Anda di halaman 1dari 83

ABSTRAK

Nasihin Aziz Raharjo


Analisis Semiotik Serat Dewa Ruci

Serat Dewa Ruci yang digubah oleh Kyai Yasadipura I memuat ajaran tasawuf
yang dalam pembawaannya disejajarkan dengan ajaran mistik Jawa.
Penciptaannya disengajakan untuk menyampaikan nilai-nilai ke-Islaman kepada
masyarakat Jawa kala itu. Karya Sastra semacam ini merupakan warisan tradisi
berdakwah yang diturunkan oleh para wali yang diyakini dengan cara demikianlah
Islam dapat disebarkan di Nusantara, wilayah yang sebelumnya telah diisi dengan
budaya anemisme, dinamisme, Hindu, dan Budha.
Saat ini pemahaman generasi baru tentang bahasa dan simbol-simbol
komunikasi yang biasa digunakan oleh masyarakat terdahulu banyak mengalami
distorsi. Termasuk pemahaman terhadap ajaran luhur yang termuat dalam Serat
Dewa Ruci, saat ini sudah tidak banyak lagi orang yang mengerti maksud dari
simbol-simbol yang digunakan di dalamnya. Dengan demikian, maka, penelitian
ini bermaksud mengadakan penafsiran mendalam dari padanya, agar kemudian
dapat dituliskan dan dapat dibaca serta disebar luaskan kepada masyarakat, guna
memberi pemahaman atas ajaran yang terkandung di dalamnya.
Penggalian kandungan Serat Dewa Ruci dalam karya ini menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif analitis dengan penggunaan semiotik sebagai
metode analisis. Adapun metode analisis semiotik yang digunakan adalah metode
yang dirumuskan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu dengan memfokuskan pada
rumusan tentang analisis bahasa sinkronik-diakronik dan konsep penanda-
petanda. Analisis semiotik dilakukan dengan cara penggalian pemaknaan yang
telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dalam manuskrip-manuskrip yang
ada, serta dengan mencari data dan informasi dari pelaku budaya Jawa yang
memiliki wawasan luas tentang kandungan Serat Dewa Ruci.
Hasil dari penelitian ini adalah kesimpulan bahwasanya isi kandungan Serat
Dewa Ruci didominasi dengan ajaran tasawuf falsafi yang kemudian dikenal juga
dengan ajaran mistik kejawen. Simbol-simbol yang digunakan di dalamnya
merupakan penggambaran lelaku tirakat yang harus dijalani seseorang untuk
menggapai tingkatan tinggi dalam spiritual dan kesucian jiwa. Banyak kalangan
masyarakat Jawa yang menjadikan cerita Dewa Ruci sebagai rujukan pencarian
jati diri manusia.

iv
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah


berkenan mengizinkan (bi idznihi) skripsi ini akhirnya terselesaikan, setelah
melalui proses yang cukup panjang dengan kesungguhan, jerih payah, serta
kesabaran.
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan besar,
Nabi Muhammad SAW yang berkatnya manusia mendapatkan pencerahan sejati
melebihi pencerahan-pencerahan yang diyakini oleh dunia hari ini.
Perkenankan, pada pengantar skripsi ini penulis menghaturkan untaian
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung
ataupun tak langsung dalam penulisan tugas akhir perkuliahan ini.
1. Terimakasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku
Rektor UIN Jakarta, Dr. Arief Subhan, MA., selaku Dekan FIDKOM, Drs.
Jumroni, MSi., selaku Ketua Jurusan KPI, serta Ibu-nya mahasiswa KPI,
Umi Musyarofah, MA., selaku Sekretaris Jurusan KPI.
2. Terimakasih kepada dosen pembimbing, Drs. Muhammad Sungaidi, MA.,
atas kesabarannya memberikan arahan serta pendampingan yang tak henti-
hentinya sehingga saat ini penulis telah menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
3. Terimaksih kepada Dr. Hamid Nasuhi, atas sharing-nya seputar Serat
Dewa Ruci. Dan yang lebih dari itu, terimaksih atas pemberian data dan
informasi yang beliau peroleh secara susah payah itu, diberikan kepada
penulis dengan cuma-cuma. Juga kepada Pak Sudirman Tebba penulis
beberapa buku yang berkaitan dengan tasawuf Jawa atas pemberian data
yang sangat membantu penulis.
4. Terimakasih kepada Ki Joko Wardono dan Ki Andhika S.Sen., atas
informasi seputar perwayangan pada umumnya dan lakon Dewa Ruci/
Bima Suci pada khususnya, yang beliau-beliau bagikan kepada penulis.
5. Terimakasih kepada Rektor Universitas Maiyah mbah Emha, serta para
guru besar dan jamaah di seluruh Nusantara: Kenduri Cinta, Padhang
Bulan, Macapat Syafaat, Gambang Syafaat, dan Bangbang Wetan. Semua
usaha tidak akan sia-sia. Nusantara akan kembali berjaya.

v
6. Terimakasih kepada keluarga, kanjeng rama Mugohardjo, kanjeng ibu Tri
Mulyani, serta kedua kakak penulis, Nur Eka Yanti sekeluarga dan
Munawir Hasan al-Fauzi, atas kehangatan yang diberikan selama ini.
7. Terimakasih kepada kawan-kawan “nongkrong” Tongkrongan Sastra
Senjakala: Abraham Zakky, Asep Sopyan , Dedik, Moham, Maharini, dan
semua anggota nongkrong atas banyak hal yang saling dibagi bersama.
8. Terimakasih kepada keluarga besar Al-Barkah Institute: Nian, Rochim,
Majid, Domen, Imam, Fajar, Habib, Icha, Iin, Azizullah, pakne Azam, dan
semua penghuni basecamp, baik kaum “anshor” maupun “muhajirin,” atas
keintiman perkawanan dengan penulis.
9. Terimakasih kepada Ikatan Alumni MAKN Surakarta (IKAMAKSUTA)
Jakarta Raya: Farid, Kamal, Ais, Ulya, Baha’, Amri, Saidah, Fajar, Amin,
Sari, dan seluruh alumni baik yang telah penulis seniorkan karena usia,
karir, dan pengalaman, ataupun yang masih menjadi mahasiswa di
JABODETABEK. Kebersamaan dengan mereka mengajarkan pada penulis
arti persaudaraan.
10. Terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada Zahratu Qalbiy, Ika
Prihatin Yuliana, atas motivasi yang tiada henti.

Keterbatasan ruang, meniscayakan penulis tak mungkin mencantumkan


satupersatu semua pihak yang telah membantu penulis. Bagi mereka yang tak
tersebut namanya dalam pengantar ini, hatur terimakasih penulis tak kurang dari
nama-nama yang tersurat di atas.
Last but not least, tiada yang sempurna di dunia ini, termasuk skripsi ini tentu
jauh dari kesempurnaan. Segala masukan, kritik, dan saran terhadapnya sangat
penulis harapkan dan nantikan.

Ciputat, 12 Desember 2010

Penulis,

vi
DAFTAR ISI

ABSTRAK............................................................................................................... i

KATA PENGANTAR............................................................................................ v

DAFTAR ISI......................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1


B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.......................................................... 8
D. Metodologi Penelitian........................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka................................................................................. 13
F. Sistematika Penulisan.......................................................................... 14

BAB II TINJAUAN TEORITIS........................................................................... 16

A. Tinjauan Sastra Jawa........................................................................... 17


1. Sastra Jawa Kuno.................................................................... 17
2. Sastra Jawa Pertengahan......................................................... 19
3. Sastra Jawa Baru..................................................................... 20
4. Sastra Jawa Modern................................................................ 22
B. Tinjauan Tasawuf................................................................................ 22
1. Tinjauan UmumTasawuf......................................................... 22
2. Tasawuf dan Mistik Jawa........................................................ 24
C. Tinjauan Umum Semiotik................................................................... 27
1. Semiotika dalam Karya Sastra................................................ 29
2. Semiotika Ferdinand de Saussure........................................... 32

BAB III GAMBARAN UMUM SERAT DEWA RUCI...................................... 34

A. Pustaka Dewa Ruci............................................................................. 34


B. Biografi Yasadipura I.......................................................................... 40

vii
C. Pengaruh Budaya Islam dalam Serat Dewa Ruci................................ 45
D. Penokohan Bima (Werkudara) dalam Serat Dewa Ruci..................... 49
E. Sinopsis Serat Dewa Ruci................................................................... 51

BAB IV KONSTRUKSI SIMBIL DALAM SERAT DEWA RUCI (ANALISIS


SEMIOTIK SERAT DEWA RUCI)..................................................................... 54

A. Bait Ke-2 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci...................................... 56


B. Bait Ke-3 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci...................................... 60
C. Bait Ke-4 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci...................................... 63
D. Bait Ke-5 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci...................................... 69

BAB V PENUTUP................................................................................................ 73

A. Kesimpulan......................................................................................... 73
B. Saran Penelitian................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 76

LAMPIRAN.......................................................................................................... 79

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para wali khususnya “Wali Songo”1 menyebarkan ajaran Agama Islam di

Nusantara melalui berbagai macam cara. Adapun cara yang paling dianggap

sukses adalah dengan penerapan metode yang sangat apresiatif terhadap budaya,

antara lain melalui asimilasi kebudayaan “lokal” dengan nilai-nilai ke-Islaman

(bukan berarti mencampur adukkan antara agama dengan budaya).

Metode yang digunakan para wali ini mampu menjadi bukti ke-Rahmatan lil

‘Alamin-an Islam bagi masyarakat. Terbukti sampai hari ini Islam bertahan, dan

bahkan hari ini lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Islam. Pencapaian

ini merupakan keberhasilan yang sangat baik, mengingat sebelumnya selama

ratusan tahun telah diisi oleh agama adat istiadat serta Hindu-Budha.

Metode yang santun inilah yang membedakan Islam di negeri ini dengan Islam

di Andalusia (sekarang Spanyol dan sebagian Portugal) yang telah sempat

memiliki peradaban tinggi, namun akhirnya runtuh oleh pasukan “salib” yang

1
Wali dalam konteks ini adalah waliyullah, yaitu orang-orang yang memiliki kedekatan
dengan Allah, sedangkan songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. Jadi, Wali Songo
adalah sebutan untuk sembilan wali yang bertugas menyebarkan ajaran Islam di Jawa sekaligus
sebagai penasehat keagamaan di kerajaan. Dalam tugasnya para wali tersebut diberi kuasa oleh
raja (Kerajaan Islam Jawa) untuk menguasai suatu wilayah tertentu, misalnya Maulana Malik
Ibrahim diberi kekuasaan di wilayah Gresik, maka bergelar Sunan Gresik, Ja’far Shadiq diberi
kekuasaan di wilayah Kudus, maka bergelar Sunan Kudus. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara;
Rangkaian Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2005), h. 10-11. Prof.
Hasanu Simon, mengutip dari Asnan Wahyudi, berdasar naskah orisinil yang tersimpan di Istana
Istanbul, Wali Songo pada awalnya adalah sembilan ulama yang memiliki karomah, utusan Sultan
Muhammad I untuk berdakwah di Tanah Jawa pada tahun 1404. Dalam keterangannya, hal ini
juga telah ditulis Ibnul Batuthah dalam kitab Kanzul Hum. Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti
Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), cet ke-
2, 2005, h. xxii.

1
2

dalam beberapa analisa disinyalir karena hadirnya Islam di sana dengan pedang

(kekerasan dan pendudukan), maka berakhir pula dengan pedang.

Bentuk kesantunan dakwah para wali itu antara lain dengan menghadirkan

nafas Islam ke dalam ranah produksi-produksi budaya dan kesenian seperti

pertunjukan wayang, gamelan, dan sastra. Pertimbangan para wali waktu itu tentu

melihat bahwa kesenian adalah sesuatu yang paling bisa mengumpulkan banyak

orang untuk menyaksikannya. Pertunjukan wayang kulit, misalnya,

keberadaannya pada waktu itu kira-kira sama dengan konser musik hari ini. Di

mana digelar, maka di situ akan banyak orang berbondong-bondong untuk

menghadirinya. Kondisi semacam itulah yang dimanfaatkan para wali untuk

menyisipkan petuah-petuah ke-Islaman.

Kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa tinggi manusia yang terpadu

dalam karya (berupa produk budaya dan sastra). Dengan demikian, tentu

kebudayaan akan selalu ada dan dikenang sepanjang zaman. Dalam artian,

kebudayaan terdahulu tidak boleh terhapuskan hari ini, dan kebudayaan hari ini

pun tidak akan pernah terhapuskan pada masa yang akan datang. Sebagai contoh,

karya sastra misalnya, sampai kapan pun kita akan mengenang Negarakertagama,

Bharata Yudha, Ramayana, Serat Centhini, Serat Wedhatama dan lain sebagainya,

sebagai maha karya. Pun dengan sastra baru, sampai nanti kita akan tetap

mengenal Marah Rusli dengan karyanya “Siti Nurbaya,” Sutan Takdir

Alisjahbana dengan karyanya “Layar Terkembang,” Chairil anwar dengan

karyanya “Aku,” Ali Akbar Nafis dengan karyanya “Robohnya Surau Kami,” dan

bahkan karya-karya yang terus bermunculan seperti “Laskar Pelangi” karya


3

Andrea Hirata juga akan terus mendapat tempat pada memori perjalanan sastra

dan budaya.

Sebagai objek, khazanah sastra Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu: sastra

lama dan sastra modern. Sastra lama disebut juga sastra Nusantara, tersebar di

seluruh Indonesia, menggunakan bahasa-bahasa daerah. Sastra modern atau sastra

nasional, juga tersebar di seluruh Indonesia, tetapi menggunakan bahasa

Indonesia. Secara historis sastra lama mulai lahir sejak berakhirnya masa

prasejarah, sejak manusia mengenal kebudayaan, dengan hasil kongkret berupa

pepatah, dongeng, dan tradisi lisan (folklore) yang lain, yang kemudian

dilanjutkan dengan kebudayaan Hindu dan Islam, hingga awal abad ke-20.

Kemudian setelah abad ke-20 lahirlah yang disebut dengan sastra modern yang

ditandai dengan terbitnya “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar, dan

kumpulan puisi “Tanah Air dan Sengsara” karya M. Yamin.2

Keberadaan karya sastra sebagai salah satu produk budaya inilah, maka dulu

para wali menjadikannya sebagai salah satu alat untuk menyebarkan misi Islam.

Sebagai contoh, Sunan Bonang menciptakan beberapa suluk, Sunan Kalijaga

menciptakan instrumen penulisan sastra yang berupa rumusan penulisan syair

yang hasilnya bisa dinyanyikan, yang sampai hari ini masih dipakai dan

dikembangkan, yaitu tembang macapat Dandanggula. Selain Sunan Kalijaga,

wali-wali yang lain juga menciptakan, seperti Sunan Giri menciptakan tembang

Asmarandana dan Pucung, Sunan Bonang menciptakan tembang Dwima, Sunan

Kudus menciptakan tembang Maskumambang dan Mijil, Sunan Muria

menciptakan tembang Sinom dan Kinanthi, Sunan Drajat menciptakan tembang

2
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme
hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 12.
4

Pangkur.3 Sampai akhirnya pada masa setelah “Wali Songo,” tradisi berdakwah

melalui sastra diwarisi dua tokoh, yaitu ulama pesantren dan para pujangga

Kerajaan Mataram Islam. Khusus untuk pujangga, karya sastranya khas dengan

pesan tasawuf, seperti yang banyak dikenal, yaitu Serat Wulangreh karya Sri

Sunan Pakubuwana IV, Serat Centhini karya Sri Sunan Pakubuwana V, Serat

Wedhatama karya Mangkunegara IV,4 Serat Cabolek dan Serat Dewa Ruci karya

R. Ng. Yasadipura I, hingga sampai pada karya-karya legendaris yang dianggap

sebagai karya kapujanggan terakhir Surakarta, seperti Serat Joko Lodang, Serat

Wirid Hidayat Jati, dan Serat Kalatidha yang di dalamnya memuat tentang perihal

“zaman edan” karya R.Ng. Ranggawarsita.

Sebagai salah satu karya sastra tinggi yang juga merupakan media dakwah

Islam yang efektif untuk kalangan rakyat jelata di Pulau Jawa,5 Serat Dewa Ruci

merupakan tinggalan berharga kepustakaan Islam Jawa. Meski terlahir bukan

murni dari rahim budaya Islam (Mekah dan Madinah), namun isi ceritanya sampai

hari ini telah berubah menjadi muatan dakwah tasawuf. Ajaran yang terdapat

didalamnya mengandung pesan proses pencarian jati diri manusia yang sejatinya

adalah makhluk bertuhan. Seperti dikatakan oleh Imam al-Ghazali yang juga

dikutip dari ‘ulama pendahulu, dan bahkan dinisbatkan sanatnya sampai kepada

Rasulullah SAW, “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, yang artinya:

barang siapa mengenali dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.

3
HM. Ilyas Werdisastro, Keris Kalimasada dan Wali Songo (Jakarta: Timpani Publishing,
2008), h. 95. Dalam Purwadi, disebutkan bahwa Sunan Bonang menciptakan Suluk Wujil.
Sedangkan masalah penciptaan tembang-tembang, ia sependapat dengan Werdisastro. Lihat:
Purwadi, Sejarah Sastra Jawa, (Yogyakarta: Shaida, 2007), h. 118-125.
4
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2009), h. 6.
5
A. Seno Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutci Dengan Arti Filsafatnja (Jakarta: Kinta,
1967), h. 3.
5

Serat Dewa Ruci menggambarkan kisah perjalanan seorang hamba yang

hendak menggapai puncak kenikmatan beribadah. Yaitu perjumpaan hamba

dengan Tuhannya (ihsan). Untuk mencapai kenikmatan tersebut, maka seorang

hamba harus meninggalkan sifat keduniawian, rasa ragu, takut, dan bimbang

untuk bersungguh-sungguh dalam mengambil langkah mantap menuju kebajikan

yang semata hanya mengharap ridlha dari-Nya. Dalam ini, Rasulullah SAW

bersabda:

‫ﻳَـَﺮاك‬ُ‫ﻓَِﺈﻧﱠﻪ‬ُ‫ﻚ ﺗَـَﺮاﻩُ ﻓَِﺈْن ﻟَْﻢ ﺗَُﻜْﻦ ﺗَـَﺮاﻩ‬


َ ‫ﺴﺎِن ﻗَﺎَل أَْن ﺗَـْﻌﺒَُﺪ اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺄَﻧﱠ‬
َ ‫ﻗَﺎَل ﻓَﺄَْﺧﺒِْﺮﻧِﻰ َﻋِﻦ اِﻹْﺣ‬

(setelah mendapat penjelasan apa itu Islam dan Iman, maka penanya itu)
bertanya: dan kabarkanlah padaku tentang Ihsan?! (Rasulullah) bersabda: Enkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya. Jika engkau tidak
melihatnya, (setidaknya engkau merasa bahwa) sesungguhnya Dia melihatmu.
(H.R. Abu Daud)6

Mengenai perasaan bahwa tuhan selalu ada pada saat apa pun dan kapan pun

manusia berada, Allah berfirman di dalam al-Qur’an surat al-Hadid (57) ayat 4:



...dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada

6
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, t.t), h. 39. Hadits ini merupakan peristiwa di mana Malaikat Jibril AS dengan menyamar
sebagai seorang yang ingin bertanya kepada Rasulullah SAW dengan mengenakan pakaian serba
putih. Jibril AS bertanya tentang Islam, Iman, kemudian Ihsan sebelum akhirnya bertanya tentang
hari kiamat dan tanda-tandanya. Dalam hadits ini urutan Ihsan berada setelah Islam dan Iman, ini
merupakan sebuah pertanda bahwa ke-ihsan-an seseorang akan dicapai setelah Islam dan Iman.
6

Firman Allah dan Sabda Nabi SAW tersebut di atas, menjadi dalil bahwa

manusia dituntut memiliki kesadaran atas keberadaan Allah yang senantiasa

melihat, tidak tidur, dan tidak pernah lupa akan sesuatu. Dia Maha Kuasa atas

segala sesuatu, Maha Adil, serta Maha Mengancam atas apa yang dilakukan

manusia. Manusia seharusnya menyadari hal ini agar tidak merasa takabur karena

merasa hebat, sakti, kuat, pintar, serta lebih dalam segala hal dari orang lain.

