Di Kotagede, Ibu Mardi terlibat aktif dalam pendirian TK 'Aisyiyah di Musala Basen 1958,
yang merupakan TK 'Aisyiyah perdana di kota itu, ia juga menjadi guru pertamanya. Selain itu, ia
juga bergabung dengan BP4 sebagai salah satu penasihatnya pada 1962. Pada 1967 ia ditunjuk
sebagai Ibu Asrama di Asrama Bidan di PKU, Yogyakarta, dan juga mengajar agama untuk calon
bidan di sekolah 'Aisyiyah. Ia berperan sebagai ibu dari empat anak tirinya serta sejumlah pelajar di
sekolah 'Aisyiyah dan asramanya. Setelah hampir tiga puluh tahun bertugas di Pimpinan Pusat
'Aisyiyah di Yogyakarta, ia kembali ke Kotagede pada 1995, dan membantu pengajian via Radio
PTDI, Kota Perak. Dengan suara keibuannya yang lembut, nasihatnya di udara yang berbalut bahasa
Jawa sangatlah populer di telinga khalayak. Ia meninggal pada 2001 pada umur delapan puluh satu
tahun. Salah satu putra tirinya adalah Suhardjo MS, seorang guru di SMP Muhammadiyah 7, yang
menjadi Ketua PCM Kotagede pada 2000-2005. Ibu Mardi mewakili para laki-laki dan perempuan
yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk memajukan pendidikan dalam lingkaran-lingkaran
Muhammadiyah.
Pada level nasional, periode ketika Pak Bashori, Ibu Umanah, dan Ibu Mardi aktif di
Muhammadiyah dan 'Aisyiyah bersamaan dengan masa kepemimpinan K.H. A.R. Fakhruddin (1968-
1990). Kepemimpinannya ditandai dengan sikap akomodatif terhadap Orde Barunya Suharto, adaptasi
kultural dengan para pendukung lokal, pembaruan yang berjalan perlahan-lahan, dan menghindari
sikap berat sebelah dalam politik. Kepribadiannya yang ramah dilengkapi dengan keterampilannya
yang luar biasa dalam berkomunikasi-menggunakan bahasa Jawa-dengan masyarakat yang kurang
berpendidikan bersenjatakan idiom dan humor lokal. Kepemimpinannya banyak mendorong
tersebarnya pengaruh Muhammadiyah ke masyarakat akar rumput. Gaya komunikasi yang sama juga
dapat dijumpai di antara para pemimpin Muhammadiyah di Kotagede di masa yang sama. Contohnya,
Pak Bashori Anwar, Ibu Umanah dan Ibu Mardi merupakan para pembicara handal dalam bahasa
Jawa kromo.
Kritik atas Rasa Puas Diri dan Stagnasi
Sejak awal 1980-an, kritik serius terhadap rasa puas diri dan kejumudan Muhammadiyah
mulai terdengar dari dalam organisasi itu. Isu yang paling sering menjadi sasaran adalah
kekurangpekaan elite Muhammadiyah terhadap sejumlah masalah sosial yang lahir dari rahim
perubahan sosial yang berlangsung cepat dan juga lambatnya peralihan generasi dalam hal
kepemimpinan. Transisi ke generasi pimpinan yang baru sudah didorong namun perlawanan terhadap
desakan itu masih kuat. Langkah itu akhirnya berjalan pada 1990-an. Proses transisi dan dinamika
internal Muhammadiyah selama proses ini mungkin bisa diamati dengan memeriksa sebuah daftar
dari topik-topik utama untuk penerbitan tahunan Brosur Lebaran.
Sejak pertengahan 1960-an, Brosur Lebaran diterbitkan setiap tahun, tepat sebelum Idul Fitri
oleh AMM-sebuah badan koordinasi bagi organisasi-organisasi pemuda dalam gerakan
Muhammadiyah, yakni Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul 'Aisyiyah, dan Ikatan Pelajar
Muhammadiyah. Isi Brosur Lebaran mencerminkan keberlanjutan sekaligus perubahan dalam gerakan
Muhammadiyah sepanjang masa. Tampaknya, topik-topik khusus yang dipilih setiap tahunnya
mewakili masalah-masalah penting yang dihadapi oleh para aktivis muda Muhammadiyah. Selain itu,
para editor Brosur berupaya menjadikannya sebagai sebuah forum, yang di situ sebuah gambaran
objektif tentang Kotagede bisa ditampilkan, dan berbagai diskusi bisa diadakan soal bagaimana
Muhammadiyah harus berhubungan dengan hal itu. Dengan kata lain, mereka berupaya menerapkan
pendekatan objektif untuk melihat realitas sejarah Kotagede, baik di masa lalu maupun di masa
kontemporer sebagai titik tolak untuk merumuskan strategi gerakan Muhammadiyah di kota itu.
