Anda di halaman 1dari 5

ISSN :

Penulis : Didin Nurul Rosidin

Penerbit : CV. Elsi Pro

Tebal : 328 Halaman

MEMBELA ISLAM MATHLA’UL ANWAR


( Ditengah Arus Perubahan Agama, Sosial, Budaya dan Politik di Indonesia )

Resensi Oleh : Nurjanah

Buku “Membela Islam Mathla’ul Anwar” ini merupakan terjemahan dari disertasi yang
berjudul “From Kampong to Kota : A Study of Transformation of Mathla’ul Anwar,
1916-1998”. Sebuah karya literasi akademik seorang alumni universitas Leiden asal
karawang yaitu saudara Dr Didin Nurul Rosidin. Manuskrip ini merupakan sebuah
Karya Besar tentang sejarah perkembangan Mathlaul Anwar yang yang terlengkap pernah
ditulis sejak MA didirikan hingga sekarang. Kehadiran buku ini semakin melengkapi buku
sejarah Mathala’ul Anwar. Bahkan menurut penulis buku ini merupakan buku yang cukup bagus
dan memenuhi kriteria sebagai sebuah buku sejarah.

Sejarah adalah catatan peristiwa masa lalu yang berisi tentang sosok, tempat dan sebab akibat
sebuah peristiwa terjadi, biasanya teori ini sering disebut dengan sebab-akibat atau Aksidental.
Teori tersebut menggunakan metode dokumentasi yang kadang berubah dan tidak valid seiring
dengan perkembangan waktu. Maka, teori kedua dipakai yaitu metode Historis sistematis yaitu
mengaitkan antara peristiwa yang satu dengan peristiwa lain yang bisa dihubungkan sebab
akibatnya. Maka terjadilah intrepretasi sejarah secara simultan dan konvergen berupa adanya
hukum pengendali dan pengatur berjalannya sejarah. Dari Buku sejarah Mathla’ul Anwar ini kita
bisa menelaah tentang proses penulisannya menggunakan teori atau kaidah kaidah selayaknya
sebuah penelitian sejarah. Beberapa tahapan yang harus dilewati seperti langkah pertama
Heuristic atau proses pengumpulan bahan, Klasifikasi yaitu proses memilah dan memilih
sumber sejarah, interpretasi, dan Historiografi atau penulisan sejarah. Semua proses ini
dilakukan oleh penulis seperti yang terungkap di kata pengantar buku ini. Jadi buku sejarah yang
sedang kita baca ini merupakan karya terbaik yang ada dari sekian buku sejarah Mathl’aul Anwar
yang pernah ditulis.

Buku ini secara khusus mengupas Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Massa islam yang
besar dan paling awal muncul ke ruang publik hindia belanda yang berubah nama
menjadi Indonesia setelah proklamasi 1945. Mathla’ul Anwar didirikan oleh
sekelompok kyai kharismatik asal Menes Banten seperti KH Tubagus Moh Soleh, KH
Entol Muhamad Yasin, dan KH Mas Abdurahman, pada bulan juli 1916. Alasan utama
Penulis mengulas tentang ormas Mathla’ul Anwar dikarenakan beberapa hal, pertama
masih jarangnya literatur yang diangkat terkait Mathla’ul Anwar, karena Sebagian besar
para peneliti lebih banyak mengkaji tentang Organisasi Massa islam yang sudah terkenal
dan dominan seperti Muhammadiyah, NU dan Persis. Kedua , wacana tentang pemikiran
dan gerakan keislaman yang ada selama ini cenderung didorong dan diarahkan pada kekuatan
poros utama massa islam yaitu Muhammadiyah dan NU, atau Bahasa lain dari “Islam Kota atau
Populer” yang Sebagian besar lebih bersifat mainstream. Padahal untuk memotret islam
sesungguhnya yang konkret dan factual serta real di lapangan adalah massa islam yang mayoritas
berada di pedesaan atau kampung. Fokus Mathla’ul Anwar inilah yang Sebagian besar
jaringannya dan pengembangannya berbasis islam pedesaan cenderung terabaikan dari berbagai
diskursus dan wacana hingga penelitian tentang islam di indonesia. Sehingga mengkaji Indonesia
dan islam tidak sesederhana mengkaji dua arus utama gerakan keagamaan antara
Muhammadiyah dan NU saja, namun lebih heterogen dan komplek jika dilihat lebih dalam
tentang gerakan dan pemikiran serta transformasi social budaya bahkan politik yang dominan
dipengaruhi oleh factor keagamaan dan tokoh agama dengan basis pedesaan. Buku ini dipaparkan
oleh penulis dalam satu bab pengantar, empat bab pembahasan dan satu bab kesimpulan. Pada Bab
satu penulis menjelaskan tentang latarbelakang atau konteks Nusantara pada abad 19 dan
menjelang abad 20, dimana Mathla’ul Anwar lahir.

