Wolf (2012). Menurutnya, perempuan telah belajar

untuk menyerah pada rasa sakit dengan mendengar suara dari figur-figur yang

memiliki otoritas dan mengatakan pada mereka bahwa apa yang dirasakan ini

bukanlah rasa sakit (Wolf, 2004: 433). Kondisi demikian membuat mereka benar-

benar yakin bahwa apa yang terjadi bukanlah sebuah kesalahan yang berarti. Itu

hanyalah situasi yang mengajarkan mereka tentang rasa sabar menghadapi sedikit

ketidaknyamanan untuk mencapai apa yang budaya inginkan, dan pada akhirnya

juga diinginkan oleh perempuan. Mereka, diperintahkan bersikap tegar dalam

menghadapi rasa sakit yang dialami ketika mereka melakukan bedah kosmetik,

seperti halnya ketika mereka diharuskan bersikap tegar ketika melahirkan.

Faktanya, Bedah kosmetik, dalam konteks yang paling elementer, memproses

tubuh perempuan menjadi perempuan yang dikreasikan oleh laki-laki (Wolf,

2012).
Obsesi untuk selalu ingin cantik mendorong Mentari merelakan tubuhnya

terbaring di atas meja operasi plastik serta membiarkan para dokter berkreasi atas

wajahnya. Perhatikan kutipan di bawah ini,

“Kubiarkan pisau bedah yang tajam itu menggores kulit wajahku.


Kuserahkan sepenuhnya kepercayaanku pada dokter ahli bedah
plastik yang berpakaian serba putih dan kini berada tepat di
hadapanku.” (Barbitch, hal.45)

Dalam kutipan tersebut, Mentari digambarkan terbaring di atas ranjang

operasi plastik demi memenuhi tuntutan standar kecantikan yang berlaku di

masyarakat. Serangan kecantikan yang bertubi-tubi telah membiarkan terjadinya

kekerasan hak asasi terhadap tubuhnya sendiri. Mengutip tulisan Naomi Wolf,

“Setelah melampaui mitos kecantikan, perempuan tetap akan disalahkan karena

penampilan mereka. Perempuan akan disalahkan oleh siapa saja yang merasa

perlu untuk menyalahkan mereka. Perempuan “cantik” tidak menang di atas mitos

kecantikan. (Wolf, 2012: 90)”

4.4 Relevansi Hasil Penelitian dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran sastra di sekolah meliputi pembelajaran yang

mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, proses kreatif sastra, dan kritik

sastra. Kompetensi apresiasi sastra yang diasah dalam pembelajaran adalah

kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Peserta didik diajak untuk

membaca, memahami dan menganalisis dan menikmati karya sastra secara

langsung. Kompetensi proses kreatif sastra mengajarkan perserta didik untuk mau

dan mampu menulis karya sastra seperti puisi, cerpen, novel dan drama.

2
Sementara itu, kompetensi kritik sastra mengajak peserta didik untuk memahami

dan menilai karya sastra. Peserta didik tidak hanya diajarkan untuk mencari

kelemahan suatu karya sastra, tetapi juga diajarkan untuk mencari keunggulannya

serta dapat memberikan kritikan terhadap karya sastra tersebut. Pembelajaran

seperti ini akan membiasakan peserta didik untuk berpikir kritis, terbuka dan

bersikap jujur.

Pembelajaran menulis kritik sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) dipelajari pada kelas XII semester 2 dengan Standar

Kompetensi (SK) mengungkapkan pendapat dalam bentuk kritik dan esai. SK ini

memiliki dua Kompetensi Dasar (KD). KD pertama yaitu menerapkan prinsip-

prinsip penulisan kritik dan esai untuk mengomentari karya sastra. Kompetensi

dasar kedua inilah peserta didik dilatih untuk menulis kritik dan esai sastra untuk

menerapkan prinsip-prinsip kritik dan esai.

