Anda di halaman 1dari 39

Hubungan Soeharto dan Muhammadiyah

Suara Pembaruan, 30 Januari 2008

Oleh : Jeffrie Geovanie

Kurang lebih dua pekan sebelum Soeharto wafat, puluhan siswa Sekolah Dasar
(SD) Muhammadiyah di Surabaya mendoakan kesembuhan Soeharto yang saat
itu masih terbaring sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Anak-
anak yang masih polos itu tak peduli dengan kecaman banyak pihak terhadap
Soeharto. Bahkan pimpinan sekolah itu pun, karena khawatir ikut dikecam, tak
mengakui kalau anak didiknya berdoa khusus buat Soeharto. Cuma, diakui
bahwa doa untuk Soeharto dilakukan sebagai bentuk kilas-balik perjalanan
Soeharto.

Riwayat hidup Soeharto memang tak bisa dilepaskan dari Muhammadiyah.


Meskipun tidak memiliki nomor baku Muhammadiyah (NBM) sebagai tanda
keanggotaan secara resmi, Soeharto bisa dikatakan sebagai calon kader
Muhammadiyah karena menurut Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-43 di
Banda Aceh, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah ditetapkan sebagai
salah satu sumber calon kader, dan Soeharto, dalam sejarah hidupnya, pernah
mengenyam pendidikan SD Muhammadiyah.

Lantaran pernah dididik di sekolah Muhammadiyah dalam banyak kesempatan


Soeharto memberikan harapan dan doa untuk kebesaran Muhammadiyah. Hal
itu antara lain dinyatakan pada saat membuka Muktamar Muhammadiyah ke-41
(Desember 1985) di Surakarta. "Sebagai orang yang pernah mengecap
pendidikan Muhammadiyah, saya ikut mengharapkan agar Muhammadiyah
tumbuh makin besar, makin kuat, dan makin banyak amalnya dalam bidang-
bidang yang amat luas."

Pernyataan yang kurang lebih sama diungkapkan kembali pada saat membuka
Muktamar ke-42 (1990) di Yogyakarta, dan secara lebih tegas dinyatakan pada
saat membuka Muktamar ke- 43 (1995) di Banda Aceh. Saat itu, sang jenderal
mengatakan bahwa dirinya merupakan bibit Muhammadiyah yang ditanamkan
untuk Bangsa Indonesia.

Pernyataan Soeharto secara umum tidak hanya membanggakan warga


Muhammadiyah, tapi juga memudahkan gerak langkah organisasi yang didirikan
KH Ahmad Dahlan pada 1912 itu. Setelah Soeharto mengaku sebagai bibit yang
ditanamkan Muhammadiyah, banyak di antara tokoh birokrat yang mengaku
simpatisan atau anggota Muhammadiyah.
Padahal, sebelum itu, banyak anggota Muhammadiyah yang menjadi pegawai
negeri menyembunyikan jati dirinya. Saking bangganya terhadap Soeharto,
salah satu tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun, dalam suatu diskusi Pra
Muktamar Aceh menyatakan, "bila perlu Muhammadiyah mengusulkan Pak Harto
sebagai presiden seumur hidup...."

Kebijakan Politik
Meskipun demikian, bukan berarti Soeharto selalu berhubungan baik dengan
Muhammadiyah. Ada sejumlah kebijakan politik yang membuat pimpinan
Muhammadiyah bersitegang dengan Muhammadiyah, meskipun ketegangan itu
lebih banyak latennya ketimbang mencuat di permukaan.

Ketegangan terjadi antara lain pada awal tahun 80-an, saat Soeharto
mewajibkan seluruh kekuatan politik berasas tunggal Pancasila. Untuk
mengantisipasi ketegangan yang meluas, Pimpinan Pusat Muhammadiyah
menghadap Presiden Soeharto. Dari pertemuan itu, Menteri Dalam Negeri Amir
Machmud menjelaskan bahwa asas bagi ormas tidak harus Pancasila, karena
ormas bukan kekuatan politik. Yang harus berasaskan Pancasila adalah parpol
dan Golkar. PP Muhammadiyah sempat lega, namun kekhawatiran kembali
muncul karena pada faktanya ormas-ormas pun dipaksa untuk menerima
Pancasila sebagai asas tunggal.

Karena paksaan itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terbelah antara yang
menerima dengan yang tidak. Yang tidak menerima asas tunggal lantas
membentuk HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang masih eksis hingga
saat ini meskipun asas tunggal sudah tak lagi diwajibkan. Sedangkan Pelajar
Islam Indonesia (PII) terpaksa menjadi organisasi "bawah tanah" karena tidak
menerima asas tunggal.

Muhammadiyah sendiri baru menerima asas tunggal setelah melalui perdebatan


yang cukup dinamis dalam Muktamar ke-41 (1985) di Surakarta. KH A.R
Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, mengibaratkan asas tunggal
seperti "helm" bagi pengendara motor. Artinya, asas tunggal hanya dijadikan
pelindung dari kemungkinan kecelakaan dalam perjalanan. Kebetulan, pada saat
itu pemerintah baru saja mewajibkan pemakaian helm bagi semua pengendara
motor.

Ketegangan hubungan Soeharto-Muhammadiyah kembali terjadi pada awal


tahun 90-an, saat Amien Rais (waktu masih menjadi Wakil Ketua PP
Muhammadiyah) melontarkan gagasan perlunya suksesi kepemimpinan
nasional. Amien menginginkan gagasan ini menjadi sikap politik Muhammadiyah,
yang diputuskan dalam Tanwir (semacam Rakernas) di Surabaya 1993. Tapi,
urung karena diredam oleh tokoh-tokoh senior terutama Lukman Harun dan
Ketua PP Muhammadiyah saat itu, Prof KH Ahmad Azhar Basyir, MA. Tapi,
ketegangan belum berakhir karena meskipun tak menjadi keputusan institusional
toh secara informal Amien Rais terus menggulirkan gagasan perlunya pergantian
kepemimpinan nasional.

Puncak ketegangan terjadi saat memasuki 1997, terutama setelah Amien Rais
mengritik kebijakan Soeharto di Busang, Kalimantan Timur dan Freeport di Irian
Jaya. Ketegangan kali ini bahkan menular ke tubuh ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Se-Indonesia) lantaran pada saat itu, Amien juga termasuk pejabat teras
ICMI, yakni sebagai Ketua Dewan Pakar yang secara struktural tidak lebih
rendah dari kursi Ketua Umum yang diduduki BJ Habibie.

Berbeda dengan ICMI yang kemudian melengserkan Amien Rais dari kursi Ketua
Dewan Pakar di Muhammadiyah, kedudukan Amien semakin kokoh karena
sebagian besar elite Muhammadiyah berdiri di belakang Amien yang nota bene
Ketua PP Muhammadiyah. Dinamika hubungan Soeharto-Muhammadiyah
kembali bergeser pada awal 2008, saat mantan presiden ini dirawat di RSPP.
Amien Rais, yang masih dianggap sebagai tokoh Muhammadiyah, mengajak
rakyat Indonesia untuk memaafkan kesalahan
Soeharto.

Meskipun ajakan ini dikecam para aktivis, terutama para korban kekerasan rezim
Orde Baru, toh tidak sedikit dari tokoh utama Muhammadiyah yang mengamini
ajakan Amien, tentu tidak diumumkan secara terbuka. Bisa jadi, doa puluhan
siswa SD Muhammadiyah yang disinggung di awal tulisan ini merupakan puncak
gunung es yang menggambarkan hubungan batin antara Soeharto dan
Muhammadiyah. Wallahualam!

Penulis adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Wakil Ketua Lembaga
Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Ketika Soeharto Masuk Sekolah Muhammadiyah

 Masa masa sulit almarhum Soeharto adalah saat menyelesaikan studi. Keterbatasan biaya
dari orangtua membuatnya harus berpindah dari Yogyakarta ke Wonogiri, ikut pamannya yang
mempunyai penghidupan lebih baik.

Namun, ikut bersama dengan paman dan bibi tidak semuanya mulus. Ia harus kembali ke
orangtuanya di Kemusuk, Yogyakarta dan menyelesaikan sekolah. Masuklah Soeharto ke sekolah
Muhammadiyah yang tidak memerlukan sepatu. Hal ini terungkap dalam buku otobiografi
Soeharto, Ucapan, Pikiran dan Tindakan  Saya. Berikut nulikannya:

Satu hal lagi yang saya kenang mengenai hidup di rumah  Kiai Darjatmo ialah sewaktu saya
diizinkan membantunya dalam membuat catatan (resep) obat-obatan tradisional yang diberikan
sewaktu mengobati orang sakit.

Nama obat-obatan yang ganjil, ramuan yang aneh, tanam-tanaman yang langka dan yang banyak
terdapat di tengah kampung serta peringatan-peringatan saya tuliskan untuk orang yang sakit,
yang kadang-kadang saya kerjakan hingga larut malam. Maka saya mengenal pelbagai macam
daun-daunan, akar-akaran, pohon-pohonan, rerumputan. Memang Pak Darjatmo itu suka
memberikan petunjuk apa yang mesti dimakan atau dioleskan dan apa larangan-larangannya.

Bermacam orang datang minta tolong kepada Pak Darjatmo, dari mulai yang sakit kulit, sakit
panas sampai kepada yang mempersoalkan perkawinan dan perceraian, yang mendambakan
anak, kesulitan dalam berdagang, urusan dengan penguasa, yang merasa kemasukan setan, yang
tertimpa oleh pemerasan orang ketiga, dan macam-macam lagi. Dan saya tahu dari dekat bahwa
memang banyak diantara mereka yang meminta tolong itu, kemudian sembuh setelah mengikuti
petunjuk Pak Darjatmo.

