Serat Dewa Ruci yang digubah oleh Kyai Yasadipura I memuat ajaran tasawuf
yang dalam pembawaannya disejajarkan dengan ajaran mistik Jawa.
Penciptaannya disengajakan untuk menyampaikan nilai-nilai ke-Islaman kepada
masyarakat Jawa kala itu. Karya Sastra semacam ini merupakan warisan tradisi
berdakwah yang diturunkan oleh para wali yang diyakini dengan cara demikianlah
Islam dapat disebarkan di Nusantara, wilayah yang sebelumnya telah diisi dengan
budaya anemisme, dinamisme, Hindu, dan Budha.
Saat ini pemahaman generasi baru tentang bahasa dan simbol-simbol
komunikasi yang biasa digunakan oleh masyarakat terdahulu banyak mengalami
distorsi. Termasuk pemahaman terhadap ajaran luhur yang termuat dalam Serat
Dewa Ruci, saat ini sudah tidak banyak lagi orang yang mengerti maksud dari
simbol-simbol yang digunakan di dalamnya. Dengan demikian, maka, penelitian
ini bermaksud mengadakan penafsiran mendalam dari padanya, agar kemudian
dapat dituliskan dan dapat dibaca serta disebar luaskan kepada masyarakat, guna
memberi pemahaman atas ajaran yang terkandung di dalamnya.
Penggalian kandungan Serat Dewa Ruci dalam karya ini menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif analitis dengan penggunaan semiotik sebagai
metode analisis. Adapun metode analisis semiotik yang digunakan adalah metode
yang dirumuskan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu dengan memfokuskan pada
rumusan tentang analisis bahasa sinkronik-diakronik dan konsep penanda-
petanda. Analisis semiotik dilakukan dengan cara penggalian pemaknaan yang
telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dalam manuskrip-manuskrip yang
ada, serta dengan mencari data dan informasi dari pelaku budaya Jawa yang
memiliki wawasan luas tentang kandungan Serat Dewa Ruci.
Hasil dari penelitian ini adalah kesimpulan bahwasanya isi kandungan Serat
Dewa Ruci didominasi dengan ajaran tasawuf falsafi yang kemudian dikenal juga
dengan ajaran mistik kejawen. Simbol-simbol yang digunakan di dalamnya
merupakan penggambaran lelaku tirakat yang harus dijalani seseorang untuk
menggapai tingkatan tinggi dalam spiritual dan kesucian jiwa. Banyak kalangan
masyarakat Jawa yang menjadikan cerita Dewa Ruci sebagai rujukan pencarian
jati diri manusia.
iv
KATA PENGANTAR
v
6. Terimakasih kepada keluarga, kanjeng rama Mugohardjo, kanjeng ibu Tri
Mulyani, serta kedua kakak penulis, Nur Eka Yanti sekeluarga dan
Munawir Hasan al-Fauzi, atas kehangatan yang diberikan selama ini.
7. Terimakasih kepada kawan-kawan “nongkrong” Tongkrongan Sastra
Senjakala: Abraham Zakky, Asep Sopyan , Dedik, Moham, Maharini, dan
semua anggota nongkrong atas banyak hal yang saling dibagi bersama.
8. Terimakasih kepada keluarga besar Al-Barkah Institute: Nian, Rochim,
Majid, Domen, Imam, Fajar, Habib, Icha, Iin, Azizullah, pakne Azam, dan
semua penghuni basecamp, baik kaum “anshor” maupun “muhajirin,” atas
keintiman perkawanan dengan penulis.
9. Terimakasih kepada Ikatan Alumni MAKN Surakarta (IKAMAKSUTA)
Jakarta Raya: Farid, Kamal, Ais, Ulya, Baha’, Amri, Saidah, Fajar, Amin,
Sari, dan seluruh alumni baik yang telah penulis seniorkan karena usia,
karir, dan pengalaman, ataupun yang masih menjadi mahasiswa di
JABODETABEK. Kebersamaan dengan mereka mengajarkan pada penulis
arti persaudaraan.
10. Terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada Zahratu Qalbiy, Ika
Prihatin Yuliana, atas motivasi yang tiada henti.
Penulis,
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
vii
C. Pengaruh Budaya Islam dalam Serat Dewa Ruci................................ 45
D. Penokohan Bima (Werkudara) dalam Serat Dewa Ruci..................... 49
E. Sinopsis Serat Dewa Ruci................................................................... 51
BAB V PENUTUP................................................................................................ 73
A. Kesimpulan......................................................................................... 73
B. Saran Penelitian................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 76
LAMPIRAN.......................................................................................................... 79
viii
BAB I
PENDAHULUAN
Nusantara melalui berbagai macam cara. Adapun cara yang paling dianggap
sukses adalah dengan penerapan metode yang sangat apresiatif terhadap budaya,
Metode yang digunakan para wali ini mampu menjadi bukti ke-Rahmatan lil
‘Alamin-an Islam bagi masyarakat. Terbukti sampai hari ini Islam bertahan, dan
bahkan hari ini lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Islam. Pencapaian
ratusan tahun telah diisi oleh agama adat istiadat serta Hindu-Budha.
Metode yang santun inilah yang membedakan Islam di negeri ini dengan Islam
memiliki peradaban tinggi, namun akhirnya runtuh oleh pasukan “salib” yang
1
Wali dalam konteks ini adalah waliyullah, yaitu orang-orang yang memiliki kedekatan
dengan Allah, sedangkan songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. Jadi, Wali Songo
adalah sebutan untuk sembilan wali yang bertugas menyebarkan ajaran Islam di Jawa sekaligus
sebagai penasehat keagamaan di kerajaan. Dalam tugasnya para wali tersebut diberi kuasa oleh
raja (Kerajaan Islam Jawa) untuk menguasai suatu wilayah tertentu, misalnya Maulana Malik
Ibrahim diberi kekuasaan di wilayah Gresik, maka bergelar Sunan Gresik, Ja’far Shadiq diberi
kekuasaan di wilayah Kudus, maka bergelar Sunan Kudus. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara;
Rangkaian Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2005), h. 10-11. Prof.
Hasanu Simon, mengutip dari Asnan Wahyudi, berdasar naskah orisinil yang tersimpan di Istana
Istanbul, Wali Songo pada awalnya adalah sembilan ulama yang memiliki karomah, utusan Sultan
Muhammad I untuk berdakwah di Tanah Jawa pada tahun 1404. Dalam keterangannya, hal ini
juga telah ditulis Ibnul Batuthah dalam kitab Kanzul Hum. Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti
Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), cet ke-
2, 2005, h. xxii.
1
2
dalam beberapa analisa disinyalir karena hadirnya Islam di sana dengan pedang
Bentuk kesantunan dakwah para wali itu antara lain dengan menghadirkan
pertunjukan wayang, gamelan, dan sastra. Pertimbangan para wali waktu itu tentu
melihat bahwa kesenian adalah sesuatu yang paling bisa mengumpulkan banyak
keberadaannya pada waktu itu kira-kira sama dengan konser musik hari ini. Di
Kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa tinggi manusia yang terpadu
dalam karya (berupa produk budaya dan sastra). Dengan demikian, tentu
kebudayaan akan selalu ada dan dikenang sepanjang zaman. Dalam artian,
kebudayaan terdahulu tidak boleh terhapuskan hari ini, dan kebudayaan hari ini
pun tidak akan pernah terhapuskan pada masa yang akan datang. Sebagai contoh,
karya sastra misalnya, sampai kapan pun kita akan mengenang Negarakertagama,
Bharata Yudha, Ramayana, Serat Centhini, Serat Wedhatama dan lain sebagainya,
sebagai maha karya. Pun dengan sastra baru, sampai nanti kita akan tetap
karyanya “Aku,” Ali Akbar Nafis dengan karyanya “Robohnya Surau Kami,” dan
Andrea Hirata juga akan terus mendapat tempat pada memori perjalanan sastra
dan budaya.
Sebagai objek, khazanah sastra Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu: sastra
lama dan sastra modern. Sastra lama disebut juga sastra Nusantara, tersebar di
Indonesia. Secara historis sastra lama mulai lahir sejak berakhirnya masa
pepatah, dongeng, dan tradisi lisan (folklore) yang lain, yang kemudian
dilanjutkan dengan kebudayaan Hindu dan Islam, hingga awal abad ke-20.
Kemudian setelah abad ke-20 lahirlah yang disebut dengan sastra modern yang
ditandai dengan terbitnya “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar, dan
Keberadaan karya sastra sebagai salah satu produk budaya inilah, maka dulu
para wali menjadikannya sebagai salah satu alat untuk menyebarkan misi Islam.
yang hasilnya bisa dinyanyikan, yang sampai hari ini masih dipakai dan
wali-wali yang lain juga menciptakan, seperti Sunan Giri menciptakan tembang
2
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme
hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 12.
4
Pangkur.3 Sampai akhirnya pada masa setelah “Wali Songo,” tradisi berdakwah
melalui sastra diwarisi dua tokoh, yaitu ulama pesantren dan para pujangga
Kerajaan Mataram Islam. Khusus untuk pujangga, karya sastranya khas dengan
pesan tasawuf, seperti yang banyak dikenal, yaitu Serat Wulangreh karya Sri
Sunan Pakubuwana IV, Serat Centhini karya Sri Sunan Pakubuwana V, Serat
Wedhatama karya Mangkunegara IV,4 Serat Cabolek dan Serat Dewa Ruci karya
sebagai karya kapujanggan terakhir Surakarta, seperti Serat Joko Lodang, Serat
Wirid Hidayat Jati, dan Serat Kalatidha yang di dalamnya memuat tentang perihal
Sebagai salah satu karya sastra tinggi yang juga merupakan media dakwah
Islam yang efektif untuk kalangan rakyat jelata di Pulau Jawa,5 Serat Dewa Ruci
murni dari rahim budaya Islam (Mekah dan Madinah), namun isi ceritanya sampai
hari ini telah berubah menjadi muatan dakwah tasawuf. Ajaran yang terdapat
didalamnya mengandung pesan proses pencarian jati diri manusia yang sejatinya
adalah makhluk bertuhan. Seperti dikatakan oleh Imam al-Ghazali yang juga
dikutip dari ‘ulama pendahulu, dan bahkan dinisbatkan sanatnya sampai kepada
Rasulullah SAW, “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, yang artinya:
3
HM. Ilyas Werdisastro, Keris Kalimasada dan Wali Songo (Jakarta: Timpani Publishing,
2008), h. 95. Dalam Purwadi, disebutkan bahwa Sunan Bonang menciptakan Suluk Wujil.
Sedangkan masalah penciptaan tembang-tembang, ia sependapat dengan Werdisastro. Lihat:
Purwadi, Sejarah Sastra Jawa, (Yogyakarta: Shaida, 2007), h. 118-125.
4
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2009), h. 6.
5
A. Seno Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutci Dengan Arti Filsafatnja (Jakarta: Kinta,
1967), h. 3.
