Anda di halaman 1dari 232

ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI NOVEL JEJAK KALA

KARYA ANINDITA S.THAYF

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar


Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Oleh
NOVIKA SARI
NPM. 1402040077

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ABSTRAK

NOVIKA SARI. NPM. 1402040077. Analisis Gaya Bahasa Personifikasi


Novel Jejak Kala Karya Anindita S.Thayf. Skripsi. Medan: Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara.2019.

Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan bentuk gaya bahasa


personifikasi yang terdapat dalam Novel Jejak Kala Karya Anindita S.Thayf. 2)
Mendeskripsikan makna gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam Novel
Jejak Kala Karya Anindita S.Thayf. Penelitian ini dikembangkan dengan metode
kualitatif yang bersifat deskriptif. Teknik analisis data menggunakan metode
simak dan catat. Metode simak penelitian ini menyimak novel Jejak Kala karya
Anindita S.Thayf untuk mencari bentuk dan makna gaya bahasa personifikasi.
Teknik catat dalam penelitian ini digunakan untuk mencatat hasil menyimak novel
Jejak Kala karya Anindita S.Thayf berupa bentuk dan makna gaya bahasa
personifikasi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa hal yang perlu
disajikan. Bentuk gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam Novel Jejak
Kala Karya Anindita S.Thayf yaitu sebanyak 30 data, masing-masing data gaya
bahasa personifikasi dalam Novel Jejak Kala Karya Anindita S.Thayf
menggambarkan keindahan alam, keadaan latar dan kejadian dari alur cerita.
Makna gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam Novel Jejak Kala Karya
Anindita S.Thayf yaitu untuk menciptakan nilai keindahan cerita dalam novel
yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia
sehingga cerita dalam novel lebih menarik dan indah.

Kata Kunci: Gaya Bahasa Personifikasi, Novel Jejak Kala

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Subhanahuwata’ala atas nikmat

hidayah dan karunia yang telah diberikan kepada peneliti. Satu dari sekian banyak

nikmat-Nya adalah keberhasilan peneliti dalam menyelesaikan karya ilmiah

skripsi yang berjudul “Analisis Gaya Bahasa Personifikasi Novel Jejak Kala

Karya Anindita S.Thayf”. Shalawat teriring salam kita hadiahkan kepada Nabi

Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam yang telah membawa umat manusia dari

alam kegelapan menuju alam yang terang benderang dan dari zaman kebodohan

hingga ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini. Skripsi ini

disusun guna memenuhi salah satu syarat mencapai gelar sarjana pada program

Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Peneliti sadar bahwa dalam skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan

dan kekurangan. Kesalahan dan kekurangan tersebut tentu dapat dijadikan

peluang untuk meningkatkan penelitian selanjutnya. Akhirnya peneliti tetap

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Dalam

penelitian ini peneliti dapat banyak masukan dan bimbingan moril maupun materil

dari berbagai pihak. Untuk itu, peneliti mengucapkan terima kasih yang

setulusnya dan sebesar-besarnya kepada yang teristimewa.

ii
Ayahanda saya tercinta Kosim dan ibunda tersayang Suhartini yang

mengasuh, mendidik, mencintai, membesarkan, memberi nasihat-nasihat, serta

memberis doa restu atas keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini. Disisi lain,

peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:

- Dr. Agussani, M.AP., Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera

Utara.

- Dr. Elfrianto Nasution, S.Pd., M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

- Dra. Hj. Syamsuyurnita, M.Pd., Wakil Dekan 1 dan para Wakil

Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Muhammadiyah Sumatera Utara.

- Dr. Mhd Isman, M.Hum., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

- Ibu Aisiyah Aztry, M.Pd., Sekretaris Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera

Utara.

- Ibu Sri Ramadhani, SS, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang

telah banyak memberikan saran dan masukan terhadap skripsi peneliti

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

- Ibu Fitriani Lubis, S.Pd, M.Pd., selaku dosen penguji yang telah

banyak memberikan saran dan masukan terhadap peneliti sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan.

iii
- Kepada seluruh dosen dan Staf pegawai biro Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara yang telah

memberikan pengajaran dan kelancaran administrasi kepada peneliti

selama ini.

- Kepada Abang tersayang Salman Adi Saputra dan Kakak tersayang

Susilawati S.Pd dan Juliana terima kasih sudah memberikan

dukungannya.

- Kepada sahabat-sahabat saya Rika Andriani S.Pd, Afsidah Damanik

S.Pd, Sri Rahayu, Sari, Anisa, Ririn Karlina dan Abangda

Rudyansyah Lubis terima kasih telah menemani, membantu, dan

selalu memberi dukungan yang sangat luar biasa untuk peneliti selama

menjalani pendidikan di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

- Kepada Team Jombah, Kak Indah Simamora S.Pd, M.Si., Kak

Samroh Aini Pohan S.E, Kak Diana S.E, Kak Marina Silalahi

S.Pd, Vera Silalahi S.Ak, Permata Dewi S.E, Nova Hardiani dan

Desi Ramadani, kalian sahabat yang selalu memberikan semangat

yang tiada henti-henti sehingga peneliti termotivasi menyelesaikan

skripsi ini.

iv
Akhirnya dengan kerendahan hati, peneliti mengharapkan semoga skripsi

ini bermanfaat bagi kita semua dan mendapat keberkahan dari Allah Subhanahu

Wata’ala.

Medan, Februari 2019

Peneliti

Novika Sari

v
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ vi

DAFTAR TABEL........................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 5

C. Batasan Masalah ....................................................................................... 5

D. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

E. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6

F. Manfaat Penelitian .................................................................................... 6

BAB II LANDASAN TEORETIS ................................................................. 8

A. Kerangka Teoretis ..................................................................................... 8

1 Pengertian Gaya Bahasa ....................................................................... 8

1.1 Sendi Gaya Bahasa ........................................................................ 10

a. Kejujuran ................................................................................ 10

b. Sopan-santun .......................................................................... 11

vi
c. Menarik .................................................................................. 12

1.2 Jenis-jenis Gaya Bahasa ................................................................ 13

a. Segi Nonbahasa ......................................................................... 13

b. Segi Bahasa ............................................................................... 15

2 Gaya Bahasa Kiasan ............................................................................. 15

a. Persamaan atau Simile .................................................................. 18

b. Metafora ........................................................................................ 19

c. Alegori, Parabel dan Fabel ............................................................ 19

d. Personifikasi atau Prosopopoeia.................................................... 20

e. Alusi .............................................................................................. 20

f. Eponim .......................................................................................... 21

g. Efitet .............................................................................................. 21

h. Sinekdoke ...................................................................................... 21

i. Metonimia ..................................................................................... 21

j. Antonomasia.................................................................................. 22

k. Hipalase ......................................................................................... 22

l. Ironi, Sinisme dan Sarkasme ......................................................... 22

m. Safire ............................................................................................. 23

n. Inuendo .......................................................................................... 24

o. Antifrasis ....................................................................................... 24

p. Pun atau Paronomasia ................................................................... 25

3 Hakikat Novel ...................................................................................... 25

4 Hakikat Novelet .................................................................................... 27

vii
5 Biografi Pengarang ............................................................................... 27

6 Sinopsis Novel...................................................................................... 28

B. Kerangka Konseptual ................................................................................ 31

C. Pernyataan Penelitian ................................................................................ 32

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 33

A. Lokasi Dan Waktu Penelitian ................................................................... 33

1 Lokasi Penelitian .................................................................................. 33

2 Waktu Penelitian .................................................................................. 33

B. Sumber Data dan Data Penelitian ............................................................. 34

1 Sumber Data......... ................................................................................ 34

2 Data Penelitian.......... ........................................................................... 34

C. Metode Penelitian .................................................................................... 35

D. Variabel Penelitian .................................................................................... 36

E. Instrumen Penelitian ................................................................................. 37

F. Teknik Analisis Data................................................................................. 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN .............................. 40

A. Deskripsi Hasil Penelitian ......................................................................... 40

B. Bentuk Gaya Bahasa Personifikasi Dalam Novel Jejak Kala Karya Anindita

S.Thayf……………………. ..................................................................... 41

C. Makna Gaya Bahasa Personifikasi Dalam Novel Jejak Kala Karya Anindita

S.Thayf……………………. ..................................................................... 44

viii
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 50

A. Simpulan ................................................................................................... 50

B. Saran ......................................................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 52

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Rencana Waktu Penelitian .......................................................................33

Tabel 3.2 Instrumen Penelitian ................................................................................37

Tabel 4.1 Paparan Hasil ...........................................................................................40

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Permohonan Judul (K-1)

Lampiran 2 Permohonan Proyek Proposal (K-2)

Lampiran 3 Pengesahan Proyek Proposal dan Dosen Pembimbing (K-3)

Lampiran 4 Berita Acara Bimbingan Proposal

Lampiran 5 Lembar Pengesahan Proposal

Lampiran 6 Surat Permohonan Seminar Proposal Skripsi

Lampiran 7 Surat Keterangan Seminar

Lampiran 8 Lembar Pengesahan Hasil Seminar Proposal

Lampiran 9 Surat Pernyataan ( Plagiat)

Lampiran 10 Surat Permohonan Perubahan Judul Skripsi

Lampiran 11 Permohonan Izin Riset

Lampiran 12 Surat Balasan Riset

Lampiran 13 Berita Acara Bimbingan Skripsi

Lampiran 14 Lembar Pengesahan Skripsi

Lampiran 15 Lembar Permohonan Ujian Skripsi

Lampiran 16 Lembar Surat Pernyataan

Lampiran 17 Daftar Riwayat Hidup

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan bagian hidup sebagian besar pencipta dan penikmat

karya sastra. Oleh sebab itu, pada zaman modern ini kedudukan sastra dianggap

mempunyai peran penting. Sastra merupakan wahana komunikasi kreatif dan

imajinatif. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam,

bukan sekadar cerita khayal dari pengarang saja, melainkan wujud dari proses

kreativitas pengarang ketika menggali dan menuangkan ide yang ada dalam

pikirannya.

Didalam dunia sastra ada yang namanya pembaca, tanpa pembaca sastra

bukanlah sesuatu yang menarik, pembaca disini memiliki tugas, sebagai pemberi

tanggapan, komentar pembaca tersebut yang memberi nilai terhadap suatu karya

sastra apakah sebuah karya sastra tersebut bagus untuk dibaca atau tidak.

Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra memegang peranan penting

dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif.

Persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan

kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sayuti, “Novel biasanya

memungkinkan adanya penyajian secara meluas tentang tempat atau ruang,

sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat selalu

menjadi topik utama” (2006:6). Lebih lanjut, untuk menghasilkan novel yang

bagus juga diperlukan pengolahan bahasa.

1
2

Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra.

Bahasa dalam karya sastra mengandung unsur keindahan. Keindahan adalah aspek

dari estetika. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Zulfahnur dkk (1996),

bahwa sastra merupakan karya seni yang berunsur keindahan. Keindahan dalam

novel dibangun oleh pengarang melalui seni kata. Seni kata atau seni bahasa

berupa kata-kata yang indah terwujud dari ekspresi jiwa. Hal tersebut senada

dengan pendapat Nurgiyanto (2005), “Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan

dengan cat warna. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, dan sarana yang

mengandung nilai lebih untuk dijadikan sebuah karya. Sebagai salah satu unsur

terpenting, maka bahasa berperan sebagai sarana pengungkapan dan penyampaian

pesan dalam sastra. Dengan demikian, sebuah novel dikatakan menarik apabila

informasi yang diungkapkan, disajikan dengan bahasa yang menarik dan

mengandung nilai estetik”. (Ekawati dkk, 2012).

Gaya bahasa dan penulisan merupakan salah satu unsur yang menarik

dalam sebuah bacaan. Pengarang memiliki gaya yang berbeda-beda dalam

menuangkan setiap ide tulisannya. Setiap tulisan yang dihasilkan nantinya

mempunyai gaya yang dipengaruhi oleh penulisnya, sehingga dapat dikatakan,

watak seorang penulis sangat mempengaruhi sebuah karya yang dihasilkannya.

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah

style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk

menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan

mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu

penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu
3

berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan

kata-kata secara indah.

Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan

benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki

sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak

khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat,

berbicara seperti manusia. Misalnya :

Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi
ketakutan kami.
Seperti halnya dengan simile dan metafora, personifikasi mengandung

suatu unsur persamaan. Kalau metafora (sebagai istilah umum) membuat

perbandingan dengan suatu hal yang lain, maka dalam penginsanan hal yang lain

itu adalah benda-benda mati yang bertindak dan berbuat seperti manusia, atau

perwatakan manusia. Pokok yang dibandingkan itu seolah-olah berwujud

manusia, baik dalam tindak-tanduk, perasaan, dan perwatakan manusia lainnya.

Novel merupakan salah satu karya sastra yang menyuguhkan serangkaian

peristiwa dengan menggunakan gaya bahasa personifikasi untuk menarik minat

pembaca. Terkadang seorang pembaca belum paham apa yang dimaksudkan

pengarang tentang isi novel.

Adapun kesengajaan peneliti menganalisis novel ini karena tedapat banyak

gaya bahasa personifikasi. Kebanyakan memang pengarang karya sastra selalu

berusaha menunjukkan kemampuan sastranya dengan mengolah banyak kata-kata

dan kalimat seindah mungkin. Keindahan inilah yang membuat status pengarang
4

menjadi tinggi atau tidak. Dalam mengolah kata atau kalimat, mereka biasanya

secara tidak langsung akan menggunakan berbagai macam gaya bahasa seperti

penggunaan kata-kata slang, kata-kata personifikasi, simile, metafora, peribahasa,

dan lain-lain. Karena itulah peneliti tertarik untuk meneliti Novel Jejak Kala

Karya Anindita S.Thayf, untuk mengetahui seberapa jauh ia menggunakan kata-

kata indah dalam novelnya.

Pada novel yang dikarang oleh Anindita S.Thayf ini menceritakan Kala,

seorang gadis miskin yang harus rela kehilangan masa kecilnya karena harus

membantu ibunya mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kala

tidak sempat menikmati bangku sekolah, bermain dengan teman-temannya dan

melakukan hal-hal lain selayaknya anak seusia dengannya. Nasib lalu membawa

Kala pada kehidupan kota besar. Dari seorang pembantu, Kala beralih menjadi

pengasuh anak bagi sebuah keluarga menengah. Di kota Kala juga berkesempatan

untuk mengenyam pendidikan sekalipun hanya tamatan SMP. Tahun demi tahun

berlalu, usianya pun sudah dibilang matang tidak seperti kanak-kanak lagi.

Suatu ketika Kala memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.

Namun ternyata sesampainya dikampung, Kala harus menerima kenyataan kalau

kini Ibunya telah tiada. Di kampung halaman ia tinggal dengan Kemi dan keluarga

kecilnya dan mereka hidup sederhana. Sampai akhirnya Kala sakit-sakitan dan

menutup usia bersama kesendiriannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengangkat novel Jejak Kala

karya Anindita S.Thayf sebagai bahan penelitian skripsi, dan penelitian ini
5

mengambil judul “Analisis Gaya Bahasa Personifikasi Novel Jejak Kala Karya

Anindita S.Thayf”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, muncul

berbagai masalah yang mendasari penelitian ini. Berikut adalah masalah-masalah

yang diidentifikasi:

1. Terdapat banyak bentuk gaya bahasa personifikasi pada novel “Jejak

Kala” karya Anindita S.Thayf.

2. Terdapat makna gaya bahasa personifikasi yang belum jelas pada novel

“Jejak Kala” karya Anindita S.Thayf.

3. Terdapat penggunaan kata-kata slang pada novel “Jejak Kala” karya

Anindita S.Thayf.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang ada, maka perlu dibuat batasan

masalah yang nantinya akan menjadi bahasan dari penelitian ini, penelitian ini

akan membahas bentuk dan makna gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam

novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka masalah yang diteliti dalam

penelitian ini dapat dijabarkan dalam rumusan masalah yaitu:


6

1. Bagaimanakah bentuk gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam

Novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf ?

2. Bagaimanakah makna gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam

Novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf ?

E. Tujuan Penelitian

Setiap melaksanakan suatu kegiatan, peneliti akan memiliki tujuan yang

ingin dicapai. Tujuan itu selanjutnya akan mengarahkan pada pelaksanaan yang

sistematis. Tanpa adanya tujuan yang jelas, maka arah tujuan yang akan dilakukan

tidak tearah karena tidak tahu apa yang akan dicapai dalam kegiatan tersebut.

Untuk lebih jelasnya peneliti menguraikan tujuan yang akan dicapai dalam

pelaksanaan penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan bentuk gaya bahasa personifikasi dalam novel Jejak Kala

karya Anindita S.Thayf.

2. Mendeskripsikan makna gaya bahasa personifikasi dalam novel Jejak Kala

karya Anindita S.Thayf.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu secara teoritis dan secara

praktis.

1. Manfaat Teoretis

a. Memperkuat teori mengenai gaya bahasa personifikasi dalam sebuah

wacana.
7

b. Dapat menambah khasanah keilmuan dalam pengajaran bidang bahasa

dan sastra Indonesia, khususnya tentang gaya bahasa personifikasi

dalam Novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti, penelitian ini dapat memberi masukan untuk dapat

menciptakan karya sastra yang lebih baik lagi.

b. Bagi Pembaca, penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat lebih

memahami isi Novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf dan

mengambil manfaatnya. Selain itu, dapat menambah minat membaca

dan menambah kemampuan menginterpretasikan karya sastra dalam

mengapresiasikan karya sastra.

c. Bagi Peneliti yang Lain, penelitian ini dapat memperkaya wawasan

sastra dan menambah khasanah penelitian sastra Indonesia sehingga

bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia.


8

BAB II

LANDASAN TEORETIS

A. Kerangka Teoretis

1. Pengertian Gaya Bahasa

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah

style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk

menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan

mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu

penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu

berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan

kata-kata secara indah.

Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau

bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya

pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu.

Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata

secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah

wacana secara keseluruhan. Malahan nada yang tersirat di balik sebuah wacana

termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya

sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-

corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik.

8
9

Walaupun kata style berasal dari bahasa Latin, orang Yunani sudah

mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang

terkenal, yaitu:

(a) Aliran Platonik: menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan;

menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang

tidak memiliki style.

(b) Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang

inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.

Dengan demikian, aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang

memiliki gaya dan ada karya yang sama sekali tidak memiliki gaya. Sebaliknya,

aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya, tetapi ada karya

yang memiliki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada karya yang memiliki gaya

yang kuat ada yang lemah, ada yang memiliki gaya yang yang baik ada yang

memiliki gaya yang jelek.

Bila kita melihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya

adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku,

berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat

mengatakan, “Cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Cara

menulisnya lain daripada kebanyakan orang”, “Cara jalannya lain dari yang lain”,

yang memang sama artinya dengan “gaya berpakaian”, “gaya menulis” dan “gaya

berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan watak,

dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya
10

bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya

bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya.

Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara

mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa

dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).

1.1. Sendi Gaya Bahasa

Syarat-syarat manakah yang diperlukan untuk membedakan suatu gaya

bahasa yang baik dari gaya bahasa yang buruk? Sebuah gaya bahasa yang baik

harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.

a. Kejujuran

Hidup manusia hanya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi

sesamanya, kalau hidup itu dilandaskan pada sendi-sendi kejujuran. Kejujuran

adalah suatu pengorbanan, karena kadang-kadang ia meminta kita melaksanakan

sesuatu yang tidak menyenangkan diri kita sendiri. Namun tidak ada jalan lain

bagi mereka yang ingin jujur dan bertindak jujur. Bila orang hanya mencari

kesenangan dengan mengabaikan segi kejujuran, maka akan timbullah hal-hal

yang menjijikkan.

Kejujuran dalam bahasa berarti: kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-

kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur

dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit, adalah jalan untuk

mengundang ketidakjujuran. Pembicara atau penulis tidak menyampaikan isi


11

pikirannya secara terus terang; ia seolah-olah menyembunyikan pikirannya itu di

balik rangkaian kata-kata yang kabur dan jaringan kalimat yang berbelit-belit tak

menentu. Ia hanya mengelabui pendengar atau pembaca dengan mempergunakan

kata-kata yang kabur dan “hebat”; nya. Di pihak lain, pemakaian bahasa yang

berbelit-belit menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yang akan

dikatakannya. Ia mencoba menyembunyikan kekurangannya di balik berondongan

kata-kata hampa.

Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Sebab itu, ia harus

digunakan pula secara tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran.

b. Sopan-santun

Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau

menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa

hormat di sini tidak berarti memberikan penghargaan atau menciptakan

kenikmatan melalui kata-kata, atau mempergunakan kata-kata yang manis sesuai

dengan basa-basi dalam pergaulan masyarakat beradab. Bukan itu! Rasa hormat

dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan.

Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau

pendengar memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan.

Di samping itu, pembaca atau pendengar tidak perlu membuang-buang waktu

untuk mendengar atau membaca sesuatu secara panjang lebar, kalau hal itu bisa

diungkapkan dalam beberapa rangkaian kata. Kejelasan dengan demikian akan

diukur dalam beberapa butir kaidah berikut, yaitu:


12

(1) Kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat.

(2) Kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan

melalui kata-kata atau kalimat tadi.

(3) Kejelasan dalam pengurutan ide secara logis.

(4) Kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan.

Kesingkatan sering jauh lebih efektif daripada jalinan yang berliku-liku.

Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata secara

efesien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang bersinonim secara

longgar, menghindari tautology, atau mengadakan repetisi yang tidak perlu.

Di antara kejelasan dan kesingkatan sebagai ukuran sopan-santun, syarat

kejelasan masih jauh lebih penting daripada syarat kesingkatan.

c. Menarik

Kejujuran, kejelasan serta kesingkatan harus merupakan langkah dasar dan

langkah awal. Bila seluruh gaya bahasa hanya mengandalkan kedua (atau ketiga)

kaidah tersebut di atas, maka bahasa yang digunakan masih terasa tawar, tidak

menarik. Sebab itu, sebuah gaya bahasa harus pula menarik. Sebuah gaya yang

menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut: variasi, humor yang

sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal

(imajinasi).

Penggunaan variasi akan menghindari monotoni dalam nada, struktur, dan

pilihan kata. Untuk itu, seorang penulis perlu memiliki kekayaan dalam kosa kata,

memiliki kemauan untuk mengubah panjang-pendeknya kalimat, dan struktur-


13

struktur morfologis. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung

tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan daya khayal

adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan,

latihan, dan pengalaman.

1.2. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan. Oleh

sebab itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat

menyeluruh dan dapat diterima olehsemua pihak. Pandangan-pandangan atau

pendapat-pendapat tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya dapat

dibedakan, pertama, dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi

bahasanya sendiri. Untuk melihat gaya secara luas, maka pembagian berdasarkan

masalah nonbahasa tetap diperlukan. Tetappi untuk memberi kemampuan dan

keterampilan, maka uraian mengenai gaya dilihat dari aspek kebahasaan akan

lebih diperlukan.

a. Segi Nonbahasa

Pengikut Aristoteles menerima style sebagai hasil dari bermacam-macam

unsur. Pada dasarnya style dapat dibagi atas tujuh pokok sebagai berikut:

(1) Berdasarkan Pengarang: gaya yang disebut sesuai dengan nama

pengarang dikenal berdasarkan ciri pengenal yang digunakan pengarang

atau penulis dalam karangannya. Pengarang yang kuat dapat

mempengaruhi orang-orang sejamannya, atau pengikut-pengikutnya,


14

sehingga dapat membentuk sebuah aliran. Kita mengenal gaya Chairil,

gaya Takdir, dan sebagainya.

(2) Berdasarkan Masa: gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal

karena cirri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu

tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern, dan

sebagainya.

(3) Berdasarkan Medium: yang dimaksud dengan medium adalah bahasa

dalam arti alat komunikasi. Tiap bahasa, karena struktur dan situasi sosial

pemakainya, dapat memiliki corak tersendiri. Sebuah karya yang ditulis

dalam bahasa Jerman akan memiliki gaya yang berlainan, bila ditulis

dalam bahasa Indonesia, Prancis, atau Jepang. Dengan demikian kita

mengenal gaya Jerman, Inggris, Prancis, Indonesia, dan sebagainya.

(4) Berdasarakan Subyek: subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam

sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan.

Berdasarkan hal ini kita mengenal gaya: filsafat, ilmiah (hukum, teknik,

sastra, dsb), popular, didaktik, dan sebagainya.

(5) Berdasarkan Tempat: gaya ini mendapat namanya dari lokasi geografis,

karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau ekspresi

bahasanya. Ada gaya Jakarta, gaya Jogya, ada gaya Medan, Ujung

Pandang, dan sebagainya.

(6) Berdasarkan Hadirin: seperti halnya dengan subyek, maka hadirin atau

jenis pembaca juga mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang

pengarang. Ada gaya popular atau gaya demagog yang cocok untuk rakyat
15

banyak. Ada gaya sopan yang cocok untuk lingkungan istana atau

lingkungan yang terhormat. Ada pula gaya intim (familiar) yang cocok

untuk lingkungan keluarga atau untuk orang yang akrab.

(7) Berdasarkan Tujuan: gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dari

maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang, di mana pengarang ingin

mencurahkan gejolak emotifnya. Ada gaya sentimental, ada gaya

sarkastik, gaya diplomatis, gaya agung atau luhur, gaya teknis atau

informasional dan gaya humor.

Analisa atas sebuah karangan dapat dilihat dari ketujuh macam jenis gaya

tersebut di atas.

b. Segi Bahasa

Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka

gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang

dipergunakan, yaitu:

(1) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata.

(2) Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana.

(3) Gaya bahasa berdasarkan stuktur kalimat.

(4) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.

2. Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan

atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti
16

mencoba menemukan cirri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal

tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu

perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan

perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Kelompok pertama dalam

contoh berikut termasuk gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk

gaya bahasa kiasan:

(1) Dia sama pintar dengan kakaknya

Kerbau itu sama kuat dengan sapi

(2) Matanya seperti bintang timur

Bibirnya seperti delima merekah

Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya.

Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang

sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal

yang termasuk dalam kelas yang berlainan.

Sebab itu, untuk menetapkan apakah suatu perbandingan itu merupakan

bahasa kiasan atau tidak, hendaknya diperhatikan tiga hal berikut:

(1) Tetapkanlah terlebih dahulu kelas kedua hal yang diperbandingkan.

(2) Perhatikan tingkat kesamaan atau perbedaan antara kedua hal tersebut.

(3) Perhatikan konteks di mana ciri-ciri kedua hal itu diketemukan. Jika tidak

ada kesamaan maka perbadingan itu adalah bahasa kiasan.

Pada mulanya, bahasa kiasan berkembang dari analogi. Mula-mula,

analogi dipakai dengan pengertian proporsi; sebab itu, anologi hanya menyatakan
17

hubungan kuantitatif. Misalnya hubungan antara 3 dan 4 dinyatakan sebagai

analog dengan 9 dan 12. Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa hubungan

antara x dan y sebagai analog dengan hubungan antara nx dan ny. Dalam

memecahkan banyak persamaan, dapat disimpulkan bahwa nilai dari suatu

kuantitas yang tidak diketahui dapat ditetapkan bila diberikan relasinya dengan

sebuah kuantitas yang diketahui.

Sejak Aristoteles, kata analogi dipergunakan baik dengan pengertian

kuantitatif maupun kualitatif. Dalam pengertian kuantitatif, analogi diartikan

sebagai kemiripan atau relasi identitas antara dua pasangan istilah berdasarkan

sejumlah besar cirri yang sama. Sedangkan dalam pegertian kualitatif, analogi

menyatakan kemiripan hubungan sifat antara dua perangkat istilah. Dalam arti

yang lebih luas ini, analogi lalu berkembang menjadi kiasan. Gagasan-gagasan

sering dinyatakan dengan ungkapan-ungkapan yang popular melalui analogi

kualitatif ini. Hal ini tampak jelas dari seringnya orang mempergunakan

metafora,yang sebenarnya merupakan sebuah contoh dari analogi kualitatif.

Penggunaan metaforis dari kata manis dalam frasa lagu yang manis adalah

suatu ringakasan dari analogi yang berbunyi: lagu ini merangsang telinga dengan

cara yang sama menyenangkan seperti manisan merangsang alat perasa.

Ungkapan Ibu Pertiwi mengandung pula analogi yang berarti: hubungan antara

Tanah Air dengan rakyatnya sama seperti hubungan seorang ibu dengan anak-

anaknya. Analogi kualitatif ini juga dipakai untuk menciptakan istilah baru

dengan mempergunakan organ-organ manusia atau organ binatang: kaki meja,

kepala pasukan, mata angin; sayap pesawat terbang, kapal terbang; kapal
18

terbang analog dengan kapal laut, yaitu seperti kapal laut berlayar di laut, maka

kapal terbang berlayar di udara. Analogi juga dipakai dalam hubungan dengan

tata bahasa, yaitu membuat istilah-istilah baru berdasarkan bentuk yang sudah

ada. Berdasarkan bentuk tuna karya dibentuk tuna wisma, tuna susila, tuna netra,

tuna rungu, dan sebagainya.

Seperti tampak dari contoh-contoh di atas (analogi organ biologis dan

analogi konstruksi tata bahasa), kemiripan hubungan antara pasangan atau

perangkat istilah diterima sebagai kesamaan antara istilah-istilah itu sendiri. Sebab

itu, makna istilah analogi menjadi luas dan akhirnya mengandung arti kesamaan

pada umumnya, kecuali yang termasuk dalam kelas yang sama.

Perbandingan dengan analogi ini kemudian muncul dalam bermacam-

macam gaya bahasa kiasan, seperti diuraikan di bawah ini.

a. Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang

dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung

menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya

yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama,

sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.


19

b. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara

langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah

hati, cindera mata, dan sebagainya.

c. Alegori, Parabel, dan Fabel

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna

kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-

nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas

tersurat.

Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya

manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk

menyebut cerita-cerita fiktif di dalam Kitab Suci yang bersifat alegoris, untuk

menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual.

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di

mana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak

seolah-olah sebagai manusia. Tujuan fabel seperti parabel ialah menyampaikan

ajaran moral atau budi pekerti. Fabel menyampaikan suatu prinsip tingkah laku

melalui analogi yang transparan dari tindak-tanduk binatang, tumbuh-tumbuhan,

atau makhluk yang tak bernyawa.


20

d. Personifikasi atau Prosopopoeia

Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang

menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa

seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan)

merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati

bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Misalnya :

Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi
ketakutan kami.
Matahari baru saja kembali ke peraduannya, ketika kami tiba disana.
Kulihat ada bulan di kotamu lalu turun di bawah pohon belimbing depan
rumahmu barangkali ia menyeka mimpimu.
Seperti halnya dengan simile dan metafora, personifikasi mengandung

suatu unsur persamaan. Kalau metafora (sebagai istilah umum) membuat

perbandingan dengan suatu hal yang lain, maka dalam penginsanan hal yang lain

itu adalah benda-benda mati yang bertindak dan berbuat seperti manusia, atau

perwatakan manusia. Pokok yang dibandingkan itu seolah-olah berwujud

manusia, baik dalam tindak-tanduk, perasaan, dan perwatakan manusia lainnya.

e. Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan

antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu referensi

yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat

dalam kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal.
21

f. Eponim

Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering

dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan

sifat itu.

g. Epitet

Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau

ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa

deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu

barang.

h. Sinekdoke

Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani

synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah

semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk

menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk

menyatakan sebagian (totum pro parte).

i. Metonimia

Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti

menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian,

metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk

menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.

Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang
22

yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan

kulitnya, dan sebagainya. Metonimia dengan demikian adalah suatu bentuk dari

sinekdoke.

j. Antonomasia

Antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang

berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar

resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.

k. Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu

dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada

sebuah kata yang lain. Atau secara singkat dapat dikatakan bahwa hipalase adalah

suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan.

l. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-pura.

Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin

mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang

terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer

yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan

yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang

dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan
23

berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik

rangkaian kata-katanya.

Sinisme yang diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian

yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme

diturunkan dari nama suatu aliran filsafat Yunani yang mula-mula mengajarkan

bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan, serta hakikatnya terletak dalam

pengendalian diri dan kebebasan. Tetapi kemudian mereka menjadi kritikus yang

keras atas kebiasaan-kebiasaan sosial dan filsafat-filsafat lainnya. Walaupun

sinisme dianggap lebih keras dari ironi, namun kadang-kadang masih sukar

diadakan perbedaan antara keduanya. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah,

maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Dengan kata lain, sinisme

adalah ironi yang lebih kasar sifatnya.

Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme.

Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir.

Sarkasme dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah

bahwa gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata

sarkasme diturunkan dari kata Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dari

kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging seperti anjing”,

“menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan kepahitan.

m. Satire

Ironi sering kali tidak harus ditafsirkan dari sebuah kalimat atau acuan,

tetapi harus diturunkan dari suatu uraian yang panjang. Dalam hal terakhir ini,
24

pembaca yang tidak kritis atau yang sederhana pengetahuannya, bisa sampai

kepada kesimpulan yang diametral bertentangan dengan apa yang dimaksudkan

penulis, atau berbeda dengan apa yang dapat ditangkap oleh pembaca kritis.

Untuk memahami apakah bacaan bersifat ironis atau tidak, pembaca atau

pendengar harus mencoba meresapi implikasi-implikasi yang tersirat dalam baris-

baris atau nada-nada suara, bukan hanya pada pernyataan yang eksplisit itu.

Pembaca harus berhati-hati menelusuri batas antara perasaan dan kegamblangan

arti harfiahnya.

Uraian yang harus ditafsirkan lain dari makna permukaannyadisebut

satire. Kata satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang penuh

berisi macam-macam buah-buahan. Satire adalah ungkapan yang menertawakan

atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis. Satire

mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar

diadakan perbaikan secara etis maupun estetis.

n. Inuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang

sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering

tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu.

o. Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata

dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau

kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya.
25

- Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol).

- Engkau memang orang yang mulia dan terhormat!

Antifrasis akan diketahui dengan jelas, bila pembaca atau pendengar

mengetahui atau dihadapkan pada kenyataan bahwa yang datang adalah seorang

yang cebol, bahwa yang dihadapi adalah seorang koruptor atau penjahat, maka

kedua contoh itu jelas disebut antifrasis. Kalau tidak diketahui secara pasti, maka

ia disebut saja sebagai ironi.

p. Pun atau Paronomasia

Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan

bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi,

tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.

3. Hakikat Novel

Kokasih (2003:223) Novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti

‘sebuah barang baru yang kecil. Kemudian kata itu diartikan sebagai sebuah karya

sastra dalam bentuk prosa. Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi

utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.

Sumardjo (1986:29) menyatakan bahwa, “Novel adalah cerita berbentuk

prosa dalam ukuran luas”. Ukuran yang luas disini dapat berarti cerita dengan plot

(alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita

yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun “ukuran luas” di sini

juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu unsure fiksinya
26

saja, misalnya temanya, sedang karakter setting dan lain-lainnya hanya satu saja.

Istilah novel sama dengan istilah roman. Kata novel berasal dari Italia yang

kemudian berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Novel dapat dibagi

menjadi tiga golongan, yakni novel percintaan, novel petualangan, dan novel

fantasi. Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita dan pria secara

seimbang, bahkan kadang-kadang peranan wanita lebih dominan. Novel

petualangan sedikit sekali memasukkan peranan wanita. Jika wanita tersebut

dalam novel jenis ini, maka pengembaraannya hampir stereotip atau kurang

berperan.

Pengertian novel diungkapkan oleh Semi (2003:32) bahwa novel

merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusian yang lebih

mendalam dan disajikan dengan halus. Jadi, novel merupakan sebuah karya fiksi

yang mengungkapkan cerita manusia yang disajikan dengan bahasa yang estetis,

dan bernilai etis. Novel merupakan cermin keadaan masyarakat pada suatu masa

yang disampaikan oleh pengarang melalui sebuah bahasa yang tertata dengan

baik. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Reeve (dalam Atmazaki,

2005:39) bahwa Novel mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang

mendalam serta disajikan luar biasa, karena kejadian itu tercipta dari suatu konflik

atau pertikaian yang ada dalam kehidupan manusia.

Novel fantasi adalah bercerita tentang hal-hal yang tidak realistis dan serba

tidak mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari. Novel jenis ini menggunakan

karakter yang tidak realistis, setting dan plot yang juga tidak wajar untuk

menyampaikan ide-ide penulisnya. Jenis novel ini mementingkan ide, konsep, dan
27

gagasan sastrawannya yang hanya dapat jelas kalau diutarakan dalam bentuk

cerita fantastik, artinya menyalahi hukum empiris, hukum pengalaman sehari-hari.

4. Hakikat Novelet

Sumardjo (1986:31) Novelet adalah cerita berbentuk prosa yang

panjangnya antara novel dan cerita pendek. Bentuk novelet juga sering disebut

sebagai cerita pendek yang panjang saja. Beda novelet dengan cerita pendek

adalah novelet lebih luas cakupannya, baik dalam plot, tema, dan unsur-unsur

yang lain. Beda novelet dengan novel adalah bahwa novelet lebih pendek dari

novel dan dimaksudkan untuk dibaca dalam sekali duduk untuk mencapai efek

tunggal bagi pembacanya. dalam praktik ukuran tebal novelet sekitar 60 sampai

100 halaman, sedang cerita pendek sekitar 5 sampai 15 halaman, dan novel sekitar

200 halaman lebih.

Bentuk novelet lebih banyak ditulis di Eropa daripada di Amerika karena

perhitungan dagang percetakan. Novelet terlalu panjang untuk dimuat dalam

majalah, tetapi terlalu tipis untuk dicetak dalam bentuk buku berkulit tebal.

Dengan munculnya pocket books, maka kesempatan menulis novelet tumbuh

dimana-mana.

5. Biografi Pengarang

Anindita Siswanto Thayf. Lahir di Makassar, 5 April 1978. Jatuh cinta

pertama kali dengan buku sejak usia taman kanak-kanak hingga sekarang.

Mengawali kegiatan menulis karena suka berkhayal. Memilih menjadi penulis

karena sudah bosan menunggu lamaran kerjanya diterima. Tanah Tabu adalah
28

novelnya yang meraih juara pertama dalam sayembara menulis novel Dewan

Kesenian Jakarta 2008.