Sebuah daftar topik yang diliput berdasarkaan edisi Brosur Lebaran yang tersedia antara 1980
dan 1995 ditampilkan di Tabel 10.1.
Dalam edisi 1980, dengan berita utama "Ketidakpastian Masa Depan", tajuk rencananya
dimulai dengan pernyataan berikut: "Apa yang bisa dijanjikan oleh generasi pemuda masa kini
menyangkut masa depan mereka? Ketidakpastian." Sang editor kemudian merumuskan daftar berisi
sejumlah penyakit sosial yang menjangkiti generasi muda Kotagede sejak 1975 hingga 1980 sebagai
cerminan dari ketidakpastian itu. Artikel itu berisi daftar yang mencakup hal-hal berikut: "seks
pranikah dan kawin paksa, konsumsi alkohol, dan mempertunjukkan kebodohan di depan publik, serta
penggunaan narkotika".
Pada saat yang sama, Bachrun Nawawi, seorang pekerja sosial pengembangan masyarakat
lulusan Australia mengajukan pertanyaan tentang kesiapsediaan para pemimpin Muhammadiyah
sebagai pembaru sosial (untuk informasi lebih lanjut tentang sejarah hidupnya, lihat hlm. 346). la
mengajukan pertanyaan yang pahit ini: "Apakah Muhammadiyah dan organisasi-organisasi
otonomnya benar-benar siap untuk menjadi pembaru sosial? Apakah mereka merasa biasa-biasa saja
tanpa memperhatikan dengan serius berbagai masalah sosial yang dihadapi Kotagede? Tidakkah
mereka terpisah dari kenyataan di Kotagede dan kehilangan posisi sebagai tuan rumah di rumah
mereka sendiri?" Rupanya, banyak generasi muda yang berbagi kekhawatiran dengan Bachrun bahwa
Muhammadiyah tengah kehilangan daya hidup dan relevansinya.
Lima tahun kemudian, 1985, seorang kontributor menyatakan dengan lebih terbuka:
"sebagian besar pimpinan Muhammadiyah (di Kotagede [peny.]) terdiri atas mereka yang kurang
mendapat pendidikan tinggi. Ini menyebabkan jangkauan pemikiran mereka menjadi terbatas...
Sementara itu, masyarakat sudah bergerak jauh ke depan sehingga para pemimpin tersebut tertinggal
di belakang... Muhammadiyah tampak mandek dewasa ini-tidak maju ke depan, namun tidak pula
mundur ke belakang... Karena kehadiran sejumlah institusi sosial non-Muhammadiyah...
Muhammadiyah mungkin akan segera ditinggalkan oleh masyarakat","
Di edisi yang sama, sebuah artikel berjudul "Kepemimpinan yang perlu dibenahi", Bachrun
Nawawi mengakui bahwa Muhammadiyah telah kehilangan monopolinya dalam ranah pendidikan
dan kesehatan, sembari mengusulkan bahwa sebuah pengumpulan data yang sistematis dan
perumusan strategi jangka panjang dibutuhkan melalui penggantian kepemimpinan oleh generasi
muda. Siti Waringah, seorang pemimpin aktif Nasyiatul 'Aisyiyah juga menulis bahwa,
"Muhammadiyah dan organisasi organisasi otonomnya mengalami kemunduran. Atau, dapat pula
dikatakan mengalami stagnasi. Para anggotanya, bahkan para pengurusnya, tengah kehilangan
loyalitasnya pada organisasi... Bagi beberapa pengurus, sekolah sekolah Muhammadiyah hanyalah
tempat singgah yang di sana mereka bisa mendapatkan tempat duduk yang sudah dipesan"."
Dalam merespons kritik-kritik tersebut dan tuntutan akan perubahan kepemimpinan, seorang
pengurus senior Muhammadiyah menjawab, "Perkembangan kalangan muda adalah sesuatu yang
diharapkan. Namun, bukan berarti bahwa mereka yang tua jumud dalam aktivitasnya. Mereka harus
tetap memainkan peranan dan tidak dipinggirkan."" Jelaslah sudah bahwa hingga beberapa tahun yang
akan datang tidak ada perubahan penting dalam hal arah dan komposisi pimpinan cabang yang dapat
kita amati.