5
hamba harus meninggalkan sifat keduniawian, rasa ragu, takut, dan bimbang
yang semata hanya mengharap ridlha dari-Nya. Dalam ini, Rasulullah SAW
bersabda:
(setelah mendapat penjelasan apa itu Islam dan Iman, maka penanya itu)
bertanya: dan kabarkanlah padaku tentang Ihsan?! (Rasulullah) bersabda: Enkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya. Jika engkau tidak
melihatnya, (setidaknya engkau merasa bahwa) sesungguhnya Dia melihatmu.
(H.R. Abu Daud)6
Mengenai perasaan bahwa tuhan selalu ada pada saat apa pun dan kapan pun
manusia berada, Allah berfirman di dalam al-Qur’an surat al-Hadid (57) ayat 4:
6
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, t.t), h. 39. Hadits ini merupakan peristiwa di mana Malaikat Jibril AS dengan menyamar
sebagai seorang yang ingin bertanya kepada Rasulullah SAW dengan mengenakan pakaian serba
putih. Jibril AS bertanya tentang Islam, Iman, kemudian Ihsan sebelum akhirnya bertanya tentang
hari kiamat dan tanda-tandanya. Dalam hadits ini urutan Ihsan berada setelah Islam dan Iman, ini
merupakan sebuah pertanda bahwa ke-ihsan-an seseorang akan dicapai setelah Islam dan Iman.
6
Firman Allah dan Sabda Nabi SAW tersebut di atas, menjadi dalil bahwa
melihat, tidak tidur, dan tidak pernah lupa akan sesuatu. Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu, Maha Adil, serta Maha Mengancam atas apa yang dilakukan
manusia. Manusia seharusnya menyadari hal ini agar tidak merasa takabur karena
merasa hebat, sakti, kuat, pintar, serta lebih dalam segala hal dari orang lain.
Sesungguhnya Allahlah yang memiliki segala kesempurnaan itu, dan bukan selain
dari pada-Nya. Kesadaran semacam inilah yang menjadi tujuan dalam penulisan
Serat Dewa Ruci. Kandungannya menghendaki kesadaran bagi siapa saja yang
mempelajarinya.
Namun menjadi keresahan hari ini adalah bahwa pengemasan pesan yang
terkandung dalam Serat Dewa Ruci sudah tidak menarik lagi untuk dipelajari,
oleh generasi muda. Seolah telah terjadi keterputusan antara pemahaman pujangga
dahulu dalam menulis menggunakan gaya yang diperuntukkan bagi generasi saat
itu, dengan pemahaman generasi muda saat ini. Hal ini dimungkinkan karena
tentang pesan luhur yang dikandung dalam Serat Dewa Ruci. Harus menjadi
kesadaran bagi para akademisi hari ini adalah, bagaimana caranya menghadirkan
isi pesan Serat Dewa Ruci itu untuk konteks kekinian, mengingat memang
wujudnya yang kurang menarik dan susah dimengerti oleh masyarakat yang hidup
pada era modern ini. Isi Serat Dewa Ruci dipenuhi simbol-simbol yang tidak jelas
jika hanya sekilas dibaca. Hal ini disebabkan karena generasi akhir ini tidak
7
Dewa Ruci ditulis. Maka dari itu, perlu diadakan pembahasan dengan tafsiran
yang terperinci agar karya besar itu dapat dimengerti kembali maksud dan artinya.
simbolik yang terdapat pada cerita tersebut sesuai dengan interpretasi masyarakat
pemaknaan terhadap simbol-simbol dalam Serat Dewa Ruci, dan penjelasan para
Dewa Ruci tersebut, maka salah satu metode analisa yang paling cocok adalah
metode semiotik. Metode ini adalah metode yang mencoba mengenali simbol dan
Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah penggalian atas isi pesan dari
simbol-simbol yang terdapat pada cerita Serat Dewa Ruci. Fokus penelitian ini
dibatasi hanya pada kata, kalimat, ataupun adegan yang terdapat pada bait ke-2
8
sampai dengan bait ke-5 Serat Dewa Ruci yang mengandung unsur simbolik dan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pesan-pesan luhur yang
terkandung dalam Serat Dewa Ruci serta mencari keterkaitannya dengan Ilmu
sudah tidak relevan lagi bagi pemahaman kebanyakan orang pada zaman ini.
ilmu Dakwah maupun Komunikasi oleh dan bagi para akademisi, terutama
2. Dalam segi praktisnya, sesuai tertera dalam paragraf tujuan, penelitian ini
sesuai dengan tuntutan zaman, seperti lahirnya karya baru dalam bentuk
novel, puisi, lukisan, drama, atau film yang mengambil ajaran luhurnya
simbol yang terdapat dalam Serat Dewa Ruci, sehingga nantinya menjadi
pelengkap dari karya Dr. Hamid Nasuhi dan karya-karya penelitian lain
yang sudah ada sebagai pemberi kemudahan bagi siapa saja yang ingin
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
analitis dengan konsep semiotik sebagai metode analisis. Metode yang dipilih
secara paradigma masuk dalam ranah paradigma subjektif, dan nantinya hasil
analisis tidak bisa terlepas dari subjektifitas peneliti. Seperti dikutip oleh Ranita
Erlanti Harahap, dari Agus Sudibyo, Ibnu Ahmad, Muhammad Qodari, dan Little
dijelaskan bahwa proses pemaknaan tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifitas
pemberi makna, karena teori-teori jenis ini memang mengizinkan seorang peneliti
hidupnya.7
Objek Penelitian ini adalah karya sastra jawa, Serat Dewa Ruci, sedangkan unit
7
Ranita Erlanti Harahap, “Analisis Semiotik pada Poster HIV/AIDS di Yayasan Pelita Ilmu,”
(Skripsi S I Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008), h. 11.
10
pada Serat Dewa Ruci dari adegan pertama sampai dengan adegan Bima bertemu
3. Pengumpulan Data
beberapa tahap. Tahap pertama, pengumpulan data-data dari unit analisis yaitu
berupa adegan, kalimat, maupun kata yang mengandung unsur simbolik. Dengan
mengambil inspirasi dari linguistik Saussure, sebuah kritik sastra struktural akan
menemukan fondasi teoretik yang kuat untuk menisbahkan diri pada aliran
semacam ini, maka peneliti mengikuti tawaran Rh. Widada dengan menyusun
pembacaan.
tersebut.
11
sebuah pasangan opisis biner rujukan tempat semua oposisi biner memperoleh
nalarnya.8
Kemudian mengumpulkan data literasi yang membahas tentang isi pesan Serat
Dewa Ruci. Ketiga mengadakan observasi terhadap naskah Serat Dewa Ruci yang
Pustaka Kraton Pura Mangkunegaran, dengan alasan Serat Dewa Ruci gubahan
dalam Serat Dewa Ruci dengan mengadakan wawancara kepada tokoh budayawan
Jawa.
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggolongkan Serat Dewa Ruci sebagai karya
utama.
8
Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra; Sebuah Metode Kritik Sastra Stuktural (Yogyakata:
Jalasutra, 2009) h. 37-38.
12
nyata atau semesta alam dan juga hubungannya dengan karya sastra lain
sebagai hipogram atau latar pengacuan untuk menciptakan karya sastra yang
baru.9
semiotik. Metode ini diyakini sesuai untuk meneliti karya sastra sebagai produk
budaya, karena sastra itu sendiri memang bekerja pada domain semiotik. Pada
dasarnya kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotik adalah suatu cara atau
Tulisan yang terdapat dalam Serat Dewa Ruci dilihat sebagai suatu produk
sebagai suatu keseluruhan teks. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
E. Tinjauan Pustaka
adalah sebagai tinjauan objek penelitian. Sedangkan dua penelitian lainnya adalah
karya Dr. Hamid Nasuhi. Buku yang juga merupakan karya disertasi ini
9
Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra (Bandung: Angkasa, 1993), h.
29.
10
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 237.
13
memuat keutuhan isi Serat Dewa Ruci berikut dengan penjelasan ajaran
tantang Serat Dewa Ruci dan membedahnya secara detail tentang muatan
sufistik di dalamnya.
2. Penelitian ini juga meninjau pada hasil penelitian Prof. Dr. Abdul Hadi W.
keseluruhan isi cerita Dewa Ruci dalam Serat Cabolek merupakan kitab
Film Turtles Can Fly,” oleh Istianah tahun 2009, Konsentrasi Jurnalistik,
Penelitian pada nomer satu dan dua di atas perlu dilengkapi dengan eksplorasi
terhadap makna pada simbol-simbol dalam cerita Dewa Ruci secara terperinci.
Dengan demikian, maka penelitian ini akan berusaha menjadi pelengkap bagi
keduanya.
11
Karya ini merupakan buah penelitian Prof. Dr. Abdul Hadi W. M. yang dipublikasikan pada
media internet dalam bentuk file PDF, bertanggalkan 8 April 2008. Artikel diakses tanggal 10 Mei
2010 dari http://www.scribd.com/doc/19387418/Index-2.
14
metode tersebut.
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
BAB V PENUTUP
TINJAUAN TEORI
Kata sastra dalam arti ''aslinya'' dalam pembendaharaan bahasa Sanskrit atau
Jawa Kuno berarti teks-teks yang mengarah lebih kepada berasal dari kedewataan
Ilmiah Populer, disebutkan, bahwa sastra adalah kitab; tulisan; karangan; buku
ilmu.2
Sastra bagi orang Jawa mendapat posisi yang luhur. Bahkan dapat dikatakan
dahulu kaum intelektual Jawa sebagian besar terdiri dari para pujangga
(sastrawan). Fungsi sastra bagi orang Jawa di antaranya adalah sebagai fungsi alat
Pare, Kediri Jawa Timur. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Sastra jawa
caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari haryang (hari kedua pada
1
Sugilanus G. Hartha “Nyastra; Merunut Kembali Arti Kata Sastra,” artikel diakses tanggal 8
Agustus 2010 dari http://permenkaretmolor.multiply.com/journal/item/202/Makna_dalam_Sastra.
2
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), h.
695.
3
S. Supomo “Fungsi Jawa Kuna Dan Relevansinya Di Sepanjang Masa,” artikel diakses
tanggal 18 Agustus 2010 dari
http://www.petra.ac.id/science/social_sciences/r_papers/konggres/sastra13.htm.
16
17
minggu yang berhari enam), wage (hari keempat dalam minngu yang berhari
lima), saniscara (pada hari ketujuh dalam minggu yang berhari tujuh)...” dengan
804. Ini merupakan suatu tanggal yang sesuai untuk mengawali tinjauan mengenai
sastra Jawa Kuno.4 Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari
tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang
tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuno).5 Prof.
Poerbatjaraka menyatakan ada kitab yang lebih tua dari prasasti itu, yakni kitab
memuat nama seorang raja keturunan Cailendra yang mendirikan candi Kalasan
kira-kira pada tahun 700 saka, yaitu sama dengan 778 Masehi. Kitab inilah yang
yang paling sistematis adalah merujuk kepada rumusan yang dimuat dalam situs
Sastra Jawa Kuno, Sastra Jawa Baru, Sastra Jawa Pertengahan, dan Sastra Jawa
Modern.
Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno pada
periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-8 sampai 13 Masehi, dimulai dengan
kitab Candra-Karana dan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam
4
P.j. Zoetmulder, Kalangwan; Sastra Jawa Kuno; Selayang Pandang (Jakarta: Djambatan,
1985) cet. Ke-2, h. 3.
5
Wikipedia berbahasa Indonesia “Sastra Jawa,” artikel di akses tanggal 24 Juli 2010 dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa.
6
Poerbajtaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa (Jakarta Djambatan, 1957) h. 2.
18
kronik, dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk
manuskrip yang ditulis pada daun tal/ lontar, yakni daun siwalan dan prasasti pada
batu atau lempengan batu. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno
ratusan jumlahnya, meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti
memuat teks kesusastraan. Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada
Poerbatjaraka membagi lagi periode Sastra Jawa Kuno ini dalam tiga bentuk
sesuai periodisasinya, yaitu pertama, Sastra Jawa Kuno golongan Tua yang
ditandai dengan penulisannya pada batu, tembaga atau emas, maupun pada daun
tal, yang hampir keseluruhan berbentuk bahasa prosa. Kitab-kitab tersebut seperti
Kedua, Sastra Jawa Kuno yang berkembang. Pada periode ini ditandai dengan
main penulisan berbentuk “tembang gede” (nyanyian besar) yang penuh dengan
syarat irama tetap tanpa perubahan sedikitpun.10 Adapun kitab-kitab pada periode
7
Lihat catatan kaki, No. 4, 5, dan 6.
8
Wikipedia berbahasa Indonesia, “Sastra Jawa.”
9
Poerbajtaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan, h. 163.
10
Ibid, h. 16.
19
Lubdhaka. Semua kitab yang disebutkan dalam periode ini berbentuk kakawin.
Ketiga, Sastra Jawa Kuno yang tergolong baru. Ciri-ciri sastra pada periode ini
menyebutkan nama raja pada masa penulisan, hubungan dengan kitab atau tulisan
lain, hari dan tahun pembuatan, serta menggunakan bahasa yang serupa dengan
kedua periode sebelumnya. Ciri yang menjadi pembeda periode ini adalah di
yang lebih tua –barangkali sekarang seperti adanya tinjauan pustaka– dan
menceritakan keadaan tanah Jawa11 (dua periode sebelumnya bercerita tanah lain
seperti India dan lain sebagainya). Kitab-kitab pada periode ini seperti
Parthayadnya, Nitisastra.
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13
sampai kira-kira abad ke-16. Pada garis besarnya yang menjadi penanda periode
ini adalah bahasa yang digunakan merupakan bahasa pertengahan antara bahasa
Jawa kuno dengan bahasa yang dipakai dewasa ini. Setelah abad ke-16, sastra
Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali.12 Pada masa ini
muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli.
berjaya. Dengan kata lain sebelumnya bahasa Jawa kuno digunakan hanya sampai
pada akhir zaman kerajaan Singasari. Adapun pada zaman Majapahit bahasa Jawa
kuno hanya digunakan oleh para pujangga13 untuk menulis syair-syairnya yang
masih merujuk kepada kitab-kitab lama seperti bahasa yang digunakan pada kitab
golongan bangsawan, bahasa Jawa kuno sudah jarang dipahami orang saat itu.
Dengan demikian karya sastra saat itu hanya lazim dibaca oleh para sastrawan lain
dan para bangsawan Majapahit. Oleh sebab pemakaian bahasa pada kalangan
menggunakan bahasa umum yang dapat dipahami dan dimengerti oleh siapa saja
Kitab Pararaton.
Sastra jawa baru dimulai saat masuk dan berkembangnya agama Islam di pulau
Jawa, yaitu kira-kira pada abad 15-16 M. Oleh karena itu, maka periode ini
disebut dengan periode zaman Islam. Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa
mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka.14 Datangnya Islam
termasuk di dalamnya para intelektual Jawa pada kala itu untuk memeluk agama
Islam. Lama kelamaan hal ini melahirkan pusat kekuasaan dan akhirnya menjadi
13
Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa, h. 72.
14
Wikipedia berbahasa Indonesia. “Sastra Jawa.”
21
pusat kebudayaan Jawa-Islam.15 Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa
Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Sebagai
karya tertua pada periode ini adalah Het Boek Van Bonang.
Meskipun periodisasi Sastra Jawa Baru hanya sampai pada abad 16 dan setelah
itu digantikan dengan munculnya gaya modern, akan tetapi kelahiran karya-karya
periode ini tidak berhenti hanya sampai pada abad 16 saja. Model periode ini
masih tetap bertahan hingga pada abad 19, bahkan sampai hari ini beberapa
karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini
yang ditulis pada abad 18. Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin
mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa,
sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang
lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuno. Karya sastra yang lain diantaranya
Kitab Ambiya, Paniti-sastra, Lokapala, Dewa Ruci, Kitab Babad Giyanti, dan
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa
Pertengahan. Setelah tahun 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin
dominan. Setelah masa ini, kemudian ada pula renaisans Sastra Jawa Kuno. Kitab-
kitab kuno yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan
15
Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa, h. 95.
22
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin
terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi. Para cendekiawan
Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip
orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya.
Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan
utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-
kata Belanda.
Pada masa tahun 1839, oleh Taco Roorda, diciptakan huruf cetak berdasarkan
aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar
di pulau Jawa.16
B. Tinjauan Tasawuf
Secara etimologis, para ulama berbeda pendapat tentang dari mana asal kata
tasawuf. Ada di antaranya yang menyebutkan bahwa tasawuf berasal dari kata
shufa’ (kesucian jiwa) yang pada akhirnya pengertian ini akan membawa mereka
dalam komunitas sufistik yang maha tinggi. Di antara mereka yang termasuk
dalam kategori ini adalah al-Syaikh abdul Qadir Jailani.17 Pendapat lain
mengatakan bahwa tasawuf merujuk pada orang yang mengenakan pakaian suf
16
Artikel diakses tanggal 24 Juli 2010 dari
http://heritageofjava.com/portal/index.php?topic=sastra&page=2.
17
Harapandi Dahri, Pemikiran Teologi Sufistik Syekh Abdul Qadir Jailani (Jakarta: Wahyu
Press, 2004) h. 124.
23
(kain wol) dari bulu domba di Bashrah. Mereka itu adalah kelompok Abdul
orang yang terdiri dari kaum fuqara’ yang mendiami sebuah tempat di Masjid
Nabawi. Mereka adalah para sahabat nabi yang telah tidak memiliki keluarga dan
tempat tinggal, lantas mereka mengabdikan diri kepada Allah dengan beribadah
dengan manifestasi Allah ke dalam kalbu dikenal istilah selain maqamat dan
1. Takhalli
kotoran serta penyakit-penyakit hati dan jiwa seperti riya’, ujub, takabur,
dan sifat-sifat buruk lainnya. Tahap ini adalah tahap penyucian diri, di
18
Ibid, h. 127.
24
khalik.
2. Tahalli
maka masuklah seseorang kepada tahapan tahalli, yaitu mengisi hati dan
jiwa yang sudah dikosongkan tadi dengan sifat-sifat baik seperti qana’ah,
3. Tajalli
Seseorang yang berhasil mencapai proses tajalli inilah yang akan menjadi
orang “muhsin/ ihsan” yang dijelaskan pada sebuah hadits yaitu orang yang
disejajarkan dengan mistisisme. Bahkan ada juga yang menyebut mistik Islam
Kejawen. Tasawuf merupakan bentuk mistik Islam yang berupaya agar hati
19
Imam Taufiq “Maqamat dan Ahwal; Tinjauan Metodologis, “ dalam Simuh, dkk., Tasawuf
dan Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 132. Lihat catatan kaki Bab I No. 7.
25
manusia menjadi benar dan lurus menuju Tuhan. Ajaran tasawuf sering disebut
meyakini dirinya menarik garis perbedaan tegas dengan Tuhan sebagai dzat
diimbasi sifat Ketuhanan karena telah melenyapkan (fana) alam luar dan terimbas
sifat Tuhan (baqa) yang hadir karenannya. Sedangkan sisi yang lain mempercayai
Dalam penghayatan ini manusia sama dengan Tuhan. Kedua konsep tasawuf ini
sangat terasa titik temunya dengan mistik kejawen.21 Konsep-konsep ini tidak lain
adalah perwujudan dari konsep ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud dalam konteks
mistik Jawa.
kesatuan dengan Tuhannya. Dalam sebuah rumusan dikatakan bahwa dzat Tuhan
diibaratkan sebagai samudra, dan manusia adalah satu titik air di dalamnya.
Konsep ini memandang bahwa lahir-batin Tuhan telah berada dalam hidup
manusia, dan Tuhan telah kasarira, yakni sudah tercakup dalam diri manusia.
Konsep manunggaling kawula gusti merupakan gubahan dari tajalli dalam ajaran
tasawuf. Dasar pemikiran ini berasal dari paham falsafah yang disebut monisme,
yakni suatu paham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia, adalah
20
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen (Yogyakarta: Narasi, 2004), cet. Ke-3, h. 67.
21
Ibid, h. 69.
22
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; Suatu Studi Terhadap Serat
Wirid Hidayat Jati (Jakarta: UI-Press, 1988), h. 290-293.
26
menunjuk kepada adanya dua (hamba dengan Tuhan) yang berkumpul, menyatu,
Sedangkan konsep syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat dalam mistik Jawa
agama, seperti menjalankan shalat lima waktu dengan setia, tarekat adalah
kesadaran tentang hakekat dari tingkah laku pada tahap sarengat secara mendalam
dan terus meningkat, misalnya doa-doa tidak lagi sekedar gerak-gerik tubuh dan
berkembangnya secara penuh kesadaran akan tingkah laku pada tahap pertama
dan kedua, yaitu bahwa tujuan hidup adalah menjadi bagian yang tergantung pada
karena hidup dan tindakan manusia menjadi doa terus menerus kepada Tuhan, dan
makrifat adalah ketika manusia mencapai jumbuhing kawula lan gusti, di mana
jiwa manusia terpadu dengan jiwa semesta, dan tindakan manusia semata-mata
23
Azumardi Azra dan Tim, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), h. 775.
24
Endraswara, Mistik Kejawen, h. 127-128.
27
Semiotik adalah sebuah metode analisis yang menggali makna dari penanda-
penanda yang ada dalam kehidupan. Masih menjadi perdebatan para tokoh
linguistik dan tokoh-tokoh ilmu budaya tentang apakah semiotik ini merupakan
Sebagai suatu metode ilmiah, semiotik sebagai metode analisis dapat dikatakan
relatif sangat baru. Dalam konteks akademik modern, istilah semiotika digunakan
oleh Margareth Mead pada tanggal 19 Mei 1962 di Universitas Indiana AS, ketika
diselenggarakan seminar tentang Paralinguistik dan Kinesis. Mead, dalam hal ini,
Bahasa) bahwa orientasi pembentukan istilah itu ada pada bahasa Inggris. Akhiran
bahasa Inggris –ics dalam bahasa Indonesia berubah menjadi -ik atau –ika,
menjadi estetik atau estetika. Nama lain dari semiotika adalah semiologi.
Keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu sebagai ilmu tentang tanda. Baik
semiotika maupun semiologi keduanya berasal dari bahasa Yunani: semion, yang
berarti tanda.26 Literatur lain menyebutkan semiotika berasal dari kata Seme, yang
berarti penafsir tanda. Dalam pengertian lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti
25
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 156.
26
Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra (Bandung: Angkasa, 1993), h.
2.
28
Istilah semiotik pertama kalinya diajukan pada akhir abad kesembilan belas
oleh seorang filsuf Amerika yang bernama Charles S. Pierce untuk merujuk
tanda, apa pun substansi dan batas-batasnya.28 Tokoh lain yang dianggap berjasa
ilmu bahasa dari Swiss. Saussure lebih menggunakan istilah semiologi, dan
University of Guneva sekitar tahun 1906 sampai 1911, yang kemudian dibukukan
Asumsi yang paling mendasar dari semiotik menyatakan bahwa segala sesuatu
adalah tanda. Bukan hanya bahasa dan sistem komunikasi tertentu saja yang
mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Tidak ada seorang pun
macam tanda.30
27
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme
hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 97.
28
Kris Budiman, dalam kata pengantarnya, Kosa Semiotika (Yogyakarta: LKiS, 1999).
29
Santosa, Ancangan semiotika, h. 17.
30
Siti Chammamah-Suratno, dalam kata pengantar Kris Budiman, Kosa Semotika
(Yogyakarta: LKiS, 1999).
29
atau menunjukkan satu atau beberapa kondisi lain. Misalnya, Bendera kuning
yang dipasang di perempatan dan tetepi-tepi jalan menjadi pertanda adanya kabar
duka karena ada keluarga yang ditinggal mati oleh salah satu anggota
sosial dalam masyarakat itu.31 Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa
Budaya itu sendiri secara kasar dan ringkas dapat dikatakan sebagai
dilakukan melalui bahasa, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, bahasa
produk budaya berbentuk bahasa yang aplikatif tentunya yang paling pertama
kesastraan terbatas, tetapi intensitas kesastraan itu sendiri memiliki kualitas yang
31
E.K.M. Masinambow dan Rahayu S. Hidayat, Semiotik; Mengkaji Tanda dan Artifak
(Jakarta: Balai Pustaka), 2001, h. 28.
30
sangat luas sekaligus kompleks.32 Dari kodratnya, karya sastra merupakan refleksi
seorang pengarang melalui bahasa. Bahasa itu sendiri tidak sembarang bahasa,
melainkan bahasa yang khas, yakni, bahasa yang memuat tanda-tanda (semiotik)
Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu
yang lain dari pada dirinya sendiri.33 Misalnya, lampu merah pada perempatan
jalan tidak dimaksudkan untuk berfikir mengenai warna merah itu sendiri,
melainkan sebagai tanda untuk perintah berhenti. Contoh lain, seperti ketika
bukanlah lampu itu yang utama, melainkan itu adalah isyarat meminta jalan. Teks
sastra hampir secara keseluruhan terdiri atas ciri-ciri semisal tersebut. Bahasa
merupakan faktor utama yang menjadikan karya sastra dipenuhi dengan sistem
tanda.
Di antara model komunikasi sastra, yang dianggap paling baik untuk dijadikan
Semesta
32
Ratna, Teori, Metode, dan, h. 111.
33
Ibid, h. 112.
31
Dengan model itu karya sastra, sebagai sebuah fenomena, maka sebuah karya
sastra dipahami selalu terkait dengan semesta sebagai hal yang ditirunya; terkait
sebagai pihak yang menjadi sasaran karya; dan pada dirinya sendiri karya sastra
merupakan suatu entitas yang bisa dilihat secara terpisah dari situasi yang
melingkupinya. Dari situ lahirlah empat kategori sastra yaitu, mimetik (karya yang
menitikberatkan karya itu sendiri sebagai unsur utama).34 Keempat ancangan yang
Dalam model komunikasi sastra Abrams ini tidak terlihat hubungan antara
pembaca dan penulis. Hubungan antara pembaca dan penulis tidak dapat
dilakukan secara langsung, melainkan harus melalui karya sastra itu sendiri.
Pembaca hanya dapat berkomunikasi dengan penulis melalui karya sastra yang
pertalian antara teks, penafsir, dan interteks. Dalam pembacaan dan pemahaman
sebuah karya sastra, terjadilah pada batin pembaca proses transfer semiotik dari
34
Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra; Sebuah Metode Kritik Sastra Stuktural (Yogyakata:
Jalasutra, 2009) h. 4.
35
Santosa, Ancangan semiotika, h. 25.
36
Ibid, h. 25.
32
Bahkan dalam bukunya Cours in General Linguistics yang menjadi rujukan utama
para pakar linguistik dan pakar komunikasi itu sama sekali tidak terdapat teori-
teori semiotika. Kitab suci semiotika sesungguhnya tidaklah ditulis oleh Saussure
sendiri. Kris Budiman menyebutkan bahwa teori semiotika ditulis oleh dua
Meskipun baru berupa rumusan dan ramalan, terlebih belum disebut sebagai
semiotika maupun semiologi, konsep Saussure harus diakui sebagai akar lahirnya
37
Kris Budiman, Ikonitas: Semiotika Sastra dan Seni Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2005)
h. 35.
38
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1993) Cet. Ke-2, h. 82-83.
39
Budiman, Ikonitas: Semiotika Sastra, h. 36.
33
Bahasa pada dasarnya adalah sebuah proses signifikasi yang kompleks. Bahasa
terdiri dari langue dan parole. Tanda dalam bahasa terdiri dari yang menandai
Baik penanda maupun petanda tidaklah dapat dipisahkan satu dari yang lainnya.
Baik penanda maupun tanda bersifat mental; penanda adalah citra bunyi
Konsep penanda dan petanda merupakan keutuhan dalam sebuah tanda. Lantas
yang berhubungan dengan tempo tertentu dan perkembangan dari masa ke masa di
mana keberadaan tanda bahasa tersebut, tergolongkan dalam dua, yaitu sinkronik
dan diakronik.
Sinkronik adalah analisis bahasa sebagai sistem yang eksis pada suatu titik
waktu tertentu–yang sering kali berarti “saat ini” atau kontemporer– dengan
mengabaikan route yang telah dilaluinya sehingga dapat berwujud seperti
sekarang. Sedangkan diakronik mengkaji relasi-relasi secara suksesif mengikat
terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat bersubtitusi tanpa
membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh pikiran kolektif.
Prefesi Saussure secara khusus tertuju kepada linguistik sinkronik.40
40
Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2004) h. 38.
BAB III
Kisah Dewa Ruci menurut berbagai sumber, sudah ada semenjak zaman Jawa
Kuno yang entah kapan tidak terlacak. Pengarang awalnya, dinisbahkan kepada
tokoh yang bernama “Mpu Ciwamurti” yang tidak diketahui secara pasti apakah
penemuannya, naskah asli Dewa Ruci tidak memuat nama pengarang di dalamnya
dengan agama Islam adalah Sunan Kalijaga, seperti halnya dialah yang dianggap
irama.3 Meskipun tidak pernah diketahui secara pasti kapan kali pertamanya
dikarang, setidaknya hal ini menunjukkan bahwa naskah Dewa Ruci memang
sudah ada sejak zaman Hindu-Buda, yang berarti bahwa cerita aslinya tidak
bermuatan ke-Islaman.
1
A. Seno Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutci Dengan Arti Filsafatnja (Jakarta: Kinta,
1967), h. 2.
2
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2009), h. 57.
3
Poerbajtaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa (Jakarta Djambatan, 1957) h. 74.
34
35
Ruci itu pada pokoknya mengambil dari cerita pahlawan Gilgamesh di tanah
seorang pemuda yang tersohor dengan keberaniannya yang luar biasa. Ia memiliki
adanya persahabatan abadi, akan tetapi pada akhirnya Enkidu menemui ajalnya.
kepada seorang Pendeta. Oleh Sang Pendeta Gilgamesh disuruh mencari “Pohon
Kehidupan” yang terletak di dalam pusat samudra raya agar tercapai hasratnya
untuk hidup abadi. Dalam perjalanannya itu Gilgamesh harus menempuh berbagai
Mesopotamia melalui tanah Persia menuju tanah jajahan India. Kemudian oleh
bangsa India cerita itu dibawa ke tanah Jawa ketika mereka bermigrasi pada abad-
abad awal Masehi.6 Kemudian cerita Gilgamesh sedikit banyak berubah, terutama
nama tokoh Gilgamesh diganti dengan nama Bima atau Wrekodara (Werkudara)
dengan mengubah judul ceritanya menjadi Dewa Ruci atau juga terkenal dengan
Kisah Dewa Ruci disisipkan sebagai cerita carangan dalam epos besar
Mahabarata, yaitu cerita tentang perang saudara antara Pandawa dan Korawa.
4
Yayasan Sosrokartono Cabang Yogyakarta, Meninjau Pustaka Dewa Ruci Secara Mendalam
(Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono, 1971), h. 1.
5
Fasha (nama yang tertera dalam blog), “Sastra Serat Dewa Ruci,” artikel diakses tanggal 31
Desember 2009 dari http://fashamistik13.blogspot.com/2009_01_01_archive.html.
6
Yayasan Sosrokartono, Meninjau Pustaka, h. 5.
36
Dengan memanfaatkan latar dan tokoh-tokoh yang sama seperti dalam cerita
Mahabarata, khususnya di tanah Jawa cerita Dewa Ruci seolah-olah telah menjadi
bagian dari keutuhan cerita Mahabarata yang sebenarnya jika ditengok dalam
kisah aslinya karangan Mpu Wiyasa (di Jawa dikenal sebagai Begawan Abiyasa)
diperkirakan berasal dari zaman Jawa Pertengahan, yaitu antara tahun 1292
sampai tahun 1520.8 Masa ini bertepatan dengan masa peralihan zaman Hindu-
Budha ke zaman Islam. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, setelah abad ke-
16, Sastra Jawa Pertengahan beralih ke Bali dan menjadi Sastra Jawa-Bali, maka
di Bali cerita Dewa Ruci ini berkembang dan lebih dikenal dengan Nawa Ruci.
Sementara itu di tanah Jawa beralih kepada Sastra Jawa Baru, yaitu dengan
Serat Dewa Ruci yang asli diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa yang lebih
modern untuk kali pertamanya oleh Sunan Bonang,9 seorang waliullah yang
termasuk dalam salah satu dari kesembilan “Wali Songo”, kemudian cerita Dewa
tahun 1973, Abdullah menyitir sebuah syair yang terjemahan dalam bahasa
7
Lihat: C. Rajagopalachari, Mahabarata (edisi asli); Sebuah Roman Epik Pencerah Jiwa
Manusia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2008). Buku ini merupakan gubahan baru cerita Mahabarata
berdasar cerita teroriginal yang berkembang di India. Buku ini adalah hasil sayembara yang
diadakan oleh Bharatiya Vidya Bhavan, yaitu sebuah lembaga kebudayaan di India. Setelah
penulis baca, ternyata benar bahwa cerita Dewa Ruci tidak termuat dalam keutuhan cerita asli
Mahabarata.