Pada suatu waktu berakhir juga hubungan saya dengan Pak Darjatmo. Saya kembali ke kampung
asal, ke Kemusuk. Dan dari sana saya pergi setiap hari ke Yogya, naik sepeda, untuk
menyelesaikan pelajaran di sekolah Muhammadiyah. Saya terpaksa meninggalkan Wonogiri dan
langgar Kiai Darjatmo gara-gara peraturan sekolah yang mengharuskan murid pakai celana
pendek dan bersepatu, sedang orang tua saya tak mampu membelikan.

Di Yogya, walaupun di kota, saya bersekolah pakai sarung atau kain, dan tidak bersepatu. Namun,
saya tidak merasa kikuk, karena saya tidak seorang diri yang demikian. Masih ada sejumlah
murid lagi yang datang seperti saya.

Pada masa itu saya mendengar tentang protes menentang penjajahan Belanda. Saya dengar
adanya rapat-rapat umum di kota Yogya, yang digerakkan oleh tokoh-tokoh politik. Sampai di
sekolahpun para pelajar ikut-ikutan membicarakan apa-apa yang telah didengar di tempat-
tempat rapat umum itu. Tetapi semua ini belum memberi kesan yang kuat kepada saya. Saya
memusatkan pikiran pada pelajaran dan menamatkan sekolah pada tahun 1939.

Setelah menamatkan sekolah schakel Muhammadiyah sebenarnya saya masih ingin


melanjutkannya. Tetapi baik ayah maupun keluarga lainnya tidak ada yang sanggup membelanjai
saya sekolah. Keadaan ekonomi- keluarga kami rendah sekali. Saya masih ingat saja akan apa
yang dikatakan ayah saya waktu itu. "Nak," katanya,"Tak lebih dari ini yang dapat kulakukan
untuk melanjutkan sekolahmu. Dari sekarang kamu sebaiknya mencari pekerjaan saja. Dan kalau
sudah dapat, Insya Allah, kamu dapat melanjutkan pelajaranmu dengan uangmu sendiri." Sulit
mendapatkan pekerjaan tanpa bantuan orang yang berkedudukan atau yang berpengaruh, tanpa
uluran tangan orang kaya ataupun pengusaha besar waktu itu.

Saya berusaha kian kemasi mencoba mendapatkan sumber nafkah. Tetapi tidak juga berhasil. 
Akhirnya saya kembali ke Wuryantoro, tempat banyak kenalan yang saya harapkan akan bisa
membuka jalan.

Benar juga. Setelah sekian banyak jalan yang saya tempuh, akhirnya saya diterima sebagai
pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volks-bank). Walaupun saya tidak begitu senang
dengan pekerjaan ini, saya anggap lebih baik melakukannya daripada `nganggur di tengah
suasana yang muram.

Saya mengikuti klerek bank berkeliling kampung dengan sepeda, dengan mengenakan pakaian
Jawa lengkap, dengan kain blangkon dan baju beskap. Di kantor-kantor lurah kami menampung
permintaan para petani, pedagang kecil dan pemilik warung yang menginginkan pinjaman.

Sebenarnya saya sudah mengetahui cukup banyak mengenai kebutuhan orang-orang kecil itu
sewaktu saya bersama Pak Prawirowihardjo tempo hari dan sewaktu membantu Pak
Hardjowijono dan Pak Darjatmo. Tetapi saya tidak banyak bicara. Saya merasa pada tempatnya
kalau lebih banyak mendengarkan lagi.

Boleh dibilang setiap malam saya mengajak Kamin, seorang teman waktu itu, untuk belajar
pembukuan. Mantri Bank Desa itu mengakui, bahwa otak saya encer. Tidak sampai dua bulan
saya sudah menguasai seluruh pembukuan. Waktu itu saya memakai sepeda hitam. Kamin
memakai sepeda hijau. Saya selalu disuruh Kamin mendayung sepeda di muka. "Ayo Mas Harto
yang di depan, saya di belakang", kata Kamin.

Sekali waktu saya meminjam kain pada bibi karena kain saya sendiri sudah usang, tak patut lagi
dipakai mendampingi klerek Bank Desa. Pada suatu hari saya bernasib jelek. Waktu turun dari
sepeda yang sudah reot, kain yang saya pakai tersangkut pada per sadel yang menonjol keluar dan
sobek. Saya dicela oleh klerek yang saya dampingi. Padahal saya tidak bersalah, cuma jalan hidup
saya saja yang demikian. Tetapi bibi juga memarahi saya. Saya dibentaknya, dengan mengatakan,
kain itu adalah satu-satunya kain yang baik. Tak ada lagi yang lainnya yang bisa diberikan,
sekalipun mungkin saja sebenarnya ia masih mau menolong saya.

Dan kejadian ini merupakan perpisahan dengan tempat saya bekerja. Tidak begitu menyesal,
sebab memang saya tidak mendapat kesenangan bekerja di sana. Cuma waktu berjabatan tangan
dengan Kasmin, saya mesti menundukkan muka. Terharu meninggalkannya.

Saya menganggur lagi, tetapi saya tidak putus asa. Saya cari kesempatan yang lebih baik. Saya
pikir saya akan mencoba mengadu nasib di Solo. Saya benar-benar mendambakan pekerjaan. Apa
saja, asal halal.

Ada seorang teman yang menganjurkan untuk melamar ke Angkatan Laut Belanda. Tetapi
lowongan yang ada di sana ialah sebagai juru masak. Saya pikir, biarlah itu nanti saya jadikan
sebagai cadangan yang paling akhir.

Di Solo pun ternyata tidak ada pekerjaan. Maka saya kembali ke Wuryantoro. Waktu itu saya isi
dengan pekerjaan gotong-royong, membangun sebuah langgar, menggali parit, dan membereskan
lumbung. Tetapi setelah itu, hari depan saya gelap lagi.

Sumber: http://fdanila.multiply.com

Retrieved from: http://pcpmminggir.blogspot.com/2012/12/ketika-soeharto-masuk-


sekolah.html
Interlocutors of Indonesian Islam

The Jakarta Globe 


Ahmad Najib Burhani | December 08, 2012

A few months ago, the Japanese anthropologist Mitsuo Nakamura told me that studying
Nahdlatul Ulama as an organization was beyond the imagination of any American scholar from
the 1950s to the ’70s. But he is not the only academic to have noticed this. George McT. Kahin of
Cornell University stated the same thing. Even NU-expert Martin van Bruinessen was not
expecting to study NU as his primary focus when he came to Indonesia for the first time in the
1980s. 

During the early decades of Indonesian independence, NU was relatively unorganized and its
management was largely based on the authority of religious teachers ( kyai ). Of course there were
a number of scholars who studied NU-affiliated religious schools ( pesantren ) and its kyai, but
not NU as an organization. 

Even though NU was one of the winners of Indonesia’s first legislative elections, in 1955, most of
the academic work during these years focused on modernist movements, like Muhammadiyah.
But since the 1980s, there has been a dramatic shift, especially visible in American scholarship on
Indonesian Islam, toward a more NU-centric approach. 

Weber and the Protestant Ethic 

Most of the early academic work on Indonesian Islam was done by Christian missionaries and
colonial officials. Before World War II, American scholars relied heavily on Europe, particularly
the Netherlands, when they studied Indonesian Islam. But this changed after WW II when
Americans wanted to see for themselves what was going on in Indonesia, a key player in the Non-
Aligned Movement. 

The main characteristic of the early US scholarship on Indonesian Islam was the influence of Max
Weber. This can be seen clearly in the work of Clifford Geertz, Harry J. Benda, Lance Castles and
also that of Nakamura. 

Fred Inglis wrote in 2000 that Geertz, who would become highly influential, came to Indonesia in
the early 1950s with an intention to find a local variant of the Protestant ethic in Muslim societies
— inspired by Weber’s famous “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.” Other scholars
did likewise, like Robert N. Bellah in his “Tokugawa Religion.” 

A good example of the influence of Weber in Geertz’s work is the santri-priyayi-abangan


trichotomy — similar to Weber’s distinction between the urban middle class, warrior nobilities
and peasants. 

How come Weber was so influential in Indonesian studies? 

The dominance of the Weberian perspective among US scholars in general at the time was one
factor. Geertz was a student of Talcott Parsons, and Parsons was the one who introduced Weber
to American academia by translating “The Protestant Ethic” into English. 

But of course Geertz’s choice to use the Weberian perspective was not simply because of this
teacher-student relation. The most important reason was because he tried to find the relation
between religious ideas and human conduct, politics and economic development — between
religion and social change. For this analytical endeavor, Weber provided very useful tools. 

Recent studies have been trying to uncover whether there were any other motives behind the
Weberian approach in Indonesian studies — political ones perhaps. Inglish among others has
argued that US scholars visiting Indonesia at the time were greatly influenced by the idea that
capitalism was to be promoted to counter to Sukarno’s “Asian socialism.” 

As the Cold War was raging, Sukarno was among those taking the initiative to establish the NAM.
Furthermore, although Sukarno was a leader of the so-called non-bloc nations, he was also a good
friend of communist Cuba’s Fidel Castro and close to the People’s Republic of China. To challenge
Sukarno’s hegemony, the US government needed to promote and support capitalism in Indonesia.
Coincidentally, modernist Islamic movements at that time were opposing Sukarno. This is
presumably one of the reasons why American scholars focused on modernist movements and
neglected NU — a Sukarno ally in promoting his Nasakom (nationalism, religion and
communism) ideology. 

From an academic perspective, another reason for not looking closely at what was going on within
NU was that many scholars believed this organization would be left behind by modernization.
Modernism and rationality, they believed, had no place in NU. And if Indonesia were to be
become a modern country — like the United States — then it had to follow the Protestant ethic
and especially the spirit of capitalism. “New Indonesia,” using a term coined by Geertz, would
thus only appear with the help of Muhammadiyah and other modernist movements. 