Sesungguhnya Allahlah yang memiliki segala kesempurnaan itu, dan bukan selain

dari pada-Nya. Kesadaran semacam inilah yang menjadi tujuan dalam penulisan

Serat Dewa Ruci. Kandungannya menghendaki kesadaran bagi siapa saja yang

mempelajarinya.

Namun menjadi keresahan hari ini adalah bahwa pengemasan pesan yang

terkandung dalam Serat Dewa Ruci sudah tidak menarik lagi untuk dipelajari,

bahkan pembawaannya yang sarat dengan simbol-simbol mulai tidak dimengerti

oleh generasi muda. Seolah telah terjadi keterputusan antara pemahaman pujangga

dahulu dalam menulis menggunakan gaya yang diperuntukkan bagi generasi saat

itu, dengan pemahaman generasi muda saat ini. Hal ini dimungkinkan karena

memang tidak terjadi pewarisan ilmu yang berkesinambungan antar generasi

tentang pesan luhur yang dikandung dalam Serat Dewa Ruci. Harus menjadi

kesadaran bagi para akademisi hari ini adalah, bagaimana caranya menghadirkan

isi pesan Serat Dewa Ruci itu untuk konteks kekinian, mengingat memang

wujudnya yang kurang menarik dan susah dimengerti oleh masyarakat yang hidup

pada era modern ini. Isi Serat Dewa Ruci dipenuhi simbol-simbol yang tidak jelas

jika hanya sekilas dibaca. Hal ini disebabkan karena generasi akhir ini tidak
7

mengerti kesepahaman konvensi makna sebagaimana masa silam di mana Serat

Dewa Ruci ditulis. Maka dari itu, perlu diadakan pembahasan dengan tafsiran

yang terperinci agar karya besar itu dapat dimengerti kembali maksud dan artinya.

Hal ini harus dilakukan dengan penggalian makna-makna dari pesan-pesan

simbolik yang terdapat pada cerita tersebut sesuai dengan interpretasi masyarakat

pada masa silam melalui manuskrip-manuskrip, tulisan-tulisan yang memuat

pemaknaan terhadap simbol-simbol dalam Serat Dewa Ruci, dan penjelasan para

budayawan Jawa sebagai pegiat sekaligus pewaris ilmu budaya.

Untuk penggalian makna di balik simbol-simbol yang terdapat dalam cerita

Dewa Ruci tersebut, maka salah satu metode analisa yang paling cocok adalah

metode semiotik. Metode ini adalah metode yang mencoba mengenali simbol dan

lantas menerjemahkannya secara mendalam.

Sebagai upaya pengembangan disiplin Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,

penelitian ini diharapkan mampu memadukan berbagai kepentingan, antara

penggalian nilai sufistik untuk kepentingan dakwah dengan penggunaan metode

analisis semiotik yang merupakan salah satu metode penelitian komunikasi

kualitatif. Dengan demikian, maka penelitian ini diberi judul “ANALISIS

SEMIOTIK SERAT DEWA RUCI”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah penggalian atas isi pesan dari

simbol-simbol yang terdapat pada cerita Serat Dewa Ruci. Fokus penelitian ini

dibatasi hanya pada kata, kalimat, ataupun adegan yang terdapat pada bait ke-2
8

sampai dengan bait ke-5 Serat Dewa Ruci yang mengandung unsur simbolik dan

memerlukan analisa untuk mengerti isi pesan yang disampaikannya.

Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konstruksi simbol dalam Serat Dewa Ruci?

2. Apa keterkaitan Serat Dewa Ruci dengan ilmu tasawuf?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pesan-pesan luhur yang

terkandung dalam Serat Dewa Ruci serta mencari keterkaitannya dengan Ilmu

Tasawuf melalui pemaknaan atas simbol-simbol yang terdapat di dalamnya yang

sudah tidak relevan lagi bagi pemahaman kebanyakan orang pada zaman ini.

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dalam segi akademis, penelitian diharapkan ini mampu memberikan

kontribusi riil terhadap kemajuan pengembangan teori-teori baik dalam

ilmu Dakwah maupun Komunikasi oleh dan bagi para akademisi, terutama

mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

2. Dalam segi praktisnya, sesuai tertera dalam paragraf tujuan, penelitian ini

diharapkan mampu memberikan informasi tentang niliai luhur yang

terkandung dalam Serat Dewa Ruci agar dapat dirumuskan kembali

keseluruhan pesan-pesan tersebut dalam karya baru yang lebih merakyat

sesuai dengan tuntutan zaman, seperti lahirnya karya baru dalam bentuk

novel, puisi, lukisan, drama, atau film yang mengambil ajaran luhurnya

sebagai pesan utama. Jika tidak sampai demikian, maka setidaknya


9

penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan pemaknaan atas simbol-

simbol yang terdapat dalam Serat Dewa Ruci, sehingga nantinya menjadi

pelengkap dari karya Dr. Hamid Nasuhi dan karya-karya penelitian lain

yang sudah ada sebagai pemberi kemudahan bagi siapa saja yang ingin

mempelajari Serat tersebut.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif

analitis dengan konsep semiotik sebagai metode analisis. Metode yang dipilih

secara paradigma masuk dalam ranah paradigma subjektif, dan nantinya hasil

analisis tidak bisa terlepas dari subjektifitas peneliti. Seperti dikutip oleh Ranita

Erlanti Harahap, dari Agus Sudibyo, Ibnu Ahmad, Muhammad Qodari, dan Little

John dalam “Kabar-kabar Kebencian; Prasangka Agama di Media Massa,”

dijelaskan bahwa proses pemaknaan tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifitas

pemberi makna, karena teori-teori jenis ini memang mengizinkan seorang peneliti

menginterpretasi atas teks secara subjektif akibat pengaruh pengalaman

hidupnya.7

2. Objek Penelitian dan Unit Analisis

Objek Penelitian ini adalah karya sastra jawa, Serat Dewa Ruci, sedangkan unit

analisisnya adalah adegan-adegan yang mengandung unsur simbolik yang terdapat

7
Ranita Erlanti Harahap, “Analisis Semiotik pada Poster HIV/AIDS di Yayasan Pelita Ilmu,”
(Skripsi S I Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008), h. 11.
10

pada Serat Dewa Ruci dari adegan pertama sampai dengan adegan Bima bertemu

dengan Dewa Ruci.

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini menggabungkan hasil perolehan data dari

beberapa tahap. Tahap pertama, pengumpulan data-data dari unit analisis yaitu

berupa adegan, kalimat, maupun kata yang mengandung unsur simbolik. Dengan

mengambil inspirasi dari linguistik Saussure, sebuah kritik sastra struktural akan

menemukan fondasi teoretik yang kuat untuk menisbahkan diri pada aliran

(strukturalisme) yang dianutnya. Untuk melakukan kritik sastra struktural

semacam ini, maka peneliti mengikuti tawaran Rh. Widada dengan menyusun

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Membaca karya sastra secara cermat.

2. Mencatat dan mengakumulasikan semua kesan-kesan yang muncul dalam

pembacaan.

3. Mengidentifikasikan dan menggolong-golongkan kesan-kesan itu menurut

kecenderungan kesesuaiannya dengan unsur-unsur narasi tertentu (misalnya

pada tokoh-tokohnya atau alurnya).

4. Mencari dan menemukan seluruh isyarat-isyarat, tanda-tanda tekstual yang

menunjukkan relasi perbedaan dan/atau pertentangan-pertentangan dalam teks

yang biasa disebut sebagai pasangan oposisi biner tersebut.

5. Mencari kemiripan nalar (homologi) diantara pasangan-pasangan oposisi biner

tersebut.
11

6. Mencari arah, hierarki, dan pengorganisasian yang ada dalam pasangan-

pasangan oposisi biner untuk kemudian disarikan (diabstraksikan) ke dalam

sebuah pasangan opisis biner rujukan tempat semua oposisi biner memperoleh

nalarnya.8

Kemudian mengumpulkan data literasi yang membahas tentang isi pesan Serat

Dewa Ruci. Ketiga mengadakan observasi terhadap naskah Serat Dewa Ruci yang

dalam hal ini penulis mengambil inisiatif mengadakan observasi ke perpustakaan

Sasana Pustaka Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan perpustakaan Reksa

Pustaka Kraton Pura Mangkunegaran, dengan alasan Serat Dewa Ruci gubahan

Yasadipura I merupakan karya sastra dari kapujanggan Surakarta. Tahapan

selanjutnya untuk mengumpulkan data, yaitu menggali informasi sebanyak-

banyaknya tentang signifikasi pemahaman budaya Jawa terhadap simbol-simbol

dalam Serat Dewa Ruci dengan mengadakan wawancara kepada tokoh budayawan

Jawa.

4. Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggolongkan Serat Dewa Ruci sebagai karya

mimetik, yaitu, karya sastra yang menitikberatkan semesta sebagai komponen

utama.

Komponen semesta menimbulkan ancangan mimetik, yaitu ancangan


susastra yang menonjolkan aspek referensial di dalam menelaah karya sastra.
Dasar pandangan ancangan mimetik ini adalah karya sastra merupakan tiruan
alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini.
Karya sastra yang menjadi telaahnya dilihat akan jalinannya dengan dunia

8
Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra; Sebuah Metode Kritik Sastra Stuktural (Yogyakata:
Jalasutra, 2009) h. 37-38.
12

nyata atau semesta alam dan juga hubungannya dengan karya sastra lain
sebagai hipogram atau latar pengacuan untuk menciptakan karya sastra yang
baru.9

Sedangkan untuk menganalisis, penelitian ini menggunakan metode analisis

semiotik. Metode ini diyakini sesuai untuk meneliti karya sastra sebagai produk

budaya, karena sastra itu sendiri memang bekerja pada domain semiotik. Pada

dasarnya kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotik adalah suatu cara atau

teknik untuk meneliti teks.10

Tulisan yang terdapat dalam Serat Dewa Ruci dilihat sebagai suatu produk

budaya yang mengandung unsur-unsur lambang. Semua unsur tersebut dinilai

sebagai suatu keseluruhan teks. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah dengan konsep semiotika Ferdinand de Saussure dengan memfokuskan diri

pada analisis sinkronik-diakronik dan terhadap konsep signifer-signified.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini merujuk pada empat penelitian sebelumnya. Dua diantaranya

adalah sebagai tinjauan objek penelitian. Sedangkan dua penelitian lainnya adalah

sebagai tintauan metodologi. Keempat penelitian yang ditinjau dalam penilitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini meninjau pada “Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I”

karya Dr. Hamid Nasuhi. Buku yang juga merupakan karya disertasi ini

9
Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra (Bandung: Angkasa, 1993), h.
29.
10
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 237.
13

memuat keutuhan isi Serat Dewa Ruci berikut dengan penjelasan ajaran

Tasawuf Jawa di dalamnya, yaitu kecenderungan Tasawuf Falsafi sebagai

kiblat. Dalam bukunya tersebut, Nasuhi telah menggali berbagai manuskrip

tantang Serat Dewa Ruci dan membedahnya secara detail tentang muatan

sufistik di dalamnya.

2. Penelitian ini juga meninjau pada hasil penelitian Prof. Dr. Abdul Hadi W.

M. “Islam Dalam Filsafat Mistik Jawa; Analisis Dewa Ruci Serat

Cabolek”.11 Dalam karya ini, Hadi menuliskan hasil penelusuran dan

analisa pada akhir kesimpulannya secara eksplisit, menyatakan, bahwa

keseluruhan isi cerita Dewa Ruci dalam Serat Cabolek merupakan kitab

mistik Jawa yang harus dipegang.

3. Sebagai tinjauan metode analisis, penelitian ini merujuk pada karya

“Analisis Semiotik pada Poster HIV/AIDS di Yayasan Pelita Ilmu,” oleh

Ranita Erlanti Harahap tahun 2008, KPI, Fakultas Dakwah dan

Komunikasi, UIN Jakarta.

4. Tinjauan metodologis selanjutnya yaitu pada karya “Analisis Semiotika

Film Turtles Can Fly,” oleh Istianah tahun 2009, Konsentrasi Jurnalistik,

Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

Penelitian pada nomer satu dan dua di atas perlu dilengkapi dengan eksplorasi

terhadap makna pada simbol-simbol dalam cerita Dewa Ruci secara terperinci.

Dengan demikian, maka penelitian ini akan berusaha menjadi pelengkap bagi

keduanya.
11
Karya ini merupakan buah penelitian Prof. Dr. Abdul Hadi W. M. yang dipublikasikan pada
media internet dalam bentuk file PDF, bertanggalkan 8 April 2008. Artikel diakses tanggal 10 Mei
2010 dari http://www.scribd.com/doc/19387418/Index-2.
14

Sementara, kedua karya penelitian terakhir di atas merupakan karya yang

menggunakan metodologi penelitian komunikasi kualitatif, dengan teori semiotik

sebagai metode analisis. Maka, penelitian ini bermaksud mengembang-lanjutkan

metode tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian ini yaitu, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Metodologi

Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORI

Bab ini menguraikan Tinjauan Umum Sastra Jawa dengan

sub bab Sejarah Sastra Jawa; Periodisasi Sastra Jawa

berikut karakternya, Tinjauan Umum Konsep Tasawuf

dengan penjelasan berbagai konsep tasawuf dan penjelasan

istilah-istilahnya, Tinjauan Umum Semiotika dengan sub

bab yang meliputi Konsep umum Semiotika, Semiotika

dalam Karya Sastra, dan Konsep Semiotika Saussuran.

BAB III MANUSKRIP SERAT DEWA RUCI

Bab ini memberikan gambaran umum tentang Serat Dewa

Ruci berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada yang

meliputi sejarah serta perkembangannya, tokoh-tokoh dan


15

penokohan di dalam ceritanya, pengaruh ajaran tasawuf

yang memasukinya, dan dengan menuliskan sinopsis cerita

singkat Serat Dewa Ruci.

BAB IV HASIL PENELITIAN ANALISIS SEMIOTIKA

Bab ini berisikan hasil dari penelitian ini sendiri, yaitu

analisis semiotik Serat Dewa Ruci

BAB V PENUTUP

Bab ini menyampaikan uraian singkat berupa kesimpulan

dan saran penulis untuk penelitian-penelitian lanjutan atas

permasalahan yang diteliti.


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Sastra Jawa

Kata sastra dalam arti ''aslinya'' dalam pembendaharaan bahasa Sanskrit atau

Jawa Kuno berarti teks-teks yang mengarah lebih kepada berasal dari kedewataan

atau naskah-naskah suci.1 Dalam pemahaman populer, seperti dalam Kamus

Ilmiah Populer, disebutkan, bahwa sastra adalah kitab; tulisan; karangan; buku

ilmu.2

Sastra bagi orang Jawa mendapat posisi yang luhur. Bahkan dapat dikatakan

dahulu kaum intelektual Jawa sebagian besar terdiri dari para pujangga

(sastrawan). Fungsi sastra bagi orang Jawa di antaranya adalah sebagai fungsi alat

penyampai ajaran spiritual-keagamaan, fungsi magis-politis, fungsi didaktik

(pendidikan), dan fungsi pelipur.3

Dalam Wikipedia berbahasa Indonesia disebutkan, bahwa sejarah Sastra Jawa

dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi),

Pare, Kediri Jawa Timur. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Sastra jawa

kuno biasanya menyebutkan tanggal dikeluarkannya lewat sebuah sistem yang

rumit yang berkaitan dengan gejala-gejala astronomis. Demikian misalnya prasasti

Sukabumi disebutkan di dalamnya “tahun 726 penanggalan saka, dalam bulan

caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari haryang (hari kedua pada

1
Sugilanus G. Hartha “Nyastra; Merunut Kembali Arti Kata Sastra,” artikel diakses tanggal 8
Agustus 2010 dari http://permenkaretmolor.multiply.com/journal/item/202/Makna_dalam_Sastra.
2
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), h.
695.
3
S. Supomo “Fungsi Jawa Kuna Dan Relevansinya Di Sepanjang Masa,” artikel diakses
tanggal 18 Agustus 2010 dari
http://www.petra.ac.id/science/social_sciences/r_papers/konggres/sastra13.htm.

16
17

minggu yang berhari enam), wage (hari keempat dalam minngu yang berhari

lima), saniscara (pada hari ketujuh dalam minggu yang berhari tujuh)...” dengan

demikian, Prasasti Sukabumi sesuai penelusuran, bertanggalkan 25 Maret tahun

804. Ini merupakan suatu tanggal yang sesuai untuk mengawali tinjauan mengenai

sastra Jawa Kuno.4 Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari

tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang

tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuno).5 Prof.

Poerbatjaraka menyatakan ada kitab yang lebih tua dari prasasti itu, yakni kitab

Tjandra-Karana. Dikatakan lebih tua karena dalam kitab tersebut di dalamnya

memuat nama seorang raja keturunan Cailendra yang mendirikan candi Kalasan

kira-kira pada tahun 700 saka, yaitu sama dengan 778 Masehi. Kitab inilah yang

menurut Poerbatjaraka merupakan bacaan tertua.6

Untuk merumuskan periodisasi Sastra Jawa, perumusan dari periode ke periode

yang paling sistematis adalah merujuk kepada rumusan yang dimuat dalam situs

Wikipedia berbahasa Indonesia, yaitu dengan membaginya dalam empat periode:

Sastra Jawa Kuno, Sastra Jawa Baru, Sastra Jawa Pertengahan, dan Sastra Jawa

Modern.