8
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 5.
9
Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa, h. 3.
37
Syair di atas menunjukkan bahwa pada masa Kerajaan Demak, ada permintaan
seorang sultan kepada Sunan Kalijaga untuk menyusun cerita Dewa Ruci sebagai
lakon untuk sebuah pertunjukan yang ditujukan untuk dakwah. Disebutkan bahwa
Dengan informasi dari kutipan syair di atas, jelaslah bahwa ada pengembangan
cerita Dewa Ruci oleh Sunan Kalijaga. Keterangan ini diperkuat oleh Profesor
Hasanu Simon yang menyebutkan, bahwa “Dewo Ruci” adalah salah satu dari dua
khususnya yang dikenal sebagai karangan Sunan Kalijaga ini lebih dikenal dengan
gubahan baru yang diturunkan dari cerita aslinya, kemudian diturunkan lagi dan
10
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 146.
11
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah
Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), cet ke-2, 2005, h. 8. Disebutkan dua karya yang dapat
dijadikan dasar untuk menganalisis kepribadian Sunan Kalijaga adalah Sertat Dewo Ruci dan
Suluk Linglung.
12
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 147. Lihat juga: Abdul Hadi W. M. “Islam Dalam Filsafat Mistik
Jawa; Analisis Dewa Ruci Serat Cabolek,” Artikel diakses tanggal 10 Mei 2010 dari
http://www.scribd.com/doc/19387418/Index-2.
38
diturunkan lagi sesuai kehendak penyalin.13 Tercatat sudah lebih dari lima naskah
dengan penjelasan melihat dari segi bahasa yang digunakan, kira-kira ditulis pada
di Bali dengan lebih dikenalnya sebagai cerita Nawa Ruci. Sementara itu, di Jawa
masuknya dakwah Islam terutama oleh para Wali dengan didukung kondisi Tanah
Jawa yang telah dikuasai kerajaan Islam. Selanjutnya pada masa kerajaan
dan memperbaruinya. Dengan demikian isi cerita Dewa Ruci gubahan Yasadipura
I sudah berbeda dengan Nawa Ruci. Cerita Dewa Ruci Yasadipura I bermuatkan
pemerintahan Sri Sunan Paku Buwana II, III, dan IV. Ia juga dikenal, seperti
Yasadipura I hanya menyelipkan kisah Dewa Ruci dalam Serat Cabolek. Setelah
itu ia menuliskannya dalam naskah serat utuh dengan Bahasa Jawa Baru dalam
13
Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa, h. 2.
14
Muhammad Zaairul Haq, Tasawuf Pandawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 109.
15
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 5.
39
bentuk tembang macapat.16 Berkat sentuhan Yasadipura I inilah cerita Dewa Ruci
menjadi sangat dikenal oleh masyarakat. Bahkan Serat Dewa Ruci karya
Setelah Yasadipura I naskah Serat Dewa Ruci masih terus berkembang. Salah
satunya adalah oleh R. Tanojo yang menggubah naskah Dewa Ruci dalam bentuk
Dewa Ruci yang di temui Bima di dalam Samudra tak lain dan tak bukan adalah
nabi khidzir (kilir),17 seperti pada kisah nabi Musa saat berguru mengarungi
samudra.
Gubahan naskah Dewa Ruci masih terus berkembang. Bahkan saat ini tiga
bulan Suro (Muharam dalam kalender Hijriah) diadakan pagelaran wayang kulit
dengan lakon Dewa Ruci. Akan tetapi jika dicermati, ternyata sebenarnya pada
lakon yang dimainkan dalam wayang tersebut sudah sangat berubah dari cerita
pencarian Bima bukan pada tirta pawitra sari, akan tetapi pada kawruh sangkan-
semua menuju).
16
Yayasan Sosrokartono, Meninjau Pustaka, h. 12.
17
Ibid.
40
Secara lebih perinci, cerita Dewa Ruci yang dikembangkan dalam lakon
sangkan-paraning dumadi, Bima harus mencari kayu gung susuhing angin (kayu
besar sarang angin), setelah itu Bima harus mencari tirta perwita sari (air suci),
beberapa kali cetak dengan huruf Jawa. Percetakan pertama dilakukan oleh
percetakan van Drop di Semarang pada tahun 1870 atas usaha penerbitan yang
dilakukan oleh Mas Ngabehi Kramapawira. Kemudian dicetak untuk kali yang
kedua dan ketiganya oleh orang dan percetakan yang sama masing-masing pada
Pada tahun 1922, oleh Mas Ngabehi Mangunwijaya melalui penerbit dan
percetakan Tan Khoen Swie, masih menggunakan bahasa Jawa, kitab Dewa Ruci
dicetak dengan tambahan pengantar yang mengatakan bahwa kitab Dewaruci itu
Widayaka dari negeri Mamenang (Kediri). Setelah itu barulah terbit cetakan-
cetakan dengan tulisan latin, dan pada tahun 1930-an naskah-naskah yang
B. Biografi Yasadipura I
Dalam buku Tus Pajang seperti dikutip Nasuhi, disebutkan bahwa Yasadipura
I lahir di Pengging pada hari Jumat Pahing 1729, adalah pujangga Surakarta yang
18
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 58-59.
19
Ibid, h. 46.
41
Adipati Danupaya, bin Pangeran Serang, bin Pangeran Wiramenggala III, bin
Pangeran Wiramenggala II, bin Panembahan Raden, bin Pangeran Benawa, bin
Sultan Hadiwijaya, bin Adipati Kebo Kenanga, bin Pembayun (istri Adipati
Pengging Handayaningrat), binti Brawijaya V.20 Akan tetapi menurut versi lain
Pemanahan, dan bertemu silsilah dengan Sultan Hadi Wijaya jika terus ditelusuri
Pekalongan pada masa Sultan Agung dan seorang Jaksa Kerajaan pada masa
putri dari Kyai Kalipah Caripu, guru sekaligus sahabat Padmanegara dalam
buah hati seorang putri. Maka demi keinginannya itu, Padmanegara selalu
memohon kepada kepada Allah SWT. Ia banyak melakukan tapa brata dan
20
Sudirman Tebba, Sufi-sufi Jawa; Mengenalkan Wajah Islam yang Ramah (Jakarta: Pustaka
Irvan, 2007), h. 126.
21
Kyai Ageng Pemanahan adalah sahabat sezaman dengan Sultan Hadi Wijaya yang bersama
Kyai Juru Martani turut serta dalam penaklukan Arya Penangsang. Kyai Ageng Pemanahan
dihadiahi tanah Mentaok (sekarang Yogyakarta), sementara Kyai Juru Martani dihadiahi tanah
Pati. Kyai Ageng Pemanahan merupakan ayah dari Panembahan Senopati, yaitu raja Mataram
Islam yang pertama. Lihat novel karya Gamal Komandoko, Panembahan Senopati; Geger
Ramalan Sunan Giri. (2009). Selanjutnya, semua tokoh di atas (kecuali Kyai Juru Martani yang
penulis belum temukan) merupakan keturunan Brawijaya V. Pernyataan ini berdasar penelusuran
penulis dengan menggabungkan silsilah dari keluarga Trah Yasadipuran yang dipadukan dengan
silsilah raja-raja Mataram yang terdapat pada perpustakaan Reksa Pustaka Kraton Pura
Mangkunegaran Surakarta.
42
Selang waktu dari tirakat itu, akhirnya istri Padmanegara mengandung. Singkat
cerita, satu hari menjelang kelahiran bayi yang dikandung Nyai Ageng
Padmanegara, tepatnya pada hari Kamis malam Jumat Pahing, datang seorang ahli
nujum yang menyampaikan bahwa anak yang lahir pada malam Jumat Pahing
kelak akan menjadi anak yang memiliki kelebihan dari anak yang lainnya. Tak
lama setelah itu, datang juga seorang ulama sahabat Kyai Kalipah Caripu, yaitu
Kyai Hanggamaya dari Bagelen, Kedu. Ia mengatakan bahwa nanti pada saat
subuh, Nyai Ageng Padmanegara akan melahirkan seorang anak laki-laki yang
Ternyata benar apa yang dikatakan Kyai Hanggamaya, pada saat Padmanegara
dan para tamunya menunaikan shalat subuh, Nyai Ageng Padmanegara benar-
benar melahirkan seorang bayi laki-laki, yang kelak dikenal sebagai R.Ng.
Yasadipura I.22
Yasadipura kecil diberi nama Bagus Banjar oleh orang tuanya, sedangkan
masalah kesenian, kebudayaan, dan keagamaan. Dalam usianya yang relatif muda
itu, Bagus Banjar telah memperlihatkan bakat yang luar biasa dalam ilmu agama
dan kesusastraan.
Kira-kira enam tahun Bagus Banjar menyantri, lantas di usianya yang ke-14 ia
Buwana II. Mula-mula ia mengabdi sebagai prajurit dan diberi tugas untuk
22
Soetomo W. E., dan Cahyo Budi Utomo, Mengenal R. Ng. Yosodipuro (Semarang: Kanwil
Depdikbud Jateng Bidang Jarahnitra, 1990), h. 4-5.
43
menjaga pusaka kraton. Kemudian setelah kira-kira dua tahun setelah itu, pusat
sebagai sekretaris raja di bawah bimbingan Pangeran Wijil, dan sejak saat itulah
ini ditujukan untuk memunculkan kembali kekuatan politik yang melemah itu.
Jawa Kuno. Dalam hal ini ia telah berhasil melakukan penulisan kembali
berbagai kitab Jawa Kuno ke dalam kitab baru dengan Bahasa Jawa Modern
karya yang bernafaskan ajaran Islam. Dengan demikian Yasadipura tampil tidak
hanya sebagai pujangga, melainkan juga sebagai sejarawan, guru agama, dan
Karya-karya Yasadipura sangat populer hingga saat ini. Bahkan bahasa yang
kraton Surakarta yang akhirnya menjadi ukuran standar bahasa Jawa. Dari situlah
44
maka sering disebut-sebut bahwa patokan bahasa Jawa adalah Surakarta.23 Karya-
karyanya tersebut antara lain, yaitu: Tajusalatin, Babad Giyanti, Anbiya’, Menak,
Bratayuda, Babad Prayut, Cabolek, Arjuna Wiwaha (Jarwa), Paniti Sastra (Kawi
menguasai keahlian di bidang politik. Jasa Yasadipura bagi kraton antara lain
Buwana IV, Yasadipura sempat diminta untuk menjadi patih (mentri) dalam
pemerintahan kraton Surakarta. Akan tetapi ia menolak dengan alasan usia yang
telah lanjut.
dikerumuni orang yang hendak berwisata spiritual atau ada juga yang ngalap
(Yasadipura II).