New era of scholarship 

James Peacock’s work is the culmination of American scholarship on Indonesian Islam from a
Weberian vantage point and seeing Muhammadiyah as the incarnation of the Protestant ethic in
the Muslim world. But Peacock’s books were published almost at the same time as Edward Said’s
“Orientalism” (1978), which marked the beginning of a new era of scholarship on Islam all over
the world. 

New generations of American scholars of Indonesian Islam were no longer unconsciously trapped
by the Weberian perspective — look at Robert Hefner, John Bowen and Mark Woodward. 

There are four factors that have contributed to this paradigm shift. 

The first is — using Edward Tiryakian’s term — “Durkheim’s religious revival.” Among other
things, this trend was due to a new translation of Emile Durkheim’s “The Elementary Forms of
the Religious Life.” It was also stimulated by a broad swing in social science toward cultural
analysis, structuralism and post-modernism. Interestingly, Geertz was also a pioneer in this
regard. 

The second factor that contributed to the shift away from Weberian scholarship on Indonesia was
the decline of the modernist paradigm in universities, mainly thanks to critique from post-
modernist and culturalist circles. 

A third, related factor that gave rise to a new era of scholarship is the fading away of the
orientalist tradition. We can see this for instance in the references used in scholarship since the
1980s. Researchers started to quote Marshal Hodgson, Talal Asad, Charles Taylor and Michel
Foucault — instead of Christian missionaries and colonial officials. But not only did scholars start
to use other sources as part of their move away from orientalism, there was also a change in their
perception of Indonesian Islam. 

Before the ’80s, scholars almost unanimously considered Indonesian Islam as a peripheral, or
superficial form of the faith. This was a consequence of the binary perspective used by orientalists,
who approached Islam in a normative way and used the Middle East as their point of reference. 

The final factor leading to the paradigm shift were the dynamics of Indonesian Islam itself —
particularly under the influence of longtime NU-leader Abdurrahman “Gus Dur” Wahid. 

He successfully transformed NU from a traditionalist to a more progressive movement. He also


played a key role in changing the image of Indonesian Islam — from the “peripheral Islam” of the
orientalists to an “authentic Islam” no less orthodox than forms of the faith practiced in the
Middle East. NU no longer feels inferior in the face of modernism and has even been able to
become a trendsetter in the Indonesian Islamic discourse — at times even critiquing
Muhammadiyah. 

Combined, these four factors changed for good the way scholars all over the world approach
religion in the largest Muslim-majority nation-state. Yet they also remind us of the non-academic
considerations that over time have shaped the endeavors of Islam’s interlocutors.

Ahmad Najib Burhani is a researcher at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI). 

Available at: http://www.thejakartaglobe.com/opinion/interlocutors-of-indonesian-islam/


560447
Muhammadiyah Abad Kedua

Republika, Kamis, 06 Desember 2012

Oleh Azyumardi Azra

Mengikuti International Research Conference on Muhammadiyah (IRCM) di


kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pekan lalu, 29 November--
2 Desember, banyak agenda bagi Muhammadiyah dalam melangkah ke abad
kedua eksistensinya (18 November 1912--18 November 2012).

IRCM yang menghadirkan 56 penyaji makalah dari dalam dan luar negeri
memang membahas secara kritis berbagai aspek organisasi Muhammadiyah.
Agaknya inilah konferensi riset terbesar yang diabdikan untuk membahas satu
ormas semacam Muhammadiyah.

Bahwa Muhammadiyah merupakan salah dari dua organisasi terbesar negeri ini
setelah NU tidak perlu dipersoalkan lagi. Begitu juga dengan kenyataan
Muhammadiyah merupakan ormas pendidikan dan dakwah terbesar di Dunia
Muslim. Dan, tentu saja, Muhammadiyah telah memberikan banyak kontribusi
kepada negeri ini dalam peningkatan kualitas warga bangsa, bahkan jauh
sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan.

Tetapi, banyak agenda bagi Muhammadiyah dalam milenium kedua, tidak hanya
untuk bertahan dalam zaman yang terus berubah secara cepat. Tetapi, lebih-lebih
lagi untuk meningkatkan peran dan kontribusinya bagi Indonesia dan, lebih jauh
lagi, bagi masyarakat internasional.
Muhammadiyah dengan segala pencapaiannya sepanjang satu abad silam berada
dalam posisi yang tepat dan pantas untuk meningkatkan kontribusinya kepada
warga negara-bangsa Indonesia dan dunia global.

Agenda pokok ke depan bagi Muhammadiyah adalah penegasan kembali


identitas atau dalam tema besar riset konferensi adalah “(me)wacana(kan)
pencarian identitas yang terbarukan bagi Muhammadiyah untuk era pascasatu
milenium." Identitas yang menjadiraison d’etre Muhammadiyah sepanjang abad
silam tak lain adalah tajdid, pembaruan—tegasnya pemurnian—Islam dari apa
yang disebut Muhammadiyah sebagai ‘TBC’ (takhyul, bid’ah, churafat).

Tetapi juga jelas, dalam perjalanan waktu, khususnya tiga dasawarsa terakhir,
agenda-agenda tajdid Muhammadiyah kehilangan elan-nya karena perubahan
sosial, budaya, politik, dan agama yang kian cepat. Dan juga, karena
Muhammadiyah juga kian "gemuk" sehingga menjadi lamban.

Di tengah perkembangan itu, konvergensi keagamaan terus terjadi di antara


Muhammadiyah, NU, dan ormas Islam lain—sehingga hampir tidak ada lagi
keributanfuru’iyah. Tapi, kini ideologi puritanisme Muhammadiyah ditantang
paham dan praksis keagamaan ultrapuritan yang pada dasarnya bersifat
transnasional.

Tantangan kaum ultrapuritan bukan hanya menyedot kalangan warga


Muhammadiyah—walaupun masih dalam skala sangat terbatas, tetapi juga
lembaga-lembaganya sejak dari masjid, sekolah sampai universitas. Bahkan,
bukan tidak mungkin infiltrasi kelompok ultrapuritan juga sudah merambah ke
lembaga Muhammadiyah lain seperti rumah sakit, klinik, dan rumah yatim piatu.

Karena sangat urgen, bagi pimpinan dan aktivis Muhammadiyah sejak tingkat
nasional ke tingkat lokal memberikan perhatian lebih pada pemeliharaan
lembaga-lembaganya. Infiltrasi kaum ultrapuritan ke dalam Muhammadiyah
secara potensial lebih besar daripada ke dalam ormas Islam lain semacam NU.

Hal ini tidak lain adalah karena terdapat banyak afinitas ideologis antara
Muhammadiyah yang juga pernah puritan dengan kelompok-kelompok
ultrapuritan yang berkecambah khususnya sejak masa pasca-Soeharto.
Bagaimanapun, infiltrasi kelompok ultrapuritan dapat membawa potensi friksi di
antara pimpinan dan warga Muhammadiyah sendiri.

Lebih jauh lagi, gejala ini dapat menimbulkan dampak tertentu bagi
Muhammadiyah yang bersama NU dan ormas Islam lain dalam memelihara
tradisi Islam washatiyah Indonesia. Jika Islam washatiyah negeri ini mengalami
gangguan, bisa diduga juga bakal memengaruhi arsitektur politik negara-bangsa
Indonesia ke depan.

Dalam kaitan itu, pimpinan Muhammadiyah dituntut mempertimbangkan


kembali format lebih produktif dalam hubungan dengan rejim yang berkuasa.
Memang tidak ada masalah lagi dalam hal format hubungan Muhammadiyah
dengan negara; bahwa Muhammadiyah menerima dan mendukung NKRI, UUD
1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Masalahnya kemudian adalah hubungan antara pimpinan pusat Muhammadiyah


dengan rezim berkuasa tidak selalu mulus, sehingga menimbulkan dampak
tertentu pada lembaga-lembaga Muhammadiyah baik di tingkat pusat maupun
daerah.

Sebagai ormas independen, vis-a-vis kekuasaan adalah wajar belaka jika


kalangan pimpinan Muhammadiyah bersikap kritis terhadap rezim penguasa.
Sikap kritis itu juga adalah bagian dari pengejawantahan Muhammadiyah
sebagai Islamic-based Civil Society. Tetapi ke depan, pimpinan Muhammadiyah
seyogianya dapat menemukan format baru dalam relasi dengan rezim penguasa
tanpa harus kehilangan jati dirinya.

Retrieved from:
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/12/05/mekc4g-
muhammadiyah-abad-kedua
Relevansi Kesufian Buya Hamka bagi Kehidupan Keagamaan
di Indonesia
Nurcholish Madjid

Madjid, Nurcholish. 1997. "Relevansi Kesufian Buya Hamka bagi Kehidupan Keagamaan di
Indonesia." in Nurcholish Madjid. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia. Jakarta: Paramadina. pp. 123-132.

... Keunikan Buya Hamka antara lain terletak dalam kenyataan bahwa beliau adalah seorang
penganut reformasi Islam, bahkan termasuk salah seorang pelopor dan pemimpinnya yang paling
berpengaruh. Namun, berbeda dengan kebanyakan kaum reformis yang lain, beliau
menunjukkan minat intelektual yang besar sekali pada tasawuf atau sufisme. Dengan perhatian
itu Buya Hamka disebut unik, karena kebanyakan tokoh reformasi Islam menunjukkan sikap anti
tasawuf atau sufisme. Bahkan tidak jarang mereka ini langsung menyamakan cabang keilmuan
Islam tradisional ini sebagai bid'ah yang harus diberantas. Sebagai seorang reformis, Buya
Hamka juga melihat bahwa pada tasawuf itu terdapat berbagai gejala yang tidak bisa dibenarkan
oleh ajaran Islam. Tetapi, beliau masih tetap melihat adanya segi-segi yang otentik dalam
tasawuf. Dan segi-segi otentik itu beliau perlakukan begitu rupa sehingga tampak sebagai
kelanjutan wajar dari semangat ajaran Islam sendiri, khususnya tawhid. Jadi, jelas sekali bahwa
Buya Hamka adalah seorang yang menyimpan apresiasi yang tinggi pada inti ajaran kesufian...