Lulusan Teknik Elektro Universitas Hasanudin, Makassar, ini kerap

dilanda grogi kalau diminta bicara di depan umum. Guna mendukung kegiatan

berkhayal dan proses menulisnya, kini dia tinggal di Lereng Merapi yang sepi dan

dikelilingi kebun salak pondoh bersama suami.

6. Sinopsis Novel

Kala, seorang gadis miskin yang harus rela kehilangan masa kecilnya

karena harus membantu ibunya mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup

mereka. Kala tinggal di suatu rumah dengan ibu dan seorang kakak perempuan

bernama Kemi. Kemi bekerja sebagai penjaga toko, sedangkan ibu dan Kala

bekerja di rumah Pak Dukuh sebagai pembantu. Kala tidak sempat menikmati

bangku sekolah, bermain dengan teman-temannya dan melakukan hal-hal lain

selayaknya anak seusia dengannya. Bangun sebelum matahari terbit, menempuh

perjalanan melintasi hutan, bekerja keras sepanjang hari, dan baru kembali pulang

ketika matahari telah berangkat tidur. Sekalipun Kala harus bekerja keras, namun

ia tetaplah seorang anak-anak, yang memiliki keceriaan seolah tanpa beban.

Kenyataannya dalam hati Kala, ia ingin bebas bermain kapanpun seperti anak-

anak yang lain, bisa bersekolah. Tanpa harus bekerja, apalagi bekerja sebagai

pembantu, yang tergolong pekerjaan yang berat dan sangat menguras tenaga bagi

anak sekecil Kala.


29

Pekerjaan yang selalu menanti di pagi hari adalah menyiapkan air untuk

mandi semua anggota keluarga yang ada di rumah Pak Dukuh. Keluarga Pak

Dukuh terdiri dari 5 orang yaitu Pak Dukuh, Bu Dukuh, Kak Salma, Ano, dan

Kei. Diantara semuanya Bu Dukuh dan Kak Salmalah yang memiliki sikap ramah

kepada Kala. Mereka selalu perhatian kepadanya tidak seperti yang lain, hanya

marah-marah dan menyuruh ini-itu. Bu Dukuh dan Kak Salma tidak pernah

memarahinya, bahkan tidak ragu membantu pekerjaan Kala ketika sedang

menumpuk. Didalam rumah itu juga ada si Ano, tukang masak di rumah itu. Ano

memiliki sikap yang cuek dan pemarah tanpa sebab, banyak orang bilang itulah

yang menyebabkan sampai saat ini ia belum menikah dan di juluki perawan tua.

Nasib lalu membawa Kala pada kehidupan kota besar. Dari seorang

pembantu di keluarga Pak Dukuh di desanya, Kala beralih menjadi pengasuh anak

bagi sebuah keluarga menengah. Di kota Kala juga berkesempatan

untukmengenyam pendidikan sekalipun hanya tamatan SMP karena Kala sadar

akan kemampuannya yang dibawah standart. Maka ia dengan ijin dari Kak Tien

untuk tidak meneruskan sekolah namun ia kursus keterampilan perempuan tak

jauh dari tempat tinggal Kala di kota. Di besarkan di kota bersama keluarga Kak

Banar dan Kak Tien, Kala bertumbuh menjadi gadis yang berkarakter. Tahun

demi tahun berlalu, usianya pun sudah dibilang matang tidak seperti kanak-kanak

lagi. Ia mulai mengerti dan merasakan yang namanya cinta. Ketertarikannya

terhadap lawan jenis yang menghadirkan bara-bara cinta dalam hati Kala. Jatuh

cinta pertama kali pada seorang ajudan di tempat ia bekerja mengenalkan Kala

pada rasa sakit akan sebuah cinta yang tak terbalas. Entah trauma atau memang
30

suratan takdir, hingga usia senja Kala tak juga menemukan tempat yang tepat bagi

pelabuhan hatinya.

Suatu ketika, keluarga Kak Banar dan Kak Tien terancam keutuhannya.

Kak Banar sedang berselingkuh dengan perempuan lain. Sejak itu Kak Tien

memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal bersama Is, anak semata

wayangnya yang kini telah berkeluarga. Kak Banar yang dulu menjadi pejabat

kepolisian dengan karier yang bagus, kini harus meratapi nasibnya. Seperti roda

yang berputar, kini kejayaannya telah runtuh. Rumah besar yang ditempatinya pun

telah berpindah tangan ke orang lain. Sekarang Kak Banar tinggal dengan

selingkuhannya yang kini telah menjadi istri kedua Kak Banar. Kala yang dulu

menjadi pembantu di rumah Kak Banar pun, pindah ke rumah Is dan bekerja

disana. Beberapa tahun kemudian, entah karena apa Kak Banar mengajak rujuk

Kak Tien. Awalnya tidak ada yang setuju namun tekad bulat dari Kak Banar dan

Kak Tien tidak mampu menghalanginya. Namun tidak sempat menikmati

kebahagiaan, Kak Banar dan Kak Tien mengalami kecelakaan dan seketika mati

di tempat kejadian. Kala sangat terpukul akan nasib yang di alami oleh

majikannya yang kini sudah dianggap sebagai keluarganya.

Setelah kejadian itu, Kala memutuskan untuk kembali ke kampung

halaman. Kala berpikir setelah ia kembali ke kampung, kesedian dan kenangannya

bersama majikannya akan hilang dan kesedihannya akan lenyap. Namun ternyata

sesampainya di kampung, Kala harus menerima kenyataan kalau kini Ibunya telah

tiada. Dan kejadian inilah yang menyebabkan Kala di salahkan atas meninggalnya

Ibunya oleh Kemi karena Kala dalam beberapa tahun tidak pernah pulang ke
31

kampung untuk sekedar berkunjung. Di kampung halaman ia tinggal dengan

Kemi dan keluarga kecilnya dan mereka hidup sederhana. Sampai akhirnya Kala

sakit-sakitan dan menutup usia bersama kesendiriannya.

B. Kerangka Konseptual

Dalam kerangka teoretis telah dijabarkan hal-hal yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini. Pada kerangka konseptual ini menyatakan

konsep-konsep dasar yang sesuai dengan permasalahan yang menganalisis gaya

bahasa personifikasi.

Menurut Sugiyono (2012: 388) kerangka befikir merupakan metode

konseptual tentang bagaimana teori dengan berbagai faktor yang telah

diidentifikasikan sebagai masalah yang penting. Pada kerangka teoretis telah

dijelaskan apa yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini.

Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra memegang peranan penting

dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif.

Persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan

kemanusiaan. Gaya bahasa dan penulisan merupakan salah satu unsur yang

menarik dalam sebuah bacaan. Pengarang memiliki gaya yang berbeda-beda

dalam menuangkan setiap ide tulisannya. Setiap tulisan yang dihasilkan nantinya

mempunyai gaya yang dipengaruhi oleh penulisnya, sehingga dapat dikatakan,

watak seorang penulis sangat mempengaruhi sebuah karya yang dihasilkannya.

Gaya bahasa adalah cara menggunakan watak, dan kemampuan seseorang

yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik
32

pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin

buruk pula penilaian diberikan padanya. Sedangkan personifikasi adalah semacam

gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang

yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.

Dengan demikian peneliti hanya memfokuskan pada Analisis Gaya Bahasa

Personifikasi Novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf.

C. Pernyataan Penelitian

Pernyataan penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

permasalahan yang menjadi alasan untuk melakukan penelitian. Pernyataan

penelitian dibuat agar suatu penelitian jadi terarah.

Penelitian ini adalah penelitian dengan metode deskriptif sehingga tidak

menggunakan hipotesis penelitian. Sebagai pengganti hipotesis dirumuskan

pernyataan yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini. Adapun

pernyataan penelitian yang dirumuskan bahwa terdapat gaya bahasa personifikasi

pada novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf.


33

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kepustakaan sehingga tidak dibutuhkan lokasi

khusus tempat penelitian.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian direncanakan selama enam bulan yaitu terhitung dari bulan

Oktober sampai Maret 2018. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 3.1

Rencana Waktu Penelitian

No. Kegiatan Bulan / Minggu

Oktober November Desember Januari Februari Maret


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Penulisan Proposal
2. Perbaikan Proposal
3. Seminar Proposal
4. Pengumpulan Data
5. Pelaksanaan Penelitian
6. Pengolahan Data
7. Penulisan Skripsi
8. Bimbingan Skripsi
9. Sidang Meja Hijau

33
34

B. Sumber Data dan Data Penelitian

1. Sumber Data

Menurut Arikunto (2013:172) Sumber data adalah subjek darimana data

dapat diperoleh. Dalam pengumpulan datanya, sumber data disebut responden,

yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik

pernyataan tertulis maupun lisan.

Sumber data penelitian ini adalah novel Jejak Kala karya Anindita S.thayf

penerbit Andi, yang terdiri dari 194 halaman. Data penunjang penelitian ini

diperoleh dari buku atau tulisan yang bermanfaat untuk mendapatkan teori

pendukung yang relevan dengan topik penelitian.

2. Data Penelitian

Data penelitian merupakan proses pengumpulan data. Menurut Nazir

(2014:153) pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk

memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode

mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang dipecahkan.

Data penelitian ini adalah hal yang menyangkut penggunaan gaya bahasa

personifikasi pada novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf. Data dalam

penelitian ini berupa kalimat yang terdapat pada novel Jejak Kala karya Anindita

S.Thayf. Untuk menguatkan data-data, peneliti menggunakan buku-buku referensi

yang relevan sebagai data pendukung. Data penelitian ini berasal dari novel Jejak

Kala karya Anidita S.Thayf dengan data sebagai berikut:


35

1. Judul : Jejak Kala

2. Penulis : Anindita S.Thayf

3. Penerbit : Andi

4. Tebal halaman : 194 halaman

5. Ukuran : 13 x 19 cm

6. Cetakan ke : Ke-1

7. Tahun Terbit : 2009

8. ISBN : 978-979-29-0658-5

C. Metode Penelitian

Untuk mencapai tujuan yang diinginkan seseorang dalam melaksanakan

aktivitasnya selalu menggunakan metode. Metode penelitian memegang peranan

penting dalam sebuah penelitian. Hal ini penting dalam sebuah penelitian karena

menentukan tercapai atau tidaknya yang akan dicapai.

Menurut Sugiyono (2017:2) metode penelitian pada dasarnya merupakan

cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

Menurut Arikunto (2013:203) metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh

peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Menurut Nazir (2014:43) metode deskriptif adalah suatu metode dalam

meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem

pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari

penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
36

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antarfenomena yang diselidiki. Jenis data yang diambil bersifat

kualitatif, misalnya kalimat yang mendeskripsikan gaya bahasa personifikasi yang

terdapat pada novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf.

Data kualitatif berupa sekumpulan hasil wawancara, pengamatan, catatan

lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya

sehingga penelitian kualitatif bervariasi (Mulyatiningsih Endang, 2014:44).

Dapat disimpulkan metode penelitian yang digunakan peneliti dalam

menganalisis gaya bahasa personifikasi pada novel Jejak Kala karya Anindita

S.Thayf adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif

merupakan metode dengan cara mengumpulkan data, mendeskripsikan data dan

selanjutnya menganalisis data tersebut.

D. Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (2012:38) menyatakan bahwa variabel penelitian pada

dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,

kemudian ditarik kesimpulannya.

Menurut Arikunto (2009:36) variabel adalah objek penelitian atau apa

yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.

Dalam penelitian ini ada variabel penelitian yang harus dijelaskan agar

pembahasannya lebih terarah dan tidak menyimpang dari tujuan yang telah
37

ditetapkan. Variabel yang akan diteliti adalah gaya bahasa personifikasi yang

terdapat dalam novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan kunci dalam penelitian, sedangkan data

merupakan kebenaran dan empiris yaitu kesimpulan atau penemuan penelitian.

Arikunto (2007:203) mengemukakan instrumen penelitian adalah alat atau

fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar

pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat,

lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah, kualitas instrumen akan

menentukan kualitas data yang terkumpul.

Instrumen penelitian ini dilakukan dengan studi dokumentasi.

Pengumpulan data dari novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf. Penelitian ini

ditinjau dengan membaca, menyimak, mencatat dan memberi tanda-tanda pada

bagian-bagian yang dianggap penting maupun uraian peneliti yang dianggap

bermanfaat dan berpengaruh bagi pembaca. Untuk lebih jelasnya dilihat pada

tabel di bawah ini.

Tabel 3.2

Gaya Bahasa Personifikasi

No Bentuk Makna

1.

2.
38

3.

4.

5.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah langkah-langkah yang dilakukan untuk dapat

menyimpulkan jawaban permasalahan. Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini menggunakan metode simak dan catat, metode simak penelitian ini

menyimak novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf untuk mencari bentuk dan

makna gaya bahasa personifikasi. Teknik catat dalam penelitian ini digunakan

untuk mencatat hasil menyimak novel Jejak Kala berupa bentuk dan makna gaya

bahasa personifikasi.

Adapun langkah-langkah yang peneliti laksanakan dalam menganalisis

data sebagai berikut:

1) Melakukan pengamatan dengan cara membaca dan menyimak dengan

cermat isi novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf sebagai objek

penelitian.

2) Memahami isi dan melakukan penelahaan data dengan cara mencatat

gaya bahasa personifikasi yang terdapat pada novel Jejak Kala karya

Anindita S.Thayf.

3) Mencari buku-buku yang menyangkut dengan judul penelitian

dijadikan referensi. Dalam hal ini referensi sebagai landasan untuk


39

mengkaji objek yang telah ditentukan, yaitu teori-teori tentang gaya

bahasa personifikasi.

4) Mendeskripsikan gaya bahasa personifikasi yang terdapat pada novel

Jejak Kala karya Anindita S.Thayf.

5) Menarik kesimpulan dari hasil penelitian.


40

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian

Setelah dilakukan penelitian tentang analisis gaya bahasa personifikasi

novel jejak kala karya Anindita S.Thayf, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1

Gaya Bahasa Personifikasi

No Bentuk Makna

1. Api obornya meliuk-liuk Api obor dapat meliuk-liuk genit seperti

genit. makhluk hidup.

2. Ia tahu matahari akan Matahari dapat terbangun seperti

terbangun sebentar lagi. makhluk hidup.

3. Ketika menaruh timba di Timba dapat diletakkan di bibir sumur

bibir sumur.. seperti makhluk hidup.

4. Ujung sapu lidi itu kembali Sapu lidi dapat mencakar-cakar seperti

mencakar-cakar permukaan makhluk hidup.

tanah.

5. Bulan baru mulai merangkak Bulan dapat merangkak seperti makhluk

naik. hidup.

6. Malam merangkak semakin Malam dapat merangkak seperti makhluk

40
41

jauh. hidup.

7. Perbukitan itu berdiri angkuh. Perbukitan dapat berdiri angkuh seperti

makhluk hidup.

8. Sebuah gunung yang Puncak gunung dapat menusuk seperti

puncaknya menusuk awan. benda hidup.

9. Mobil itu seperti terbang di Mobil dapat terbang seperti makhluk

atas jalan. hidup.

10. Langit menawarkan biru. Langit dapat menawarkan seperti

makhluk hidup

B. Bentuk Gaya Bahasa Personifikasi Dalam Novel Jejak Kala Karya

Anindita S.Thayf

Penelitian ini mendeskripsikan pemakaian gaya bahasa personifikasi

dalam novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf. Personifikasi adalah semacam

gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang

yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Hasil analisis dalam

novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf terdapat 30 data gaya bahasa

personifikasi. Berikut beberapa contoh bentuk gaya bahasa personifikasi dalam

novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf.

1. Api obornya meliuk-liuk genit mengiringi langkahnya yang setengah

berlari memasuki dataran berumput yang berujung pada sebuah singkong

(JK, 6).
42

Kalimat “api obornya meliuk-liuk genit” dapat dikategorikan sebagai gaya

bahasa personifikasi karena menganggap bahwa api obor dapat meliuk-

liuk genit seperti makhluk hidup. Padahal kata meliuk-liuk genit

digunakan untuk manusia yang bergaya-gaya atau banyak tingkahnya.

2. Ia tahu matahari akan terbangun sebentar lagi, sementara tugas pertamanya

hari ini harus segera dilakukan (JK, 8).

Kalimat “matahari akan terbangun” dapat dikategorikan sebagai gaya

bahasa personifikasi karena menganggap bahwa matahari dapat terbangun

seperti makhluk hidup. Padahal kata terbangun digunakan untuk manusia

yang bangkit dari tidurnya.

3. Ketika menaruh timba di bibir sumur, Bu Dukuh yang melihatnya kembali

berujar, “Ayo, ke dapur sana, Kala (JK, 14).

Kalimat “timba di bibir sumur” dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa

personifikasi karena menganggap bahwa sumur mempunyai bibir. Padahal

kata bibir digunakan untuk manusia.

4. Ujung sapu lidi itu kembali mencakar-cakar permukaan tanah,

menciptakan suara goresan yang khas (JK, 24).

Kalimat “ujung sapu lidi itu kembali mencakar-cakar” dapat dikategorikan

sebagai gaya bahasa personifikasi karena menganggap bahwa sapu lidi

dapat mencakar-cakar seperti makhluk hidup. Padahal kata mencakar-

cakar digunakan untuk binatang yang melukai mangsanya.

5. Bulan baru mulai merangkak naik ketika gelap telah benar-benar datang

(JK, 35).
43

Kalimat “bulan baru mulai merangkak naik” dapat dikategorikan sebagai

gaya bahasa personifikasi karena menganggap bahwa bulan dapat

merangkak seperti makhluk hidup. Padahal kata merangkak digunakan

untuk bayi yang baru belajar bergerak dengan bertumpu pada tangan dan

lutut.

6. Malam merangkak semakin jauh (JK, 46).

Kalimat “malam merangkak semakin jauh” dapat dikategorikan sebagai

gaya bahasa personifikasi karena menganggap bahwa malam dapat

merangkak seperti makhluk hidup. Padahal kata merangkak digunakan

untuk anak bayi yang baru belajar merangkak.

7. Perbukitan itu berdiri angkuh di sebelah utara desa, di seberang hamparan

sawah berseling kebun-kebun kecil milik penduduk (JK, 58).

Kalimat “perbukitan itu berdiri angkuh” dapat dikategorikan sebagai gaya

bahasa personifikasi karena menganggap bahwa perbukitan dapat berdiri

angkuh seperti makhluk hidup. Padahal kata berdiri angkuh digunakan

untuk manusia yang sombong.

8. Berlatar belakang sebuah gunung yang puncaknya menusuk awan,

terbentang hamparan kebun pala di sebelah barat bukit (JK, 61).

Kalimat “ gunung yang puncaknya menusuk awan” dapat dikategorikan

sebagai gaya bahasa personifikasi karena menganggap bahwa puncak

gunung dapat menusuk seperti benda hidup. Padahal kata menusuk

diibaratkan perilaku manusia yang mencoblos atau menikam dengan

barang yang runcing.


44

9. Mobil itu seperti terbang di atas jalan abu-abu yang lurus, tapi terkadang

berbelok tajam (JK, 62).

Kalimat “mobil itu seperti terbang” dapat dikategorikan sebagai gaya

bahasa personifikasi karena menganggap bahwa mobil dapat terbang

seperti makhluk hidup. Padahal kata terbang digunakan untuk seekor

burung.

10. Di atas, langit menawarkan biru yang lain, safir (JK, 99).

Kalimat “ langit menawarkan biru” dapat dikategorikan sebagai gaya

bahasa personifikasi karena menganggap bahwa langit dapat menawarkan

seperti makhluk hidup. Padahal kata menawarkan digunakan untuk

seorang pedagang.

C. Makna Gaya Bahasa Personifikasi Dalam Novel Jejak Kala Karya

Anindita S.Thayf

Berdasarkan data penggunaan gaya bahasa personifikasi dalam novel Jejak

Kala karya Anindita S.Thayf, selanjutnya peneliti akan melakukan analisis makna

yang terdapat dalam gaya bahasa personifikasi. Berikut beberapa contoh hasil

analisis makna gaya bahasa personifikasi dalam novel Jejak Kala karya Anindita

S.Thayf.

1. Api obornya meliuk-liuk genit mengiringi langkahnya yang setengah

berlari memasuki dataran berumput yang berujung pada sebuah singkong

(JK, 6).
45

Kalimat api obornya meliuk-liuk genit di atas dapat diketahui terdapat

makna konotatif karena pengarang menggunakan kata meliuk-liuk genit

yang seharusnya digunakan untuk tubuh manusia. Makna sebenarnya yang

ingin disampaikan oleh penulis novel yaitu api obor yang bergerak-gerak

sambil mengiringi langkahnya Kala.

Makna denotasi dari kata meliuk-liuk genit yaitu bergaya-gaya atau banyak

tingkahnya yang diperuntukkan untuk orang.

2. Ia tahu matahari akan terbangun sebentar lagi, sementara tugas pertamanya

hari ini harus segera dilakukan (JK, 8).

Kalimat matahari akan terbangun di atas dapat diketahui terdapat makna

konotatif karena pengarang menggunakan kata terbangun yang seharusnya

digunakan untuk makhluk hidup. Makna sebenarnya yang ingin

disampaikan oleh penulis novel yaitu Kala tahu matahari akan terbit

sebentar lagi dan tugas pertamanya harus segera dilakukan.

Makna denotasi dari kata terbangun yaitu bangkit yang diperuntukkan

untuk orang.

3. Ketika menaruh timba di bibir sumur, Bu Dukuh yang melihatnya kembali

berujar, “Ayo, ke dapur sana, Kala (JK, 14).

Kalimat ketika menaruh timba di bibir sumur di atas dapat diketahui

terdapat makna konotatif karena pengarang menggunakan kata bibir yang

seharusnya digunakan untuk makhluk hidup. Makna sebenarnya yang

ingin disampaikan oleh penulis novel yaitu ketika Kala menaruh timba di

tepi sumur, Bu Dukuh memanggilnya.


46

Makna denotasi dari kata bibir yaitu mulut sebelah bawah dan atas yang

diperuntukkan untuk orang.

4. Ujung sapu lidi itu kembali mencakar-cakar permukaan tanah,

menciptakan suara goresan yang khas (JK, 24).

Kalimat ujung sapu lidi itu kembali mencakar-cakar di atas dapat

diketahui terdapat makna konotatif karena pengarang menggunakan kata

mencakar-cakar yang seharusnya digunakan untuk makhluk hidup. Makna

sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penulis novel yaitu kembali

membersihkan permukaan tanah dengan sapu lidi.

Makna denotasi dari kata mencakar-cakar yaitu menggaruk dengan cakar

(kuku) yang diperuntukkan untuk binatang misalnya burung, harimau,

singa dan lain sebagainya.

5. Bulan baru mulai merangkak naik ketika gelap telah benar-benar datang

(JK, 35).

Kalimat bulan baru mulai merangkak naik di atas dapat diketahui terdapat

makna konotatif karena pengarang menggunakan kata merangkak yang

seharusnya digunakan untuk makhluk hidup. Makna sebenarnya yang

ingin disampaikan oleh penulis novel yaitu bulan baru mulai bergerak naik

ketika gelap telah benar-benar datang.

Makna denotasi dari kata merangkak yaitu bergerak lamban yang

diperuntukkan untuk orang.


47

6. Malam merangkak semakin jauh (JK, 46).

Kalimat malam merangkak semaki jauh di atas dapat diketahui terdapat

makna konotatif karena pengarang menggunakan kata merangkak yang

seharusnya digunakan untuk makhluk hidup. Makna sebenarnya yang

ingin disampaikan oleh penulis novel yaitu malam berpindah semakin

jauh.

Makna denotasi dari kata merangkak yaitu bergerak lamban yang

diperuntukkan untuk orang.

7. Perbukitan itu berdiri angkuh di sebelah utara desa, di seberang hamparan

sawah berseling kebun-kebun kecil milik penduduk (JK, 58).

Kalimat perbukitan itu berdiri angkuh di atas dapat diketahui terdapat

makna konotatif karena pengarang menggunakan kata berdiri angkuh yang

seharusnya diigunakan untuk makhluk hidup. Makna sebenarnya yang

ingin disampaikan oleh penulis novel yaitu perbukitan itu membentang di

sebelah utara desa, di seberang hamparan sawah berseling kebun-kebun

kecil milik penduduk.

Makna denotasi dari kata berdiri angkuh yaitu sifat suka memandang

rendah kepada orang lain, tinggi hati atau sombong yang diperuntukkan

untuk orang.

8. Berlatar belakang sebuah gunung yang puncaknya menusuk awan,

terbentang hamparan kebun pala di sebelah barat bukit (JK, 61).

Kalimat gunung yang puncaknya menusuk awan di atas dapat diketahui

terdapat makna konotatif karena pengarang menggunakan kata menusuk


48

yang seharusnya digunakan untuk makhluk hidup. Makna sebenarnya

yang ingin disampaikan oleh penulis novel yaitu sebuah gunung yang

puncaknya menembus awan dan terbentang hamparan kebun pala di

sebelah barat bukit.

Makna denotasi dari kata menusuk yaitu mencoblos atau menikam dengan

barang yang runcing yang diperuntukkan untuk orang.

9. Mobil itu seperti terbang di atas jalan abu-abu yang lurus, tapi terkadang

berbelok tajam (JK, 62).

Kalimat mobil itu seperti terbang di atas dapat diketahui terdapat makna

konotatif karena pengarang menggunakan kata terbang yang seharusnya

digunakan untuk makhluk hidup. Makna sebenarnya yang ingin

disampaikan oleh penulis novel yaitu mobil itu seperti melayang di atas

jalan abu-abu yang lurus dan berbelok tajam.

Makna denotasi dari kata terbang yaitu bergerak atau melayang di udara

dengan tenaga sayap yang diperuntukkan untuk burung dan lain

sebagainya.

10. Di atas, langit menawarkan biru yang lain, safir (JK, 99).

Kalimat langit menawarkan biru di atas dapat diketahui terdapat makna

konotatif karena pengarang menggunakan kata menawarkan yang

seharusnya digunakan untuk makhluk hidup. Makna sebenarnya yang

ingin disampaikan oleh penulis novel yaitu langit menampakan warna biru

yang lain.
49

Makna denotasi dari kata menawarkan yaitu suatu tindakan atau

mengunjukkan sesuatu dengan maksud supaya dibeli, diambil atau dipakai

yang diperuntukkan untuk orang.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat diketahui gaya bahasa

personifikasi dalam novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf mengandung makna

konotatif. Makna konotatif adalah makna kias, bukan makna sebenarnya yang

terdapat dalam novel. Sedangkan makna denotasi atau denotatif merupakan

kalimat yang memiliki kata yang maknanya sesuai dengan makna yang

sebenarnya. Makna konotatif dan denotasi berhubungan erat dengan kebutuhan

pemakai bahasa. Makna konotatif adalah makna kata yang mempunyai tautan

pikiran, perasaan, dan lain-lain yang menimbulkan nilai rasa tertentu sedangkan

makna denotasi ialah arti harfiah suatu kata tanpa ada satu makna yang

menyertainya. Dengan kata lain, makna konotatif lebih bersifat pribadi dan

khusus, sedangkan makna denotasi adalah makna yang bersifat umum. Memilih

konotatif adalah masalah yang jauh lebih berat bila dibandingkan dengan memilih

denotasi. Oleh karena itu, pilihan kata atau diksi lebih banyak bertalian dengan

pilihan kata yang bersifat konotatif.

Dari hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa dalam novel Jejak Kala

karya Anindita S.Thayf terdapat makna konotatif yang digunakan untuk

menggambarkan suasana keindahan dalam karya sastra. Jenis diksi yang

mengandung makna konotatif, merupakan diksi yang digunakan untuk

memperindah kata-kata yang ada dalam karya sastra. Kata-kata ini dipilih untuk

memberikan makna kiasan, sehingga karya sastra tidak membosankan.


50

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data di atas, maka ditetapkan kesimpulan

sebagai berikut:

1. Bentuk gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam Novel Jejak

Kala karya Anindita S.Thayf yaitu sebanyak 30 data, masing-masing

data gaya personifikasi dalam Novel Jejak Kala karya Anindita

S.Thayf menggambarkan keindahan alam, keadaan latar dan kejadian

dari alur cerita.

2. Makna gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam Novel Jejak

Kala karya Anindita S.Thayf yaitu untuk menciptakan nilai keindahan

cerita dalam novel yang mengiaskan benda-benda mati bertindak,

berbuat, dan berbicara seperti manusia sehingga cerita dalam novel

lebih menarik dan indah.

B. Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian di atas maka yang menjadi saran-

saran penulis dalam hal ini adalah sebagai berikut:

1. Guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menggunakan

hasil penelitian ini sebagai bahan ajar, khususnya pada pembelajaran

gaya bahasa novel Jejak Kala karya Anindita S.Thayf. Dengan gaya

50
51

bahasa yang banyak terdapat di dalam novel Anindita S.Thayf tersebut,

guru dapat membantu siswa untuk lebih semangat dan tertarik dalam

mempelajari gaya bahasa khususnya gaya bahasa personifikasi.

2. Penelitian ini juga memberikan motivasi dan pengetahuan bagi peneliti

lain untuk mengadakan penelitian terhadap novel ini. Peneliti lain juga

dapat meneliti novel ini dari unsur gaya bahasa selain personifikasi.

Gaya bahasa dalam novel ini berguna sebagai referensi peneliti

selanjutnya dan hasil penelitian dapat memberikan ilmu pengetahuan.


52

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2007. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Ekawati, Dian Maya Setia, Sumawarti dan Atikah Anindyarini. 2012. Gaya

Bahasa Dalam Novel Terjemahan Sang Pengejar Layang-Layang (The Kite

Runner) Karya Khaled Hosseini. Surakarta : Jurnal Penelitian Bahasa,

Sastra Indonesia dan Pengajarannya. Vol.1,No. 1.

Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Kokasih. 2003. Ketatabahasaan dan Kesusastraan. Bandung: Yrama Widya.

Mulyatiningsih, Endang. 2014. Metode Penelitian Terapan. Bandung: Alfabeta.

Nazir, Moh. 2014. Metode Penelitian Terapan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:

Gramedia.

S.Thayf, Anindita. 2010. Jejak Kala. Yogyakarta: Andi.


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

1. Nama : Novika Sari


2. NPM : 1402040077
3. Tempat/Tanggal Lahir : Kp. Sei Rejo, 28 November 1995
4. Agama : Islam
5. Anak Ke- : 4 dari 4 bersaudara
6. Alamat : Lingk. V Sei Rejo

Nama Orang Tua

1. Nama Ayah : Kosim


2. Nama Ibu : Suhartini

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri No. 091707 Tinjowan.


2. MTs Nurul Hikmah Tinjowan.
3. MA Nurul Hikmah Tinjowan.
4. Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Demikianlah daftar riwayat hidup ini ditulis dengan benar untuk menjadi
keperluan penelitian.

Medan, Maret 2019

Novika Sari
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KUMPULAN CERPEN
SAIA KARYA DJENAR MAESA AYU (Feminisme Marxis)

SKRIPSI

NUR LISA
105114005

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2017

i
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KUMPULAN CERPEN
SAIA KARYA DJENAR MAESA AYU
(FEMINISME MARXIS)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Sastra


Universitas Negeri Makassar untuk Memenuhi Persyaratan
guna Memeroleh Gelar Sarjana Sastra

NUR LISA

105114005

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA

ii
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Nur Lisa
NIM : 105114005
Tempat, tanggal lahir : Selayar, 25 November 1992
Alamat : Jl. Mallengkeri Raya No.73, Makassar
Program Studi : Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Sastra

Dengan ini menyatakan bahwa, skripsi ini adalah benar hasil karya saya
sendiri, bukan karya orang lain ataupun plagiat. Jika dikemudian hari terbukti
bahwa, skripsi ini bukan hasil karya sendiri maka saya bersedia dituntut di
pengadilan dan bersedia menanggung resiko hukum yang akan ditimbulkan serta
bersedia status kesarjanaan saya dicabut.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesadar-sadarnya tanpa
ada paksaan dari pihak manapun dan sebagai rasa tanggung jawab terhadap
skripsi yang telah saya pertahankan di depan panitia Ujian Skripsi.

Makassar, Agustus 2017


Yang membuat pernyataan,

Nur Lisa
NIM 105114005

iii
2017
iv
v
MOTO

“Kau Tak Akan Pernah Mampu Menyeberangi Lautan

Sampai Kau Berani Berpisah Dengan Daratan”

-Christoper Colombus-

Lakukan apa yang bisa kau lakukan hari ini,

Karena waktu bergerak maju.

vi
PERSEMBAHAN

Kurangkai karya ini tanpa mengenal lelah sebagai bukti betapa besarnya rasa cinta

dan kasih sayangku kepada:

Ayahanda dan Ibunda

Arung & Rosmiati, S.Pd.AUD

Keluarga besar, Sahabat & Orang-orang Terkasih

Atas doa, pengorbanan dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

vii
ABSTRAK

Nur Lisa. 2017. “ Kedudukan Perempuan dalam Kumpulan Cerpen SAIA karya
Djenar Maesa Ayu (Feminisme Marxis)”. Skripsi. Program Studi Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar,
(dibimbing oleh Dr. Juanda, M. Hum dan Dr. Andi Agussalim Aj., M. Hum).
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kedudukan perempuan dan dampak
kedudukan perempuan terhadap eksistensi perempuan dalam Kumpulan Cerpen
SAIA karya Djenar Maesa Ayu (Feminisme Marxis). Penelitian ini termasuk
penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen
SAIA karya Djenar Maesa Ayu yang diterbitkan oleh PT. Graedia Pustaka Utama,
di Jakarata pada tahun 2014 cetakan pertama dengan tebal 139 halaman. Data
dalam penelitian ini adalah pernyataan atau kalimat yang tertuang dalam teks
SAIA karya Djenar Maesa Ayu yang mendeskripsikan kedudukan perempuan dan
dampaknya terhadap eksistensi perempuan menurut kajian feminisme Marxis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan perempuan dalam kumpulan
cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu dapat dilihat dari dua aspek: kedudukan
perempuan dalam keluarga, kedudukan perempuan dalam masyarakat. Kedudukan
perempuan ini dalam pandangan Marxis merupakan posisi subordinat atau berada
dalam kekuasaan laki-laki karena laki-laki yang menguasai materi sehingga
perempuan harus bergantung pada laki-laki. Dalam lingkup keluarga atau rumah
tangga, kedudukan perempuan adalah sebagai istri sedangkan dalam masyarakat
kedudukan perempuan sebagai tenaga kerja yang memikul beban ganda. Dalam
pandangan Feminisme Marxis, kedudukan perempuan ini merupakan posisi
subordinat dari laki-laki. Hal disebabkan oleh adanya sistem kapitalisme dalam
masyarakat yang kemudian berdampak pada eksistensi perempuan dengan
menimbulkan keterasingan dalam diri perempuan atau biasa disebut alienasi. Hal
ini terjadi karena adanya diskriminasi terhadap perempuan.

Kata kunci : kedudukan perempuan, alienasi, eksistensi.

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah Subhana Wata’ala

atas limpahan rahmat, kasih sayang serta ridho-Nyalah sehingga skripsi yang

berjudul “Kedudukan Perempuan Dalam Kumpulan Cerpen SAIA Karya Djenar

Maesa Ayu (Feminisme Marxis)” dapat terselesaikan. Skripsi ini diajukan untuk

memenuhi salah satu syarat memeroleh gelar Sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia

pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra,

Universitas Negeri Makassar.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan

laporan hasil penelitian ini banyak hambatan dan tantangan yang dihadapi, namun

berkat adanya bantuan dari berbagai pihak, antara lain dalam bentuk bimbingan,

arahan dan saran. Sehubungan dengan hal itu, sudah sepantasnya pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Juanda, M.Hum.,

sebagai pembimbing akademik sekaligus pembimbing I dan juga kepada Andi

Agussalim Aj., M.Hum. sebagai pembimbing II yang dengan segala kesabaran

dan ketekunan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam membimbing,

mengarahkan, dan memberi saran kepada penulis mulai dari penulisan proposal

sampai selesainya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

Hajrah, S.S., M.Pd. sebagai penguji I, Suarni Syam Saguni, S.S., M.Hum. sebagai

penguji II yang bersedia memberikan kritik dan saran pada skripsi ini sehingga

penulis betul-betul merasakan kepedulian beliau dalam penyelesaian skripsi ini.

9
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Muhammad Saleh,

S.Pd., M.Pd., Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dr. Syamsudduha,

M.Hum., Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dr. Syarifuddin Dollah,

M.Pd., Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar, Prof. Dr.

H. Husain Syam M TP, Rektor Universitas Negeri Makassar dan seluruh staf yang

telah membantu dan memberi kemudahan kepada penulis dalam mengurus segala

hal yang terkait dengan persoalan administrasi.

Segenap cinta dan hormat penulis ucapkan kepada kedua orang tua,

Ayahanda Arung dan Ibunda Rosmiati, S.Pd.AUD. Terima kasih atas segenap doa

dalam sujudnya untuk kesuksesan Ananda. Saudaraku tersayang Nur Lisna, S.Si.

atas dukungan dan motivasinya selama ini.

Sahabat-sahabatku yang tak terlupakan Rizky Amir, Irmalasari ,

Herawati Nur, Rahmawati, Ilmia Rajab dan semua teman-teman yang tidak bisa

saya sebutkan satu persatu. Terima kasih telah menorehkan cerita indah selama

perkuliahan dan menemani setiap perjuanganku hingga akhir. Semoga

persahabatan kita akan terjalin selamanya. Sahabat terkasih Ramadani, terima

kasih atas dukungan dan waktu untuk menemani perjuangan penulis hingga saat

ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan karena

kesempurnaan hanya milik Allah Swt, manusia tidak luput dari kesalahan dan

kekhilafan. Untuk segala kesalahan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini,

mohon dimaafkan.