23
Berkembang di masyarakat Jawa, bahwa standar bahasa Jawa tertinggi sampai hari ini adalah
Surakarta (Solo). Itu artinya, bahwa bahasa Jawa Surakarta dianggap sebagai bahasa paling halus
dalam tingkatan kebahahasaan Jawa.
24
Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Kepustakaan, h. 150.
25
Soetomo, dan Utomo, Mengenal, h. 10-19.
45
Pengaruh budaya luar terhadap sastra jawa telah berlangsung lama, dari satu
fase ke fase berikutnya. Pengaruh budaya luar tersebut turut menentukan bentuk
dan struktur karya sastra jawa yang muncul,26 termasuk di dalamnya budaya
Islam. Hal ini sudah dimulai sejak masuknya budaya asing tersebut ke tanah Jawa.
pemerintahan Majapahit. Pengaruh itu semakin kuat pada abad ke-15 sampai
dengan abad ke-16. pengaruh Islam turut mempengaruhi warna sastra dan budaya
Jawa. Sebagai salah satu contoh munculnya sastra suluk yang berbentuk tembang.
Sastra suluk adalah karya sastra yang memuat ajaran yang berupa usaha manusia
islam.27
pengaruh dalam pembuatan naskah Serat Dewa Ruci. Di antara bukti pengaruh
tersebut adalah gaya dan cara penulisan Serat Dewa Ruci yang merupakan cerita
dengan menggunakan tata syair yang sangat runtut dan bernada. Hal ini
menyerupai penulisan kitab al-Barjanji atau Barzanji,28 yang ditulis oleh Syaikh
Ja`far al-Barzanji pada tahun 1184. Barzanji merupakan kitab yang berisikan doa-
doa, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad SAW yang biasa
26
Pardi, dkk, Sastra Jawa Periode Akhir Abad XIX—Tahun 1920, ed: Muhammad Fanani
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996), h. 14.
27
Ibid. h, 17.
28
Al-Barzanji adalah kitab yang berisikan riwayat Nabi Muhammad SAW yang disusun dalam
bentuk syair berlau dan di dalamnya terdapat banyak sekali puji-pujian kepada Beliau SAW. Kitab
ini dilahirkan dari sayembara saat kali pertamanya peringatan Mulid Nabi yang pada mulanya
diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Membangkitkan gairah ke-islaman
dengan mengenang-ngenang Nabi SAW, sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras
mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
46
Selain pengaruh pada cara penulisan, dalam segi isi, Serat Dewa Ruci memuat
ajaran tasawuf. Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar
belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali
dan Ibn Arabi. Walaupun Poerbatjaraka mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci
itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi
pada literatur sufi, maka ia akan melihat Serat Dewa Ruci sebagai karya yang
sangat sufistik. Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat cerita.
Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu,
seperti juga bagaimana Sa’di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari
Kisah Dewa Ruci versi Yasadipura I mengandung nilai ajaran tasawuf (mistik).
29
(anonim) “Serat Dewo Ruci,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari
http://kariyan.wordpress.com/serat-dewo-ruci/.
47
dengan Dewa Ruci, makhluk kecil penjaga laut yang memberi wejangan yang
mencerahkan mengenai ilmu sejati (kasunyatan).30
dalam tasawuf falsafi seperti konsep ittihad, hulul, wahdat al-wujud, dan insan al-
pawitra) dan setelah itu maka ia akan mengenali jati dirinya (dilambangkan
dengan sosok Dewa Ruci yang berwujud menyerupai Bima). Dalam hal ini sebuah
dalil yang entah sebenarnya itu merupakan Hadits Rasulullah ataukah hanya Qaul
‘ulama, disebutkan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (barang siapa
hubungan antara Tuhan dan manusia dan segenap alam semesta, bersifat monistik.
Artinya kata dia, sebenarnya manusia, alam semesta, dan Tuhan, merupakan satu
kesatuan wujud, satu hakikat. Hakikat yang satu itu adalah Tuhan. Karena itu,
mistik, manusia tidak perlu mencari jauh-jauh apa yang ada di luar dirinya,
30
Nasuhi, Dewaruci, h. 9.
31
Penulis belum berhasil menemukan kejelasan secara pasti apakah kalimat itu merupakan
hadits atau sekedar perkataan ulama’. Ada beberapa pendapat mengenai hal ini, ada yang
menyebutkan perkataan tersebut merupakan hadits qudsi, ada yang berpendapat merupakan hadits
Nabi SAW, dan ada juga yang berpendapat bahwa itu merupakan hikmah dari Imam al-Ghazali.
Sementara ini menurut peneliti, perkataan itu seperti telah diungkapkan pada bab I. Lihat halaman
4. Dalam al-Fatani, Tadzkirat al-Maudlhuat (T.tp.: T.pn., t.t.), h. 11., disebutkan bahwa kalimat
tersebut bukan merupakan sabda Nabi SAW, melainkan perkataan dari Yahya bin Mu’adz al-Razi.
Imam al-Suyuti tidak begitu mempermasalahkan dari mana asal kalimat tersebut, yang penulis
temukan dalam karyanya, Suyuti hanya menjabarkan saja maksud dari kalimat tersebut. Jalal al-
Din abd al-Rahman bin Abi Bakrin al-Suyuti, al-Hawi li al-Fatawa fi al-Fiqh wa ‘Ulum al-Tafsir
wa al-Hadits wa al-Ushul wa al-Nahw wa al-I’rab wa Sairi al-Funun, vol.2 (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 2000), h. 228.
48
Gagasan tasawuf falsafi yang terserap dalam Serat Dewa Ruci di antaranya
berasal dari naskah tasawuf yang terkenal di Jawa sejak abad ke-17, yaitu kitab al-
Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya Muhammad ibn Fadl Allah al-
Burhanpuri, seorang sufi asal India. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, kerena
Serat Dewa Ruci dikarang dan menjadi populer pada zaman ketika Islam sudah
Cerita dalam Serat Dewa Ruci juga menyerupai kisah perjalanan Nabi
tidak kembali untuk terus bersemayam dalam kebahagiaan. Begitu juga dalam
Serat Dewa Ruci, ketika Bima masuk dalam tubuh Dewa Ruci, ia mendapati
ketenangan dan enggan keluar kembali. Akan tetapi Bima harus tetap kembali
menegakkan kebenaran.
dengan kisah Nabiyullah Musa AS ketika disuruh oleh Allah SWT untuk berguru
32
Hamid Nasuhi “Akulturasi Serat Dewa Ruci dengan Ajaran Tasawuf,” artikel diakses
tanggal 8 Agustus 2010 dari http://www.majalahgontor.co.id.
49
kepada Nabi Khidzir AS. Dalam bergurunya ini, Nabi Musa AS mengikuti Nabi
Dalam sejarah kebudayaan Jawa, Bima tak hanya muncul sebagai tokoh dalam
karya sastra, melainkan juga dalam bentuk arca, relief, “boneka” wayang, dan
gambar wayang. Ada pula prasasti yang menyebutkan namanya. Bahkan, ada
galaksi yang dinamai Bima Sakti. Ia dikenal dalam kurun waktu yang cukup
panjang, sejak abad ke-10 melalui Prasasti Wukajana 908 M, yang dibuat atas
perintah Dyah Balitung (899-911 M), raja Mataram Hindu, hingga sekarang.33
Para ahli juga menjadikan Bima pokok bahasan, mulai dari H. Kern dan W.H.
Hariani Santiko, dan Woro Aryandini Sumaryoto, yang dari disertasinya tulisan
ini dikembangkan. Bima itu salah satu tokoh kreasi seni yang sejak dimunculkan
dalam alam budaya orang Jawa punya daya bertahan sepanjang pergantian zaman
selama sepuluh abad. Citranya dibentuk oleh penggambaran mengenai watak dan
dan kesuburan. Ini diungkapkan dalam bentuk badan, bagian tubuh yang khas,
tindakan, cara berbicara dan bahasa, senjata, serta kain polèng warna empat yang
dipakainya. Kain ini pun simbol nafsu empat (amarah, lawwamah, sufiah,
33
”Filsafat Bima dan Dewa Ruci,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari
http://www.gudangmateri.com/2010/05/filsafat-bima-dan-dewa-ruci.html.
50
adalah tokoh yang dari zaman ke zaman dikenal (digunakan) sebagai pralambang
kesatria. Pada zaman Hindu sampai dengan zaman Majapahit awal, Bima adalah
Sedangkan pada pada zaman Majapahit akhir, citra tokoh Bima adalah sebagai
seorang yang mencari jati diri dan juga menjadi objek pemujaan. Kemudian pada
zaman Jawa Baru, tokoh Bima adalah sebagai pelindung keluarga, pelindung
masyarakat, pahlawan perang, bahkan sebagai tokoh penyebar agama dalam lakon
wayang di daerah pedesaan.34 Sampai hari ini masih terus demikian adanya, yaitu
sebagian besar pagelaran wayang kulit yang bersifat carangan (bukan cerita
tokoh utama yang memungkasi segala macam bentuk kejahatan dan ketidakadilan.
Gambaran tokoh Bima dalam Serat Dewa Ruci, seperti dinyatakan Nasuhi,
bahwa tokoh Bima bukanlah hanya sekedar merupakan lambang manusia yang
diberkati Tuhan dengan bentuk fisik yang halus, tampan, kokoh, dan kuat, tetapi
melambangkan hati yang berani, jujur, dan murni dengan kemauan yang keras dan
keteguhan hati yang kuat untuk mencapai segala tujuan. Nasuhi mempertegas, itu
34
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 156.
35
Ibid, h. 159
51
Meringkas dari cerita utuhnya dari karya Pujangga Surakarta, kisah ringkas
Dewa Ruci, yaitu bercerita kisah perjalanan Bima (Arya Bima, Bima Sena,
melakukan Sidang Istimewa. Dari perhitungan kertas, Kurawa lebih kuat dari
Pandawa kecuali karena satu hal saja; Pandawa memiliki Bima yang sangat sakti.
Di samping sangat perkasa, Bima juga kesatria yang jujur, lugu, dan kuat
berpedoman, "Sing sapa becik, dhen beciki, sapa ala dhen alani, nadhyan bahu
kanan-kering jen ala binuwang" (barang siapa yang baik, harus diperlakukan
baik, siapa yang buruk harus diperlakukan buruk, meskipun itu bahu kanan sendiri
jika berbuat buruk maka harus dibuang). Supaya Kurawa menang, sidang
memutuskan untuk mencari cara agar Bima dapat dibinasakan. Akan tetapi, yang
sangat hormat dan patuh kepada gurunya, Resi Durna. Maka dibuatlah tipu
Dengan itu, lantas Resi Durna memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan:
Tirta Perwita, tirta prawita, atau tirto sucining ngaurip, tirta kamandalu,
36
Lihat: R. Tanojo, Serat Dewa Ruci Kidung; Miturut Babon Asli Kapujanggan Surakarta ing
Madya Awal Abad XIX M. (Surakarta, T.pn., 1962). Lihat juga naskah Serat Dewa Ruci dalam
Nasuhi, Serat Dewaruci, jika diringkas naskah tersebut bercerita tentang perjalanan Werkudara
(Bima) dalam mencari “Air Suci.”
