Anda di halaman 1dari 12

DINAMIKA INTERNAL MUHAMMADIYAH

Tiga Generasi Kepemimpinan


Selama empat puluh tahun (1970-2010) yang saya amati perihal gerakan Muhammadiyah di
Kotagede, saya menyaksikan kemunculan tiga generasi kepemimpinan. Generasi pertama adalah
generasi Haji Masyhudi (1888-1972), generasinya para bapak pendiri PCM Kotagede. Umumnya,
mereka berasal dari keluarga ulama, atau pedagang dan industrialis kaya. Mereka mulanya dididik di
pesantren tradisional namun belakangan menjadi kritis terhadapnya. Mereka juga bersikap kritis
terhadap Islam Jawa (kejawén) yang diadopsi oleh Kesultanan Mataram dan menganjurkan pemurnian
serta pembaruan atasnya. Mereka mempimpin Muhammadiyah melewati tiga zaman (masa Belanda,
Jepang, dan Indonesia Merdeka), 1920-an hingga 1950-an (lihat Bab 3 sampai 5).
Generasi kedua umumnya berasal dari keluarga-keluarga para bapak pendiri tersebut.
Kepemimpinan mereka hampir bersamaan dengan masa Jenderal Suharto memimpin Indonesia, yaitu
dari 1966 hingga 1998. Satu tokoh istimewa dari generasi kedua ini adalah Bashori Anwar (1933-
2006) (Gambar 10.1), yang menduduki kursi Ketua PCM Kotagede selama empat kali masa jabatan,
yang masing-masingnya terdiri atas lima tahun, sejak 1970 hingga 1990.
Setelah jalan berliku di masa transisi selama lima belas tahun, yaitu dari 1990 hingga 2005,
kepemimpinan di PCM Kotagede kini berada di tangan generasi ketiga yang diwakili oleh ketuanya
kini, Kaharuddin Noor (lahir pada 1963). Ia bukan berasal dari keluarga-keluarga elite di kota itu,
melainkan merupakan putra seorang tukang jahit mahsyur, namun punya gaya hidup yang sederhana.
Posisinya sebagai ketua menunjukkan bahwa titik berat kepemimpinan Muhammadiyah di kota itu
berpindah ke kelas menengah terdidik generasi baru. Di bab ini, saya akan mengupas transisi generasi
ini dan implikasinya pada gerakan Muhammadiyah lokal.
Generasi Kedua Kepemimpinan Muhammadiyah
Sebagian besar anggota generasi kedua kepemimpinan Muhammadiyah di Kotagede lahir dari
keluarga para pendiri Muhammadiyah di sana.. Umumnya mereka juga merupakan produk langsung
dari pembiakan internal Muhammadiyah. Dengan kata lain, mereka adalah produk pertama sistem
pendidikan Muhammadiyah di sana. Banyak di antaranya bersekolah di SD Muhammadiyah, lalu
melanjutkan ke Mu'allimin (untuk anak laki laki) atau Mu'allimaat (untuk anak perempuan) di
Yogyakarta. Setelah lulus, beberapa di antaranya dikirim ke tempat lain sebagai mubaligh atau
mubalighat. Beberapa dari mereka kembali untuk menetap di Kotagede, dan aktif dalam
Muhammadiyah sembari ambil bagian dalam perdagangan atau industri lokal. Mereka bersal dari
kelas menengah lama di sektor tradisional masyarakat, yang menggalang pendirian Muhammadiyah
di Kotagede selama kurang lebih dua dekade berikutnya, 1970 hingga 1990.
Selama masa transisi singkat selanjutnya, yaitu dari 1990 hingga 2005, Muhammadiyah
Kotagede dipimpin oleh anggota yang relatif muda, mereka berasal dari generasi kedua setelah
Muhammadiyah berdiri di sana. Dari 2005, kepemimpinan beralih ke fase pasca Reformasi, umumnya
merekrut mereka dari generasi ketiga. Sebagian besar dari mereka mengenyam pendidikan di
perguruan tinggi, bekerja di sektor modern dalam masyarakat. Sejak saat itu, berlangsunglah
pergantian generasi, dan itu nampak amat jelas.
Pak Bashori: pemimpin khas generasi kedua
Seorang tokoh yang tergolong khas dalam jejeran generasi kedua adalah almarhum Bashori
Anwar (1933-2006). Ia adalah putra Haji Anwar Rofi'i, salah satu pendiri Muhammadiyah di
Kotagede. la bersekolah di SD Muhammadiyah Bodon, kemudian melanjutkan ke Sekolah berasrama
Mu'allimin hingga tingkat menengah atas. la pulang kampung guna menikahi Praptini, yang
melahirkan enam anak untuknya. Mereka semua aktif di Muhammadiyah termasuk putra kedua
mereka, Khoiruddin (yang sempat menjadi orang penting saat menjabat Rektor Universitas
Mahammadiyah Yogyakarta), dan putra ketiga mereka, Sholehuddin (yang merupakan Lurah [Kepala
Desa] Jagalan). Bashori sendiri ikut berdagang, menjaga sebuah toko kelontong yang menjual tekstil,
pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya di jalan utama di Kotagede sembari menjabat sebagai
Ketua PCM Kotagede selama empat periode dari 1970 hingga 1990. Ia adalah orang yang agak
pendiam meskipun ia selalu menyambut pengunjung yang datang untuk meminta nasihatnya. Selain di
Muhammadiyah, ia juga aktif dalam urusan menyangkut asosiasi lingkungan dan punya kerja sama
yang baik dengan pemerintah, la berkali-kali didesak untuk menjadi pengurus pimpinan daerah
maupun Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta. Akan tetapi, ia menolak dengan
menyatakan, "Pada dasarnya, saya hanya mau mengurus Kotagede saja" ("Pokoke tak ngurusi
Kotagede wae"). Sepanjang hidupnya, ia adalah seseorang yang Kotagede-minded."
Pak Bashori merupakan seorang pemimpin yang mewakili masa Orde Baru dan banyak
menyumbang bagi pesatnya pertumbuhan Muhammadiyah pada masa itu. la dan para koleganya
berhasil menancapkan pengajian di setiap sudut Kotagede. Ia merupakan penceramah tetap pada
pengajian khusus Proyek Pembinaan Agama (P2A) yang dikelola pemerintah lokal dan ditujukan
untuk merehabilitasi orang-orang eks-G30S/PKI (lihat Bab 9). Selama masa jabatannya, jumlah
masjid, musala, TK, dan sekolah-sekolah Muhammadiyah (SD, SMP, SMA dan bahkan SMK)
mengalami peningkatan.
Seorang pemimpin Pemuda Muhamadiyah yang sezaman dengannya, Habib Chirzin,
menyatakan-dalam sebuah artikel yang berjudul "Meng Khoirokan Ummat di Kotagede Melalui
Muhammadiyah" dalam Brosur Lebaran 1974-bahwa tugas Muhammadiyah adalah untuk
menyumbangkan tenaga secara sukarela demi perbaikan Kotagede dalam arti yang sebenarnya? Itu
juga menjadi tujuan Pak Bashori. Di sepanjang masa kepemimpinan Bashori Anwar, hubungan
Muhammadiyah dengan pemerintah lokal tergolong mesra, menawarkan kerja samanya dalam bentuk
penyebaran ideologi antikomunisme dan dukungannya untuk program-program pembangunan
pemerintah tanpa menjadi ancaman politik. Sebenarnya, warga Kotageda lebih menghormati
kepemimpinan Muhammadiyah daripada otoritas sipil, militer, dan polisi. Pemerintah seringkali harus
berkonsultasi dulu dengan para pemimpin Muhammadiyah ketika proyek proyek penting dijalankan.
Cetak biru arah fundamental dan struktur organisatoris Muhammadiyah terbangun dengan baik pada
periode ini.
Oposisi yang Layu sebelum Berkembang
Namun, pada awal periode ini muncul perlawanan keras dari generasi yang lebih muda
terhadap sikap akomodatif kepada rezim Orde Baru. Isu krusialnya ialah penolakan pemerintah
Suharto untuk merehabilitasi Partai Masyumi. Sebelum dilarang oleh Sukarno pada 1960, partai itu
mampu menyerap dukungan hampir 40% warga kota itu sementara 40% lainnya menyokong PKI
(lihat hlm. 140-142). Pada awal Orde Baru, mayoritas aktivis muda Muhammadiyah di Kotagede
tampaknya menuntut pemboikotan Pemilu 1971, kecuali jika Partai Masyumi berpartisipasi di
dalamnya. Meskipun ada perlawanan ini, elite Muhammadiyah Kotagede, termasuk Pak Bashori,
memutuskan untuk mendukung Parmusi, "ahli waris" Masyumi, meski tanpa para pemimpin
seniomya yang rehabilitasi politiknya ditolak oleh Suharto, Konflik itu berlangsung demikian
sengitnya sampai-sampai Brosur Lebaran No. 10 1382H/1972 M terancam berhenti terbit lantaran
sikap nonkooperatif para aktivis muda. Generasi tua akhirnya bisa mengatasi "pemberontakan" anak
muda ini. Akan tetapi, sejumlah aktivis muda menjadi tidak aktif lagi sehingga, konon, jumlah mereka
yang tetap berada di sisi pimpinan Muhammadiyah merosot drastis. Sebenarnya, Habib Chirzin (lihat
hlm. 351 perihal biografinya), putra seorang mantan ketua cabang Muhammadiyah, Pak Chirzin,
dipanggil pulang dari Pesantren Modern Gontor untuk turut memperbaiki situasi. Secara historis,
implikasi dari konflik ini terhadap jalan yang diambil Muhammadiyah selanjutnya perlu diteliti lebih
lanjut. Hal itu mungkin merupakan salah satu penyebab utama stagnasi yang dihadapi
Muhammadiyah selama periode 1980-an.

Ibu Umanah dan Ibu Mardi: pemimpin khas 'Aisyiyah


Mungkin, di sini perlu pula disajikan profil dua pemimpin khas dari 'Aisyiyah, Hajah Umanah
Rofi'ie' (lahir pada 1937) dan Ibu Mardi (1920-2001), guna menggambarkan lingkungan sosial
organisasi perempuan itu, yang sejajar dengan Muhammadiyah
Hj. Umanah lahir di Joyopranan dari keluarga H. Jawadi Rofi'ic, seorang industrialis batik
yang makmur. la sepenuhnya dididik di sekolah sekolah Muhammadiyah, dimulai sejak taman kanak-
kanak, sekolah dasar di SD Muhammadiyah Bodon, dan Mu'allimaat Yogyakarta. Pada usia tujuh
belas tahun dan saat ia masih bersekolah, ia menikah dengan H. Hajid Mutohar (1930-2000) dari
Selokraman. Hajid juga berasal dari keluarga Muhammadiyah-ia masuk SD Muhammadiyah lokal,
lalu ke sekolah menengah di Madrasah Ma'had Islamy, dan akhirnya ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Gadjah Mada la bergabung dengan tentara Republik selama Perang Kemerdekaan
dan memperoleh pangkat Letnan Dua Seusai dinas militer ia kembali melanjutkan bisnis keluarganya,
terlibat dalam produksi batik dan lainnya, sembari mengurus organisasi veteran. Selama delapan belas
tahun berikutnya, pasangan itu dikaruniai 13 anak (8 laki-laki dan 5 perempuan). Sejak pertengahan
1970 an, Hj. Umanah terlibat aktif secara sosial di 'Aisyiyah, dan ia berulang kali terpilih untuk
memegang tampuk kepemimpinan di Pimpinan Cabang 'Aisyiyah (PCA) Kotagede selama 1985-
2000. la juga mengetuai asosiasi istri veteran cabang Kotagede, berturut-turut sejak 1975 hingga
1995. Sementara itu, H. Hajid dan Hj. Umanah membesarkan anak-anak mereka dengan moto "Sesuk
gedhe pinter ngaji, pinter sekolahan lan pinter nyambut gawe (""besok kamu bertumbuh besar dengan
bekal agama yang baik, pintar di sekolah, dan punya keterampilan dalam bekerja"). Dengan
bimbingan orang tua mereka, semua anak berhasil mendapat gelar sarjana (S1, atau setara dengan
gelar bachelor) atau gelar akademik yang lebih tinggi. Tujuh anak bergelar S-1,5 anak bergelar S-2
(setara dengan gelar master) dari institusi-institusi terkemuka seperti UGM, UI, UNAIR, dan satu di
antara mereka memperoleh gelar Ph. D. dari sebuah universitas di Amerika Serikat. Enam di
antaranya menjalankan bisnis mereka sendiri, dua bekerja untuk pemerintah pusat, satu bekerja untuk
pemerintah lokal, satu di bank swasta, dan seorang lagi mengajar di universitas. Dari 12 pasangan
mereka. 7 mengantongi gelar S1, 2 menggenggam gelar doktor (satu Ph. D. Dari sebuah universitas di
Amerika Serikat dan satunya lagi dari UI). Empat dari pasangan-pasangan tersebut menjalankan
bisnis mereka sendiri, dua bekerja di perusahaan swasta, satu di bank pemerintah, satu di pemerintah
lokal, dan satunya mengajar di universitas. Hj. Umanah menerima gelar Ibu Teladan dari Badan
Penasihat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4) Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 2003.
Sejak 2004, ia menikmati hidup sebagai nenek dari 26 cucu meskipun suaminya, H. Hajid, meninggal
pada 2000. Dari 13 anaknya, hanya 3 yang tinggal di Kotagede.
la bisa dianggap sebagai ibu khas 'Aisyiyah selama masa Orde Baru dari segi perannya
sebagai istri veteran, caranya dalam membesarkan anak-anaknya, dan aktivitasnya sebagai pebisnis
perempuan dan seorang pemimpin dalam organisasi-organisasi perempuan.
Selain Ibu Umanah, pemimpin pelopor 'Aisyiyah lainnya, yaitu Ibu Mardi Siswoyo" (1920-
2001), harus disebutkan pula di sini. Jika dibandingkan dengan Ibu Umanah, ia tergolong kurang
mampu dari segi ekonomi, namun ia juga sangat dihormati oleh perempuan karena dedikasinya pada
pendidikan formal dan informal. Ia lahir di keluarga sederhana di Selokraman pada 1920, dan masuk
SD Muhammadiyah Kleco, dan kemudian ke Mu'allimaat di Yogyakarta. Setelah lulus, Pimpinan
Pusat 'Aisyiyah di Yogyakarta mengirimnya ke Kudus, sebuah kota tua di pantai utara Jawa sebagai
mubalighat. Ia mengajar di SD Muhammadiyah Besito pada pagi hari dan kemudian di sebuah
madrasah tsanawiyah di sore hari. la juga aktif di 'Aisyiyah Kudus, la dinikahi Pak Murohar pada
1942, akan tetapi suaminya meninggal tiga tahun kemudian tanpa sempat memiliki anak. Ia kembali
ke Kotagede pada 1955 dan menikah dengan Bapak Mardi Siswoyo, yang kehilangan istri sejak tiga
tahun sebelumnya Pak Mardi mempunyai empat anak dari pernikahannya sebelumnya, dan Ibu Mardi
menjadi ibu tiri mereka.

Di Kotagede, Ibu Mardi terlibat aktif dalam pendirian TK 'Aisyiyah di Musala Basen 1958,
yang merupakan TK 'Aisyiyah perdana di kota itu, ia juga menjadi guru pertamanya. Selain itu, ia
juga bergabung dengan BP4 sebagai salah satu penasihatnya pada 1962. Pada 1967 ia ditunjuk
sebagai Ibu Asrama di Asrama Bidan di PKU, Yogyakarta, dan juga mengajar agama untuk calon
bidan di sekolah 'Aisyiyah. Ia berperan sebagai ibu dari empat anak tirinya serta sejumlah pelajar di
sekolah 'Aisyiyah dan asramanya. Setelah hampir tiga puluh tahun bertugas di Pimpinan Pusat
'Aisyiyah di Yogyakarta, ia kembali ke Kotagede pada 1995, dan membantu pengajian via Radio
PTDI, Kota Perak. Dengan suara keibuannya yang lembut, nasihatnya di udara yang berbalut bahasa
Jawa sangatlah populer di telinga khalayak. Ia meninggal pada 2001 pada umur delapan puluh satu
tahun. Salah satu putra tirinya adalah Suhardjo MS, seorang guru di SMP Muhammadiyah 7, yang
menjadi Ketua PCM Kotagede pada 2000-2005. Ibu Mardi mewakili para laki-laki dan perempuan
yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk memajukan pendidikan dalam lingkaran-lingkaran
Muhammadiyah.
Pada level nasional, periode ketika Pak Bashori, Ibu Umanah, dan Ibu Mardi aktif di
Muhammadiyah dan 'Aisyiyah bersamaan dengan masa kepemimpinan K.H. A.R. Fakhruddin (1968-
1990). Kepemimpinannya ditandai dengan sikap akomodatif terhadap Orde Barunya Suharto, adaptasi
kultural dengan para pendukung lokal, pembaruan yang berjalan perlahan-lahan, dan menghindari
sikap berat sebelah dalam politik. Kepribadiannya yang ramah dilengkapi dengan keterampilannya
yang luar biasa dalam berkomunikasi-menggunakan bahasa Jawa-dengan masyarakat yang kurang
berpendidikan bersenjatakan idiom dan humor lokal. Kepemimpinannya banyak mendorong
tersebarnya pengaruh Muhammadiyah ke masyarakat akar rumput. Gaya komunikasi yang sama juga
dapat dijumpai di antara para pemimpin Muhammadiyah di Kotagede di masa yang sama. Contohnya,
Pak Bashori Anwar, Ibu Umanah dan Ibu Mardi merupakan para pembicara handal dalam bahasa
Jawa kromo.
Kritik atas Rasa Puas Diri dan Stagnasi
Sejak awal 1980-an, kritik serius terhadap rasa puas diri dan kejumudan Muhammadiyah
mulai terdengar dari dalam organisasi itu. Isu yang paling sering menjadi sasaran adalah
kekurangpekaan elite Muhammadiyah terhadap sejumlah masalah sosial yang lahir dari rahim
perubahan sosial yang berlangsung cepat dan juga lambatnya peralihan generasi dalam hal
kepemimpinan. Transisi ke generasi pimpinan yang baru sudah didorong namun perlawanan terhadap
desakan itu masih kuat. Langkah itu akhirnya berjalan pada 1990-an. Proses transisi dan dinamika
internal Muhammadiyah selama proses ini mungkin bisa diamati dengan memeriksa sebuah daftar
dari topik-topik utama untuk penerbitan tahunan Brosur Lebaran.
Sejak pertengahan 1960-an, Brosur Lebaran diterbitkan setiap tahun, tepat sebelum Idul Fitri
oleh AMM-sebuah badan koordinasi bagi organisasi-organisasi pemuda dalam gerakan
Muhammadiyah, yakni Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul 'Aisyiyah, dan Ikatan Pelajar
Muhammadiyah. Isi Brosur Lebaran mencerminkan keberlanjutan sekaligus perubahan dalam gerakan
Muhammadiyah sepanjang masa. Tampaknya, topik-topik khusus yang dipilih setiap tahunnya
mewakili masalah-masalah penting yang dihadapi oleh para aktivis muda Muhammadiyah. Selain itu,
para editor Brosur berupaya menjadikannya sebagai sebuah forum, yang di situ sebuah gambaran
objektif tentang Kotagede bisa ditampilkan, dan berbagai diskusi bisa diadakan soal bagaimana
Muhammadiyah harus berhubungan dengan hal itu. Dengan kata lain, mereka berupaya menerapkan
pendekatan objektif untuk melihat realitas sejarah Kotagede, baik di masa lalu maupun di masa
kontemporer sebagai titik tolak untuk merumuskan strategi gerakan Muhammadiyah di kota itu.
Sebuah daftar topik yang diliput berdasarkaan edisi Brosur Lebaran yang tersedia antara 1980
dan 1995 ditampilkan di Tabel 10.1.
Dalam edisi 1980, dengan berita utama "Ketidakpastian Masa Depan", tajuk rencananya
dimulai dengan pernyataan berikut: "Apa yang bisa dijanjikan oleh generasi pemuda masa kini
menyangkut masa depan mereka? Ketidakpastian." Sang editor kemudian merumuskan daftar berisi
sejumlah penyakit sosial yang menjangkiti generasi muda Kotagede sejak 1975 hingga 1980 sebagai
cerminan dari ketidakpastian itu. Artikel itu berisi daftar yang mencakup hal-hal berikut: "seks
pranikah dan kawin paksa, konsumsi alkohol, dan mempertunjukkan kebodohan di depan publik, serta
penggunaan narkotika".
Pada saat yang sama, Bachrun Nawawi, seorang pekerja sosial pengembangan masyarakat
lulusan Australia mengajukan pertanyaan tentang kesiapsediaan para pemimpin Muhammadiyah
sebagai pembaru sosial (untuk informasi lebih lanjut tentang sejarah hidupnya, lihat hlm. 346). la
mengajukan pertanyaan yang pahit ini: "Apakah Muhammadiyah dan organisasi-organisasi
otonomnya benar-benar siap untuk menjadi pembaru sosial? Apakah mereka merasa biasa-biasa saja
tanpa memperhatikan dengan serius berbagai masalah sosial yang dihadapi Kotagede? Tidakkah
mereka terpisah dari kenyataan di Kotagede dan kehilangan posisi sebagai tuan rumah di rumah
mereka sendiri?" Rupanya, banyak generasi muda yang berbagi kekhawatiran dengan Bachrun bahwa
Muhammadiyah tengah kehilangan daya hidup dan relevansinya.
Lima tahun kemudian, 1985, seorang kontributor menyatakan dengan lebih terbuka:
"sebagian besar pimpinan Muhammadiyah (di Kotagede [peny.]) terdiri atas mereka yang kurang
mendapat pendidikan tinggi. Ini menyebabkan jangkauan pemikiran mereka menjadi terbatas...
Sementara itu, masyarakat sudah bergerak jauh ke depan sehingga para pemimpin tersebut tertinggal
di belakang... Muhammadiyah tampak mandek dewasa ini-tidak maju ke depan, namun tidak pula
mundur ke belakang... Karena kehadiran sejumlah institusi sosial non-Muhammadiyah...
Muhammadiyah mungkin akan segera ditinggalkan oleh masyarakat","
Di edisi yang sama, sebuah artikel berjudul "Kepemimpinan yang perlu dibenahi", Bachrun
Nawawi mengakui bahwa Muhammadiyah telah kehilangan monopolinya dalam ranah pendidikan
dan kesehatan, sembari mengusulkan bahwa sebuah pengumpulan data yang sistematis dan
perumusan strategi jangka panjang dibutuhkan melalui penggantian kepemimpinan oleh generasi
muda. Siti Waringah, seorang pemimpin aktif Nasyiatul 'Aisyiyah juga menulis bahwa,
"Muhammadiyah dan organisasi organisasi otonomnya mengalami kemunduran. Atau, dapat pula
dikatakan mengalami stagnasi. Para anggotanya, bahkan para pengurusnya, tengah kehilangan
loyalitasnya pada organisasi... Bagi beberapa pengurus, sekolah sekolah Muhammadiyah hanyalah
tempat singgah yang di sana mereka bisa mendapatkan tempat duduk yang sudah dipesan"."
Dalam merespons kritik-kritik tersebut dan tuntutan akan perubahan kepemimpinan, seorang
pengurus senior Muhammadiyah menjawab, "Perkembangan kalangan muda adalah sesuatu yang
diharapkan. Namun, bukan berarti bahwa mereka yang tua jumud dalam aktivitasnya. Mereka harus
tetap memainkan peranan dan tidak dipinggirkan."" Jelaslah sudah bahwa hingga beberapa tahun yang
akan datang tidak ada perubahan penting dalam hal arah dan komposisi pimpinan cabang yang dapat
kita amati.
Di dalam Brosur Lebaran, No. 29 1411 H/1991 M, isu stagnasi sekali lagi dikemukakan
dengan gamblang. Edisi itu punya tajuk khusus, "Cermin kemacetan kita dewasa ini", dan artikel itu
meliput hasil dari diskusi yang diikuti oleh sejumlah aktivis Muhammadiyah, muda dan tua, serta
laki-laki dan perempuan. Diskusi itu dipicu oleh kesadaran khalayak banyak bahwa Muhammadiyah
di Kotagede sedang "mengalami keterputusan atau bahkan stagnasi dari periode 1980-an hingga 1990-
an." Pada masa ini, perdebatan internal di kalangan aktivis Muhammadiyah tampak cukup panas.
Mungkin menarik juga untuk disebutkan di sini bahwa di edisi khusus Brosur Lebaran ini
muncul sebuah kritik yang bertentangan dengan pandangan saya tentang Muhammadiyah dalam
konteks mengevaluasi pelaksanaannya. Kritik tersebut disampaikan oleh Khoiruddin Bashori. 16
Sebagaimana disebutkan di atas, ia adalah putra almarhum Bashori Anwar, mantan Ketua PCM
Kotagede. Khoiruddin sendiri memperoleh gelar sarjana, master, dan doktor dari Universitas Gadjah
Mada dalam bidang psikologi dan menjadi guru besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
menduduki kursi rektor pada 2003-2008. Kini, ia merupakan salah satu intelektual terkemuka di
antara jejeran tokoh Muhammadiyah.

Profesor Khoiruddin melayangkan sebuah komentar terhadap makalah saya yang pernah saya
sajikan di sebuah konferensi di Australia pada 1980. Mengutip dari makalah saya 1980 ini, yang
dituangkannya dalam sebuah artikel berjudul "Manajemen Perubahan di Kotagede", ia berkomentar
bahwa makalah saya merupakan sebuah contoh optimisme yang berlebihan terhadap Muhammadiyah.
Kutipan yang diambil oleh Khoiruddin dari makalah saya adalah sebagai berikut:
Kana Muhammadiyah mampu merumuskan dan mengimplementasikan serangkaian
pembaruan sosial atas dasar ajaran Islam secara konkret, mantap, berkelanjutan selama bergenerasi-
generasi, adalah mungkin apabila organisasi itu akan berhasil ketika berhadapan dengan tantangan
berupa kondisi sosial yang baru, baik pada masa kini maupun di masa depan."
Inti kritiknya ialah:
[Namun,] masih bisakah pernyataan Nakamura menunjukkan validitasnya untuk saat ini?
Dalam konteks Kotagede di masa kini, artikel itu dirasa menunjukkan optimisme Nakamura yang
berlebihan. Mengapa demikian? Karena Kotagede sebagai sebuah kota santri dan salah satu "kantong-
kantong" Muhammadiyah, yang pernah sangat aktif dan dinamis, kini dirasakan sudah tak bernyawa
lagi. Selain itu, menurut teman-teman Brosur, belakangan ini terjadi keterputusan dalam proses
transfer nilai nilai agama dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya sehingga menghadirkan
kejumudan dalam dinamisme gerakan agama di antara generasi muda di tempat ini."
Dengan mengacu pada makalah saya yang dirilis pada 1980 (makalah itu didasarkan pada
penelitian lapangan saya pada 1970-1972), sebagai sebuah taksiran yang terlampau optimistis,
Profesor Khoiruddin menilai kejumudan gerakan Muhammadiyah di Kotagede di awal 1990-an
sebagai "tak bernyawa." Saya memandang komentar kritisnya tentang pengamatan saya sebagai
sesuatu yang sedikit anakronis lantaran dinamisme Muhammadiyah Kotagede pada awal 1970-an di
bawah kepemimpinan ayahnya tergolong cukup mengesankan. Bahkan, dinamisme itu begitu
impresifnya, sampai-sampai saya tidak mampu membayangkan kemungkinan stagnasi yang akan
melanda persyarikatan itu pada masa berikutnya.
Di luar keluhan saya, di sini saya harus mengakui keterusterangan Profesor Khoirudin dalam
mengakui penurunan yang dialami gerakan Muhammadiyah di Kotagede. Ia lalu mengusulkan
perlunya sebuah metodologi guna mengidentifikasi penyebab kemerosotan lewat kajian empirik dan
perlunya menyusun sebuah strategi guna mengatasinya. Sayangnya, usulannya di Brosur Lebaran
hanya memaparkan sebuah skema yang abstrak. Bahkan, setelah perdebatan terbuka pada 1991, ia
maupun aktivis Muhammadiyah lainnya-khususnya mereka yang mempelajari. ilmu-ilmu sosial-tidak
melakukan riset objektif tentang penyebab penyebab terjadinya kejumudan dan jurang antargenerasi.
Usulannya tentang penyusunan sebuah metodologi "manajemen perubahan di Kotagede" tetap
menjadi sebuah pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Sementara itu, di level pimpinan pusat,
peralihan generasi terjadi dengan berpindahnya tampuk kepemimpinan dari tangan K.H. A.R
Fakhruddin ke K.H. Azhar Basyir, M. A. pada 1990, dan kemudian ke Prof. Dr. Amien Rais pada
1994. Amien Rais mulai menyuarakan kritik yang vokal terhadap Presiden Suharto karena korupsi
dan salah urus sumber daya nasional, ia juga mendesak regenerasi kepemimpinan nasional dan
digalakkannya demokratisasi. Secara nasional Muhammadiyah mulai melangkah menuju kegemparan.
Namun, kejumudan terus menghantui PCM Kotagede. Sejak akhir 2000, Brosur Lebaran
masih mengangkat keluhan-keluhan terbuka seorang aktivis sebagaimana berikut: "Ada keterputusan
generasi di dalam kepengurusan PCM Kotagede... Keterputusan terjadi dikarenakan tidak adanya
kesempatan bagi generasi selanjutnya. Kepengurusan PCM Kotagede selama tiga periode terakhir
masih berkisar pada satu generasi, yaitu generasi dari Bapak Bashori Anwar, Yatiman Syafi'i, dan
kemudian Bapak Syamsuhadi Sehingga gmeras di bawah mereka banyak yang hilang dan terputus
Akan tetapi, perubahan kepemimpinan harus menunggu lima tahun kemudian.

Perubahan Kepemimpinan
Untuk lima tahun setelah 2000, seorang tokoh senior, Suhardjo MS (lahir pada 1937, putra tiri
Ibu Mardi yang disebutkan di atas) menduduki kursi Ketua PCM Kotagede. Lalu, pergantian generasi
yang signifikan terjadi pada 2005. Dalam rangka mengamati transisi kepemimpinan kepada generasi-
generasi Muhammadiyah yang lebih muda di Kotagede, agaknya daftar topik-topik utama Brosur
Lebaran dari 2000 hingga 2008 perlu ditampilkan."
Dari Tabel 10.2, kita bisa lihat bahwa generasi-generasi muda aktivis Muhammadiyah kian
tak sabar mewujudkan Muhammadiyah yang sebenar-benarnya karena mereka sudah bosan
mengunyah "realitas Muhammadiyah" yang tidak memuaskan.
Latar Belakang Pribadi Pemimpin-pemimpin Muhammadiyah
Pada 2005, sebelum musyawarah cabang PCM dan PCA Kotagede, kedua organisasi tersebut
merilis daftar calon ketua organisasi masing masing. Jelas bahwa terdapat perubahan penting dalam
hal latar belakang pribadi kepimpinan yang baru, khususnya dari segi pendidikan dan pekerjaan,
dibandingkan dengan kepemimpinan tua. Rincian mengenai daftar diringkas di Tabel 10.3 dan 10.4.
Sebuah perubahan penting dari generasi-generasi di masa lalu ditemukan pada tingkat
pendidikan. Nampak jelas bahwa banyak pemimpin dari generasi sebelumnya merupakan lulusan
Mu'allimin atau sekolah yang setara dengannya. Kini pola itu tak lagi dominan, dan hanya mencapai
13,7%. Sementara itu, lulusan perguruan tinggi merupakan yang mayoritas, sebanyak 78,5%. Di
antara para lulusan perguruan tinggi, kelompok terbesar adalah mereka yang berasal dari IAIN SK
(kini UIN (Universitas Islam Negeri] Sunan Kalijaga), sebuah institusi pendidikan tinggi terkemuka
dalam kajian Islam modern. Bekas perguruan tinggi untuk pelatihan guru nasional, IKIP Yogyakarta
(kini UNY [Universitas Negeri Yogyakarta]) berada di tempat kedua dengan 17,5%. Universitas
Gadjah Mada (UGM), salah satu universitas paling bergengsi di Indonesia dewasa ini, hanya
menyumbang seorang lulusan saja. Mereka yang lulus dari perguruan tinggi negeri diikuti oleh para
lulusan berbagai perguruan tinggi swasta, yaitu 12% dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY) dan 10% dari Universitas Islam Indonesia (UII)--universitas swasta tertua di Indonesia.
Jumlah lulusan perguruan tinggi dengan gelar sarjana mencakup empat orang yang memegang gelar
S2 (master) atau yang setara.
Latar Belakang Pribadi Para Pemimpin 'Aisyiyah
Mari kita mengalihkan perhatian ke pucuk pimpinan organisasi perempuan, 'Aisyiyah. Latar
belakang pribadi mereka diringkas di Tabel 104.
Harus dicatat bahwa para pemimpin perempuan rata-rata lebih tua tujuh tahun daripada
pemimpin Muhammadiyah. Ini mungkin karena mereka mulai aktif di organisasi tersebut di usia y
yang lebih aa dibandingkan pemimpin Muhammadiyah lantaran kewajiban mereka sebagai ibu dan
istri. Dalam contoh Ibu Umanah y yang telah disinggung di atas, ia menjadi Ketua PCA pada usia 48
setelah anak terkecilnya tamat sekolah dasar. Tempat kelahiran mereka juga terbatas di Kotagede
(81,13%), menunjukkan bahwa praktik endogami merebak di antara keluarga-keluarga
Muhammadiyah. Dalam hal pekerjaan, kategori pebisnis perempuan tergolong dominan, dengan
37,74%, mengindikasikan pentingnya peran perempuan dalam ekonomi lokal. Di sini, perlu dijelaskan
bahwa pegawai pemerintah dan pensiunannya (terutama mantan guru sekolah) menduduki posisi
terbesar kedua dengan 26,41%, dan jika ditambahkan dengan rekan mereka di pendidikan tinggi,
persentasenya menjadi 32,07%. Mereka yang hanya mengurus rumah tangga sebagai ibu rumah
tangga adalah minoritas, dengan 16,98%.
Dari sisi pendidikan, mereka yang mengenyam pendidikan tinggi merupakan yang terbanyak,
yakni 37,74%, lulusan sekolah menengah atas sebanyak 32,07%, dan sekolah menengah pertama
sebanyak 15,09%. Jadi, tingkat pendidikan para pemimpin 'Aisyiyah menjadi lebih tinggi. menyusul
para pemimpin Muhammadiyah.

Dimensi Sosial Kepemimpinan Baru


Sebagaimana disebutkan di atas, sejak awal 1990-an, generasi ketiga pemimpin
Muhammadiyah akhirnya muncul di Kotagede. Tabel 10.3 dan 10.4 menunjukkan data terbaru
mereka. Umumnya, mereka merupakan lulusan perguruan tinggi, sebagian besar dari IAIN, tapi
banyak juga dari institusi pendidikan tinggi sekuler. Dari segi pekerjaan, mereka mencakup sejumlah
pegawai pemerintah dan swasta. Dibandingkan dengan generasi tua pada 1971, jumlah pebisnis besar
(wiraswasta) di antara mereka telah menyusut, yakni dari 23,5% menjadi 17,6% pada 2005. Juga, di
data 1971 tentang anggota Muhammadiyah, 68,6% masuk kedua kategori sektor swasta, yakni
wiraswasta serta perajin, pedagang kecil dan buruk, berlawanan dengan 12,8% pegawai dan
profesional. Pada 2005, 58,8% pegawai bekerja di sektor swasta sementara 37,3% di sektor
pemerintah. Oleh karena itu, dalam komposisi pekerjaan secara keseluruhan, sektor pemerintah
meningkat tajam dibandingkan dengan swasta bahkan di kota seperti Kotagede yang dikenal sebagai
kota pedagang dan perajin. Sementara itu, pola lama pimpinan Muhammadiyah yang berintikan
ulama-plus-wiraswasta menghilang dengan cepatnya. Alih alih ulama independen, para dosen
universitas muncul sebagai pemimpin intelektual gerakan Muhammadiyah, bahkan di level lokal.
Jelaslah bahwa ada peningkatan pengetahuan agama, dari yang dulunya hanya diperoleh dari sekolah
menengah atas (juga Mu'allimin) ke tingkat pendidikan tinggi, atau bahkan ke tingkat pendidikan
pascasarjana, di IAIN/UIN. Fenomena itu menyebar di kalangan pucuk pimpinan Muhammadiyah
lokal. Selain mereka, kelompok lain di antara mereka juga tamat dari berbagai institusi pendidikan
tinggi sekuler, dan beberapa di antaranya melanjutkan karier dengan mengajar di sana. Orang-orang
ini mulai membawa pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam aktivitas persyarikatan.
Selain itu, kontribusi dari keahlian dalam bidang ilmu alam, teknologi, dan teknik sipil juga mulai
dirasakan di dalam gerakan itu.
Keanggotaan Umum Muhammadiyah
Saya gagal memperoleh data terpercaya tentang keanggotaan umum PCM Kotagede yang bisa
dibandingkan dengan data 1971 (lihat him. 154-163). Hal ini disebabkan oleh satu fakta yang
sederhana, kantor cabang tidak punya data para anggota. Konon, sistem lama-yaitu dengan
mendaftarkan di buku anggota secara manual dan penerbitan kartu anggota-berhenti dilakukan sejak
beberapa waktu yang lalu. Guna menggantikannya, Muhammadiyah secara keseluruhan
memperkenalkan sistem registrasi anggota yang baru menggunakan komputer dengan penerbitan
nomor seri anggota nasional. Kini tampaknya hampir semua anggota PCM Kotagede mempunyai
kartu anggota mereka (atau setidaknya nomor anggota, NBM). Secara teoretis, cara itu seharusnya
dapat menjamin ketersediaan informasi yang tepat tentang keanggotaan di tingkat cabang, kapanpun
dibutuhkan. Namun, dalam praktiknya, entah bagaimana, para pemimpin cabang tidak mampu
mendapatkan kembali informasi dari kantor pusat. Oleh karena itu, dewasa ini, tidak ada informasi
yang dapat diandalkan tentang anggota PCM Kotagede.
Maka, saya harus membuat perkiraan tentang jumlah anggota PCM Kotagede dan organisasi-
organisasi otonomnya. Untuk itu saya menggunakan dua sumber. Pertama adalah hasil pemilu baru-
baru ini. Sebagaimana telah kita lihat sebelumnya, dalam pemilu legislatif DPRD Kota Yogyakarta,
dua partai politik, yaitu PAN dan PPP, adalah yang paling mungkin menerima dukungan dari anggota
dan simpatisan Muhammadiyah. Keduanya meraih sekitar 5.000 suara dari Kecamatan Kotagede.
Tentu saja, jumlah anggota Muhammadiyah yang sebenarnya lebih sedikit dari ini. Sementara itu, ada
sebuah apel akbar dan sebuah parade setelahnya yang digalang oleh Angkatan Muda Muhammadiyah
(AMM) pada Minggu, 27 Januari 2007 ketika saya tengah berada di kota itu. Kegiatan itu merupakan
parade unjuk kekuatan oleh keluarga besar Muhammadiyah. Target resmi perihal jumlah orang yang
dimobilisasi adalah 1.500 orang. Namun, dalam perhitungan saya, peserta yang hadir jumlahnya lebih
banyak, ada sekitar 2.000 orang ambil bagian dalam rapat umum dan parade itu. Jadi, bila
disimpulkan bahwa jumlah orang yang menjadi bagian Muhammadiyah dan organisasi-organisasi
otonomnya diperkirakan setidaknya 3.000 orang untuk seluruh Kotagede.

Seandainya perkiraan ini tidak terlalu jauh dari kenyataan, maka keanggotaan umum keluarga
Muhammadiyah telah tumbuh lebih dari dua kali lipat, yaitu dari 980 orang (hanya laki-laki dewasa)
pada 1972 (lihat hlm. 155). Sementara itu, keseluruhan penduduk tumbuh dua kali lipat, dari kurang
lebih 17.000 menjadi 35.000 jiwa (lihat Tabel 8.1).
Tidak ada informasi yang terperinci mencakup atribut-atribut sosial dari anggota
Muhammadiyah secara umum. Saya hanya bisa mengungkapkan kesan bahwa Muhammadiyah sudah
semakin besar dan merangkul masyarakat kelas menengah ke bawah, dan bahkan orang miskin,
Diharapkan, di kemudian hari, pimpinan cabang akan melakukan survei tentang karakteristik-
karakteristik sosial anggotanya secara umum, dalam rangka mendapatkan informasi yang terperinci
tentang hal itu sehingga perencanaan yang tepat bisa dibuat untuk pengelolaan organisasi tersebut.
Pembaru yang Memperbarui: riwayat hidup Bachrun Nawawi
Untuk menggambarkan berbagai tren yang mewabah di antara generasi baru pemimpin
Muhammadiyah, biografi Bachrun Nawawi kan ditampilkan di sini. Ila lahir pada 1944, ayahnya
adalah Kiai Nawawi seorang khatib di Masjid Perak," sedangkan ibunya merupakan seorang
pedagang pakaian di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Ketika ia masih mahasiswa tahun ketiga di
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan
ke University of Western Australia, dan mengantongi gelar diploma dalam pendidikan, Saat kembali
ke Yogyakarta, ia bekerja dengan Foster Parents Program (FPP) dan dikirim ke Bantul dan Gunung
Kidul sebagai seorang pekerja lapangan. FPP kemudian menugaskannya ke Afrika sebagai direktur
pengembangan masyarakat selama lebih dari delapan tahun. Tatkala kembali ke Indonesia, ia dikirim
ke Sumbawa, NTB, untuk mengarahkan sebuah program pengembangan masyarakat hingga 1996.
Kemudian ia mundur dari FPP. Menyadari pentingnya pernikahan dan keluarga, ia pulang kampung
dan menetap di Kotagede untuk seterusnya. Ia membeli sawah seluas 3.000 m² di Bantul, yang
hasilnya cukup untuk mendukung nafkah keluarganya. Lalu, dengan menggeloranya Reformasi, ia
bergabung dengan PAN dan terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi DIY melalui Pemilu 1999.
Namun, ia langsung kecewa dengan politik kepartaian yang menurutnya, penuh dengan egoisme dan
kepentingan. Ia mundur dari dunia politik setelah 2004 dan sejak saat itu memusatkan perhatiannya
pada urusan-urusan yang berkaitan dengan Muhammadiyah.24
Ia menjadi sangat kritis terhadap kepemimpinan cabang Muhammadiyah sejak awal 1980-an,
terutama karena kepemimpinan tersebut tidak peka terhadap perubahan sosial yang tengah terjadi
sembari menikmati monopoli yang menyenangkan di ruang publik. Monopoli itu dilahirkan oleh
penyingkiran kaum komunis dan nasionalis-kiri setelah 1965. Beberapa tahun kemudian, ia
memperingatkan bahwa monopoli Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan kesehatan terancam
dengan kehadiran sekolah-sekolah swasta non-Muhammadiyah dan puskesmas-puskesmas milik
pemerintah. Ia kemudian mengusulkan agar Muhammadiyah merumuskan tindakan-tindakan konkret
demi mempertahankan daya saingnya di bidang-bidang itu. la mendesak Muhammadiyah agar
membentuk sebuah satuan tugas khusus guna mengumpulkan data dan mendesain program-program
jangka panjang yang bisa merespons berbagai konsekuensi yang dihadirkan oleh perubahan sosial. Ia
juga menekankan perlunya regenerasi kepemimpinan Muhammadiyah guna mengatasi stagnasi, tapi
ia gagal memperoleh dukungan dari para anggota.
Tampaknya, kritik-kritiknya menghadapi perlawanan sengit dari generasi tua hingga lahirnya
Reformasi di akhir 1990-an. Sejak saat itu, ia menerima sokongan yang lebih kuat dari generasi muda.
Sebenarnya, ia menerima jumlah suara terbanyak dalam pemilihan ketua pada Musyawarah Cabang
PCM Kotagede pada 2005, namun komite pemilihan memutuskan untuk memilih Kaharuddin,
mungkin lantaran usianya (61 tahun pada saat itu). Sebaliknya, Bachrun terpilih sebagai dewan
penasihatnya bersama-sama dengan Ahmad Charris Zubair. Kepemimpinan PCM Kotagede kini
sebagian besar terdiri atas mereka yang mau mempertimbangkan ide-ide Bachrun. Masih perlu dilihat
seberapa cepatkah dan sejauh manakah Muhammadiyah Kotagede dapat berevolusi sejalan dengan
arah yang disarankan oleh Bachrun Nawawi, Charris Zubair, dan para mantan pengkritik lainnya.

Kaharuddin Noor: seorang pemimpin muda


Sang ketua yang sebenamya terpilih untuk menakhodai PCM Kotagede untuk periode 2006-
2010 adalah Kaharuddin Noor (lahir pada 1963), yang semenjak kecil sudah menjadi aktivis
Muhammadiyah di Kotagede. Ayahnya, Wazir Noor, merupakan seorang penjahit yang piawai dalam
menjahit kemeja batik, reputasinya amat baik di mata para pelanggan setempat. Ia sudah lama
menjadi aktivis Muhammadiyah di level ranting. Kaharuddin masuk sekolah-sekolah Muhammadiyah
di Kotagede, dan kemudian melanjutkan ke IAIN SK (Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga) di
Yogyakarta. Setelah memperoleh gelar sarjana, ia bekerja di Departemen Agama dan ditugaskan di
Kulon Progo, sebuah kabupaten di barat daya Kabupaten Bantul, dan tempat-tempat lainnya hingga ia
dipanggil kembali ke Departemen Agama Kota Yogyakarta pada 1990.
Selama kehidupannya di kampus dan kantor, ia terlibat aktif dalam Muhammadiyah, termasuk
mengurusi Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Yogyakarta. Berbeda dari sebagian besar
pendahulunya, ia bukan berasal dari keluarga-keluarga elite, padahal mayoritas pucuk pimpinan
cabang Muhammadiyah berasal dari keluarga semacam itu. Dalam hal ini, ia mematahkan tradisi dan
banyak mencerminkan corak keanggotaan yang berlaku kini, yang beralih dari strata sosial kota
menengah ke atas menjadi strata sosial kota menengah dan menengah ke bawah. Di bawah
kepemimpinan Kaharuddin. sejumlah perbaikan pun dijalankan. Salah satunya ialah memperkuat
Majelis Penelitian dan Pengembangan. Pengumpulan data yang objektif diharapkan dimulai dalam hal
keanggotaan Muhammadiyah dan organisasi-organisasi otonomnya, sehingga program-progran
aksinya bisa dirumuskan dengan tujuan-tujuan yang lebih realistis.
Menghadapi Masalah Kemasyarakatan Bersama
Dengan meningkatnya nilai penting Muhammadiyah sebagai sebuah kekuatan sosial dalam
komunitas lokal, sejumlah anggotanya pun mulai terlibat dalam administrasi lokal. Sesungguhnya,
dua Wali kota Yogyakarta belakangan ini (H. Herry Zudianto, menjabat 2001-2011, juga H. Haryadi
Suyuti, menjabat mulai 2011-[peny.]) adalah anggota Muhammadiyah, demikian pula beberapa
kepala kelurahan dan RW di Kotagede. Situasi ini mendesak Muhammadiyah untuk menjelaskan
posisinya dalam sejumlah permasalahan kemasyarakatan yang lahir karena cepatnya transformasi
kehidupan kota. Ini mencakup kemacetan lalu lintas yang kian parah dan tersendatnya lalu litas di
pasar, polusi udara dari mobil yang jumlahnya semakin meningkat, dan polusi yang mungkin
mencemari air bawah tanah lantaran penggunaan bahan kimia tertentu dan logam nadir dalam
memproses perak dan logam-logam lainnya (yakni bahaya dari apa yang disebut sebagai "penyakit
Minamata" di Kotagede), polusi yang disebabkan oleh konsumsi rokok di tempat umum (rokok
merajalela di antara para remaja), meningkatnya kerusakan moral termasuk prostitusi, perjudian,
alkoholisme, MBA (marriage by accident, atau menikah karena terlebih dahulu hamil di luar nikah)
(lihat Tabel 10.2 di atas).
Beberapa pemimpin Islam menyuguhkan alasan tentang perlunya aksi langsung untuk
mencegah berbagai macam keburukan itu, yang dalam Al-Qur'an disebut amar makruf nahi mungkar
("mengajak kepada kebaikan, mencegah keburukan", QS. Ali Imran: 104). Menurut penafsiran
mereka, dalam bernahi mungkar ("mencegah keburukan") Muslim diwajibkan untuk melancarkan aksi
langsung melawan semua pelaku penyimpangan (atau dosa) jika dikiranya tidak sanggup diatasi oleh
pemerintah." Akan tetapi, arus utama Muhammadiyah, menganjurkan persuasi yang bersahabat, dan
menghindari kekerasan.
Secara keseluruhan, komunitas Muslim diserukan untuk mengajukan alternatif-alternatif
kebijakannya untuk berkontribusi dalam mempromosikan kebaikan bersama dalam masyarakat, dan
Muhammadiyah diharapkan dapat mengambil inisiatif dalam menjalankannya.

Prospek Kepemimpinan Baru


Dengan lambannya peralihan generasi kepemimpinan nasional, kepemimpinan PCM
Kotagede akhirnya merasakan peremajaan kembali lewat musyawarahnya pada 2005-sebagaimana
kita lihat di atas. Bachrun Nawawi, yang sudah lama meminta dengan tegas adanya peralihan
kepemimpinan kepada generasi muda, kini diangkat sebagai penasihat PCM Kotagede. Demikian pula
A. Charris Zubair sebagai anggota dewan penasihat. Erwito Wibowo, seorang budayawan, juga terjun
dalam PCM Kotagede untuk mengepalai Lembaga Seni Budaya dan Olahraga. Ketua yang baru saja
terpilih, Kaharuddin Noor, sebagaimana disebutkan di atas, bukan berasal dari keluarga elite
Muhammadiyah, melainkan dari sebuah keluarga biasa.
Aktivitas Muhammadiyah kultural di luar organisasi formal Muhammadiyah, seperti
pengelompokan di sekitar Saleh Udden (Sholehuddin) dan Natsier di Yayasan Kanthil, dan Charris
serta Erwito di PUSDOK, semakin menggelora. Di sini kita dapat mengamati adanya upaya-upaya
yang jelas dan positif dalam menyelaraskan Islam dan tradisi kultural setempat. Sebagaimana
ditunjukkan oleh Muhajir Darwin, bersama-sama dengan tren Islamisasi, yang sudah berjalan selama
beberapa dekade, sebuah tren Jawanisasi tandingan atau sejajar terbangun di dalam Muhammadiyah
itu sendiri." Salawatan menjadi hal standar dalam pertunjukan kesenian di berbagai aktivitas sekolah-
sekolah Muhammadiyah. Pertunjukan gamelan juga kerap mewarnai introduksi kegiatan kultural
Muhammadiyah. Pertunjukan wayang kulit atau yang wong terkadang disponsori oleh
Muhammadiyah sendiri, baik secara organisatoris maupun secara pribadi oleh anggotanya.
Sebagaimana akat kita lihat di Bab 12, berbagai interaksi dialektik antara Islam dan budaya lokal ini
memuncak pada Festival Kotagede '99.
Corak ekplisit lain dari Muhammadiyah Kotagede ialah terus dimasukkannya berbagai
perspektif nasional dan internasional oleh mereka yang aktif di cakrawala-cakrawala tersebut. Habib
Chirzin (lahir pada 1949), yang awalnya merupakan pemimpin Pemuda Muhammadiyah di Kotagede,
namanya mencuat di pentas nasional dan internasional. la, salah satunya, pernah menjabat sebagai
anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), 2002-2007, dan juga aktif di dunia
internasional sebagai salah satu pendiri Asian Muslim Action Network (AMAN) dan berbagai
organisasi regional dan global lainnya. la merupakan penganjur yang vokal dalam dialog antaragama
dan pluralisme di era pasca-Reformasi. Dharwis Khudori, yang mendapat gelar doktor dari Sorbonne,
kini tinggal dan mengajar di Prancis. Sebagai seorang ahli dalam bidang arsitektur dan perencanaan
kota, ia terlibat langsung dalam berbagai upaya untuk memulihkan dan melestarikan warisan urban di
Kotagede setelah kota itu rusak dihantam gempa bumi 2006. Muhadjir Darwin (lahir pada 1953, juga
telah dikutip di atas), juga berasal dari Kotagede, mendapatkan gelar Ph. D. dari University of
Southern California. la tinggal di luar Kotagede di sisi sebelah utara kota Yogyakarta dan pernah
mengepalai salah satu lembaga riset bergengsi di Universitas Gadjah Mada, yakni Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan. Ia merupakan seorang ahli dalam bidang gender dan hak reproduksi,
dan terlibat dalam pembentukan sejumlah jaringan yang mencakup Asia Tenggara dan Asia Pasifik
untuk mereka yang menaruh perhatian pada ilmu sosial dan ilmu kedokteran, khususnya kesehatan
dan hak reproduksi." la sangat menganjurkan penafsiran ulang ajaran Islam dalam konteks etika sosial
kontemporer. Umpamanya, dalam khotbah yang ia sampaikan dalam Idul Adha 1428 H/2007 M ia
mendesak komunitas Muslim Kotagede untuk ambil bagian dalam kurban sosial. Di acara itu mereka
yang beriman diharapkan dapat menggelontorkan investasi yang produktif dalam bisnis sosial demi
kemaslahatan bersama."
Mungkin yang lebih penting untuk jangka panjang, mayoritas anak anak dari orang-orang
generasi ketiga Muhammadiyah tumbuh besar dan dididik dalam lingkungan lintasbudaya dan dapat
menyesuaikan diri dengan cakrawala global secara alamiah. Mereka diharapkan dapat segera memberi
kontribusi penting bagi perkembangan masyarakat Kotagede-jika bukan secara langsung kepada
Muhammadiyah-di era globalisasi yang baru ini.

Sebagaimana telah kita lihat di atas, mereka yang muda dan kritis beberapa dekade silam kini
sudah menjadi generasi bapak dan ibu pula. Partisipasi mereka dalam kepemimpinan Muhammadiyah
Kotagede tampak membawanya pada tahapan kedewasaan yang baru. Sekarang kemampuan
kepemimpinan baru dalam menghidupkan kembali organisasi yang telah berusia lebih dari seabad itu
tengah diuji. Dapatkah inisiatif-inisiatif mereka diterima dan diterapkan di level lokal? Masa depan
Muhammadiyah di Kotagede sangat tergantung pada upaya menghidupkan kembali persyarikatan ini.

Anda mungkin juga menyukai