10
Akhir kata semoga Allah Swt memberikan imbalan dan balasan yang

setimpal atas segala baik budi yang tulus dan ikhlas dari segala pihak yang

disebutkan di atas. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

Makassar, Agustus 2017

Penulis

11
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii

PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN................................................................................. iv

MOTO .............................................................................................................. v

PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi

ABSTRAK ....................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan .......................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ......................... 9

A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 9


1. Sastra .............................................................................................. 9
2. Prosa ............................................................................................... 10
3. Konsep Dasar Feminisme .............................................................. 12
4. Feminisme Marxis.......................................................................... 17
5. Keluarga dan Rumah Tangga di Bawah Patriarki .......................... 24

12
B. Kerangka Pikir ..................................................................................... 33

BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 35

A. Fokus Penelitian ................................................................................... 35


B. Desain Penelitian .................................................................................. 35
C. Definisi Istilah ...................................................................................... 36
D. Data dan Sumber Data ......................................................................... 37
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 37
F. Teknik Analisis Data ............................................................................ 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 40

A. Penyajian Hasil Analisis Data .............................................................. 40


B. Pembahasan Hasil Analisis Data .......................................................... 56

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 60

A. Simpulan .............................................................................................. 60
B. Saran ..................................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 62

LAMPIRAN I ................................................................................................. 64

LAMPIRAN II ................................................................................................. 79

LAMPIRAN III ................................................................................................ 82

LAMPIRAN IV ................................................................................................ 87

RIWAYAT HIDUP

13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia pada dasarnya sama dan sederajat sebagai makhluk ciptaan

Allah SWT. Manusia dibekali dengan hati dan pikiran yang membedakannya

dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Baik laki-laki maupun perempuan

diberikan kedudukan yang setara di hadapan Allah, karena sejatinya laki-laki dan

perempuan diciptakan dari zat yang sama, yaitu dari tanah. Dijelaskan dalam Q.S.

Al-Hajj (22) ayat 5 bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian setetes mani,

menjadi darah, lalu segumpal daging, ditempatkan di dalam rahim dan terlahir

sebagai bayi kemudian dikaruniai usia hingga ia diwafatkan. Maka dari itu, sudah

seharusnya laki-laki dan perempuan memiliki posisi dan kedudukan yang setara

dalam kehidupan tanpa harus ada pihak yang dimarjinalisasikan dan didominasi,

sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Asmaeny Azis dalam bukunya yang berjudul Feminisme Profetik

(2007:241) juga menyatakan tentang penyetaraan posisi atau kedudukan laki-laki

dan perempuan sebagai manusia biasa dalam dimensi sosial, namun tetap

menjunjung kodrat masing-masing. Perempuan bisa hamil, menyusui, dan

sebagainya, yang tentu tidak bisa dilakukan laki-laki. Sedangkan laki-laki tetap

pada kodratnya, tidak bisa hamil dan menyusui, tetapi bertanggung jawab atas

perempuan dan tidak pula menindas perempuan.

Persamaan hak dan kewajiban serta himbauan akan adanya diskriminasi

juga ditegaskan dalam perundang-undangan. Undang-undang Republik Indonesia

14
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 3 menegaskan bahwa

setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan

sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta berhak atas hak asasi

manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.

Hal ini memperjelas bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan

perempuan dalam menentukan nasib dan kehidupannya guna mencapai

kesejahteraan hidup baik sebagai masyarakat maupun warga negara. Perempuan

merupakan mitra sejajar pria dalam meningkatkan pembangunan maupun

kehidupan keluarga, sehingga tidak ada alasan bagi laki-laki menempatkan

perempuan sebagai kelas kedua atau memarginalisasikan perempuan, apalagi

mendominasi dan melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Namun, tidak

semua perempuan yang beruntung dan mendapatkan keadilan atas hak mereka

sebagai perempuan.

Di era globalisasi ini, masih banyak perempuan yang mengalami

diskriminasi dan diperlakukan tidak adil oleh laki-laki dan budaya yang

mengutamakan laki-laki atau biasa disebut patriarki.. Perempuan juga dipandang

sebelah mata karena status sosial, terutama perempuan dari kelas sosial menengah

ke bawah. Mereka lebih cenderung mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan,

seperti pelecehan seksual dan tindak kekerasan lainnya. Dalam kehidupan rumah

tangga pun perempuan lebih berpeluang terdiskriminasi karena secara ekonomi

15
laki-laki yang menghasilkan materi sehingga perempuan sebagai istri harus

tunduk pada suaminya.

Realitas sosial tersebut dijelaskan oleh para feminis Marxis (Wiyatmi,

2013:33) sebagai kemungkinan penyebab perempuan teropresi dengan adanya

pembagian kerja berdasarkan gender. Perempuan ditempatkan dalam ranah

domestik sedangkan laki-laki dalam ranah publik yang menguasai wilayah

produksi. Laki-laki menghasilkan materi sedangkan perempuan yang

menghabiskan seluruh waktunya bekerja di rumah tidak mendapatkan

penghasilan. Hal ini menyebabkan perempuan harus tunduk dan patuh kepada

laki-laki (suami), sehingga dapat dikatakan bahwa ketertindasan yang dialami

oleh perempuan merupakan dampak dari adanya ketergantungan ekonomi.

Fenomena ketertindasan perempuan tidak hanya dijumpai dalam realitas

sosial masyarakat. Hal ini juga digambarkan dengan jelas dalam karya sastra

sebagai bentuk interpretasi pengarang atas kehidupan perempuan. Karya sastra

dipandang sebagai refleksi kehidupan berdasarkan sudut pandang pengarang

terhadap realitas sosial masyarakat. Pengarang menuangkan setiap ide, gagasan

dan imajinasinya dalam mengolah fakta sosial menjadi sebuah tulisan yang indah

dan menarik untuk dibaca dengan makna yang tersirat di dalamnya. Sumardjo

(1994:30) mengungkapkan bahwa sastra membaca fakta yang ada, sehingga dapat

dikatakan bahwa karya sastra adalah kenyataan (realitas) sosial yang mengalami

proses pengolahan oleh pengarang.

Salah satu bentuk karya sastra yang sering dijumpai adalah cerpen. Cerpen

(cerita pendek) merupakan salah satu genre karya sastra yang berbentuk prosa

16
fiksi. Cerpen hadir sebagai medium untuk menggambarkan realitas sosial yang

diolah secara kreatif oleh pengarang. Pengarang biasanya menulis cerpen sesuai

dengan kisah nyata yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dikemas

dalam bentuk tulisan yang indah sehingga menarik untuk dibaca.

Kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu pertama kali diterbitkan

oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, Januari 2014. Kumpulan cerpen ini akan

peneliti gunakan sebagai objek untuk diteliti. Dalam kumpulan cerpen SAIA

terdapat lima belas judul cerpen. Namun, peneliti hanya mengkaji tujuh cerpen

saja. Ketujuh judul cerpen tersebut adalah: “Dan Lalu, Nol-Dream Land, Kulihat

Awan, Fantasi Dunia, Gadis Korek Api, Dewi Sialan, Mata Telanjang. Cerpen-

cerpen tersebut hadir dengan menonjolkan tokoh-tokoh perempuan yang

mengalami diskriminasi dan marginalisasi gender baik dalam lingkungan keluarga

maupun lingkungan sosial.

Sejauh ini, karya-karya Djenar banyak diperdebatkan pada ranah norma-

norma moral karena tema yang diangkat dalam karyanya dominan tentang tubuh

dan seksualitas. Beberapa karya Djenar mendapat apresiasi yang cukup bagus dan

masuk dalam deretan daftar buku best seller. Namun, dibalik kesuksesan itu tidak

sedikit pula kritikan yang diterima. Salah satunya adalah pandangan Katrin

Bandel yang diungkapkan dalam bukunya yang berjudul Sastra, Perempuan dan

Seks. Menurut Katrin, Djenar merupakan salah satu dari sekian banyak penulis

muda yang karyanya tidak begitu istimewa dan memiliki banyak

kekurangan(Bandel, 2006:138).

17
Dalam kumpulan cerpen ini Djenar menggambarkan bagaimana

perempuan cenderung diperlakukan tidak adil oleh laki-laki. Perempuan harus

menanggung semua penderitaan ketika laki-laki melepas tanggung jawabnya.

Dalam lingkungan keluarga pun, perempuan sebagai istri atau anak lebih

berpeluang mengalami diskriminasi. Terlebih lagi jika status sosial mereka dari

kelas sosial menengah ke bawah. Sebagai istri, perempuan harus rela dipoligami

atas keinginan suami. Sebagai anak, perempuan harus rela menjadi jaminan atas

kehidupan orang tuanya yang kesusahan. Fenomena-fenomena ini digambarkan

dengan jelas oleh Djenar dalam kumpulan cerpennya.

Kumpulan cerpen SAIA menarik untuk diteliti karena tema dalam cerpen-

cerpen tersebut mengungkapkan realitas kehidupan yang kompleks dilihat dari

realitas kehidupan masyarakat sekarang ini. Dari realitas tersebut pembaca dapat

melihat sisi kelam dari kehidupan perempuan yang kurang beruntung dengan latar

kehidupan masyarakat perkotaan.

Kumpulan cerpen ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan

feminisme sastra. Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak

sesuatu yang dimarginalisasikan, direndahkan, dinomorduakan, dan

disubordinasikan oleh kebudayaan, sosial, baik dalam bidang publik maupun

domestik. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, diharapkan kedudukan

perempuan menjadi lebih baik dalam lingkungan masyarakat.

Sebelumnya telah banyak penelitian mengenai pendekatan feminisme

sastra untuk mengetahui penyebab perempuan teropresi dan dimarginalkan dalam

kehidupan sosial. Salah satu penelitian tersebut adalah tesis penelitian yang

18
dilakukan oleh Muhamad Adji, (2009) dengan judul penelitian Konstruksi Relasi

Laki-laki dan Perempuan dalam Sistem Patriarki (Kajian Terhadap Karya Djenar

Maesa Ayu dengan Pendekatan Feminisme). Hasil analisisnya menunjukkan

bahwa karya Djenar memperlihatkan upaya pendobrakan terhadap sistem patriarki

yang dalam berbagai cara dan media selalu mengobjektivikasi atau mendudukkan

perempuan dalam posisinya sebagai the other dalam relasi dengan laki-laki.

Berangkat dari penelitian itu, peneliti tertarik untuk meneliti kumpulan

cerpen Djenar Maesa Ayu dengan menggunakan pendekatan yang sama yaitu

feminisme. Akan tetapi, penulis memfokuskan pada teori feminisme Marxis yang

memandang kapitalisme dan patriarki sebagai penyebab opresi terhadap

perempuan, untuk menggambarkan kedudukan tokoh perempuan dalam cerpen

dan bagaimana dampak kedudukan perempuan terhadap eksistensi tokoh

perempuan dalam menyikapi realitas sosial yang terkungkung oleh dunia

patriarki.

Penelitian sebelumnya terhadap kumpulan cerpen SAIA karya Djenar ini

telah dilakukan oleh Eva Kartika Ayu Ningrum (2016) dengan fokus penelitian

tindak diskriminasi gender. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa dalam

kumpulan cerpen tersebut terdapat tokoh-tokoh perempuan yang mengalami

diskriminasi atau tindak kekerasan. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti

kemudian tertarik meneliti lebih lanjut kumpulan cerpen tersebut dengan

menggunakan pemikiran-pemikiran Marxis untuk lebih memahami kedudukan

perempuan dan eksistensinya menghadapi realitas sosial. Peneliti menganggap

bahwa penelitian ini penting untuk dilakukan sebab dari penelitian ini kita bisa

19
melihat sisi lain dari kehidupan perempuan yang jauh dari kesan ideal yang

dikemas melalui imajinasi Djenar Maesa Ayu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,

maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam kumpulan cerpen SAIA karya

Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan feminisme Marxis?

2. Bagaimana dampak kedudukan perempuan terhadap eksistensi perempuan

dalam kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan kedudukan perempuan yang terungkap perempuan dalam

kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan

feminisme Marxis.

2. Mendeskripsikan dampak kedudukan perempuan terhadap eksistensi

perempuan dalam kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khasanah

penelitian sastra Indonesia khususnya cerpen melalui pendekatan feminisme sastra

sehingga pembaca dapat mengetahui hubungan antara sastra, perempuan dan

masyarakat.

20
2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat

tentang karya-karya sastra yang berhubungan dengan tema perempuan dan dapat

dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini yaitu Bab I Pendahuluan, yang

memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian

dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pikir. Bab III

Metode Penelitian mencakup desain penelitian dan defenisi operasional, data dan

sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV Analisis

dan pembahasan dan Bab V memuat kesimpulan dan saran.

21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang diuraikan dalam penelitian ini pada dasarnya

dijadikan acuan untuk mendukung dan memperjelas penelitian ini. Sehubungan

dengan masalah yang diteliti, kerangka teori yang dianggap relevan dengan

penelitian ini diuraikan sebagai berikut.

1. Sastra

Secara sederhana kata sastra mengacu kepada dua pengertian, yaitu

sebagai karya sastra dan sebagai ilmu sastra, yang merupakan salah satu cabang

ilmu pengetahuan. Ketika digunakan dalam kerangka karya sastra, sastra

merupakan hasil karya seni yang diciptakan pengarang ataupun kelompok

masyarakat tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai media. Sebagai karya

seni yang bermediakan bahasa, karya sastra dipandang sebagai karya imajinatif.

Istilah “sastra imajinatif” (imajinatif literature) memiliki kaitan dengan istilah

belles letters (“tulisan yang indah dan sopan”, barasal dari bahasa Prancis), kurang

lebih menyerupai pengertian susastra (Wellek & Warren, dalam Wiyatmi, 2011 :

14 ).

Sastra juga dapat dikatakan sebagai interpretasi pengarang yang hidup dan

terkait dengan tata kehidupan masyarakatnya, karena sesungguhnya pengarang

menciptakan sebuah karya berdasarkan sudut pandangnya atas kehidupan sosial

yang diamatinya. Karya sastra merupakan produk individual pengarang, namun

22
pada saat berada di tengah masyarakat, seketika itu pula ia di pandang menjadi

bagian dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, ketika sastrawan mengusung

kebebasan kreasinya dan kemudian menjelma dalam bentuk karya sastra, seketika

itu pula ia berhadapan dengan aturan, moral, etika dan konvensi yang hidup dalam

masyarakat yang bersangkutan (Noor, 2011:23).

Dengan demikian, sastra bisa dikatakan sebagai hasil cipta manusia

dengan menggunakan media bahasa tertulis maupun lisan, bersifat imajinatif,

disampaikan secara khas, dan mengandung pesan yang bersifat relatif dengan

merefleksikan fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial

masyarakat.

2. Prosa

Prosa adalah karya sastra yang berbentuk cerita bebas, tidak terikat oleh

rima, irama, dan kemerduan bunyi seperti puisi. Bahasa prosa seperti bahasa

sehari-hari. Menurut isinya, prosa dibagi menjadi dua yaitu, prosa fiksi dan

nonfiksi. Prosa fiksi adalah suatu cerita atau kisahan yang bertolak dari imajinasi

pengarang, sedangkan prosa nonfiksi adalah adalah karangan yang tidak

berdasarkan rekaan atau khayalan pengarang tetapi berisi hal-hal yang berupa

informasi faktual (kenyataan) atau berdasarkan pengamatan pengarang.

Prosa fiksi terbagi atas beberapa bentuk seperti roman, novel, dan cerpen.

Perbedaan dari macam-macam bentuk tersebut terletak pada panjang-pendeknya

isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu

sendiri, sedangkan prosa nonfiksi atau biasa disebut karangan semi ilmiah juga

23
terbagi atas beberapa bentuk seperti: artikel, tajuk rencana, opini, biografi, tips,

reportase, jurnalisme baru, iklan, pidato, dan feature (Aminuddin, 2011:66).

Lebih lanjut memahami tentang prosa fiksi, Abrams (dalam Nurgiyantoro,

2009: 2) mengatakan bahwa istilah fiksi berarti cerita rekaan atau cerita khayalan

karena fiksi merupakan karya naratif yang isinya mengarah pada kebenaran. Jadi,

dalam cerita fiksi tidak diceritakan keadaan yang sesungguhnya melainkan hanya

cerita rekaan pengarang. Dengan demikian, cerita yang ada dalam karya fiksi

tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lewis (dalam

Nurgiyantoro, 2009: 2) bahwa fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang

bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang

mendramatisasi hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan

hal tersebut berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan.

Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya

sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman

kehidupan manusia.

Salah satu jenis karya sastra yang termasuk dalam jenis prosa fiksi adalah

cerpen. Cerpen merupakan suatu kisahan pendek yang mengungkapkan suatu

kehidupan manusia, yang di dalamnya tidak dituntut terjadinya suatu perubahan

nasib dari pelaku-pelakunya. Dalam sebuah cerpen umumnya pengarang

menguraikan peristiwa-peristiwa dengan terbatas pada jumlah kata yang

digunakan, karena hal inilah salah satu pembeda antara cerpen dengan novel

ataupun roman. Seperti yang dikemukakan oleh Esten (1989: 12), bahwa cerpen

24
adalah pengungkapan suatu kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia

namun tidak dituntut terjadinya suatu perubahan nasib dari pelaku-pelakunya.

Hanya suatu lintasan dari secercah kehidupan manusia yang terjadi pada suatu

waktu.

Cerpen berusaha mengungkapkan perasaan, pikiran pengarang secara

terperinci yang diwujudkan dengan metode bercerita yang dilakonkan oleh tokoh-

tokoh dalam cerita tersebut. Oleh karena itu, dalam cerpen, peristiwa dan kejadian

yang menimpa tokohnya diuraikan sedemikian rupa oleh pengarangnya agar

mudah dipahami, dimengerti, bahkan diambil manfaatnya oleh pembacanya atau

penikmat dari cerpen tersebut.

3. Konsep Dasar Feminisme

a. Pengertian Feminisme

Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan

mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari

perspektif yang terpusat pada wanita. Teori ini terpusat pada wanita dalam tiga

hal. Pertama, sasaran utama studinya adalah situasi dan pengalaman wanita dalam

masyarakat. Kedua, dalam proses penelitiannya, wanita dijadikan “sasaran”

sentral; artinya, mencoba melihat dunia khusus dari sudut pandang wanita

terhadap dunia sosial. Ketiga, teori feminis dikembangkan oleh pemikir kritis dan

aktivis atau pejuang demi kepentingan wanita, yang mencoba menciptakan

kehidupan yang lebih baik untuk wanita (Ritzer, 2004).

Menurut Humm (dalam Wiyatmi, 2012 : 12) feminisme menggabungkan

doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang terorganisasi

25
untuk mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah ideologi transformasi sosial

yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan. Selanjutnya Humm

menyatakan bahwa feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan

dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis

kelaminnya. Feminisme menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab dan

pelaku dari penindasan perempuan. Pandangan ini sejalan dengan pandangan

Goefe atas feminisme. Menurut Goefe (Sugihastuti, 2010:93), feminisme adalah

teori tentang persamaan antara laki-laki dengan perempuan di bidang politik,

ekonomi dan sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak

serta kepentingan perempuan.

Dari pandangan-pandangan ini dapat dikatakan bahwa feminisme tidak

serta merta lahir sebagai sebuah ideologi baru dalam masyarakat. Feminisme lahir

sebagai bentuk upaya perlawanan atas berbagai upaya kontrol laki-laki atas

perempuan. Sebagaimana Fakih (1997:99) mengatakan, asumsi bahwa perempuan

telah tertindas dan dieksploitasi menghadirkan anggapan jika feminisme

merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi

tersebut. Feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender tetapi juga

masalah kemanusiaan.

Feminisme berbeda dengan emansipasi. Sofia dan Sugihastuti menjelaskan

bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam

pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai

tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan

26
inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam

berbagai gerakan.

Dalam membahas masalah feminisme, harus dipahami terlebih dahulu

tentang konsep seks dan konsep gender. Menurut Fakih (1997:7-9) pengertian

seks atau jenis kelamin merupakan dua pembagian jenis kelamin yang ditentukan

berdasarkan biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks secara

permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau lebih sering

disebut kodrat atau ketentuan Tuhan. Berbeda dengan seks, gender merupakan

sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dibentuk,

disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui

ajaran keagamaan maupun negara. Konsep gender menyangkut semua hal yang

dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah baik

dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat lain, maupun dari suatu kelas ke

kelas lain.

Lebih lanjut, Fakih (1997:12-13) menjelaskan bahwa salah satu penyebab

lahirnya feminisme adalah adanya ketidakadilan yang ditimbulkan oleh

perbedaaan gender. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai

bentuk ketidakadilan, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,

subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan

stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih

panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.

27
b. Ragam Feminisme

Feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang

berbeda-beda yang disebabkan perbedaan asumsi dasar dalam memandang

persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender. Dalam Feminist

Thought, Rosemarie Putnam Tong (2010) mengemukakan bahwa feminisme

bukanlah sebuah pemikiran yang tunggal, melainkan memiliki berbagai ragam

yang kemunculan dan perkembangannya sering kali saling mendukung,

mengoreksi, dan menyangkal pemikiran feminisme sebelumnya. Tong (2010)

mengemukakan adanya delapan ragam pemikiran feminisme, yaitu feminisme

liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme

psikoanalisis dan gender, feminisme eksistensialis, feminisme posmodern,

feminisme multikultural dan global, dan ekofeminisme.

Aliran feminisme liberal lebih menekankan perjuangan atas kesetaraan hak

perempuan dengan laki-laki sebagai warga sipil. Karena itu, gerakan feminisme

liberal lebih ditekankan pada hak-hak suaranya di dalam wilayah publik. Aliran

ini menolak segala bentuk diskriminasi. Hal ini diharapkan mampu membawa

kesetaraan bagi perempuan dalam semua institusi publik agar isu-isu tentang

perempuan tidak terabaikan.

Berbeda dengan feminisme liberal, feminisme radikal lebih melihat pada

sistem yang ada di dalam masyarakat yang menjadi penyebab ketertindasan

perempuan. Menurut aliran ini, kekuasaan laki-laki atas perempuan yang

didasarkan pada kepemilikan dan kontrol laki-laki atas kapasitas reproduktif

merupakan penyebab ketertindasan perempuan. Feminisme radikal bertumpu pada

28
pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena sistem patriarki.

Tubuh perempuan merupakan merupakan objek utama penindasan atas kekuasaan

laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain

tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme,

relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat publik.

Feminisme Marxis dan sosialis memandang konstruksi sosial sebagai

sumber ketidakadilan terhadap perempuan termasuk didalamnya stereotip-

stereotip yang dilekatkan pada perempuan. Penindasan perempuan terjadi di

semua kelas sosial. Aliran ini menganggap bahwa ketidakadilan terhadap

perempuan bukan semata-mata karena faktor biologis tetapi lebih disebabkan oleh

penilaian dan anggapan akibat konstruksi sosial dan perbedaan tersebut.

Feminisme psikoanalisis dan gender lebih memfokuskan pada individu dan

menyatakan bahwa akar opresi terhadap perempuan sesungguhnya tertanam

dalam jiwa seorang perempuan. Bagi feminis psikoanalisis, fokus pada peran

seksualitas dalam opresi terhadap perempuan muncul dari teori Freud. Sedangkan

pada feminisme gender, walaupun mereka memikirkan psike perempuan, mereka

juga menggali hubungan antara psikologi dan moralitas perempuan.

Feminisme eksistensialis, dalam hal ini diwakili oleh Simone de Beauvoir,

melihat opresi terhadap perempuan karena keliyanannya (the other) sebagai objek

yang tidak menentukan makna eksistensinya sendiri. Jika perempuan ingin

menjadi Diri, perempuan harus menjadikan dirinya sebagaimana yang

diinginkannya. Feminisme posmodern bukan menjadikan keliyanan ini sebagai

sesuatu yang harus ditolak, tetapi justru harus dirangkul. Mereka mengklain

29
bahwa keliyanan (the other) perempuan memungkinkan individu perempuan

untuk mundur dan kemudian mengkritisi norma, nilai, dan praktik-praktik yang

dipaksakan oleh kebudayaan laki-laki yang dominan (patriarki) terhadap semua

orang, terutama mereka yang berada di pinggiran.

Bagi feminisme posmodern, menjadi liyan merupakan cara untuk

bereksistensi yang memungkinkan perubahan dan perbedaan. Sementara itu, bagi

feminisme multikultural dan global, akar dari keterpecahan Diri lebih bersifat

kultural daripada seksual dan sastrawi. Dalam hal ini, bentuk imperialisme yang

dilakukan bangsa kulit putih telah membangun konsep diri bangsa terjajah,

terutama negara-negara di belahan Asia dan Afrika, dalam bayang-bayang

identitas bangsa kulit putih. Sementara kebanyakan aliran pemikiran feminis lebih

cenderung kepada p andangan relasional atas Diri. Ekofeminisme menawarkan

konsepsi yang paling luas dan paling menuntut atas hubungan Diri dengan yang

lain, seperti binatang dan tumbuhan (Tong, 2010:2-11).

Begitu beragamnya pandangan membuat feminisme seperti terfragmentasi

dalam sekat-sekat aliran namun sebenarnya saling berhubungan satu sama

lainnya. Satu hal yang menyatukannya adalah keyakinan bahwa masyarakat

bersifat patriarki.

4. Feminisme Marxis

Membedakan pemikiran feminisme Marxis dan Sosialis tidaklah mudah

untuk dilakukan. Hal ini dikemukakan oleh Tong dalam bukunya Feminist

Thought (2010). Ia mengatakan :

Meskipun memang dimungkinkan untuk membedakan pemikiran


feminis Marxis dan sosialis, namun tidaklah mudah melakukannya.

30
Telah bertahun-tahun saya menjadi yakin bahwa perbedaan antara
dua kelompok pemikiran ini lebih merupakan masalah penekanan
daripada masalah substansi. Feminis Marxis cenderung untuk
menunjukkan penghargaan mereka langsung kepada Marx, Engels,
dan pemikir abad 19 lain. Mereka juga cenderung untuk
mengidetifikasi kelasisme dan bukan seksisme sebagai penyebab
utama opresi terhadap perempuan. Sebaliknya, feminisme sosialis
tampaknya lebih dipengaruhi oleh pemikir abad 20, seperti Louis
Althusser dan Jurgen Habermas. Lebih dari itu, feminisme sosialis
juga menegaskan bahwa penyebab fundamental opresi terhadap
perempuan bukanlah “kelasisme” atau “seksisme”, melainkan suatu
keterkaitan yang sangat rumit antara kapitalisme dan patriarki. Pada
analisis akhir, perbedaan antara feminisme Marxis dan sosialis
tidaklah sepenting yang mereka yakini bersama. Feminisme Marxis
dan sosialis percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah
hasil dari tindakan satu individu, melainkan produk dari struktur
politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup (Tong, 2010:
139).

Feminisme Marxis memandang masalah perempuan dalam kerangka

kapitalisme sebagai sumber penindasan perempuan. Berdasar pada teori ekonomi

Marxis, feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan perempuan membentuk

pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifat-sifat alamiah

perempuan. Mereka juga percaya bahwa kapitalisme adalah suatu sistem

hubungan kekuasaan dan hubungan pertukaran (Tong, 2010 : 141). Hal ini dapat

diartikan sebagai suatu hubungan transaksional yang pada dasarnya eksploitatif.

Seorang pekerja akan terus bekerja untuk mendapatkan upah, sedangkan majikan

akan terus memaksa pekerjanya untuk bekerja lebih keras tanpa ada kemungkinan

untuk perbaikan upah.

Feminisme Marxis menolak hubungan kontraktual antara pekerja dan

majikan. Sebagaimana Marx (dalam Tong, 2010:143) memandang bahwa tidak

ada pilihan bebas yang dapat diambil oleh pekerja. Majikan memonopoli alat

produksi, karena itu pekerja harus memilih antara dieksploitasi atau tidak punya

31
pekerjaan sama sekali. Atas dasar pemikiran ini, feminis Marxis berpendapat

bahwa pada kondisi dimana seseorang tidak mempunyai hal berharga untuk dijual

lagi lebih dari dan diluar tubuhnya, kekuatan tawarnya di pasar menjadi terbatas.

Dalam perspektif ekonomi, subordinasi kedudukan perempuan yang

berada di bawah laki-laki berakar pada ketergantungan ekonomi. Charlotte P.

Gilnam, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Women and Economic (dalam

Apriani, 2013:5) mengatakan bahwa sesungguhnya status sekunder perempuan

berdasar pada masalah ekonomi daripada sosial dan budaya. Hal ini juga dapat

diartikan dalam suatu masyarakat dengan budaya tertentu, apabila seorang

perempuan secara ekonomi dominan terhadap laki-laki, maka ia dapat memegang

kedudukan yang superior terhadap laki-laki.

Lebih lanjut, Gilman juga mengatakan bahwa ketika laki-laki mulai

memberi makan dan melindungi perempuan, perempuan secara proporsional

berhenti memberi makan dan melindungi dirinya sendiri. Artinya, apabila

perempuan menurunkan kemampuan mereka untuk menghidupi dan memelihara

diri sendiri, maka mereka akan bergantung pada laki-laki. Sebagai konsekuensi

atas keadaan demikian, seorang perempuan harus menyenangkan majikannya

sebagai timbal balik atas kepatuhan dan kepasrahannya pada majikannya.

(Apriani, 2013:5)

Berbicara tentang pekerjaan, tubuh, dan seks, feminis Marxis menolak

ideologi liberal yang mengklaim perempuan menjadi pelacur dan ibu pinjaman

karena mereka menyukai pekerjaan ini daripada pekerjaan lain. Tetapi, feminis

Marxis (dalam Tong, 2010:172) menganggap bahwa jika seorang perempuan

32
yang miskin, buta huruf, dan tidak mempunyai keahlian memilih untuk menjual

pelayanan seksual atau reproduksi, yang lebih mungkin adalah keputusan itu

bukan semata-mata keputusan yang bebas. Secara sederhana dapat diartikan

bahwa seorang perempuan menjual seksualitas atau reproduksinya karena

terpaksa. Berikut pandangan Marxis atas prostitusi atau pelacuran:

a. Pandangan ini menunjukkan bahwa pelacuran, seperti pekerjaan yang

membayar upah lainnya, adalah fenomena kelas. Situasi ekonomi dari

perempuan yang tidak bekerja, atau bekerja di bawah kapasitasnya, dapat

menjelaskan mengapa mereka seperti buruh, menjual dirinya kepada yang

lain.

b. Pandangan ini menunjukkan alienasi yang dialami pelacur. Sama seperti

buruh yang diasingkan dari pekerjaannya, dari dirinya, dan dari kemanusiaan

itu sendiri, begitu juga pelacur. Menjual diri baik sebagai istri maupun

sebagai pelacur, mengalienasi diri dari pekerjaannya karena pekerjaannya

dilakukan untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri.

Ketidaksetaraan kekayaan adalah penyebab pelacuran, sebagaimana hal

yang sama terjadi pada buruh. Menurut analisis tradisional Marxis, pelacur yang

tipikal adalah perempuan yang tidak bekerja atau bekerja di bawah

kapasitas/kemampuannya, dan patron/majikan yang tipikal adalah laki-laki kelas

atas atau kelas menengah. Selama masih ada laki-laki yang mempunyai cukup

uang untuk membeli pelayanan seksual perempuan, dan selama masih ada

perempuan yang membutuhkan uang dan tanpa keahlian yang dapat dipasarkan,

perempuan-perempuan ini sangat mungkin akan memilih menjual tubuhnya untuk

33
menghidupi diri dan dalam banyak kasus menghidupi anak-anaknya. Karena itu,

melawan kapitalisme adalah juga melawan pelacuran. Kebanyakan perempuan

tidak akan mempunyai akses terhadap pekerjaan yang bermakna dengan upah

yang layak, hingga sistem kapitalis yang menjadi dasar eksploitasi mereka

dihancurkan. (Tong, 2010:172-173)

Berdasarkan teori kemasyarakatan, Marxis menganalisis bahwa kapitalis

menciptakan jurang yang dalam (kelas) antara dua kelompok yaitu pekerja

(miskin dan tidak memiliki properti) dan majikan (hidup dalam kemewahan).

Ketika dua kelompok ini, yang punya dan yang tidak, menjadi sadar akan dirinya

sebagai kelas maka perjuangan kelas secara tidak terhindarkan akan timbul dan

pada akhirnya melucuti sistem yang menghasilkan kelas ini. Kelas tidak begitu

saja muncul. Kelas muncul secara perlahan-lahan dibentuk oleh orang-orang yang

berbagi kebutuhan dan keinginan yang sama. Dengan kata lain, kelas sosial adalah

golongan dalam masyarakat.

Menurut Lenin (dalam Fromm, 2004:111-112). Kelas sosial dianggap

sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh

posisi tertentu dalam proses produksi. Setiap golongan sosial yang mempunyai

kedudukan spesifik dalam proses produksi, tetapi dengan pengertian bahwa ciri

sebagai kelas baru terpenuhi secara sempurna apabila golongan itu juga

menyadari dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas.

Pentingnya kelas tidak dapat diabaikan. Ketika sebagai kelompok manusia

menyadari sepenuhnya kelompoknya sebagai kelas, kelompok ini mempunyai

kesempatan yang besar untuk mencapai tujuan fundamentalnya. Ada kekuatan

34
dalam jumlah. Kesadaran kelas menyebabkan orang-orang yang tereksploitasi

untuk percaya bahwa mereka bebas untuk bertindak dan berbicara sama seperti

orang-orang yang mengeksploitasinya (Tong, 2010:144).

Dengan memikirkan konsepsi Marxis mengenai kelas dan kesadaran kelas,

dapat dipahami konsep penting lain dalam teori feminisme Marxis, yaitu alienasi.

Menurut Robert Heilbroner (dalam Tong, 2010:146) alienasi adalah pengalaman

yang secara dalam mengakibatkan perasaan yang terpecah belah. Sesuatu yang

seharusnya berhubungan secara signifikan sebaliknya dipandang secara terpisah.

Seseorang teralienasi jika mengalami hidup sebagai sesuatu yang tidak bermakna,

menganggap dirinya sendiri tidak berarti, atau tidak mampu mempertahankan rasa

bermakna dan rasa penghargaan terhadap diri sendiri.

Sebagai akibat dari adanya pembagian kelas yang dapat menimbulkan

alienasi, eksistensi manusia akan kehilangan kesatuan dan keutuhannya dengan

empat cara, yaitu:

a. Teralienasi dari produk kerja, artinya manusia sebagai kelas pekerja bukan

hanya tidak mempunyai hak untuk mengutarakan pendapat dalam

menentukan komoditi yang ingin dan tidak ingin dihasilkan, tetapi hasil dari

pekerjaan mereka juga direbut. Pekerja tidak bisa menentukan kapan, dimana,

bagaimana, dan kepada siapa komoditi yang dihasilkan akan dijual.

b. Teralienasi dari diri mereka sendiri, artinya ketika pekerjaan dialami sebagai

sesuatu yang tidak menyenangkan dan harus dilalui sesegera mungkin, maka

pekerjaan itu dapat mematikan.

35
c. Teralienasi dari manusia lainnya, artinya para pekerja akan memandang satu

sama lain sebagai pesaing untuk memperoleh pekerjaan dan promosi.

d. Teralienasi dari alam, artinya jenis dan kondisi pekerjaan membuat pekerja

melihat alam sebagai hambatan terhadap kelangsungan hidup mereka.

Friedrich Engels dalam bukunya The Origin of the Family (dalam Tong,

2010:150) menekankan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil seorang

perempuan, ia kemudian hidup di dalam rumah tangga si perempuan, Engels

memaknai keadaan ini bukan sebagai tanda subordinasi perempuan, melainkan

sebagai tanda kekuatan ekonomi perempuan. Engels berspekulasi bahwa

masyarakat berpasangan mungkin bukan hanya matrilinear, tetapi juga matriakal,

masyarakat yang didalamnya perempuan mempunyai kekuatan ekonomi, sosial,

dan politik. Poin utamanya, tetap bahwa apapun status perempuan di masa lalu,

status itu diperoleh dari posisinya di dalam rumah tangga, pusat produksi primitif.

Sejalan dengan mulainya produksi di luar rumah yang melampaui produksi

di dalam rumah, pembagian kerja tradisional berdasarkan jenis kelamin antara

laki-laki dan perempuan mempunyai makna sosial baru. Dengan semakin

dianggap pentingnya pekerjaan dan produksi laki-laki, bukan saja nilai dan

pekerjaan serta produksi perempuan menurun, melainkan kedudukan atau status

sosial perempuan di dalam masyarakat juga menurun. Dalam tatanan keluarga

baru inilah suami berkuasa atas dasar kekuatan ekonominya.

Dari pandangan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan dapat

diperoleh melalui kepemilikan properti, sehingga perempuan tidak memiliki

kekuatan hukum karena perempuan tidak mempunyai akses yang kuat atas

36
properti bila dibandingkan dengan laki-laki. Keadaan ini menimbulkan suatu

situasi dimana kesatuan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai pasangan

saling melengkapi mengalami penurunan arti. Kondisi ini cukup dilematis karena

mengandung ide yang bertentangan dengan hukum alam atas persekutuan laki-laki

dan perempuan, karena pada dasarnya mereka saling membutuhkan.

5. Keluarga dan Rumah Tangga di Bawah Patriarki

Secara umum, patriarki merupakan sebuah sistem kekuasaan yang

menempatkan perempuan dibawah kekuasaan laki-laki, dalam artian bahwa

perempuan harus tunduk kepada laki-laki karena perempuan merupakan milik

laki-laki sebagai penguasa.

Bhasin (Sugihastuti, 2010:93) menjelaskan bahwa patriarki berarti

kekuasaan bapak. Istilah ini secara umum digunakan untuk menyebutkan

kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan laki-laki menguasai perempuan dan

untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui berbagai

macam cara. Patriaki membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka

hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai subordinatnya. Menurut

Bhasin, patriarki merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki

dalam mengontrol perempuan.