... sebagai seorang reformis dan modernis, Buya Hamka juga melancarkan kritik-kritik yang
pedas terhadap tasawuf dan kaum sufi. Dan agar dapat melihat konsistensi pemikiran Buaya
Hamka, maka di sini perlu dijelaskan bahwa yang menjadi sasaran kecaman Buya Hamka
sebenarnya bukanlah tasawuf itu an sich, melainkan tasawuf sebagaimana diamalkan orang
banyak. Dengan kata lain, Buya Hamka sesungguhnya menggunakan kategori analitis "sufisme-
filosofis" dan "sufisme-populer". Bagi beliau, "sufisme-filosofis" dapat dibenarkan, bahkan beliau
ikut mengembangkan dan meluruskannya dengan berbagai karangan, baik dalam bentuk buku
(seperti Tasawuf Modern), maupun dalam bentuk karya-karya yang lebih pendek...
SUNDAY, DECEMBER 5, 2010

Sufi elements in Muhammadiyah? Notes from field


observation

Nakamura, Mitsuo. 1980. Sufi elements in Muhammadiyah?: notes from field observation.


Canberra? Australia: s.n.

Paper read at the Fifth Annual Conference of the Australian Association for the Study of
Religions, 11-15 May, 1980, held concurrently with the international conference on Islam: "The
Qur'an through Fourteens Centuries," 8-13 May, 1980, at the Australian National University,
Canberra, Australia.

For some tima, among Western, or perhaps I shall say more precisely, American social scientists
studying contemporary Islam in Java, it has been an convention to make categorical distinctions
between modernist and traditionalist trends, with special reference to the position of Sufism.
Presumably, rationalistic, legalistic, and scripturalistic modernist Islam has rid itself of Sufism as
an expression of irrationality, as compromises with local pre-Islamic beliefs and customs, or even
as a propensity for polytheism inherent in traditionalist Islam. Sufism has thus become a defining
feature for those social scientists who have employed a neat typology of modernism versus
traditionalism. According to Clifford Geertz, perhaps the most widely read American social
scientist who has made observations of contemporary Islam in Java, Sufism, or any form of
mysticism for that matter, is an "anathema" to modernism (1960:154).

When I started my own anthropological field work in Central Java in 1970, I had little doubt about
the validity of Geertz's observation. I was studying the local history and contemporary situation of
the Muhammadiyah movement in a small town called Kotagede, Yogyakarta, Central Java. (See
Nakamura 1976; 1977; and 1979.) Nationally, with its half-a-million members, Muhammadiyah is
regarded as the most representative modernist Muslim movement in Indonesia today. However,
through my initial two years' field experience and intermittent visits to my field site i the
subsequent period up to now, I have come to develop some reservations vis-a-vis the conventional
view described above.
On a number of occasions I have observed in the field what might be called the persistence of
Sufi-like ideas and practices among the townspeople, including Muhammadiyah members. The
history of Muhammadiyah in the town is almost as old as its history in the city of Yogyakarta
where it was born in 1912, and the townspeople's religious beliefs and practices have undergone a
great deal of transformation thanks mostly to the Muhammadiyah movement over generations.
My observations include the following: the perception of self in terms of hawa nafsu, lowly desire,
and nafsu mutmainnah, a desire for tranquility; the emphasis on akhlak, moral character,
over akal, intelect; the exhortations of voluntary prayers, salat sunna, in addition to obligatory
prayers, salat wajib; the practice of dhikir, numerous uttering of short formulae with the use of a
rosary, individually and in company; and wirid, the repeated recitation of certain verses of the
Qur'an.
THURSDAY, OCTOBER 14, 2010

The Muhammadiyah’s Acceptance of Tasawwuf and Its


Impacts upon Liberalism and Modernity in Contemporary
Indonesian Islam
Ahmad Najib Burhani

Abstract
For a number of years, Muhammadiyah has been intimately associated with “scriptural” Muslim
movement. Scripturalism is a style of religiosity based on the view that the Qur’an, the Hadith and
commentaries of the classical schools of law are the only proper bases of religious authority;
further, that adherence to that authority should constitute the hold of one’s religious practice.
What scripturalists set themselves up against most especially, according to Geertz (1968), were
“marboutism and illuminationism”, or in other words, against sufis practices aimed at direct
experience of God and against popular traditions of seeking supernatural help from renown
adepts, living and deceased. Geertz also depicted an opposition between scripturalists that
present a legalistic style of Islamic religiosity and Sufi-inspired traditions. One of the
Muhammadiyah’s jargons is its resistance to TBC (taqlid, bid’ah and churafat). It is usually judged
as compulsory to fight against tasawwuf. In this discourse, tasawwuf means a behavior that is
identical to shirk (belief in more than one God), worship to grave, klenik, horror, against syari’at,
leaving world’s enjoyment, etc.

The perception above more increased when Muhammadiyah was considered identical to
Wahabism in Arab Saudi that was strongly against tasawuf. It has been well-known that Wahabi
ever condemned graves in Mecca and Medina, including the Prophet Muhammad’s grave – an
attitude mostly similar to Taliban in Afghanistan. My hypothesis is as follows: Now, scripturalist
Islam has been popularly associated with fundamentalism and exclusivism. In other side, sufism
has historically been associated with a relatively open attitude to the culture diversity of its social
environment. This association has exposed Muhammadiyah as a “modernist” --and
“scripturalist”-- to charges of exclusivity, intolerance, and anti-liberalism. This article discusses
the relation between scripturalism and sufism based on more sensitive explorations of the
linkages between Muhammadiyah and social attitudes.
THURSDAY, JULY 1, 2010

Pak AR dan Muhammadiyah Satu Abad

Republika, 02 Juli 2010

Muhammadiyah Satu Abad

Agus Basri
Staf Ahli Wakil Ketua MPR RI

Pada sepotong pagi nan sepi, seorang peserta muktamar Muhammadiyah tampak
celingukan di dekat Tugu Malioboro, Yogyakarta. Sembari memanggul koper,
peserta yang datang dari jauh (luar Jawa) ini tak tahu ke mana dan bertanya pada
siapa. Ia kemudian dihampiri seorang sesepuh berpeci dengan tubuh agak besar dan
berkacamata, yang menanyakan hendak ke mana anak muda yang tampak bengong
ini. Seketika, pemuda lincah ini menjawab akan mengikuti muktamar
Muhammadiyah, tetapi tak tahu arahnya.

Orang tua ini segera menawarkan diri mengantarkannya ke lokasi yang dituju
sembari tangannya mengawe tukang becak. Dengan sangat sopan, tukang becak yang
tahu betul siapa orang tua ini segera mendekatkan becak dan mempersilakan-nya.
Tak ada kata tawar-menawar atau menanyakan hendak ke mana.Anehnya, orang tua
ini pula yang menjinjing dan membawakan koper si anak muda yang terbengong-
bengong itu. Sesampainya di lokasi muktamar, orang tua ini pula yang turun duluan
dengan men-jinjing(kan) koper, diikuti pemuda klimis di belakangnya.

Sesepuh itu menunjukkan tempat yang dituju. Sampai di pintu gerbang, menaruh
koper dan "mempersilakan" pemuda itu dengan ibu jarinya secara sopan.
Sekumpulan orang yang melihat adegan satu episode ini pun terbengong-bengong,
seakan sudah lupa dan tak sadar bahwa untuk ke sekian kalinyasesepuh yang amat
dihormati itu melakukan hal serupa. Anak muda itu kian bingung dan "seperti
terpelanting" manakala diberi tahu bahwa "si pembawa koper" yang
mengantarkannya-yang sudah pergi dengan becak tadi-adalah Pak AR Fachruddin,
ketua umum PP Muhammadiyah, priagung yang paling dihormati di
Muhammadiyah lantaran ilmu, amalan, kesantunan, dan satu-satunya tokoh
panutan.

Cerita yang sudah diembus angin zaman tiga dekade dan (kadang-kadang saja)
masih menjadi cerita yang melegenda ini tidak saja menjadi contoh kepemimpinan
seorang Pak AR (baca Pak A-Er), yang mencerminkan keteladanan
kepemimpinannya yang tawadhu dan rendah hati, tapi juga (menjadi) pencitraan
Muhammadiyah sebagai organisasi.Organisasi tidak (dibawa) ke mana-mana, tapi
dengan apik dapat diterima di mana-mana, di berbagai {policy) perjamuan. Sampai
kemudian, ada yang mengatakannya menjadi Muhammadiyah ada di mana-mana,
itu juga berarti berada di mana-mana. Bahkan, kemudian diartikan, ada orangnya
yang dipasang (juga memasang) ke mana.

Maka, menjadilah makna yang sesungguhnya, seperti terus bergulir seiring dengan
perjalanan waktu, dan- sungguh eloknya-mengalami "penggerusan makna".
Sehingga, menjadi pengertian yang terakhir bahwa Muhammadiyah ada di mana-
mana, bahkan pemimpinnya (bisa juga dibaca atau ditambahkan mengirim orang)
ke mana-mana.Kini, menyambut Muktamar ke-4 6 Muhammadiyah di Yogyakarta,
organisasi yang mengaku modern sudah sejak awal kelahirannya dan telah
memasuki usia 100 tahun alias seabad ini bakal menjadi gerakan pen-cerahan yang
menjangkau zaman di hadapan.