Pada bab satu “Pendahuluan “dipaparkan tentang transmisi pemikiran dan gerakan kesilaman
dari timur tengah dan hubungannya dengan gerakan keislaman lewat Pendidikan di Indonesia
yang mulai terorganisir. Lebih jauh Didin menjelaskan bahwa proses pembaharuan pemikiran,
persentuhan pertama antara nusantara dan kawasan Timur Tengah dilakukan oleh para
pedagang pada abad ke 13. Kedatangan mereka ke nusantara tidak hanya berdagang an sich tapi
juga membawa misi agama dan kebudayaan. Islam yang telah berkembang di nusantara
tidak serta merta menjadi lebih maju dalam berbagai bidang dengan sendirinya, baik dari sisi
pemahaman teologi maupun organisasi social kemasyarakatan. Justru modernisasi islam
datang dari orang orang yang pergi ke Mekkah baik untuk melaksanakan ibadah haji maupun
dengan tujuan belajar agama. Di Mekkah para Jemaah haji ini bertemu dengan sesama kaum
muslimin yang datang dari berbagai Negara islam, yang relative memiliki pengalaman sejarah
yang sama yaitu dijajah kolonialisme barat. Ditempat inilah mereka saling bertukar pengalaman,
dan bertukar informasi bagaimana caranya agar bisa lepas dari cengkraman penjajahan barat
dan melakukan usaha usaha purifikasi islam dan modernisasi pemikiran islam. diangkat juga
istilah “ ayam kampong masuk kota “, istilah ini sebenarnya sebuah kiasan untuk menunjukan
bahwa gerakan yang dilakukan MA sudah tidak lagi berada di level pinggiran atau kampong tapi
sudah bergerak secara massif masuk ke kota mensejajarkan diri dengan organisasi besar lainnya
sepeti Muhammadiyah dan NU.

Bab kedua “Mathla’ul Anwar : Pendirian dan Perkembangan Awal”, menjelaskan tentang masa-
masa awal MA didirikan. Termasuk didalamnya mnejlaskan tentang para pendiri dan kerja-kerja
besar mereka dalam merintis dan mengembangkan sistem Pendidikan islam model baru serta
mengorganisir massa islam lewat sistem sekolah modern dan klasikal. Lewat modernisasi kurikulum
dan pengiriman delegasi-delegasi untuk memperluas jaringan dakwah ke wilayah lain diluar Banten.
keKeterlibatan beberapa tokoh seperti K.H. Moh, Soleh, KH. Entol Yasin dan yang lainnya
merupakan sosok yang sangat yang sangat berperan dalam sejarah perkembangan awal. Pada saat
itu Banten terutama daerah Pandeglang merupakan wilayah yang sangat menderita, hal ini
disebabkan sikap warga yang menolak semua bentuk kerjasama dengan kolonial Belanda. Di
keluarkannya politik etis oleh pemerintah Kolonial salah satunya untuk memberikan pelayanan
pendidikan yang bisa diakses oleh kalangan bawah masyarakat jajahan, tapi lagi lagi mendapat
penolakan dari masyarakat karena sekolah yang dibangun dianggap membawa misi westernisasi
dan sekulerisasi yang tidak sesuai dengan nilai nilai keislaman. Maka berdirinya MA merupakan
salah satu upaya alternative yang dipilih untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Berdirinya MA bukan hanya bertujuan mencerdaskan kehidupan masyarakat tapi juga
merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap Kolonial. Karena perlawanan yang dilakukan
secara fisik sudah tidak bisa lagi dilakukan karena kondisi masyarakat yang sangat lemah dan
tidak memiliki kekuatan, maka tidak heran jika para tokoh pendiri MA banyak bergabung dengan
beberapa organisasi yang memiliki visi yang sama, seperti SDI, SI, NU bahkan PKI, yaitu sama
sama memperjuangkan nasib bangsa.

Pada bab tiga “Menuju Status Nasional”, penulis memaparkan tentang Mathla’ul Anwar di
masa awal Kemerdekaan.suatu masa yang memiliki karakter khusus dalam bidang politik,
social dan budaya serta keagamaan; serta bagaimana karakter ini berpengaruh terhadap
Mathla’ul Anwar. Umat islam pada umumnya mendukung gagasan tentang menerapkan prinsip
prinsip Islam. Namun mereka masih berselisih tentang bagimana cara prinsip prinsip ini harus
diterapkan dan memiliki peran penting didalam masyarakat yang demikian majemuk. Yang
terpenting dari periode ini adalah keputusan Mathla’ul anwar untuk tidak terlibat politik praktis,
sehingga berakibat adanya konflik dan perpecahan di tubuh Mathla’ul Anwar maupun serangan
dari luar para politikus. Akibat adanya perselisihan perselisihan internal disetiap partai politik
dan organisasi social keagamaan, termasuk yang dialami Mathla’ul Anwar, organisasi ini
mengambil langkah radikal dengan secara resmi meninggalkan seluruh hubungan politik, yang
berakibat pada tersingkirnya Mathlaul Anwar dari peran politik yang lebih besar di negeri ini
dan menimbulkan perpecahan internal dikalangan para anggotanya.