1. Sastra Jawa Kuno

Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno pada

periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-8 sampai 13 Masehi, dimulai dengan

kitab Candra-Karana dan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam

4
P.j. Zoetmulder, Kalangwan; Sastra Jawa Kuno; Selayang Pandang (Jakarta: Djambatan,
1985) cet. Ke-2, h. 3.
5
Wikipedia berbahasa Indonesia “Sastra Jawa,” artikel di akses tanggal 24 Juli 2010 dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa.
6
Poerbajtaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa (Jakarta Djambatan, 1957) h. 2.
18

bentuk gancaran (prosa) ataupun kakawin (puisi, nyanyian atau tembang).7

Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum,

kronik, dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk

manuskrip yang ditulis pada daun tal/ lontar, yakni daun siwalan dan prasasti pada

batu atau lempengan batu. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno

jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan

ratusan jumlahnya, meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti

memuat teks kesusastraan. Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada

periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan

Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.8

Poerbatjaraka membagi lagi periode Sastra Jawa Kuno ini dalam tiga bentuk

sesuai periodisasinya, yaitu pertama, Sastra Jawa Kuno golongan Tua yang

ditandai dengan penulisannya pada batu, tembaga atau emas, maupun pada daun

tal, yang hampir keseluruhan berbentuk bahasa prosa. Kitab-kitab tersebut seperti

Kitab Candrakarana, Kitab Ramayana, Kitab Sang Hyang Kamahayanikan,

Brahmandapurna, Agastyaparwa, Utarakanda, Adiparwa, Sabhaparwa.9

Kedua, Sastra Jawa Kuno yang berkembang. Pada periode ini ditandai dengan

pembawaan bahasa Hindu sebagai bahasa penulisannya, yakni dengan aturan

main penulisan berbentuk “tembang gede” (nyanyian besar) yang penuh dengan

syarat irama tetap tanpa perubahan sedikitpun.10 Adapun kitab-kitab pada periode

ini seperti Arjunawiwaha, Kresnayana, Sumanasantaka, Sumaradahana,

7
Lihat catatan kaki, No. 4, 5, dan 6.
8
Wikipedia berbahasa Indonesia, “Sastra Jawa.”
9
Poerbajtaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan, h. 163.
10
Ibid, h. 16.
19

Bhomakawya, Bharatayudha, Hariwangsa, Gatotkacasraya, Wrettasancaya,

Lubdhaka. Semua kitab yang disebutkan dalam periode ini berbentuk kakawin.

Ketiga, Sastra Jawa Kuno yang tergolong baru. Ciri-ciri sastra pada periode ini

adalah sama saja dengan kedua periode sebelumnya yaitu di dalamnya

menyebutkan nama raja pada masa penulisan, hubungan dengan kitab atau tulisan

lain, hari dan tahun pembuatan, serta menggunakan bahasa yang serupa dengan

kedua periode sebelumnya. Ciri yang menjadi pembeda periode ini adalah di

dalamnya selain menyebutkan hal-hal di atas, juga menyebutkan kitab rujukan

yang lebih tua –barangkali sekarang seperti adanya tinjauan pustaka– dan

menceritakan keadaan tanah Jawa11 (dua periode sebelumnya bercerita tanah lain

seperti India dan lain sebagainya). Kitab-kitab pada periode ini seperti

Brahmandapurana, Kunjarakarna, Negarakertagama, Arjunawijaya, Sutasoma,

Parthayadnya, Nitisastra.

2. Sastra Jawa Pertengahan

Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13

sampai kira-kira abad ke-16. Pada garis besarnya yang menjadi penanda periode

ini adalah bahasa yang digunakan merupakan bahasa pertengahan antara bahasa

Jawa kuno dengan bahasa yang dipakai dewasa ini. Setelah abad ke-16, sastra

Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali.12 Pada masa ini

muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli.

Karya-karya ini disebut kidung.

Poerbatjaraka menyatakan, menurut perkiraan, bahasa Jawa pertengahan


11
Ibid, h. 38.
12
Wikipedia berbahasa Indonesia, “Sastra Jawa Bali,” artikel diakses tanggal 24 Juli 2010 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa-Bali.
20

muncul sebagai bahasa percakapan sehari-hari pada zaman kerajaan Majapahit

berjaya. Dengan kata lain sebelumnya bahasa Jawa kuno digunakan hanya sampai

pada akhir zaman kerajaan Singasari. Adapun pada zaman Majapahit bahasa Jawa

kuno hanya digunakan oleh para pujangga13 untuk menulis syair-syairnya yang

masih merujuk kepada kitab-kitab lama seperti bahasa yang digunakan pada kitab

Negarakertagama dan Arjunawijaya. Selebihnya, di luar kepujanggaan dan di luar

golongan bangsawan, bahasa Jawa kuno sudah jarang dipahami orang saat itu.

Dengan demikian karya sastra saat itu hanya lazim dibaca oleh para sastrawan lain

dan para bangsawan Majapahit. Oleh sebab pemakaian bahasa pada kalangan

masyarakat umum sudah berubah, maka lahirlah karya-karya sastra yang

menggunakan bahasa umum yang dapat dipahami dan dimengerti oleh siapa saja

seperti Tantu Panggelaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka, Korawacrama, dan

Kitab Pararaton.

3. Sastra Jawa Baru

Sastra jawa baru dimulai saat masuk dan berkembangnya agama Islam di pulau

Jawa, yaitu kira-kira pada abad 15-16 M. Oleh karena itu, maka periode ini

disebut dengan periode zaman Islam. Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa

mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka.14 Datangnya Islam

yang bertepatan dengan masa keruntuhan Majapahit, menarik banyak orang

termasuk di dalamnya para intelektual Jawa pada kala itu untuk memeluk agama

Islam. Lama kelamaan hal ini melahirkan pusat kekuasaan dan akhirnya menjadi

13
Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa, h. 72.
14
Wikipedia berbahasa Indonesia. “Sastra Jawa.”
21

pusat kebudayaan Jawa-Islam.15 Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa

Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Sebagai

karya tertua pada periode ini adalah Het Boek Van Bonang.

Meskipun periodisasi Sastra Jawa Baru hanya sampai pada abad 16 dan setelah

itu digantikan dengan munculnya gaya modern, akan tetapi kelahiran karya-karya

periode ini tidak berhenti hanya sampai pada abad 16 saja. Model periode ini

masih tetap bertahan hingga pada abad 19, bahkan sampai hari ini beberapa

pujangga masih menciptakan karya-karya baru dengan corak ke-Islaman untuk

kepentingan dakwah, dan dalang wayang kulit masih menggunakannya untuk

menggubah cerita carangan dalam lakon pewayangan. Sebagai contoh munculnya

karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini

yang ditulis pada abad 18. Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin

mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa,

sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang

lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuno. Karya sastra yang lain diantaranya

Kitab Ambiya, Paniti-sastra, Lokapala, Dewa Ruci, Kitab Babad Giyanti, dan

beberapa karya lain.

Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa

Pertengahan. Setelah tahun 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin

dominan. Setelah masa ini, kemudian ada pula renaisans Sastra Jawa Kuno. Kitab-

kitab kuno yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan

digubah dalam Bahasa Jawa Baru.

15
Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa, h. 95.
22

4. Sastra Jawa Modern

Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin

terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi. Para cendekiawan

Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip

orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya.

Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan

sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentang perjalanan.

Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan

utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-

kata Belanda.

Pada masa tahun 1839, oleh Taco Roorda, diciptakan huruf cetak berdasarkan

aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar

di pulau Jawa.16

B. Tinjauan Tasawuf

1. Tinjauan Umum Tasawuf

Secara etimologis, para ulama berbeda pendapat tentang dari mana asal kata

tasawuf. Ada di antaranya yang menyebutkan bahwa tasawuf berasal dari kata

shufa’ (kesucian jiwa) yang pada akhirnya pengertian ini akan membawa mereka

dalam komunitas sufistik yang maha tinggi. Di antara mereka yang termasuk

dalam kategori ini adalah al-Syaikh abdul Qadir Jailani.17 Pendapat lain

mengatakan bahwa tasawuf merujuk pada orang yang mengenakan pakaian suf

16
Artikel diakses tanggal 24 Juli 2010 dari
http://heritageofjava.com/portal/index.php?topic=sastra&page=2.
17
Harapandi Dahri, Pemikiran Teologi Sufistik Syekh Abdul Qadir Jailani (Jakarta: Wahyu
Press, 2004) h. 124.
23

(kain wol) dari bulu domba di Bashrah. Mereka itu adalah kelompok Abdul

Wahid bin Zaid pengikut Hasan Bashri.

Kata Tasawuf juga diidentikkan kepada ahlu al-Shuffah, yaitu, sekelompok

orang yang terdiri dari kaum fuqara’ yang mendiami sebuah tempat di Masjid

Nabawi. Mereka adalah para sahabat nabi yang telah tidak memiliki keluarga dan

tempat tinggal, lantas mereka mengabdikan diri kepada Allah dengan beribadah

dan mengkaji ilmu agama.

Terlepas dari semua pendapat itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah


berpendapat bahwa tasawuf berarti orang-orang yang tertarik dan intens
dengan pengetahuan-pengetahuan yang terkait dengan batin seseorang, dan
orang-orang yang tertarik untuk mencari jalan atau praktek-praktek ke arah
kesadaran dan pencerahan diri secara terus menerus tanpa henti mengadakan
muraqabah dan kontemplasi dalam mendekatkan dirinya kepada Allah Yang
Maha Bijaksana.18

Dalam tradisi tasawuf, untuk upaya pencapaian kenikmatan akan perjumpaan

dengan manifestasi Allah ke dalam kalbu dikenal istilah selain maqamat dan

ahwal, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.

1. Takhalli

Takhalli adalah proses perjalanan tasawuf yang paling pertama, yaitu,

mengawali dengan penyucian diri dengan mengkosongkan diri dari

kotoran serta penyakit-penyakit hati dan jiwa seperti riya’, ujub, takabur,

dan sifat-sifat buruk lainnya. Tahap ini adalah tahap penyucian diri, di

mana seseorang harus bersesuci secara lahir dan batin, menanggalkan

18
Ibid, h. 127.
24

semua pakaian keduniawian yang menjadi hijab antara makhluk dengan

khalik.

2. Tahalli

Setelah tahap penyucian dengan mengosongkan diri dari sifat-sifat kefanaan,

maka masuklah seseorang kepada tahapan tahalli, yaitu mengisi hati dan

jiwa yang sudah dikosongkan tadi dengan sifat-sifat baik seperti qana’ah,

zuhud, tawadlhu’, ihlas, sabar, dan tawakkal.

3. Tajalli

Setelah seseorang berhasil menempuh kedua proses, yaitu mengosongkan diri

dari keburukan dan mengisinya dengan kebaikan, maka seseorang akan

menemui tajalli, yaitu kenikmatan tersendiri dalam menjalankan ibadah.

Seseorang yang berhasil mencapai proses tajalli inilah yang akan menjadi

orang “muhsin/ ihsan” yang dijelaskan pada sebuah hadits yaitu orang yang

beribadah seolah-olah berjumpa dengan Tuhan, dan jika tidak demikian,

setidaknya orang itu meyakini bahwa Tuhan sedang melihatnya.19

2. Tasawuf dan Mistik Jawa

Antara mistik dengan tasawuf memang sangat dekat. Tasawuf sering

disejajarkan dengan mistisisme. Bahkan ada juga yang menyebut mistik Islam

Kejawen. Tasawuf merupakan bentuk mistik Islam yang berupaya agar hati

19
Imam Taufiq “Maqamat dan Ahwal; Tinjauan Metodologis, “ dalam Simuh, dkk., Tasawuf
dan Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 132. Lihat catatan kaki Bab I No. 7.
25

manusia menjadi benar dan lurus menuju Tuhan. Ajaran tasawuf sering disebut

sebagai ilmu hakikat atau kasunyatan.20

Di dalam tasawuf dikenal dengan adanya dualisme paham. Di satu sisi

meyakini dirinya menarik garis perbedaan tegas dengan Tuhan sebagai dzat

wajibul wujud yang bersifat transendental. Penganut ini mempercayai bahwa

insan al-kamil hanyalah sampai ke hadirat Tuhan, yakni manakala hidupnya

diimbasi sifat Ketuhanan karena telah melenyapkan (fana) alam luar dan terimbas

sifat Tuhan (baqa) yang hadir karenannya. Sedangkan sisi yang lain mempercayai

paham panteisme dan monisme yang disebut dengan manunggaling kawula-Gusti.

Dalam penghayatan ini manusia sama dengan Tuhan. Kedua konsep tasawuf ini

sangat terasa titik temunya dengan mistik kejawen.21 Konsep-konsep ini tidak lain

adalah perwujudan dari konsep ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud dalam konteks

mistik Jawa.

Cita hidup yang harus dicapai manusia adalah mendapatkan penghayatan

kesatuan dengan Tuhannya. Dalam sebuah rumusan dikatakan bahwa dzat Tuhan

diibaratkan sebagai samudra, dan manusia adalah satu titik air di dalamnya.

Konsep ini memandang bahwa lahir-batin Tuhan telah berada dalam hidup

manusia, dan Tuhan telah kasarira, yakni sudah tercakup dalam diri manusia.

Konsep manunggaling kawula gusti merupakan gubahan dari tajalli dalam ajaran

tasawuf. Dasar pemikiran ini berasal dari paham falsafah yang disebut monisme,

yakni suatu paham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia, adalah

aspek lahir dari satu hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan.22

20
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen (Yogyakarta: Narasi, 2004), cet. Ke-3, h. 67.
21
Ibid, h. 69.
22
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; Suatu Studi Terhadap Serat
Wirid Hidayat Jati (Jakarta: UI-Press, 1988), h. 290-293.
26

Dari pengertiannya sendiri Manunggaling kawula-Gusti yaitu (jawa)

bersatunya hamba dengan Tuhan. Manunggal= bersatu, kawula= hamba, gusti=

Tuhan. Ungkapan-ungkapan lain yang memiliki arti serupa adalah jumbuhing

kawula-Gusti, pamoring kawula-Gusti, dan loroning atunggal. Ungkapan ini

menunjuk kepada adanya dua (hamba dengan Tuhan) yang berkumpul, menyatu,

bersamaan rupa, bersesuaian, bercampur, atau berpadu menjadi satu.23

Sedangkan konsep syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat dalam mistik Jawa

disebutkan, sarengat adalah menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum

agama, seperti menjalankan shalat lima waktu dengan setia, tarekat adalah

kesadaran tentang hakekat dari tingkah laku pada tahap sarengat secara mendalam

dan terus meningkat, misalnya doa-doa tidak lagi sekedar gerak-gerik tubuh dan

pembacaan ayat-ayat, melainkan usaha yang luhur untuk mencapai Tuhan,

hakekat adalah tahap menghadapi kebenaran yang merupakan tahap

berkembangnya secara penuh kesadaran akan tingkah laku pada tahap pertama

dan kedua, yaitu bahwa tujuan hidup adalah menjadi bagian yang tergantung pada

seluruh tatanan kosmos; tindakan ritual menjadi kehilangan kepentingan (pamrih)

karena hidup dan tindakan manusia menjadi doa terus menerus kepada Tuhan, dan

makrifat adalah ketika manusia mencapai jumbuhing kawula lan gusti, di mana

jiwa manusia terpadu dengan jiwa semesta, dan tindakan manusia semata-mata

hanya laku kepada Tuhan.24

23
Azumardi Azra dan Tim, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), h. 775.
24
Endraswara, Mistik Kejawen, h. 127-128.
27

C. Tinjauan Umum Semiotik

Semiotik adalah sebuah metode analisis yang menggali makna dari penanda-

penanda yang ada dalam kehidupan. Masih menjadi perdebatan para tokoh

linguistik dan tokoh-tokoh ilmu budaya tentang apakah semiotik ini merupakan

disiplin ilmu tersendiri, ataukah hanya merupakan sebuah metode analisis.

Sebagai suatu metode ilmiah, semiotik sebagai metode analisis dapat dikatakan

relatif sangat baru. Dalam konteks akademik modern, istilah semiotika digunakan

oleh Margareth Mead pada tanggal 19 Mei 1962 di Universitas Indiana AS, ketika

diselenggarakan seminar tentang Paralinguistik dan Kinesis. Mead, dalam hal ini,

menggunakan istilah semiotik untuk menunjuk komunikasi yang terpolakan dalam

segala bentuk modal.25

Kata semiotika diturunkan dari bahasa Inggris: semiotic. Berpangkal pada

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman

Umum Pembentukan Istilah (Produksi Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa) bahwa orientasi pembentukan istilah itu ada pada bahasa Inggris. Akhiran

bahasa Inggris –ics dalam bahasa Indonesia berubah menjadi -ik atau –ika,

misalnya dialektics berubah menjadi dialektik atau dialektika, esthetics berubah

menjadi estetik atau estetika. Nama lain dari semiotika adalah semiologi.

Keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu sebagai ilmu tentang tanda. Baik

semiotika maupun semiologi keduanya berasal dari bahasa Yunani: semion, yang

berarti tanda.26 Literatur lain menyebutkan semiotika berasal dari kata Seme, yang

berarti penafsir tanda. Dalam pengertian lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti

25
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 156.
26
Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra (Bandung: Angkasa, 1993), h.
2.
28

studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara

kerjanya dan apa manfaatnya terhadap kehidupan.27

Istilah semiotik pertama kalinya diajukan pada akhir abad kesembilan belas

oleh seorang filsuf Amerika yang bernama Charles S. Pierce untuk merujuk

kepada doktrin formal tanda-tanda. Kajian semiotik melingkupi segala sistem

tanda, apa pun substansi dan batas-batasnya.28 Tokoh lain yang dianggap berjasa

dalam upaya pengembangan semiotika adalah Ferdinand de Saussure, seorang ahli

ilmu bahasa dari Swiss. Saussure lebih menggunakan istilah semiologi, dan

pandangan-pandangannya kebanyakan disampaikan ketika memberi kuliah di

University of Guneva sekitar tahun 1906 sampai 1911, yang kemudian dibukukan

di bawah judul Course de Linguistique generale (Course in General Linguistics),

yang diterbitkan pada tahun 1915.29

Asumsi yang paling mendasar dari semiotik menyatakan bahwa segala sesuatu

adalah tanda. Bukan hanya bahasa dan sistem komunikasi tertentu saja yang

tersusun sebagai tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri. Dengan perantara

tanda-tanda proses kehidupan manusia menjadi lebih efisien, dengan perantaraan

tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus

mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Tidak ada seorang pun

yang mampu berhubungan dengan realitas, kecuali dengan perantara bermacam-

macam tanda.30

27
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme
hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 97.
28
Kris Budiman, dalam kata pengantarnya, Kosa Semiotika (Yogyakarta: LKiS, 1999).
29
Santosa, Ancangan semiotika, h. 17.
30
Siti Chammamah-Suratno, dalam kata pengantar Kris Budiman, Kosa Semotika
(Yogyakarta: LKiS, 1999).
29

Tanda dalam tradisi semiotik didefinisikan sebagai stimulus yang menandakan

atau menunjukkan satu atau beberapa kondisi lain. Misalnya, Bendera kuning

yang dipasang di perempatan dan tetepi-tepi jalan menjadi pertanda adanya kabar

duka karena ada keluarga yang ditinggal mati oleh salah satu anggota

keluarganya; hilangnya barang-barang di rumah menjadi penunjuk bahwa ada

pencuri yang mengambilnya; tertawa terbahak-bahak menjadi petunjuk bahwa

seseorang sedang memiliki perasaan senang/ gembira, dan sebaliknya menangis

tersedu-sedu menandakan bahwa seseorang sedang menyandang sedih hati/ duka.