37
Bharatayudha adalah peperangan besar antara Pandawa dengan Kurawa yang saling
merebutkan kerajaan Astina Pura. Kedua fihak saling mengklaim satu sama lain sebagai pewaris
sah kerajaan tersebut.
52
amrtanjiwangi, amrta, tirta amerta, atau air hayat. Menurut Sang Begawan, siapa
saja yang dapat memperoleh air kehidupan ini, ia akan mencapai tingkat hidup
memahami rahasia kejadian alam semesta dengan segala isinya. Ia akan saestu
dumadi. Bima tidak boleh ragu-ragu dalam mencari tirta amrta ini, karena jika
bertekad dengan sungguh-sungguh dan rela menjalani apa saja untuk dapat
Tirta amrta (air hayat) ini tidak mudah diperoleh. Ia berada di Gunung
itu, akan tetapi air yang ia cari tidak ketemu. Malah di situ ia bertemu dengan dua
hingga hancur lebur. Tubuh kedua raksasa itu menghilang, dan ternyata kemudian
berubah menjadi Bhatara Indra dan Bhatara Bayu yang baru saja menjalani
kutukan Hyang Pramesthi sehingga berubah bentuk dan rupa menjadi raksasa.
Justru berkat Bimalah keduanya terbebas dari kutukan itu. Mereka mengucapkan
terimakasihnya. Bima mendapat kabar dari kedua dewa itu bahwa Durna
lantas gurunya berkata kepadanya, "O, anakku, hal ini tidak mengherankan.
Memang aku sengaja, telah kurencanakan sedari semula. Sebenarnya aku hanya
ingin mengetahui seberapa jauh kesanggupanmu. Tempat air hidup ini sebenarnya
dengan semprotan racun dari ular besar Nemburnawa. Bima dapat menghindarkan
bahaya bisa ular itu. Segera terjadilah pertempuran mati-matian di antara Bima
dan Nemburnawa. Kemenangan sudah dapat diduga berada pada Bima dengan
Setelah menempuh perjalanan yang sedemikian rupa, Bima yang perkasa sudah
hampir kehabisan tenaga mencari-cari di mana sebenarnya tirta amrta/ pawitra (air
kali dibenturkan ke batu karang yang keras dan tajam. Ia merasa terpuruk dan
hampir mendekati ajalnya. Pada saat itulah ia ditemui dewa kerdil yang hanya
38
Astina Pura adalah kerajaan yang diperselisihkan antara pandawa dan kurawa.
54
sebesar jari kelingking Bima yang wujudnya persis menyerupai dirinya dan
menyatakan bahwa dia bernama Dewa Ruci. Di sinilah Bima akhirnya mendapat
Durna. Dalam bangunan oposisi biner, kegiatan berguru dibangun oleh keberadaan
orang yang berguru dan yang menggurui, yaitu adanya murid dan guru. Guru tidak
Murid secara bahasa berasal dari bahasa arab, yaitu isim fa’il dari arada-yuridu-
1
Atabik Ali, dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (al-‘Ashri) Arab-Indonesia
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), h. 1697.
55
56
Dalam hal ini, Werkudara telah mengambil sikap dan menentukan pilihannya untuk
menjadi seorang yang berkeinginan, artinya ia telah siap dengan segala resiko yang
melekat pada pilihannya itu. Dalam konteks tasawuf murid disebut dengan salik.
Guru adalah orang yang wajib dihormati oleh seorang murid. Dalam konteks
Tasawuf, guru disebut dengan mursyid, yaitu orang yang mengawal, mengarahkan,
serta mengajarkan ilmu kepada seorang salik untuk mencapai sebuah pencapaian
spiritual tertentu.
ditelusuri, pemilihan kata “Pendeta” memang merupakan kata yang paling tepat
bagi masyarakat Jawa. Kata “Pendeta” dalam pemahaman masyarakat Jawa tidak
agama Kristen, atau kata lain yang masih seakar dengan itu adalah “Pandhita,”
yaitu pemuka agama Budha. Pengertian masyarakat Jawa tentang “Pendeta” adalah
dari bahasa Jawa Kawi, yaitu sebutan bagi seseorang yang memiliki wawasan
spiritual tinggi serta berperangai baik. Dari pemahaman yang demikian, maka tidak
jarang para kakek menasehati cucunya dengan kalimat: Dadia satria pinandhita,
57
yang dalam bahasa Indonesia berarti: Jadilah seorang yang berperangai layaknya
pendeta.
telah mengambil orang yang ia yakini tepat sebagai seorang guru. Untuk mencari
guru baginya. Tidak dibenarkan mencari guru denga asal-asalan, karena ia yang
ilmu. Jika gurunya benar, maka muridnya akan benar, dan jika gurunya salah, maka
muridnya ikut salah karena mendapatkan ilmu dari orang yang salah.
perjalanan spiritual, maka ia harus bersesuci dahulu, yaitu menyucikan jiwa dan
mencari air yang menyucikan dirinya. Perintah ini merupakan perintah yang
diharuskan mendahuluinya dengan menyucikan diri dengan air atau jika tidak
dengan debu, padahal tujuan dari ritual itu sendiri adalah untuk mencapai kesucian.
Hanya bedanya, bersesuci yang mengawali ritual relatif lebih bersifat jasmani,
Memang tidak bisa dijelaskan begitu saja apakah mandi, ber-wudlhu dan
tayammum itu merupakan syarat atau tujuan. Secara kasat kegiatan itu memang
seolah sekedar merupakan syarat sebelum mengerjakan shalat. Akan tetapi jika
dilihat dengan kacamata hakikat, mengapa dalam mandi jinabat harus mengguyur
seluruh tubuh dengan air suci dan mensucikan, juga dalam wudlhu harus
membasuh muka, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki, merupakan pertanyaan
raga itu sebenarnya merupakan isyarat untuk mengguyur dan membasuh jiwa.
No Penanda Petanda
4. Werkudara pulang memberi - Seorang yang beradab hendaklah
kabar// ke Negeri Amarta// mohon mohon pamit kepada keluarga
diri kepada kakaknya// yaitu sebelum mengadakan perjalanan,
prabu yudistira// dan adik-adiknya terlebih yang tidak diketahui batas
semua kebetulan// sedang waktunya.
menghadap kakandanya. - Keluarga Pandawa adalah keluarga
yang menjaga tali persaudaraan,
saling peduli, dan bersilaturahmi.
Secara umum bait ke-2 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci bisa disimpulkan
memuat pesan bahwa layak bagi seorang guru memberikan suatu tugas tertentu
serta ilmu setelah melaksanakan tugas tersebut. Hal ini digambarkan dengan
penugasan pendeta Durna kepada Werkudara untuk mencari air yang menyucikan.
Kemudian, sebagai seorang murid yang beradab, dalam menjalankan tugas dari
belum diketahui seberapa lama selesainya? Hal ini dilakukan untuk menjaga
59
kepedulian antara satu dengan yang lainnya. Dengan memberi kabar kepada sanak
keluarga, setidaknya semua akan sama-sama merasa dianggap sebagai orang yang
Pandawa yang selalu dijadikan figur teladan bagi masyarakat Jawa. Betapa
Pandawa bersaudara yang telah dewasa dan memiliki tempat singgah masing-
masing masih tetap saling berkumpul. Hal ini ditunjukkan dengan ketika
ketiga saudaranya yang lain juga sedang menghadap kakak tertua mereka itu.
mereka tidak sering berkumpul. Dengan demikian, maka tidak heran jika
masyarakat Jawa memiliki slogan untuk keluarganya “Makan tak makan asal
kumpul,” sebagai pertanda bahwa berkumpulnya keluarga untuk saling berbagi itu
lebih penting dari pada sibuk mengurusi urusan perut yang bersifat individualistik.
Aryasena matur ing raka ji// Arya Sena berkata kepada kakanda raja
lamun arsa kesah mamrih toya// bahwa akan pergi mencari air
dening guru pituduhe// atas petunjuk gurunya
Sri Dharmaputra ngunngun// Sri Dharmaputra heran
amiarsa aturing ari// mendengar penuturan adiknya
cinipta prapteng baya// memikirkan marabahaya
narendra mangunkung// sang raja menjadi berduka
dyan satriya Dananjaya// Raden Satria Dananjaya
matur nembah ing raka Sri narapati// berkata sambil menyembah kakanda raja
60
Bait ini menyambung bait sebelumnya, yaitu tentang perihal permohonan diri
Werkudara kepada sanak keluarga untuk mengadakan pencarian terhadap air suci.
petunjuk awal bahwa perjalanan mencari air suci bukanlah perjalanan biasa.
seakan ia sendiri belum tahu apa yang akan terjadi dalam menempuh
perjalanannya itu. Dengan kata lain, kalimat pamitan Werkudara kepada sanak
perjalanan biasa adalah sikap Yudistira yang kaget dengan niat adindanya untuk
61
mengadakan pencarian atas air suci. Rasa kaget Yudistira ini karena ia
Tidak berhenti pada rasa kaget, pikiran Yudistira berbuah menjadi kesedihan.
militer melawan serangan tentara negara lain. Tugas yang tidak diketahui secara
pasti apakah ia akan selamat dan bisa kembali kepada mereka, atau mungkin saja
dalam waktu yang tidak lama hanya pulang namanya sebagai almarhum seorang
Dengan demikian jelaslah betapa tidak jelasnya pencarian yang hendak dijalani
Wekudara. Pribadi yang gagah berani, kuat, dan tangguh itu telah membuat
betapa pencarian air suci itu tidak dapat disepelekan oleh siapa saja.
Keberadaan Arjuna yang kebetulan juga sedang berada di Astina Pura turut
memperkuat keterangan bahwa pencarian air suci yang hendak dijalani Werkudara
itu memang sangat berbahaya. Arjuna mendengar ucap pamit Werkudara kepada
Kata tidak baik di sini merupakan terjemahan dari kata: tan sakeca. Masyarakat
Jawa sendiri sering menggunakan kata ini lebih kepada makna tidak
mengenakkan. Dengan demikian kata tidak baik (tan sakeca) yang dikatakan
Karya sastra Jawa yang disajikan dalam bentuk jarwa (puisi lama) semisal
Serat Dewa Ruci, sangatlah berbeda dengan gaya penulisan sastra geguritan (puisi
baru) dan parikan (pantun) yang berkembang saat ini. Geguritan dan parikan
63
utuh.