Di dalam Brosur Lebaran, No. 29 1411 H/1991 M, isu stagnasi sekali lagi dikemukakan
dengan gamblang. Edisi itu punya tajuk khusus, "Cermin kemacetan kita dewasa ini", dan artikel itu
meliput hasil dari diskusi yang diikuti oleh sejumlah aktivis Muhammadiyah, muda dan tua, serta
laki-laki dan perempuan. Diskusi itu dipicu oleh kesadaran khalayak banyak bahwa Muhammadiyah
di Kotagede sedang "mengalami keterputusan atau bahkan stagnasi dari periode 1980-an hingga 1990-
an." Pada masa ini, perdebatan internal di kalangan aktivis Muhammadiyah tampak cukup panas.
Mungkin menarik juga untuk disebutkan di sini bahwa di edisi khusus Brosur Lebaran ini
muncul sebuah kritik yang bertentangan dengan pandangan saya tentang Muhammadiyah dalam
konteks mengevaluasi pelaksanaannya. Kritik tersebut disampaikan oleh Khoiruddin Bashori. 16
Sebagaimana disebutkan di atas, ia adalah putra almarhum Bashori Anwar, mantan Ketua PCM
Kotagede. Khoiruddin sendiri memperoleh gelar sarjana, master, dan doktor dari Universitas Gadjah
Mada dalam bidang psikologi dan menjadi guru besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
menduduki kursi rektor pada 2003-2008. Kini, ia merupakan salah satu intelektual terkemuka di
antara jejeran tokoh Muhammadiyah.
Profesor Khoiruddin melayangkan sebuah komentar terhadap makalah saya yang pernah saya
sajikan di sebuah konferensi di Australia pada 1980. Mengutip dari makalah saya 1980 ini, yang
dituangkannya dalam sebuah artikel berjudul "Manajemen Perubahan di Kotagede", ia berkomentar
bahwa makalah saya merupakan sebuah contoh optimisme yang berlebihan terhadap Muhammadiyah.
Kutipan yang diambil oleh Khoiruddin dari makalah saya adalah sebagai berikut:
Kana Muhammadiyah mampu merumuskan dan mengimplementasikan serangkaian
pembaruan sosial atas dasar ajaran Islam secara konkret, mantap, berkelanjutan selama bergenerasi-
generasi, adalah mungkin apabila organisasi itu akan berhasil ketika berhadapan dengan tantangan
berupa kondisi sosial yang baru, baik pada masa kini maupun di masa depan."
Inti kritiknya ialah:
[Namun,] masih bisakah pernyataan Nakamura menunjukkan validitasnya untuk saat ini?
Dalam konteks Kotagede di masa kini, artikel itu dirasa menunjukkan optimisme Nakamura yang
berlebihan. Mengapa demikian? Karena Kotagede sebagai sebuah kota santri dan salah satu "kantong-
kantong" Muhammadiyah, yang pernah sangat aktif dan dinamis, kini dirasakan sudah tak bernyawa
lagi. Selain itu, menurut teman-teman Brosur, belakangan ini terjadi keterputusan dalam proses
transfer nilai nilai agama dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya sehingga menghadirkan
kejumudan dalam dinamisme gerakan agama di antara generasi muda di tempat ini."
Dengan mengacu pada makalah saya yang dirilis pada 1980 (makalah itu didasarkan pada
penelitian lapangan saya pada 1970-1972), sebagai sebuah taksiran yang terlampau optimistis,
Profesor Khoiruddin menilai kejumudan gerakan Muhammadiyah di Kotagede di awal 1990-an
sebagai "tak bernyawa." Saya memandang komentar kritisnya tentang pengamatan saya sebagai
sesuatu yang sedikit anakronis lantaran dinamisme Muhammadiyah Kotagede pada awal 1970-an di
bawah kepemimpinan ayahnya tergolong cukup mengesankan. Bahkan, dinamisme itu begitu
impresifnya, sampai-sampai saya tidak mampu membayangkan kemungkinan stagnasi yang akan
melanda persyarikatan itu pada masa berikutnya.