Untuk itu pula, tak mengherankan perhelatan akbar irti bakal dibuka oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono melalui teleconference dari Kota Madinah Al-
Munaunuarah. Ini menunjukkan bahwa kemo-dernan zaman tak terkendala oleh
teritori dan waktu, sekaligus cerminan sebagai organisasi yang berkemajuan, yang
menjemput zaman-sebagaimana dikehendaki pendiri dan Bapak Muhammadiyah,
KH Ahmad Dahlan.

Segudang amalan Muhammadiyah yang berjibun, dari pendidikan tingkat kanak-


kanak hingga perguruan tinggi, rumah sakit, dan perbankan sampai panti yatim
piatu-sebagai bukti pengamalan teologi Al-Maun dari Ahmad Dahlan,
mencerminkan gurita organisasi yang kian membesar. Namun, sejumlah kritik
terlontar yang mengatakan bahwa Muhammadiyah telah kehilangan kreativitas dan
makna kemo-dernan sebagaimana yang dikehendaki Kiai Dahlan.

Muhammadiyah tak mampu menerobos sekat zaman di hadapannya dan tak pula
kini menjadi unggulan sebagaimana pada masa awal kelahirannya yang amat
terkenal dengan sekolah sistem klasikal dan pelurusan arah kiblat (masjid)-sesuatu
terobosan dan "revolusi hasil pemikiran luar biasa" yang amat meng-gemparkan
umat manusia pada awal abad ke-20 (tahun 1912).

Maka, tak mengherankan jika pada Muktamar Satu Abad Muhammadiyah kali ini,
panitia bertekad mengangkat tiga isu besar keumatan, kemasyarakatan, dan
kebangsaan.Ketua Panitia Pengarah Muktamar, Haedar Nashir, misalnya,
mengingatkan terjadinya krisis sosial budaya dimasyarakat jamak. Termasuk,
memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan dan disorientasi nilai keagamaan yang
"me-luasi" segenap warga negara. Pun, memudar pula kohesi dan integrasi sosial.

Inilah yang oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, disebut


sebagai "buta aksara moral" atau "mata hati yang buta". Sesuatu yang bisa jadi tak
lepas dari lemahnya keteladanan dan ketiadaan tokoh panutan. Pun, lemahnya
terobosan kreativitas yang mengempang zaman.Untuk "menyelesaikannya", tentu
saja melalui pendidikan karakter bangsa. Dien, dalam pertemuannya dengan
pimpinan MPR RI, bahkan menyebut contoh berbagai bentuk terobosan dan
kreativitas brilian pimpinan MPR RI yang merangsek mendatangi ormas dan tokoh-
tokoh-bahkan, katanya, sekelas Abu Bakar Baasyir.

Untuk dan dalam rangka semua itu pula, kiranya Muhammadiyah perlu
meneguhkan tekad melakukan revitalisasi (pendidikan) karakter bangsa yang
menjangkau jauh ke depan, ke hadapan zaman. Sehingga, elanvital persyarikatan
(kembali) dapat lincah bergerak, melakukan terobosan, memutar roda yang
berkemajuan dengan kreasi-kreasinya yang besar, dan menghasilkan karya
besar.Menjadi organisasi yang berpenampilan elegan, terhormat, dan bermartabat-
menukik pun secara apik-serta dapat diterima di mana-mana-dalam kosakata makna
yang sesungguhnya (bukan ada di mana-mana dengan ke mana-mana).Dan, jadilah
organisasi "yang mencerahkan zaman". Rahmatan lil alamin. Billahi sabilil haq.
Fastabiqul khairat. Wallahu mustaan. rn
WEDNESDAY, APRIL 21, 2010

Tasawuf di Kalangan Muhammadiyah


Oleh: Ibnu Djarir

DI kalangan umat Islam di Indonesia masih sering timbul pertanyaan,


apakah warga Muhammadiyah mengamalkan tasawuf? Pertanyaan itu timbul
karena istilah tasawuf dalam Persyarikatan Muhammadiyah kurang
populer.

Demikian juga tariqat, Muhammadiyah secara organisatoris tidak


mempunyai afiliasi dengan tariqat mana pun.

Persyarikatan bisa juga dikatakan sebagai tariqat, dalam arti sebagai


satu organisasi yang mempunyai cara tertentu dalam memahami ajaran
Islam.

Persyarikatan sering disoroti orang luar sebagai organisasi Islam yang


"kering spiritual''. Ada anggapan dari orang luar, Muhammadiyah
sebagai ormas Islam yang berbasis masyarakat kota lebih menyukai cara-
cara beribadah yang praktis-praktis saja atau seolah-olah mencari yang
ringan-ringan saja.

Misalnya dikatakan, sehabis salat fardu tidak diikuti dengan wirid


atau zikir panjang, melainkan hanya doa pendek dengan suara lirih.
Salat tarawih mencukupkan delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir.
Tidak ada kebiasaan istighotsah dan mujahadah secara massal dan lain-
lain.

Kenyataannya tidak sebagaimana anggapan tersebut, sebab Muhammadiyah


bukan mencari yang praktis-praktis atau yang ringan-ringan saja,
melainkan semata-mata ingin melaksanakan amal ibadah yang mempunyai
landasan hukum agama yang kuat sesuai dengan tuntunan Rasul.
Misalnya mengenai wirid setelah salat fardu dan salat tarawih, ingin
meniru apa yang dulu diamalkan oleh Rasulullah. Mengenai pendalaman
amalan spiritual, juga ingin mengamalkan apa yang dulu dicontohkan
Rasulullah. Misalnya dengan mengamalkan ibadah-ibadah sunah seperti
salat tahajud, puasa sunah, salat sunah rawatib, membaca doa dan
wirid, iktikaf di masjid, tadarus Alquran, memiliki al-akhlaqul
karimah, dan lain-lain.

Istighotsah di kalangan warga Muhammadiyah dilakukan secara


individual. Jadi, pengamalan ibadah di kalangan umat Islam di
Indonesia itu lebih banyak kesamaannya. Bila terdapat perbedaan dalam
cara pelaksanaannya, itu karena perbedaan cara pemahaman dari tiap-
tiap golongan.

Spiritual Islami

Aktualisasi spiritualitas Islam ialah upaya mewujudkan kehidupan


islami, dengan menekankan pada penyempurnaan pengamalan ibadah,
kesucian rohani, dan kesalihan moral atau al-akhlaqul karimah.

Di kalangan warga Muhammadiyah terdapat orang-orang yang dalam


mengapresiasi makna ibadah dan zikir sebagai didefinisikan dalam buku
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, bukan pada ritual formal seperti
duduk di masjid sambil memutar-mutar tasbih, melainkan lebih
menekankan gerak amal saleh dalam bentuk kiprah kreatif dalam
kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.

Pemahaman seperti itu kemudian termanifestasikan dalam bentuk


kekurangakraban dengan wirid-wirid, zikir, dan tahlil secara verbal
(qauli), dan lebih mengutamakan zikir qalbi dan fi'li (operasional)
sehingga orang luar memandang mereka kering spiritual.

Karena itu, persyarikatan perlu memberikan penjelasan kepada orang


luar tentang pemahaman Muhammadiyah mengenai spiritualitas islami
untuk menghilangkan kesalahpahaman orang luar terhadap Muhammadiyah.

Di samping itu, persyarikatan perlu mengimbau semua warganya agar


meningkatkan pengamalan spiritualitas islami dalam rangka pengukuhan
akidah, penyempurnaan ibadah, dan keluhuran akhlak.

Aktualisasi spiritualitas islami itu juga berbarengan dengan kehendak


mengembangkan pemikiran tajdid (pembaharuan dan pemurnian ajaran
Islam). Hal itu dimaksudkan agar segala amalan ibadah dilakukan dengan
cara yang benar sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis, bebas dari
syirik, bid'ah, khurafat, dan takhayul.

Tasawuf Modern

Meskipun PP Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih belum pernah membahas


secara khusus tentang ajaran tasawuf, seorang tokoh yang namanya cukup
terkenal, Prof Dr Hamka, telah memperkenalkan istilah tasawuf modern
untuk memberikan nama pada ajaran tasawuf yang menurutnya sesuai
dengan paham Muhammadiyah. Dia menulis beberapa buku tentang tasawuf,
di antaranya berjudul Tasawuf Mo dern.

Para pemuka Muhammadiyah yang lain pada umumnya menekankan, semua


warga suka menjalankan ibadah-ibadah sunah, di samping ibadah wajib,
dan memiliki akhlaqul karimah. Istilah akhlaqul karimah ini mencakup
serangkaian sifat-sifat utama seperti: taqwa, zuhud, sabar, faqr,
qana'ah, tawakal, ikhlas, syukur, rida, wara', tawadhu', raja', tobat,
dan lain-lain sebagaimana dicontohkan Rasulullah.

Jadi, mereka tidak menggunakan istilah tasawuf tetapi menganjurkan


warganya memiliki sifat-sifat utama sebagaimana yang didambakan para
penganut tasawuf.

Menurut Hamka, istilah tasawuf modern adalah tasawuf murni yang


relevan untuk diterapkan pada zaman modern. Orang yang menjalankan
tasawuf murni mestilah memegang teguh akidah yang benar (tauhid yang
bersih), melaksanakan ibadah dengan tekun, menghiasi dirinya dengan
al-akhlaqul karimah, serta melakukan pergaulan dalam kehidupan sosial
sehari-hari sesuai dengan Alquran dan hadis.

Ia tidak tenggelam dalam khalwat atau menjauhi kehidupan duniawi, tapi


bergaul secara wajar dalam kehidupan sosial.

Akhlak dan Tasawuf

Ajaran Islam meliputi tiga bagian pokok, yaitu akidah (kepercayaan


atau keimanan), syariah (hukum-hukum agama, meliputi ibadah dan
muamalah), dan akhlak (moral atau budi pekerti). Atau, tiga bagian
pokok itu ialah iman, Islam, dan ikhsan.