1. Semiotika dalam Karya Sastra

Manusia menggunakan si st e m tanda sebagai pengatur kehidupan

bermasyarakat. Tanda-tanda tersebut melingkupi perilaku, bahasa, maupun benda-

benda yang dibuat, merupakan tanda-tanda yang mengatur pola-pola interaksi

sosial dalam masyarakat itu.31 Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa

kebudayaan merupakan sistem tanda.

Budaya itu sendiri secara kasar dan ringkas dapat dikatakan sebagai

keseluruhan aktifitas manusia. Sebagian besar aktifitas manusia pada dasarnya

dilakukan melalui bahasa, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, bahasa

menjadi konservasi yang paling kuat terhadap kebudayaan manusia. Sebagai

produk budaya berbentuk bahasa yang aplikatif tentunya yang paling pertama

akan muncul ke permukaan adalah karya sastra. meskipun, volume aktivitas

kesastraan terbatas, tetapi intensitas kesastraan itu sendiri memiliki kualitas yang

31
E.K.M. Masinambow dan Rahayu S. Hidayat, Semiotik; Mengkaji Tanda dan Artifak
(Jakarta: Balai Pustaka), 2001, h. 28.
30

sangat luas sekaligus kompleks.32 Dari kodratnya, karya sastra merupakan refleksi

seorang pengarang melalui bahasa. Bahasa itu sendiri tidak sembarang bahasa,

melainkan bahasa yang khas, yakni, bahasa yang memuat tanda-tanda (semiotik)

yang akan membentuk sistem tanda.

Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu

yang lain dari pada dirinya sendiri.33 Misalnya, lampu merah pada perempatan

jalan tidak dimaksudkan untuk berfikir mengenai warna merah itu sendiri,

melainkan sebagai tanda untuk perintah berhenti. Contoh lain, seperti ketika

seorang pengendara mobil di sorot tembak lampu mobil dari belakangnya,

bukanlah lampu itu yang utama, melainkan itu adalah isyarat meminta jalan. Teks

sastra hampir secara keseluruhan terdiri atas ciri-ciri semisal tersebut. Bahasa

metafora-konotatif (bahasa-bahsa kiasan), dengan hakikat kreatif-imajinatif

merupakan faktor utama yang menjadikan karya sastra dipenuhi dengan sistem

tanda.

Di antara model komunikasi sastra, yang dianggap paling baik untuk dijadikan

pedoman penciptaan sekaligus sebagai tumpuan analisis yaitu yang dirumuskan

oleh M. H. Abrams, yaitu dengan mengutarakan empat elemen sastra.

Semesta

Pengarang ↔ Karya ↔ Pembaca

32
Ratna, Teori, Metode, dan, h. 111.
33
Ibid, h. 112.
31

Dengan model itu karya sastra, sebagai sebuah fenomena, maka sebuah karya

sastra dipahami selalu terkait dengan semesta sebagai hal yang ditirunya; terkait

dengan latar belakang pengarang sebagai penciptanya; terkait dengan pembaca

sebagai pihak yang menjadi sasaran karya; dan pada dirinya sendiri karya sastra

merupakan suatu entitas yang bisa dilihat secara terpisah dari situasi yang

melingkupinya. Dari situ lahirlah empat kategori sastra yaitu, mimetik (karya yang

menitikberatkan semesta sebagai unsur utama), ekspresif (karya yang

menitikberatkan pengarang sebagai unsur utama), pragmatik (karya yang

menitikberatkan pembaca sebagai unsur utama), dan objektif (karya yang

menitikberatkan karya itu sendiri sebagai unsur utama).34 Keempat ancangan yang

ditawarkan oleh M.H. Abrams tersebut sebagai modal dasar pemahaman

semiotika secara komunikatif.35

Dalam model komunikasi sastra Abrams ini tidak terlihat hubungan antara

pembaca dan penulis. Hubungan antara pembaca dan penulis tidak dapat

dilakukan secara langsung, melainkan harus melalui karya sastra itu sendiri.

Pembaca hanya dapat berkomunikasi dengan penulis melalui karya sastra yang

dibacanya. Di sini pembaca memiliki peran sebagai pelaku yang menciptakan

pertalian antara teks, penafsir, dan interteks. Dalam pembacaan dan pemahaman

sebuah karya sastra, terjadilah pada batin pembaca proses transfer semiotik dari

satu tanda ke tanda yang lain.36

34
Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra; Sebuah Metode Kritik Sastra Stuktural (Yogyakata:
Jalasutra, 2009) h. 4.
35
Santosa, Ancangan semiotika, h. 25.
36
Ibid, h. 25.
32

2. Semiotika Ferdinand de Saussure

Sebenarnya Ferdinand de Saussure tidak pernah menyusun teori semiotika.

Bahkan dalam bukunya Cours in General Linguistics yang menjadi rujukan utama

para pakar linguistik dan pakar komunikasi itu sama sekali tidak terdapat teori-

teori semiotika. Kitab suci semiotika sesungguhnya tidaklah ditulis oleh Saussure

sendiri. Kris Budiman menyebutkan bahwa teori semiotika ditulis oleh dua

“rasul”-nya yang setia: Charles Bally dan Albert Sechehaye.37 Meskipun

demikian, Saussure telah meramalkan akan hadirnya semiotika.

Suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam kehidupan sosial


dimungkinkan; akan menjadi bagian dari psikologi sosial, dan dengan
sendirinya dari psikologi umum; kita akan menyebutnya semiology (dari
bahasa Yunani semeionn, “tanda”). Semiologi mungkin akan menunjukkan
kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda tersebut, hukum apa saja yang
mengatur mereka. Karena ilmu itu belum ada, dapat dikatakan bahwa ilmu
tersebut tidak akan ada; tetapi ilmu tersebut berhak untuk hadir, tempatnya
telah ditetapkan sebelum ia lahir.38

Beberapa dasawarsa kemudian apa yang diramalkan Saussure kemudian

menampakkan sosok-wujudnya setahap demi setahap berkat para “penerus”-nya

baik yang patuh maupun yang membangkang yang mengaplikasikan konsep-

konsep Saussure ke dalam fenomena kesastraan pada khususnya dan fenomena

non-kebahasaan pada umumnya.39

Meskipun baru berupa rumusan dan ramalan, terlebih belum disebut sebagai

semiotika maupun semiologi, konsep Saussure harus diakui sebagai akar lahirnya

37
Kris Budiman, Ikonitas: Semiotika Sastra dan Seni Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2005)
h. 35.
38
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1993) Cet. Ke-2, h. 82-83.
39
Budiman, Ikonitas: Semiotika Sastra, h. 36.
33

semiotika. Dalam rumusannya tentang tanda, Saussure mengusulkan sebuah tanda

model “dyadic”, yaitu dua bagian dari tanda.

Saussure mengemukakan: Sebuah tanda di dalamnya

terdapat penanda atau ‘signifier’ (signifiant) sebagai bentuk

dan petanda ‘signified’ (signifie) sebagai konsep.

Bahasa pada dasarnya adalah sebuah proses signifikasi yang kompleks. Bahasa

terdiri dari langue dan parole. Tanda dalam bahasa terdiri dari yang menandai

(signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifie, signified, petanda).

Baik penanda maupun petanda tidaklah dapat dipisahkan satu dari yang lainnya.

Baik penanda maupun tanda bersifat mental; penanda adalah citra bunyi

sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep.

Konsep penanda dan petanda merupakan keutuhan dalam sebuah tanda. Lantas

analisis petanda bahasa dalam pandangan Saussure menurut kesesuaian makna

yang berhubungan dengan tempo tertentu dan perkembangan dari masa ke masa di

mana keberadaan tanda bahasa tersebut, tergolongkan dalam dua, yaitu sinkronik

dan diakronik.

Sinkronik adalah analisis bahasa sebagai sistem yang eksis pada suatu titik
waktu tertentu–yang sering kali berarti “saat ini” atau kontemporer– dengan
mengabaikan route yang telah dilaluinya sehingga dapat berwujud seperti
sekarang. Sedangkan diakronik mengkaji relasi-relasi secara suksesif mengikat
terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat bersubtitusi tanpa
membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh pikiran kolektif.
Prefesi Saussure secara khusus tertuju kepada linguistik sinkronik.40

40
Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2004) h. 38.
BAB III

GAMBARAN UMUM SERAT DEWA RUCI

A. Pustaka Dewa Ruci

Kisah Dewa Ruci menurut berbagai sumber, sudah ada semenjak zaman Jawa

Kuno yang entah kapan tidak terlacak. Pengarang awalnya, dinisbahkan kepada

tokoh yang bernama “Mpu Ciwamurti” yang tidak diketahui secara pasti apakah

nama asli ataukah sekedar sebutan.1 Namun menurut Poerbatjaraka sesuai

penemuannya, naskah asli Dewa Ruci tidak memuat nama pengarang di dalamnya

(anonim),2 dan bahkan yang juga berkembang di masyarakat ada yang

menyebutkan secara spekulatif bahwa pengarangnya adalah Sunan Kalijaga. Hal

ini berdasar anggapan masyarakat bahwa yang memperkenalkan asimilasi budaya

dengan agama Islam adalah Sunan Kalijaga, seperti halnya dialah yang dianggap

sebagai pemrakarsa wayang kulit sebagai sarana dakwah.

Cerita Dewa Ruci asli sesuai temuan Poerbajtaraka, gaya penulisannya

menggunakan bahasa Jawa Pertengahan, namun susunannya masih dengan cara

penyusunan Jawa Kuno meskipun memakai tembang yang sedikit melanggar

irama.3 Meskipun tidak pernah diketahui secara pasti kapan kali pertamanya

dikarang, setidaknya hal ini menunjukkan bahwa naskah Dewa Ruci memang

sudah ada sejak zaman Hindu-Buda, yang berarti bahwa cerita aslinya tidak

bermuatan ke-Islaman.

1
A. Seno Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutci Dengan Arti Filsafatnja (Jakarta: Kinta,
1967), h. 2.
2
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2009), h. 57.
3
Poerbajtaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa (Jakarta Djambatan, 1957) h. 74.

34
35

Menurut team perpustakaan Yayasan Sastrokartono Yogyakarta, cerita Dewa

Ruci itu pada pokoknya mengambil dari cerita pahlawan Gilgamesh di tanah

Mesopotamia sekitar tahun ke-3000 sebelum tarikh masehi.4 Gilgamesh adalah

seorang pemuda yang tersohor dengan keberaniannya yang luar biasa. Ia memiliki

sahabat karib bernama Enkidu. Dalam persahabatan ini Gilgamesh menghendaki

adanya persahabatan abadi, akan tetapi pada akhirnya Enkidu menemui ajalnya.

Alangkah sedihnya Gilgamesh menerima kenyataan demikian. Sejak itu

Gilgamesh berkeinginan untuk memiliki kehidupan abadi agar tidak mengalami

kematian seperti halnya yang menimpa Enkidu. Akhirnya Gilgameshpun berguru

kepada seorang Pendeta. Oleh Sang Pendeta Gilgamesh disuruh mencari “Pohon

Kehidupan” yang terletak di dalam pusat samudra raya agar tercapai hasratnya

untuk hidup abadi. Dalam perjalanannya itu Gilgamesh harus menempuh berbagai

rintangan yang menghalanginya.5

Cerita Gilgamesh tersebut di atas mengalami perjalanan dari tanah

Mesopotamia melalui tanah Persia menuju tanah jajahan India. Kemudian oleh

bangsa India cerita itu dibawa ke tanah Jawa ketika mereka bermigrasi pada abad-

abad awal Masehi.6 Kemudian cerita Gilgamesh sedikit banyak berubah, terutama

nama tokoh Gilgamesh diganti dengan nama Bima atau Wrekodara (Werkudara)

dengan mengubah judul ceritanya menjadi Dewa Ruci atau juga terkenal dengan

kisah Bima Suci.

Kisah Dewa Ruci disisipkan sebagai cerita carangan dalam epos besar

Mahabarata, yaitu cerita tentang perang saudara antara Pandawa dan Korawa.

4
Yayasan Sosrokartono Cabang Yogyakarta, Meninjau Pustaka Dewa Ruci Secara Mendalam
(Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono, 1971), h. 1.
5
Fasha (nama yang tertera dalam blog), “Sastra Serat Dewa Ruci,” artikel diakses tanggal 31
Desember 2009 dari http://fashamistik13.blogspot.com/2009_01_01_archive.html.
6
Yayasan Sosrokartono, Meninjau Pustaka, h. 5.
36

Dengan memanfaatkan latar dan tokoh-tokoh yang sama seperti dalam cerita

Mahabarata, khususnya di tanah Jawa cerita Dewa Ruci seolah-olah telah menjadi

bagian dari keutuhan cerita Mahabarata yang sebenarnya jika ditengok dalam

kisah aslinya karangan Mpu Wiyasa (di Jawa dikenal sebagai Begawan Abiyasa)

tidak terdapat bagian yang menceritakan kisah Dewa Ruci tersebut.7

Menurut Poerbatjaraka, seperti dikutip Nasuhi, naskah tertua Dewa Ruci

diperkirakan berasal dari zaman Jawa Pertengahan, yaitu antara tahun 1292

sampai tahun 1520.8 Masa ini bertepatan dengan masa peralihan zaman Hindu-

Budha ke zaman Islam. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, setelah abad ke-

16, Sastra Jawa Pertengahan beralih ke Bali dan menjadi Sastra Jawa-Bali, maka

di Bali cerita Dewa Ruci ini berkembang dan lebih dikenal dengan Nawa Ruci.

Sementara itu di tanah Jawa beralih kepada Sastra Jawa Baru, yaitu dengan

kemunculan Islam di dalamnya.

Serat Dewa Ruci yang asli diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa yang lebih

modern untuk kali pertamanya oleh Sunan Bonang,9 seorang waliullah yang

termasuk dalam salah satu dari kesembilan “Wali Songo”, kemudian cerita Dewa

Ruci berkembang sebagai cerita bernafaskan Islam.

Selanjutnya, seperti dikutip oleh Nasuhi, dari majalah Pewayangan Indonesia

tahun 1973, Abdullah menyitir sebuah syair yang terjemahan dalam bahasa

Indonesianya sebagai berikut:

7
Lihat: C. Rajagopalachari, Mahabarata (edisi asli); Sebuah Roman Epik Pencerah Jiwa
Manusia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2008). Buku ini merupakan gubahan baru cerita Mahabarata
berdasar cerita teroriginal yang berkembang di India. Buku ini adalah hasil sayembara yang
diadakan oleh Bharatiya Vidya Bhavan, yaitu sebuah lembaga kebudayaan di India. Setelah
penulis baca, ternyata benar bahwa cerita Dewa Ruci tidak termuat dalam keutuhan cerita asli
Mahabarata.
8
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 5.
9
Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa, h. 3.
37

Maka Sultan Demak yang sangat haus pengetahuan


Meminta Sunan Kalijaga untuk menyusun lakon
Bima Suci yang menggambarkan ilmu tarekat dalam menyembah Tuhan
Biayanya sangat mudah
Hanya membaca kalimat syahadat
Maka banyaklah orang yang menjadi Muslim10

Syair di atas menunjukkan bahwa pada masa Kerajaan Demak, ada permintaan

seorang sultan kepada Sunan Kalijaga untuk menyusun cerita Dewa Ruci sebagai

lakon untuk sebuah pertunjukan yang ditujukan untuk dakwah. Disebutkan bahwa

bagi yang hendak menyaksikannya, tiketnya (biayanya) sangat mudah, hanya

dengan mengucapkan kalimat syahadat saja. Maka dengan pementasan tersebut

akan banyak orang masuk agama Islam.

Dengan informasi dari kutipan syair di atas, jelaslah bahwa ada pengembangan

cerita Dewa Ruci oleh Sunan Kalijaga. Keterangan ini diperkuat oleh Profesor

Hasanu Simon yang menyebutkan, bahwa “Dewo Ruci” adalah salah satu dari dua

karya Sunan Kalijaga yang dapat dijadikan dasar untuk menganalisis

kepribadiannya.11 Sedangkan cerita Dewa Ruci pada zaman Wali Songo,

khususnya yang dikenal sebagai karangan Sunan Kalijaga ini lebih dikenal dengan

cerita Syekh Malaya (Melaya).12

Minat masyarakat terhadap kisah Dewa Ruci sejak awal diedarkannya,

sangatlah besar, terbukti dari banyaknya gubahan-gubahan atasnya. Banyak sekali

gubahan baru yang diturunkan dari cerita aslinya, kemudian diturunkan lagi dan

10
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 146.
11
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah
Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), cet ke-2, 2005, h. 8. Disebutkan dua karya yang dapat
dijadikan dasar untuk menganalisis kepribadian Sunan Kalijaga adalah Sertat Dewo Ruci dan
Suluk Linglung.
12
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 147. Lihat juga: Abdul Hadi W. M. “Islam Dalam Filsafat Mistik
Jawa; Analisis Dewa Ruci Serat Cabolek,” Artikel diakses tanggal 10 Mei 2010 dari
http://www.scribd.com/doc/19387418/Index-2.
38

diturunkan lagi sesuai kehendak penyalin.13 Tercatat sudah lebih dari lima naskah

yang berkembang sampai hari ini.