Dalam patriarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa kedudukan laki-

laki lebih tinggi daripada perempuan, sehingga laki-laki dapat mengontrol

perempuan dan perempuan adalah bagian dari milik laki-laki. Dengan demikian,

terciptalah konstruksi sosial yang tersusun sebagai kontrol atas perempuan dan

laki-laki berkuasa penuh dalam mengendalikannya. Sistem patriarki seakan-akan

37
sudah menjadi alamiah, karena cara pandang ini sudah berlaku secara umum

dalam masyarakat seperti kebudayaan yang secara turun-temurun diwariskan dari

generasi ke generasi. Karena itu pula, cara pandang terhadap perempuan yang

beranggapan bahwa kaum perempuan secara kodrati memang lebih lemah dari

kaum laki-laki, dan secara tidak langsung membentuk pemikiran perempuan

bahwa perempuan memang makhluk lemah dan membutuhkan perlindungan dan

akan terus bergantung pada laki-laki.

Menurut Engels (Budiman, 1981: 21), sistem patriarki dimulai ketika

manusia mulai mengenal kepemilikan pribadi, di mana sistem kepemilikan ini

juga menandai lahirnya sistem kelas. Dalam menjelaskan sistem patriarki, Engels

mencoba memulainya dari kelahiran sistem kelas. Dalam masyarakat yang masih

liar, kepemilikan harta benda secara pribadi masih belum ada. Lebih tepatnya lagi,

masih belum dimungkinkan karena taraf teknologi pada waktu itu belum

memungkinkan harta benda dikumpulkan. Hal ini disebabkan karena makanan

harus dicari setiap hari, sementara harta yang dimiliki masih sebatas alat-alat

untuk mencari makan, semisal panah dan busur.

Engels beranggapan bahwa pembagian kerja secara seksual adalah “wajar”

pada permulaan manusia. Dia menganggap gejala bahwa laki-laki harus pergi

berperang dan berburu, sedangkan perempuan harus tinggal di rumah

mempersiapkan makanan, melahirkan, dan mengasuh anak sebagai suatu gejala

yang terberi. Pandangan Engels hampir serupa dengan pandangan Talcot Parsons

yang menyatakan bahwa pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di mana

laki-laki melakukan tugas di publik seperti berburu sedangkan perempuan

38
melakukan tugas domestik merupakan pembagian tugas yang berlangsung secara

wajar untuk menghasilkan harmoni dalam masyarakat. Pembagian kerja secara

seksual memperjelas fungsi suami dan istri dalam keluarga inti, dan ini

memberikan rasa tenang bagi keduanya (Budiman, 1981: 18-22)

Engels beragumentasi bahwa sejak awal perempuan melakukan pekerjaan

yang tampak sebagai jenis pekerjaan Ada dalam dirinya sendiri, seperti memasak,

membersihkan, dan mengasuh anak, sementara laki-laki melakukan pekerjaan

yang tampak sebagai bagian dari kategori Ada untuk dirinya sendiri, seperti

berburu dan berkelahi, yang sebagian besar dari pekerjaan itu membutuhkan alat

untuk menaklukkan dunia (Tong, 2010: 265).

Pembagian kerja dinilai mulai tidak wajar ketika dalam suatu titik sejarah

perkembangan manusia mulai mengenal dunia pertanian dan peternakan. Pada

titik ini, keahlian untuk memelihara ternak berhasil dikembangkan. Tanah pun

menjadi sesuatu yang penting ketika teknik untuk bercocok tanam ditemukan.

Karena laki-laki adalah orang yang diserahi tugas untuk mengurus alat-alat

produksi, maka laki-laki mempunyai kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan

secara berlebihan. Dari sini pula kemudian timbul keinginan laki-laki untuk

menguasai perempuan. Sejak saat itu perempuan tidak lagi memiliki fungsinya

sendiri, tetapi bekerja sesuai keinginan laki-laki. Dari sinilah akhirnya muncul

sistem patriarki, seperti yang disampaikan Engels. Sejak waktu itu perempuan

diubah menjadi makhluk pengabdi saja, perempuan menjadi budak dari

keserakahan laki-laki, dan menjadi mesin pembuat anak-anak belaka. (Budiman,

1981: 23)

39
Pembagian kerja seksual yang tadinya bersifat hubungan timbal balik dan

saling menguntungkan akhirnya berjalan timpang. Pembagian kerja ini memberi

kesempatan bagi laki-laki untuk bisa memanfaatkan dan menjadikannya dasar

untuk mengembangkan kekuasaannya sedangkan perempuan mulai menempati

fungsinya dalam ranah domestik. Sementara itu laki-laki menguasai ranah publik.

Akibatnya, perempuan mulai mengalami kesulitan untuk mengakses kehidupan

bermasyarakat, sehingga memiliki ketergantungan yang begitu besar terhadap

laki-laki.

Sebelum muncul kapitalisme industri, keluarga atau rumah tangga adalah

tempat produksi. Orangtua, anak-anaknya, dan beberapa anggota keluarga tertentu

bekerja bersama-sama untuk mereproduksi diri, baik di dalam satu generasi

maupun antar generasi. Pekerjaan yang dilakukan perempuan seperti memasak,

mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak bersifat sentral bagi kegiatan

ekonomi dari keluarga besar sebagaimana pekerjaan yang dilakukan laki-laki.

tetapi, dengan industrialisasi dan transfer produksi barang-barang dari rumah

tangga pribadi ke dalam tempat kerja publik, perempuan yang kebanyakan tidak

memasuki tempat kerja publik sejak awal dianggap nonproduktif, sebaliknya

pekerjaan laki-laki yang menghasilkan upah dianggap produktif.

Memandang pekerjaan perempuan sebagai nonproduktif jika dibandingkan

degan pekerjaan laki-laki menurut teori Engels adalah suatu kegagalan memahami

apa yang teramasuk ke dalam istilah produksi. Meurut konsepsi materialistik,

faktor penentu dalam sejarah, pada akhirnya adalah produksi dan reproduksi yang

paling dekat. Hal ini merupakan sifat yang mempunyai dua sisi: si satu sisi,

40
produksi alat untuk eksistensi, makanan, pakaian, dan rumah serta alat-alat yang

penting untuk produksinya; di sisi lain, produksi manusia sendiri yaitu

kelangsungan hidup spesies. Itulah tatanan sosial yang menentukan kedua jenis

produksi manusia dalam suatu masa historis tertentu.

Pekerjaan perempuan yang merupakan beban utama perempuan, baik di

negara sosialis maupun kapitalis dianggap nonproduktif. Kapitalisme

membutuhkan perempuan untuk tetap bekerja tanpa dibayar di dalam rumah

tangganya, bahkan ketika kapitalisme juga membutuhkan perempuan untuk

bekerja dengan upah rendah di tempat kerja. Marx dan Engels memprediksi

bahwa di bawah kapitalisme, seluruh kelas pekerja termasuk perempuan dan anak-

anak di atas usia yang sangat rendah, harus menjadi bagian dari sumber daya

manusia publik untuk secara bersama-sama menghasilkan upah bagi keluarga.

Dengan tidak ada lagi yang tersisa di dalam rumah tangga untuk mereproduksi

kekuatan kerja laki-laki kelas pekerja, laki-laki dan juga perempuan serta

kebanyakan anak-anak akan dieksploitasi secara individual sebagai pekerja

dengan mengharapkan upah yang harus mereproduksi kebutuhan individunya

sendiri untuk konsumsi. Revolusi proletar akan menjadi mudah untuk dipicu,

karena hampir semua kelas pekerja merasakan akibat langsung dari eksploitasi ini.

Meskipun Marx dan Engels secara tepat telah memprediksi bahwa

perempuan dan anak-anak kelas pekerja akan mejadi dari pasar tenaga kerja,

keduanya gagal menyadari bahwa sebagai korban dari kesadaran semu, orang-

orang kelas pekerja akan bereaksi terhadap peningkatan eksploitasi di dalam

kapitalisme, bukan dengan melakukan revolusi, melainkan dengan dengan

41
perlahan-lahan mengembalikan anak-anak dan perempuan dari sumber daya

manusia dalam upaya meniru kehidupan gaya borjuis. Hukum revormis liberal

melarang anak- anak di tempat kerja dan membatasi jumlah jam kerja perempuan,

terutama perempuan hamil. Pada saat yang sama, serikat pekerja berusaha

meningkatkan upah laki-laki, sehingga mereka dapat membawa “upah keluarga”

sendirian. Meskipun perempuan yang belum menikah masih diterima di tempat

kerja, mereka diminta untuk melakukan pekerjaan yang setara dengan pekerjaan

rumah seperti menjahit, menenun, menyetrika, mengasuh, mengajar dan

membersihkan. Perempuan yang sudah menikah sesekali diterima di tempat kerja,

tetapi lebih sering perempuan yang sudah menikah tinggal dirumah bersama anak-

anaknya, sementara suami mereka pergi bekerja.

Feminisme Marxis mengajukan tiga konsep pemikiran tentang

pembebasan perempuan.

1) Sosialisasi Pekerjaan Rumah Tangga

Yang paling menggusarkan feminisme Marxis mengenai gambaran dari

fungsi dan sifat pekerjaan perempuan di bawah kapitalisme adalah peremehan

pekerjaan perempuan. perempuan hanya dianggap sebagai konsumen semata,

seolah-olah pekerjaan laki-laki adalah untuk menghasilkan upah, sementara

perempuan adalah menghabiskannya untuk “produk yang tepat untuk industri

kapitalis.” Tetapi menurut Margaret Beston (Tong, 2010:157), perempuan pada

awalnya adalah produsen, dan hanya merupakan konsumen sementara. Bahkan,

menurut Beston, perempuan adalah “kelas manusia” yang bertanggung jawab atas

42
produksi nilai guna sederhana dalam kegiatan yang diasosiasikan dengan rumah

dan keluarga.

Hanya karena perempuan tidak menjual hasil produk dari pekerjaannya,

tidak berarti bahwa pekerjaannya lebih mudah daripada pekerjaan yang dihasilkan

dalam produk yang dipasarkan. Beston menekankan kecuali jika seorang

perempuan dibebaskan dari tugas domestiknya yang berat, termasuk pengasuhan

anak, masuknya ia ke pasar tenaga kerja akan merupakan langlah menjauh, bukan

menuju pembebasan.

“Setiap waktu, pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab


perempuan. Ketika mereka bekerja di luar rumah, dengan cara apa pun
mereka harus mengatur untuk dapat mengerjakan baik pekerjaan di dalam
rumah maupun di luar rumah(atau mereka harus mengawasi pengganti
bagi pekejaan rumah tangganya). Perempuan, terutama perempuan yang
sudah menikah dan mempunyai anak, yang bekerja di luar rumah, pada
dasarnya melakukan dua pekerjaan. Perisipasi mereka di pasar tenaga kerja
hanya dimungkinkan jika mereka terus memenuhi kewajiban utama
mereka di rumah. Akses setara terhadap pekerjaan di luar rumah,
walaupun merupakan satu dari prasyarat bagi pembebasan perempuan,
tidak akan dengan sendirinya memadai untuk memberikan kesetaraan bagi
perempuan, selama pekerjaan di rumah tetap merupakan masalah produksi
pribadi, dan semata-mata merupakan kewajiban perempuan, perempuan
akan terus memikul beban ganda.” (Tong, 2010:158)
Menurut Beston, memberikan peluang bagi seorang perempuan untuk

memasuki industri publik tanpa secara bersamaan mensosialisasikan pekerjaan

memasak, membersihkan dan mengasuh anak, berarti menjadikan kondisi

teropresinya lebih buruk. Kunci bagi pembebasan perempuan adalah sosialisasi

pekerjaan rumah tangga.

Beston mengakui bahwa sosialisasi pekerjaan rumah tangga dapat

menggirng perempuan untuk mengerjakan pekerjaan yang sama di luar rumah

esok, sebagaimana yang dilakukannya di rumah kini. Pentingnya sosialisasi

43
pekerjaan rumah tangga bukanlah bahwa hal itu akan membebaskan perempuan

dari pekerjaan rumah tangga, melainkan karena hal itu memungkinkan sotiap

orang untuk menyadari betapa sulitnya pekerjaan rumah tangga, masyarakat tidak

akan lagi mempunyai dasar bagi opresi terhadap perempuan sebagai orang-orang

yang bersifat parasit dan bernilai inferior. Singkatnya, sosialisasi pemeliharaan

rumah tangga pribadi serta pengasuhan anak adalah satu-satunya faktor yang akan

mengakhiri opresi terhadap perempuan sebagai kelompok, dan akan memberikan

perempuan penghargaan yang berhak diterimanya.

2) Kampanye Upah Untuk Pekerjaan Rumah Tangga

Beberapa argumentasi mendukung pekerjaan rumah tangga yang dibayar.

Maria Dalla Costa serta Selma James menyampaikan klaim Marxis yang

ortodoks. Menutut mereka, pekerjan rumah tangga perempuan adalah produktif.

Tidak seorang pun perempuan harus memasuki sumber daya produktif, karena

perempuan sudah berada di dalamnya bahkan jika tidak ada seorang pun yang

menyadari kenyataan itu.Pekerjaan perempuan adalah kondisi yang penting bagi

semua jeis pekerjaan lain yang kemudian diekstraksi mejadi nilai surplus. Dengan

menyediakan bagi pekerja masa kini bukan saja makanan dan pakaian, melainkan

juga kenyamanan emosional dan domestik, maka perempuan menjaga roda mesin

kapitalis terus bekerja.

Dalla Costa dan James mengajukan agar negara (pemerintah dan majikan),

dan bukan laki-laki secara individu (suami, ayah, kekasih), membayar upah

kepada ibu rumah tangga karena kapital pada akhirnya mengambil keuntungan

dari eksploitasi perempuan. Karena diharuskan untuk membayar kepada

44
perempuan atas pekerjaan rumah tangga, negara tidak akan mampu

mengakumulasi keuntungan yang besar, sementara ibu rumah tangga sendiri

bekerja keras untuk upah yang sangat kecil.

Pendukung upah atas pekerjaan rumah tangga yakin bahwa upah tidak

perlu berbentuk uang. Upah atas pekerjaan rumah tangga dapat diberikan dalam

bentuk pembayaran bagi kesejahteraan perempuan ataspekerjaan yang telah

dilakukan di dalam rumah, atau di dalam bentuk pengasuhan anak bagi ibu yang

beban kerjanya berlebihan.

3) Comparable Worth (nilai setara).

Gerakan nilai setara muncul karena adanya kegelisahan perempuan atas

kenyataan bahwa perempuan seringkali hanya menerima du pertiga upah dari

yang diterima laki-laki dalam pekerjaan yang setara. Gerakan ini merupakan

kesempatan untuk memastikan upah yang lebih baik bagi perempuan dan juga

memaksa masyarakat untuk mempertimbangkan ulang mengapa masyarakat

membayar sebagian orang dengan upah yang tinggi dan sebagian yang lain

dengan upah yang sangat kecil.

Pendukung nilai setara, baik Marxis maupun non-Marxis, mendesak

majikan untuk mengevaluasi lagi pekerjanya secara objektif dengan memfokuskan

pada poin nilai untuk empat komponen yang ditemukan pada kebanyakan

pekerjaan. (1) pengetahuan dan keahlian, atau jumlah informasi atau keahlian

yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan, (2) tuntutan mental, atau sejauh

mana pekerjaan membutuhkan pengambilan keputusan, (3) pertanggungjawaban,

45
atau jumlah pengawasan yang dituntut dari pekerjaan itu, (4) kondisi kerja, atau

seberapa aman pekerjaan itu terhadap fisik pekerja.

Feminisme Marxis mendukung comparable worth atas dasar dua alasan

yaitu akses terhadap kemiskinan dan akses terhadap nilai kerja. Hampir setengah

dari keluarga miskin dikepalai oleh seorang perempuan yang tidak menikah. Jika

perempuan yang menerima upah dibayar sesuai dengan nilai pekerjaannya, maka

perempuan ini mungkin akan dapat menghidupi diri dan keluarganya secara layak

tanpa dipaksa dengan berbagai cara untuk menggantungkan hidupnya kepada laki-

laki sebagai sumber pendapatan tambahan.

6. Kerangka Pikir

Tujuan dari bagian ini adalah untuk menggambarkan kerangka berpikir

yang digunakan peneliti untuk mengkaji dan memahami permasalahan yang

diteliti. Karya sastra terbagi atas tiga, yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama. Salah

satu jenis dari prosa fiksi adalah cerpen. Adapun judul cerpen yang dijadikan

sebagai objek dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen SAIA karya karya

Djenar Maesa Ayu. Dalam menganalisis kumpulan cerpen SAIA karya Djenar

Maesa Ayu, permasalahan yang diteliti adalah kedudukan perempuan dan

eksistensinya dalam menghadapi realitas sosial. Untuk menganalisis permasalahan

tersebut, peneliti menggunakan pendekatan feminisme Marxis-Sosialis,

sebagaimana halnya pendekatan feminisme lain yang menginginkan adanya

kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Dengan berdasar pada pandangan

ini, peneliti akan menganalisis kumpulan cerpen SAIA karya Djena Maesa Ayu

46
sehingga ditemukan hasil tentang bagaimana kedudukan perempuan dalam cerpen

dan eksistensinya dalam menghadapi realitas sosial.

Secara sederhana kerangka penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan

berikut ini :

Bagan Kerangka Pikir

Karya Sastra

Puisi Drama
Prosa Fiksi

Kumpulan Cerpen
SAIA karya Djenar
Maesa Ayu.

Kedudukan Dampak kedudukan


perempuan perempuan

Pendekatan Feminisme
Marxis

Analisis

Temuan / Hasil

47
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal yang

berkaitan dengan cara kerja dalam mendapatkan data sampai menarik kesimpulan.

Di dalamnya menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan cara kerja, cara

memperoleh data, sampai dengan analisis data.

A. Fokus Penelitian

Menurut Moleong (2013:386), fokus penelitian adalah sumber pokok

dalam masalah penelitian. Fokus peneliti yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah eksistensi perempuan menghadapi realitas sosial dalam kumpulan cerpen

SAIA karya Djenar Maesa Ayu dengan pendekatan feminisme Marxis.

B. Desain Penelitian

Bentuk penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif.

Deskriptif kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati. Dalam hal ini, peneliti mendeskripsikan data-data berupa kata, frasa, dan

kalimat yang terdapat dalam kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu.

Permasalahan-permasalahannya akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan

feminisme Marxis sebagai pisau bedah dalam penelitian ini.

48
C. Definisi Istilah

1. Feminisme adalah aliran pemikiran dan gerakan sosial yang menginginkan

adanya penghargaan terhadap kaum feminin (perempuan) dan kesetaraan

gender.

2. Feminisme Marxis adalah aliran pemikiran yang memandang konstruksi

sosial dan ekonomi sebagai sumber ketidakadilan terhadap perempuan,

termasuk di dalamnya stereotip-stereotip yang dilekatkan.

3. Kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan dan hubungan

pertukaran.

4. Patriarki adalah sistem sosial dan budaya yang memberikan kedudukan

kepada laki-laki lebih dominan dari pada kaum perempuan.

5. Kedudukan atau status sosial merupakan posisi seseorang secara umum dalam

masyarakat dalam hubungannya dengan orang lain.

6. Eksistensi adalah segala sesuatu yang dialami dan menekankan bahwa

sesuatu itu ada.

7. Eksploitasi adalah pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu

berlebihan terhadap sesuatu tanpa mempertimbangkan rasa kepatuhan,

keadilan serta kesejahteraan.

8. Alienasi menurut Robert Heilbroner adalah pengalaman yang secara dalam

mengakibatkan perasaan yang terfragmentasi atau terpecah belah. Sesuatu

yang seharusnya berhubungan secara signifikan dipandang secara terpisah.

49
D. Data dan Sumber Data

1. Data

Data adalah segala keterangan atau informasi mengenai segala hal yang

berkaitan dengan penelitian. Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

berupa kutipan-kutipan teks baik yang bersifat naratif maupun dialog yang berisi

deskripsi yang menggambarkan kedudukan perempuan dan eksistensi perempuan

menghadapi realitas sosialdalam kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah Kumpulan Cerpen SAIA karya

Djenar Maesa Ayu (2014) cetakan pertama dengan tebal 139 halaman yang

diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan dalam

mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian. Oleh karena itu, untuk

menjaring semua data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian digunakan

teknik pengumpulan. Adapun dalam proses pengumpulan data dapat dijelaskan

data sebagai berikut.

1. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan dan

menyimpan data atau informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan

penelitian ini.

50
2. Teknik Baca

Teknik baca dilakukan dengan membaca literatur dan sumber data utama

penelitian, yaitu kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu secara seksama.

3. Teknik Catat

Mencatat pernyataan-pernyataan atau ungkapan-ungkapan yang berkaitan

dengan masalah penelitian dalam kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu

(baik tertuang dalam kata, kalimat ataupun paragraf) dalam kertas yang telah

disiapkan.

F. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah deskriptif

kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui prosedur sebagai

berikut:

1. Mengidentifikasi data sesuai dengan rumusan masalah, yaitu kedudukan

perempuan dan dampak adanya pembagian kelas sosial terhadap eksistensi

perempuan dalam kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu dengan

pendekatan feminisme Marxis.

2. Mengklasifikasi data yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dan

dampak adanya pembagian kelas sosial terhadap eksistensi perempuan dalam

kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu dengan pendekatan

feminisme Marxis.

3. Menginterpretasikan data mengacu pada penilaian data dan pemaknaan sesuai

dengan data yang diperoleh berdasarkan rumusan masalah.

51
4. Mendeskripsikan hasil interpretasi yaitu data yang telah diinterpretasi

selanjutnya dideskripsikan dalam bentuk paparan bahasa sebagai hasil

analisis. Pada tahap ini akan dipaparkan korpus data yang sudah

diklasifikasikan sehingga mampu mendapatkan kesimpulan yang bersifat

umum.

52
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, peneliti menguraikan hasil analisis dan pembahasan terhadap

kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu dengan menggunakan kajian

feminisme Marxis dalam dua bagian. Pada bagian pertama, penyajian analisis data

yang mengungkapkan kedudukan perempuan dan dampak dari kedudukan

perempuan terhadap eksistensi perempuan dalam kumpulan cerpen SAIA karya

Djenar Maesa Ayu. Pada bagian kedua adalah pembahasan hasil penelitian yang

menguraikan hasil analisis data.

A. Penyajian Hasil Analisis Data

Berdasarkan ulasan pada latar belakang dan teori, penelitian ini mengkaji

kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu dengan menggunakan kajian

feminisme Marxis.

1. Kedudukan Perempuan Dalam Kumpulan Cerpen SAIA Karya Djenar

Maesa Ayu

Telah disebutkan dalam tinjauan pustaka dan kerangka pikir bahwa

kedudukan perempuan menurut pandangan feminisme Marxis dilihat dari

perspektif ekonomi. Dalam sebuah rumah tangga, laki-laki tidak dapat

menjalankan fungsinya sebagai pencari sumber daya ekonomi keluarga tanpa

adanya dukungan dari perempuan yang bertugas mengurus pekerjaan domestik.

Keberadaan perempuan sebagai sosok dibelakang suami atau laki-laki menjadi

penting, mengingat laki-laki dimungkinkan tidak akan bersedia mengurus dua hal

sekaligus yakni urusan domestik dan publik. Dalam hubungannya dengan laki-

53
laki, perempuan lebih banyak berperan sebagai sosok yang berada di belakang

laki-laki. Pembagian kerja berdasarkan gender menempatkan perempuan dalam

ranah domestik, sedangkan laki-laki dalam ranah publik. Secara ekonomi, laki-

laki akan menguasai wilayah produksi dan menghasilkan materi, sedangkan

perempuan yang menggunakan hampir seluruh waktunya untuk bekerja di rumah

tidak mendapat penghasilan. Hal ini menyebabkan perempuan sebagai ibu rumah

tangga harus bergantung kepada suami. Adanya ketergantungan ekonomi

menyebabkan kedudukan perempuan menjadi lebih rendah dari laki-laki.

Ketergantungan inilah yang kemudian memungkinkan perempuan tertindas.

Fenomena ini dapat kita lihat dalam kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu dalam

kutipan berikut:

1) Kedudukan Perempuan dalam Keluarga

Cerpen Dan Lalu menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga yang

tidak harmonis. Tokoh Lalu, sebagai tokoh utama dalam cerpen selalu mendapat

perlakuan tidak menyenangkan dari ibunya. Ibu Lalu terpaksa harus menikah

diusianya yang masih muda demi menutupi utang orangtuanya. Itu pun sebagai

istri ketiga. Ibu Lalu tak kuasa menolak walau hatinya meradang. Hal ini

membuat Ibu Lalu dendam terhadap orang tuanya, terlebih kepada suaminya yang

jarang pulang ke rumah karena istri keempatnya sedang hamil dan uang yang

diberikan pun semakin ala kadarnya. Kebencian ibu Lalu ini kemudian ia

lampiaskan kepada anaknya, Lalu. Ibu Lalu sering menghukum Lalu atas

kesalahan kecil yang ia anggap besar. Ia bahkan tidak segan- segan melakukan

kekerasan fisik terhadap Lalu. Lalu yang beranjak dewasa tanpa kasih sayang

54
ibunya pun akhirnya tenggelam dalam pergaulan bebas. Kehidupan Lalu menjadi

tak terarah. Pada akhirnya, kematian menjadi pilihan akhir atas kemerdekaannya.

Dalam cerpen ini terdapat dua tokoh perempuan, yaitu Lalu dan Ibu Lalu.

Kedudukan Ibu Lalu dalam rumah tangga adalah sebagai seorang istri. Istri adalah

salah seorang pelaku pernikahan yang berjenis kelamin perempuan. Seorang

perempuan biasanya menikah dengan sorang laki-laki dalam suatu upacara

pernikahan sebelum diresmikan statusnya sebagai seorang istri dan pasangannya

sebagai seorang suami. (Wikipedia). Berikut kutipan-kutipan dalam kumpulan

cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu yang menunjukkan kedudukan perempuan

sebagai istri.

“Ibu Lalu dipersunting pada usia muda. Itu pun sebagai istri ketiga. Kisah
klasik tentang kesulitan ekonomi yang membuat kedua orangtuanya dililit
utang. Tak punya pilihan, direlakannyalah sang anak semata wayang. Ibu
Lalu tak berdaya menentang. Walau jauh dalam lubuk hatinya meradang”.
(SAIA, 9)

Merujuk pada pandangan feminisme Marxis yang memandang kapitalisme

sebagai suatu hubungan pertukaran dan hubungan kekuasaan, dalam hal ini

perempuan sebagai seorang anak dalam keluarganya dipertukarkan dengan

tagihan utang orangtuanya. Kedudukan Ibu Lalu sebagai seorang anak dalam

keluarganya berubah menjadi seorang istri dengan adanya hubungan pertukaran

tersebut. Dalam feminisme Marxis, kedudukan perempuan sebagai istri

merupakan posisi yang subordinat atau bawahan. Hal ini sebabkan karena secara

ekonomi, perempuan dalam menjalankan perannya sebagai istri harus bergantung

kepada suami. Berikut kutipannya dalam cerpen:

“Dan lebih benci lagi setiap kali ibu Lalu tidak hanya mencaci-maki, tapi
juga melayangkan tamparan hanya karena masalah-masalah yang ia

55
anggap besar. Mendapat nilai buruk dalam pelajaran Aljabar. Menyisihkan
uang jajan agar bisa secara diam-diam membeli gitar. Berteman dengan
anak-anak yang dianggap berasal dari keluarga tak terpelajar.
Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah selain suami ibu Lalu
jarang pulang, uang yang diberikan pada mereka pun semakin ala
kadarnya.” (SAIA, 11)

Pada kutipan ini, ibu Lalu digambarkan sebagai seorang istri yang tidak

memiliki penghasilan. Kutipan ini menunjukkan kedudukan perempuan yang

berada di bawah kuasa laki-laki. Sebagai istri yang hanya bekerja di rumah

mengurus anak dan semua pekerjaan rumah, perempuan tidak mendapatkan

penghasilan kecuali pemberian suaminya. Hal ini yang menyebabkan perempuan

bergantung pada laki-laki.

”Dan benci setiap kali ibu Lalu mencaci maki Lalu hanya untuk masalah-
masalah kecil. Lupa di mana menaruh pencil. Lupa kapan harus
menggunakan sendok besar atau kecil. Kebanyakan ngemil.
Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah suami ibu Lalu sudah
jarang sekali pulang dikarenakan istri keempatnya sedang hamil.”(SAIA,
11)

Kutipan ini juga menggambarkan kekuasaan laki-laki dalam keluarga.

Laki-laki diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu, sedangkan perempuan tidak

diperbolehan. Dalam cerpen ini, ibu Lalu hanya bisa menerima dengan terpaksa

tindakan suaminya karena ia tidak bisa memperkarakannya secara hukum tanpa

ada akta pernikahan. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut:

“Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah selain suami ibu
Lalu sudah jarang pulang dan memberikan uang, ibu Lalu juga tak bisa
memperkarakannya secara hukum tanpa adanya akta pernikahan. (SAIA,
12)

Data ini menunjukkan bahwa pernikahan tanpa dasar hukum memperbesar

peluang perempuan mengalami ketidakadilan. Hal ini terjadi karena adanya

kapitalisme yang menciptakan sistem kekuasaan dan kepemilikan pribadi. Dalam

56
lingkup rumah tangga, laki-laki (suami) adalah kepala keluarga yang harus

mencari nafkah. Sedangkan kedudukan perempuan adalah sebagai istri yang harus

berbakti kepada suami. Adanya pembagian kerja yang menempatkan laki-laki

dalam ranah publik dan perempuan menjalankan fungsinya dalam ranah domestik

mengakibatkan perempuan mengalami kesulitan dalam mengakses kehidupan

sosial.

Kedudukan perempuan sebagai istri juga terdapat dalam cerpen yang

berjudul Dewi Sialan. Dalam cerpen ini digambarkan tentang adanya pembagian

kerja berdasarkan gender. Berikut kutipannya dalam cerpen:

“Awalnya saya juga tak paham. Saya mencoba menyibukkan diri jika
suami pulang larut malam. Memperhatikan gerak-gerik ikan dikolam.
Konon hal ini bisa membuat hati yang gundah berubah menjadi tenteram.
Mencoba resep masakan kesukaan suami, cumi lada garam. Belajar
menyulam. Menonton acara televisi yang nyaris seragam. Minum obat
tidur 0,25 miligram”. (SAIA, 118)

Dalam kutipan ini menggambarkan adanya pembagian kerja berdasarkan

gender. Perempuan diidentikkan dengan pekerjaan domestik seperti memasak,

menjahit dan mengurus rumah sedangkan pekerjaan laki-laki di luar rumah.

Berikut kutipannya dalam cerpen:

“Saya juga tetap tak paham. Saat suami mendapat dinas luar kota hingga
bermalam-malam. Saya mencoba menyibukkan diri dengan kedua anak
kami yang kebutuhannya beragam. Yang laki-laki minta dibelikan
mainan kapal selam. Yang perempuan minta dibelikan iPhone agar bisa
main Instagram. Jika keduanya sudah mendapatka apa yang mereka
inginkan, biasanya kebersamaan tak lagi bisa saya enyam. Di balik pintu
kamar, mereka tenggelam. Jika diganggu, mereka geram. Saya kembali
memperhatikan gerak-gerik ikan di kolam. Mencoba resep masakan
suami, sup tom yam. Meneruskan menyulam. Menonton acara televisi
atau berita-berita yang membuat geram. Minum obat tidur 0,5 miligram.”

57
Kutipan ini juga menggambarkan tentang peran istri dalam menjalankan

tugasnya dalam rumah tangga yang diidentikan dengan perempuan yaitu menjahit,

memasak, mengurus rumah dan merawat anak, sedangkan pekerjaan suami adalah

di luar rumah untuk mencari nafkah.

2) Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat

Munculnya emansipasi wanita kemudian memberikan peluang untuk

perempuan bekerja dalam ranah publik. Perempuan diberikan kesempatan untuk

bekerja sebagaimana laki-laki bekerja untuk mendapatkan upah. Tokoh

perempuan dalam cerpen Nol-Dream Land (SAIA, 17) menceritakan tentang

kehidupan perempuan sebagai kelas pekerja, dalam arti perempuan dapat bekerja

dalam ranah publik. Berikut kutipan dalam cerpen:

“Nayla terpogoh-pogoh sepanjang koridor. Dipicunya kembali semangat


yang sempat kendor . ia sadari jika pertemuan kali ini sedetikpun tidak
boleh molor. Demikian yang tempo hari berkali-kali diingatkan bosnya
karena klien mereka adalah pesohor”. (SAIA, 17)
Data ini menunjukkan bahwa perempuan juga bisa bekerja di luar rumah

untuk mendapatkan upah sebagaimana yang dilakukan laki-laki. Namun, ketika

perempuan memutuskan untuk terjun ke dalam ranah publik, maka beban

pekerjaannya akan bertambah (beban ganda). Dalam pandangan kapitalis, seorang

pekerja akan terus bekerja untuk mendapatkan upah, sedangkan majikan (pemilik

modal) akan terus memaksa pekerjanya untuk bekerja lebih keras untuk

memperoleh laba sebanyak mungkin. Kondisi ini menyebabkan perempuan

terekploitasi, dalam arti pekerjaan perempuan tidak pernah selesai. Berikut

kutipan dalam cerpen.

58
“Suara detak jarum jam di dalam kepala Nayla mengentak apa yang
sebelumnya terjadi. Terlambat bangun karena menunggu suami yang tak
kunjung pulang meski waktu sudah menginjak dini hari. Efek kopi yang
membuatnya beberapa kali harus mondar-mandir kamar mandi. Mesin
mobil yang sempat ngadat karena kurang aki. Bersabar menunggu
bantuan satpam kompleks untuk mendorong mobil karena sedang makan
pagi. Alhasil ia terpaksa menghabiskan waktu perjalanan dari rumahnya
yang terletak di wilayah Bekasi. Hanya 45 menit sampai Jakarta dengan
perhitungan laju lambat 30 km : 40 km/jam = 45 menit yang tertulis di
brosur pengembangan perumahan itu ternyata hanya benar-benar terjadi
jika ia berangkat lebih awal”. (SAIA, 18)

Data ini menggambarkan beban ganda yang diterima perempuan. Sebagai

seorang istri, Nayla harus mengerjakan segala pekerjaan rumah dan melayani

suaminya, kemudian ia juga harus segera berangkat ke kantor karena

kedudukannya sebagai pekerjalah yang akan menghasilkan upah.

Selama seseorang melakukan suatu pekerjaan tertentu di dalam

masyarakat, maka ia harus tunduk dan patuh terhadap aturan yang telah

ditetapkan. Seorang pekerja yang tidak bersedia untuk menerima perintah tidak

akan bekerja terlalu sering. Dengan demikian, sifat-sifat seseorang dibentuk oleh

lingkungan pekerjaannya. Kenyataan ini yang membatasi kebebasan personal

seseorang. Berikut kutipan dalam cerpen:

“Ponsel Nayla berdering.


Tik-tok, tik-tok. “Gila ya, di mana lo, Nay?” tik-tok, tik-tok. “Gue udah
sampe dari tadi! Lift penuh! Satu lift mati. Gue lagi naik tangga darurat
nih!” tik-tok, tik-tok. “Lo udah telat dua jam tau gak? Kan udah dikasi tau
jauh hari kalo hari ini harus lebih awal! “ Tik-tok, tik-tok. “Aduh,
ceritanya panjang! Gue ceritain klo udah nyampe!” Tik-tok, tik-tok.
“Justru gue mau kasi tau kalo si Bos marah besar. Kita udah meeting dari
tadi!” Tik-tok, tik-tok. “Maksudnya, klien udah datang?” Tik-tok, tik-tok.
“Belum, tapi kan banyak yang kita perlu omongin dulu sebelum dia
datang. Ini proyek besar!” Tik-tok, tik-tok. “Iya, belum datang tapi kan?
Gue jalan ke sana nih!” Tik-tok, tik-tok. “Iya, tapi Bos udah keburu
marah!” (SAIA, 39)

59
“Tik-tok, tik-tok. “Halo, Nit. Udah denger? Sinyal di lantai sepuluh gak
bagus ternyata.” Tik-tok, tik-tok. “Iya, lo masih di tangga?” Tik-tok, tik-
tok. “Iya, di lantai sebelas nih. Nunggu lift lebih lama. Penuh melulu.
“Tik-tok, tik-tok. “Mending lo balik aja deh Nay.” Tik-tok, tik-tok. “Hah?
Maksud lo?” Tik-tok, tik-tok. “ Ceritanya panjang. Yang pasti Bos marah
besar karena lo ga datang tepat waktu.” Tik-tok, tik-tok. “Nit, mana
pernah sih sebelumnya gue telat? Hari ini gue bener-bener sial aja.
Makanya gue baru bisa jelasin klo udah ketemu.” Tik-tok, tik-tok. “Nay,
please, pulang aja deh.” Tik-tok, tik-tok. “Nit, gue udah bela-belain naik
tangga darurat. Masa gue harus balik lagi sih?” Tik-tok, tik-tok. “Jujur
deh, Nay. Pasti lo ada masalah keluarga lagi kan? Tik-tok, tik-tok. “Ya
ampun, Nit. Ga ada apa-apa, sumpah! Suami gue lagi ga da di rumah
kok!” Tik-tok, tik-tok. “Tapi si Bos ga percaya Nay. Katanya mending
urus dulu deh urusan keluarga lo, daripada ngerugiin perusahaan.” (SAIA,
40)

Kutipan cerpen ini menunjukkan bahwa meskipun perempuan berusaha

untuk mengambil peran dalam masyarakat untuk bekerja pada lingkup publik

sebagaimana laki-laki bekerja, perempuan tidak bisa lepas dari kedudukannya

sebagai ibu rumah tangga yang harus menjalankan perannya sebagai istri untuk

mengurus segala urusan rumah tangga. Hal ini menyebabkan eksistensinya dalam

ranah publik menurun.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan kebebasan laki-laki. Kedudukan

laki-laki sebagai kepala keluarga yang bekerja di luar rumah untuk mencari

nafkah memberikan kebebasan untuk menjelajah dunia luar. Dalam arti, laki-laki

memiliki akses yang lebih luas dalam ranah publik. Hal ini digambarkan dalam

cerpen Dewi Sialan. Berikut kutipan dalam cerpen:

“Saya mulai sedikit paham. Ketika suami tidak mengatakan apa pun tapi
tidak pulang hingga bermalam-malam. Ketika menyibukkan diri dengan
kedua anak kaki yang malah berbuntut geram. Ketika gerak-gerik ikan di
kolam tak lagi membuat hati tenteram. Ketika tak juga berhasil
menyulam. Tak juga berhasil mendapat kesempatan agar suami
mencicipi masakan yang dilatih secara diam-diam. Dan, ketika teman
yang biasanya memberikan obat tidur ta lagi tingggal diam.”