Pemenggalan bait pada parikan di atas adalah utuh sesuai ide dan rima
sebagaimana pantun harus dituliskan. Sedangkan pada karya lama seperti pada
kidung, tembang, dan jarwa penulisannya tidak begitu rapih dalam pemenggalan
antar bait. Rumusan yang paling harus diikuti dalam penulisannya adalah karya
kidung, tembang, dan jarwa harus menyesuaikan dengan tatanan lagu (guru lagu)
larik dalam satu bait. Jika telah selesai sepuluh larik sedangkan ide penulisan
belum selesai, maka bisa dituliskan pada larik awal bait yang berikutnya,
meskipun sejatinya bait itu diadakan untuk ide yang sudah berbeda.
Tiga larik pertama pada bait ke-4 tembang dhandanggula I Serat Dewa Ruci
merupakan kelanjutan dari tiga larik terakhir bait sebelumnya. Yaitu, pengucapan
untuk mencari air suci. Di sini tergambar jelas betapa ketiga adik Werkudara
Kakak laki-laki tertua dalam budaya Jawa adalah sebagai tonggak pengayom
depan mereka. Terlebih jika Sang Ayah sudah wafat. Dalam hal warisan kakak
orang tua, dengan tujuan bisa menyambung tugas orang tua untuk menjaga adik-
mengurungkan niat mencari air suci, tidak secara langsung menegur Werkudara,
melainkan memohon kepada kakak tertua untuk tidak memberikan izin. Padahal,
Dewa Ruci adalah terjemahan Indonesia dari karya mangendra sangsara, yang
“hanya” pada ungkapan ini sangat tegas menyatakan hal yang mengandung arti
kebiasaan.
sebagai bentuk kewaspadaan saja, dan bukan serta merta berarti buruk sangka
kepada pihak lain yang bernilai negatif. Karena mereka sudah mendapati
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa Serat Dewa Ruci
watak Kurawa sebelum cerita Serat Dewa Ruci sampai kepada mereka. Memang
menyengsarakan” pada bait ke-4 Serat Dewa Ruci di atas, tidak mungkin diartikan
Dua baris terakhir dari bait keempat dhandanggula I Serat Dewa Ruci ini
“abu-abu,” yang tidak bisa dinyatakan secara tegas posisinya, apakah berada di
pihak Pandawa atau Kurawa? Yang jelas ia merupakan guru bagi Pandawa
sekaligus Kurawa.
adalah saudara sekakek. Dulunya keduanya berada dalam satu rumah bersama,
yaitu Astina Pura. Dari sinilah asal mula cerita guru bagi dua golongan murid
yang berseteru itu. Ia telah menjadi guru bagi Pandawa dan Kurawa semenjak
para Kurawa, akan tetapi saat pertikaian dimulai, pihak Kurawalah yang
mendiami Astina Pura, dengan begitu, secara lahiriah Pendeta Durna memang
berada di tempat kediaman para Kurawa, akan tetapi tidak ada yang tahu dalam
Para Kurawa merasa Pendeta Durna pasti berada dipihaknya dengan alasan ia
tinggal serumah dengan mereka. Sementara para Pandawa juga merasakan hal
67
yang sama, karena selama ini mereka lebih berprestasi, tentu seorang guru akan
menugaskannya mencari air suci. Hal ini dilakukan para Kurawa demi musnahnya
Werkudara. Artinya, jika terjadi kejahatan dari Pendeta Durna, sejatinya itu
Selain menunjukkan perbuatan yang dilakukan atas dasar paksaan orang lain,
kata “dibujuk” pada bait keempat dhandanggula I Serat dewa Ruci juga berarti
kemungkinan terbujuk. Dalam hal ini Pendeta Durnalah yang menjadi objek
Pada dasarnya manusia memiliki titik kelemahan, yaitu secara fitrah manusia
mencintai dunia yang didalamnya adalah harta, tahta, dan wanita. Memang ada
manusia yang mampu mentas dari ketiganya, biasanya mereka yang memilih jalan
spiritual sebagai jalan kebahagiaan. Akan tetapi sesuci apa pun manusia, ia
tetaplah manusia yang memiliki kadar keimanan bertambah dan berkurang, tidak
seperti malaikat yang selalu tunduk kepada kuasa Allah SWT. Atas dasar inilah,
Bait ke-5 ini merupakan penjelasan sikap Werkudara atas niatnya mencari air
suci. Ia tidak akan goyah dalam niatan, tidak mungkin mundur dan mengurungkan
apa yang menjadi tujuannya. Demikianlah digambarkan tokoh idola orang Jawa
dalam cerita Serat Dewa Ruci. Jika sudah ada kemauan yang dilandasi keyakinan
untuk tujuan baik, maka jangan sekali-kali surut langkah karena godaan seberat
Yen wani aja wedi-wedi// jika berani (yakin) jangan takut-takut (ragu-ragu)
Yen wedi aja wani-wani// jika takut (ragu) jangan sok berani.
69
percaya sepenuhnya kepada seorang guru walau sukar dan aneh permintaannya.
akan cenderung memunculkan sikap angkuh atas dirinya sendiri. Semisal, seorang
murid telah menyangka bahwa gurunya itu tidak banyak ilmu, maka murid itu
akan enggan menjalankan apa yang menjadi perintah gurunya, meskipun yang
resiko mara bahaya yang akan menimpanya, Werkudara tetap teguh, bahkan ia
total, yaitu penghambaan diri kepada Tuhan.4 Dalam hal ini, Imam Ja’far as-
2
Purwadi, Tasawuf Jawa (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2003), h. 36.
3
Sri Mulyono, Wayang dan Karakter Manusia (Jakarta: Gunung Agung, 1979), h. 115.
4
Kata matia umurku dewe menunjukkan kepasrahan kepada Tuhan sebagai pemilik umur
manusia. Tuhanlah yang menentukan ajal manusia. Sebesar apa pun mara bahaya yang menimpa,
jika Tuhan menghendaki keselamatan bagi seseorang, maka selamatlah seseorang itu.
70
Shadiq pernah mengutarakan sebuah pernyataan, yaitu bagi mereka yang hendak
(perasaan sebagai seorang hamba) pada dirinya.5 Sebagai seorang hamba, maka
seseorang tidak membantah apa pun yang menjadi perintah tuannya, apa pun
Bagian dari bait ke-4 dhandanggula I Serat Dewa Ruci ini adalah penjelasan
kembali dari bait ke-2, yaitu perihal pencarian air suci. Telah disinggung
keagamaan, sedangkan tujuan rutual itu sendiri sejatinya adalah untuk mencapai
kesucian diri.
untuk bersatu dengan Yang Maha Suci, artinya air suci yang hendak dicari
jalan menuju kesucian. Sedangkan Yang Maha Suci tidak mungkin menemui
sesuatu yang tidak suci. Lantas untuk mencapai kesucian pastilah akan melalui
5
Hasan Rahmat, “Menjadi Murid,” dalam Sukardi Ed., Kuliah-kuliah Tasawuf (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2000), h. 214.
6
Lihat Q.S. al-Dzariyat (51) ayat 56.
71
Tidak ada yang dapat membendung dan mencegah sebuah keyakinan yang
itu, Werkudara tetap menjalankan saja apa yang diyakininya, tanpa harus takud
Sebagai seorang saudara, pasti ia akan peduli terhadap segala sesuatu yang
terjadi pada saudaranya yang lain. Demikian yang terjadi pada saudara Pandawa
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan pada bab-bab terdahulu, penulis secara umum
menyimpulkan:
1. Isi kandungan Serat Dewa Ruci secara umum sebagian besar merupakan
ajaran tasawuf, akan tetapi terdapat juga pesan-pesan moral, etika, dan budaya
Jawa di dalamnya.
gagasan kepada masyarakat Jawa. Secara historis, sastra mampu membentuk pola
pikir masyarakat, serta memberi pengaruh sampai pada tataran sikap (attitude)
orang Jawa. Oleh karenanya, sastra dijadikan sarana menyampaikan informasi dan
B. Saran Penelitian
72
73
1. Ajaran mistik kejawen yang dikorelasikan dengan isi dari Serat Dewa
Ruci. Akan lebih bermanfaat lagi bagi umat muslim khususnya di Jawa, jika
Qur’an serta hadits-hadits Nabi SAW dari satu bab ke bab berikutnya untuk
mengingat ajaran-ajaran berupa tuturan bijak dari leluhur lebih diikiuti oleh
sebagian besar masyarakat Jawa dibanding dalil-dalil resmi dari ajaran agama
yaitu mukhlishina lahu al-din atau yang disebut juga ber-ihsan. Dengan demikian,
pembacanya nanti dalam beribadah baik ibadah mahdlah seperti shalat, puasa,
haji, maupun ghairu mahdlhah seperti berbuat baik kepada sesama, menjadi lebih
ikhlas tanpa pamrih sedikitpun, kecuali hanya mengharapkan ridlha Allah SWT.
3. Jika orang yang membaca karya ini memiliki minat dan bakat dalam
menulis karya fiksi, maka diharapkan setelah ini akan lahir darinya karya-karya
fiksi baru yang berupa novel, cerpen, drama, puisi, prosa, dan bahkan skenario
Dewa Ruci.
74
Demikian penulisan skripsi ini, semoga memberikan manfaat bagi penulis dan
yang berkenan membaca. Puji syukur kepada Allah SWT berkat rahmat dan
Dahri, Harapandi. Pemikiran Teologi Sufistik Syekh Abdul Qadir Jailani. Jakarta:
Wahyu Press, 2004.
Mulyono, Sri. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung, 1979.
Pardi, dkk. Sastra Jawa Periode Akhir Abad XIX—Tahun 1920, ed: Muhammad
Fanani. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996.
75
76
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abu Daud, vol. 4. Beirut:
Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t.
Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan
Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet ke-2, 2005.
Tanojo, R. Serat Dewa Ruci Kidung; Miturut Babon Asli Kapujanggan Surakarta
ing Madya Awal Abad XIX M. Surakarta, T.pn., 1962.
Werdisastro, HM. Ilyas. Keris Kalimasada dan Wali Songo. Jakarta: Timpani
Publishing, 2008.
Widada, Rh. Saussure Untuk Sastra; Sebuah Metode Kritik Sastra Stuktural.
Yogyakata: Jalasutra, 2009.
Rujukan dari Skripsi, Buku Fiksi, dan Data Dari Situs Internet
Abdul Hadi W. M. “Islam Dalam Filsafat Mistik Jawa; Analisis Dewa Ruci Serat
Cabolek,” Artikel diakses tanggal 10 Me i 2010 dari
http://www.scribd.com/doc/19387418/Index-2.
Fasha (nama yang tertera dalam web blog) “Sastra Serat Dewa Ruci,” artikel
diakses tanggal 31 Desember 2009 dari
http://fashamistik13.blogspot.com/2009_01_01_archive.html.
Nasuhi, Hamid “Akulturasi Serat Dewa Ruci dengan Ajaran Tasawuf,” artikel
diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari http://www.majalahgontor.co.id.
Artikel-artikel tanpa nama penulis dan bahkan judul artikel yang jelas:
”Filsafat Bima dan Dewa Ruci,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari
http://www.gudangmateri.com/2010/05/filsafat-bima-dan-dewa-ruci.html.
78
Wawancara Pribadi