Pertama sekali, seperti yang disebut di atas, bahwa sesuai penemuan

Poerbatjaraka, naskah asli Dewa Ruci tidak menyebutkan nama pengarangnya

dengan penjelasan melihat dari segi bahasa yang digunakan, kira-kira ditulis pada

zaman peralihan Hindu-Budha ke zaman Islam. Kemudian setelah itu berkembang

di Bali dengan lebih dikenalnya sebagai cerita Nawa Ruci. Sementara itu, di Jawa

berkembang dengan sisipan ajaran agama Islam di dalamnya, mengingat telah

masuknya dakwah Islam terutama oleh para Wali dengan didukung kondisi Tanah

Jawa yang telah dikuasai kerajaan Islam. Selanjutnya pada masa kerajaan

Surakarta, muncullah tokoh pujangga yang juga berpengetahuan luas tentang

agama Islam, Yasadipura I (1729-1803), berkenan menggubah Serat Dewa Ruci

dan memperbaruinya. Dengan demikian isi cerita Dewa Ruci gubahan Yasadipura

I sudah berbeda dengan Nawa Ruci. Cerita Dewa Ruci Yasadipura I bermuatkan

Tasawuf, sedangkan Nawa Ruci masih tetap dengan corak Hindu.14

Yasadipura I dikenal sebagai seorang pujangga ulung di Surakarta pada

pemerintahan Sri Sunan Paku Buwana II, III, dan IV. Ia juga dikenal, seperti

dikutip Nasuhi, dari Pigeaud (pakar kesusastraan Jawa berkebangsaan Belanda),

sebagai salah satu tokoh terpenting dalam “ The Renaissance of Javanese

Literature” (kebangkitan kembali kesusastraan Jawa kuno).15 Mula-mula

Yasadipura I hanya menyelipkan kisah Dewa Ruci dalam Serat Cabolek. Setelah

itu ia menuliskannya dalam naskah serat utuh dengan Bahasa Jawa Baru dalam

13
Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa, h. 2.
14
Muhammad Zaairul Haq, Tasawuf Pandawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 109.
15
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 5.
39

bentuk tembang macapat.16 Berkat sentuhan Yasadipura I inilah cerita Dewa Ruci

menjadi sangat dikenal oleh masyarakat. Bahkan Serat Dewa Ruci karya

Yasadipura dianggap sebagai acuan semua karya setelahnya.

Setelah Yasadipura I naskah Serat Dewa Ruci masih terus berkembang. Salah

satunya adalah oleh R. Tanojo yang menggubah naskah Dewa Ruci dalam bentuk

gancaran dengan Bahasa Jawa Baru. Gubahan ini dalam tafsirnya,

memperlihatkan keinginan menyusupkan anasir Islam di dalamnya, yaitu bahwa

Dewa Ruci yang di temui Bima di dalam Samudra tak lain dan tak bukan adalah

nabi khidzir (kilir),17 seperti pada kisah nabi Musa saat berguru mengarungi

samudra.

Gubahan naskah Dewa Ruci masih terus berkembang. Bahkan saat ini tiga

perpustakaan (Sasana Pustaka kraton Kasunanan Surakarta, Reksa Pustaka Kraton

Mangkunegaran, dan Radya Pustaka) di Surakarta menyimpan naskah berbahasa

Sunda-Cirebon dengan nama penulis Salamun.

Hari ini di Pengging, tempat pesarean (makam) Yasadipura I, hampir setiap

bulan Suro (Muharam dalam kalender Hijriah) diadakan pagelaran wayang kulit

dengan lakon Dewa Ruci. Akan tetapi jika dicermati, ternyata sebenarnya pada

lakon yang dimainkan dalam wayang tersebut sudah sangat berubah dari cerita

gubahan Yasadipura I. Dalam lakon tersebut dikembangkan bahwa tujuan

pencarian Bima bukan pada tirta pawitra sari, akan tetapi pada kawruh sangkan-

paraning dumadi (pengetahuan tentang asal-muasal kejadian dan hendak kemana

semua menuju).

16
Yayasan Sosrokartono, Meninjau Pustaka, h. 12.
17
Ibid.
40

Secara lebih perinci, cerita Dewa Ruci yang dikembangkan dalam lakon

pewayangan tersebut di atas, yaitu pertama-tama untuk menggayuh kawruh

sangkan-paraning dumadi, Bima harus mencari kayu gung susuhing angin (kayu

besar sarang angin), setelah itu Bima harus mencari tirta perwita sari (air suci),

baru setelah itulah Bima akan mendapatkan kawruh sangkan-paraning dumadi.

Kitab Dewa Ruci dengan tembang macapat versi Yasadipura I mengalami

beberapa kali cetak dengan huruf Jawa. Percetakan pertama dilakukan oleh

percetakan van Drop di Semarang pada tahun 1870 atas usaha penerbitan yang

dilakukan oleh Mas Ngabehi Kramapawira. Kemudian dicetak untuk kali yang

kedua dan ketiganya oleh orang dan percetakan yang sama masing-masing pada

tahun 1873 dan 1880.

Pada tahun 1922, oleh Mas Ngabehi Mangunwijaya melalui penerbit dan

percetakan Tan Khoen Swie, masih menggunakan bahasa Jawa, kitab Dewa Ruci

dicetak dengan tambahan pengantar yang mengatakan bahwa kitab Dewaruci itu

mula-mula berbahasa Kawi dan tembangnya Sekar Ageng, karangan Mpu

Widayaka dari negeri Mamenang (Kediri). Setelah itu barulah terbit cetakan-

cetakan dengan tulisan latin, dan pada tahun 1930-an naskah-naskah yang

berkenaan dengan Dewa Ruci mulai memasuki ranah pengkajian akademik.18

B. Biografi Yasadipura I

Dalam buku Tus Pajang seperti dikutip Nasuhi, disebutkan bahwa Yasadipura

I lahir di Pengging pada hari Jumat Pahing 1729, adalah pujangga Surakarta yang

merupakan keturunan Sultan Hadi Wijaya (raja Pajang),19 dan merupakan

18
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 58-59.
19
Ibid, h. 46.
41

keturunan dari Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Silsilahnya yaitu Raden

Ngabehi Yasadipura I bin Raden Tumenggung Padmanegara, bin Pangeran

Adipati Danupaya, bin Pangeran Serang, bin Pangeran Wiramenggala III, bin

Pangeran Wiramenggala II, bin Panembahan Raden, bin Pangeran Benawa, bin

Sultan Hadiwijaya, bin Adipati Kebo Kenanga, bin Pembayun (istri Adipati

Pengging Handayaningrat), binti Brawijaya V.20 Akan tetapi menurut versi lain

berdasar beberapa referensi silsilah, Yasadipura I adalah keturunan Kyai Ageng

Pemanahan, dan bertemu silsilah dengan Sultan Hadi Wijaya jika terus ditelusuri

keduanya sama-sama merupakan keturunan dari Brawijaya V Sang Raja

Majapahit yang terakhir.21

Yasadipura I lahir dari perkawinan antara Padmanegara (seorang Adipati di

Pekalongan pada masa Sultan Agung dan seorang Jaksa Kerajaan pada masa

Susuhunan Pakubuwana I) dengan Siti Maryam (Nyai Ageng Padmanegara), yaitu

putri dari Kyai Kalipah Caripu, guru sekaligus sahabat Padmanegara dalam

mengembangkan agama Islam di Pengging. Dari perkawinan ini, Padmanegara

mengidamkan karunia seorang putra laki-laki setelah sebelumnya mendapatkan

buah hati seorang putri. Maka demi keinginannya itu, Padmanegara selalu

memohon kepada kepada Allah SWT. Ia banyak melakukan tapa brata dan

prihatin siang malam, mengurangi makan dan tidur.

20
Sudirman Tebba, Sufi-sufi Jawa; Mengenalkan Wajah Islam yang Ramah (Jakarta: Pustaka
Irvan, 2007), h. 126.
21
Kyai Ageng Pemanahan adalah sahabat sezaman dengan Sultan Hadi Wijaya yang bersama
Kyai Juru Martani turut serta dalam penaklukan Arya Penangsang. Kyai Ageng Pemanahan
dihadiahi tanah Mentaok (sekarang Yogyakarta), sementara Kyai Juru Martani dihadiahi tanah
Pati. Kyai Ageng Pemanahan merupakan ayah dari Panembahan Senopati, yaitu raja Mataram
Islam yang pertama. Lihat novel karya Gamal Komandoko, Panembahan Senopati; Geger
Ramalan Sunan Giri. (2009). Selanjutnya, semua tokoh di atas (kecuali Kyai Juru Martani yang
penulis belum temukan) merupakan keturunan Brawijaya V. Pernyataan ini berdasar penelusuran
penulis dengan menggabungkan silsilah dari keluarga Trah Yasadipuran yang dipadukan dengan
silsilah raja-raja Mataram yang terdapat pada perpustakaan Reksa Pustaka Kraton Pura
Mangkunegaran Surakarta.
42

Selang waktu dari tirakat itu, akhirnya istri Padmanegara mengandung. Singkat

cerita, satu hari menjelang kelahiran bayi yang dikandung Nyai Ageng

Padmanegara, tepatnya pada hari Kamis malam Jumat Pahing, datang seorang ahli

nujum yang menyampaikan bahwa anak yang lahir pada malam Jumat Pahing

kelak akan menjadi anak yang memiliki kelebihan dari anak yang lainnya. Tak

lama setelah itu, datang juga seorang ulama sahabat Kyai Kalipah Caripu, yaitu

Kyai Hanggamaya dari Bagelen, Kedu. Ia mengatakan bahwa nanti pada saat

subuh, Nyai Ageng Padmanegara akan melahirkan seorang anak laki-laki yang

kelak akan menjadi orang yang pandai dan memiliki kelebihan.

Ternyata benar apa yang dikatakan Kyai Hanggamaya, pada saat Padmanegara

dan para tamunya menunaikan shalat subuh, Nyai Ageng Padmanegara benar-

benar melahirkan seorang bayi laki-laki, yang kelak dikenal sebagai R.Ng.

Yasadipura I.22

Yasadipura kecil diberi nama Bagus Banjar oleh orang tuanya, sedangkan

panggilannya adalah Jaka Subuh, karena ia dilahirkan pada waktu subuh. Di

usianya yang ke delapan (sewindu), sesuai permintaan Kyai Hanggamaya, Bagus

Banjar dikirim ke pesantrennya di Karesidenan Kedu untuk mendapat pengajaran

masalah kesenian, kebudayaan, dan keagamaan. Dalam usianya yang relatif muda

itu, Bagus Banjar telah memperlihatkan bakat yang luar biasa dalam ilmu agama

dan kesusastraan.

Kira-kira enam tahun Bagus Banjar menyantri, lantas di usianya yang ke-14 ia

mengabdikan diri dan berkarir di kraton Kartasura di bawah pemerintahan Paku

Buwana II. Mula-mula ia mengabdi sebagai prajurit dan diberi tugas untuk

22
Soetomo W. E., dan Cahyo Budi Utomo, Mengenal R. Ng. Yosodipuro (Semarang: Kanwil
Depdikbud Jateng Bidang Jarahnitra, 1990), h. 4-5.
43

menjaga pusaka kraton. Kemudian setelah kira-kira dua tahun setelah itu, pusat

kerajaan berpindah ke Sala (Solo), sesuai bakatnya, ia mendapat kepercayaan

sebagai sekretaris raja di bawah bimbingan Pangeran Wijil, dan sejak saat itulah

namanya dirubah menjadi Yasadipura. Ia juga mendapat amanat sebagai

Pujangga Taruna (pujangga muda) kraton.

Pada pertengahan antara tahun 1745-1755 terjadi perpecahan yang

menyebabkan melemahnya pengaruh politik kraton. Karena itu, maka diperlukan

konsolidasi internal dengan membangkitkan kembali warisan budaya Jawa. Hal

ini ditujukan untuk memunculkan kembali kekuatan politik yang melemah itu.

Berbagai upaya dikerahkan untuk menciptakan karya-karya tulis baru di bidang

sastra sebagai pengganti buku-buku yang rusak. Sebagai pujangga kraton,

Yasadipura bertugas merestorasi dan menggubah kembali khazanah kesusastraan

Jawa Kuno. Dalam hal ini ia telah berhasil melakukan penulisan kembali

berbagai kitab Jawa Kuno ke dalam kitab baru dengan Bahasa Jawa Modern

dengan ketrampilannya yang luar biasa. Dengan pengetahuan agamanya, ia juga

tak luput untuk mengarahkan karya-karya gubahan barunya tersebut menjadi

karya yang bernafaskan ajaran Islam. Dengan demikian Yasadipura tampil tidak

hanya sebagai pujangga, melainkan juga sebagai sejarawan, guru agama, dan

mistikus Islam (sufi).

Karya-karya Yasadipura sangat populer hingga saat ini. Bahkan bahasa yang

digunakan Yasadipura dalam karya-karyanya mempengaruhi tata kebahasaan di

kraton Surakarta yang akhirnya menjadi ukuran standar bahasa Jawa. Dari situlah
44

maka sering disebut-sebut bahwa patokan bahasa Jawa adalah Surakarta.23 Karya-

karyanya tersebut antara lain, yaitu: Tajusalatin, Babad Giyanti, Anbiya’, Menak,

Bratayuda, Babad Prayut, Cabolek, Arjuna Wiwaha (Jarwa), Paniti Sastra (Kawi

Miring), Dewa Ruci Jarwa, dan Babad Pakepung.24

Yasadipura selain piawai dalam tata kesusastraan, ia juga sedikit banyak

menguasai keahlian di bidang politik. Jasa Yasadipura bagi kraton antara lain

adalah ikut menentukan lokasi Kraton Surakarta, mendamaikan perselisihan

antara Sunan Pakubuwana III (Surakarta) dengan Sultan Hamengkubuwana I

(Yogyakarta), serta memecahkan permasalahan kerajaan dengan Belanda pada

waktu pemerintahan Pakubuwana IV (peristiwa pakepung).25 Dengan

pengalamannya di bidang politik itu, sehingga pada masa pemerintahan Paku

Buwana IV, Yasadipura sempat diminta untuk menjadi patih (mentri) dalam

pemerintahan kraton Surakarta. Akan tetapi ia menolak dengan alasan usia yang

telah lanjut.

Yasadipura wafat di Surakarta pada hari Senin Kliwon, 14 Maret 1803. Ia

dimakamkan ditempat kelahirannya, di Pengging. Sampai hari ini makamnya

dikeramatkan. Setiap malam Jumat Pahing (hari kelahirannya), makamnya

dikerumuni orang yang hendak berwisata spiritual atau ada juga yang ngalap

barkah (mencari keberkahan) dari makamnya. Sepeninggalan Yasadipura I,

kemudian di kraton, posisinya digantikan oleh putranya, Raden Sastranegara

(Yasadipura II).

23
Berkembang di masyarakat Jawa, bahwa standar bahasa Jawa tertinggi sampai hari ini adalah
Surakarta (Solo). Itu artinya, bahwa bahasa Jawa Surakarta dianggap sebagai bahasa paling halus
dalam tingkatan kebahahasaan Jawa.
24
Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Kepustakaan, h. 150.
25
Soetomo, dan Utomo, Mengenal, h. 10-19.
45

C. Pengaruh Budaya Islam dalam Serat Dewa Ruci

Pengaruh budaya luar terhadap sastra jawa telah berlangsung lama, dari satu

fase ke fase berikutnya. Pengaruh budaya luar tersebut turut menentukan bentuk

dan struktur karya sastra jawa yang muncul,26 termasuk di dalamnya budaya

Islam. Hal ini sudah dimulai sejak masuknya budaya asing tersebut ke tanah Jawa.

Sedangkan budaya Islam, pengaruhnya meluas menjelang berakhirnya dinasti atau

pemerintahan Majapahit. Pengaruh itu semakin kuat pada abad ke-15 sampai

dengan abad ke-16. pengaruh Islam turut mempengaruhi warna sastra dan budaya

Jawa. Sebagai salah satu contoh munculnya sastra suluk yang berbentuk tembang.

Sastra suluk adalah karya sastra yang memuat ajaran yang berupa usaha manusia

mencapai kesempurnaan hidup, manunggaling kawula gusti berdasarkan mistik

islam.27

Budaya yang biasa berkembang menyertai perkembangan Islam, turut memberi

pengaruh dalam pembuatan naskah Serat Dewa Ruci. Di antara bukti pengaruh

tersebut adalah gaya dan cara penulisan Serat Dewa Ruci yang merupakan cerita

dengan menggunakan tata syair yang sangat runtut dan bernada. Hal ini

menyerupai penulisan kitab al-Barjanji atau Barzanji,28 yang ditulis oleh Syaikh

Ja`far al-Barzanji pada tahun 1184. Barzanji merupakan kitab yang berisikan doa-

doa, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad SAW yang biasa

dilantunkan dengan irama atau nada.

26
Pardi, dkk, Sastra Jawa Periode Akhir Abad XIX—Tahun 1920, ed: Muhammad Fanani
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996), h. 14.
27
Ibid. h, 17.
28
Al-Barzanji adalah kitab yang berisikan riwayat Nabi Muhammad SAW yang disusun dalam
bentuk syair berlau dan di dalamnya terdapat banyak sekali puji-pujian kepada Beliau SAW. Kitab
ini dilahirkan dari sayembara saat kali pertamanya peringatan Mulid Nabi yang pada mulanya
diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Membangkitkan gairah ke-islaman
dengan mengenang-ngenang Nabi SAW, sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras
mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
46

Selain pengaruh pada cara penulisan, dalam segi isi, Serat Dewa Ruci memuat

ajaran tasawuf. Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar

belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali

dan Ibn Arabi. Walaupun Poerbatjaraka mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci

itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi

kebanyakan orang Jawa, terutama “angkatan tua”, ia dianggap sebagai sumber

pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk “ilmu kasampurnan”.

Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan

menggunakan “bahasa” orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca

Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern,

kebanyakan orang yang membacanya akan mengatakannya sebagaimana

Poerbatjaraka berpendapat. Tetapi bila preunderstanding pembaca itu dilandasi

pada literatur sufi, maka ia akan melihat Serat Dewa Ruci sebagai karya yang

sangat sufistik. Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat cerita.

Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu,

seperti juga bagaimana Sa’di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari

khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.29

Kisah Dewa Ruci versi Yasadipura I mengandung nilai ajaran tasawuf (mistik).

Sejak awal kisahnya bercerita tentang penggambaran bagaimana seseorang

mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi.