60
“Katanya, ia ketemu suami saya di kelab malam.
Saya paham.
Katanya, ia melihat mobil suami saya di motel temaram.
Saya diam.
Kata suami saya ia akan bermalam.
Saya paham tapi tak lagi tinggal diam.
Saya melakukan apa yang belum pernah saya lakukan.
Apa kalian paham?
Kata suami saya, saya keterlaluan. Saya tak paham.” (SAIA, 119)

Kutipan ini menjelaskan perbedaan kedudukan perempuan dalam rumah

tangga. Laki-laki yang memegang kendali atas ekonomi keluarga, dalam arti

suami yang memperoleh penghasilan memiliki akses yang lebih luas dalam

kehidupan sosial masyarakat, sedangkan perempuan yang menghabiskan seluruh

waktunya bekerja di dalam rumah hanya bisa menunggu dan menerima perlakuan

suaminya meski dianggap tidak adil. Ketika perempuan mencoba untuk

mempertanyakan tentang haknya, maka perempuan harus siap dengan

konsekuensi yang akan dihadapinya. Hal ini juga di jelaskan dalam cerpen Dewi

Sialan, berikut kutipannya:

“Saya mulai keberatan saat suami ingin bermalam. Saya mulai berani
mengatakan kalau teman saya pernah bertemu dengannya di kelab
malam. Saya mulai berani mempermasalahkan benar tidaknya pengakuan
seorang teman yang pernah melihat mobilnya parkir di sebuah hotel
temaram. Saya mulai memeriksa pesan-pesan di dalam ponselnya secara
diam-diam. Saya pun mulai tahu, jika suami saya berkencan dengan
seorang Dewi Malam.
Tinggalkan atau ceraikan!
Suami saya tak mau paham.” (SAIA, 119)

Dalam kutipan ini dapat kita lihat bahwa ketika perempuan mencoba untuk

memperjuangkan haknya sebagai istri yang sah dimata hukum, sementara laki-laki

tetap pada kekuasaannya maka perceraian menjadi jalan akhir bagi rumah

tangganya. Dalam hal ini, perempuan akan menjadi pihak yang dirugikan. Dari

61
segi ekonomi, perempuan yang sebelumnya bergantung kepada suami karena

adanya pembagian kerja berdasarkan gender, perempuan setelah perceraian harus

memulai untuk menghidupi dirinya sendiri. Dari segi sosial, dampak terhadap

perempuan dalam status perceraian adalah pandangan negatif masyarakat atas

status janda yang diembannya.

Tokoh perempuan sebagai kelas pekerja dalam kumpulan cerpen SAIA

karya Djenar Maesa Ayu juga terdapat pada cerpen yang berjudul Mata Telanjang

(SAIA, 121). Feminisme Marxis menganggap bahwa jika seorang perempuan yang

miskin, buta huruf, dan tidak memiliki keahlian memilih untuk menjual tubuhnya,

keputusan itu bukan semata-mata keputusan yang bebas. Secara sederhana dapat

diartikan bahwa seorang perempuan menjual seksualitasnya karena terpaksa.

Berikut kutipan dalam cerpen:

“Tak rela sebenarnya tubuh ini digelar. Mereka seperti para rahib suci
yang dengan gembira mempersembahkan seorang perawan sebagi korban
di atas altar. Setiap kegembiraan selalu memerlukan korban! Batinku
dengan jantung berdebar. Di mata mereka, tubuhku barangkali serupa
mawar yang dalam kegelapan perlahan mekar. Kemolekannya membuat
mata mereka nanar. Atau mungkin bagi ereka aku tak lebih ular
penggoda Adam untuk menikmati suasana yang tak boleh dilanggar”.
(SAIA, 122)

Kutipan pernyataan ini menjelaskan bahwa pekerjaan sebagai penari bukan

semata-mata karena ia menyukainya. Ia melakukan pekerjaan tersebut karena

terpaksa. Sebagaimana penjelasan Marxis bahwa jika perempuan membutuhkan

uang dan tidak memiliki keahlian untuk dipasarkan, maka ia akan menjual

tubuhnya.

“Kegelapan telah mengajariku untuk selalu memaafkan orang-orang di


sekitarku. Tak terkecuali diriku. Sejak kanak-kanak aku memilih
sembunyi dalam kegelapan. Ketika ibu diseret ayah ke kamar dan

62
dipukuli atau dibenturkan kepalanya ke meja, aku hanya terisak dalam
kegelapan. Ketika suamiku pulang mabuk, aku pura-pura memejamkan
memasuki kegelapan. Ketika seorang laki-laki meletakkan segepok uang
sembari menyeringai, aku belajar sabar dalam kegelapan. Maka, aku
memaafkan diriku, ketika tubuhku dipertontonkan. Aku memaafkan
diriku, yang rela dicumbu demi mndapatka bayaran. Ak u memaafkan
diriku, atas tubuh yang kulacurkan demi menanggung hidup orang orang
yang ku cintai yang mengggantungkan sepenuhnya harapan”. (SAIA,
127).

Ketidaksetaraan kekayaanlah yang menyebabkan pelacuran. Dalam

pandangan Marxis, selama masih ada laki-laki yang mempunyai cukup uang

untuk membeli pelayanan seksual perempuan, dan selama masih ada perempuan

yang membutuhkan uang tanpa ada keahlian untuk dipasarkan, perempuan-

perempuan tersebut akan memilih untuk menjual tubuhnya untuk menghidupi diri,

dalam banyak kasus utuk menghidupi keluarganya.

2. Dampak Kedudukan Perempuan Terhadap Eksistensi Perempuan

Dalam Kumpulan Cerpen SAIA Karya Djenar Maesa Ayu.

Kapitalisme sebagai sistem hubungan kekuasaan dan pertukaran dalam

pandangan feminisme Marxis dianggap sebagai sumber penindasan terhadap

perempuan. Kapitalisme inilah yang menyebabkan kedudukan perempuan

menjadi lebih rendah dari pada laki-laki. Dalam teori ekonomi marxis yang

mengenal sistem buruh dan majikan, feminisme marxis memandang laki-laki

sebagai pemilik modal karena laki-laki yang lebih memiliki akses dalam ranah

produksi. Laki-laki bekerja di luar rumah dan memperoleh upah, sedangkan

perempuan ditempatkan dalam ranah domestik yang menghabiskan waktunya

untuk mengerjakan pekerjaan rumah tidak memperoleh upah.

63
Konsep Marxis atas dampak kapitalisme sebagai penyebab subordinasi

kedudukan perempuan adalah alienasi. Menurut Robert Heilbroner (Tong,

2010:146), alienasi adalah pengalaman yang secara dalam mengakibatkan

perasaan yang terpecah belah. Sesuatu yang seharusnya berhubungan dipandang

secara terpisah. Seseorang teralienasi jika mengalami hidup sebagai sesuatu yang

tidak bermakna, menganggap dirinya sendiri tidak berarti, atau tidak mampu

mempertahankan rasa bermakna terhadap dirinya sendiri. Feminisme Marxis

membagi alienasi sebagai penyebab eksistensi manusia kehilangan kesatuan dan

keutuhannya dalam empat cara, yaitu teralienasi dari produk kerjanya, teralienasi

dari dirinya sendiri, teralienasi dari manusia lainnya, dan teralienasi dari alam.

Berikut kutipan-kutipan dalam cerpen sebagai dampak alienasi yang

menghilangkan eksistensi perempuan:

1) Teralienasi dari produk kerjanya.

Dengan cara yang sama sebagaimana buruh teralienasi dari produk

kerjanya, maka perempuan juga teralienasi dari produk yang dihasilkannya yaitu

tubuhnya. Seorang perempuan dapat bersikeras bahwa ia melakukan perawatan

dan berhias diri untuk menyenangkan dirinya, tapi pada kenyataannya adalah ia

membentuk dan menghias dirinya untuk kenikmatan laki-laki. Jika buruh

bersaing mendapat uang terbanyak, maka perempuan bersaing untuk

mendapatkan pandangan dari laki-laki. Berikut kutipan dalam cerpen Mata

Telanjang :

“Aku perlahan naik ke panggung dengan gerak kaki yang tenang tapi
mengundang. Daya pikat seorang penari telanjang dimulai dari
kemunculannya. Begitu aku mampu membuat puluhan mata itu terpesona
pada liukanku, selanjutnya tinggal memainkan rasa penasaran mereka.

64
Menggoda imajinasi mereka. Saat itulah mereka menjadi sekawanan
serigala dengan mata tak sabar ingin menyerang. Setiap liukan menjadi
pemandangan yang tak akan pernah dibiarkan lewat begitu saja oleh mata
jalang.” (SAIA, 122)

Kutipan ini menunjukkan eksistensi perempuan atas diri pribadi. Ia mampu

menarik perhatian laki-laki dengan keindahan tubuhnya. Eksistensinya itu akan

memberikan penghargaan atas kerja kerasnya. Ia akan mendapat upah atas tubuh

yang ia pertontonkan. Kondisi ini juga yang kemudian mengalienasi perempuan

dari tubuhnya, karena apa yang dilakukannya bukan karena keinginannya. Tapi

semata-mata karena ia terpaksa untuk menjalani pekerjaannya demi mendapatkan

uang. Berikut kutipan dalam cerpen:

“Semua perempuan yang kukenal di klub, punya impian yang nyaris


sama. Hidup tenang bersama seorang suami yang menyayangi mereka.
Merawat dan membesarkan anak lalu diakui dan dihargai. Tanpa
sembunyi-sembunyi. Tapi aku hanya perlu laki-laki yang mencintai dan
laki-laki yang kucintai. Cinta yang tak kudapat dari suamiku sendiri.
Suami pemabuk yang kini mendekam di penjara dan tak bisa lagi
menafkahi. Hal yang jauh hari kuikhlaskan demi hidup putri tunggal
kami. Aku tak butuh status dan gengsi. Maka apa yang diungkapkannya
tadi membuat kekecewaanku tak terperi. Bertemu lagi pun aku tak
sudi.”(SAIA, 129)

Kutipan ini menunjukkan bahwa eksistensi perempuan berada dalam

kendali ekonomi. Kebutuhan ekonomi menyebabkan perempuan harus rela

melakukan apapun demi mendapatkan uang. Sebagaimana Marxis memandang

kapitalisme sebagai hubungan pertukaran dan hubungan kekuasaan, maka dalam

kasus ini perempuan menukar tubuhnya dengan uang dari orang-orang yang

berkuasa.

“ Ia tak mau lagi bertemu denganku. Ia menghindar setiap melihatku.


Aku menangkap kebencian dalam sorot matanya. Aku mencoba
mengabaikan. Apalagi ketika politisi muda itu memintaku membereskan
sesuatu yang bisa mengganggu karier politiknya. Padaku ia bercerita:

65
lawan – lawan politiknya sudah bisa mengendus hubungannya dengan
Nay.” Ini terlalu beresiko,”katanya. Ia memintaku untuk mengoordinasi
gerakan razia ke tempat-tempat maksiat. Ia sudah menghubungi beberapa
organisasi yang siap bergerak, asal bayarannya cocok.” (SAIA, 131)

“Sepasang mataku tertutup. Bisa kubayangkan matanya menatapku


tajam, saat popor senapan menggempur kepalaku sebagai saksi yang tak
boleh dibiarkan hidup.” .”(SAIA, 131)

Kutipan ini menunjukkan bagaimana eksistensi perempuan terputus karena

adanya sistem kapitalisme. Perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks

kemudian dianggap sebagai pengganggu dalam karir penguasa sehingga ia harus

disingkirkan sebelum menjadi masalah dalam kariernya. Kondisi ini menyebabkan

eksistensi perempuan terputus sebagai bentuk diskriminasi atas pekerjaan

perempuan, karena perempuan sebagai pelacur atau pekerja seks dilekatkan

dengan stereotipe negatif.

2) Teralienasi dari diri sendiri.

Keterasingan diri perempuan juga terdapat dalam cerpen Dan Lalu. Cerpen

ini menceritakan tentang keluarga yang jauh dari kesan harmonis. Berikut kutipan

dalam cerpen:

“Tak ada yang lebih kelam daripada dendam seorang anak kepada
orangtuanya. Tapi tak ada yang lebih kejam daripada dendam seorang
anak yang dilampiaskan kepada keturunannya.
Dan tak ada yang lebih seram dari pada dendam seorang anak kepada
orangtuanya yang dilampiaskan kepada keturunannya, yang
menyebabkan sang korban menghukum dirinya.(SAIA,14)

Kutipan cerpen ini menunjukkan kekecewaan seorang anak terhadap

orangtuanya. Peran orangtua yang seharusnya mendidik dan merawat anak tidak

berjalan dengan baik. Karena adanya kapitalisme sebagai sebuah sistem

kekuasaan dan pertukaran, Ibu Lalu harus menikah untuk menutupi utang

66
orangtuanya. Pernikahan ibu Lalu sebagai bentuk pertukaran atas kebutuhan

ekonomi membuatnya dendam terhadap orangtuanya yang kemudian ia

lampiaskan kepada anaknya. Hal inilah yang menyebabkan sang anak kehilangan

eksistensinya. Berikut kutipan dalam cerpen:

“Kita dilahirkan ini bukan untuk merdeka! Kalau iya, dari awal kita bisa
nentuin mau dilahirkan atau enggak. Nah, ini, milih dilahirin siapa aja
kita gak mampu. Mati dengan cara apa nantinya pun kita gak pernah tau,
masih juga ngomongin bahagia. Merdeka. Taik!”(SAIA, 14)

Kutipan cerpen ini menunjukkan kekecewaan dalam diri seorang anak

terhadap orangtuanya. Kondisi ini menyebabkan keterasingan pada dirinya

sendiri. Sang anak menjadi kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri akan

keberadaannya. Sebagai akhir dari eksistensi sang anak adalah dengan kematian

dirinya sendiri. Berikut kutipan dalam cerpen:

“Eh, sadar gak kamu berapa sering waktu lagi enak-enak tidur kita harus
bangun kencing? Kita semua terperangkap di dalam tubuh brengsek ini.
Kalo mau merdeka, ya mesti mati!
Dan terkesiap. Seketika ia merasa siap. Lalu memang seharusnya mati.
Jika tidak, tak akan pernah ada kata “Dan” dalam kamus hidupnya nanti.
Kalimat itu membuat dan ngeri. Serta –merta dibenturkannya kepala Lalu
ke arah tembok berkali-kali. Warna merah merona pada tembok yang
semula pasi. Dan pun segera menyadari Lalu mati, saat darahnya
mengalir di wajah Dan sendiri.
Dan lalu, tak ada lagi kemudian. Yang tinggal hanya pertanyaan. Apakah
kematian adalah kekalahan atau kemenangan. Memenjarakan atau
memerdekakan.”(SAIA,15)

3) Teralienasi dari orang lain

Dalam cerpen yang berjudul Nol-Dream Land, eksistensi perempuan juga

mengalami kehilangan keutuhan dan kesatuannya. Cerpen ini menceritakan

tentang kehidupan seorang perempuan yang berjuang dalam perkerjaannya

sebagai karyawan disebuah perusahaan. Hal ini menunjukkan eksistensinya dalam

67
ranah publik, karena ia bisa bekerja sebagaimana laki-laki bekerja untuk

mendapatkan upah. Eksistensinya ini yang kemudian menyebabkan perempuan

teralienasi dari manusia lainnya, dalam artian para pekerja akan memandang satu

sama lain sebagai pesaing. Berikut kutipan dalam cerpen:

“Pintu elevator di depan Nayla terbuka lebar. Orang-orang merangsek


masuk ke dalam elevator tanpa menunggu orang yang ada di dalam
terlebih dulu keluar. Akhirnya terjadilah aksi dorong-dorongan, persis
seperti petarung sumo yang saling menubruk tanpa gentar. Sungguh, tata
rias, dasi, maupun setelan yang mereka kenakan sama sekali tidak
menunjukan orang-orang terpelajar. Yang terpenting berhasil masuk,
jangan terlempar keluar. Jangan seperti Nayla yang gagal masuk dan
pada akhirnya hanya bisa kembali memperhatikan nyala lampu pada
setiap lantai dengan pandangan nanar.”(SAIA, 23)

Kutipan ini menunjukkan adanya persaingan sebagai pekerja. Nayla harus

berlomba dengan karyawan lainnya menggunakan elevator meski harus saling

dorong-dorongan agar bisa tepat waktu. Hal ini disebabkan karena para pekerja

harus beradaptasi untuk memenuhi tuntutan pekerjaan tertentu. Dengan kata lain,

pekerja dibentuk oleh lingkungan pekerjaan. Para pekerja harus tunduk pada

peraturan di lingkungan pekerjaannya. Jika tidak, maka seorang pekerja akan

mendapat sangsi. Berikut kutipan dalam cerpen.

“Nayla melangkah masuk ke dalam elevator kosong yang membawanya


naik. Melihat kenyataan jika elevator yang tak begitu dibutuhkannya itu
sekarang kosong, membuat Nayla terkikik. Padahal ia baru saja dipecat
dengan tidak hormat, dan seharusnya merasa panik. Tapi yang dirasakan
Nayla justru terbalik. Keputusannya kali ini tak akan ia maupun
seseorang pun tertarik.”(SAIA, 43)

Dari kutipan ini dapat kita lihat bahwa eksistensi Nayla sebagai seorang

pekerja terputus karena adanya pemecatan. Hal ini kemudian membuat Nayla

teralienasi dari dirinya sendiri. Nayla kehilangan kepercayaan terhadap dirinya

68
sendiri. Nayla memandang hidupnya sebagai sesuatu yang tidak bermakna.

Berikut kutipan dalam cerpen.

“Angka yang menyala di dinding elevator mengingatkan Nayla akan


tahun hidupnya. Usia yang terbilang muda. Tapi waktu menjadi harga
terlampau mahal untuk sebuah sia-sia. Melakukan pekerjaan yang tak
disukainya. Menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Dipoligami
setelah dinyatakan mandul ketika pernikahannya menginjak tahun kedua.
Sebenarnya Nayla ingin bercerai saja. Tapi orang tuanya merasa
perceraian adalah aib yang akan mencoreng nama baik keluarga
mereka.”(SAIA,46)

Kutipan ini menjelaskan bagaimana Nayla menjalani kehidupannya sehari-

hari. Kondisi ini semakin membuat Nayla menganggap dirinya tidak berarti dan

tidak mampu mempertahanan rasa bermakna terhadap dirinya. Akibatnya, Nayla

menyerahkan hidupnya sebagai harga yang harus dibayar atas eksistensinya.

Berikut kutipan dalam cerpen.

“Pintu elevator di depan Nayla terbuka lebar. Tik-tok, tik-tok. Kiri-kanan.


Kiri-kanan. Tik-tok, tik-tok. Terus jalan ke depan. Tik-tok, tik-tok. Jangan
pelan-pelan.
Tubuh Nayla berdebam tepat disamping mobil kliennya yang tersohor,
yang jadwal pertemuannya sudah lebih dari dua jam molor.”(SAIA, 47)

B. Pembahasan

Pada bab sebelumnya, penulis telah menyajikan data dan menganalisis

serta mendeskripsikan tentang kedudukan perempuan dalam kumpulan cerpen

SAIA karya Djenar Maesa ayu serta dampak kapitalisme terhadap eksistensi

perempuan dengan menggunakan teori feminisme Marxis. Feminisme Marxis

memandang ketertindasan perempuan sebagai akibat adanya sistem kapitalisme.

Kapitalisme yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah suatu sistem

hubungan pertukaran atau hubungan kekuasaan. Oleh karena itu, hasil dan temuan

yang akan diuraikan sebagai berikut:

69
1. Kedudukan perempuan dalam kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa

Ayu.

Kedudukan atau status sosial merupakan posisi seseorang secara umum

dalam masyarakat dalam hubungannya dengan orang lain. Kedudukan perempuan

menurut pandangan feminisme Marxis dilihat dari perspektif ekonomi. Pembagian

kerja berdasarkan gender menempatkan perempuan dalam ranah domestik,

sedangkan laki-laki dalam ranah publik. Secara ekonomi, laki-laki akan

menguasai wilayah produksi dan menghasilkan materi, sedangkan perempuan

yang menggunakan hampir seluruh waktunya untuk bekerja di rumah tidak

mendapat penghasilan. Hal ini menyebabkan perempuan sebagai istri harus

bergantung kepada suami. Adanya ketergantungan ekonomi menyebabkan

kedudukan perempuan menjadi lebih rendah dari laki-laki. Ketergantungan inilah

yang kemudian memungkinkan perempuan tertindas.

Dari analisis cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu, hasil yang ditemukan

adalah kedudukan perempuan dalam keluarga sebagai istri merupakan posisi yang

subordinat, dalam arti bahwa perempuan dalam menjalankan perannya sebagai

istri harus tunduk dan patuh pada suami. Perempuan menghabiskan seluruh

waktunya bekerja di dalam rumah tidak mendapat penghasilan kecuali pemberian

dari suaminya. Sedangkan kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga yang

memiliki penghasilan memiliki kebebasan untuk mengakses kehidupan publik

termasuk dunia malam.

70
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini telah dilakukan oleh Eva

Kartika Ayu Ningrum (2016) dengan judul “Ketidakadilan Gender dalam

kumpulan Cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu: Tinjauan Sastra Feminis dan

Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA”, dengan fokus analisis pada

bentuk ketidakadilan gender dalam cerpen, sedangkan dalam penelitian ini,

peneliti berfokus pada kedudukan perempuan dan dampak adanya kapitalisme

dengan pendekatan feminisme Marxis.

Dalam cerpen Dan Lalu, kedudukan perempuan sebagai istri berada dalam

subordinasi laki-laki(suami). Ibu Lalu yang harus menikah muda karena

kebutuhan ekonomi keluarganya harus bertahan dengan perlakuan suaminya yang

lebih mementingkan istri keempatnya yang sedang hamil dan hanya memberikan

uang ala kadarnya.

Hal ini juga digambarkan dalam cerpen Dewi Sialan. Sebagai seorang istri,

tokoh Saya dalam cerpen Dewi Sialan menunjukkan adanya pembagian kerja

berdasarkan gender. Seorang istri hanya bekerja pada wilayah domestik atau

dalam lingkup rumah tangga seperti, memasak, menjahit, membersihkan rumah

dan merawat anak.

2. Dampak kedudukan perempuan terhadap eksistensi perempuan adalah

alienasi.

Alienasi adalah pengalaman yang secara dalam mengakibatkan perasaan

yang terpecah belah. Sesuatu yang seharusnya berhubungan dipandang secara

terpisah. Seseorang teralienasi jika mengalami hidup sebagai sesuatu yang tidak

71
bermakna, menganggap dirinya sendiri tidak berarti, atau tidak mampu

mempertahankan rasa bermakna terhadap dirinya sendiri.

Setelah melakukan analisis, hasil yang ditemukan adalah eksistensi

perempuan kehilangan kesatuan dan keutuhannya dalam artian eksistensi

perempuan dalam cerpen mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena adanya

diskriminasi terhadap perempuan. Kekuasaan kapitalisme yang mengeksploitasi

perempuan menyebabkan subordinasi kedudukan perempuan dan menjadikan

perempuan harus tunduk kepada laki-laki.

Tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa Ayu

ini kehilangan eksistensinya. Faktor utama penyebab hilangnya eksistensi

perempuan dalam cerpen adalah kapitalisme. Dalam keluarga, perempuan sebagai

istri ataupun sebagai anak cenderung mendapat perlakuan tidak adil dari laki-laki.

Ketika perempuan mencoba mengambil peran dalam lingkup publik pun tidak

menutup kemungkinan ia akan mengalami ketidakadilan. Hal ini disebabkan

karena perempuan tidak bisa terlepas dari tugas domestiknya, sehingga ketika

perempuan bekerja di luar rumah maka pekerjaannya akan bertambah. Kondisi ini

termasuk dalam salah satu bentuk ketidakadilan gender, Double Bunker (beban

ganda) yaitu salah satu jenis kelamin mendapat pekerjaan lebih banyak dari jenis

kelamin lainnya.

Kondisi ini digambarkan dalam cerpen Nol-Dream Land. Nayla adalah

seorang perempuan yang bekerja disebuah perusahaan. Hal ini menunjukkan

eksistensinya sebagai wanita karir. Tapi disisi lain, Nayla juga adalah seorang istri

yang mempunyai kewajiban untuk mengurus segala keperluan rumah tangganya.

72
Situasi ini menunjukkan bahwa ketika perempuan memutuskan untuk bekerja

dalam ranah publik, maka pekerjaannya akan bertambah. Dalam sistem

kapitalisme yang mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya, maka para

pekerjanya akan dipaksa untuk bekerja lebih keras.

Ekploitasi kapitalisme ini akan berdampak pada perempuan, karena beban

ganda perempuan yang harus bekerja dalam ranah domestik dan ranah publik. Hal

ini dialami oleh Nayla. Sebagai seorang istri yang harus menunggu suaminya,

Nayla akhirnya terlambat ke kantor. Nayla pada akhirnya di pecat karena

dianggap hanya akan merugikan perusahaan dan lebih baik mengutamakan urusan

keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme memberikan kesan bahwa

perempuan lebih pantas bekerja dalam ranah domestik yang identik dengan sifat

perempuan seperti memasak, menjahit, merawat anak dan pekerjaan rumah

lainnya.

73
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan data dari pembahasan pada uraian bab IV, penulis menarik

kesimpulan yaitu:

1. Kedudukan perempuan dalam kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa

Ayu dapat dibagi menjadi dua yaitu perempuan sebagai ibu rumah tangga dan

perempuan sebagai kelas pekerja. Kedudukan perempuan tersebut dalam

pandangan feminisme Marxis merupakan posisi yang subordinat dalam artian

bahwa perempuan berada dibawah kuasa laki-laki.

2. Dampak kedudukan perempuan terhadap eksistensi perempuan adalah

menimbulkan keterasingan dalam diri perempuan atau bisa juga disebut

alienasi. Alienasi adalah pengalaman yang secara dalam mengakibatkan

perasaan yang terpecah belah. Sesuatu yang seharusnya berhubungan

dipandang secara terpisah. Dalam kumpulan cerpen SAIA karya Djenar Maesa

Ayu, alienasi yang dialami oleh tokoh perempuan terbagi tiga yaitu,

teralienasi dari produk kerja, teralienasi dari diri sendiri, dan teralienasi dari

orang lain.

B. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya, untuk lebih mengkaji dan mengembangkan kajian

feminisme, yang tidak hanya menekankan pada eksistensi perempuan tetapi

menggunakan teori yang lain sebagai pisau bedah.

74
2. Bagi pembaca, hendaknya dapat memahami makna yang terkandung dalam

karya sastra yang dibacanya, khususnya pada kumpulan cerpen karena

didalamnya terdapat pesan-pesan moral dan nilai-nilai budaya yang menjadi

daya tarik tersendiri.

75
DAFTAR PUSTAKA

Adji, Muhamad. 2011. Perempuan dalam Kuasa Patriarki. (on line)


(http://www.pustaka.unpad.ac.id/pdf diakses 8 September 2015)

Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi karya Sastra. Bandung: Sinar Baru


Algensido.

Apriani, Fajar 2013. Berbagi Pandangan Mengenai Gender dan Feminis. (On
Line). (http://www.portal.FISIP-unmul.ac.id/pdf diakses 9 September
2015)

Ayu, Djemar Maesa. 2014. SAIA. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Azis, Asmaeny. 2007. Feminisme Profetik. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta : Jalasutra.

Budiman, Arif. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan


Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.

Esten, Mursal. 1989. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung:

Angkasa.

Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Gamble, Sarah. 2010. Feminisme dan Postfeminisme.Yogyakarta : Jalasutra.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2013.


http://www.Komnasham.go.id/instrumen-ham-nasional

Moleong, J Lexi. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.
Noor, Rochani M. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, Solusi Pendidikan
Moral yang Efektif. Yogyakarta :Ar Ruz Media.

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada


University Press..

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta :
Kencana.

76
Sugihastuti. 2010. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Tong, Rosemarie Putnam. 2010. Feminis Thought : Pengantar Paling


Konprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta :
Jalasutra.

Wiyatmi. 2013. Kritik Sastra Feminis : Teori dan Aplikasinya dalam Sastra
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarya : Kanwa


Publisher.

77
RIWAYAT HIDUP

Nur Lisa, lahir di Selayar pada tanggal 25 November

1992, buah hati dari pasangan Ayahanda Arung dan Ibunda

Rosmiati sebagai anak kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri

Lambongan pada tahun 1998 dan tamat pada tahun 2004.

Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 5

Bontomatene dan tamat pada tahun 2007. Pada tahun yang sama pula penulis

melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Bontomatene, Kabupaten Kabupaten

Kepulauan Selayar dengan memilih jurusan IPA dan tamat pada tahun 2010.

Pada tahun 2010, melalui jalur SNMPTN, penulis diterima sebagai

mahasiswa di Universitas Negeri Makassar pada Jurusan Bahasa dan Sastra

Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra dengan program studi Bahasa dan Sastra

Indonesia.

78
MAKNA PUISI WIJI THUKUL DALAM FILM “ISTIRAHATLAH

KATA-KATA” DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIKA FERDINAND DE

SAUSSURE

SKRIPSI

Oleh:
Adi Ari Hamzah
NIM: 211015036

Pembimbing::
Dr. Iswahyudi, M.Ag

NIP. 197903072003121003

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB & DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO
2019

1
ABSTRAK

Adi Ari Hamzah, 2019, Makna Puisi Wiji Thukul Dalam Film “Istirahatlah
KataKata” Dengan Pendekatan Semiotika Ferdinand De Saussure, Skripsi.
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ushuludin Adan dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, Pembimbing Dr. Iswahyudi, M. Ag.

Kata Kunci : Film Wiji Thukul, Makna Puisi, Semiotika.


Puisi merupakan ungkapan yang ditulis menggunakan bahasa yang indah.
Selain itu, puisi dapat digunakan sebagai media berkomunikasi, dengan
menyelipkan pesan yang mengandung nilai kehidupan manusia. Tujuan puisi
adalah membawa manusia melihat keindahan pesan dari puisi.
Penelitian terhadap puisi Istirahatlah kata-kata dan Tanpa Judul karya
Wji Thukul dalam Film Istirahatlah Kata-Kata bertujuan untuk mengetahui
secara mendalam kondisi sosial pada masa pemerintahan orde baru dimana
banyak terjadi penindasan dan penculikan aktivis kala itu. Pengungkapan tersebut
dilakukan dengan cara mengidentifikasi tanda-tanda berupa teks dalam puisi yang
telah tersaji, kemudian tanda-tanda tersebut dimaknai dengan kondisi sosial.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan pedekatan
semiotika Ferdinand De Saussure, yaitu dengan memilah yang dimaksud dengan
signifier (Penanda, aspek material berupa tulisan, gambar maupun suara yang
bermakana), signified (Pertanda; “gambaran mental” pemikiran atau konsep aspek
mental dari bahasa), dan signification pada kalimat didalam puisi.
Hasil penelitian ini berupa pesan intelektual dengan nada perlawanan atas
ketidakadilan di masa orde baru. sehingga berdampak pada kesulitan Negara
Indonesia untuk maju.

2
3
4
5
6
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i


HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii
PENGESAHAN .................................................................................................... iii
NOTA PEMBIMBING ......................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................................v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... vii
MOTTO ............................................................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ........................................................................................... xi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian......................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 8
E. Telaah Pustaka ............................................................................................ 8
F. Metode Penelitian ……………………........ ............................................. 11
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ........................................................ 11
2. Lokasi Penelitian ................................................................................ 11
3. Sumber dan Jenis Penelitian ............................................................... 11
4. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 12
5. Teknik Pengolahan Data ..................................................................... 13
6. Teknik Analisis Data........................................................................... 13
7. Pengecekan Keabsahan Data .............................................................. 14
G. Sistematika Pembahasan ........................................................................... 15
BAB II FILM PUISI DAN SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE
A. Puisi ........................................................................................................... 17
1. Pengertian Puisi .................................................................................. 17

7
2. Struktur Puisi ...................................................................................... 21
a. Tema ............................................................................................... 21
b. Perasaan (feeling) ........................................................................... 22
c. Nada dan Suasana ........................................................................... 22
d. Amanat (pesan) .............................................................................. 23
B. FILM ......................................................................................................... 24
1. Pengertian Film ................................................................................... 24
2. Jenis-jenis Film ................................................................................... 26
a. Film Dokumenter............................................................................ 26
b. Film Fiksi ....................................................................................... 28
1) Cerita dan Plot ........................................................................... 29
2) Hubungan Naratif dengan Ruang .............................................. 30
3) Hubungan Naratif dengan Waktu.............................................. 30
4) Batasan Informasi Cerita ........................................................... 31
C. TEORI SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE ............................ 31
1. Pengertian dan Macam-macam Semiotika.......................................... 33
2. Posisi Semiotika (Semiotikan dan Semiologi) .................................... 33
3. Dasar-dasar Semiologi …………………. .......................................... 35
a. Signifient dan Signified ………….. ............................................... 35
b. Langue dan Parole …………… ..................................................... 37
c. Singkronik dan Diakronik …… ..................................................... 38
d. Sintagmatik dan Paradigmatik ....................................................... 38
e. Elemen-elemen De Saussure .......................................................... 39
BAB III PUISIS WIJI TUKUL DALAM FILM ISTIRAHATLAH KATA-KATA
A. Biografi Wiji Thukul ................................................................................. 43
B. Film Istirahatlah Kata-Kata ....................................................................... 46
1. Alur Cerita Film Wiji Thukul ............................................................... 47
2. Pemeran Film Istirahatlah Kata-Kata .................................................... 49
a. Gunawan Maryanto........................................................................... 49
b. Marissa Anita .................................................................................... 49
c. Melanie Subono ................................................................................ 50

8
3. Penghargaan Film Istirahatlah Kata-kata .............................................. 50
a. Penghargaan Film Internasional ....................................................... 50
b. Film Non Bioskop Terbaik ............................................................... 50
c. Sutradara Terbaik .............................................................................. 51
d. Pemeran Utama Laki-laki Terbaik ................................................... 51
C. Puisi Wiji Thukul .......................................................................................52
1. Puisi Istirahatlah Kata-kata ....................................................................52
2. Puisi Tanpa Judul ...................................................................................54
BAB IV MAKNA PUISI WIJI THUKUL DALAM FILM ISTIRAHATLAH
KATA-KATA DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIKA FERDINAND DE
SAUSURE
A. Struktur Puisi Wiji Thukul Dalam Film Istirahatlah Kata-kata ................ 55
1. Puisi Istirahatlah Kata-kata ................................................................. 57
a. Tema Puisi Istirahatlah Kata-kata .................................................. 57
b. Perasaan (feeling) Puisi Istirahatlah Kata-kata............................... 57
c. Nada dan Suasana Puisi Istirahatlah Kata-kata .............................. 57
d. Amanat (Pesan) Puisi Istirahatlah Kata-kata .................................. 58
1) Bait Pertama Perenungan Terhadap Ketidakadilan Sosial ..... 58
2) Bait Kedua Evaluasi dan Strategi Gerakan ............................. 59
3) Bait Ketiga Bergerak dan Menghimpun Kekuatan ................. 60
2. Puisi Tanpa Judul ................................................................................ 61
a. Tema Puisi Tanpa Judul ................................................................. 61
b. Perasaan (feeling) Puisi Tanpa Judul ............................................. 61
c. Nada dan Suasana Puisi Tanpa Judul ............................................. 61
d. Amanat (Pesan) Puisi Tanpa Judul ................................................ 62
1) Bait Pertama Ketidakadilan Sosial ......................................... 63
2) Bait Kedua Penindasan Terhadap Rakyat ............................... 63
3) Bait Ketiga Intimidasi Terhadap Masyarakat ......................... 64
B. Analisis Makna Puisi Wiji Thukul ............................................................ 65
1. Perlawanan Atas Tindakan Orde Baru ................................................ 65
2. Ketidakadilan Sosial ........................................................................... 67

9
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN ......................................................................................... 71
B. SARAN ..................................................................................................... 73
C. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 74
D. BIOGRAFI PENULIS .............................................................................. 76

10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan

perasaan penyair secara imajinatif dan di susun dengan mengonsentrasikan semua

kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur batin dan struktur fisiknya.

Hal tersebut yang menjadi titik dasar perbedaan antara puisi dengan prosa. Dalam

menikmati atau membaca sebuah puisi tidak jarang ditemukan analisis yang lebih

rumit dibanding analisis pada sebuah prosa.

Di dalam sebuah puisi salah satu unsur yang penting adalah diksi. Diksi

merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan dalam penciptaan puisi.

Seorang penyair ketika menulis puisi tentu akan sangat memperhatikan diksiyang

akan dia gunakan karena dari diksi itulah makna dan maksud puisi akan dibingkai

dan pada akhirnya akan dinikmati oleh pembaca. Dalam memilih diksi dengan

tepat, penyair atau penulis puisi harus mengerti dan menguasai dengan baik

sebuah bahasa atau kata-kata dalam puisi yang disusun sedemikian rupa dapat

menyalurkan pikiran dan perasaan penulisnya dengan baik dan tepat.1

Makna yang dilukiskan dalam sebuah puisi berupa makna kias melalui

lambang dan kias melalui lambang dan kiasan. Oleh sebab itu pembaca puisi

mendapat kebebasan dalam menginterpretasikan atau menafsirkan puisi yang ia

1
Sukristi, Struktur Puisi Sajak Ibu Karya Wiji Thukul dan Implementasi dalam Pembelajaran
SMA Kelas X Semester 1 (Skripsi, Universitas Sanata Darma Yogjakarta, 2011),1.

11
baca. Saat ini puisi telah merambah pada banyak hal termasuk dalam dunia

pendidikan.

Kegiatan menganalisa sebuah puisi adalah upaya untuk memberikan arti

atau makna pada puisi itu sendiri. Mengartikan sebuah puisi memerlukan

penghayatan yang sangat dalam dan cermat. Hal itu disebabkan karena puisi

berbeda dengan prosa. Menganalisis puisi dapat dikatakan sebagai hal yang cukup

sulit karena didalam sebuah puisi mengandung makna yang tersirat yang

menuntut pembaca harus dapat menginterpretasikan bahasa didalam puisi agar dia

dapat menikmati puisi tersebut sebagai sebuah karya sastra.