Di luar keluhan saya, di sini saya harus mengakui keterusterangan Profesor Khoirudin dalam
mengakui penurunan yang dialami gerakan Muhammadiyah di Kotagede. Ia lalu mengusulkan
perlunya sebuah metodologi guna mengidentifikasi penyebab kemerosotan lewat kajian empirik dan
perlunya menyusun sebuah strategi guna mengatasinya. Sayangnya, usulannya di Brosur Lebaran
hanya memaparkan sebuah skema yang abstrak. Bahkan, setelah perdebatan terbuka pada 1991, ia
maupun aktivis Muhammadiyah lainnya-khususnya mereka yang mempelajari. ilmu-ilmu sosial-tidak
melakukan riset objektif tentang penyebab penyebab terjadinya kejumudan dan jurang antargenerasi.
Usulannya tentang penyusunan sebuah metodologi "manajemen perubahan di Kotagede" tetap
menjadi sebuah pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Sementara itu, di level pimpinan pusat,
peralihan generasi terjadi dengan berpindahnya tampuk kepemimpinan dari tangan K.H. A.R
Fakhruddin ke K.H. Azhar Basyir, M. A. pada 1990, dan kemudian ke Prof. Dr. Amien Rais pada
1994. Amien Rais mulai menyuarakan kritik yang vokal terhadap Presiden Suharto karena korupsi
dan salah urus sumber daya nasional, ia juga mendesak regenerasi kepemimpinan nasional dan
digalakkannya demokratisasi. Secara nasional Muhammadiyah mulai melangkah menuju kegemparan.
Namun, kejumudan terus menghantui PCM Kotagede. Sejak akhir 2000, Brosur Lebaran
masih mengangkat keluhan-keluhan terbuka seorang aktivis sebagaimana berikut: "Ada keterputusan
generasi di dalam kepengurusan PCM Kotagede... Keterputusan terjadi dikarenakan tidak adanya
kesempatan bagi generasi selanjutnya. Kepengurusan PCM Kotagede selama tiga periode terakhir
masih berkisar pada satu generasi, yaitu generasi dari Bapak Bashori Anwar, Yatiman Syafi'i, dan
kemudian Bapak Syamsuhadi Sehingga gmeras di bawah mereka banyak yang hilang dan terputus
Akan tetapi, perubahan kepemimpinan harus menunggu lima tahun kemudian.
Perubahan Kepemimpinan
Untuk lima tahun setelah 2000, seorang tokoh senior, Suhardjo MS (lahir pada 1937, putra tiri
Ibu Mardi yang disebutkan di atas) menduduki kursi Ketua PCM Kotagede. Lalu, pergantian generasi
yang signifikan terjadi pada 2005. Dalam rangka mengamati transisi kepemimpinan kepada generasi-
generasi Muhammadiyah yang lebih muda di Kotagede, agaknya daftar topik-topik utama Brosur
Lebaran dari 2000 hingga 2008 perlu ditampilkan."
Dari Tabel 10.2, kita bisa lihat bahwa generasi-generasi muda aktivis Muhammadiyah kian
tak sabar mewujudkan Muhammadiyah yang sebenar-benarnya karena mereka sudah bosan
mengunyah "realitas Muhammadiyah" yang tidak memuaskan.
Latar Belakang Pribadi Pemimpin-pemimpin Muhammadiyah
Pada 2005, sebelum musyawarah cabang PCM dan PCA Kotagede, kedua organisasi tersebut
merilis daftar calon ketua organisasi masing masing. Jelas bahwa terdapat perubahan penting dalam
hal latar belakang pribadi kepimpinan yang baru, khususnya dari segi pendidikan dan pekerjaan,
dibandingkan dengan kepemimpinan tua. Rincian mengenai daftar diringkas di Tabel 10.3 dan 10.4.