Iman adalah sebagaimana tercermin dalam rukun iman yang keenam. Islam
adalah sebagaimana yang kita kenal dengan rukun Islam yang kelima.
Ikhsan adalah sikap batin, kita merasa selalu dalam pengawasan Allah,
sehingga kita harus berbuat sebaik-baiknya.

Istilah tasawuf belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Istilah
tersebut baru dikenal pada abad ke-2 Hijriah, dengan kemunculan
seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi yang digelari sebagai
seorang sufi.

Maka sebelum abad ke-2 H itu umat Islam belum mengenal klasifikasi
ajaran Islam, Islam yang bernama tasawuf. Mereka merasa sudah puas dan
tenang hatinya jika sudah dapat mengamalkan akidah, syariah, dan
akhlak; atau mengamalkan iman, Islam, dan ihsan. Sedangkan cita-cita
tertinggi sesuai dengan ajaran Alquran dan hadis adalah menjadi orang
yang bertakwa.

Sepeninggal Rasulullah, sahabat, dan tabiin, terdapat ulama yang


mengembangkan ikhsan lebih lanjut melalui ajaran tasawuf. Jadi, baik
tasawuf maupun al-akhlaqul karimah berinduk pada ihsan.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pada masa hayatnya sangat


menganjurkan segenap warga untuk mengamalkan al-akhlaqul karimah. Di
antara sifat-sifatnya yang menonjol ialah zuhud, yakni tidak tergila-
gila atau serakah untuk mengejar harta, bahkan harta beliau banyak
dikorbankan untuk membaiayai kegiatan amal usaha Persyarikatan,
seperti lembaga pendidikan, kesehatan, penyantunan fakir miskin,
dakwah, dan lain-lain.

Dengan demikian KH Ahmad Dahlan telah berhasil menjelmakan spirit


(roh) dan nilai-nilai substansial tasawuf menjadi etos kerja warga
Muhammadiyah dalam melaksanakan kegiatan sosial keagamaan. (18c)

-Drs H Ibnu Djarir, Wakil Ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa


Tengah

Retrieved from:
Bersumber dari : http://www.suaramerdeka.com/harian/0110/06/kha2.htm
THURSDAY, APRIL 22, 2010

Muhammadiyah dan Sufisme


Retrieved from: http://www.ahmadmuttaqin.com/2009/08/06/muhammadiyah-dan-sufisme/

Di beberapa kesempatan, professor saya selalu bilang Sufisme tidak bakal mati. Meski
puritanisme yang berkongsi dengan modernisme selalu berusaha memarginalkannya, ia selalu
bisa hadir menerobos celah-celah kepenatan duniawi maupun ritual keagamaan yang terlalu
formal dan “kering”. Kelenturannya beradaptasi dengan berbagai kondisi dan daya tahannya
melintasi sekat-sekat aliran, kelompok, kelas sosial bahkan juga zaman merupakan nilai
lebih mystical experience dalam Islam itu.

Muhammadiyah yang selama ini identik dengan organisasi Muslim kaum modernis berulang kali
dinilai sebagai salah satu yang anti, atau setidaknya kurang ramah dan tidak apresiatif terhadap
Sufisme (Howell 2001, 2004, 2007, 2008). Tampaknya, penilain ini berdasar pada: (1) Citra
Modern Muhammadiyah, sementara kaum modern itu sendiri selalu melihatmystical
experience bagian dari barrier yang menghambat kemajuan. Lebih kejam lagi, modernisme
melekatkan mistisisme dengan keterbelakangan [backwards]. Penilaian Muhammadiyah sebagai
gerakan yang mempelopori rasionalisasi pragmatik dalam Islam serta mengedepankan akal dan
intelek sebagaimana diungkap Geerzt (1960) dan Peacok (1978) telah menempatkan
Muhammadiyah itu by definition anti tasawuf yang dianggap expresi tradisionalisme; (2)
karakter puritan Muhammadiyah yang anti TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) serta pendapat
sebagian ulama yang memandang tasawuf adalah expresi keberagaam yang kurang autentik
dalam Islam sebab rujukannya sulit ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung;
dan (3) tidak satupun “organisasi” kaum Sufi atau Tarikat yang bernaung di bawah
Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Nahdhatul Ulama yang secara organisatoris
“memayungi” kelompok-kelompok tarikat yang dinilai muktabar (diakui keabsahannya).

Selain tiga alasan tersebut, para peneliti gerakan modern dalam Islam juga mengalami kesulitan
menemukan istilah tasawuf maupun tarikat dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah.
Pertanyaannya kemudian, mengapa Muhammadiyah menghindari kata-kata tasawuf atau
tarikat? Dugaan saya, karena Muhammadiyah itu terlanjur mendapat cap modernis, pembaharu,
juga pemurni, maka ia atau para pimpinanannya merasa canggung untuk mengakomodasi
tasawuf, bahkan sebagai istilah sekalipun, yang autentitas-nya masih dipertanyakan. Tengok
misalnya tokoh kharismatik Muhammadiyah, Buya Hamka, yang menulis buku Tasawuf
Modern. Kata “modern” perlu ditambahkan di belakang tasawuf agar nilai-nilai bathini dan
‘irfani penyeimbang logika itu bisa diterima oleh masyarakat yang “modern”. Selain itu,
sebagaimana ditegaskan dalam pengantar buku tersebut, Hamka berusaha mengembalikan
tasawuf pada makna-nya yang asli: “membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat
budi; menekankan [menyingkirkan] segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang
berlibih dari keperluan untuk kesentosaan diri” (1988: 5).

Bila tasawuf itu dimaknai dimensi batin expresi keberagaaman seorang Muslim, maka kata atau
ungkapan yang equivalen dengan tasawuf yang sering muncul dalam dokumenn dan forum-
forum Muhammadiyah adalah “ihsan” (dalam Kepribadian Muhammadiyah), “spiritual” (dalam
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah butir 2), serta “spiritualitas” (dalam
Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam).

Muhammadiyah lebih memilih kata ihsan, sebab kata itulah yang secara explisit bisa dijumpai di
salah satu hadits Nabi SAW yang mengupas Iman, Islam, dan Ihsan. Ihsan dalam hadist tersebut
berarti An-ta’budullaaha kaannaka taraahu, fain-lam taraahu fa-innahu Yaraaka [engkau
menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jikapun engkau tidak melihatnya maka
sesungguhnya Dia melihatmu]. Konsep ihsan inilah yang lebih banyak dielaborasi oleh tokoh-
tokoh Muhammadiyah. Ungkapan Ihsan kepada kemanusian dalam Kepribadian
Muhammadiyah yang dipararelkan dengan ibdah kepada Allah menunjukkan pentingnya
menjaga keseimbangan hablu minallah dengan hablu minannaas. Dalam konteks “bertasawuf”
ajaran zuhud, qonaah, sabar, tawakal dalam Muhammadiyah tidak bersifat pasif
dan asketis yang hanya memuaskan dahaga spiritual individual namun harus juga berdimensi
sosial. Sedangkan istilah spiritual digunakan dalam MKCH menegaskan bahwa Islam itu
“menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi”.

Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun 1995, Muhammadiyah mulai


mengintrodusir program “spiritualisasi syariah” (Mulkhan 2003). Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam juga mengenalkan pendekatan ‘irfani sebagai salah satu
metodologi pengembangan pemikiran, melengkapi 2 pendekatan yang sudah
lazim: Bayani(deductive, berdasar explanasi text wahyu) dan Burhani (induktif, berdasar bukti-
bukti empiris dan rasio). Pendekatan ‘irfani adalah “pemahaman yang bertumpu pada instrumen
pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdan, bashrah dan intuisi”. Dalam tradisi Syiah, ‘rfani itu
‘jalan’ Sufi.

Jauh sebelum rumusan-rumusan organisasi di atas disusun, Kyai Dahlan telah menggunakan
istilah-istilah berkonotasi sufistik seperti “hati suci”, “Islam Sejati”, “akal suci” dan “Qur’an Suci”
dalam pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di Cirebon dan Konggres Muhammadiyah
bulan Februari 1922. Ungkapan-ungkapan yang “bernuansa bathinaih” di atas dalam penilain
Munir Mulkhan (2003) merupakan “gagasan sufistik” pendiri Muhammadiyah itu.

Dalam keseharian, warga Muhammadiyah ternyata tidak alergi terhadap dimensi experiental
dalam Islam ini. Riset lapangan Nakamura di Kota Gede awal tahun 1970an menemukan unsur-
unsur Sufi di kalangan aktivis dan pimpinan Muhammadiyah setempat seperti
praktik dzikir dan wirid, tuntunan pentingnya mengendalikan hawa nafsu dan
mengedepankan nafsu muthmainah, serta usaha membentuk pribadi yang ikhlash danber-
akhlak terpuji (Nakamura, 1980). Saat ini pun banyak warga Muhammadiyah yang merindukan
hal-hal yang bernuansa inner experience. Hal ini bisa dibaca dari tingginya permintaan baik
secara personal maupun atas nama Amal Usaha Muhammadiyah terhadap training-training yang
mengesplorasi pengalaman spiritual (ESQ, HI, Pelatihan Sholat Khusuk, dll).

Ketika pasar spiritualitas Indonesia baru naik daun dan muncul dalam berbagai penerbitan,
musik, forum-forum neo-Sufisme dan majelis-majleis zikir, Muhammadiyah juga tidak
sepenuhnya absent. Salah satu tokoh zikir akbar yang sering tampil di TV bahkan secara
‘geneologis’ berasal dari keluarga dan pernah sekolah di sekolah Muhammadiyah. Ketua umum
PP Muhammadiyah sempat beberapa kali mengikuti zikir akbar, meski belakangan muncul
‘protes’ dari pihak-pihak yang sangat puritan. Namun perlu dicatat, generasi-generasi post-
puritan yang tidak kaku dan akrab dengan wacana-wacana post modernisme dan post-
tradisionalisme mulai bemunculan dalam Muhammadiyah. Generasi post-puritanisme ini
cenderung tidak canggung bergumul dengan dimensi esoteris dalam Islam.