Didalam membahas sebuah puisi hal-hal yang dapat kita lakukan adalah

dengan menganalisis unsur-unsur yang sangat detail baik dari unsur struktur batin

maupun unsur struktur fisiknya. Struktur fisik merupakan medium pengungkap

struktur batin puisi yang unsur-unsur pembangunanya terdiri dari diksi,

pengimajinasian kata konkret, majas, versifikasi dan tipografi.2

Keuinikan puisi Wiji Tukul Pertama Puisi protes yang tertuang dalam

baris-baris sajak, pada dasarnya merupakan ungkapan kejujuran, ketulusan dan

sesuatu yang apa adanya, terlebih lagi hal tersebut merupakan sesuatu yang

dirasakan penyair untuk menyatakan ketidak setuju terhadap proses penundukan

masyarakat terhadap penguasa. Ungkapan tersebut pernah dilakukan oleh Wiji

Thukul dalam mengekspresikan perasaannya, tidak hanya menyuarakan

kesengsaraan rakyat jelata, tetapi juga membangkitkan semangat untuk melawan

ketidakadilan itu. Sajak-sajaknya tidak ditujukan untuk penguasa saja, tetapi juga

2
Ibid., 1.

12
sebagai jalan keluar bagi orang-orang yang tertindas. Perasaan masyarakat yang

seolah terwakili oleh puisi-puisi tersebut mengisyaratkan bahwa ekspresi pribadi

Wiji Thukul mampu membawa amanat atau keinginan rakyat. Di dalam negeri

Wiji Thukul dimusuhi, tetapi sajak-sajaknya memperoleh penghargaan Wertheim

Encourage Award yang pertama pada tahun 1991 bersama penyair W.S. Rendra

dari Stichting Wertheim. Penghargaan ini dibuat sebagai penghormatan pada

sosiolog Belanda Willem Frederik Wertheim yang anti-kolonialisme dan tidak

menyukai perilaku pemerintahan Soeharto.

Kedua Puisi Wiji Thukul yang ditulis dengan bahasa yang sederhana dapat

dengan mudah dipahami oleh banyak orang. Oleh karena itu pembaca dapat

dengan mudah menangkap nilai yang ingin di sampaikan, yakni nilai-nilai

kemanusiaan. Wiji Thukul tidak berbicara mengenai deklarasi, konvensi, standar,

dan instrumen HAM yang lain, tetapi sadar atau tidak sadar, dia telah berjuang

dalam memajukan nilai kemanusiaan yang menjadi awal dan akhir dari kemajuan

HAM. Perjuangannya tidak hanya bergerak di bidang pemajuan nilai kemanusiaan

saja, tetapi juga mengambil langkah nyata untuk memperjuangkan nilai

kemanusiaan itu sendiri. Kemampuan Wiji Thukul dalam memaksimalkan

intensitasnya dalam bidang seni berpuisi menjadikan sebagai figur yang sangat

disegani sekaligus dikawatirkan. Pandangan tersebut bukan hanya berasal dari

Wiji Thukul saja, tetapi lebih pada karya sastra yang dihasilkannya. Pandangan ini

menyebabkan adanya ungkapan-ungkapan perasaan dalam puisinya yang dinilai

keras oleh banyak kalangan, terutama oleh pihak pemerintah. Banyak seniman di

masa Orde Baru tidak setuju pada sikap Wiji Thukul. Mereka mengganggap seni

13
tak bisa dicampuradukkan dengan politik. Seni untuk seni dan politik hanya

mengotori kesuciannya.3

Ketiga Wiji Thukul membawa perubahan baru dalam konsep penciptaan

puisi Indonesia mutakhir, yakni penyair yang menggambarkan kontradiksi yang

aneh, absurd, janggal dan membingungkan antara golongan kaya dan miskin,

momok hiyong dan rakyat, saling menindas yang menjadi biasa di bumi

Indonesia. Pembaruan yang ditawarkan Wiji Thukul di sini adalah visinya pada

nasib kemanusiaan dan pantas dicatat dalam sejarah sastra Indonesia modern

sebagai seorang penyair kerakyatan yang kembali mendudukkan fungsi sastra

pada tempatnya, yakni sebagai sarana memperjuangkan cita-cita dan visi

kemanusiaan. Puisi-puisinya merupakan monumen yang mengusik ingatan kita

akan sebuah masa silam yang kelam dan akibatnya masih kita rasakan hingga kini.

Sebuah rezim yang membawa banyak penderitaan fisik dan luka batin tidak saja

bagi Wiji Thukul melainkan juga bagi bangsa Indonesia.4

Keunggulan puisi dari Wiji Thukul dalam film Istirahatlah kata-kata tak

mengubah realitas, tapi mempertajam realitas demikian memaknai kata-kata

dalam puisinya. Thukul memang sosok manusia unik. Wiji Thukul orisinil,

cerdas, dan blak-blakan. Thukul sangat gila membaca, dari buku-buku loakan,

hingga membaca lembar kehidupan masyarakat di seputarnya. Thukul tidak hanya

berpuisi, mengorganisir buruh dan petani. juga aktif berorganisasi. Ketika banyak

seniman koleganya masih gamang untuk terlibat dalam perjuangan politik, Thukul

berseru: seniman adalah korban dari sistem yang anti demokrasi, untuk itu
3
Hanata Oksinata, Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul
(Skripsi, Universitas Sebelas Maret 2010), 8.
4
Ibid,. 9.

14
seniman harus ikut merebut kemerdekaannya sendiri. Thukul tak jeri kendati

ditangkap dan dihajar senapan berkali-kali. Puisinya yang membuat perubahan di

Indonesia bagi pemuda, melihat puisi yang disajikan Wiji Thukul mempunyai arti

yang membangun jiwa bangsa. Puisi yang terdapat di dalam film Istirahatlah

Kata-Kata merupakan salah satu puisi untuk merefleksikan para pemuda untuk

tidak takut akan penindasan dan perbudakan di era orde baru.

Pilihan-pilihan puisi didalam film mempunyai arti untuk menjadi inspirasi

bagi penulis yang menjadi pembeda didalam karya-karya novel puisi lainya

merupakan isi puisi wiji thukul cenderung meyadarkan kaum buruh dan

masyarakat Indonesia. Dengan gaya yang biasatetapi tulisan-tulisanya membuat

kabar buruk bagi penguasa orde baru.

Film Istirahatlah Kata-Kata yang menjadi pembeda dengan film-film

bertemakan pemuda atau nasionalisme hari ini yang sedang populer di televisi

atau bioskop Indonesia. Pertama film diklaim sebagai cara yang menarik untuk

belajar sejarah negara Indonesia. Menjadi keluarga orang yang hilang Kasus ini

menurut pembaca amati sebagian besar cerita ini justru tidak banyak dipelajari

dalam materi pelajaran sejarah di sekolah. Kedua dengan film Istirahatlah kata-

kata ini penonton dari kalangan generasi muda diharapkan terpicu melakukan

gerakan positif untuk membela hak asasi manusia. Karena itulah film ini dibuat

Agar para penyair dapat membaca sejarah. Ketiga film menceritakan keluarga

yang ditinggal dan menjaga orang yang dicintai. Tentang kesepian saat berada

jauh dari keluarga dan sahabat. Dalam konteks yang lebih luas ini cara untuk

mengenal sejarah Kemerdekaan dan demokrasi nggak akan datang tiba-tiba.

15
Penuh pengorbanan, penuh kehilangan. Film Istirahatlah kata-kata sudah tayang

di bioskop mulai 19 Januari 2017. Sebelumnya, film sudah diputar di Locarno

Intenational Film Festival ke-69 di Swiss, dan Busan International Film Festival

ke-21.

Dalam film tersebut penulis mencoba menggali pesan-pesan penting yang

ada dalam Film tersebut sebagai referensi pengamalan isi puisi. Dengan

pendekatan analisis semiologi, peneliti ingin menggali tanda yang ada dalam

kehidupan manusia melalui film tersebut serta makna dibalik tanda tersebut.

Sampai sekarang isu-isu Wiji Thukul masih belum bisa ditemukan di

Indonesia, baik dalam skala kecil, sedang bahkan sampai besar, masih menjadi

rasa sakit untuk keluarga dan sahabat perjuanganya. Sebagai pemuda yang suka

dengan puisi-puisi dan karya Wiji Thukul tentang kritik dan kekuatan kata

tersebut merasa tergugah untuk menghidupkan kembali rasa jiwa dan semangat

perlawanan dengan kreatifitas kata-kata berbagai pendekatan, melalui media-

media dan menggunakan teori-teori yang ada.

Sutradara Yosep Anggie Noen mengangkat kisah penyair Wiji Thukul

(Gunawan Maryanto) yang menghilang karena kekuatan puisinya mampu

menggetarkann yali Orde Baru. Istrinya Sipon (Marissa Anita) serta anaknya

didatangi oleh sejumlah aparat berpakaian Intel. Buku-bukunya dibakar, gerak-

geriknya diawasi. Wiji pun melarikan diri Ke Pontianak selama delapan bulan

pasca kerusuhan 27 Juli1996 di Jakarta. Hingga akhirnya menghilang, tidak lagi

ditemukan.

16
Dalam film tersebut, dengan pendekatan Semiologi berusaha menggali

makna-makna penting yang ada dalam film tersebut sebagai referensi makna puisi

di Indonesia. Dengan pendekatan analisis semiologi, peneliti ingin menggali

tanda-tanda pesan yang ada dalam kehidupan manusia melalui film tersebut serta

makna dibalik tanda tersebut.5

Semiotika Ferdinand de Saussure adalah ilmu tentang tanda-tanda. Sebagai

suatu pengantar untuk menuju dunia semiotika, yang merupakan penjelasan

personal, tentang semiotika dan teori semiologis, serta penerapan teori-teori ini

pada media massa, budaya populer, seni, dan budaya pada umumnya.6

Menurut Ferdinand de Saussure, akal manusia tidak pernah berhenti pada

realitas, selalu masuk ke makna, tidak berhenti pada fakta. Semiotika penting

untuk dipahami karena membantu kita untuk tidak mencerna realitas sebagaimana

penampakannya sebagai sesuatu yang objektif dan bersih dari interpretasi

manusia. Kita hidup di dunia tanda dan kita tidak akan dapat memahaminya

kecuali dengan cara membongkar realitas tanda tersebut sehingga terungkap apa

yang ada dibaliknya karena informasi atau makna sesuatu tidak tampak begitu saja

dalam realitas.

B. Rumusan Masalah

Agar pembahasan ini nantinya tersusun secara sistematis, maka perlu

dirumuskan permasalahan. Berdasarkan kronologi permasalahan yang

disampaikan dalam latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut yaitu:

5
http:/www.setara.institute.org/en/category/galleries/indicators (diaksespada13 Februari2018), 2.
6
Richard Harland, Superstrukturalis (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 174.

17
1. Bagaimana Struktur Puisi Wiji Thukul dalam film “Istirahatlah Kata-

Kata”?

2. Bagaimana makna Puisi Wiji Thukul dalam film “Istirahatlah Kata-

Kata”?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan ini

bertujuan untuk:

1. Mengetahui struktur puisi Wiji Thukul dalam film “ Istirahatlah Kata-

Kata”.

2. Mengetahui makna puisi Wiji Thukuldalam film “Istirahatlah Kata-

Kata”.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu: Pertama, manfaat teoritis

penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan

ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam, serta sebagai tambahan referensi bahan

pustaka, khususnya penelitian tentang film, sastra, puisi dan juga semiotika.

Kedua, manfaat praktis hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat

menjadi jawaban untuk aktivis puisi khususnya penyair dan seniman secara umum

dalam membuat karya puisi.

E. Telaah Pustaka

Dalam film Istirahatlah Kata-Kata belum ada yang meneliti karena film

baru dibuat pada tahun 2016 dan tayang di Indonesia pada tahun 2017. Film

Istirahatlah Kata-Kata ini baru pertama kali sebagai bahan penelitian untuk

18
dijadikan bahan Skripsi. Sebelumnya ada beberapa mahasiswa yang membuat

penelitian namun tentang Karya Puisi Wiji Thukul untuk dijadikan sebagai bahan

Skripsi.

Pertama Dimas Albiyan Yudha Nurhakiki. Potret Buruh Indonesia pada

masa Orde Baru dalam Kumpulan Puisi Nyayian Akar Rumput Karya Wiji Thukul

dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di

sekolah Jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan keguruan (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) 2015. Hasil

penelitian skripsi ini yakni melalui kata-kata yang ada dalam puisi kemudian

melihat kontek Orde Baru untuk pembuatan puisi. Wiji Thukul secara singkat

memperjuangakan rakyat buruh. Perbedaan skripsi ini dengan yang akan saya

teliti terletak pada studi Deskriptif Kualitatif yang digunakan oleh pembuat skripsi

tersebut, sementara saya dalam penelitian ini tidak menggunakan deskriptif

kualitatif, selain itu objek dan teori Semiotika yang digunakan juga berbeda.7

Kedua Sukristi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sanata Darma Yogjakarta 2011, Struktur puisi “SAJAK IBU” Karya Wiji Thukul

dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas X Semester 1.

Hasil analisis Skripsi ini lebih pada penelitian struktural kesatu strukturfisik.

Diksi dalam puisi Sajak Ibu menggunakan bahasa sehari-hari dan sudah diberi

makna khusus oleh penyair sehingga pembaca menjadi lebih mudah memahami

isi puisi, kata–kata yang mendukung puisi tersebut adalah kata-kata yang memiliki

7
Dimas Albiyan Yudha Nurhakiki. Buruh Indonesia Pada Masa Orde Barudalam Kumpulan Puisi
Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di Sekolah Jurusan Bahasa dan Sastra Indunesia Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (Universitas Islam Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 ), 1-2.

19
makna menambah variasi kata dalam puisi ”Sajak Ibu”. Perbedaannya adalah

Skripsi ini lebih pada penggalian data dilapangan sedangkan pembahasan saya

lebih pada pendekatan analisis menggunakan Semiotika. Kesamaannya adalah

sama-sama mengangkat tokoh Wiji Thukul sebagai objek penelitian.8

Ketiga Hanta Oksinata, Fakultas Keguruan Sastra dan Ilmu Pendidikan

Surakarta, Universitas Sebelas Maret 2010. Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi

Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul (Kajian Resepsi Sastra). Penelitian

Skripsi kritik social ini disampaikan pengarang secara implisit, yakni melalui

kata-kata atau dialog yang di lontarkan dan dipikirkan tokoh-tokohnya, ataupun

secara eksplisit, yakni dengan memahami isi atau makna totalitas dari cerpen

tersebut. Perbedaannya adalah Skripsi ini lebih kepada kritiknya terhadapat karya

Wiji Thukul dan puisi yang di angkatnya. Kesamaannya adalah sama-sama

mengangkat tokoh Wiji Thukul sebagai objek penelitian.9

Kehadiran film merupakan respon terhadap “penemuan” waktu luang di

luar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati unsur budaya yang

sebelumnya telah dinikmati oleh orang-orang yang berbeda di “atas” mereka.

Dengan demikian jika ditinjau dari segi perkembangan fenomenalnya, akan

terbukti bahwa peran yang dimainkan oleh film dalam memenuhi kebutuhan

tersembunyi memang sangat besar.10

8
Sukristi, Struktur Puisi Sajak Ibu Karya Wiji Thukul dan Implementasi dalam Pembelajaran
SMA Kelas X Semester 1 (Skripsi, Universitas Sanata Darma Yogjakarta, 2011), 1.
9
Hanata Oksinata. Kritik Social dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul
(Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010), vi.
10
Yoyon Mudjiono “Kajian semiotika dalam film”, diakses dari
https://www.google.co.id/search?client=ucwebb&channel=sb&q=jurnal+tentang+film+pdf&oq=ju
rnal+tentang+film&aqs=mobile-gws-lite.1.0I5 diakses pada tanggal 14 Februari 2018, pukul
20.16.

20
F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Dan Pendekatan Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian

kualitatif adalah metodologi penelitian berdasarkan pada data dan sumber data,

digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti

sebagai kunci utama metode.

Memahami penelitian kualitatif tidak bisa lepas dari memahami dan

mengenal tahap-tahap penelitian kualitatif itu sendiri. Tahap-tahap penelitian

kualitatif dengan salah satu ciri pokoknya adalah peneliti sebagai alat penelitian.

Khususnya analisis data dari ciri khasnya sudah dimulai sejak awal pengumpulan

data.11

2. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penelitian ini ada dua, yaitu sumber primer dan sumber

sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan

data kepada pengumpulan data. Sumber sekunder merupakan sumber yang tidak

langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain

atau lewat dokumen.12

a. Data Primer

Data Primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dengan

menggunakan teknik dokumentasi. Data primer ini yang diperoleh atau di

download dari situs youtube.

11
Sugiyono, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Alfabeta, 2015), 15.
12
Ibid,. 308.

21
b. Data Sekunder

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku, journal, skripsi

dan dokumen lainnya yang mendukung penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpukan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian, karena tujuan awal penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa

mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data

yang memenuhi standar yang ditetapkan.13

Macam-macam pengumpulan data secara umum terdapat empat macam,

yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, dan gabungan/triangulasi. Teknik

pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data

observasi dan dokumentasi saja.

a. Metode observasi

Metode observasi merupakan cara yang sangat baik untuk mengawasi

perilaku subjek penelitian seperti perilaku dalam lingkungan atau ruang, waktu

dan keadaan tertentu. Dalam penelitian ini menggunkan penelitian non pertisipatif

(pasif) yakni dalam melakukan pengamatan peneliti tidak terlibat secara aktif.

Artinya peneliti tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan subjek penelitian dan tidak

berinteraksi dengan mereka secara langsung. Peneliti hanya mengamati interaksi

13
Ibid., 308.

22
sosial yang mereka ciptakan, baik dengan sesama subjek penelitian maupun

dengan pihak luar.14

b. Metode dokumentasi

Metode dokumentasi yang berupa informasi yang merupakan catatan

penting baik dari perorangan maupun organisasi atau lembaga.15 Teknik

pengumpukan data sekunder mengenai objek penelitian yang didapatkan dari

sumber tertulis, seperti arsip, dokumen resmi, buku, tulisan-tulisan pada situs

internet, yang dapat mendukung analisa penelitian tentang simbol-simbol dan

pesan-pesan yang terdapat dalam film “Istirahatlah Kata-Kata”.

4. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul penulis melakukan analisis

semiologi dan menganalisis makna puisi yang terdapat dalam film (Istirahatlah

Kata-Kata) berdasarkan kerangka analisis Semiotika Ferdinand de Saussure.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif merupakan analisis yang berdasarkan pada adanya

hubungan semantis antar variabel yang sedang diteliti. Tujuannya ialah agar

peneliti mendapatkan makna hubungan variabel-variabel sehingga dapat

digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian.

Hubungan semantis sangat penting karena dalam penelitian kualitatif, peneliti

tidak menggunakan angka-angka seperti pada analisis kuantitatif.16 Proses analisis

14
Djunaidi Ghony, Metode penelitian kualitatif (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 165.
15
Hamidi, Metodologi Penelitian Kualitati (Malang: UMM Press, 2004), 72.
16
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2006), 239.

23
data dalam proses ini dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai

sumber. Selanjutnya ialah mereduksi data, lalu dilakukan penafsiran data atau

pengolahan data untuk menarik kesimpulan dengan menggunakan analisis

Semiotika Ferdinand de Saussure.

6. Pengecekan Keabsahan Data

Untuk mengecek keabsahan data pada penelitian ini, penulis menggunakan

metode analisis semiotik Ferdinand de Saussure. Keabsahan data dilakukan

dengan mengorganisir data, yang menjabarkannya ke dalam unit-unit melakukan

sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang kan

dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceitakan kepada orang lain.17

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

semiotika model Ferdinand de Saussure. Bagi Saussure ciri utama tanda bahasa

adalah tidak dapat dicari pada wicara, tetapi dalam hubungannya dengan unsur-

unsur luar bahasa, melalui sejenis konvensi sosial.18

Semiologi/semiotik adalah ilmu tentang tanda (hakikatnya, cirinya,

perannya dan aturan mainnya). Berasal dari bahasa yunani „semion‟ yang berarti

tanda. Semiotik dikembangkan dalam kajian-kajian filsafat, mistisme, seni, sastra,

antropologi, media masa, psikoanalisis, biologi, pendidikan, komputer, dan lain

sebagainya. Salah satu area yang paling penting dalam semiotika Ferdinand de

Saussure dalam studinya adalah tentang Sign (tanda), Signifier (yang menandai),

dan signified (yang ditandai).19

17
Sugiyono, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2015), 334.
18
Richard Harland, Superstrukturalis (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 182.
19
https://pakarkomunikasi.com/teori-semiologi-ferdinand-de-saussure (diakses pada 19 Februari
2018 ). 1.

24
Selanjutnya yang menjadi perhatian Saussure adalah konsep tanda

Sintagmatik dan pradigmatik. Kunci untuk memahami tanda adalah dengan

memahami hubungan strukturalnya dengan tanda lain. Hubungan struktural ini

ada dua jenis, yaitu sintagmatik dan paradigmatik.20 Hubungan sintagmatik

adalah hubungan diantara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan ini

disebutin praesentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama dalam

wicara. Suatu sintagma dapat berupa satuan berurutan apa saja yang jelas batasan

jumlahnya sekurang-kurangnya ada dua.

Hubungan paradigmatik atau asosiatif adalah hubungan term-term

secara in obsentia (secara potensial dalam rangkaian memori). Dalam satu

rangkaian ujaran biasanya orang teringat pada satuan bahasa lain karena kesatuan

itu berupa atau berbeda (sinonim atau antonim) dari yang lain dalam bentuk dan

makna.21 Sintagmatik adalah struktur urutannya, makna bisa dipahami kalau

struktur urutannya jelas, mana subjek, mana objek, mana predikatnya. Jadi

analisis struktur bahasa yang sifatnya horisontal.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam rangka supaya pembahasan skripsi ini dapat tersusun secara

sistematis sehingga penjabaran yang ada dapat dipahami dengan baik, maka

penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, dan masing-masing bab terbagi

kedalam beberapa sub bab, yaitu:

20
Richard Harland, Superstrukturalis (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 174.
21
Ibid., 186.

25
Bab I, Merupakan Pendahuluan yang menjelaskan tentang Latar Belakang

Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Telaah

Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan.

Bab II, merupakan Landasan Teori yang menjelaskan tentang Pengertian

Puisi, Jenis-Jenis Puisi, Konsep Makna Puisi, Pengertian Film, Jenis-Jenis Film,

Struktur Film dan Semiotika model Ferdinand de Saussure.

Bab III, merupakan Paparan Data dan Temuan Penelitian yang

menguraikan tentang Objek penelitian, Makna Puisi (Istirahatlah Kata-Kata),

Macam-Macam Puisi dalam Film (Istirahatlah Kata-Kata), Pemeran Film

(Istirahatlah Kata-Kata), Penghargaan dan Nominasi Film (Istirahatlah Kata-

Kata).

Bab IV, merupakan Pembahasan isi Pokok Skripsi, menguraikan tentang

Pemaknaan Puisi yang terdapat dalam Film (Istirahatlah Kata-Kata).

Bab V, Penutup menjelaskan tentang akhir dari pembahasan skripsi ini.

Bab ini berisi tentang kesimpulan sebagai jawaban dalam pokok permasalahan

dan saran-saran.

26
BAB II

PUISI, FILM DAN SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE

A. Puisi

1. Pengertian puisi

Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang memiliki pernyataan

sastra yang paling dalam. Kata-kata yang dimunculkan mengandung pengertian

yang mendalam dan penuh simbol-simbol. Membaca puisi merupakan sebuah

kenikmatan seni sastra karena pembaca dibawa serta ke dalam pernyataan-

pernyataan yang di curahkan seorang penyair melalui baris-baris puisinya. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa puisi adalah ragam sastra yang

bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.22

Rahmat Djoko Pradopo memberikan definisi puisi sebagai karangan

terikat. Keterbatasan puisi tersebut berdasarkan keterikatan atas (1) Banyak baris

dalam tiap bait, (2) Banyak kata dalam tiap baris (3) Banyak Suku kata dalam tiap

baris,(4) Rima, dan (5) Irama.23 Apabila dilihat dari pengertian di atas, maka

pengertian tersebut sudah tidak cocok lagi dengan wujud puisi zaman

sekarang.Keterikatan puisi sudah tidak tervisualisasikan pada bentuk puisi-puisi

modern pada saat ini.

Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa yunani

“poeima”membuat atau “pembuatan”, dan dalam bahasa inggris disebut poem


22
Dep dik bud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 749.
23
Rahmat Djoko Pradopo, Pengajian Puisi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005),
Cet. IX, 5.

27
atau poetry. Puisi diartikan “membuat” dan “pembantu”, karena lewat puisi pada

dasarnya seseorang telah menciptakan sesuatu dunia tersendiri, yang mungkin

berisi pesan atau gambaran suasana–suasana tertentu, baik fisik maupun

batiniah.24 Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Shelley yang mengatakan

bahwa puisi merupakan rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita.

Misalkan saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan

keharuan yang kuat, seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak,

percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. 25

Menurut sejarahnya poeisis, yaitu penciptaan puisi dan seni (tetapi

perhatikan bahwa kata poeisis secara etimologi tidak lain artinya dari pada hanya

“pembuatan” saja, tidak khas untuk seni) dapat pula di berikan sebagai

perwujudan gagasan manusia selaku pencipta, yang berkembang secara

berangsur-angsur. Baik dalam dunia klasik dengan karya seni sebagai bentuk

tekhne yang tertinggi, tetapi masih dalam rangka peneladanan alam.26

Definisi di atas menyatakan secara implisit bahwa puisi sebagai bentuk

sastra menggunakan bahasa sebagai media pengungkapnya. Hanya saja bahasa

puisi memiliki ciri tersendiri yakni kemampuanya mengungkap lebih intensif dan

lebih banyak ketimbang kemampuanya mengungkap lebih intensif dan lebih

banyak ketimbang kemampuan yang dimiliki oleh bahasa biasa yang cenderung

bersifat jelas dan tidak mengandung dimensi ambigu.Hari ini Jakarta berawan

24
Aminudin, pengantar Apresiasi Karya Sastra (Bandung: Sinar baru Algesindo, 2004), Cet,V,
134.
25
Pradopo,Pengkajian Puisi, 6-7.
26
A. Teeuw, Sastra dan ilmu sastra, Pengantar Teori Sastra (Jakarta Pusat: PT Dunia Pusaka
Jaya, 1984), Cet.1,158.

28
harga kebutuhan pokok menjelang puasa naik kereta Argo Lawu jurusan Solo-

Jakarta anjlok di Cirebon, adalah sederet contoh bahasa harian.27

Terlepas dari beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa sifat

yang terpenting dari puisi adalah puitis. Sesuatu disebut puitis bila hal itu

membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas.

Secara umum bila hal menimbulkan keharuan disebut puitis. Dalam hal ini puitik

bukanlah referensi, acuan diluar ungkapan bahasa itu yang terpenting, tetapi kata-

kata, pemakaian bahasa itu sendiri yang menjadi pusat perhatian itu walaupun

fungsi-fungsi lain bukan tak ada dalam puisi.28

Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya

dengan bentuk visual, tipografi, susunan bait, dengan bunyi, persajakan,

asonansi,29 aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi, dengan pemilihan

kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya

bahasa dan sebagainya.30 Diantara kemungkinan cara yang disediakan oleh sistem

bahasa, dalam bahasa puitik dipilih kemungkinan yang dari segi tertentu

menonjolkan ekuivalensi bekuivalensi itu dapat terwujud dalam gejala yang

sangat beranekaragam ekuivalensi bunyi, dalam bentuk rima, aliterasi, asonansi,

tetapi pula dalam skema mantra seperti dalam kidung dan kekawin, yang

27
Siswanto, Metode penelitian Sastra, Analisis Struktur Puisi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
23-24.
28
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu, 74.
29
Aliterasi adalah ulangan bunyi konsonan yang biasanya terdapat awalan Kata yang berurutan
untuk mencapai efek keindahan bunyi, sedangkanAsonansi adalah ulangan bunyi vocal yang
berurutan, runtun vocal.Lihat: Abdul Rozak Zaidan, Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Balai
Pustaka,2004), 26&36.
30
Pradopo, Pengajian Puisi, 13.

29
mempunyai kesejajaran, antara larik dengan larik, antara pupuh dengan pupuh dan

didalam larik ada macam-macam kesejajaran seluruhnya disebut sistem mantra.31

Dalam keindahan terkadung kebenaran, kebenaran disini ialah kebenaran

tentang arti kehidupan, kebenaran yang belum dispesialisasikan dalam bidang-

bidang ilmu tertentu. Kebenaran dalam puisi representasikan melalui rangkaian

kejadian yang dialami oleh pelaku-pelakunya. Kebenaran yang sekaligus diserap

oleh cipta, rasa dan karsa ini dekat pengertiannya dengan kebijaksanaan, kearifan,

atau kelapangan dada (broad mindedness).32

Puisi dianggup lebih berhasil bila mampu memberikan manfaat dan

hiburan. Bermanfaat dapat diartikan mampu memberikan nilai-nilai yang

mengarah pada tujuan manusia hidup didunia. Demikian pula dengan penelitian

jenis sastra seperti puisi misalnya, pokoknya diambil dari teori yang

dikembangkan dalam poetika tulisan Aristoteles. Sifat bermanfaat dan nikmat

(utile dan dulce) sebagai tujuan dari fungsi karya sastra, tetap merupakan tolak

ukur sastra.33 Nilai-nilai itu munculkan hikmah-hikmah yang dalam dari suatu

peristiwa maupun kisah-kisah yang muncul dalam pernyataan-pernyataan puisi.

Nilai puisi tersebut juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka

membentuk pandangan hidupnya, karena puisi sangat erat hubungannya dengan

falsafah dan agama.34

31
A.Teeuw, Sastra dan ilmu, 76-77.
32
Pradopo, Pengajian Puisi, 10.
33
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu, 8.
34
Aminudin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, 197.

30
2. Struktur puisi

Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang

hendak disampaikan penyair. LA. Ricard menyebut makna atau struktur batin itu

dengan istilah hakikat puisi, ada empat unsur hakikat puisi, yakni, tema (sense),

perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone). Dan

amanat (intention). Keempat unsur itu menyatu dalam wujud penyampaian bahasa

penyair.

a. Tema

Merupakan gagasan pokok atau subjek-matter yang di kemukakan penyair.

Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair,

sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan kuat itu berupa

hubunganya antara penyair dengan tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan. Jika

desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema

kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk memprotes ketidakadilan,

maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau hati yang

kuat juga dapat melahirkan tema cinta, atau tema kedukaan hati karena cinta.

Latar pengetahuan mempengaruhi penafsir-penafsir puisi untuk memberikan

tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema puisi bersifat lugas,

obyektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan

konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab itu tema bersifat khusus

(penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir) dan lugas (tidak dibuat-buat).35

35
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga,1997), 106.

31
b. Perasaan (feeling)

Perasaan penyair dalam menciptakan puisi ikut diekspresikan dan ikut

dihayati pembaca. Tema yang sama akan dituturkan perasaan penyair secara

berbeda, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. Menghadapi tema

keadilan sosial atau kemanusiaan, pennyair banyak menampilkan kehidupan

pengemis atau orang gelandangan.36

c. Nada dan Suasana

Apabila ada seseorang bicara, kita menangkap apa yang dibicarakan dan

suara bicara kadang-kadang meninggi-merendah (nadanya), mengeras-melembut

(tekananya) atau mencepat-melambat (temponya). Selain itu juga kita menangkap

bagaimana sikap pembicara terhadapat apa yang dibicarakannya.37

Penyair mempunyai sikap tertentu dalam menuliskan puisi, apakah dia

ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas

hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca ini

disebut nada puisi. Sering kali puisi bernada santai karena penyair bersikap santai

kepada pembaca. Hal ini dapat kita jumpai dalam puisi-puisi mbeling. Jika nada

merupakan sikap penyair kepada pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat

psikologis yang ditimbulkan itu terhadap pembaca. Sikap pencipta yang dapat kita

tangkap dari sajak, cerita atau drama disebut nada. Jika kita bicara tentang sikap

penyair, maka kita berbicara tentang nada.38 Nada duka yang diciptakan penyair

dapat menimbulkan suasana iba hati pembaca. Nada kritik yang diberikan penyair,

36
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, 121.
37
S. Effendi, Bimbingan Apresiasi Puisi (Jakarta: Penerbitan Nusa Indah-Percetakan Arnoldus,
Cet. II, 1974), 88.
38
Ibid., 89.

32
dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Nada religious

dapat menimbulkan suasana khusyuk.39

d. Amanat (pesan)

Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita

memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Tujuan atau amanat merupakan hal yang

mendorong penyair untuk menciptkan puisi. Amanat tersirat dibalik kata-

katayang disusun, dan juga berada dibalik tema yang diungkapkan.40

Berdasarkan tujuan penciptaanya karya sastra dapat dikelompokkan ke

dalam empat orientasi. Pertama karya sastra sebagai tiruan alam atau

penggambaran alam. Kedua karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan

tertentu pada pembacanya. Ketiga karya sastra sebagai pancaran, perasaan,

pikiran ataupun pengalaman sastrawannya dan Keempat karya sastra sebagai

sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari sekelilingnya, pembaca maupun

pengarangnya. Sebenarnya apapun orientasi penciptaan sastra, karena merupakan

suatu sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan

yang tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran

pembacannya. Banyak orang misalnya, meyakini bahwa karya-karya besar seperti

Max Havelar (Multatuli), Uncle tom Cabin (Beecher Stower), dan sajak-sajak

Rabindranat Togore telah menginspirasi perubahan sosial di lingkungan

masyarakat pembacanya masing-masing. Max Havelar menginspirasi gerakan

politik etis di Hindia Beland, sajak-sajak Tagore mendorong gerakan pembebasan

bangsa india dari penjajahan inggris dan Uncle Tom Rabin menginspirasi gerakan

39
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, 125.
40
Ibid., 130.

33
anti perbudakan di Amerika Serikat. Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah

air Mohammad Tamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa

kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an, serta sangatlah mungkin menjadi

sumber inspirasi lahirnya Sumpah Pemuda.41

Dari pandangan bahwa sastra sebagai sumber inspirasi untuk perubahan

sosial-budaya, maka dapat dipahami bahwa sastra sebenarnya mempunyai

orientasi padaa kebermanfaatan, yaitu sebagai media pencerahan dan pencerdasan

masyarkat.

B. Film

1. Pengertian Film

Undang-undang nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman pada bab 1 pasal

1 menyebutkan, yang dimaksud dengan film adalah karya seni budaya yang

merupakan prenanata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat

berdasarkan kaidah sinematografi dan dapat dipertunjukkan.42 Eksiklopedia

umum memberikan penjelasan yang berbeda, yaitu film adalah gambar hidup.

Penjelasan ini sama dengan pendapat Horntby, yang menganggap film adalah

motion picture.43

Definisi film berbeda-beda di setiapnegara. Di Perancis ada perbedaan

film dan sinema. Films berarti berhubungan dengan film dan dunia sekitarnya,

semisal sosial politik dan kebudayaan. Di Yunani film dikenal dengan istilah

cinema, yang merupakan singkatan cinematograph (nama kamera milik Lumiere

41
MH Abrams, A Glossary Of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston (New York, first
edition, 1981), 39
42
Nawiroh Vera, Semiotika dalam Riset Komunikasi (Bogor: GhaliaIndonesia, 2015), 91.
43
Sri Purnawati, Teknik Pembuatan Film (Surabaya: Iranti Mitra Utama,2009), 3.

34
bersaudara). Cinemathophie secara harfiah berarti cinema (gerak), tho atau phytos

adalah cahaya, sedangkan graphie berarti tulisan atau gambar. Jadi, yang

dimaksud cinemathograpie adalah melukis gerak dengan cahaya. Istilah lain

berasal dari bahasa Inggris, yaitu movies. Berasal dari kata move, artinya gambar

yang bergerak atau gambar hidup.44

Melihat ke belakang, tepatnya ketika pada tahun 1885, Lumiere

bersaudara mengadakan eksebisi pertama mereka di Paris dengan memanfaatkan

gambar bergerak (motion pictures) yang di proyeksikan, saat itu kamera adalah

kenyataan yang ada dari budaya modern. Secara cerdas, Lumiere menamakan

peralatan mereka itu cinematograph, dari kata-kata Yunan, kinematos (motion,

bergerak) dan graphien (to write ataumenulis). To write in motion adalah istilah

yang merujuk pada sifat peralatan itu sendiri dan sebuah pengandaian yang

membandingkan penggunaan peralatan tersebut untuk menulis. Saat ini ada tiga

istilah yang menonjol dalam bahasa Inggris, yaitu film, cinema, dan movie.45

Film merupakan penemuan teknologi yang baru muncul pada akhir abad

kesembilan belas, tetapi secara fungsi dan isi film tidaklah terlalu baru. Film

berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan,

menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan ataupun sajian teknis

lainnya kepada masyarakat. Kehadiran film sebagian merupakan respons terhadap

“penemuan” waktu luang di luar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan

44
Vera, Semiotika dalam Riset Komunikasi, 91.
45
Ibrahim, Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di
Indonesia Kontemporer, 190.

35
menikmati waktu yang senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota

keluarga.46

2. Jenis-Jenis Film

Secara umum film dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni: dokumenter dan

fiksi. Pembagian ini didasarkan atas cara bertuturnya, yakni naratif (cerita) dan

non-naratif (non cerita).

a. Film Dokumenter

Film dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya

Lumiere bersaudara yang dibuat sekitar tahun 1890-an dan berkisah tentang

perjalanan (travelogues). Tiga puluh enam tahun kemudian, kata dokumenter

kembali digunakan oleh kreator film dan kritikus film asal Inggris John Grierson

untuk film Moana (1926) karya Robert Flaherty. Grierson berpendapat bahwa

film dokumenter merupakan cara kreatif untuk merepresentasikan sebuah

realitas.47

Kunci utama dari film dokumenter adalah terkait penyajian data. Film

dokumenter berhubungan dengan orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata,

bukan suatu peristiwa atau kejadian yang di buat. Film dokumenter dapat

digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan, seperti informasi atau berita,

biografi, pengetahuan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik (propaganda), dan lain

sebagainya.