Meskipun digambarkan secara simbolik, orang Jawa tahu bahwa untuk


mencapai tujuan hidup bukanlah perkara mudah, banyak sekali rintangan yang
harus dihadapi. Bima mencapainya mulai dari berguru, bertempur dengan
raksasa, bergulat melawan naga di tengah samudra, sampai akhirnya bertemu

29
(anonim) “Serat Dewo Ruci,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari
http://kariyan.wordpress.com/serat-dewo-ruci/.
47

dengan Dewa Ruci, makhluk kecil penjaga laut yang memberi wejangan yang
mencerahkan mengenai ilmu sejati (kasunyatan).30

Ajaran tasawuf yang mempengaruhi Serat Dewa Ruci adalah konsep-konsep

dalam tasawuf falsafi seperti konsep ittihad, hulul, wahdat al-wujud, dan insan al-

kamil, dengan asumsi bahwa pencapaian kesempurnaan manusia adalah setelah ia

mencari kesuciannya (yang dilambangkan dengan pencarian tirta amerta/

pawitra) dan setelah itu maka ia akan mengenali jati dirinya (dilambangkan

dengan sosok Dewa Ruci yang berwujud menyerupai Bima). Dalam hal ini sebuah

dalil yang entah sebenarnya itu merupakan Hadits Rasulullah ataukah hanya Qaul

‘ulama, disebutkan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (barang siapa

mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya).31 Jelas sudah, bahwa

perjalanan Bima dalam Serat Dewa Ruci memang melambangkan proses

pencapaian kepada hakikat Tuhan. Cerita Dewaruci dibangun atas pandangan

hubungan antara Tuhan dan manusia dan segenap alam semesta, bersifat monistik.

Artinya kata dia, sebenarnya manusia, alam semesta, dan Tuhan, merupakan satu

kesatuan wujud, satu hakikat. Hakikat yang satu itu adalah Tuhan. Karena itu,

untuk menemukan Tuhan dan bersatu dengan-Nya sebagai puncak pengamalan

mistik, manusia tidak perlu mencari jauh-jauh apa yang ada di luar dirinya,

melainkan cukup melihat dan menyelami hakikat dirinya.

30
Nasuhi, Dewaruci, h. 9.
31
Penulis belum berhasil menemukan kejelasan secara pasti apakah kalimat itu merupakan
hadits atau sekedar perkataan ulama’. Ada beberapa pendapat mengenai hal ini, ada yang
menyebutkan perkataan tersebut merupakan hadits qudsi, ada yang berpendapat merupakan hadits
Nabi SAW, dan ada juga yang berpendapat bahwa itu merupakan hikmah dari Imam al-Ghazali.
Sementara ini menurut peneliti, perkataan itu seperti telah diungkapkan pada bab I. Lihat halaman
4. Dalam al-Fatani, Tadzkirat al-Maudlhuat (T.tp.: T.pn., t.t.), h. 11., disebutkan bahwa kalimat
tersebut bukan merupakan sabda Nabi SAW, melainkan perkataan dari Yahya bin Mu’adz al-Razi.
Imam al-Suyuti tidak begitu mempermasalahkan dari mana asal kalimat tersebut, yang penulis
temukan dalam karyanya, Suyuti hanya menjabarkan saja maksud dari kalimat tersebut. Jalal al-
Din abd al-Rahman bin Abi Bakrin al-Suyuti, al-Hawi li al-Fatawa fi al-Fiqh wa ‘Ulum al-Tafsir
wa al-Hadits wa al-Ushul wa al-Nahw wa al-I’rab wa Sairi al-Funun, vol.2 (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 2000), h. 228.
48

Gagasan tasawuf falsafi yang terserap dalam Serat Dewa Ruci di antaranya

berasal dari naskah tasawuf yang terkenal di Jawa sejak abad ke-17, yaitu kitab al-

Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya Muhammad ibn Fadl Allah al-

Burhanpuri, seorang sufi asal India. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, kerena

Serat Dewa Ruci dikarang dan menjadi populer pada zaman ketika Islam sudah

diakui eksistensinya di kalangan orang Jawa, terutama di lingkungan keraton,

sementara Yasadipura I sendiri adalah pujangga keraton sekaligus guru mistik

yang sebagian masa pendidikannya dihabiskan di pesantren.32

Cerita dalam Serat Dewa Ruci juga menyerupai kisah perjalanan Nabi

Muhammad ketika Isra’ Mi’raj, dimana dipenuhi dengan pralambang-pralambang.

Pada puncaknya Isra’ Mi’raj mempertemukan Nabi Muhammad SAW dengan

keindahan maha keindahan, yaitu perjumpaan dengan Allah SWT. Segala

kenikmatan dan kebahagiaan berada disana, namun Nabi Muhammad harus

kembali kepada umat manusia untuk mengajarkan makarim al-akhlaq. Jika

disuruh memilih, pasti ketika itu Nabiyullah Muhammad SAW menghendaki

tidak kembali untuk terus bersemayam dalam kebahagiaan. Begitu juga dalam

Serat Dewa Ruci, ketika Bima masuk dalam tubuh Dewa Ruci, ia mendapati

ketenangan dan enggan keluar kembali. Akan tetapi Bima harus tetap kembali

kepada saudara-saudaranya, juga kepada manusia untuk mengajarkan dan

menegakkan kebenaran.

Kemudian pembawaan ceritanya, Serat Dewa Ruci juga memiliki kemiripan

dengan kisah Nabiyullah Musa AS ketika disuruh oleh Allah SWT untuk berguru

32
Hamid Nasuhi “Akulturasi Serat Dewa Ruci dengan Ajaran Tasawuf,” artikel diakses
tanggal 8 Agustus 2010 dari http://www.majalahgontor.co.id.
49

kepada Nabi Khidzir AS. Dalam bergurunya ini, Nabi Musa AS mengikuti Nabi

Khidzir AS menjelajah samudra dan mendapat ilmu-ilmu yang belum diketahui.

D. Penokohan Bima (Werkudara) dalam Serat Dewa Ruci

Dalam sejarah kebudayaan Jawa, Bima tak hanya muncul sebagai tokoh dalam

karya sastra, melainkan juga dalam bentuk arca, relief, “boneka” wayang, dan

gambar wayang. Ada pula prasasti yang menyebutkan namanya. Bahkan, ada

galaksi yang dinamai Bima Sakti. Ia dikenal dalam kurun waktu yang cukup

panjang, sejak abad ke-10 melalui Prasasti Wukajana 908 M, yang dibuat atas

perintah Dyah Balitung (899-911 M), raja Mataram Hindu, hingga sekarang.33

Para ahli juga menjadikan Bima pokok bahasan, mulai dari H. Kern dan W.H.

Rassers, W.F. Stutterheim, Prijohoetomo, R.M.Ng. Poerbatjaraka, Heidi Hinzler,

Hariani Santiko, dan Woro Aryandini Sumaryoto, yang dari disertasinya tulisan

ini dikembangkan. Bima itu salah satu tokoh kreasi seni yang sejak dimunculkan

dalam alam budaya orang Jawa punya daya bertahan sepanjang pergantian zaman

selama sepuluh abad. Citranya dibentuk oleh penggambaran mengenai watak dan

tabiat, peran, serta ciri fisiknya.

Bima merupakan simbol kepahlawanan, kejantanan, pencarian hakikat hidup,

dan kesuburan. Ini diungkapkan dalam bentuk badan, bagian tubuh yang khas,

tindakan, cara berbicara dan bahasa, senjata, serta kain polèng warna empat yang

dipakainya. Kain ini pun simbol nafsu empat (amarah, lawwamah, sufiah,

muthmainnah), konsep sedulur, kesatuan manusia dan Tuhan, dan tingkatan

tahapan tarekat Islam (syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat).

33
”Filsafat Bima dan Dewa Ruci,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari
http://www.gudangmateri.com/2010/05/filsafat-bima-dan-dewa-ruci.html.
50

Seperti dikutip Nasuhi, dari Aryandini Sumaryoto, dijelaskan bahwa bima

adalah tokoh yang dari zaman ke zaman dikenal (digunakan) sebagai pralambang

kesatria. Pada zaman Hindu sampai dengan zaman Majapahit awal, Bima adalah

sebagai pelindung keluarga, pelindung masyarakat, dan pahlawan perang.

Sedangkan pada pada zaman Majapahit akhir, citra tokoh Bima adalah sebagai

seorang yang mencari jati diri dan juga menjadi objek pemujaan. Kemudian pada

zaman Jawa Baru, tokoh Bima adalah sebagai pelindung keluarga, pelindung

masyarakat, pahlawan perang, bahkan sebagai tokoh penyebar agama dalam lakon

wayang di daerah pedesaan.34 Sampai hari ini masih terus demikian adanya, yaitu

sebagian besar pagelaran wayang kulit yang bersifat carangan (bukan cerita

pakem seperti Mahabarata dan Ramayana), menggunakan tokoh Bima sebagai

tokoh utama yang memungkasi segala macam bentuk kejahatan dan ketidakadilan.

Gambaran tokoh Bima dalam Serat Dewa Ruci, seperti dinyatakan Nasuhi,

bahwa tokoh Bima bukanlah hanya sekedar merupakan lambang manusia yang

diberkati Tuhan dengan bentuk fisik yang halus, tampan, kokoh, dan kuat, tetapi

dia juga merupakan tokoh dengan derajat keruhaniahan yang luhur. Ia

melambangkan hati yang berani, jujur, dan murni dengan kemauan yang keras dan

keteguhan hati yang kuat untuk mencapai segala tujuan. Nasuhi mempertegas, itu

semua berkat pencapaiannya menemukan air kehidupan (tirta pawitra).35

34
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 156.
35
Ibid, h. 159
51

E. Sinopsis Serat Dewa Ruci

Meringkas dari cerita utuhnya dari karya Pujangga Surakarta, kisah ringkas

Dewa Ruci, yaitu bercerita kisah perjalanan Bima (Arya Bima, Bima Sena,

Bratasena, Werkudara) mencari “Air Suci”.36

Menjelang Bharata-Yudha37, Prabu Dhuryudhana memanggil seluruh anggota

Kurawa (musuh Pandawa yang sebenarnya merupakan saudara sekakek) untuk

melakukan Sidang Istimewa. Dari perhitungan kertas, Kurawa lebih kuat dari

Pandawa kecuali karena satu hal saja; Pandawa memiliki Bima yang sangat sakti.

Di samping sangat perkasa, Bima juga kesatria yang jujur, lugu, dan kuat

kemauan. Ia tidak bisa dibeli. Ia berpegang teguh pada keyakinannya. Bima

berpedoman, "Sing sapa becik, dhen beciki, sapa ala dhen alani, nadhyan bahu

kanan-kering jen ala binuwang" (barang siapa yang baik, harus diperlakukan

baik, siapa yang buruk harus diperlakukan buruk, meskipun itu bahu kanan sendiri

jika berbuat buruk maka harus dibuang). Supaya Kurawa menang, sidang

memutuskan untuk mencari cara agar Bima dapat dibinasakan. Akan tetapi, yang

menjadi masalahnya, Bima terlalu kuat untuk dikalahkan.

Dibuatlah sebuah skenario. Bima harus dibuang. Caranya bagaimana? Bima

sangat hormat dan patuh kepada gurunya, Resi Durna. Maka dibuatlah tipu

muslihat, yaitu Kurawa mendesak Resi Durna untuk menjerumuskan Bima.

Dengan itu, lantas Resi Durna memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan:

Tirta Perwita, tirta prawita, atau tirto sucining ngaurip, tirta kamandalu,

36
Lihat: R. Tanojo, Serat Dewa Ruci Kidung; Miturut Babon Asli Kapujanggan Surakarta ing
Madya Awal Abad XIX M. (Surakarta, T.pn., 1962). Lihat juga naskah Serat Dewa Ruci dalam
Nasuhi, Serat Dewaruci, jika diringkas naskah tersebut bercerita tentang perjalanan Werkudara
(Bima) dalam mencari “Air Suci.”
37
Bharatayudha adalah peperangan besar antara Pandawa dengan Kurawa yang saling
merebutkan kerajaan Astina Pura. Kedua fihak saling mengklaim satu sama lain sebagai pewaris
sah kerajaan tersebut.
52

amrtanjiwangi, amrta, tirta amerta, atau air hayat. Menurut Sang Begawan, siapa

saja yang dapat memperoleh air kehidupan ini, ia akan mencapai tingkat hidup

yang sempurna. Ia akan memiliki pranawa "ilmu kebebasan jiwa." Ia akan

memahami rahasia kejadian alam semesta dengan segala isinya. Ia akan saestu

sumerep purwa-wekasaning jagad raya atau ilmu tentang sangkan paraning

dumadi. Bima tidak boleh ragu-ragu dalam mencari tirta amrta ini, karena jika

ragu-ragu tidak akan pernah mencapai pengetahuan tentang kasunyatan. Ia harus

bertekad dengan sungguh-sungguh dan rela menjalani apa saja untuk dapat

memperoleh pengetahuan yang berharga tersebut.

Tirta amrta (air hayat) ini tidak mudah diperoleh. Ia berada di Gunung

Candramuka, di Rimba Palasara hutan Tikbrasara. Tanpa ragu, Bima berangkat,

walaupun saudara-saudaranya menghalanginya. Tekadnya sudah bulat. Ia harus

berkhidmat kepada gurunya. Ia memasuki gua Gandamadana di Gunung

Candramuka itu. Setibanya di gunung Candramuka, Bima membongkar gunung

itu, akan tetapi air yang ia cari tidak ketemu. Malah di situ ia bertemu dengan dua

raksasa: Rukmuka dan Rukmakala. Melalui pertempuran yang dahsyat, Bima

berhasil mengalahkan keduanya. Ia membanting kedua raksasa tersebut ke batu

hingga hancur lebur. Tubuh kedua raksasa itu menghilang, dan ternyata kemudian

berubah menjadi Bhatara Indra dan Bhatara Bayu yang baru saja menjalani

kutukan Hyang Pramesthi sehingga berubah bentuk dan rupa menjadi raksasa.

Justru berkat Bimalah keduanya terbebas dari kutukan itu. Mereka mengucapkan

terimakasihnya. Bima mendapat kabar dari kedua dewa itu bahwa Durna

sebenarnya berdusta. Tirta kehidupan itu tidak berada di Candramuka. Ia disuruh

kembali kepada gurunya untuk meminta penjelasan yang sebenarnya.


53

Bima bergegas ke Astina38. Sesampainya di sana, ia bertemu dengan gurunya,

lantas gurunya berkata kepadanya, "O, anakku, hal ini tidak mengherankan.

Memang aku sengaja, telah kurencanakan sedari semula. Sebenarnya aku hanya

ingin mengetahui seberapa jauh kesanggupanmu. Tempat air hidup ini sebenarnya

terletak di tengah-tengah samudra”. Mendengar penjelasan gurunya, Bima

kembali berangkat mencari air hayat.

Sebelum berangkat kembali, ia sekali lagi menghadap saudara-saudaranya di

Amarta, mohon doa restunya. Saudara-saudaranya tidak memberi ijin. Mereka

meminta Bima untuk tidak berangkat. Tapi Bima tidak menghiraukannya. Ia

segera berangkat ke samudra. Saudara-saudaranya bersedih. Karena kesedihan itu,

maka prabu Kresna datang ditengah-tengah mereka untuk menghibur dan

membesarkan hati saudara pandawa sekalian dengan memberitahukan bahwa

Bima pasti kembali dengan selamat.

Sesampainya di tepi samudra, Bima melocat ke dalam lautan. Lalu ia disambut

dengan semprotan racun dari ular besar Nemburnawa. Bima dapat menghindarkan

bahaya bisa ular itu. Segera terjadilah pertempuran mati-matian di antara Bima

dan Nemburnawa. Kemenangan sudah dapat diduga berada pada Bima dengan

senjata sakti Kuku Pancanakanya.

Setelah menempuh perjalanan yang sedemikian rupa, Bima yang perkasa sudah

hampir kehabisan tenaga mencari-cari di mana sebenarnya tirta amrta/ pawitra (air

hayat). Ia diombang-ambingkan oleh gelombang samudra yang besar. Berulang

kali dibenturkan ke batu karang yang keras dan tajam. Ia merasa terpuruk dan

hampir mendekati ajalnya. Pada saat itulah ia ditemui dewa kerdil yang hanya

38
Astina Pura adalah kerajaan yang diperselisihkan antara pandawa dan kurawa.
54

sebesar jari kelingking Bima yang wujudnya persis menyerupai dirinya dan

menyatakan bahwa dia bernama Dewa Ruci. Di sinilah Bima akhirnya mendapat

wejangan-wejangan tentang berbagai pengetahuan ilmu hakikat kehidupan.


BAB IV
KONSTRUKSI SIMBOL DALAM SERAT DEWA RUCI
(HASIL ANALISIS SEMIOTIK SERAT DEWA RUCI)

A. Serat Dewa Ruci Bait Ke-2 Dandanggula I

Wrekudara duk purita mring// Werkudara ketika berguru kepada


Dhanyang Durna kinen ngupayaa// Pendeta Durna disuruh mencari
toya ingkang nucekake// air yang menyucikan
marang sariranipun// atas dirinya
Wrekudara mantuk wewarti// Werkudara pulang memberi kabar
maring negri ngamarta// ke negeri Amarta
pamit kadang sepuh// mohon diri kepada kakaknya
sira prabu Yudistira// yaitu prabu Yudistira
kang para sri sadaya nuju marengi// dan adik-adiknya semua kebetulan
aneng ngarsaning raka// sedang menghadap kakandanya.

No Penanda Sinkronik Diakronik Petanda


1. Purita Mencari ilmu Menghamba Bertekad dengan
(Berguru) melalui kepada seseorang sungguh demi
perantara untuk mendapatkan ilmu.
seseorang yang mendapatkan
disebut dengan suatu ilmu
guru. tertentu.

Werkudara demi mendapatkan ilmu yang ia kehendaki, ia berguru kepada Pendeta

Durna. Dalam bangunan oposisi biner, kegiatan berguru dibangun oleh keberadaan

orang yang berguru dan yang menggurui, yaitu adanya murid dan guru. Guru tidak

berada kecuali keberadaannya juga ditentukan oleh keberadaan murid.

Murid secara bahasa berasal dari bahasa arab, yaitu isim fa’il dari arada-yuridu-

iradatan-wa muradan-fahuwa “muridun,” yang artinya “yang menginginkan”.1

1
Atabik Ali, dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (al-‘Ashri) Arab-Indonesia
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), h. 1697.

55
56

Dalam hal ini, Werkudara telah mengambil sikap dan menentukan pilihannya untuk

menjadi seorang yang berkeinginan, artinya ia telah siap dengan segala resiko yang

melekat pada pilihannya itu. Dalam konteks tasawuf murid disebut dengan salik.

No Penanda Sinkronik Diakronik Petanda


2. Dhanyang Seorang Dhanyang dalam Seorang yang
(Guru, atau yang pengertian masyarakat berilmu serta
bisa juga mengajar- Jawa saat ini berarti terpilih.
berarti kan ilmu. penguasa alam. ghaib
penguasa suatu wilayah tertentu.
suatu wilayah Makna dahulu adalah
tertentu). seorang Guru Agung.

Guru adalah orang yang wajib dihormati oleh seorang murid. Dalam konteks

Tasawuf, guru disebut dengan mursyid, yaitu orang yang mengawal, mengarahkan,

serta mengajarkan ilmu kepada seorang salik untuk mencapai sebuah pencapaian

spiritual tertentu.