Kegiatan bersastra yang tertulis di dalam kurikulum KTSP merupakan

bukti bahwa pemerintah, dalam hal ini dinas pendidikan masih peduli terhadap

kelangsungan pembelajaran sastra di Indonesia. Meskipun begitu, Pembelajaran

sastra di Indonesia ternyata masih menyimpan berbagai persoalan, baik yang

berkaitan dengan keberadaannya di sekolah yang menyatu dengan pembelajaran

bahasa Indonesia, materi, bahan ajar penunjang, sampai metode serta cara

penyampaiannya. Berbagai diskusi dan kajian telah diadakan untuk

memecahkan masalah tersebut, namun masalah pun tak kunjung habis. Skripsi

ini ditulis dengan harapan dapat ikut memberikan sumbangan pemikiran untuk

mengurai dan menjawab salah satu masalah yang berhubungan dengan kurikulum,
materi, dan metode dalam pembelajaran sastra, yaitu dengan menggagas

pembelajaran sastra yang berperspektif gender. Ide ini dilatarbelakangi oleh

kenyataan bahwa perkembangan paradigma ilmu-ilmu sosial, budaya, dan

pendidikan dalam menjawab permasalahan yang terjadi dalam masyarakat akhir-

akhir ini, diharapkan tidak terlepas dari isu gender mainstreaming, seperti

diamanatkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2000, berupa keputusan untuk

melakukan Gender Mainstreaming dalam berbagai aspek pembangunan di

Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam ranah pembelajaran, termasuk

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dasar, menengah, maupun

perguruan tinggi pun diharapkan tidak melupakan perspektif gender.

2
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis berkesimpulan bahwa

mitos kecantikan yang tergambar dalam cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua

telah mengubah interpretasi tokoh utama dalam memandang kecantikan. Dengan

menggunakan pendekatan kritik sastra feminisme dan teori mitos kecantikan

Naomi Wolf, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa aspek yang menjadi

jalan masuk bagi mitos kecantikan. Aspek tersebut dijelaskan melalui poin-poin

penjabaran berikut :

1. Mitos Kecantikan dalam Budaya Patriarki;

2. Mitos kecantikan dalam Industri Kosmetik;

3. Mitos Kecantikan dalam Dunia Medis;

Selain pendeskripsian mitos kecantikan dalam dua cerpen yang dianalisis,

penulis juga meneliti tentang pengaruh mitos kecantikan terhadap tokoh utama.

Berdasarkan penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pengaruh mitos

kecantikan terhadap tokoh utama antara lain :


1. Tokoh utama mengalami tindak diskriminasi;

2. Tokoh utama memiliki obsesi berlebihan terhadap kecantikan;

3. Tokoh utama tidak merasa puas dengan kecantikan yang dimilikinya;

5.2 Saran

Penelitian ini tidak bermaksud untuk menghadirkan wacana baru yang

menentang kemajuan perempuan. sebaliknya, penelitian ini bertujuan untuk

membela dan mematahkan persepsi yang cacat yang selama ini dianut oleh

banyak perempuan. karena pada asasnya, perempuan memang dilahirkan untuk

menjadi pemilik kecantikan. Penulis ingin menyadarkan perempuan bahwa

kecantikan yang dipahami selama ini bukanlah kodrat melainkan bentukan budaya

yang dipublikasikan lewat media sehingga menciptakan konsep yang seragam.

Olehnya itu, perempuan diharapkan mampu menampilkan diri sebagai sosok yang

bebas paripurna tanpa terikat pada hal-hal apapun, semisal kosmetik dan bedah

plastik.

Penelitian ini tentu saja perlu diikuti penelitian-penelitian lain yang sejenis

agar dapat memperkaya variasi temuan yang lebih bermanfaat. Penulis menyadari

sepenuhnya di dalam penelitian ini banyak hal yang masih kurang yang penulis

tidak sadari. Penulis berharap agar kekurangan tersebut dapat diteliti dan

disempurnakan oleh penulis-penulis selanjutnya. Dengan begitu, karya ini dapat

ditelaah lebih dalam dan semakin mendekati kesempurnaan sehingga dapat

membawa manfaat dalam bidang kesusastraan.