Dalam penyajian faktanya, film dokumenter dapat menggunakan beberapa

metode. Pertama, film dokumenter dapat merekam secara langsung pada saat

46
Dennis McQuail, Mass Communication Theory, Second Edition (Jakarta: Erlangga, 1996), 13.
47
Heru Effendy, Mari Membuat Film (Jakarta: Erlangga, 2009), 3.

36
peristiwa tersebut terjadi. Produksi film dokumenter jenis ini dapat dibuat dalam

waktu yang singkat, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun, tergantung peristiwa

yang akan diangkat dalam film. Kedua, film dokumenter dapat merekonstruksi

ulang sebuah peristiwa yang pernah terjadi. Produksi film dokumenter jenis ini

biasanya menggunakan pengadeganan serta persiapan teknis layaknya film fiksi

namun tetap saja kreator film tidak dapat mengontrol akting serta pergerakan para

pemainnya. Film ini juga berisi wawancara yang menjelaskan secara rinci sebuah

peristiwa serta apa yang mereka pikirkan dan rasakan pada saat itu.

Sering sekali film dokumenter berkisar pada hal-hal yang merupakan

perpaduan antara manusia dengan alam. Apabila perpaduan antara keduanya

dapat di dramatisir, maka film dokumenter akan mempunyai daya tarik. Raymond

Spottiswoode dalam bukunya “A Grammar of The Film” menyatakan:

“Film Dokumenter dilihat dari segi subjek dan pendekatannya adalah

penyajian hubungan manusia yang di dramatisir dengan kehidupan

kelembagaannya, baik lembaga industri, sosial, maupun politik, dan dilihat dari

segi teknik merupakan bentuk yang kurang penting dibandingkan dengan

isinya”.48

Film dokumeter memiliki beberapa karakter teknis yang khas yang

bertujuan untuk mendapatkan kemudahan, kecepatan, fleksibilitas, efektifitas

serta otentitas terhadap peristiwa yang akan direkam. Umumnya film dokumenter

memiliki bentuk sederhana dan jarang menggunakan efek visual. Selain itu,

penggunaan efek suara serta ilustrasi musik juga jarang digunakan. Dalam

48
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2003), 214-125.

37
memberikan informasi pada penontonnya, film dokumenter sering menggunakan

narator untuk membawakan narasi atau dapat pula menggunakan metode

interview (wawancara).

Teknik-teknik di atas juga digunakan untuk produski film fiksi. Akan

tetapi terdapat perbedaan yang mendasar, yakni para kreator film fiksi umumnya

menggunakan teknik tersebut sebagai pendekatan estetik (gaya), sementara

kreator film dokumenter lebih terfokus untuk mendukung subyeknya (isi atau

tema).49

b. Film Fiksi

Berbeda dengan jenis film dokumenter, film fiksi terikat oleh plot. Dari

sisi cerita, film fiksi sering menggunakan rekaan dai luar kejadian nyata dan

memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal. Dari struktur

cerita, film fiksi terikat dengan hukum kasualitas.50

Film cerita atau fiksi adalah film yang dibuat berdasarkan kisah fiktif.

Film fiksi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu film cerita pendek dan film

panjang. Perbedaan yang paling spesifik dari keduanya adalah masalah durasi

film. Film cerita pendek berdurasi di bawah 60 menit, sedangkan film cerita

panjang pada umumnya berdurasi 90-120 menit atau lebih.51 Cerita dalam jenis

film fiksi memiliki karakter antagonis dan protagonis, masalah, konflik,

penutupan, serta pola pengembangan yang jelas. Dalam proses produksinya, film

fiksi relatif lebih kompleks dari pada dua jenis film lainnya, baik pada masa pra-

produksi, produksi, maupun pasca-produksi. Hal tersebut dikarenakan produksi


49
Pratista, Memahami Film, 4-5.
50
Ibid., 6.
51
Vera, Semiotika dalam Riset Komunikasi, 95.

38
film fiksi melibatkan banyak kru yang sangat banyak. Persiapan teknis maupun

non teknis seperti lokasi syuting serta setting dipersiapkan secara matang, baik

yang terdapat di studio maupun non studio.52

Struktur dalam film fiksi selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga

tahap. Tahap pra-produksi merupakan periode ketika skenario diperoleh.

Skenario dapat berupa adaptasi dari novel, cerita pendek, atau cerita yang ditulis

secara khusus untuk dibuat filmnya. Tahap produksi merupakan masa

berlangsungnya pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap terakhir, post-

produksi (editing) ketika semua bagian film yang pengambilan gambarnya tidak

sesuai urutan cerita disusun menjadi sebuah kisah yang menyatu.53

Film fiksi berada di tengah-tengah dua kutub, nyata dan abstrak. Sering

kali memiliki tendensi ke salah kutubnya, baik secara naratif maupun

sinematiknya. Sepertihalnya di film dokumenter, film fiksi juga sering diangkat

dari kejadian nyata. Sedangkan di film abstrak, kreator film fiksi terkadang

menggunakan cerita dan latar abstrak dalam film-filmnya. Latar atau setting

abstrak sering digunakan untuk mendukung adegan mimpi atau halusinasi.54

Dalam unsur naratif ada beberapa bagian yang saling berhubungan, yaitu:

1) Cerita dan plot

Cerita adalah rangkaian peristiwa yang tersaji dalam film maupun tidak.55

Sebuah film dibangun atas alur cerita tertentu. Apakah alur maju ataukah alur

mundur (flash back). Alur cerita biasa apabila jalan cerita dalam film disusun

52
Pratista, Memahami Film, 6.
53
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 134.
54
Ibid., 6-7.
55
Pratista, Memahami Film, 184.

39
berdasarkan waktu yang berurutan, sedangkan flash back adalah jika cerita

diawali dengan masa kini kemudian kembali ke masa lalu.56 Sedangkat plot

adalah rangkaian peristiwa dalam film yang di sajikan pada penonton secara

visual dan audio.57

2) Hubungan naratif dengan ruang

Hukum kausalitas merupakan dasar dari naratif yang terikat dalam sebuah

ruang. Sebuah cerita tidak mungkin terjadi tanpa adanya ruang. Ruang adalah

tempat di mana para pelaku cerita bergerak dan beraktifitas. Sebuah film

umumnya terjadi pada suatu tempat dengan dimensi ruang yang jelas. seperti di

rumah A, di kota B, di negara C, dan sebagainya. Latar cerita bisa menggunakan

lokasi yang sesungguhnya (nyata) atau dapat pula fiktif (rekaan). Film cerita pada

umumnya mengambil latar belakang lokasi yang nyata. Dalam sebuah adegan

pembuka sering kali diberi keterangan teks di mana cerita film tersebut diambil.

Hal tersebut dilakukan untuk memberi penjelasan kepada penonton saat menonton

sebuah film.58

3) Hubungan naratif dengan waktu

Sepertihalnya unsur ruang, hukum kausalitas merupakan dasar dan naratif

yang terikat oleh waktu. Sebuah cerita tidak mungkin terjadi tanpa adanya unsur

waktu. Terdapat beberapa aspek waktu yang berhubungan dengan naratif sebuah

film, yakni urutan waktu, durasi waktu, dan frekuensi waktu.59

56
Purnawati, Teknik Pembuatan Film, 11.
57
Pratista,Memahami Film, 190.
58
Ibid., 35.
59
Ibid., 36.

40
4) Batasan informasi cerita.

Pembatasan informasi cerita merupakan hal yang sangat penting dalam

sebuah film. Seorang kreator film memiliki kontrol atau pilihan terhadap batasan

informasi cerita. Apakah saat ini penonton perlu mengetahui sebuah informasi

cerita atau ditunda hingga momen-momen tertentu. Pilihan-pilihan tersebut akan

memberikan konsekuensi yang berbeda terhadap respon penonton dalam

mengikuti alur cerita filmnya.60

C. Teori Semiotik Ferdinand de Saussure

Latar belakang Ferdinand de Saussure ialah karena para ahli bahasa

berusaha untuk merekonstruksi bahasa-bahasa yang sudah mati dengan dasar

kemiripan-kemiripan yang ada dengan bahasa-bahasa yang masih ada. Sepanjang

abad ke-19, para ahli bahasa bekerja dengan perspektif historis/diakronik.

Sementara Saussure tidak puas dengan ini. Dia mengatakan bahwa perbandingan

semacam itu hanya menjawab dari mana satu bahasa berasal dan tidak menjawab

apa itu bahasa. Baginya yang terpenting adalah memahami sistem bahasa hari ini

dan kata itu dipakai untuk apa.61

Pada tahun 1978 ketika berussia 21 tahun (dua satu tahun sebelum

memperoleh gelar doktor), Saussure telah membuktikan dirinya sebagai ahli

linguistic historis yang sangat cemerlang tidak kalah dengan teman-teman

sekelasnya yang kemudian terkenal sebagai kelompok Junggrammatiker.

Karyanya yang berjudul Memoire sur le systeme primitive des voyelles dans les

langues indo-europeens Catatan tentang sistem vocal purba dalam bahasa-bahasa

60
Ibid., 39.
23
Richard Harland, Superstrukturalisme (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 174.

41
Indo-Eropa merupakan bukti cemerlangan itu dan dalam usia semuda itu ia sudah

dianggap tokoh besar dalam bidang ini. Karya ini merupakan contoh yang sangat

baik tentang penerapan metode rekonstruksi dalam guna menjelaskan hubungan

Ablaut dalam dalam bahasa-bahasa Eropa. Ia antara lain mengajukan hipotesis

bahwa vokal-vokal panjang berasal dari vocal pendek dan luncuran. Ia sampai

kepada rumusan itu dengan membuat analisis fonologis atas pola-pola morfologis

(Hipotesis ini dibuktikan kebenarannya ketika bahasa Hati ditemukan pada tahun

1927 oleh sarjana Polandia J. Kurylowich.) Sekalipun sumbangannya bagi

linguistik historis tersebut sungguh besar, namun ia adalah dikenal karena

sumbangannya dalam linguistik umum (perlu kita catat bahwa ia termasyur karena

sebuah buku yang tidak pernah ditulisnya) memang ia mengajar Bahasa

Sanserkerta, Gotik, dan Jerman Tinggi kuno serta linguistik komparatif Indo-

Eropa di Ecole Pratique des Hautes Etudes Universitas Paris Sejak ia berumur 24,

menggantikan Michel Breal. (Diantaranya mahasiswanya terdapat orang yang

kemudian menjadi ahli linguitik besar seperti Meillet dan Grammon). Namun, ia

hanya mengajar disitu sampai 1891, kemudian ia pindah ke Jenawa dan

meneruskan mengajar Bahasa Sansekerta dan linguistik historis komparatif. Di

antara ahli-ahli linguistik sezaman yang dikenalnya ialah Baudion de Courtenay

dan Kruszewski, yakni sarjana-sarjana yang dianggap pelopor teori fonologi.

Berkali-kali ia menolak untuk menggembangkan pandangan-pandangan

teoritisnya, namun pada pada akhirnya ia terpaksa memberi kuliah linguistik

umum karena guru besar yang bersangkutan, yakni Joseph Wertheimer, berhenti

sebelum waktunya. Tugas ini dijalankanya sampai ia meninggal pada 22 Februari

42
tahun 1913. Tiga seri kuliah yang diberi judul Cours de Linguistique Generale

itulah yang menjadikannya terkenal sebagai peletak dasar linguitik modern.(secara

harfiah terjemahan judul itu ialah Pelajaran Linguistik Umum, tetapi terjemahan

judul itu ialah pelajaran Linguistik Umum tetapi terjemahan yang wajar tentulah

Pengantar Linguistik Umum.62

1. Pengertian dan macam-macam semiotik

Secara etimologis istilah semiotik berasal dari kata yunani semeion tang

berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu

yang lain.

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang

mempelajari sederetan luas objek objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan

sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang

berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,

pengirimannya, dan penerimaanya oleh mereka yang mempergunakannya”.

2. Posisi Semiotik (Semiotika dan Semiologi)

Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda

(the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu

sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu

sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Jika kita mengikuti

Charles S. Pierce, maka semiotika tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi

logikayakni ” doktrin formal tentang tanda-tanda” (the formal doctrine of signs)

62
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Gadjah Mada Universitas Press,1988), 4.

43
sementara bagi Ferdinand de Saussure, Semiologi aalah sebuah ilmu umum

tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam

masyarakat”(a science that studies the life if signs within society).63

Baik istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk

kepada ilmu tentang tanda-tanda (the science of signs) tanpa adanya perbedaan

pengertian yang terlalu tajam. Satu-satunya perbedaan di antara keduanya,

menurut Hawkes adalah bahwa istilah semiologi lebih banyak dikenal di Eropa

yang mewarisi tradisi linguistik Saussurean sementara istilah semiotika cenderung

dipakai oleh para penutur bahasa Inggris atau mereka yang mewarisi tradisi

Peircian.64

Sampai sejauh ini, bidang-bidang studi semiotika sangatlah beragam,

mulai dari kajian perilaku komunikasi hewan (zoosemiotics) sampai dengan

analisis atas sistem-sistem pemaknaan seperti komunikasi tubuh (kinesik dan

proksemik), tanda-tanda beban (olfactory signs), teori estetika, retorika, dan

seterusnya. Ruang-Ruang studi semiotika dengan demikian, sangatlah luas

sehingga mungkin akan menimbulkan kesan sebagai suatu ilmu dengan,

meminjam istilah Umberto Eco”Imperialisme” yang arogan. Sementara itu, bila

kita mengikuti Charles Morris seorang filsuf yang menaruh ilmu tentang tanda-

tanda, semiotika pada dasarnya dapat dibedakan kedalam tiga cabang

penyelidikan (branches of inquiry), yakni sintatik, semantic dan pragmatik.

Sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax): suatu cabang penyelidikan

semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara disatu tanda dengan tanda-

63
Kris Budiman, Semiotika Visual Jalasutra Anggota KPAI (Yogyagkarta,September.2011),3.
64
Ibid., 3-4.

44
tanda yang lain”. Dengan kata lain, karena hubungan-hubungan formal ini

merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interprestasi

pengertian sintaktik kurang-lebih adalah semacam “gramatika”.

Semantik (semantic): suatu cabang penyelidikan semiotika yang

mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan designate atau objek-objek

yang diacunya”. Bagi Morris, yang dimaksudkan dengan designate adalah makna

tanda-tanda sebelum digunakan didalam tuturan tertentu.

Pragmatik (pragmatics) suatu cabang penyelidikan semiotika yang

mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau

para pemakain-pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan

dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang

melatari tuturan.65

3. Dasar-dasar Semiologi

a. Signifiant dan signife

Signifiant dan signifie bagi saussure adalah merupakan komponen

pembentuk tanda yang tidak bisa dipisahkan peranannya satu sama lain.

Signifiant, atau disebut juga signifier, merupakan hal-hal yang tertangkap oleh

pikiran kita seperti citra bunyi, gambaran visual, dan lain sebagainya.66

Sedangkan signifie, atau yang disebut juga sebagai signified, merupakan

makna atau kesan yang ada dalam pikiran kita terhadap apa yang tertangkap.

Jika ditinjau dari segi linguistik yang merupakan dasar dari konsep

semiologi Saussure, perumpamaannya bisa dianalogikan dengan kata dan benda


65
Ibid., 5-6.
66
https://pakarkomunikasi.com/teori-semiologi-ferdinand-de-saussure (diakses pada 19 Februari
2018), 1.

45
“pintu”. Pintu secara signifiant merupakan komponen dari kupulan huruf yaitu p-

i-n-t-u, sedangkan secara signifie dapat dipahami sebagai sesuatu ruang yang

mengubungkan suatu ruang dengan ruang lain. Kombinasi dari Signifiant dan

signifie ini yang kemudian membentuk tanda atas “pintu”, bukan sekedar benda

mati yang digunakan oleh manusia.67

Signified adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi

Signified adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan

apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan Signifier adalah aspek mental dari bahasa.

Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret kedua

unsur tadi tidak bisa dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi ini:

Signified dan Signifier. Suatu Signfied tanpa Signifier tidak berarti apa-apa.

Sebaliknya, signifier tidak mungkin disampaikan atau dianggap lepas dari

signified. Signified dan signifier merupakan keatuan, seperti dua sisi dari sehelai

kertas.68

Hubungan signified dan signifier bersifat arbitrer, bersifat sewenang-

wenang. Arbirtrer karena setiap tanda memiliki referensi terhadap suatu objek

tanpa kita ketahui alasan ataupun latar belakangnya. Kita misalnya, tidak tahu

mengapa batu disebut batu, bukan air. Atau mengapa buah mangga, yang

bentuknya lonjong dan bulat, dinamai buah mangga dan bukan pisang.69

Kita tidak mempunyai alasan yang jelas dan pasti mengapa seekor

binatang berkaki empat yang dapat berlari kencang atau citra binatang itu dalam

68
Richard Harland, Superstrukturalis (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 175-178.
69
Muhammad Al-Fayyadl, Derida (Yogyakarta: Lkis, 2005), 36.

46
pikiran kita (yang disebut konsep) kita sebut dengan istilah kuda, padahal orang

jawa menyebutnya jaran dan orang inggris menyebutnya horse.70

Dengan demikian, telah dimungkinkan untuk menjadikan ilmu bahasa

suatu ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dianalisis dan dijelaskan

tanpa mendasarkan diri atas apa pun yang letaknya diluar bahasa. Dengan kata

lain, kita bisa melakukan analisis bahasa hanya dengan mengurai struktur-struktur

internal dalam bahasa secara objektif. Pada sistem tanda ini, kita melihat bahwa

bagaimana strukturalisme sudah mulai tampak memainkan peranannya.71

b. Langue dan Parole

Langue adalah sistem bahasa dan sistem abstrak yang digunakan secara

kolektif seolah disepakati bersama oleh semua pengguna bahasa, serta menjadi

panduan dalam praktik berbahasa dalam suatu masyarakat. Sedangkan Parole

adalah praktik berbahsa dalam bentuk ujaran individu dalam masyarakat pada satu

waktu atau saat tertentu.

Saussure menjelaskan bahwa langue bisa dikatakan sebagai fakta sosial

dan menjadi acuan masyarakat dalam berbahasa, dan juga berperan sebagai sistem

yang menetapkan hubungan antara signifiant dan signifie. Langue yang

direalisasikan dan diterapkan oleh idnividu dalam masyarakat sebagai wujud

ucapan bahasa ini kemudian disebut sebagai parole. Parole satu individu dengan

individu lainya bisa saja berbeda-beda karena realisasi dan penerapannya bisa

beragam satu sama lain.72

70
Ibid., 37.
71
Richard Harland, Superstrukturalis (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 177.
72
https://pakarkomunikasi.com/teori-semiologi-ferdinand-de-saussure (diakses pada 19 Februari
2018), 1.

47
c. Sinkronik dan Diakronik

Menurut saussure, linguistik harus memperhatikan sinkroni sebelum

menghiraukan diakronik. Kedua istilah ini bersal dari bahasa Yunani kronos

(waktu) dan dua awalan syn- dan dia- masing-masing berarti “bersama” dan

“melalui”. Maka dari itu sinkronik dapat dijelaskan sebagai “bertepatan menurut

waktu” dandiakronik dijelaskan sebagai “menelusuri waktu”. Diakronik adalah

peninjauan historis, sedangkan sinkroni menunjukan pandangan yang sama sekali

lepas dari perspektif historis, sinkroni adalah peninjauan ahistoris.

Bahasa dapat dipahami menurut dua sudut pandang itu: sinkronik dan

diakronik. Kita dapat menyelidiki suatu bahasa sebagai sistem yang berfungsi

pada saat yang tertentu (dan dengan demikian tidak memperhatikan bagaimana

bahasa itu telah berkembang sampai keadaan saat itu) dan kita dapat menyoroti

perkembangan suatu bahasa sepanjang waktu.73

Dengan demikian, linguistik tidak saja mengesampingkan semua unsur

ekstra-lingual, linguistik melepaskan juga objek studinya dari dimensi waktu.

Dengan itu telah dibuka jalan untuk studi yang kemudian disebut struktural. Itu

tidak berarti saussure menolak penyelidikan diakronis tentang bahasa. Ia

berpendapat bahawa penyelidikan sinkronis harus mendahuli penyelidikan

diakronis.74

d. Sintagmatik dan Paradigmatik

Saussure menguraikan lebih lanjut bahwa diferensiasi sinkronis-diakronis

juga muncul dalam hubungan yang diberikan oleh bahasa pada setiap kata-kata di

73
Richard Harland, Superstrukturalis (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 185.
74
Ibid., 186.

48
dalamnya, yakni hubungan asosiatif atau bisa dikenal denga istilah paradigmatik

dan hubungan sintagmatik. Hubungan-hubungan ini terdapat pada kata-kata

sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep. Hubungan

sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang

dapat berada di depannya atau dibelakanganya dalam sebuah kalimat, seperti yang

terdapat di antara kata “makan” dengan kata “saya dan “pisang”. Dan kata ini

dapat membentuk kalimat: “saya makan pisang”.

Hubungan sintagmatik ini juga pada hubungan antara dua kata, dimana

kata yang pertama dapat muncul sebagai subjek bagi kata yang kedua, seperti

misalnya antara kata-kata “dia” dan “makan” atau “sungai” da “mengalir”,

sehingga dapat terbentuk rangkaina kata yang bermakna. “dia makan” dan “sungai

mengalir”. Hubungan semacam ini tidak ada di antara kata “makan” dan

“mengalir”, sehingga kalau kita rangkai menjadi “makan mengalir”, maka kata-

kata ini tidak memiliki makna apa-apa atau kita tidak mengerti maknanya.

Demikian juga halnya jika kita buat kalimat “dia sungai”. Kalimat ini juga tidak

bermakna, karena tidak terdapat relasi sintagmatik antara kata “dia” dan kata

“sungai”, kecuali mungkin dalam arti metaforis.75

4. Elemen elemen makna Saussure

Saussure mengungkapkan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang

mengungkapkan gagasan dengan demikian bisa disandingkan dengan tulisasn,

abjad orang-orang bisu dan tuli, upacara-upacara simbolik, bentuk sopan santun,

tanda-tanda kemiliteran dan lain-lain. Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan

75
Ibid.,186-187.

49
pengembangan linguistik secara umum. Dalam teori Saussure memiliki dua unsur

yang tidak bisa dipisahkan, yakni Signifier (penanda), dan Signified (pertanda).

Hubungan antara Signifier (Penanda) dan Signified (pertanda) ini dibagi menjadi

tiga yaitu:

a. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang

ditandainya, misalnya foto atau peta.

b. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukan adanya hubungan

dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api.

c. Simbol adalah sebuah tanda dimana hubungan antara Signifier dan

signified semata-mata adalah masalah konvensi kesepakatan atau

peraturan.

Berikut juga elemen-elemen yang digunakan oleh Saussure dalam

mekmaknai tanda:

Sign

Composed Of

Signifier Plus Signified Signification

(physical (metal External

Existence concept) reality of the

sign) of meaning

Saussure meletakan tanda dalam konteks komunikasi manusia dalam

melakukan pemilahan antara apa yang disebut Signifier (penanda) dan Signifier

(pertanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna

50
(aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulisan atau apa yang

dibaca. Signified (penanda) adalah gambaran mental, yakni pemikiran atau

konsep aspek metal dari bahasa. Hubungan tentang keberadaan fisik tanda dan

konsep mental dinamakan Signification.

Hubungan antara Signifier(penanda) dan Signified (pertanda) bersifat

arbiter, artinya hubungan anatara wujud formal dan acuanya bersifat “semaunya”

berdasarkan kesepakatan sosial. Antara keduanya tidak bersifat identik. Contoh:

manusia tidak bisa menjelaskan mengapa hewan berwujud anjing tidak dapat

disebut „Anjing‟ dalam suatu bahasa bukan „katak‟ misalnya, bahwa bunyi ucapan

„Anjing‟ itu pada hewan tertentu, hal itu terjadi karena masyarakat pemakai

(tanda) bahasa menyepakati demikian. Kesepakatan itu dapat saja tidak berlaku

dalam masyarakat (bahasa) yang lain yang telah memiliki kesepakatan sendiri.

51
BAB III

PUISI WIJI THUKUL DALAM FILM ISTIRAHATLAH KATA-

KATA

Puisi merupakan karya sastra yang terdiri dari kumpulan kata-kata yang

mengandung makna yang diciptakan oleh seseorang yang disebut penyair. Puisi

biasanya ditulis untuk mengungkapkan perasaan penulisnya terhadap sesuatu.

Puisi bersifat bebas tidak terikat dan dapat diaplikasikan dalam berbagai hal

misalnya ungkapan kegembiraan, kesedihan, kritik sosial, keagungan Tuhan dan

lain sebagainya.

Puisi Istirahatlah Kata-Kata adalah salah satu bentuk karya sastra puisi

yang ditulis oleh penyair bernama Wiji Thukul. Meski ditulis pada tahun 1997,

namun hingga saat ini puisi tersebut masih dapat dinikmati dan dikenang

keberadaannya. Terbukti dengan diangkatnya puisi tersebut dalam sebuah film

layar lebar. Dalam film Istirahatlah Kata-Kata terdapat dua puisi karya Wiji

Thukul yang digunakan yaitu, Istirahatlah Kata-Kata dan Tanpa Judul.

Puisi yang ditulis tersebut memiliki makna perlawanan dan kritik

terhadap ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh Wiji Thukul pada masa orde

baru yang dipimpin oleh Presiden Repubik Indonesia yang kedu yakni Soeharto.

Film ini dibuat untuk mengingat kembali karya sosok penyair Wiji Thukul. Film

yang dilatar belakangi dari sebuah karya puisi di Indonesia masih terbilang jarang

dan bahkan belum pernah ada. Meskipun tidak pernah ditayangkan di bioskop,

namun film ini banyak mendapat apreasi dari banyak seniman di Indonesia.

52
A. Biografi Wiji Thukul

Wiji Widodo atau yang akrab disapa dengan Wiji Thukul lahir pada

tanggal 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo. Tempat dimana

penduduknya mayoritas berprofesi sebagai tukang becak dan buruh. Dia

dilahirkan dari keluarga tukang becak. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara

Wiji Thukul berhasil menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)

pada tahun 1979, lalu masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMK I)

mengambil jurusan tari, tetapi ia gagal menamatkan sekolahnya alias dropout

(1982).

53
76

Selanjutnya Wiji Thukul bekerja sebagai penjual koran, hingga pada suatu

waktu ia diajak oleh tetangganya untuk bekerja di sebuah perusahaan meubel

antik menjadi tukang pelitur. Sebagai tukang pelitur, Wiji Thukul telah dikenal

sebagai penyair pelo (cadel) yang sering mendeklamasikan puisinya untuk teman-

teman sekerjanya.77

Wiji Thukul mulai menulis puisi sejak ia masih duduk di bangku Sekolah

Dasar, sedangkan ketertarikan pada dunia teater di mulai ketika dia duduk

dibangku SMP. Lewat seorang teman sekolahnya dia berhasil ikut sebuah

kelompok teater, yang bernama Teater Jagat (singkatan dari jagalan tengah).

Bersama dengan rekannya di Teater Jagat tersebut, dia keluar masuk kampung

untuk ngamen puisi dengan iringan berbagai instrument music seperti, rebana,

gong, suling, kantongan, gitar dan sebagainya. Ngamen seperti itu tidak hanya

dilakukannya di wilayah Solo, tetapi juga sampai ke daerah Jogja, Klaten hingga

Surabaya. Di tahun 1988 ia pernah menjadi wartawan masa kini, meski cuma tiga

bulan. Puisi-puisinya berhasil diterbitkan di media cetak baik dalam dan luar

negeri. Seperti media Suara Pembaharuan, Bernass, Suara Merdeka, Surabaya

Post, Merdeka, Inside Indonesia (Australia), Tanah Air (Belanda), dan juga di

penerbitan-penerbitan tingkat mahasiswa seperti Politik (UNAS), Imbas (UKWS),

Pijar (UGM), Keadilan (UII), dan juga di berbagai bulletin LSM-LSM.

Dibandingkan dengan yang dimuat dalam media cetak, masih ada banyak lagi

sajak-sajak Wiji Thukul yang tersebar dalam bentuk foto kopi, yang dibawa oleh

76
Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru (Perpustakaan Nasional RI, Magelang. 2004), 221.
77
Ibid., 221.

44
teman-temannya dan orang-orang yang mengaguminnya. Selain menulis puisi,

Wiji Thukul juga menulis cerpen, esai bahkan resensi puisi.78

Wiji Thukul menikah dengan seorang wanita bernama Dyah Sujirah atau

yang lebih dikenal dengan nama Sipon. Keduanya dikaruniai dua orang anak yang

bernama Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup,

semasa mereka masih berada disisi keluarganya. Ia membantu istrinya yang

membuka usaha jahit pakaian, juga menerima pesanan sablonan kaos, tas, dan

lain-lain. Bersama anak dan istrinya ia pernah mengontrak sebuah rumah di

kampung Kalangan Solo. Bersama dengan anak-anak sekampung ia

menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis untuk anak-anak. Dia juga pernah

menjadi seorang fasilitator dalam acara workshop Teater untuk buruh-buruh

perkebunan di Sukabumi, buruh di Bandung, Jakarta dan di kampung-kampung.79

Tiga kumpulan puisiya, Puisi Pelo, Darman dan lain-lain, telah

diterbitkan oleh Taman Budaya Surkarta (TBS) pada tahun 1992, ia juga pernah

diundang untuk membaca puisi oleh Goethe Institut di aula kedutaan Besar

Jerman di Jakarta. Di tahun 1991, ia tampil sebagai pengamen di Pasar Malam

Puisi yang di selenggarakan Erasmus Huis, di pusat Kebudayaan Belanda yang

ada di Jakarta.

Tahun 1992, sebagai penduduk Jagalan-Pucang Sawit, ia bergabung

bersama masyarakat sekampungnya, di sekitar pabrik tekstil PT Sariwarna Asli,

untuk ikut memprotes pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik

tekstil tersebut. Wiji Thukul juga ikut bergabung dengan aksi perjuangan petani di

78
Ibid., 221.
79
Ibid., 222.

45
Ngawi (1994), ia juga pernah memimpin pemogokan buruh di PT Sritex (1995).

Hak petani dan hak buruh adalah hak asasi manusia yang harus dibela dan di

perjuangkan. Selanjutnya, bersama kalangan mahasiswa dan orang muda yang

kritis, Wiji ikut terlibat memperjuangkan kebebasan hak warga sipil melalui aksi-

aksi yang dilakukan di jalanan yang ada di berbagai kota di Pulau Jawa.

Wiji Thukul menerima Wertheim Encourage Award di tahun 1991 yang

diberikan oleh Wetheim Stiching di Negera Belanda. Bersama penyair lain W.S

Rendra, Wiji Thukul adalah salah satu penerima award pertama sejak yayasan itu

didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda We Wertheim. Selain

itu, pada tahun 2002 ia memperoleh Yap Thiam Hien Award yang ke-10 atas

jasanya dalam pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.80

Sejak peristiwa demonstrasi pada tanggal 27 Juli 1996 Wiji Thukul

menjadi salah satu korban dari “asap” politik Orde Baru yang sampai saat ini

belum diketahui dimana keberadaan sosok Wiji Thukul.81

B. Film Istirahatlah Kata-Kata

Kehadiran Wiji Thukul dalam kehidupannya yang dilalui disaat pelarian

sebagai seorang buronan di film Istirahatlah Kata-Kata. Film ini mampu

membuat para penonton merasakan kehampaan karena terisolasi dalam

kehidupan, kehilangan orang-orang yang dicintai, dan padamnya harapan untuk

berjuang. Yosep Anggi Noen, selaku sutradara dalam film ini, membebaskan diri

80
Ibid., 222-223.
81
Ibid., 223.

46
dari konsep film aksi yang kerap dipenuhi dengan drama dan romantisme

percintaan .82

Gambar 1: Film Istirhatlah Kata-Kata

Jika dibandingkan dengan film Gie (2005), yang menceritakan kisah Soe

Hok Gie, sebagai seorang aktivis China yang terlibat dalam keruntuhan masa orde

lama. Istirahatlah Kata-Kata tampak sebagai suatu Film yang tidak istimewa,

tidak dipenuhi dengan percakapan inspiratif untuk dapat dijadikan kutipan oleh

generasi milenial. Tidak ada kepentingan politik yang tersaji menegangkan, atau

pertemuan-pertemuan hebat yang dipenuhi dialog memutar otak. Bahkan romansa

antara Wiji Thukul dengan Sipon istrinya, hanya dihadirkan melalui sensualitas

kamar hotel dan adegan buang hajat saja.83

1. Alur Cerita Film Wiji Thukul

Film ini dibuka dengan sebuah narasi yang menerangkan tentang awal

mula pembentukan Partai Rakyat Demoratik (PRD) yang melawan peraturan

82
https://indonesiana.tempo.co/read/107112/2017/01/21/kgiaji/Istirahatlahkata-kata-wiji-thukul-
dalam-belunggu-kebebasan, 1.
83
Ibid., 2.

47
perundang-undangan, setelah adanya keputusan bahwa Negara hanya mengakui

keberadaan 3 partai saja. Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan beberapa

penggagasnya ditangkap serta dijadikan buron dengan tuduhan menciptakan

kerusuhan dan ingin menggulingkan pemerintahan Soeharto pada tanggal 27 Juli

1996, hingga terjadi kerusuhan. Dari Solo tempat tinggal Wiji Thukul dan Sipon,

film Istirahatlah Kata-Kata bergeser beberapa ratus kilometer

menuju Pontianak dan Sungai Kapuas. Bersama seorang dosen bernama Thomas,

Thukul menumpang dan bersembunyi di rumahnya, sambil mengakui bahwa

ternyata lebih menakutkan melarikan diri dan bersembunyi seperti ini dari pada

terang-terangan melawan sekumpulan orang dengan senjata.

Film ini menggambarkan kondisi militer di era Orde Baru yang bersikap

otoriter. Pasalnya, tokoh Udi yang digambarkan sedang mondar-mandir di

kampung kecil dengan sepatu boots dan celana tentara itu tidak pernah jelas ke

mana tujuannya. Dia seperti orang yang sedikit memiliki gangguan jiwa dan suka

menakut-nakuti warga, bahwa jika ia membawa senjata mereka akan ditembak

olehnya. Tokoh tentara yang menjadi pelanggan tukang cukur rambut Mahmoud

asal Sampang. Menggambarkan bahwa, Wiji Thukul perlu mencukur rambut

keritingnya untuk menyamarkan penampilannya, sebelum ia memperoleh identitas

baru dengan nama Paul. Ketika sudah duduk dan siap dicukur oleh Mahmoud,

mendadak ia diminta mengalah karena ada pelanggan lamanya yang berprofesi

tentara harus didahulukan. Tentara ini dengan santai berkata bahwa merupakan

sebuah kehormatan dapat mecukur rambut tentara, maka semestinya tidak perlu

diminta bayaran. Kalimat tersebut sebagai penggambaran pemerintahan yang

48
bersifat semena-mena kepada masyarakat. Bukan mengayomi rakyat kecil, tapi

malah melakukan penindasan kepada rakyat kecil

Nuansa yang tergambar dalam film sangat sunyi. Film ini tidak banyak

menampilkan adegan dengan dialog panjang dan tempat yang berpindah pindah.

Mereka menyajikan gambaran film yang banyak mengandung makna dan arti dari

sebuah perjuangan di tengah kegaduhan yang terjadi suasana tak bisa bebas pergi

kemana saja karena telah diawasi pemerintahan. Dari Wiji Thukul yang dulu

sempat menyuarakan perlawanan dan kritik lewat karya-karya dan

mengucapkannya lewat puisi sudah dianggap subversive. Tidak hanya itu saja

orang-orang yang menyuarakan gagasan demokrasi substansial juga dapat

dianggap berbahaya bagi ketertiban umum.

2. Pemeran Film Istirahatlah Kata-Kata

a. Gunawan Maryanto

Gunawan Maryanto lahir di Yogyakarta pada tanggal 10 April

1976 adalah seorang penulis dan sutradara teater berkebangsaan sebagai

salah satu pemain dalam film Istirahatlah Kata Kata.84 Gunawan Maryanto

berperan sebagai Wiji Thukul yang sedang dalam pelarian di Pontianak.

84
https://id.m.wikipedia.org./wiki/Gunawan_Maryanto, 1.

49
Gambar 2: Foto Film Istirahatlah Kata-Kata

b. Marissa Anita

Marissa Anita lahir di Surabaya Jawatimur pada tanggal 29 Maret

1983. Dia adalah seorang Jurnalis, Presenter berita dan salah satu Aktris

Indonesia. Dia berperan menjadi Istri Wiji Thukul sebagai Sipon dalam

Film Istirahatlah Kata-Kata.85

Gambar 3: Foto Film Istirahatlah Kata-Kata

c. Melanie Subono

Melanie Subono Hamburgs lahir di Jerman pada tanggal 20

Oktober 1976. Melanie merupakan seorang penyanyi dan presenter

bekebangsaan Indonesia. Dia adalah berperan sebagai Ida pada Film

Istirahatlah Kata-Kata.86

85
https:/id.m.wikipedia.org/wiki/Marissa_Anita, 1.
86
https:/id.m.wikipedia.org/wiki/Melanie_Subono, 1.

50
Gambar 4: Foto Film Istirahatlah Kata-Kata

3. Penghargaan Film Istirahatlah Kata-Kata

a. Di Tayangkan Pada Festival Internasional

Kisah Wiji thukul ini tayang perdana di Locarno Film Festival di

awal tahun 2016, lalu berhasil berkompetisi di Vladivostok Film Festival,

kemudian di Hamburg International Film Festival Jerman, Terakhir di

Busan International Film Festival pada tahun yang sama, dan menyusul

festival-festival lainnya.87

b. Film Non BioskopTerbaik

Sebelum film ini tayang di biokop, Istirahatlah Kata-kata telah

menang sebagai film non bioskop terbaik dalam ajang Apresiasi Film

Indonesia di tahun 2016. Kategori ini melombakan film-film berdurasi

lebih dari 60 menit yang bermuatan nilai budaya dan kearifan lokal atau

yang berkaitan dengan pembangunan karakter bangsa.88

c. Sutradara Terbaik

87
https://www.brilio.net/film/5-prestasi-film-istirahatlah-kata-kata-ini, 1.
88
Ibid., 2.