Mencermati Nasuhi, ia mengartikan kata Dhanyang dengan Pendeta. Jika

ditelusuri, pemilihan kata “Pendeta” memang merupakan kata yang paling tepat

bagi masyarakat Jawa. Kata “Pendeta” dalam pemahaman masyarakat Jawa tidak

sekedar sebagaimana pemaknaan dalam bahasa Indonesia, jika muncul kata

“Pendeta,” maka seketika berasosiasi kepada pemaknaan seorang pengkhotbah dari

agama Kristen, atau kata lain yang masih seakar dengan itu adalah “Pandhita,”

yaitu pemuka agama Budha. Pengertian masyarakat Jawa tentang “Pendeta” adalah

dari bahasa Jawa Kawi, yaitu sebutan bagi seseorang yang memiliki wawasan

spiritual tinggi serta berperangai baik. Dari pemahaman yang demikian, maka tidak

jarang para kakek menasehati cucunya dengan kalimat: Dadia satria pinandhita,
57

yang dalam bahasa Indonesia berarti: Jadilah seorang yang berperangai layaknya

pendeta.

Dengan demikian, keterangan di atas menunjukkan kepada bahwa Werkudara

telah mengambil orang yang ia yakini tepat sebagai seorang guru. Untuk mencari

guru, seseorang harus mempertimbangkan baik-baik siapa yang pantas menjadi

guru baginya. Tidak dibenarkan mencari guru denga asal-asalan, karena ia yang

akan mengajarkan dan mengarahkannya menjalani suatu tirakat untuk mendapatkan

ilmu. Jika gurunya benar, maka muridnya akan benar, dan jika gurunya salah, maka

muridnya ikut salah karena mendapatkan ilmu dari orang yang salah.

No Penanda Sinkronik Diakronik Petanda


3. Toya ingkang Air yang Air untuk Dengan air tersebut,
nucekake menyucikan penyucian maka seseorang
(Air yang jiwa dan raga seperti air dapat menyucikan
menyucikan). manusia. sungai Gangga. diri
→ Islam: a ir
wudhu

Tahapan paling pertama seseorang jika menghendaki dirinya untuk melakukan

perjalanan spiritual, maka ia harus bersesuci dahulu, yaitu menyucikan jiwa dan

raganya. Werkudara mendapat perintah dari gurunya, Pendeta Durna, untuk

mencari air yang menyucikan dirinya. Perintah ini merupakan perintah yang

mengandung arti permulaan sekaligus tujuan. Dalam ritual keagamaan, seseorang

diharuskan mendahuluinya dengan menyucikan diri dengan air atau jika tidak

dengan debu, padahal tujuan dari ritual itu sendiri adalah untuk mencapai kesucian.

Hanya bedanya, bersesuci yang mengawali ritual relatif lebih bersifat jasmani,

sedangkan tujuan kesucian yang selanjutnya lebih bersifat rohani.


58

Memang tidak bisa dijelaskan begitu saja apakah mandi, ber-wudlhu dan

tayammum itu merupakan syarat atau tujuan. Secara kasat kegiatan itu memang

seolah sekedar merupakan syarat sebelum mengerjakan shalat. Akan tetapi jika

dilihat dengan kacamata hakikat, mengapa dalam mandi jinabat harus mengguyur

seluruh tubuh dengan air suci dan mensucikan, juga dalam wudlhu harus

membasuh muka, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki, merupakan pertanyaan

yang membutuhkan perenungan. Karena guyuran dan basuhan-basuhan terhadap

raga itu sebenarnya merupakan isyarat untuk mengguyur dan membasuh jiwa.

No Penanda Petanda
4. Werkudara pulang memberi - Seorang yang beradab hendaklah
kabar// ke Negeri Amarta// mohon mohon pamit kepada keluarga
diri kepada kakaknya// yaitu sebelum mengadakan perjalanan,
prabu yudistira// dan adik-adiknya terlebih yang tidak diketahui batas
semua kebetulan// sedang waktunya.
menghadap kakandanya. - Keluarga Pandawa adalah keluarga
yang menjaga tali persaudaraan,
saling peduli, dan bersilaturahmi.

Secara umum bait ke-2 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci bisa disimpulkan

memuat pesan bahwa layak bagi seorang guru memberikan suatu tugas tertentu

bagi muridnya dengan tujuan sang murid mendapatkan pengajaran, pengalaman,

serta ilmu setelah melaksanakan tugas tersebut. Hal ini digambarkan dengan

penugasan pendeta Durna kepada Werkudara untuk mencari air yang menyucikan.

Kemudian, sebagai seorang murid yang beradab, dalam menjalankan tugas dari

seorang guru hendaklah ia mengabarkan apa yang akan ia lakukan kepada

keluarga yang mengayominya, terlebih tugas tersebut membutuhkan waktu yang

belum diketahui seberapa lama selesainya? Hal ini dilakukan untuk menjaga
59

hubungan kekerabatan dalam suatu keluarga, karena menunjukkan suatu

kepedulian antara satu dengan yang lainnya. Dengan memberi kabar kepada sanak

keluarga, setidaknya semua akan sama-sama merasa dianggap sebagai orang yang

dekat dan selalu dibutuhkan pertimbangan, saran, serta nasehat-nasehatnya.

Keharmonisan semacam ini digambarkan dengan keberadaan keluarga

Pandawa yang selalu dijadikan figur teladan bagi masyarakat Jawa. Betapa

Pandawa bersaudara yang telah dewasa dan memiliki tempat singgah masing-

masing masih tetap saling berkumpul. Hal ini ditunjukkan dengan ketika

Werkudara hendak menghadap kakandanya, Prabu Yudistira, secara kebetulan

ketiga saudaranya yang lain juga sedang menghadap kakak tertua mereka itu.

Kebetulan semacam ini kemungkinan kecil terjadi jika dalam kesehariannya

mereka tidak sering berkumpul. Dengan demikian, maka tidak heran jika

masyarakat Jawa memiliki slogan untuk keluarganya “Makan tak makan asal

kumpul,” sebagai pertanda bahwa berkumpulnya keluarga untuk saling berbagi itu

lebih penting dari pada sibuk mengurusi urusan perut yang bersifat individualistik.

Demikianlah para tokoh teladan orang jawa digambarkan.

B. Serat Dewa Ruci Bait Ke-3 Dhandanggula I

Aryasena matur ing raka ji// Arya Sena berkata kepada kakanda raja
lamun arsa kesah mamrih toya// bahwa akan pergi mencari air
dening guru pituduhe// atas petunjuk gurunya
Sri Dharmaputra ngunngun// Sri Dharmaputra heran
amiarsa aturing ari// mendengar penuturan adiknya
cinipta prapteng baya// memikirkan marabahaya
narendra mangunkung// sang raja menjadi berduka
dyan satriya Dananjaya// Raden Satria Dananjaya
matur nembah ing raka Sri narapati// berkata sambil menyembah kakanda raja
60

punika tan sakeca// bahwa itu tidak baik.

No. Penanda Petanda


1. Arya Sena berkata kepada kakanda Perjalanan mencari air suci adalah
raja// bahwa akan pergi mencari perjalanan yang sangat serius.
air// atas petunjuk gurunya// Sri Belum pernah ada cerita seseorang
Dharmaputra heran// mendengar menempuhnya, sehingga
penuturan adiknya// memikirkan marabahaya yang mengancamnya
marabahaya// sang raja menjadi tidak tergambarkan. Hal ini
berduka membuat resah Sri Dharmaputra
(nama lain Prabu Yudistira).

Bait ini menyambung bait sebelumnya, yaitu tentang perihal permohonan diri

Werkudara kepada sanak keluarga untuk mengadakan pencarian terhadap air suci.

Werkudara bermaksud menghaturkan ucap pamit kepada kakandanya, Yudistira,

dengan mengabarkan bahwa ia mendapat perintah dari Sang Guru.

Kejadian sebagaimana yang disebutkan di atas ini sebenarnya sudah menjadi

petunjuk awal bahwa perjalanan mencari air suci bukanlah perjalanan biasa.

Terlihat bagaimana seorang Werkudara yang begitu perkasa untuk sekedar

menjaga diri dari segala marabahaya yang mengancamnya, harus berpamitan,

seakan ia sendiri belum tahu apa yang akan terjadi dalam menempuh

perjalanannya itu. Dengan kata lain, kalimat pamitan Werkudara kepada sanak

keluarganya adalah kalimat pengganti dari keterangannya bahwa jangan

mencarinya atau menanyakan kabarnya selama beberapa saat yang ia sendiri

belum tahu batasnya.

Selanjutnya, hal yang mempertegas bahwa perjalanan Werkudara bukanlah

perjalanan biasa adalah sikap Yudistira yang kaget dengan niat adindanya untuk
61

mengadakan pencarian atas air suci. Rasa kaget Yudistira ini karena ia

memikirkan marabahaya yang menyertai Werkudara dalam pencariannya itu.

Tidak berhenti pada rasa kaget, pikiran Yudistira berbuah menjadi kesedihan.

Ia berduka dengan kehendak adindanya. Kejadian ini seakan menyerupai

peristiwa pamitnya seorang prajurit kepada keluarganya untuk menjalankan tugas

militer melawan serangan tentara negara lain. Tugas yang tidak diketahui secara

pasti apakah ia akan selamat dan bisa kembali kepada mereka, atau mungkin saja

dalam waktu yang tidak lama hanya pulang namanya sebagai almarhum seorang

pejuang bangsa? Kesedihan dan kegelisahan pasti menyelimuti keluarga yang

mendapat pamit dari salah satu anggotanya semisal demikian.

Dengan demikian jelaslah betapa tidak jelasnya pencarian yang hendak dijalani

Wekudara. Pribadi yang gagah berani, kuat, dan tangguh itu telah membuat

kekhawatiran yang begitu mendalam bagi kakandanya. Sudah dapat dibayangkan

betapa pencarian air suci itu tidak dapat disepelekan oleh siapa saja.

No. Penanda Petanda


2. Raden Satria Dananjaya// berkata Kesedihan Yudistira disambut
sambil menyembah kakanda raja// dengan sikap Dananjaya (nama lain
bahwa itu tidak baik. Arjuna) yang memohon-mohon agar
tidak memperkenankan Werkudara
untuk pergi.

Keberadaan Arjuna yang kebetulan juga sedang berada di Astina Pura turut

memperkuat keterangan bahwa pencarian air suci yang hendak dijalani Werkudara

itu memang sangat berbahaya. Arjuna mendengar ucap pamit Werkudara kepada

Yudistira seketika langsung menyembah kepada kakak tertuanya, Yudistira, agar


62

tidak memperkenankan kakak keduanya, Werkudara, untuk pergi. Arjuna

mengatakan bahwa itu tidak baik.

Kata tidak baik di sini merupakan terjemahan dari kata: tan sakeca. Masyarakat

Jawa sendiri sering menggunakan kata ini lebih kepada makna tidak

mengenakkan. Dengan demikian kata tidak baik (tan sakeca) yang dikatakan

Arjuna kepada Yudistira itu juga bermakna kekhawatiran yang mendalam

sebagaimana Yudistira telah mengungkapkannya dengan perasaan berduka.

C. Serat Dewa Ruci Bait Ke-4 Dhandanggula I

Inggih sampun paduka lilani// jangan paduka izinkan


rayi dalem kesahe punika// adinda raja itu pergi
boten sakeca raose// rasanya tidak baik
arya kaleh wotsantun// Si Kembar (Nakula-Sadewa) pun demikian (sambil
menyembah berkata)
inggih sampun tuwan lilani// janganlah kakanda izinkan
watak raka paduka// sifat para kakanda
Ngastina pukulun// yang ada di Astina
karya mangendra sangsara// hanya ingin menyengsarakan
Resi durna ginebul purih ngapusi// Pendeta Durna dibujuk agar menipu
sirnaning pra Pandawa// demi musnahnya para Pandawa.

No. Penanda Petanda


1. Jangan paduka izinkan// adinda Perasaan yang tidak mengenakkan.
raja itu pergi// rasanya tidak baik

Karya sastra Jawa yang disajikan dalam bentuk jarwa (puisi lama) semisal

Serat Dewa Ruci, sangatlah berbeda dengan gaya penulisan sastra geguritan (puisi

baru) dan parikan (pantun) yang berkembang saat ini. Geguritan dan parikan
63

penulisannya cenderung merapihkan bait-baitnya dengan satu rangkaian ide yang

utuh.

Mangan kupat duduhe santen// makan ketupat kuahnya santan


Menawi lepat nyuwun ngapunten// jika ada salah mohon dimaafkan

Duduh santen numplaki klasa// kuah santan menumpahi tikar


Cekap semanten atur kula// cukup sekian hatur saya.

Pemenggalan bait pada parikan di atas adalah utuh sesuai ide dan rima

sebagaimana pantun harus dituliskan. Sedangkan pada karya lama seperti pada

kidung, tembang, dan jarwa penulisannya tidak begitu rapih dalam pemenggalan

antar bait. Rumusan yang paling harus diikuti dalam penulisannya adalah karya

kidung, tembang, dan jarwa harus menyesuaikan dengan tatanan lagu (guru lagu)

sesuai tembang yang dipilih, misalnya dhandanggula, harus berjumlah sepuluh

larik dalam satu bait. Jika telah selesai sepuluh larik sedangkan ide penulisan

belum selesai, maka bisa dituliskan pada larik awal bait yang berikutnya,

meskipun sejatinya bait itu diadakan untuk ide yang sudah berbeda.

Tiga larik pertama pada bait ke-4 tembang dhandanggula I Serat Dewa Ruci

merupakan kelanjutan dari tiga larik terakhir bait sebelumnya. Yaitu, pengucapan

Arjuna kepada Yudistira atas ketidakberkenanannya pada kepergian Werkudara

untuk mencari air suci karena merasa itu tidaklah mengenakkan.

No. Penanda Petanda


2. Si Kembar (Nakula-Sadewa) pun Nakula dan Sadewa sependapat
demikian (sambil menyembah dengan Arjuna. Mereka turut
berkata)// janganlah kakanda menguatkan pendapat Arjuna.
izinkan
64

Keempat saudara Pandawa Werkudara yang kebetulan berkumpul semuanya

sependapat bahwa alangkah lebih baik jika Werkudara mengurungkan niatnya

untuk mencari air suci. Di sini tergambar jelas betapa ketiga adik Werkudara

memohon-mohon dengan sangat agar Yudistira sebagai kakak tertua tidak

memberi izin kepada Werkudara.

Kakak laki-laki tertua dalam budaya Jawa adalah sebagai tonggak pengayom

bagi adik-adiknya. Ia bertanggungjawab atas kebutuhan, keselamatan, serta masa

depan mereka. Terlebih jika Sang Ayah sudah wafat. Dalam hal warisan kakak

laki-laki tertua mendapatkan semua warisan tanah produktif yang ditinggalkan

orang tua, dengan tujuan bisa menyambung tugas orang tua untuk menjaga adik-

adiknya. Demikian halnya Yudistira sebagai kakak laki-laki tertua, ia berwenang

mengurus nasib adiknya.

Perwujudan budaya sebagaimana disebut di atas dalam Serat Dewa Ruci

digambarkan dengan ketiga adik Werkudara yang bermaksud memintanya untuk

mengurungkan niat mencari air suci, tidak secara langsung menegur Werkudara,

melainkan memohon kepada kakak tertua untuk tidak memberikan izin. Padahal,

sebagai adik, sangat mungkin jika mereka langsung saja menyampaikannya

kepada Werkudara secara terbuka.

No. Penanda Petanda


3. Sifat para kakanda// yang ada di Prasangka buruk terhadap para
Astina// hanya ingin saudara Kurawa yang
menyengsarakan dilatarbelakangi kebiasaan
sebagaimana terjadi pada waktu-
waktu sebelumnya.
65

Kata-kata “hanya ingin menyengsarakan” pada bait ke-4 dhandanggula I Serat

Dewa Ruci adalah terjemahan Indonesia dari karya mangendra sangsara, yang

dapat dimaknai dengan penjabaran: (Memang begitulah watak para Kurawa,

kerjaanya) hanya ingin (selalu berusaha) menyengsarakan (para Pandawa). Kata

“hanya” pada ungkapan ini sangat tegas menyatakan hal yang mengandung arti

kebiasaan.

Dengan demikian, maka pantaslah kecurigaan Si Kembar Nakula-Sadewa itu

sebagai bentuk kewaspadaan saja, dan bukan serta merta berarti buruk sangka

kepada pihak lain yang bernilai negatif. Karena mereka sudah mendapati

ketidakbaikan para Kurawa atas Pandawa pada kejadian-kejadian sebelumnya.

Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa Serat Dewa Ruci

disisipkan pada cerita besar Mahabarata, sehingga masyarakat Jawa dengan

mudah menerimanya sebagai kesinambungan logis sebuah cerita, termasuk

perwatakan tokoh-tokoh di dalamnya. Masyarakat Jawa telah hafal bagaimana

watak Kurawa sebelum cerita Serat Dewa Ruci sampai kepada mereka. Memang

demikianlah adanya bahwa Kurawa penuh dengan tipu muslihat, kecurangan,

serta kejahatan terhadap Pandawa. Sehingga, ungkapan “hanya ingin

menyengsarakan” pada bait ke-4 Serat Dewa Ruci di atas, tidak mungkin diartikan

selain sikap kewaspadaan yang bernilai positif.


66

No. Penanda Petanda


4. Pendeta Durna dibujuk agar - Bagi para Pandawa, sejatinya
menipu// demi musnahnya para Pendeta Durna bukanlah orang yang
Pandawa jahat. Ia hanya dibujuk oleh para
Kurawa.
- Seorang pendeta m a si h ada
kemungkinan dapat terbujuk oleh
kejahatan.

Dua baris terakhir dari bait keempat dhandanggula I Serat Dewa Ruci ini

menyampaikan kondisi pribadi Pendeta Durna yang keberadaannya sebagai tokoh

“abu-abu,” yang tidak bisa dinyatakan secara tegas posisinya, apakah berada di

pihak Pandawa atau Kurawa? Yang jelas ia merupakan guru bagi Pandawa

sekaligus Kurawa.

Masyarakat Jawa telah mengerti bahwa Pandawa dan Kurawa sebenarnya

adalah saudara sekakek. Dulunya keduanya berada dalam satu rumah bersama,

yaitu Astina Pura. Dari sinilah asal mula cerita guru bagi dua golongan murid

yang berseteru itu. Ia telah menjadi guru bagi Pandawa dan Kurawa semenjak

semuanya masih kanak-kanak, sampai akhirnya mereka bertikai setelah dewasa.

Pandawa adalah murid-murid yang menunjukkan prestasi lebih baik dibanding

para Kurawa, akan tetapi saat pertikaian dimulai, pihak Kurawalah yang

mendiami Astina Pura, dengan begitu, secara lahiriah Pendeta Durna memang

berada di tempat kediaman para Kurawa, akan tetapi tidak ada yang tahu dalam

hatinya pihak manakah yang dibela.