2
DAFTAR KUTIPAN

Adapun kutipan-kutipan yang dijadikan data dalam peneliitian ini adalah


sebagai berikut:

1. Mitos Kecantikan Membentuk Interpretasi Tokoh Perempuan

a. Melalui Budaya Patriarki

“Barbie Bitch
Bukan berarti aku tidak suka boneka Barbie. Boneka tersebut
memiliki kecantikan yang sangat mengagumkan. Membuat banyak
hati tergugah untuk memuja dan memiliki paras sepertinya. Mungkin
saja aku iri dengan mutlaknya kesempurnaan yang dimilikinya. Sama
seperti wanita lainnya.” (Barbitch, hal.38)

“Sambil memperhatikan wajah Mey saat sedang mengepang


rambutku, entah mengapa aku langsung mengaguminya. Aku berpikir
bahwa ia sangat apik dan cantik. wajah orientalnya yang selalu tampak
riang, rambutnya yang lurus panjang, tubuhnya yang mungil dan gaya
bicaranya yang sangat khas dan lucu.” (LMT, hal. 53)

2
‘Ibuku sangat cantik. Aku selalu memperhatikan dirinya saat sedang
bersolek. Ia selalu mengenakan lipstik merah muda sebagai polesan
akhir di bibir tipisnya.
‘kenapa mama pakai warna itu?’ tanyaku pada suatu kali.
‘Mama kurang suka dan nggak cocok pakai warnah merah tua, Mama
kelihatan lebih tua.’ jawab mama” (LMT, hal.58)

b. Melalui Industri Kosmetik

“Tari : Gue pengen rhinoplasty dan sedot lemak. Enaknya di


Jakarta atau sekalian di Korea?

Vega : Nggak usahlah operasi-operasian. Zaman sekarang udah


ada penemuan mutakhir yang namanya make-up! I can’t
live a day without my baby brown dan my fake ayelashes
(Aku takdapat hidup sehari pun tanpa Baby Brown dan
bulu mata palsuku.) (Barbitch, hal. 41 )”.

“Sore itu aku masuk diam-diam ke kamar ibuku dan mengambil


lipstik berwarna merah muda tersebut dari dalam kotak kosemetik
yang trletak di dalam laci mejanya. Dengan sembunyi-sembunyi
kubawa lipstik itu ke rumah Mey mey. Di kamar Mey Mey, kami
bermain dengan lipstik ibuku. Mematut diri dengan centil di depan
cermin sambil mengenakan baju pesta berenda milik kami. (LMT,
hal. 52)”

“Ibuku sangat cantik. aku selalu memperhatikan dirinya saat


sedang bersolek. Ia selalu mengenakan lipstik merah muda sebagai
polesan akhir di bibir tipisnya.
“kenapa mama pakai warna itu?” tanyaku pada suatu kali.
“ Mama kurang suka dan nggak cocok pakai warnah merah tua,
Mama kelihatan lebih tua.” (LMT, hal.52)
“menurut lo gimana kalo gue operasi hidung?” tanyaku.
“apaan sih, Tar. Lo itu udah cakep, kalo lo yang udah mancung
aja mau operasi hidung, apa kabar gue?!” ujar Vega
menanggapi. (Barbitch, hal. 40)

“Kubiarkan pisau bedah yang tajam itu menggores kulit wajahku.