Pada perkembangan selanjutnya di bab empat “Mathla’ul Anwar sebagai kekuatan Oposisi”,
penulis memaparkan tentang peran MA dimasa kemerdekaan, sejak semula menjauh dari
politik praktis dan melakukan oposisi terhadap pemerintah, sikap ini dimulai sejak
kepemimpinan uwes abu bakar hingga sepeninggalnya. dimana ada beberapa peran politik
yang dijalani oleh para tokoh MA. Setelah Jepang kalah dari sekutu yang selama ini semakin
memberikan ruang kepada para tokoh agama, MA dihadapkan pada tantangan perpecahan
internal sebagai reaksi terhadap revolusi social yang terjadi di masyarakat Banten. Sebahagian
mempertahankan hubungannya dengan NU sebahagian yang lain mengharuskan keluar dari NU.
Dari hasil muktamar tahun 1952 akhirnya disepakati bahwa MA menjadi organisasi mandiri dan
otonom dan tidak dibawah partai apapaun. Selain perselisihan karena pandangan politik
dikalangan internal, perselisihan juga bersumber pada pembaharuan atau sekulerisasi system
sekolah islam, pembaharuan yang diusung oleh ustadz muda mendapatkan tentangan yang keras
umumnya dari guru-guru sepuh yang menolak faham pembaharuan.

Pada bagian bab lima “Mathla’ul Anwar dibawah Beringin”, penulis memaparkan betapa MA
semakin terpecah akibat konlfik internal, terutama setelah wafatnya KH Uwes Abubakar sebagai
seorang yang bersikap toleran terhadap keberagaman pemahaman dilingkungan Mathlaul
Anwar. Keterpurukan organisasi ini juga diperparah dengan intervensi yang dilakukan oleh
Orde Baru yang mengharuskan setiap organisasi kemasyarakatan mewajibkan dan berpedoman
kepada Asas Tunggal. Pemerintah terus melakukan tekanan dengan berbagai cara agar
organisasi social politik berada dalam control mereka. Apalagi MA yang sering disorot sebagai
organisasi yang banyak dihuni oleh orang orang radikal. Maka tidak heran ketika MA masuk
kedalam "kekuasaan” mereka, banyak pengurus yang bukan berasal dari kader, sengaja ditanam
agar organisasi tersebut tetap bisa dikontrol dan dikendalika. Keterpurukan MA semakin
menjadi jadi ketika Orba di bawah rezim Suharto tumbang hal ini membuat MA menajdi
limbung terutama dari segi keuangan. Karena selama ini dana yang dimiliki MA untuk
menjalankan aktifitasnya bersumber dari Orde Baru, sampai saat ini kita bisa melihat adanya
Kampus UNMA adalah bukti keterlibatan Orde Baru dalam membantu pendanaan Mathla’ul
Anwar.

Bab enam “Kesimpulan” sebagai bab terakhir ini, lebih berisi kesimpulan dari semua narasi
yang sudah dikemukakan didepan. Seperti, kehadiran Madrasah Mathal’ul Anwar, harus
dipahami lebih dari hanya sekedar sebuah lembaga pendidikan semata, tapi juga sebagai sebuah
upaya perlawanan terhadap pemerintah penjajah. Karena pada saat itu perlawanan dalam bentuk
pemberontakan bersenjata tidak mungkin bisa dilakukan akibat keterbatasan dukungan senjata
dan dana yang dimiliki masyarakat.

Di jaman era pembangunan ini, seluruh kader dan tokoh mathla’ul Anwar berupaya dan berusaha
dengan caranya masing masing agar MA bisa tetap eksis dan dakui oleh Negara. Maka tidak
heran jika langkah yang diambil masing masing individu ini kerap menimbulkan gesekan di
internal MA. Diantara para kader malah memilih partai pendukung yang berlainan, yang tentu
saja orientasi visi politiknya juga kadang bersebrangan dengan sumber nilai organisasi yaitu
Khittah MA. Meskipun demikian sepertinya aktivitas mereka dalam bernegosiasi dengan
pemerintah melalui jalur politik tidak sia sia. Sebagai imbalannya pemerintah mengeluarkan
pengakuan hukum untuk seluruh Madrasah yang berada di bawah organisasi Mathla’ul Anwar,
selain itu pemerintah juga membantu pendanaan untuk digunakan dalam rangka menjalankan
program program utama organisasi.

Melalui pengamatan yang seksama, maka menunjukan bahwa telah terjadi tranasformasi besar
dalam tubuh Mathla’ul Anwar. Perubahan-perubahan tersebut merupakan hasil dari dinamika
dan reaksi serta negosiasi terhadap keadaan-keadaan yang sedang berlangsung di Indonesia.
Upaya-upaya yang terus dilakukan dalam membangun identitas keagamaan, akhirnya
membuahkan hasil sehingga dapat eksis di level nasional.

Anda mungkin juga menyukai