Sebuah perubahan penting dari generasi-generasi di masa lalu ditemukan pada tingkat
pendidikan. Nampak jelas bahwa banyak pemimpin dari generasi sebelumnya merupakan lulusan
Mu'allimin atau sekolah yang setara dengannya. Kini pola itu tak lagi dominan, dan hanya mencapai
13,7%. Sementara itu, lulusan perguruan tinggi merupakan yang mayoritas, sebanyak 78,5%. Di
antara para lulusan perguruan tinggi, kelompok terbesar adalah mereka yang berasal dari IAIN SK
(kini UIN (Universitas Islam Negeri] Sunan Kalijaga), sebuah institusi pendidikan tinggi terkemuka
dalam kajian Islam modern. Bekas perguruan tinggi untuk pelatihan guru nasional, IKIP Yogyakarta
(kini UNY [Universitas Negeri Yogyakarta]) berada di tempat kedua dengan 17,5%. Universitas
Gadjah Mada (UGM), salah satu universitas paling bergengsi di Indonesia dewasa ini, hanya
menyumbang seorang lulusan saja. Mereka yang lulus dari perguruan tinggi negeri diikuti oleh para
lulusan berbagai perguruan tinggi swasta, yaitu 12% dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY) dan 10% dari Universitas Islam Indonesia (UII)--universitas swasta tertua di Indonesia.
Jumlah lulusan perguruan tinggi dengan gelar sarjana mencakup empat orang yang memegang gelar
S2 (master) atau yang setara.
Latar Belakang Pribadi Para Pemimpin 'Aisyiyah
Mari kita mengalihkan perhatian ke pucuk pimpinan organisasi perempuan, 'Aisyiyah. Latar
belakang pribadi mereka diringkas di Tabel 104.
Harus dicatat bahwa para pemimpin perempuan rata-rata lebih tua tujuh tahun daripada
pemimpin Muhammadiyah. Ini mungkin karena mereka mulai aktif di organisasi tersebut di usia y
yang lebih aa dibandingkan pemimpin Muhammadiyah lantaran kewajiban mereka sebagai ibu dan
istri. Dalam contoh Ibu Umanah y yang telah disinggung di atas, ia menjadi Ketua PCA pada usia 48
setelah anak terkecilnya tamat sekolah dasar. Tempat kelahiran mereka juga terbatas di Kotagede
(81,13%), menunjukkan bahwa praktik endogami merebak di antara keluarga-keluarga
Muhammadiyah. Dalam hal pekerjaan, kategori pebisnis perempuan tergolong dominan, dengan
37,74%, mengindikasikan pentingnya peran perempuan dalam ekonomi lokal. Di sini, perlu dijelaskan
bahwa pegawai pemerintah dan pensiunannya (terutama mantan guru sekolah) menduduki posisi
terbesar kedua dengan 26,41%, dan jika ditambahkan dengan rekan mereka di pendidikan tinggi,
persentasenya menjadi 32,07%. Mereka yang hanya mengurus rumah tangga sebagai ibu rumah
tangga adalah minoritas, dengan 16,98%.
Dari sisi pendidikan, mereka yang mengenyam pendidikan tinggi merupakan yang terbanyak,
yakni 37,74%, lulusan sekolah menengah atas sebanyak 32,07%, dan sekolah menengah pertama
sebanyak 15,09%. Jadi, tingkat pendidikan para pemimpin 'Aisyiyah menjadi lebih tinggi. menyusul
para pemimpin Muhammadiyah.
Seandainya perkiraan ini tidak terlalu jauh dari kenyataan, maka keanggotaan umum keluarga
Muhammadiyah telah tumbuh lebih dari dua kali lipat, yaitu dari 980 orang (hanya laki-laki dewasa)
pada 1972 (lihat hlm. 155). Sementara itu, keseluruhan penduduk tumbuh dua kali lipat, dari kurang
lebih 17.000 menjadi 35.000 jiwa (lihat Tabel 8.1).
Tidak ada informasi yang terperinci mencakup atribut-atribut sosial dari anggota
Muhammadiyah secara umum. Saya hanya bisa mengungkapkan kesan bahwa Muhammadiyah sudah
semakin besar dan merangkul masyarakat kelas menengah ke bawah, dan bahkan orang miskin,
Diharapkan, di kemudian hari, pimpinan cabang akan melakukan survei tentang karakteristik-
karakteristik sosial anggotanya secara umum, dalam rangka mendapatkan informasi yang terperinci
tentang hal itu sehingga perencanaan yang tepat bisa dibuat untuk pengelolaan organisasi tersebut.
Pembaru yang Memperbarui: riwayat hidup Bachrun Nawawi
Untuk menggambarkan berbagai tren yang mewabah di antara generasi baru pemimpin
Muhammadiyah, biografi Bachrun Nawawi kan ditampilkan di sini. Ila lahir pada 1944, ayahnya
adalah Kiai Nawawi seorang khatib di Masjid Perak," sedangkan ibunya merupakan seorang
pedagang pakaian di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Ketika ia masih mahasiswa tahun ketiga di
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan
ke University of Western Australia, dan mengantongi gelar diploma dalam pendidikan, Saat kembali
ke Yogyakarta, ia bekerja dengan Foster Parents Program (FPP) dan dikirim ke Bantul dan Gunung
Kidul sebagai seorang pekerja lapangan. FPP kemudian menugaskannya ke Afrika sebagai direktur
pengembangan masyarakat selama lebih dari delapan tahun. Tatkala kembali ke Indonesia, ia dikirim
ke Sumbawa, NTB, untuk mengarahkan sebuah program pengembangan masyarakat hingga 1996.
Kemudian ia mundur dari FPP. Menyadari pentingnya pernikahan dan keluarga, ia pulang kampung
dan menetap di Kotagede untuk seterusnya. Ia membeli sawah seluas 3.000 m² di Bantul, yang
hasilnya cukup untuk mendukung nafkah keluarganya. Lalu, dengan menggeloranya Reformasi, ia
bergabung dengan PAN dan terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi DIY melalui Pemilu 1999.
Namun, ia langsung kecewa dengan politik kepartaian yang menurutnya, penuh dengan egoisme dan
kepentingan. Ia mundur dari dunia politik setelah 2004 dan sejak saat itu memusatkan perhatiannya
pada urusan-urusan yang berkaitan dengan Muhammadiyah.24
Ia menjadi sangat kritis terhadap kepemimpinan cabang Muhammadiyah sejak awal 1980-an,
terutama karena kepemimpinan tersebut tidak peka terhadap perubahan sosial yang tengah terjadi
sembari menikmati monopoli yang menyenangkan di ruang publik. Monopoli itu dilahirkan oleh
penyingkiran kaum komunis dan nasionalis-kiri setelah 1965. Beberapa tahun kemudian, ia
memperingatkan bahwa monopoli Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan kesehatan terancam
dengan kehadiran sekolah-sekolah swasta non-Muhammadiyah dan puskesmas-puskesmas milik
pemerintah. Ia kemudian mengusulkan agar Muhammadiyah merumuskan tindakan-tindakan konkret
demi mempertahankan daya saingnya di bidang-bidang itu. la mendesak Muhammadiyah agar
membentuk sebuah satuan tugas khusus guna mengumpulkan data dan mendesain program-program
jangka panjang yang bisa merespons berbagai konsekuensi yang dihadirkan oleh perubahan sosial. Ia
juga menekankan perlunya regenerasi kepemimpinan Muhammadiyah guna mengatasi stagnasi, tapi
ia gagal memperoleh dukungan dari para anggota.
Tampaknya, kritik-kritiknya menghadapi perlawanan sengit dari generasi tua hingga lahirnya
Reformasi di akhir 1990-an. Sejak saat itu, ia menerima sokongan yang lebih kuat dari generasi muda.
Sebenarnya, ia menerima jumlah suara terbanyak dalam pemilihan ketua pada Musyawarah Cabang
PCM Kotagede pada 2005, namun komite pemilihan memutuskan untuk memilih Kaharuddin,
mungkin lantaran usianya (61 tahun pada saat itu). Sebaliknya, Bachrun terpilih sebagai dewan
penasihatnya bersama-sama dengan Ahmad Charris Zubair. Kepemimpinan PCM Kotagede kini
sebagian besar terdiri atas mereka yang mau mempertimbangkan ide-ide Bachrun. Masih perlu dilihat
seberapa cepatkah dan sejauh manakah Muhammadiyah Kotagede dapat berevolusi sejalan dengan
arah yang disarankan oleh Bachrun Nawawi, Charris Zubair, dan para mantan pengkritik lainnya.
Sebagaimana telah kita lihat di atas, mereka yang muda dan kritis beberapa dekade silam kini
sudah menjadi generasi bapak dan ibu pula. Partisipasi mereka dalam kepemimpinan Muhammadiyah
Kotagede tampak membawanya pada tahapan kedewasaan yang baru. Sekarang kemampuan
kepemimpinan baru dalam menghidupkan kembali organisasi yang telah berusia lebih dari seabad itu
tengah diuji. Dapatkah inisiatif-inisiatif mereka diterima dan diterapkan di level lokal? Masa depan
Muhammadiyah di Kotagede sangat tergantung pada upaya menghidupkan kembali persyarikatan ini.