Kuserahkan sepenuhnya kepercayaanku pada dokter ahli bedah
plastik yang berpakaian serba putih dan kini berada tepat di
hadapanku.”(Barbitch, hal.45)

“Aku tidak pernah lupa berapa buruk rasanya saat itu. Menjadi
sosok perempuan berkacamata yang hanya bisa duduk diam di pojokan
kelas. Tidak punya teman dan selalu merasa tidak menarik. Terabaikan
dan selalu merasa ketakutan. Rasanya sangat canggung saat harus
berjalan melewati gerombolan anak lain yang sedang asik-asik
berkumpul, seru bercengkrama satu sama lain., dan mampu tertawa
keras-keras tanpa beban. Rasanya begitu tak berdaya saat harus
merelakan kegugupan ini menjadi bahan lelucon yang lucu bagi
mereka. Bertahun-tahun kulakukan berbagai cara agar dapat seperti
mereka. Atau setidaknya agar dapat menjadi bagian dari mereka.
Hingga kini semuanya telah banyak berubah.” (Barbitch, hal. 41)

“... Mey Mey sangat menyenangkan. Tidak seperti teman-temanku


yang lain di sekolah. Tidak seperti Stella yang pernah memberiku tissue
bekas lumuran ingusnya. Tidak seperti Bob yang menabrakku hingga
bekalku jatuh berhamburan di lapangan. Tidak seperti Andre yang
kerap meledekku dengan sebutan aneh yang tidak kumengerti.” (LMT,
hal. 51)

“Ibuku sangat cantik. aku selalu memperhatikan dirinya saat


sedang bersolek. Ia selalu mengenakan lipstik merah muda sebagai
polesan akhir di bibir tipisnya.
“kenapa mama pakai warna itu?” tanyaku pada suatu kali.
“ Mama kurang suka dan nggak cocok pakai warnah merah tua,
Mama kelihatan lebih tua.” (LMT, hal.52)

2
“Sayangnya kami tidak terlahir dengan nasib seberuntung Barbie.
wajah cantiknya, tubuhnya yang indah, Kekasihnya juga bukan pria
sembarangan, Ken yang tampan. Dengan kesempurnaannya, Barbie
dapat menanggapi mimpi dengan mudah, semulus dan selancar
kendaraan yang melintas di jalan tol. Bebas dari hambatan. Sementara
kebanyakan wanita lain harus bermacet-macetan lewat jalan raya. Jadi
manakah jalan yang harus kami pilih, jalan tol atau jalan raya?”
(Barbitch, hal. 39)

“Kadang kami suka geli sendiri membayangkan sosok misterius


yang akan muncul dari mobil mewah tersebut. Sebab biasanya
yang muncul adalah ayah Barbie atau Ken yang sedang kesepian.
namun tak apa, kami juga letih terlalu lama menunggu dalam
kesendirian. Kami tidak menampik uluran tangan orang-orang
asing yang telah berbaik hati menawarkan tumpangan dan berbagi
kemudahan. Kadang aku juga bertanya-tanya dalam hati, apakah
dalam semua royalitas ini masih tersimpan ketulusan?“
(Barbitch, hal. 40)

“Setiap manusia bertahan demi idealisme dan mimpinya masing-


masing. Begitu pula dengan kami. Aku dan teman-temanku memiliki
begitu banyak harapan. Meski harapan tersebut kerap orang lain
bilang ketinggian. Obsesi yang berlebihan. Emansipasi yang
kelewatan.” (Barbitch, hal. 38)

“...biarin aja Ve, Mentari emang gitu Anaknya. Nggak pernah puas.
Padahal kalau dipikir-pikir liat aja nih doi sekarang. Rumah ada,
mobil ada, kerjaan oke...” (Barbitch, hal. 40)

“Kubiarkan pisau bedah yang tajam itu menggores kulit wajahku.


Kuserahkan sepenuhnya kepercayaanku pada dokter ahli bedah
plastik yang berpakaian serba putih dan kini berada tepat di
hadapanku.” (Barbitch, hal.45)
SINOPSIS CERPEN BARBITCH DAN LIPSTIK MERAH TUA

Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua adalah dua cerpen karya Sagita

Suryoputri yang mengisahkan tentang kehidupan satu tokoh utama dari latar dan

konflik yang berbeda. Tokoh utama dalam dua cerpen tersebut bernama Mentari.