Lantas, benarkah Muhammadiyah anti Sufisme? Bisa ya bisa tidak. Saya cenderung mengatakan
Muhammadiyan tidak anti Tasawuf/Sufisme tapi menolak tarikat. Tasawuf tidak sama dengan
tarikat. Tasawuf adalah “isi-nya” sedangkan tarikat itu “wadahnya”; tasawuf itu kualitas yang
ingin dicapai sementara tarikat (thariqah) itu jalan untuk mencapai-nya. Lalu, apa hubungannya
antara wadah dengan isi, atau kualitas dengan jalan? Sebagian kalangan berpendapat keduanya
menyatu dan tidak bisa dipisahkan, karena itu untuk menjadi sufi harus melalui tarekat. Yang
lain berargumen tarikat bukan satu-satunya jalan meraih kualitas sufistik. Lagi pula organisasi
tarikat itu sendiri muncul jauh setelah Rasulullah wafat.

Sampai sini, klaim yang menyebut Muhammadiyah itu “kering” dan anti atau bahkan memusuhi
Sufisme perlu ditinjau ulang. Hanya karena tidak aktif mempopulerkan istilah tasawuf dan tidak
memberi ruang tarikat bukan berarti organisasi yang hampir satu abad usianya itu menolak
dimensi esoteris dalam Islam itu. Muhammadiyah, saya kira, hanya ingin ke-ber-Islaman
warganya berlangsung secara imbang.
TUESDAY, APRIL 20, 2010

Tasawuf di Kalangan Intelektual Muhammadiyah Kota


Semarang
Tisnowijaya, A. Aya'roni. 2008. "Tasawuf di Kalangan Intelektual Muhammadiyah Kota
Semarang." MA Thesis. IAIN Walisongo Semarang.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi dan


implementasi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf.
Tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan
mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf,
serta mengungkapkan implementasi dari persepsi tersebut. Jenis penelitian ini adalah
kualitatif dengan menggunakan pendekatan naturalistik.

Muhammadiyah secara formal memang menolak tasawuf, karena tasawuf, menurut


Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang
sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban
seperti yang dipunyai NU, tetapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tasawuf dan dzikir tidak
dilakukan warga Muhammadiyah. Amalan-amalan tasawuf dapat diterima oleh mereka
sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji.
Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat
sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai saat ini
sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.

Hasil penelusuran terhadap landasan dasar Muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep
tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah
tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar Al-Qur’an
dan Sunnah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga sikap di kalangan intelektual
Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap
keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akomodatif. Pertama, kelompok yang menolak
secara total. Kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten
dan tidak boleh direkayasa dan mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka
beribadah akan menjadi kacau. Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang
mendasari setiap ibadah manusia adalah Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Al-
Qur’an dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara
otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.

Kedua, bersikap terbuka terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan bahwa di Muhammadiyah,
konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam
Muhammadiyah bukan dipahami sebagai salah satu elemen dari tasawuf melainkan memang
dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan
oleh Rosulullah. Ketiga, akomodatif terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak
sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk
terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci” sebagaimana
yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam
Muhamadiyah menurut kelompok ketiga ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik”.
MONDAY, APRIL 19, 2010

Menanti Tajdid Spiritual


Retrieved from: http://www.ahmadmuttaqin.com/2010/04/10/tajdid-spiritua/#more-563

Di beberapa kegiatan resmi organisasi dan forum-forum pengajian sering muncul pertanyaan
peserta tentang sikap Muhammadiyah terhadap Tasawuf. Dalam sebuah pelatihan kader se-
Sumatera beberapa waktu yang lalu, pertanyaan ini menyeruak ketika narasumber
menyampaikan materi Paham Agama dalam Muhammadiyah, Dinamika Gerakan Pembaharuan
dan Pemikiran dalam Islam, serta Perbedaan Identitas Muhammadiyah dengan Gerakan-
Gerakan Islam lainnya. Beberapa penanya tidak sekedar mencari pejelasan sikap resmi organisasi
terhadap Sufism beserta segala apseknya namun juga menekankan bahwa dimensi esoteris itu
diperlukan dalam beragama agar tidak terjebak pada formalisasi ritual. Dalam bahasa studi
agama, having religion saja tidak cukup, perlu ditingkatkan menjadi being religious agar tidak
terjebak pada dataran simbolik.

Tasawuf, Akhlaq & Ihsan

Terhadap pertanyaan warga Muhammadiyah tentang Tasawwuf, jawaban narasumber ternyata


tidak tegas mengatakan bahwa Muhammadiyah itu anti tasawuf atau menyebut Sufisme itu
haram. Narasuber Paham Agama dalam Muhammadiyah bahkan mengatakan bahwa
Muhammadiyah tidak bisa menyalahkan tasawuf begitu saja. Menurutnya, Muhammadiyah juga
mengambil tasawuf dalam bentuknya yang lain. Mengingat inti dan tujuan tasawuf adalah akhlaq
al-karimah, maka muhammadiyah lebih mengelaborasinya ke akhlaq karimah tersebut, bukan
pada thariqah (tarikat) yang existensinya sendiri sangat variatif. Bukankah sebagian tarikat
dinilai muktabarah (valid, authentic, diterima eksistensinya sebab tidak bertentangan dengan
syariah) dan sebagian yang lain dikategorikan ghairu muktabar (dinilai menyimbang dan tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah)?

Terhadap pertanyaan peserta bahwa Muhammadiyah cenderung anti tasawuf, nara sumber
Dinamika Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran dalam Islam mengaku bahwa ia bisa memahami
bila selama ini Muhammadiyah itu terkesan alergi terhadap tasawuf, sebab ormas yang berdiri
sejak 1912 itu selama ini lebih menekankan aspek ritual-ibadah. ”Namun demikian”, lanjut
narasumber tersebut, ”kita tidak bisa begitu saja menyalahkan orang yang mengamalkan tasawuf.
Bila sebagian besar orang Muhammadiyah merasa cukup dan ’puas’ mendekatkan diri kepada
Allah melalui pintu ibadah, para pelaku tasawuf mengangap masih kurang. Karena itu mereka
mengelaborasi ’jalan lain’ yang lebih mengolah aspek rasa melalui tasawuf.” Olah rasa dalam
beribadah semacam ini pada dasarnya sejalan dengan konsepihsan.

Penyebutan tasawuf itu equivalen dengan ihsan juga pernah diungkap oleh Allahu yarham K.H.
Ahmad Azhar basyir, M.A (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah). Ketika pak Haedar masih
di Badan Pendidikan Kader (kini Dr. H. Haedar Nashir, M.Si, salah satu Ketua PP
Muhammadiyah) pernah menanyakan pada pak Azhar, ”bila Muhammadiyah itu menolak
tasawuf, lalu alternatifnya apa?” Pak Azhar menjawab, bila merujuk pada hadits shahih
tentang ma huwa al-Islam, maa- huwa al-Iman, wa maa huwa al-Ihsan, maka tasawuf itu
adalah ihsan. Dalam hadits terebut disebutkan ihsan adalah ”ka-annaka taraahu fainlam
taraahu fainnahu yaraaka” (engkau merasa melihat Tuhan, bila pun tidak melihat-Nya, yakinlah
bahwa Allah melihat engkau).

Tajdid yang Terabaikan

Muhammadiyah selama ini telah berhasil melembagakan Islam dalam kontek ibadah mahdhah


melalui tuntutan ibadah sesuai Rasulullah dalam Himpunan Putusa Tarjih (HPT) dan tuntunan
bermuamalah sesuai dengan Qur’an dan Sunnah dalam Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah (PHIWM) lalu diimplementasikan dalam Amal Usaha bidang pendidikan,
kesehatan, sosial dan ekonomi. Muhammadiyah juga berhasil mengelaborasi prinsip-
prinsip Iman dalam produk Paham Agama dalam Muhammadiyah, Khittah Perjuangan,
Muqaddimah Anggaran Dasar, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup, Kepribadian
Muhammadiyah, dll. Pertanyaannya kemudian, mengapa aspek Ihsancenderung terabaikan
proses pelembagaan dan implementasinya? Mana tafsir gerakan Muhammadiyah terhadap
prinsip Ihsan ini? Ketimpangan inikah yang menyebabkan Muhammadiyah selalu dinilai ”kering”
dan miskin spiritualitas? Inikah yang mendorong warga Muhammadiyah di berbagai lapisan
selalu menanyakan pada pimpinan di atasnya tentang tasawuf dalam Muhammadiyah?

Memang secara personal sejumlah tokoh dan anak muda Muhammadiyah telah aktif mengkaji
Sufisme dan spiritualitas, seperti HAMKA, Simuh, Abdul Munir Mulkhan, M. Damami, dan Najib
Burhani; namun Muhammadiyah secara organisasatoris relatif diam. Diamnya organisasi
pembaharu ini dalam mengelaborasi tasawuf bertolak belakang dengan predikat gerakan tajdid
yang selama ini disandang. Dalam bidang Muamalah Muhammadiyah telah tampil sebagai
teladan gerakan. Kritik pada dikhotomi pendidikan diikuti dengan pendirian sekolah-sekolah
yang memberikan pelajaran agama dan pengetahuan umum sekaligus, kritik pada
ketidakberdayaan umat dalam bidang kesehetan dan kesejahteraan diikuti dengan pendirian PKO
dan panti-panti asuhan. Lalu mengapa kritik terhadap praktik spiritualitas yang berbau TBC
(Tachayul-Bid’ah-Churafat) tidak diikuti dengan penyediaan saluran alternatif yang bernuansa
olah spiritual namun secara syariah diterima?