51
Sutradara film Istirahatlah Kata-kata, Yosep Anggi Noen juga

dinobatkan sebagai sutradara terbaik di ajang Umar Ismail Award pada

tahun 2017.89

d. Pemeran Utama Laki-laki Terbaik

Sutradara Gunawan Maryanto dalam memerankan Wiji Thukul di

Film Istirahatlah Kata-Kata juga berhasil memenangkan penghargaan

kategori pemeran aktor terbaik di ajang yang sama pada tahun 2017. Aktor

asli Jogjakarta ini berhasil mengalahkan pesaingnya yakni, Reza

Rahardian dan Tyo Pakusadewo.90

e. Film Terbaik Ajang ASEAN Film Festival (BAFF) 2017

Pada bulan Mei 2017, Istirahatlah Kata-Kata kembali

mengharumkan nama Indonesia dengan memenangi ajang Bangkok

ASEAN Film Festival (BAFF). Istirahatlah Kata-Kata mengalahkan 9

film lainnya. Film ini dinilai paling sederhana sekaligus unggul secara

artistik, sinematografi dan pencahayaannya.91

C. Puisi Wiji Thukul

Puisi-puisi Wiji Thukul adalah karya yang tercipta lewat realitas yang

represif. Kumpulan puisi ini menjadi penting karena mengangakat isu

89
Ibid., 3.
90
Ibid., 4.
91
Ibid., 5.

52
kemanusiaan. Sehingga kita dapat meneladani semangat perlawanan terhadap

ketidakadilan di dalam Negara.

Puisi “Istirahatlah Kata-Kata” ini tercipta dari sebuah situasi perlawanan-

perlawanan dan demonstrasi dari banyak kelompok gerakan yang berkali-kali

tumbang. Hal yang paling jelas untuk menjawab situasi sosial adalah dengan jalan

menghimpun kekuatan. Dengan tidak terburu-buru berteriak, tidak terburu-buru

menyerang sebuah kekuatan besar tanpa adanya basis kekuatan, strategi, serta

persatuan antar kelompok gerakan.

Semangat yang muncul para demonstran diwujudkan dalam satu kesatuan

perjuangan dari banyaknya kelompok yang mengalami ketertindasan yang sama.

Semangat itu kemudian direfleksikan dalam sebuah karya berbentuk puisi yang

diberi judul Istirahatlah Kata-Kata. Puisi tersebut dipilih untuk mengistirahatkan

teriakan-teriakan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru. Tiap kelompok

menjalin solidaritas dan membangun kekuatan dalam sebuah kesatuan. Untuk

kemudian bersama-sama berteriak kembali untuk Rezim Soeharto.

1. Istirahatlah Kata-Kata

Jangan menyembur-nyembur

Orang-orang bisu

Kembalilah kedalam Rahim

Segala tangis dan kebusukan

Dalam sunyi yang meringis

Tempat orang-orang mengikari

Menahan ucapanya sendiri

53
Tidurlah, kata-kata

Kita bangkit nanti

Menghimpun tuntutan-tuntutan

Yang miskin papa dan dihancurkan

Nanti kita akan mengucapkan

Bersama tindakan

Bikin perhitungan

Tak bisa lagi ditahan-tahan.92

Puisi “Tanpa Judul” yang tercipta dari situasi di tengah pelarian Wiji

Thukul. Dalam perlarianya mampu menghasilkan puisi secara langsung

spontanitas gagasan dari sebuah kabar yang berasal dari kampung halaman.

Kondisi tersebut terjadi ketika Wiji Thukul sedang dalam pelarianya di

Kalimantan. Ditemani para sahabat di Kalimantan. Wiji Thukul dengan cerdas

menulis puisi dengan tenang tanpa melihat kondisi dan situasi meski tengah

menjadi buronan. Ketidakadilan sosial yang terjadi tidak hanya pada masyarakat

tetapi keluarga dan buku-bukunya juga dirampas. Puisi ini cenderung mempunyai

makna sosial karena di dalam puisi tersebut memperkenalkan kepada seluruh

keluarga kekejaman dan perampasan barang-barang milik Wiji Thukul.

Semangat yang muncul ketika itu diwujudkannya melalui kesatuan

perjuangan dari banyaknya kelompok yang mengalami ketertindasan menciptakan

puisi “Tanpa Judul” untuk mengirim kabar ke kampung halaman teriakan-teriakan

kritik terhadap orde baru. Tiap kata dalam puisi Wiji Thukul menambah

92
https://www.youtube.com/watch?v=KZhcEYr2dp4&t=3410s. detik 06:34

54
solidaritas dan membangun kekuatan demi sebuah satu kesatuan untuk bersam.

melawan kembali Rezim Soeharto.

2. Tanpa judul

Kuterima kabar dari kampong

Rumahku kalian geledah

Buku-buku kalian jarah

Tapi aku ucapkan banyak terima kasih

Karena kalian telah memperkenalkan sendiri

Pada anak-anakku

Kalian telah mengajari anak-anakku

Membentuk makna kata penindasan sejak dini

Ini tak diajarkan disekolahan

Tapi rezim sekarang ini memperkenalkan

Kepada semua kita

Setiap hari dimana-mana

Sambil menenteng nenteng senapan

Kekejaman kalian adalah bukti pelajaran

Yang pernah ditulis.93

93
Ibid, detik 36:22.

55
BAB IV

MAKNA PUISI WIJI THUKUL DALAM FILM ISTIRAHATLAH

KATA-KATA DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIKA FERDINAND DE

SAUSSURE

Pembahasan pada bab empat terkait dengan makna puisi yang terdapat

dalam Film Istirahatlah Kata Kata. Pendekatan yang dipakai adalah Ferdinand de

Saussure yang memaknai tanda menjadi tiga tahap Singnifier, singnified,

signification. Pendekatan tersebut untuk mencari makna dari puisi yang terdapat

dalam film. Puisi tersebut antara lain berjudul, “Istirahatlah Kata-Kata” dan puisi

“Tanpa Judul”. Puisi Istirahatlah Kata-Kata bermakna mengenai Perlawanan atas

penindasan orde baru, sedangkan puisi Tanpa Judul bermakna tentang

Ketidakadilan sosial yang terdapat dalam film Istirahatlah Kata-Kata.

D. Struktur Puisi Wiji Thukul Dalam Film Istirahatlah Kata-Kata

Puisi mempunyai makna sangat dalam jika seseorang benar-benar

mengetahui makna dari sebuah puisi yang dapat memberikan gambaran

keinginan, pengharapan dan pengungkapan. Begitu juga, setiap hal yang ingin

diungkapkan tidak secara gamblang oleh Wiji Thukul dalam kegelisah dan

perlawanan atas ketidakadilanya yang terjadi pada masa rezim Soeharto.

Pertama menggunakan struktur Tema puisi yang perlu dihubungkan

dengan penyairnya, melalui konsep-konsepnya yang terimajinasikan oleh peneliti.

Oleh sebab itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua

penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).

56
94

Kedua menggunakan struktur Perasaan penyair dalam menciptakan puisi

yang ikut diekspresikan dan ikut dihayati oleh pembaca. Tema yang sama akan

dituturkan lewat perasaan penyair secara berbeda, sehingga hasil puisi yang

diciptakan berbeda pula. Menghadapi tema keadilan sosial atau kemanusiaan,

pennyair banyak menampilkan kehidupan pengemis atau gelandangan.95

Ketiga menggunakan struktur apabila ada seseorang bicara, kita

menangkap apa yang dibicarakan dan suara ketika berbicara yang kadang-kadang

meninggi atau merendah (nadanya), mengeras atau melembut (tekananya) bahkan

mencepat atau melambat (temponya). Selain itu, peneliti menangkap bagaimana

sikap pembicara terhadapat apa yang dibicarakannya.96 Jika berbicara tentang

sikap penyair, maka berbicara tentang nada.97 Nada duka yang diciptakan penyair

dapat menimbulkan suasana iba hati bagi pembaca. Nada kritik yang diberikan

penyair, dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Nada

religious dapat menimbulkan suasana khusyuk.98

Keempat menggunakan struktur amanat (pesan) yang hendak disampaikan

oleh penyair sehingga dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada

puisi tersebut. Tujuan atau amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk

94
Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga,1997), 106.
95
Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, 121.
96
S. Effendi, Bimbingan Apresiasi Puisi (Jakarta: Penerbitan Nusa Indah-Percetakan Arnoldus,
Cet.II, 1974), 88.
97
Ibid,. 89.
98
Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, 125.

57
menciptakan puisi. Amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun dan juga berada

dibalik tema yang diungkapkan.99

Dalam penelitian ini menggunakan model pendekatan Semiotika

Ferdinand de Saussure, yang digunakan untuk memaknai puisi yang diambil dari

film Istirahatlah Kata-Kata sebagai berikut.

1. Puisi Istirahatlah Kata-Kata

a. Tema Istirahatlah Kata-Kata adalah puisi yang memiliki makna tentang

perlawanan dan kritik atas penindasan yang dilakukan pada masa orde baru.

Istirahat bukan berarti berdiam diri tetapi menyusun strategi untuk

melakukan gerakan yang memperdulikan masyarakat.

b. Perasaan (feeling) yang terkandung dalam puisi Istirahatlah Kata-Kata

adalah puisi yang lahir dari sebuah situasi yang tengah mengemuka kala itu,

perlawanan-perlawanan sporadis dari banyak kelompok gerakan yang

berkali-kali tumbang. Keterburu-buruan tanpa melihat kondisi objektif

justru selalu memperlemah kekuatan. Hal yang paling rasional untuk

menjawab itu semua adalah dengan jalan menghimpun kekuatan. Dengan

tidak terburu-buru berteriak, tidak terburu-buru menyerang sebuah kekuatan

besar tanpa adanya basis kekuatan, strategi, serta persatuan antar kelompok

gerakan.

c. Nada dan suasana dalam kondisi penindasan yang terjadi pada puisi

Istirahatlah Kata-Kata memperlihatkan bunyi perlawanan akan tindakan

ketidakadilan yang terjadi semasa orde baru. Puisi ini bersikap menyidir atas

99
Ibid., 130.

58
ketidakadilan yang didapat dari pemerintahan orde baru. Dengan kata lain

memperkuat barisan dan mempercepat gerakan sehingga menjadikan

kesadaran kolektif antar kelompok untuk membangun strategi melawan

rezim orde baru.

d. Amanat (pesan) yang terdapat dalam puisi Istirahatlah kata-kata terbagi

menjadi empat yaitu: pertama karya puisi ini menjadi simbol perlawanan

dari penindasan orde baru. Kedua karya puisi ini merupakan tindakan atas

kejadian-kejadian semasa Wiji Thukul hidup semata-mata untuk

menyadarkan atas ketidakadilan yang diterima oleh rakyat. Ketiga puisi ini

tercipta dari kegelisahan Wiji Thukul yang menjadi buronan semasa

pelarianya ke Kalimantan. Keempat karya puisi ini merupakan sikap dari

Wiji Thukul demi terciptanya demokrasi dan negara yang menjujung tinggi

atas perilaku kemanusiaan.

1) Bait pertama (Perenungan terhadap ketidakadilan sosial)

Singnifier Singnified Signification

(Penanda) (Pertanda) (Makna)

Jangan menyembur- Perenungan terhadap Refleksi gerakan yang

nyembur, ketidakadilan sosial dijalankan berangkat dari

Orang-orang bisu, salah satu tesis dasar

kembalilah kedalam dialektika bahwa diampun

rahim, segala tangis dan adalah bergerak.

kebusukan, Demikian istirahat bukan

59
dalam sunyi yang berarti tidak melakukan

meringis. apa-apa.

d. Ikon Jangan menyembur-nyembur,Orang-orang bisu, kembalilah kedalam

rahim, segala tangis dan kebusukan,dalam sunyi yang meringis.

e. Indeks perenungan terhadap ketidakadilan sosial.

f. Simbol Refleksi gerakan yang dijalankan berangkat dari salah satu tesis

dasar dialektika bahwa diampun adalah bergerak. Demmikian istirahat

bukan berarti tidak melakukan apa-apa.100

Makna yang dapat diambil dari puisi tersebut adalah ketika Jangan

menyembur-nyembur orang-orang bisu merupakan refleksi gerakan yang dapat

diambil dari dialektika bahwa diampun adalah bergerak. Demikian juga, kata

Istirahat bukan berarti diam tetapi melakukan strategi dan kembali melakukan

perlawanan dan perubahan yang dilakukan atas perenungan yang mendalam.

2) Bait kedua (Evaluasi dan Strategi gerakan)

Singnifier Singinified Signification

(Penanda) (Pertanda) (Makna)

Tempat orang-orang Evaluasi dan strategi Strategi menghimpun

Mengikari, menahan, gerakan kekuatan dan

ucapanya sendiri, mempersatukan gerakan.

tidurlah kata-kata kita Evaluasi, dalam kata

bangkit nanti, istirahat tersebut

100
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 126.

60
menghimpun tuntutan- mengandung makna

tuntutan, merumuskan kembali

Yang miskin papa dan strategi yang harus

dihancurkan. dilakukan kedepan. Selain

itu, secara objektif

kelompok-kelompok

gerakan yang berlawanan.

Terlebih dari daerah-

daerah yang kala itu

belom menjalani

konsolidasi-konsolidasi.

a. Ikon Tempat orang-orang mengikari, menahan, ucapanya sendiri, tidurlah

kata-kata kita bangkit nanti, menghimpun tuntutan- tuntutan, Yang miskin

papa dan dihancurkan.

b. Indeks perenungan terhadap evaluasi dan strategi gerakan.

c. Simbol Strategi menghimpun kekuatan dan mempersatukan gerakan.

Evaluasi, dalam kata istirahat tersebut mengandung makna merumuskan

kembali strategi yang harus dilakukan kedepan. Selain itu, secara objektif

kelompok-kelompok gerakan yang berlawanan. Terlebih dari daerah-

daerah yang kala itu belom menjalani konsolidasi-konsolidasi. 101

101
Ibid., 126.

61
Makna yang diambil dari kata Tidurlah kata-kata kita bangkit nanti

strategi menghimpun melakukan gerakan kembali untuk mengevaluasi

ketidakadilan orde baru. Wiji Thukul dan para sahabat merumuskan gerakan

kembali yang telah didiskusikan, disusun kejadian tersebut banyaknya aparatur

Negara sedang mengawasi gerakan Wiji Thukul karena telah dianggap

menganggu kemanan negara.

3) Bait ketiga (Bergerak dan menghimpun kekuatan)

Singnifier Singnified Signification

(Penanda) (Pertanda) (Makna)

Nanti kita akan Bergerak dan perjuangan yang tidak

Mengucapkan, bersama menghimpun berhenti dan terus

tindakan, Bikin perhitungan kekuatan dilanjutkan. Istirahat

Tak bisa lagi ditahan-tahan. bukan berarti

berhenti, namun

justru akan

dilanjutkan dengan

kekuatan yang lebih

dahsyat. Makna ini

tersirat dari bait ke-4,

“nanti kita akan

mengucapkan,

bersama tindakan,

bikin perhitungan.

62
a. Ikon nanti kita akan mengucapkan, bersama tindakan, bikin perhitungan

tak bisa lagi ditahan-tahan

b. Indeks bergerak dan menghimpun kekuatan

c. Simbol perjuangan yang tidak berhenti dan terus dilanjutkan. Istirahat

bukan berarti berhenti, namun justru akan dilanjutkan dengan kekuatan

yang lebih dahsyat. Makna ini tersirat dari bait ke-4, nanti kita akan

mengucapkan, bersama tindakan, bikin perhitungan.102

Makna yang terdapat dalam puisi dari kata mengucapkan bersama dan

membuat perhitungan kembali merupakan gerakan Refleksi yang akan

menunjukan kekuatan dari himpunan dan akan kembali bangkit demi masyarakat

yang menginginkan pembebasan dari penindasan untuk menegakkan Negara yang

demokrasi.

2. Puisi Tanpa Judul

a. Tema gagasan pokok dalam puisi Tanpa Judul ini adalah Kuterima kabar

dari kampoeng dilihat dari pembuatan puisi ini pada tanggal 11 Agustus

1996 disaat pelarianya yang pertama ke Kalimantan. Hal itu mengakibatkan

kondisi konfrontasi Thukul dengan pemerintahan sangat memanas. Alasan

kenapa Wiji Thukul menjadi buronan karena pergerakan Wiji Thukul

mengganggu kemanan negara.

102
Ibid., 126.

63
b. Perasaan (feeling) yang terjadi saat pembuatan puisi ini Thukul sedang

dalam pelarianya, kemudian mendapatkan kabar dari istrinya Sipon yang

merasa cemas dan khawatir atas perlakuan militer terhadap keluarganya

yang dianggap sudah melanggar HAM.

c. Nada dan suasana dalam bait puisi rumahku kalian geledah dan bukuku

kalian jarah merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

dengan menggeledah rumah dan menjarah buku adalah ketidakadilan yang

dilakukan tentara dengan merampas tanpa alasan. Sekaligus pemberedelan

atas karya-karya Wiji Thukul.

d. Amanat (pesan) yang terdapat dalam puisi Wiji Thukul terbagi menjadi

empat yaitu: pertama karya puisi ini menjadi simbol ketidakadilan sosial

dari tentara yang dilakukan semasa orde baru. Kedua karya puisi ini

merupakan tindakan atas kejadian-kejadian semasa Wiji Thukul hidup

karena semata-mata memperlihatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan

melakukan perampokan kepada rakyat. Ketiga puisi ini tercipta dari pelarian

Wiji Thukul ketika menjadi buronan dan mendapatkan kabar dari kampung

halaman ketika sedang berada di Kalimantan. Keempat karya puisi ini

merupakan sikap dari Wiji Thukul demi terciptanya masyarakat yang adil

dan mencerminkan kemanusiaan untuk mengembangkan bangsa Indonesia.

Pemerintahan ada bukan untuk memeras dan melanggar Hak Asasi Manusia

melainkan untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyatnya dan

mewujudkan Negara yang menjujung tinggi terhadap sikap kemanusiaan.

Dari puisi Wiji Thukul tidak terdapat kebebasan pengarang atau penyair

64
untuk mengeluarkan aspirasinya. Represif merupakan metode yang

dilancarkan terhadap pengarang-pengarang yang dicap bertindak subversive.

Hal ini Nampak jelas tergambar dalam puisi (tanpa judul) Wiji Thukul.

1) Bait pertama (Ketidakadilan Sosial)

Singnifier Singnified Signification

(Penanda) (Pertanda) (Makna)

Ku terima kabar dari Ketidakadilan sosial Makna yang dapat

kampoeng, dirasakan penindasan

Rumahku kalian geledah, yang kejam demi

Buku-buku kau jarah, kekuasaan yang

Tapi ucapkan banyak berkelanjutan

terima kasih, merampas dan

Karena kalian sudah diskrimisani terhadapat

memperkenalkan sendiri, anak-anak dan

Pada anak-anakku. masyarakat.

a. Ikon Ku terima kabar dari kampoeng, Rumahku kalian geledah, Buku-

buku kau jarah,Tapi ucapkan banyak terima kasih, Karena kalian sudah

memperkenalkan sendiri,Pada anak-anakku.

65
b. Indeks Ketidakadilan sosial

c. Simbol makna yang dapat dirasakan penindasan yang kejam demi

kekuasaan yang berkelanjutan merampas dan diskriminasi terhadapat

anak-anak dan masyarakat.103

Makna yang terdapat dari puisi Tanpa Judul berkata Terima kasih karena

kalian sendiri yang telah memperkenalkan kepada anak-anakku adanya

penindasan dan diskriminasi sosial dan merampas segala bentuk kebahagiaan

seorang keluarga. Pesan puisi ini adalah perampasan hak rakyat dan

memperkanalkan rezim yang bersifat otoriter.

2) Bait kedua (penindasan terhadap rakyat)

Singnifier Singnified Signification

(Penanda) (Pertanda) (Makna)

Kalian telah mengajari Penindasan terhadap Disimpulkan anak-

anak-anakku, membentuk rakyat anak yang dibawah

kata penindasan sejak dini, umur telah melihat

Ini tak diajarkan, ketidakadilan dan

disekolahan tapi rezim ini, penindasan terhadapat

sudah memperkenalkan usia dibawah umur.

kepada semua kita.

103
Ibid., 126.

66
a. Ikon Kalian telah mengajari anak-anakku, membentuk kata penindasan

sejak dini, Ini tak diajarkan, disekolahan tapi rezim ini, sudah

memperkenalkan kepada semua kita.

b. Indeks Penindasan terhadap rakyat

c. Simbol Disimpulkan anak-anak yang dibawah umur telah melihat

ketidakadilan dan penindasan terhadapat usia dibawah umur.104

Makna yang dapat diambil adalah penindasan kepada rakyat dengan

tindakan ketidakadilan, mendiskriminasi rakyat bahkan sampai pada anak

dibawah umur. Masyarakat mendapatkan ketidakadilan dari perlakuan rezim orde

baru yang bersifat otoriter dan mengakibatkan masyarakat semakin melawan atas

tindakan yang tidak mencerminkan kemanusiaan.

3) Bait ketiga (Intimidasi terhadap Masyarakat)

Singnifier Singnified Signification

(Penanda) ( Pertanda) (Makna)

Setiap hari dimana-mana, Intimidasi terhadap yang terjadi

Sambil menenteng nenteng masyarakat penguasa yang

senapan kekejaman kalian adalah sombong dan

bukti pelajaran, tidak adil,

Yang pernah ditulis membuat sejarah

tidak akan

dilupakan oleh

masyarakat

104
Ibid., 126.

67
Indonesia.

a. Ikon Setiap hari dimana-mana, sambil menenteng nenteng senapan

kekejaman kalian adalah bukti pelajaran, yang pernah ditulis.

b. Indeks Intimidasi terhadap masyarakat

c. Simbol yang terjadi penguasa yang sombong dan tidak adil, membuat

sejarah tidak akan dilupakan oleh masyarakat Indonesia.105

Makna yang dapat diambil dari puisi tersebut adalah Intimidasi dari

aparatur negara keadaan dimana para tentara selalu menembak, melanggar HAM

dan belaku tidak adil. Pelanggaran tersebut menggunakan cara kekerasan secara

langsung, penggeladahan, perampasan dan penculikan.

E. Analisis Makna Puisi wiji Thukul

1. Perlawanan Atas Tindakan Orde Baru

Puisi Istirahatlah Kata-Kata yang terinspirasi dari kondisi sosial

mempunyai makna implisit, seperti yang terdapat dalam bait di bawah ini:

Jangan menyembur-nyembur

Orang-orang bisu

Kembalilah kedalam Rahim

Segala tangis dan kebusukan

Pertama, refleksi gerakan yang telah dijalankan berangkat dari salah satu

tesis dasar dialektika bahwa diam pun adalah gerak. Demikian pula makna

istirahat bukan berarti tidak melakukan apa-apa.

105
Ibid., 126.

68
Sebaliknya, yang diistirahatkan sebagai teriakan kata-kata kritik terhadap

rezim yang mewujudkan dalam aksi-aksi demonstrasi. Istirahat bermakna refleksi,

evalusi atas langkah-langkah yang sejauh ini telah di lakukan. Untuk mengukur

seberapa kekuatan kelompok Wiji Thukul dan sebesar apa kekuatan musuh, serta

menganalisa situasi aktual yang terjadi.

Dalam sunyi yang meringis

Tempat orang-orang mengikari

Menahan ucapanya sendiri

Tidurlah, kata-kata

Kita bangkit nanti

Kedua, strategi menghimpun kekuatan dan mempersatuakan gerakan.

Selain evaluasi, di dalam kata istirahat tersebut mengandung makna: merumuskan

kembali srategi yang akan dilakukan ke depan. Selain itu, secara objektif perlu

adanya konsolidasi antara kelompok-kelompok gerakan yang berlawanan, terlebih

di antara berbagai daerah yang kala itu belum menjalin konsolidasi. Persatuan

antara seluruh elemen rakyat tertindas mutlak diperlukan untuk menghantam

lawan yang masa itu begitu kokoh dalam kekuasaan dan ditopang secara penuh

oleh struktur yang sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dari penggalan bait keempat

puisi tersebut, “menghimpun tuntutan-tuntutan, yang miskin papa dan

dihancurkan.”

Menghimpun tuntutan-tuntutan

Yang miskin papa dan dihancurkan

Nanti kita akan mengucapkan

69
Bersama tindakan

Bikin perhitungan

Tak bisa lagi ditahan-tahan.

Ketiga, perjuangan yang tidak pernah berhenti dan akan terus dilanjutkan.

Istirahat bukan berarti berhenti, namun justru akan dilanjutkan dengan kekuatan

yang lebih dahsyat. Makna ini tersirat dari bait ke-4, “nanti kita akan

mengucapkan, bersama tindakan, bikin perhitungan. ”Bahwa tak hanya lontaran

kata-kata yang akan kembali menyerang namun berwujud dalam satu tindakan

nyata. Secara faktual memang begitu adanya, setelah tahun 80-an perjuangan

gerakan rakyat semakin terkonsolidasi satu dengan yang lain.

Wiji Thukul sendiri pada tahun 1996 juga ikut menggagas berdirinya

Partai Rakyat Demokratik sebagai wadah persatuan bersama, berbagai sektor

rakyat yang menentang kediktatoran orde baru. Hingga jatuhnya Soeharto pada

bulan Mei 1998. Istirahat bukan berarti menyudahi, istirahat bermakna menghela

nafas sejenak, menghimpun kekuatan kemudian memukul lebih keras.

2. Ketidakadilan Sosial

Jika dilihat dari tanggal pembuatan puisi pada 11 Agustus 1996. Maka,

menunjukan waktu itu Thukul dalam masa pelarianya yang pertama. Awal

Agustus, masa dimana Thukul memutuskan untuk meninggalkan tempat

tinggalnya. Hal ini dikarenakan kondisi konfrontasi Thukul dengan pemerintah

sedang memanas. Alasan Thukul dijadikan buronan oleh pemerintahan karena

pergerasakan Wiji Thukul dianggap sangat mengganggu keamanan Negara. Puisi-

70
puisi karya Wiji Thukul yang mengandung banyak makna konfrontasi itulah yang

menyebabkan Wiji Thukul melarikan diri.

Kuterima kabar dari kampong

Rumahku kalian geledah

Buku-buku kalian jarah

Dari baris pertama tentu Thukul sangat tersiksa meninggalkan istrinya

(Sipon) dan kedua orang anaknya Wani dan Fajar Merah, untuk bertemu

keluarganya ia harus melakukanya dengan sembunyi-sembunyi. Jika kita teliti

pemaknaan puisi bait pertama adanya penggeledahan buku-buku dijarah,

interogasi keras terhadap keluarga. Tindakan pemerintahan tersebut dikatakan

tidak memanusiakan manusia hal ini cukup ironis jika dilihat dari peristiwa

penggeledahan di rumah Wiji Thukul.

Tapi aku ucapkan banyak terima kasih

Karena kalian telah memperkenalkan sendiri

Pada anak-anakku

Kalian telah mengajari anak-anakku

Membentuk makna kata penindasan sejak dini

Bait kedua diawali dengan tapi aku ucapkan terima kasih. Hal tersebut

justru ditanggapi dengan ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih tersebut

merupakan sindiran perlakuan yang dilakukan pemerintah terhadap para aktivis.

Aparat bersikap tidak adil terhadap warga Indonesia yang menajaga keamanan

negara namun malah bertindak sebagai bentuk penindasan. Dari bait itu Wiji

Thukul mengatakan bahwa perlakuan pemerintah terhadap dirinya yang

71
disaksikan keluarga dan tetangga-tetangganya justru membenarkan kesewenang-

wenangan pemerintah terhadap rakyat (sesuai puisi Wiji Thukul).

Ini tak diajarkan disekolahan

Tapi rezim sekarang ini memperkenalkan

Kepada semua kita

Bait selanjutnya, yaitu ini tidak diajarkan di sekolahan. Lirik ini bermakna

bahwa bentuk kegiatan yang menyudutkan nama baik pemerintahan tidak

diajarkan disekolahan, yang diajarkan adalah kebaikan-kebaikannya saja. Hal ini

dapat dikatakan sebagai hegemoni pemerintah orde baru terhadap rakyat. Banyak

yang memutar balikan atau bahkan menutup-nutupi sejarah. Salah satunya dengan

membatasi buku-buku bacaan atau bahkan menjauhkan generasi muda dari

referensi sejarah.

Tapi rezim sekarang ini memperkenalkan

Kepada semua kita

Setiap hari dimana-mana

Sambil menenteng nenteng senapan

Baris selanjutnya adalah tetapi rezim sekarang ini memperkenalkan

kepada kita semua. Kata ini bermakna kekejaman militer dan pemerintahan orde

baru memang tidak diajarkan disekolah-sekolah. Justru langsung ditunjukan

kepada masyarakat. Teror demi teror yang dirasakan para aktivis pada umumnya

dan teror yang dirasakan oleh keluarga Wiji Thukul pada khususnya. Teror

tersebut berbau militerisme seperti yang tertuang dari bait selanjutnya, setiap hari

dimana-mana menenteng senapan makna tersebut mengandung peran militer

72
dalam menangani prahara aktivis yang berkonfrontasi sangatlah besar. Bahkan tak

segan segan mereka mengancam dengan menggunakan senapan. Makna kalimat

dimana-mana bahwa aparat terus mengawasi para aktivis yang menjadi target

operasi dimanapun aktivis itu berada.

Kekejaman kalian adalah bukti pelajaran

Yang pernah ditulis

Wiji Thukul menggambarkan dalam puisi-puisinya di atas adalah bukti

kekejaman yang tidak pernah ditulis. Penculikan juga penyiksaan memang terjadi

dan ditulis dalam buku-buku sejarah Indonesia. Peristiwa kejam tersebut justru

menjadi inspirasi lewat puisi-puisi Wiji Thukul dari puisi-puisi tersebut

mempunyai pesan, makna perasaan bahwa Wiji Thukul merasa di terror, melihat

kejadian-kejadian masa orde baru.

73
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian Puisi pada film Istirahatlah Kata-Kata

karya Wiji Thukul dengan pendekatan Semiotika Ferdinand de Saussure dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Hasil pembacaan struktur puisi Wiji Thukul dalam Film Istirahatlah kata-

kata yang memliki dua arti perlawanan dan ketidakadilan sosial Tema

puisi Istirahatlah kata-kata dan Tanpa judul dalam bercerita tentang

Refleksi yang kemudian melakukan aksi. Perenungan yang dijalani oleh

Wiji Thukul dalam puisi ini mempunyai arti kontemplasi yang mendalam

untuk melakukan gerakan untuk melawan rezim orde Soeharto.

2. Makna Puisi Istirahatlah Kata-Kata mempunyai arti perlawanan dan Puisi

“Tanpa Judul” mempunyai arti ketidakadilan sosial karya Wiji Thukul.

Puisi yang pertama mempunyai makna perlawanan perenungan yang

mencerminkan proses berfikir dan mengatur strategi untuk membuat

demonstrasi kembali. Puisi yang kedua adalah Tanpa Judul yang

mempunyai makna ketidakadilan sosial member pesan akan kekerasan

yang diberikan oleh aparat militer orde baru untuk mengintimidasi dan

melakukan tindakan yang melanggar hak asasi manusia.

74
B. Saran

Dalam penelitian di atas peneliti memberikan saran kepada pembaca dan

pembuat puisi yang belum mempunyai arti dalam narasi puisinya maka

perlulah membaca karya-karya wiji Thukul.

1. Menciptakan karya-karya yang tidak bersifat komersial saja, tetapi juga

karya yang bermanfaat oleh masyarakat pada umumnya.

2. Memberikan ruang kepada puisi-puisi yang lainya agar menjadi bahan

kajian dan penelitian dengan tujuan hasilnya dapat digunakan untuk

menyelesaikan masalah yang banyak terjadi dalam masyarakat di Indonesia

seperti halnya masalah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa sering

terjadi anarkisme atau keos.

3. Dalam membaca dan mendengar puisi sebaiknya tidak merasa pasif karena

film terjadi karena adanya sebuah karya puisi maupun novel. Tetapi yang

kita lakukan harus bersikap aktif, kritis dan solutif supaya mengetahui arah

suatu film dan mengetahui suatu makna dalam puisi tersebut. Hal tersebut

sangat penting agar tidak terprovokasi atau menimbulkan sebuah konflik.

75
DAFTAR PUSTAKA

Aminudin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra (Bandung: Sinar baru


Algesindo, 2004), Cet,V.
A. Teeuw, Sastra dan ilmu sastra, Pengantar Teori Sastra (Jakarta Pusat:
PT Dunia Pusaka Jaya, 1984), Cet.1.
Dennis McQuail, Mass Communication Theory, Second Edition (Jakarta:
Erlangga, 1996).
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006)
Dep dik bud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka,
1991).
Djunaidi Ghony, Metode penelitian kualitatif (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012).
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Gadjah Mada
Universitas Press,1988).
Hamidi, Metodologi Penelitian Kualitati (Malang: UMM Press, 2004).
Heru Effendy, Mari Membuat Film (Jakarta: Erlangga, 2009).
Rahmat Djoko Pradopo, Pengajian Puisi (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), Cet. IX.
Richard Harland, Superstrukturalis (Yogyakarta: Jalasutra, 2006).
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1997).
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitif dan Kualitatif
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006).
Kris Budiman, Semiotika Visual Jalasutra Anggota KPAI (Yogyagkarta,
September, 2011).
MH Abrams, A Glossary Of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston
(New York, first edition, 1981).

76
Muhammad Al-Fayyadl, Derida (Yogyakarta: Lkis, 2005).
Nawiroh Vera, Semiotika dalam Riset Komunikasi (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2015).
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2003).
S. Effendi, Bimbingan Apresiasi Puisi (Jakarta: Penerbitan Nusa Indah-
Percetakan Arnoldus, 1974), Cet.II.
Sri Purnawati, Teknik Pembuatan Film (Surabaya:Iranti Mitra Utama,
2009).
Sugiyono, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Alfabeta, 2015).
Sukristi, Struktur Puisi Sajak Ibu Karya Wiji Thukul dan Implementasi
dalam Pembelajaran SMA Kelas X Semester 1 (Skripsi, Universitas Sanata
Darma Yogjakarta, 2011).
Hanata Oksinata, Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi
Peluru Karya Wiji Thukul (Skripsi, Universitas Sebelas Maret 2010).
Dimas Albiyan Yudha Nurhakiki. Buruh Indonesia Pada Masa Orde
Barudalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah
Jurusan Bahasa dan Sastra Indunesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
(Universitas Islam Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 ).
https:// pakar komunikasi.com/teori-semiologi-ferdinand de saussure
(diakses pada 19 Februari 2018).
http:/www.setara.institute.org/en/category/galleries/indicators (diakses
pada13 Februari 2018).
Yoyon Mudjiono “ Kajian Semiotika dalam Film”, diakses dari
https://www.google.co.id/search?client=ucwebb&channel=sb&q=jurnal+tentang+
film+pdf&oq=jurnal+tentang+film&aqs=mobile-gws-lite.1.0I5 (diakses pada
tanggal 14 Februari 2018, pukul 20.16 WIB.)

77
BIOGRAFI PENULIS

Adi Ari Hamzah, lahir di Jepara pada 28 November 1994. Putra keempat

dari enam bersaudara. Senang membaca, dan membuat puisi. Dari kecil terbiasa

hidup mandiri dan jauh dari orang tua. Masa kecil hingga remaja, ku habiskan

seluruhnya di Jakarta Barat mengikuti keduaku kakakku. Mengawali pendidikan

di SDN 07 Joglo Jakarta Barat, melanjutkan dijenjang SMP Sumpah Pemuda dan

SMK Sumpah Pemuda Jurusan Administrasi Perkantoran. Tamat pada tahun

2013, saya tidak langsung melanjutkan pendidikan di jenjang universitas. Akan

tetapi, bekerja menjadi seorang karyawan toko di Alfamidi dan Lawson selama 1

tahun. Lalu berganti profesi sebagai pelayan di sebuah Restoran Thailand selama

1 tahun. Kemudian di tahun 2015, saya baru melanjutkan pendidikan di Sekolah

Tinggi atas ajakan paman saya yang menjadi salah satu dosen disana.

Dari Jakarta, saya bertolak ke kota kecil Ponorogo untuk menempuh

pendidikan di IAIN Ponorogo. Mengambil Jursan Akhwalus Syahsiyah, namun di

terima di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Di awal semester, saya

dipercaya menjadi pemimpin group hadroh Maghad Ulil Absor selama 2 semester.

Kemudian di semester 3 dan 4 saya dipercaya oleh teman-teman jurusan untuk

menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Program Study (HMPS) ketika IAIN masih

berstatus STAIN, yang kini berubah menjadi Himpunan Mahasiswa Jurusan

(HMJ) Komunikasi Penyiaran Islam. Kemudian di semester selanjutnya, saya

masih dipercaya kembali sebagai Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) di

Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah. Selama berada di KPI, saya aktif di

Forum Komunikasi Nasional (Forkomnas) dan juga di Asosiasi Mahasiswa

78
Dakwah Indonesia (Amdin). Di hampir berakhirnya pendidikan saya di IAIN

Ponorogo saya menjabat sebagai Wakil Ketua Dema IAIN Ponorogo. Dan saya

juga aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler PMII Rayon Farid Esack Komisariat

IAIN Ponorogo. Pencapaian terbesar saya selama menempuh pendidikan di IAIN

Ponorogo adalah, mengikuti Study Program Mobility dari Kemenag selama satu

minggu di Singapore, Malaysia dan Thailand.

Demikianlah sedikit informasi mengenai diri saya, semoga menjadikan

motivasi dan pengalaman bagi para pembaca. Terima kasih.

79

Anda mungkin juga menyukai