Para Kurawa merasa Pendeta Durna pasti berada dipihaknya dengan alasan ia

tinggal serumah dengan mereka. Sementara para Pandawa juga merasakan hal
67

yang sama, karena selama ini mereka lebih berprestasi, tentu seorang guru akan

memilih mereka, terlebih Durna adalah seorang pendeta yang selalu

mempertimbangkan baik dan buruk.

Kata “dibujuk” pada bait keempat dhandanggula I Serat Dewa Ruci

menunjukkan keyakinan Si Kembar Nakula-Sadewa bahwa Pendeta Durna

sebenarnya baik, akan tetapi ia dipaksa untuk menjerumuskan Werkudara dengan

menugaskannya mencari air suci. Hal ini dilakukan para Kurawa demi musnahnya

Pandawa, yaitu memusnahkan salah satu kekuatan terbesarnya dengan membunuh

Werkudara. Artinya, jika terjadi kejahatan dari Pendeta Durna, sejatinya itu

bukanlah kehendaknya sendiri, melainkan atas bujukan Kurawa.

Selain menunjukkan perbuatan yang dilakukan atas dasar paksaan orang lain,

kata “dibujuk” pada bait keempat dhandanggula I Serat dewa Ruci juga berarti

kemungkinan terbujuk. Dalam hal ini Pendeta Durnalah yang menjadi objek

pembahasan. Mungkinkah seorang Mahaguru dapat terbujuk oleh rayuan untuk

suatu tindak kejahatan?

Pada dasarnya manusia memiliki titik kelemahan, yaitu secara fitrah manusia

mencintai dunia yang didalamnya adalah harta, tahta, dan wanita. Memang ada

manusia yang mampu mentas dari ketiganya, biasanya mereka yang memilih jalan

spiritual sebagai jalan kebahagiaan. Akan tetapi sesuci apa pun manusia, ia

tetaplah manusia yang memiliki kadar keimanan bertambah dan berkurang, tidak

seperti malaikat yang selalu tunduk kepada kuasa Allah SWT. Atas dasar inilah,

maka seorang Mahaguru masih dimungkinkan berpotensi untuk dapat menerima

bujukan. Demikian juga halnya dengan Pendeta Durna, Si Kembar Nakula –

Sadewa melihatnya sebagai sebuah kemungkinan yang wajar.


68

D. Serat Dewa Ruci Bait Ke-5 Dhandanggula I

Wrekudara miyasa nauri// Werkudara mendengar lalu menjawab


Ingsun mesa kenaa den ampah// aku tak mungkin dapat dicegah
matia umurku dhewe// kalaupun mati, itu ajalku sendiri
wong nedya mrih pinutus// aku ingin mencari yang diperintahkan
panunggale Hyang Maha Suci// untuk bersatu dengan Yang Maha Suci
Arya Sena saksana// Arya Sena segera pergi
kalepat sumemprung// diam dan sangat sedih
Sri narendra Yudhistira// Sang Prabu Yudistira
miwah ari katiga ngunngun tan sipi// dan ketiga adiknya termangu-mangu
lir tinebak mong tuna// bagaikan kehilangan sesuatu.

No. Penanda Petanda


1. Werkudara mendengar lalu - Tekad kuat dari Werkudara ta k
menjawab// aku tak mungkin mungkin dihalang-halangi.
dapat dicegah// kalaupun - Keyakinan Werkudara terhadap takdir
mati, itu ajalku sendiri kematian yang pasti datang yang tidak
pernah kurang sebab terjadinya, serta
tidak dapat ditawar kedatangannya.

Bait ke-5 ini merupakan penjelasan sikap Werkudara atas niatnya mencari air

suci. Ia tidak akan goyah dalam niatan, tidak mungkin mundur dan mengurungkan

apa yang menjadi tujuannya. Demikianlah digambarkan tokoh idola orang Jawa

dalam cerita Serat Dewa Ruci. Jika sudah ada kemauan yang dilandasi keyakinan

untuk tujuan baik, maka jangan sekali-kali surut langkah karena godaan seberat

apa pun. Dalam pepatah Jawa dikatakan:

Yen wani aja wedi-wedi// jika berani (yakin) jangan takut-takut (ragu-ragu)
Yen wedi aja wani-wani// jika takut (ragu) jangan sok berani.
69

Werkudara telah mengambil keyakinannya yang kuat untuk tujuan baik,

sehingga apa pun yang dikatakan saudara-saudaranya tidak sedikitpun mampu

mencegah niatannya itu.

Selain menunjukkan keyakinan yang kuat, sikap Werkudara juga menunjukkan

sikap husnudzan (berbaik sangka) terhadap guru.2 Mulyono menjelaskan, bahwa

kisah Dewa Ruci merupakan penggambaran keharusan seorang murid untuk

percaya sepenuhnya kepada seorang guru walau sukar dan aneh permintaannya.

Kepercayaan ini sering digambarkan sebagai sikap mayit terhadap yang

memeliharanya.3 Inilah yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu memposisikan guru

sebagai sosok yang dihormati, tanpa prasangka-prasangka negatif yang justru

akan cenderung memunculkan sikap angkuh atas dirinya sendiri. Semisal, seorang

murid telah menyangka bahwa gurunya itu tidak banyak ilmu, maka murid itu

akan enggan menjalankan apa yang menjadi perintah gurunya, meskipun yang

diperintahkan itu merupakan kebaikan baginya.

Kemudian ucapan Werkudara “Matia umurku dhewe,” lebih mempertegas

sikap Werkudara dalam menjalani lelakunya. Ketika seluruh saudara dan

kerabatnya hendak menghalangi karena alasan kekhawatiran mereka terhadap

resiko mara bahaya yang akan menimpanya, Werkudara tetap teguh, bahkan ia

pastikan rela mati untuk mencapai tujuannya itu.

Kesungguhan Werkudara yang tergambar juga menunjukkan sikap kepasrahan

total, yaitu penghambaan diri kepada Tuhan.4 Dalam hal ini, Imam Ja’far as-

2
Purwadi, Tasawuf Jawa (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2003), h. 36.
3
Sri Mulyono, Wayang dan Karakter Manusia (Jakarta: Gunung Agung, 1979), h. 115.
4
Kata matia umurku dewe menunjukkan kepasrahan kepada Tuhan sebagai pemilik umur
manusia. Tuhanlah yang menentukan ajal manusia. Sebesar apa pun mara bahaya yang menimpa,
jika Tuhan menghendaki keselamatan bagi seseorang, maka selamatlah seseorang itu.
70

Shadiq pernah mengutarakan sebuah pernyataan, yaitu bagi mereka yang hendak

menuntut ilmu, hendaknya ia bangkitkan terlebih dahulu hakikat ubudiyah

(perasaan sebagai seorang hamba) pada dirinya.5 Sebagai seorang hamba, maka

seseorang tidak membantah apa pun yang menjadi perintah tuannya, apa pun

resikonya. Lebih-lebih jika ditelusuri lagi hakikat penciptaan manusia adalah

untuk menghambakan diri kepada Allah (liya’ budun).6

No. Penanda Petanda


2. Aku ingin mencari yang Tujuan dari pencarian air suci adalah
diperintahkan// untuk bersatu untuk dapat bersatu dengan Yang
dengan Yang Maha Suci Maha Suci.

Bagian dari bait ke-4 dhandanggula I Serat Dewa Ruci ini adalah penjelasan

kembali dari bait ke-2, yaitu perihal pencarian air suci. Telah disinggung

sebelumnya bahwa bersesuci adalah syarat sebelum menjalankan sebuah ritual

keagamaan, sedangkan tujuan rutual itu sendiri sejatinya adalah untuk mencapai

kesucian diri.

Werkudara mengatakan bahwa yang diperintahkan oleh Pendeta Durna adalah

untuk bersatu dengan Yang Maha Suci, artinya air suci yang hendak dicari

Werkudara dan perjalanannya ditakutkan oleh saudara-saudaranya itu merupakan

jalan menuju kesucian. Sedangkan Yang Maha Suci tidak mungkin menemui

sesuatu yang tidak suci. Lantas untuk mencapai kesucian pastilah akan melalui

kepahitan, godaan, dan tantangan yang tidak ringan.

5
Hasan Rahmat, “Menjadi Murid,” dalam Sukardi Ed., Kuliah-kuliah Tasawuf (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2000), h. 214.
6
Lihat Q.S. al-Dzariyat (51) ayat 56.
71

No. Penanda Petanda


3. Arya Sena segera pergi// diam dan - Werkuda teguh dengan tekadnya.
sangat sedih// Sang Prabu - Sesama saudara merasakan
Yudhistira// dan ketiga adiknya kekhawatiran atas nasib
termangu-mangu// bagaikan saudaranya satu sama lain.
kehilangan sesuatu.

Tidak ada yang dapat membendung dan mencegah sebuah keyakinan yang

kuat. Dalam kaidah ushu al-fiqh disebutkan: al-Yaqinu la yazalu bisyak

(keyakinan tak tertanggalkan oleh keragu-raguan). Dengan kesungguhan semacam

itu, Werkudara tetap menjalankan saja apa yang diyakininya, tanpa harus takud

dengan apa yang akan menimpanya.

Sebagai seorang saudara, pasti ia akan peduli terhadap segala sesuatu yang

terjadi pada saudaranya yang lain. Demikian yang terjadi pada saudara Pandawa

ketika ditinggalkan oleh Werkudara untuk mencari air suci.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian dan penjelasan pada bab-bab terdahulu, penulis secara umum

menyimpulkan:

1. Isi kandungan Serat Dewa Ruci secara umum sebagian besar merupakan

ajaran tasawuf, akan tetapi terdapat juga pesan-pesan moral, etika, dan budaya

Jawa di dalamnya.

2. Penggunaan simbol-simbol dalam Serat Dewa Ruci dimaksudkan untuk

memperhalus penyampaian pesan mistik yang terkandung di dalamnya. Pada

masa penulisannya, masyarakat Jawa memiliki kesepahaman keseragaman

(mengikuti konvensi) perlambang dalam bahasa komunikasi sebagai mana yang

digunakan dalam serat tersebut.

3. Sastra memiliki peranan besar dalam menyampaikan ide maupun gagasan-

gagasan kepada masyarakat Jawa. Secara historis, sastra mampu membentuk pola

pikir masyarakat, serta memberi pengaruh sampai pada tataran sikap (attitude)

orang Jawa. Oleh karenanya, sastra dijadikan sarana menyampaikan informasi dan

bahkan misi tertentu kepada masyarakat di Jawa.

B. Saran Penelitian

Berdasar uraian kesimpulan di atas, maka penulis mengharapkan akan ada

penelitian lebih lanjut tentang:

72
73

1. Ajaran mistik kejawen yang dikorelasikan dengan isi dari Serat Dewa

Ruci. Akan lebih bermanfaat lagi bagi umat muslim khususnya di Jawa, jika

penelitian tentang Serat Dewa Ruci digali sedalam-dalamnya tentang

keterkaitannya dengan ajaran ke-Islaman. Diungkapkan di dalamnya ayat-ayat al-

Qur’an serta hadits-hadits Nabi SAW dari satu bab ke bab berikutnya untuk

memperkukuh keyakinan masyarakat bahwa Serat Dewa Ruci bermaksud

mengarahkan pembacanya untuk lebih memaknai kehidupan beragamanya,

mengingat ajaran-ajaran berupa tuturan bijak dari leluhur lebih diikiuti oleh

sebagian besar masyarakat Jawa dibanding dalil-dalil resmi dari ajaran agama

yang bersifat normatif.

2. Peneliti mengharapkan pada penelitian yang lahir selanjutnya,

menambahkan deskripsi sedetail-detailnya tentang pencapaian spiritual tertinggi

dalam beribadah. Sehingga diharapkan hasil penelitian itu mampu memberikan

pengaruh bagi pembacanya untuk “me-rohani-kan” segala bentuk ibadahnya,

yaitu mukhlishina lahu al-din atau yang disebut juga ber-ihsan. Dengan demikian,

pembacanya nanti dalam beribadah baik ibadah mahdlah seperti shalat, puasa,

haji, maupun ghairu mahdlhah seperti berbuat baik kepada sesama, menjadi lebih

ikhlas tanpa pamrih sedikitpun, kecuali hanya mengharapkan ridlha Allah SWT.

3. Jika orang yang membaca karya ini memiliki minat dan bakat dalam

menulis karya fiksi, maka diharapkan setelah ini akan lahir darinya karya-karya

fiksi baru yang berupa novel, cerpen, drama, puisi, prosa, dan bahkan skenario

film yang memuat ajaran-ajaran tasawuf sebagaimana terkandung dalam Serat

Dewa Ruci.
74

Demikian penulisan skripsi ini, semoga memberikan manfaat bagi penulis dan

yang berkenan membaca. Puji syukur kepada Allah SWT berkat rahmat dan

taufiqnya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

Wallahu a’lam bi al-Shawab.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Atabik dan Muhdlor, A. Zuhdi. Kamus Kontemporer (al-‘Ashri) Arab-


Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.

Azra, Azumardi dan Tim. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Penerbit angkasa,


2008.

Budiman, Kris. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS, 1999.

-------------------. Ikonitas: Semiotika Sastra dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku


Baik, 2005.

-------------------. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik, 2004.

Dahri, Harapandi. Pemikiran Teologi Sufistik Syekh Abdul Qadir Jailani. Jakarta:
Wahyu Press, 2004.

Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi, 2004.

al-Fatani. Tadzkirat al-Maudlhuat. T.tp.: T.pn., t.t.

Haq, Muhammad Zaairul. Tasawuf Pandawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Masinambow, E.K.M. dan Hidayat, Rahayu S. Semiotik; Mengkaji Tanda dan


Artifak. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Mulyati, Sri. Tasawuf Nusantara; Rangkaian Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana


Predana Media Group, 2005.

Mulyono, Sri. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung, 1979.

Nasuhi, Hamid. Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I. Jakarta: UIN


Jakarta Press, 2009.

Pardi, dkk. Sastra Jawa Periode Akhir Abad XIX—Tahun 1920, ed: Muhammad
Fanani. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996.

Partanto, Pius A dan Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:


Arloka, 1994.

Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS, 2008.

Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Tardjan. Kepustakaan Djawa. Jakarta Djambatan,


1957.

Purwadi. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Shaida, 2007.

75
76

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Santosa, Puji. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa,


1993.

Sastroamidjojo, A. Seno. Tjeritera Dewa Rutci Dengan Arti Filsafatnja. Jakarta:


Kinta, 1967.

de Saussure, Ferdinand. Pengantar Linguistik Umum. terj. Rahayu S. Hidayat.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Cet. Ke-2, 1993.

al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abu Daud, vol. 4. Beirut:
Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t.

Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan
Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet ke-2, 2005.

Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; Suatu Studi


Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, 1988.

---------, dkk.. Tasawuf dan Krisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Sukardi Ed., Kuliah-kuliah Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah, 2000.

Tanojo, R. Serat Dewa Ruci Kidung; Miturut Babon Asli Kapujanggan Surakarta
ing Madya Awal Abad XIX M. Surakarta, T.pn., 1962.

Tebba, Sudirman. Sufi-sufi Jawa; Mengenalkan Wajah Islam yang Ramah.


Jakarta: Pustaka Irvan, 2007.

Werdisastro, HM. Ilyas. Keris Kalimasada dan Wali Songo. Jakarta: Timpani
Publishing, 2008.

Widada, Rh. Saussure Untuk Sastra; Sebuah Metode Kritik Sastra Stuktural.
Yogyakata: Jalasutra, 2009.

W. E., Soetomo dan Utomo, Cahyo Budi. Mengenal R. Ng. Yosodipuro.


Semarang: Kanwil Depdikbud Jateng bidang Jarahnitra, 1990.

Yayasan Sosrokartono Cabang Yogyakarta. Meninjau Pustaka Dewa Ruci Secara


Mendalam. Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono, 1971.

Zoetmulder, P.j. Kalangwan; Sastra Jawa Kuno; Selayang Pandang. Jakarta:


Djambatan, cet. Ke-2, 1985.
77

Rujukan dari Skripsi, Buku Fiksi, dan Data Dari Situs Internet

Abdul Hadi W. M. “Islam Dalam Filsafat Mistik Jawa; Analisis Dewa Ruci Serat
Cabolek,” Artikel diakses tanggal 10 Me i 2010 dari
http://www.scribd.com/doc/19387418/Index-2.

Fasha (nama yang tertera dalam web blog) “Sastra Serat Dewa Ruci,” artikel
diakses tanggal 31 Desember 2009 dari
http://fashamistik13.blogspot.com/2009_01_01_archive.html.

Harahap, Ranita Erlanti “Analisis Semiotik pada Poster HIV/AIDS di Yayasan


Pelita Ilmu.” Skripsi S I Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Hartha, Sugilanus G. “Nyastra; Merunut Kembali Arti Kata Sastra,” artikel


diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari
http://permenkaretmolor.multiply.com/journal/item/202/Makna_dalam_Sastra
.
Komandoko, Gamal. Panembahan Senopati; Geger Ramalan Sunan Giri.
Yogyakarta: DIVA Press, 2009.

Nasuhi, Hamid “Akulturasi Serat Dewa Ruci dengan Ajaran Tasawuf,” artikel
diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari http://www.majalahgontor.co.id.

Rajagopalachari, C. Mahabarata (edisi asli); Sebuah Roman Epik Pencerah Jiwa


Manusia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2008.

Supomo, S. “Fungsi Jawa Kuna Dan Relevansinya Di Sepanjang Masa,” artikel


diakses tanggal 18 Agustus 2010 dari
http://www.petra.ac.id/science/social_sciences/r_papers/konggres/sastra13.ht
m.

Wikipedia berbahasa Indonesia “Sastra Jawa,” artikel di akses tanggal 24 Juli


2010 dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa.

---------------------------------------- “Sastra Jawa Bali,” artikel diakses tanggal 24


Juli 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa-Bali.

Artikel-artikel tanpa nama penulis dan bahkan judul artikel yang jelas:

”Filsafat Bima dan Dewa Ruci,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari
http://www.gudangmateri.com/2010/05/filsafat-bima-dan-dewa-ruci.html.
78

“Serat Dewo Ruci,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari


http://kariyan.wordpress.com/serat-dewo-ruci/.

Artikel diakses tanggal 24 Juli 2010 dari


http://heritageofjava.com/portal/index.php?topic=sastra&page=2.

Wawancara Pribadi

Wawancara Pribadi dengan Ki Joko Wardono, Pengging, tanggal 3 September


2010.

Wawancara Pribadi dengan Ki Andhika, S.Sen., Boyolali, tanggal 5 September


2010.

Anda mungkin juga menyukai