Menurut hemat saya, keengganan Muhammadiyah menyediakan guidance dan saluran tasawuf


bagi warganya di tengah pasar spiritualitas modern yang terus menguat akhir-akhir ini sama
dengan membiarkan warganya untuk ”memulung” praktik olah batin dan rasa dari pasar global
spiritualitas yang keontetikannya masih samar-samar. Coba tanya di sekitar anda, berapa banyak
warga Muhammadiyah yang gandrung dengan lagu-lagu religius karya Hadad Alwi dan Opick,
aktif mengikuti zikir masal, zikir penyembuhan, wisata religius, Yoga, Reiki, ESQ training,
Pelatihan Sholat Khusuk, dan kegiatan olah spiritual sejenis baik dengan alasan mencari
ketenangan, rezeki lancar, maupun kesehatan?

Ketidakpedualian Muhammadiyah pada isu-isu spiritualitas secara serius ini juga mengokohkan
watak puritanismenya. Padahal, sebagaimana sejarah yang tejadi di berbagai gerakan keagamaan,
kelompok puritan cenderung gagal menjadi mainstream. Akankah Muhammadiyah terus
mengabaikan hasrat warganya terhadap dimensi spiritual ini?Wallahu a’lam.
MONDAY, NOVEMBER 23, 2009

Muhammadiyah sebagai Representasi “Islam-Jawa”


Jurnal Ma'arif, 2007
Oleh Ahmad Najib Burhani*

“You cannot be a Brahmin in the English countryside”


--Julian Pitt-Rivers (1963)--

Saya mengambil nukilan kata-kata Pitt-Rivers di atas untuk menunjukkan betapa mustahilnya
Muhammadiyah melepaskan diri dari kebudayaan Jawa. Meski sering disebut sebagai gerakan
puritanisme Islam di Indonesia, Muhammadiyah tak akan bisa melepaskan fakta bahwa ia lahir
di Kauman, satu tempat dalam lingkungan tembok Kesultanan Yogyakarta, oleh sejumlah abdi
dalem Kraton tersebut. Ia dibangun dengan inspirasi dan kesadaran seorang Islam-Jawa tulen,
Raden Ngabehi Muhamad Darwisy (KH Ahmad Dahlan), setelah banyak berdialog dengan rekan-
rekannya di Boedi Oetomo, guna memodernisasi cara pikir, sistem sosial dan peradaban
masyarakat.

Sampai sekarang pun, ketika organisasi ini mendekati umur 100 tahun, beberapa pimpinannya
tetaplah para priyayi dari kerajaan Jawa kuno itu, lengkap dengan karakteristik kejawaannya.
Karenanya, seperti dikutip Herman L. Beck (1995), tidak heran jika Muhammad Hatta, salah satu
proklamator Republik Indonesia dan juga anggota Muhammadiyah mengatakan,
“Muhammadiyah tak akan pernah bisa berhasil melaksanakan program purifikasinya selama ia
tak bisa membebaskan diri dari akar-akarnya di Kauman Yogyakarta.” Dakwah kultural yang
pernah diusung oleh Muhammadiyah pada Muktamar ke-44 di Jakarta tahun 2000 yang lalu,
dan terus dilaksanakan hingga sekarang, pada hakikatnya hanyalah meneguhkan identitas yang
sudah lama melekat pada diri organisasi ini, yaitu sebagai model Islam varian Jawa.

Beberapa Catatan Sejarah


Mungkin belakangan ini terjadi satu pergeseran pandangan di masyarakat. Seolah-olah NU
(Nahdlatul Ulama) lebih pas dipandang sebagai representasi Islam-Jawa daripada
Muhammadiyah. Anak-anak muda NU pun juga terkesan lebih aktif bergelut dengan tradisi Jawa
daripada anak-anak muda Muhammadiyah. Kondisi kasar ini tentu sangat berbeda dengan
catatan-catatan sejarah pada dua organisasi terbesar di Indonesia itu. Setidaknya ada beberapa
bukti yang memperkuat asumsi ini.

Pertama, jika klasifikasi masyarakat Jawa ala Clifford Geertz (1960) dipakai untuk membaca
penduduk Jawa di awal abad ke-20, maka NU yang didirikan pada 1926 adalah organisasi para
santri dan Muhammadiyah adalah gerakan para priyayi Muslim. Sebagai perbandingan, para
pendiri NU adalah para kyai dari berbagai pesantren di Jawa (seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH
Wahab Hasbullah). Para pengurus NU awal uga dipenuhi oleh orang-orang dengan nama Arab.
Sementara pendiri dan pengurus Muhammadiyah adalah para priyayi Kraton Yogyakarta (seperti
Raden Ketib Tjandana Haji Ahmat dan Raden Sosrosugondo).

Kedua, jika kita buka kembali foto-foto dan gambar-gambar kedua organisasi tersebut di awal-
awal pendiriannya, maka akan terlihat bahwa para pimpinan NU memakai pakaian yang lebih
dekat pada tradisi Arab, sementara cara berpakaian pemimpin Muhammadiyah mendekati
budaya Jawa. Pada Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1929, misalnya, seruan untuk
memakai pakaian tradisional masuk dalam salah satu aturan bagi peserta Muktamar:

Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia Oetoesan-
oetoesan laki-laki memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing, jang tidak
melanggar Sjara’.
Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran
djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari
Tamasj-sja.
--Programma dan Agenda Congres Moehammadijah ke-XVIII jang Terbesar di Solo (1929)--

Ketiga, bahasa Jawa adalah bahasa resmi di Muhammadiyah sebelum digantikan oleh bahasa
Indonesia. Muhammadiyah adalah organisasi pertama di Indonesia yang memperkenalkan
khutbah Jum’at dalam vernacular language (bahasa masyarakat setempat). Pesan-pesan dalam
khutbah Jum’at dianggap Muhammadiyah tidak akan bisa sampai kepada pendengarnya jika
memakai bahasa Arab. Karena itu, sangat tidak masuk akal untuk memaksakan penggunaan
bahasa asing itu sementara seluruh pendengarnya adalah orang Jawa. Bahkan, menurut
kesaksian salah seorang murid Ahmad Dahlan di Kweekschool Jetis, Profesor Sugarda
Purakawatja, pendiri Muhammadiyah itu pernah mengizinkan murid-muridnya untuk shalat
dengan menggunakan bahasa Jawa jika mereka tidak mengerti bahasa Arab.

Keempat, secara organisasi, Muhammadiyah memiliki ikatan cukup erat dengan Boedi Oetomo,
sebuah organisasi yang ingin membangun kembali budaya Jawa. Seluruh pendiri
Muhammadiyah merupakan anggota Boedi Oetomo. Memang, Dahlan juga bergabung SI
(Sarekat Islam) dan organisasi lain di Jawa. Namun, hanya Boedi Oetomo lah satu-satunya
organisasi yang secara langgeng diikuti oleh Dahlan, tentu saja selain di organisasi yang
didirikannya sendiri.

Kelima, Muhammadiyah tidak pernah menolak upacara grebeg yang diselenggarakan oleh Kraton
Yogyakarta. Penghulu-penghulu yang berperan aktif dalam upacara tradisional di Kraton itu,
sejak zaman Ahmad Dahlan, adalah para pimpinan Muhammadiyah. Dahlan sendiri hingga
meninggalnya tak pernah melepaskan statusnya sebagai abdi dalem pamethakan.

Beberapa Pergeseran Sikap


Meski masih menyisakan cukup banyak bukti tentang kedekatan Muhammadiyah dengan
kebudayaan Jawa, namun identitas organisasi ini sebagai Islam varian Jawa memang sudah tidak
se-kenthal pada masa-masa awal pendiriannya. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
pergeseran ini. Beberapa diantarannya adalah masuk dan berkembangnya ideologi Wahabi di
organisasi ini, terutama setelah Mekah dan Madinah dikuasai oleh Saud-Wahabi. Sebagai
organisasi yang identik dengan gerakan Wahabi, Muhammadiyah lantas menjadi kurang toleran
terhadap tradisi masyarakat setempat.

Keterlibatan orang-orang dari Padang dalam Muhammadiyah juga memberi pengaruh dalam
pembentukan sikap organisasi ini terhadap budaya lokal. Di Padang, hubungan antara Kaum
Kuno dan Kaum Mudo, juga orang Adat dan orang Padri, memang kurang harmonis. Kondisi ini
lantas mempengaruhi warga Muhammadiyah di Jawa. Apalagi, ideologi Muhammadiyah banyak
dipengaruhi oleh ulama besar dari Padang, Haji Rasul.

Selain kedua hal tersebut, faktor lain yang ikut berpengaruh dalam membentuk karaktek
Muhammadiyah dalam kaitannya dengan kejawaan adalah pembentukan Majlis Tarjih yang
terkesan sangat syari’ah-oriented. Pendirian lembaga ini dipelopori oleh Mas Mansur, seorang
ulama dari daerah pesisir, Surabaya. Karakteristik keislaman antara daerah pesisir pantai dan
pedalaman (hinterland) memang berbeda. Dulu, keislaman daerah pesisir dikenal lebih ketat
dibandingkan daerah pedalaman, seperti Yogyakarta.

Namun demikian, seperti dikatakan oleh Hatta, karakter kejawaan Muhammadiyah itu tak akan
pernah hilang. Dengan cerdik Mitsuo Nakamura (1993) menyimpulkan gerakan Muhammadiyah
sebagai berikut: “Reformist Islam is not antithetical to Javanese culture but an integral part of it,
and what reformists have been endeavouring is, so to speak, to distil a pure essence of Islam from
Javanese cultural traditions. The final product of distillation does retain a Javanese flavour.”

Anda mungkin juga menyukai