Tokoh Mentari dalam Barbitch digambarkan memiliki perasaan iri terhadap sosok

boneka Barbie yang cantik jelita dengan kulit putih, hidung mancung, mata biru,

dan bulu mata yang lentik. Mentari merasa bahwa cantik yang direpresentasikan

melalui tokoh Barbie merupakan standar perempuan ideal yang begitu diidam-

idamkan setiap kaum Adam.

Mentari sadar betul bahwa perlu biaya yang tidak murah untuk menjelma

dari sekadar itik buruk rupa menjadi Barbie yang cantik jelita. Menyadari akan

ketidakmampuan dirinya dari segi finansial, Mentari akhirnya mencari jalan pintas

untuk memantaskan dirinya disebut cantik. Ia turun ke jalan di tengah malam dan

menanti lelaki kesepian yang hendak mencari teman perempuan untuk diajak

bersenang-senang.

Mentari kemudian berubah cantik layaknya Barbie. Akan tetapi, dalam

konstruksi mitos kecantikan, selalu ada saja bagian tubuh yang dianggap tidak

indah. Ia akhirnya memutuskan untuk menjalani rhinoplasty atau operasi plastik

pada hidung karena menganggap hidungnya kurang mancung. Dengan pemikiran

bahwa setiap pilihan pasti membutuhkan pengorbanan, tokoh Mentari akhirnya

memutuskan berbaring di atas ranjang operasi dan rela membiarkan pisau bedah

menggores wajahnya.

2
Cerpen kedua berjudul Lipstik Merah Tua. Cerpen ini menceritakan

kehidupan Mentari dalam latar dan konflik yang berbeda. Lipstik Merah Tua

menceritakan sosok Mentari yang mengalami berbagai macam tindakan

diskriminasi oleh kawan-kawan sekolahnya. Mentari yang dianggap tidak

memiliki sesuatu yang menarik dalam dirinya harus merasakan ketidakadilan atas

anggapan teman-temannya yang begitu terpengaruh oleh mitos kecantikan.

Teman-teman sebayanya menganggap Mentari yang berkacamata tebal

dan rambut dikuncir sangat tidak memenuhi kriteria cantik. Berbeda jauh dengan

nasib temannya Mey Mey yang memiliki kulit putih bersih dan mata sipit khas

oriental. Kenyataan tersebut menjadikan Mey mudah bergaul dan memiliki

banyak teman. Ada rasa iri yang dirasakan Mentari terhadap sahabatnya, Mey.

Namun, Ia tak berdaya mengubah takdir.


TENTANG PENULIS

Sagita suryoputri lahir di Denpasar, 24 November 1989. Di bangku SMA,

ia aktif dalam kegiatan organisasi, menjadi ketua dance dan ketua cheerleaders.

Sagita dan timnya sering menjuarai berbagai kompetisi baik dalam kategori SMA

maupun umum. Ia juga pernah beberapa kali menjuarai lomba fashion show,

lomba mading, dan menjadi freelance model. Begitu lulus sekolah, sagita bekerja

sebagai pramugari udara selama lima tahun. Ia pernah bekerja di dunia maskapai

penerbangan terkemuka di Indonesia. Menjelang akhir 2011, setelah

menyelesaikan kontrak kerja, Sagita memutuskan untuk berwiraswasta dengan

membuka usaha kedai bir dan pasta bernama “beergasm” yang terletak di

bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Usaha tersebut masih berjalan dengan baik

hingga kini. Pada waktu luang, Sagita kembali menekuni hobinya sedari kecil,

yaitu membaca dan menulis. Barbitch merupakan buku kumpulan cerpen pertama

Sagita yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai