Anda di halaman 1dari 10

PENCAPAIAN-PENCAPAIAN MUHAMMADIYAH

Latar Belakang: "Lubang Hitam" Sejarah


Sebelum mengulas pencapaian Muhammadiyah di Kotagede, kiranya kita perlu membuat
sebuah pengingat sederhana untuk kita sendiri yang berisikan salah satu titik tolak dari periode yang
kita amati. Saya sudah menyebutkan poin tersebut dalam bagian mengenai diversifikasi politik di Bab
8. Saya mengacu kepada "lubang hitam" dalam sejarah Kotagede (lihat Kotak 9) untuk menjelaskan
perkembangan Muhammadiyah selanjutnya. Tidak diragukan lagi, kaum komunis merupakan
kekuatan ideologis dan sosial yang paling bermusuhan dengan Persyarikatan Muhammadiyah di
Kotagede sejak masa sebelum Perang Dunia II. Namun, mereka lumpuh nyaris dalam semalam di
akhir 1965 melalui pencekalan sejumlah besar anggota PKI dan organisasi-organisasi sayapnya, dan
pelarangan permanen aktivitas mereka sesudah itu.
Sejak saat itu, Muhammadiyah membangun kekuatannya dalam kondisi yang sangat kondusif
lantaran menghilangnya PKI dari ruang publik menciptakan kekosongan. Pemerintah pusat
mengambil kebijakan antikomunisme yang keras. Untuk itu, pemerintah melancarkan propagandanya
melalui P2A di tingkat lokal. Proyek itu melibatkan para tokoh agama lokal, yang dalam kasus
Kotagede sebagian besarnya dari Muhammadiyah, sebagai pembicara dalam serangkaian pengajian
yang diadakan setiap tiga puluh lima hari. Pengajian tersebut ditujukan untuk mengumpulkan "orang-
orang G30S/eks-PKI" untuk pelaporan dan pemeriksaan rutin terkait ideologi mereka. Sebagaimana
dinyatakan oleh salah satu pemimpinnya, tugas langsung Muhammadiyah setelah 1965 adalah
"memulangkan orang-orang eks-PKI ke tempatnya".
Sulit untuk mengumpulkan informasi soal seberapa efektif "sesi sesi cuci otak" ini karena
setiap topik yang terkait dengan PKI harus dihindari selama masa penelitian lapangan saya yang
pertama. Namun, saya lalu menyadari bahwa banyak wajah yang dikenal di pengajian eks PKI-saya
diizinkan untuk mengikuti pengajian itu-aktif pula dalam ritual komunal Islam seperti pengumpulan
dan pembagian zakat fitrah selama Idul Fitri dan penyembelihan hewan kurban dan pembagian daging
hewan kurban selama Idul Adha. Tampak bahwa sejumlah orang eks-PKI pulih secara sosial lewat
jalur agama.
Berbekal pengetahuan akan latar belakang sejarah ini, mari kita lihat pencapaian-pencapaian
Muhammadiyah di kota itu di sepanjang kira-kira empat puluh tahun terakhir. Sebagai sebuah gerakan
sosial keagamaan. Muhammadiyah berjuang mewujudkan "masyarakat Islam sebenar-benarnya"
lewat (1) dakwah, (2) pendidikan, dan (3) mendorong kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, penilaian
saya akan difokuskan pada tiga aspek di atas.
Dakwah
Sulit untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan dakwah secara persis, karena, pada
akhirnya, hasilnya merupakan masalah hati nurani individu. Namun, suatu cara untuk mendekati
masalah itu jalah dengan melihat perilaku luaran masyarakat dan institusi-institusi yang diciptakan
oleh masyarakat. Untuk itu, pertumbuhan masjid di kota itu mungkin merupakan indikator yang baik.
Jadi, pertama-tama saya akan melacak pertumbuhan masjid dan, kemudian, aktivitas yang diadakan di
sana.
Masjid
Pada 1972, saat saya meninggalkan Kotagede setelah masa penelitian lapangan saya yang
pertama usai, hanya ada dua masjid di kota itu, yaitu Masjid Agung Kotagede yang sudah tua dan
Masjid Perak yang baru.
Pada 1978, sebuah survei yang dilakukan oleh seorang aktivis Muhammadiyah menghasilkan
daftar berisi 8 masjid dan 18 langgar yang ada di Kampung Kemantren Kotagede (lihat Tabel 9.1).
Dua masjid lainnya terletak di Kotagede bagian Bantul, yakni Masjid Agung Kotagede yang paling
tua dan sebuah masjid yang baru saja dibangun, Masjid Al-Huda di Bodon (Gambar 9.1) harus
dimasukkan ke dalam daftar tersebut dalam rangka mencakup semua kawasan Kotagede untuk 1978.
Selain itu, daftar ini tidak mencakup masjid yang baru saja dibangun tahun itu, yaitu Masjid
Baiturrahman di Selokraman, Alun Alun (Gambar 9.2). Keseluruhan, tampak ada 11 masjid yang
eksis di Kotagede pada 1978.
Pada 2010, saya menjumpai ada 51 masjid di Kotagede. Itu berarti 40 masjid lainnya
dibangun setelah 1978. Selain itu, ada 48 musala dan langgar untuk shalat lima waktu. Kecuali
beberapa masjid, rumah rumah ibadah umat Islam ini berada di bawah manajemen PCM Kotagede.
Saya mendapatkan sebuah buklet yang dirilis pada 2003 oleh Majelis Tabligh & Da'wah Khusus Seksi
Kemasjidan. Buku itu memuat sebuah daftar khatib untuk dilayangkan oleh Pimpinan Cabang
Muhammadiyah Kotagede kepada 47 masjid di Kotagede itu secara bergiliran. Di masing-masing
masjid tersebut, seorang sebuah dewan takmir digerakkan oleh para anggota Muhammadiyah
setempat. Konon, setiap Jumat, semua masjid dipenuhi oleh para laki-laki yang datang untuk
menunaikan shalat Jumat berjamaah.
Idul Fitri dan Idul Adha
Pada dua hari raya Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, shalat berjamaah diselenggarakan di
bawah asuhan Muhammadiyah, bertempat di lapangan olahraga terbuka di Karang, yang luasnya
mencapai 1 hektar. Khatib untuk dua hari raya ini biasanya diundang dari luar Kotagede. Menurut
pimpinan Muhammadiyah, jumlah orang yang ambil bagian dalam shalat jamaah pada dua hari raya
ini meningkat dari tahun ke tahun. Sebenarnya, saya menyaksikan pemandangan shalat berjamaah
terbuka di Karang pada Idul Adha 28 November 2009. Lapangan olahraga yang luas ini dipenuhi oleh
laki-laki dewasa, anak laki-laki, perempuan dewasa, dan anak perempuan-sampai ke sisi jalan-yang
jumlahnya diperkirakan lebih dari 10,000 orang (lihat Gambar 9.3).
Zakat fitrah, salah satu rukun yang wajib ditunaikan Muslim, merupakan sebuah ranah yang
berhasil diperbaruhi oleh Muhammadiyah (lihat hlm. 105-115). Saya gagal mendapatkan data tentang
praktik pengumpulan dan pembagian zakat fitrah di tahun-tahun belakangan ini. Namun, saya
menduga praktik tersebut menjadi lebih sistematis dan efektif sejak 1970-1972. Demikian pula halnya
dengan kurban, sebagaimana akan ditunjukkan belakangan di bab ini.
Selain shalat Jumat dan shalat Id, PCM Kotagede juga memberikan sejumlah pengajian juga
rutin di masjid, musala, dan tempat pertemuan umum lainnya. Pengajian-pengajian semacam itu diisi
oleh para aktivisnya atau penceramah dari luar. PCM Kotagede sendiri menggelar pengajian Ahad
pagi secara rutin, dari pukul 05.30 hingga 06.30 di Masjid Al-Huda di Jagalan. Pengajian sudah
dimulai sejak 1986 di masjid yang lain, yang rusak karena gempa bumi 2006. Pengajian itu lalu
dipindahkan ke Masjid Al-Huda yang sampai sekarang berjalan tanpa gangguan. Setiap pengajian
dihadiri oleh sekitar rata-rata 350 jamah laki-laki dan perempuan.
Pengajian skala besar lainnya yang digelar secara rutin oleh para aktivis Muhammadiyah
adalah pengajian yang diadakan di Gedung Da'wah Al-Qur'an di Selokraman. Pengajian itu diadakan
setiap Selasa pagi (demikianlah ia dinamakan pengajian Selasa pagi) dari pukul 05.30 hingga 06.30,
dihadiri kurang lebih 250 laki-laki dan perempuan.
Ada pula pengajian besar lainnya yang dikelola oleh Persaudaraan Djama'ah Haji Indonesia
(PDHI) Cabang Kotagede, sebuah organisasi bagi para haji yang sudah kembali dari Mekkah, yang
sebagian besarnya merupakan anggota dan simpatisan Muhammadiyah. Pengajian ini juga
diselenggarakan setiap Rabu pagi (pengajian Rabu pagi) dari pukul 05.30 sampai 06.30 di Gedung
PDHI dekat Sungai Gajah Wong (Lihat Gambar 9.4 sampai 9.6).
Selain pengajian-pengajian yang terbuka untuk umum tersebut, ada banyak pengajian yang
diadakan oleh berbagai ranting dan organisasi otonom Muhammadiyah seperti 'Aisyiyah
(perempuan), Nasyiatul 'Aisyiyah (pemudi), Pemuda Muhammadiyah (pemuda), Angkatan Muda
Muhammadiyah (AMM) sebagai sebuah organisasi payung untuk anak laki-laki dan perempuan, dan
Forum Koordinasi Pengajian Anak (FOKOPA). Ada juga kelompok-kelompok pengajian kecil,
termasuk salah satunya yang fokus pada kajian teks Hadis tertentu dan diselenggarakan di Masjid
Perak setiap Senin malam. Seorang pengamat pernah menuturkan bahwa, "Tampaknya tidak ada satu
haripun yang berlalu tanpa adanya pengajian di suatu tempat di Kotagede”.
Dalam pengajian massal tahunan yang diadakan di Masjid Agung Mataram untuk
memperingati Tahun Baru Islam 1430H, Prof. Dr. Amien Rais (mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah dan kini merupakan seorang negarawan terkemuka) diundang untuk bicara (lihat
Gambar 9.7). Hadirin yang datang demikian banyak, sampai-sampai, konon, 1.000 gelas teh dan
makanan ringan tidak mencukupi.
Peserta dalam pengajian-pengajian ini umumnya anggota dan simpatisan Muhammadiyah,
meskipun tidak selalu. Saya bertemu dengan seorang laki-laki pensiunan yang pernah bekerja di
sebuah perusahaan Jepang. Ia tidak hanya menghadiri sejumlah pengajian yang diadakan oleh
Muhammadiyah di berbagai tempat berbeda, namun juga pengajian-pengajian yang digelar oleh PKS
bahkan Majelis Mujahidin Indonesia (pegiat jihad) di luar Kotagede. la berkata bahwa, secara pribadi,
ia ingin membandingkan tema yang dibicarakan oleh para penceramah dari berbagai kelompok yang
berbeda. Sementara itu, warga NU berkumpul untuk shalat lima waktu, shalat Jumat dan shalat Id di
masjid-masjid yang ada di pesantren mereka.
Pengajian merupakan sarana bagi Muhammadiyah, melalui acara itulah pesan inti mereka,
amar makruf nahi mungkar ("mengajak kepada kebaikan, mencegah keburukan"), disampaikan
langsung pada jamaah. Hingga kini, komunikasi agama Muhammadiyah dari segi isi dan gaya
tampaknya mendapat sambutan hangat, baik oleh para pembicara maupun jamaah. Energi
Muhammadiyah untuk pengajian tampak masih kuat.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah
Pilar lain gerakan Muhammadiyah adalah pendidikan berbasis sekolah. Sejak awal, gerakan
itu berjuang mendirikan dan mengelola sekolah yang di sana mata pelajaran-mata pelajaran sekuler
modern diajarkan bersandingan dengan mata-mata pelajaran agama Islam, sebagaimana telah kita
lihat di Bab 4. Langkah ini dipertahankan dan dikembangkan lebih lanjut selama empat puluh tahun
terakhir. Sejak tahun ajaran 2006-2007, sekolah-sekolah berikut ini beroperasi di bawah manajemen
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PCM Kotagede: 5 SD (sekolah dasar); 1 SMU (sekolah
menengah umum, terkadang disebut juga sebagai SMA sekolah menengah atas); dan 1 SMK (sekolah
menengah kejuruan). 'Aisyiyah mendirikan 13 taman kanak-kanak (TK) di berbagai kampung di
Kotagede. Sekolah-sekolah itu punya kesuksesan dengan tingkat berbeda-beda terkait jumlah anak
dan murid diterima (Lihat Tabel 9.2)
Masing-masing sekolah-sekolah Muhammadiyah ini punya sejarah yang panjang, beberapa di
antaranya bahkan sudah ada sejak masa awal kedatangan Muhammadiyah di Kotagede seperti SD
Muhammadiyah Bodon. Di awal berdirinya pada 1924, sekolah itu hanyalah sekolah yang sederhana
saja, dengan menggunakan sebuah rumah pribadi milik Haji Masyhudi sebagai ruang kelas
pertamanya. Setelah pindah dari satu pendopo ke pendopo lainnya, sekolah itu akhirnya mendapatkan
sebuah tempat permanen untuk beroperasi di Masjid Perak 1940-an. Lalu, sekolah itu akhirnya
menetap di lokasinya yang sekarang, yakni di sebuah rumah milik keluarga Atmosudigdo, yang
dulunya merupakan raja dagang di Bodon, Jagalan. Banyak guru di masa sebelum Perang Dunia II
justru tidak dibayar, atau hanya dibayar dengan gaji yang sangat kecil. Setelah perang dan revolusi,
Pemerintah Republik Indonesia mulai mencurahkan subsidi kepada sekolah-sekolah swasta, termasuk
yang dimiliki Muhammadiyah. SD Muhammadiyah Bodon juga mulai mendapatkan bantuan
pemerintah sejak 1951. Dekade 1950-an dan 1960 an merupakan masa-masa sulit bagi sekolah-
sekolah Muhammadiyah karena ketatnya persaingan dengan sekolah-sekolah pemerintah yang
sebagian besar gurunya merupakan anggota dan simpatisan PKI. Pada saat itu, banyak guru sekolah
Muhammadiyah merupakan lulusan sekolah tinggi pelatihan guru Muhammadiyah di Yogyakarta
Madrasah Mu'allimin (untuk anak laki-laki) dan Mu'allimaat (untuk anak perempuan). Beberapa
mahasiswa yang berasal dari sejumlah keluarga Muhammadiyah juga mengajar di sana dengan
sukarela.
Tepat sebelum Peristiwa G30S, yaitu pada Agustus 1965, sebuah SMP Muhammadiyah di
Kotagede, yang kemudian berevolusi menjadi SMP Muhammadiyah 7, mulai menerima murid yang
jumlahnya terus meningkat. Mereka menyelesaikan sekolah dasar Muhammadiyah. Namun
dibutuhkan waktu, kerja keras, serta loyalitas sejumlah individu untuk menjalankan sekolah-sekolah
tersebut."
Setelah 1965, dengan perubahan gelombang ideologi nasional yang menjadi antikomunis dan
dengan penekanan resmi pada pendidikan agama, sekolah-sekolah Muhammadiyah berhasil meraih
perkembangan berkelanjutan, meningkatkan penerimaan murid baik secara lokal maupun nasional.
Pada 1978, sebuah sekolah menengah atas, yaitu SMA Muhammadiyah Yogyakarta 4,
didirikan di kompleks Masjid Perak untuk menyediakan pendidikan lanjutan Muhammadiyah bagi
lulusan SMP. Sejak pertengahan 1980-an dan 1990-an, berkat tingginya permintaan akan pendidikan
sekolah dan sokongan pemerintah bagi sekolah-sekolah swasta, khususnya sekolah-sekolah Islam,
berbagai macam sekolah Muhammadiyah pun tumbuh subur. Sementara itu, sejumlah besar
sumbangan atau wakaf berupa tanah-tanah pribadi kepada sekolah-sekolah Muhammadiyah dan
berbagai fasilitas keagamaan lainnya menjadi pondasi yang kuat bagi mereka (informasi lebih rinci
tentang wakaf akan didiskusikan nanti).
Meskipun situasi setelah 1965 secara umum menguntungkan, SMP Muhammadiyah 7
Yogyakarta (disingkat dengan MUTU; mutu juga berarti 'kualitas tinggi) mengalami rentetan sejarah
monoton di sepanjang 1970-an-sebagaimana disebutkan di atas. Ini terutama sekali disebabkan oleh
ketidaktentuan dalam pasokan staf pengajar dan kesulitan dalam menemukan lokasi permanen.
Namun, sejak 1981, sekolah itu sudah mapan di Purbayan. Keluarga Kridoharsoyo, yang
sebelumnya tinggal di kawasan itu, memberikan hak pakai sebidang tanah yang luas kepada SMP
Muhammadiyah 7 Yogyakarta. Drs. Kusnaeni (lahir pada 1924), salah seorang anggota keluarga
tersebut, dan satu-satunya ahli waris, adalah orang yang membuat keputusan soal ini. Setelah belajar
di Jepang selama dan sesudah Perang Dunia II, ia bekerja untuk pemerintah pusat di Jakarta selama
bertahun-tahun. la dan istrinya yang berdarah Jepang, Machiko-san, masih tetap tinggal di Jakarta.
Ketika saudaranya bertanya padanya apakah ia tertarik untuk membantu sekolah Muhammadiyah di
kota asal mereka, ia memberikan jawaban positif. Gayung pun bersambut, setelah bernegosiasi
dengan Muhammadiyah Kotagede, ia setuju untuk memberikan hak pakai tanah Jeluhurnya yang
seluas 2.700 m² kepada Muhammadiyah. Ini merupakan sebuah awal yang baik bagi SMP
Muhammadiyah 7 Yogyakarta untuk berkembang pesat. Pada 2010, sekolah itu dianggap sebagai
salah satu SMP terbaik di antara SMP-SMP Muhammadiyah lain di Yogyakarta,
Sikap positif yang ditunjukkan Drs. Kusnaeni dalam membantu perkembangan sebuah
sekolah Muhammadiyah tentu menyita perhatian kita. Alih-alih mewakafkan tanah itu secara total
kepada sekolah tersebut, ia masih mempertahankan kepemilikan. Menurutnya, kesepakatannya adalah
sebagai berikut:
Saya tak suka gagasan itu (wakaf). Karena konsekuensinya ialah bahwa hubungan kami
dengan Kotagede akan berakhir jika tanah itu diberikan kepada Muhammadiyah. Kami tidak akan
punya apa-apa lagi. Kami harus menjaga hubungan kami dengan Kotagede karena para leluhur kami
dimakamkan di sana. Anda mungkin tidak khawatir dengan apa yang terjadi setelah Anda meninggal,
namun saya peduli. Anak-anak saya masih akan bisa mengunjungi Kotagede. Ini adalah alasan
pertama. Alasan kedua ialah bahwa jika kita mengakhiri hubungan kita, maka itu artinya tidak ada
urusan lagi dengan Kotagede. Saya tidak mau hal ini terjadi karena sekolah itu masih membutuhkan
bantuan kami. Sejumlah murid menerima beasiswa dari kami. Saya memberikan Muhammadiyah hak
pakai tanah itu untuk selamanya sampai keturunan saya berpikir sebaliknya... Demikianlah
kesepakatan itu dibuat."

Jadi, untuk menjaga agar hubungannya dengan sekolah itu tetap hidup, Drs. Koesnaeni
memberikan sejumlah beasiswa setiap tahunnya kepada murid berbakat namun tak mampu di sekolah
itu. Saudaranya juga menyumbangkan sejumlah gamelan ke sekolah itu. Di sini, kita bisa melihat
sebuah pola "pulang kampung" yang menarik dari penduduk kota, berusaha terus menghidupkan
hubungan dengan desa asal mereka. Drs. Kusnaeni dan istrinya, Machiko-san, berharap agar anak-
anak mereka akan meneruskan ikatan mereka dengan Kotagede di masa depan.
Di antara sekolah-sekolah Muhammadiyah di Kotagede, yang paling kompetitif dalam hal
prestasi dibandingkan dengan sekolah sekolah serupa di Yogyakarta adalah SMK (sekolah menengah
kejuruan) Muhammadiyah 3 Giwangan, yang tempatnya tepat di luar Kotagede. Sekolah itu didirikan
pada 1987 di atas sebidang tanah yang luas, yang sebelumnya digunakan untuk mengeringkan hasil
panen dan sebagai tempat untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha berjamaah bagi warga
Muhammadiyah Kotagede. Tanah seluas 3.000 m² itu dibeli atas nama Muhammadiyah Kotagede
melalui dana yang disiapkan oleh H. Syamsuhadi dan H. Muhammad Chirzin, keduanya merupakan
tokoh kelas wahid dalam PCM Kotagede." Tanah tempat berdirinya sekolah itu kini diperluas hingga
18.810 m² berkat sejumlah kontribusi tambahan. Almarhum Haji Ismail dilaporkan memberikan dana
awal untuk pembangunan gedung-gedung sekolah, yang kini luas bangunannya dasarnya mencapai
9.827 m². Ia merupakan orang asli Kotagede dan memiliki sebuah toko, Terang Bulan, kini
merupakan toko batik terbesar di Jalan Malioboro di Yogyakarta. Sekolah itu berlokasi di jalan utama
yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan desa di pedalaman selatan. Sekolah itu menarik
banyak murid yang meminati delapan jurusan spesialisasi: mekanika mobil, teknik mesin, pengelasan,
instrumen audio-visual, listrik, desain arsitektur, perkayuan, dan komputer serta jaringan. Sebagian
besar lulusannya dapat dengan mudah mendapat pekerjaan setelah tamat. Ada banyak pula lulusan
yang dilaporkan melanjutkan ke pendidikan tinggi di institusi-institusi bergengsi seperti Institut
Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Surabaya. Karenanya, SMK
Muhammadiyah 3 Giwangan berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir, dan kini dianggap
sebagai salah satu sekolah kejuruan terbaik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun dulu
mengalami pertumbuhan yang konstan, di tahun tahun belakangan ini sekolah-sekolah
Muhammadiyah menghadapi meningkatnya persaingan yang ditawarkan oleh berbagai sekolah.
Situasi umum perihal sekolah-sekolah di Kecamatan Kotagede disajikan di Tabel 9.3.
Dalam hal jumlah murid dan guru, sekolah-sekolah dasar Muhammadiyah memang kalah dari
sekolah-sekolah pemerintah, namun, kedudukannya masih mapan di tengah lingkungan-lingkungan
yang banyak diwarnai oleh pengaruh Muhammadiyah. Di berbagai lingkungan tersebut, TK-TK yang
dikelola 'Aisyiyah tumbuh dengan cukup cepat. Selain itu, SD-SD seperti SD Muhammadiyah Bodon,
yang secara historis sudah terkenal, terus menarik orang tua bahkan dari desa di pedalaman untuk
mengirim anak-anak mereka.
Sementara itu, sekolah-sekolah pemerintah lebih kompetitif dibandingkan sebelumnya berkat
perbaikan dalam hal gedung, fasilitas dan kualitas guru. Kini, SD-SD Muhammadiyah tidak lagi bisa
mengklaim bahwa mereka lah yang paling berkualitas secara umum. Di samping itu, ada pula masalah
finansial, yang membuat beberapa orang tua Kotagede ragu-ragu mengirimkan anak-anak mereka ke
sekolah sekolah Muhammadiyah.
Masalah finansial yang dimaksud berkenaan dengan uang masuk yang relatif tinggi, itu harus
dibayarkan di awal sebagai sumbangan gedung sekolah. Konon, uang masuk yang dibutuhkan
mencapai 3.000.000 rupiah. Karena persyaratan ini, terbangunlah sebuah "stigma bahwa sekolah-
sekolah Muhammadiyah ekslusif dan elitis", yang hanya melayani orang-orang yang mampu secara
ekonomis saja. Para orang tua yang secara ekonomis tidak mampu langsung menghindari sekolah 15
sekolah Muhammadiyah.
Selain itu, mereka yang mampu secara ekonomi juga cenderung menghindari sekolah-sekolah
Muhammadiyah di Kotagede. Tampaknya cukup beralasan untuk mengirim anak-anak mereka ke
sekolah sekolah swasta yang lebih baik di Kota Yogyakarta yang biayanya sama mahalnya. Masalah-
masalah ini amat dirasakan oleh para pengelola sekolah Muhammadiyah, komite sekolah, maupun
pimpinan cabang Muhammadiyah karena jumlah pelamar untuk sekolah menengahnya belakangan ini
kian menurun. Mereka telah mengambil berbagai tindakan guna mengatasi menurunnya jumlah
pendaftaran.
Salah satu langkah yang diambil oleh SD Muhammadiyah Kleco ialah memberikan diskon
khusus biaya sekolah dan subsidi bertingkat untuk anak-anak dari keluarga yang masuk kategori gakin
atau keluarga miskin. Gakin merupakan sebutan resmi pemerintah lokal bagi keluarga-keluarga yang
berhak menerima berbagai macam subsidi. Menurut laporan, sekitar 30% murid di sekolah itu
diklasifikasikan sebagai gakin." SMP Muhammadiyah 7 juga memberikan beasiswa kepada murid-
murid yang berasal dari keluarga-keluarga kurang mampu secara ekonomis, termasuk beasiswa dari
Drs. Kusnaeni. Ke sekolah-sekolah tersebut diperkenalkan pula skema anak asuh, pembiayaan uang
sekolah oleh para dermawan Aisyiyah, dan pembayaran uang sekolah serta sumbangan dengan
angsuran. Anak-anak dari keluarga Muhammadiyah diberikan prioritas. Upaya untuk menghapus
stigma eksklusif dan elitis disematkan yang pada sekolah-sekolah Muhammadiyah baru saja dimulai.
Akan butuh waktu sebelum kita dapat melihat hasilnya.
Tantangan lain yang dihadapi sekolah-sekolah Muhammadiyah justru dihadirkan oleh
sekolah-sekolah Islam. Para aktivis PKS mendirikan sejumlah sekolah, yang umumnya disebut
dengan sekolah IT (Islam terpadu). Di sekolah-sekolah ini, semua mata pelajaran, termasuk Aktivitas-
aktivitas ekstrakurikuler, diislamkan. Metode pengajaran yang dipakai di sekolah-sekolah ini, dalam
beberapa hal, mirip dengan program TV pendidikan Amerika, Sesame Street, dengan suasana yang
manis dan humoris. Sekolah-sekolah IT dianggap sebagai ancaman nyata bagi sekolah-sekolah
Muhammadiyah dalam hal kualitasnya. Ancaman mereka amat terasa di tingkat TK di kawasan-
kawasan permukiman baru. TK IT-nya PKS menawarkan jam sekolah yang lebih panjang untuk anak-
anak TK, yakni hingga pukul 02.00 siang, sementara TK-TK 'Aisyiyah hanya hingga pukul 12.00
siang. Ibu-ibu bekerja lebih suka mengirim anak-anak mereka ke TK IT demi alasan kenyamanan
daripada untuk afinitas ideologis.
Iqro' dan TK Al-Qur'an
Kotagede dikenal sebagai pusat dari sebuah metode baru dalam mempelajari cara membaca
Al-Qur'an, yang dikenal dengan igro. Metode ini diawali dan dipromosikan oleh dua sosok kunci,
yaitu H. As'ad Humam dan Jazir Asp. Meskipun keduanya berasal dari lingkaran lingkaran
Muhammadiyah, gerakan iqro' tergolong independen dan tidak punya hubungan organisatoris dengan
Muhammadiyah."
Pak As (panggilan akrab almarhum H. As'ad Humam) lahir pada 1933 sebagai generasi kedua
keluarga Muhammadiyah, keluarga H. Humam Siradj, seorang pebisnis sukses di Selokraman. Pak As
mengenyam pendidikan di SD Muhammadiyah Kleco dan kemudian ke Mu'allimin serta SMP Negeri
di Ngawi, Jawa Timur. Ia kembali ke Yogyakarta dan masuk Sekolah Guru Agama (SGA)
Muhammadiyah. Pada 1963 ia terserang penyakit yang mengakibatkan tulang punggungnya
mengalami pengapuran membuatnya dirawat di rumah sakit selama satu setengah tahun dan
membuatnya cacat seumur hidup. Ia lalu berhenti dari pendidikan formal namun mampu terus
mendapatkan pelajaran dari banyak orang di sekitamya termasuk ayahnya, seorang guru di SD
Muhammadiyah Kleco, dan mubaligh temama. Pak As menimba ilmu agama tak hanya dari
lingkungan Muhammadiyah, tapi juga dari lingkungan NU: ia menghabiskan waktu selama dua tahun
di Pesantren Al-Munawir, Krapyak, yang terkenal karena keunggulannya dalam pengajaran cara
membaca Al-Qur'an. Sementara itu, Pak As-bersama para anggota Muhammadiyah lainnya-sangat
aktif mengorganisir pengajian untuk anak-anak kecil di Kotagede dan sekitarnya. Saat melakukannya,
ia tidak puas dengan cara tradisional dalam memelajari cara membaca Al-Qur'an, yakni Bagdhadiyah,
yang biasanya membutuhkan dua hingga tiga tahun untuk bisa menguasainya.
Pada 1983, Pak As dan timnya menyelenggarakan Tadarus Angkatan Muda Masjid dan
Musala (AMM), bekerja sama dengan kolega-kolega muda, terutama mahasiswa, yang dikepalai oleh
Jazir Asp. Jazir merupakan seorang aktivis mahasiswa dalam gerakan anti Suharto di akhir 1970-an.
Ia ditangkap oleh pemerintah dan dipenjara selama beberapa tahun. Setelah keluar penjara, ia dan
rekan-rekannya memutuskan untuk mengambil "pendekatan budaya" guna mewujudkan pembaruan
atas dasar Islam dengan merawat kekuatan-kekuatan sosial daripada kembali melakukan serangan
politik yang frontal. Sejumlah rekan Jazir bergabung dengan tim Pak As. Melalui jaringan organisasi
organisasi mahasiswa, sejumlah mahasiswi direkrut ke dalam gerakan AMM sebagai guru mengaji
Al-Qur'an untuk anak-anak usia prasekolah. Pelatihan untuk para guru muda itu menjadi tugas Pak
Jumanuddin, adik laki-laki Pak As dan seorang anggota aktif Muhammadiyah.
Pada 1982, Departemen Agama memutuskan untuk memulai sebuah kampanye yang
bertujuan menciptakan generasi Qur'ani dan memberantas buta huruf dalam membaca dan menulis
Qur'an. Jadi, suasana politik dan sosial yang dihadapi oleh Tim Tadarus AMM pun menjadi
menguntungkan. Pada 1988, TK Al-Qur'an yang pertama dibuka di Kotagede dengan persetujuan
resmi dari Kantor Wilayah Departemen Agama. Sejak saat TK Al-Qur'an menyebar ke berbagai
tempat di Yogyakarta, dan juga ke tempat-tempat lain di Indonesia. Buklet-buklet teks iqro' yang
ditulis oleh Pak As mulai diterbitkan bersama-sama dengan kaset tape yang menyertainya dan
didistribusikan dalam jumlah besar ke berbagai tempat di Indonesia (lihat Gambar 9.11 dan 9.12).
Segera sesudahnya, metode igro' menjadi terkenal tak hanya di Indonesia, tapi juga di
Singapura, Malaysia, dan Brunei. Karena buku teks itu mempunyai hak cipta, penjualannya secara
nasional dan internasional membawa keuntungan besar bagi Tim Tadarus AMM. Memanfaatkan
pemasukan ini, dibangunlah sebuah aula pertemuan umum untuk pengajian dan perkumpulan sosial
(Gedung Dakwah Al-Qur'an AMM Kotagede) di Selokraman, gedung itu pun sering dipergunakan
(lihat Gambar 9.13 hingga 9.15).
Dalam jangka waktu sepuluh tahun, dari akhir 1980-an, TK Al Qur'an untuk anak-anak
prasekolah, Taman Pelajar (TP) Al-Qur'an untuk anak-anak sekolah dasar dan murid sekolah
menengah, serta kelas-kelas untuk orang dewasa didirikan di seluruh Indonesia. Departemen Agama
mulai mempromosikan Festival Anak Saleh Indonesia sejak 1995, dan kebijakan ini sangat
mempercepat penyebaran metode iqro' dan TK/TP Al-Qur'an secara nasional.
Keberhasilan AMM Kotagede merupakan sebuah contoh kasus tentang interaksi yang rumit
antara kekuatan-kekuatan Islam yang kritis terhadap rezim Suharto dan usaha rezim itu untuk
mendekati yang berbagai kekuatan Islam. Misalnya, guru-guru di TK Al-Qur'an hanya dikhususkan
untuk perempuan lulusan sekolah tinggi dan universitas. AMM menyerap sejumlah besar energi
gerakan mahasiswa, yang umumnya menyikapi kemapanan dengan kritis. Rekan mereka yang laki-
laki juga disibukkan dengan pendekatan budaya dari Islamisasi Sementara itu, generasi anak-anak
kecil yang belajar membaca Al Qur'an telah bertumbuh menjadi orang dewasa pada 2000-an. Konon,
banyak di antara mereka yang tetap setia mengabdi di Muhammadiyah, induk gerakan AMM. Namun,
banyak pula yang masuk ke lingkaran lingkaran PKS, dan beberapa di antaranya menyeberang ke NU.
Secara keseluruhan, gerakan TK Al-Qur'an dengan metode iqro' memperdalam proses Islamisasi di
tengah-tengah masyarakat Indonesia. Masih perlu ditunggu apakah meningkatnya angka kemampuan
baca Al-Qur'an segaris dengan kian dalamnya pemahaman substantif atas isi dari pesan yang
diterapkan dalam konteks sosial Indonesia kontemporer.
PKU vs Puskesmas: persaingan dan penyempurnaan pelayanan kesehatan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kliniknya Muhammadiyah, PKU, tidak lagi menjadi
satu-satunya institusi medis modern di Kotagede. Peranan PKU dalam mengikis takhayul-yang tak
ilmiah itu-yang menggentayangi penyakit dan kelahiran bayi juga menjadi terlihat remeh jika
disandingkan dengan kemajuan dalam pendidikan sekolah dan meningkatnya peranan institusi
pemerintah bernama pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dalam hal kesehatan umum. Sejak
1990-an, puskesmas muncul sebagai pusat layanan medis yang paling populer bag komunitas lokal.
Statistik akhir-akhir ini, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 9.4 di halaman berikutnya,
menunjukkan fenomena ini.

Popularitas puskesmas tampak amat mencolok. Oleh karena itu. PKU Muhammadiyah fokus
menjadi sebuah rumah sakit khusus ibu dan anak. Klinik umum PKU masih tetap beroperasi,
mencakup praktik umum, kesehatan anak, gigi, khitanan, dan keluarga berencana. Murid sekolah-
sekolah Muhammadiyah, yang ditanggung oleh sistem asuransi Muhammadiyah, juga diperiksa
secara teratur dan diimunisasi di PKU. Masih perlu waktu untuk melihat apakah PKU bisa
melanjutkan peran pelengkapnya di hadapan puskesmas di masa yang akan datang.
Wakaf: pondasi kekuatan institusional Muhammadiyah
Menurut hukum Islam, orang bisa menyerahkan harta kepe milikannya, baik yang berupa
benda bergerak maupun tak bergerak, demi kepentingan bersama, terutama untuk tujuan-tujuan
keagamaan. Ini disebut dengan wakaf (waqf). Wakaf dipandang sebagai amal ja riah ('amal yang
abadi'), yang menjanjikan ganjaran besar bagi sang pewakaf di akhirat kelak. Di Kotagede, sejumlah
bidang tanah yang luas diwakafkan untuk pendirian berbagai bangunan untuk tujuan agama,
pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Ini mencakup sejumlah masjid, musala, langgar, sekolah, TK,
sebuah klinik dan rumah sakit, sebuah stasiun radio, serta kantor cabang Muhammadiyah.
Menurut Drs. Mardjuki, orang yang bertanggung jawab dalam urusan wakaf Muhammadiyah
untuk Cabang Kotagede, prosedur untuk mewakafkan tanah adalah sebagai berikut: status tanah yang
dimiliki secara pribadi diubah menjadi wakaf berdasarkan hukum Islam. Yang perlu dilakukan
hanyalah membuat pernyataan berisi niat sang pemilik dengan kesaksian dua orang dewasa. 20 Selain
itu, guna membuatnya berlaku secara de jure di mata hukum nasional Republik Indonesia, diperlukan
prosedur berikut ini. Pertama, pemiliknya harus memiliki sertifikat kepemilikan tanah. Untuk ini,
biasanya orang harus pergi ke kantor semua unit administratif termasuk RT, RW, dan kelurahan/desa
untuk mendapatkan persetujuan mereka. Kemudian, orang tersebut mendapatkan sebuah sertifikat dari
KUA tingkat kecamatan yang menyatakan bahwa tanah yang bersangkutan disumbangkan sebagai
wakaf menurut hukum Islam dan juga bahwa sebuah badan tertentu ditunjuk untuk mengelolanya di
masa depan. Sertifikat itu kemudian dibawa ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk didaftarkan
sebagai wakaf. Dalam menyelesaikan prosedur ini, tanah yang bersangkutan digunakan secara
permanen untuk tujuan sebagai sumbangan sebagaimana disebutkan di bawah manajemen
Muhammadiyah.
Seluruh tanah wakaf yang dikelola oleh Muhammadiyah cabang Kotagede kini luasnya
mencapai 36.055 m², yang terdiri atas 89 bidang demikianlah menurut daftar yang disediakan oleh
Drs. Mardjuki." Daftar yang lebih pendek dari bidang-bidang tanah yang relatif luas yang dipilih dari
aslinya ditampilkan di Tabel 9.5.
Selain itu, saya sudah menelisik lebih dalam seluruh 89 bidang tanah yang asli berdasarkan
tujuan sumbangan sebagaimana berikut: (1) 30 untuk masjid, 15 untuk musala, dan 3 untuk langgar-
subtotal sebanyak 48 bidang tanah untuk tempat ibadah; (2) 17 untuk TK dan 16 untuk sekolah-
subtotal sebanyak 33 bidang tanah untuk pendidikan: (3) 2 bidang tanah untuk PKU (klinik serta
rumah sakit ibu dan anak); dan (4) sisanya untuk aula pertemuan umum, kantor cabang
Muhammadiyah, asrama, dan lain-lain. Tanah wakaf untuk masjid mencakup satu yang tanah
mempunyai nilai historis-Masjid Perak yang tanahnya, seluas 840 m², merupakan sumbangan Ja'far
Amir, salah satu pendiri Muhammadiyah di Kotagede. Kita juga dapat menemukan nama H.
Masyhudi, (Ketua PCM Kotagede yang pertama) ia menyumbangkan tanah seluas 1.065 m² untuk
musala dan TK 'Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA) Basen dan 1.042 m² lainnya untuk PKU di masa
sebelum perang.
Menurut Drs. Mardjuki, pemerintah kolonial Belanda tidak mengakui status tanah wakaf.
Jadi, tanah yang diniatkan untuk diwakafkan harus didaftarkan atas nama pribadi. Kini, wakaf sudah
dianggap efektif secara hukum, setelah hukum dan peraturan nasional yang baru disusun. Namun,
butuh waktu yang panjang dan usaha yang melelahkan bagi Drs. Mardjuki untuk mengubah semua
tanah yang terdaftar secara pribadi ini menjadi tanah wakaf yang efektif secara hukum. Dalam banyak
contoh, sertifikat-sertifikat kepemilikan tanah yang asli hilang atau para ahli waris sebidang tanah
tersebar di berbagai tempat di Indonesia.
Di dalam daftar itu, kita mendapati nama Nyonya Sajiman Yazid, seorang keturunan Raja
dagang Atmosudigdo. Tanahnya diwakafkan untuk TK ABA Celanan, di Desa Jagalan. Tanah-tanah
untuk TK Al Qur'an di Alun-Alun Utara, yang sejak 1980-an hingga kini menjadi pusat bagi gerakan
iqro', diwakafkan oleh dua anggota keluarga Humam, yaitu H. As'ad Humam dan H. Jumanuddin.
Properti wakaf di bawah pengelolaan Muhammadiyah menjadi fondasi institusional yang kuat
bagi aktivitasnya. Pesatnya pertumbuhan jumlah tanah-tanah wakaf dan berbagai institusi berbasis
wakaf di Kotagede bisa dianggap sebagai sebuah bukti yang tepat untuk menunjukkan pertumbuhan
Muhammadiyah di kota itu. Jadi, dengan berdasar pada bukti nyata ini, kita bisa mengatakan bahwa
Muhammadiyah tumbuh dengan pesat selama empat puluh tahun terakhir.
Namun, fakta pertumbuhan pesat Muhammadiyah-yang dilihat dari meningkatnya institusi-
institusi yang berbasis wakaf-mengundang beberapa pertanyaan kritis. Seorang pengamat
Muhammadiyah di Kotagede melontarkan pernyataan bernada sarkastis: "Jika seseorang yang
sebelumnya tak punya pengetahuan sama sekali tentang Muhammadiyah datang ke kota Kotagede dan
melihat sejumlah besar bangunan yang memiliki lambang Muhammadiyah, ia bisa jadi berpikir bahwa
Muhammadiyah merupakan sebuah konglomerat yang punya banyak toko waralaba." Komentar ini
memang akurat. Muhammadiyah kini telah tumbuh menjadi sebuah organisasi raksasa baik dari segi
lokal maupun nasional. Beban untuk mengelola sebuah organisasi raksasa semacam ini menghabiskan
banyak energi dan dana para anggotanya. Para pengurus persyarikatan itu tampaknya amat disibukkan
dengan urusan mempertahankan beragam fasilitas tersebut sebagai perangkat keras (hardware) dan
institusi-institusi di atasnya sebagai perangkat lunaknya (software).
Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Muhammadiyah di Kotagede-sebagaimana juga di
tempat lain-mulai dikritik lantaran mengalami stagnasi sejak awak 1980-an. Namun, harus dipahami
bahwa stagnasi ini muncul bukan meskipun, melainkan lebih karena begitu besamya pertumbuhan
organisasi yang telah dicapai Muhammadiyah sejauh ini.
Jika diamati secara lebih mendalam, sejarah tanah-tanah wakaf di Kotagede tampaknya dapat
memancing sebuah pertanyaan kritis perihal basis ekonomi Muhammadiyah. Sebagaimana sudah
diketahui, Muhammadiyah di Kotagede dimulai oleh ulama muda yang disokong oleh para pebisnis
kaya selama 1910-an dan 1920-an. Ini terjadi persis setelah Yogyakarta merasakan pembaruan
administratif menurut ke tangka politik etis (lihat Bab 2). Sistem apanase, yang mendukung status
Kotagede sebagai pusaka keraton, dihapuskan. Namun, diferensiasi kelas dalam hal hubungan residen
dengan tanah pada dasarnya tampak tetap sama dengan masa sebelum pembaruan.
Sehubungan dengan urusan wakaf, saya ingin mengajukan hipotesis bahwa banyak tanah
yang diwakafan pada dekade-dekade belakangan ini merupakan kepemilikan warga kota yang pada
masa sebelum pembaruan berasal dari golongan makmur. Sebagaimana sudah kita lihat, terdapat
demarkasi yang ketat di antara warga kota dalam hal hubungan mereka dengan tanah (lihat hlm. 31
buku ini). Abdi dalem juru kunci diberikan lungguh (rumah dan pekarangannya serta tanah jabatan)
sementara kawula merdeka (kuli kenceng) memiliki rumah dan tanah mereka sendiri. Orang Kalang,
yang kelihatannya berada di luar hierarki ini, juga menguasai sejumlah besar lahan secara pribadi.
Tampak jelas bahwa beberapa keturunan pegawai istana, kuli kenceng, dan orang Kalang memiliki
tanah berukuran luas yang kemudian diwakafkan pada dekade-dekade belakangan ini. Jika
pengamatan ini benar, maka Persyarikatan Muhammadiyah sudah tentu didukung oleh masyarakat
yang kaya.
Di samping tanah warisan, beberapa individu tampaknya memperoleh tanah berkat
keberhasilan dagang di tahun-tahun. belakangan ini dan kemudian mewakafkannya. Dalam
membangun fondasi materialnya, jelas bahwa Muhammadiyah kebanjiran keuntungan selama
beberapa dekade perkembangannya, karena sejumlah besar tanah milik para anggota dan
simpatisannya, baik yang diwariskan atau dibeli, diwakafkan kepada persyarikatan.

Anda mungkin juga menyukai