Jadi, untuk menjaga agar hubungannya dengan sekolah itu tetap hidup, Drs. Koesnaeni
memberikan sejumlah beasiswa setiap tahunnya kepada murid berbakat namun tak mampu di sekolah
itu. Saudaranya juga menyumbangkan sejumlah gamelan ke sekolah itu. Di sini, kita bisa melihat
sebuah pola "pulang kampung" yang menarik dari penduduk kota, berusaha terus menghidupkan
hubungan dengan desa asal mereka. Drs. Kusnaeni dan istrinya, Machiko-san, berharap agar anak-
anak mereka akan meneruskan ikatan mereka dengan Kotagede di masa depan.
Di antara sekolah-sekolah Muhammadiyah di Kotagede, yang paling kompetitif dalam hal
prestasi dibandingkan dengan sekolah sekolah serupa di Yogyakarta adalah SMK (sekolah menengah
kejuruan) Muhammadiyah 3 Giwangan, yang tempatnya tepat di luar Kotagede. Sekolah itu didirikan
pada 1987 di atas sebidang tanah yang luas, yang sebelumnya digunakan untuk mengeringkan hasil
panen dan sebagai tempat untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha berjamaah bagi warga
Muhammadiyah Kotagede. Tanah seluas 3.000 m² itu dibeli atas nama Muhammadiyah Kotagede
melalui dana yang disiapkan oleh H. Syamsuhadi dan H. Muhammad Chirzin, keduanya merupakan
tokoh kelas wahid dalam PCM Kotagede." Tanah tempat berdirinya sekolah itu kini diperluas hingga
18.810 m² berkat sejumlah kontribusi tambahan. Almarhum Haji Ismail dilaporkan memberikan dana
awal untuk pembangunan gedung-gedung sekolah, yang kini luas bangunannya dasarnya mencapai
9.827 m². Ia merupakan orang asli Kotagede dan memiliki sebuah toko, Terang Bulan, kini
merupakan toko batik terbesar di Jalan Malioboro di Yogyakarta. Sekolah itu berlokasi di jalan utama
yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan desa di pedalaman selatan. Sekolah itu menarik
banyak murid yang meminati delapan jurusan spesialisasi: mekanika mobil, teknik mesin, pengelasan,
instrumen audio-visual, listrik, desain arsitektur, perkayuan, dan komputer serta jaringan. Sebagian
besar lulusannya dapat dengan mudah mendapat pekerjaan setelah tamat. Ada banyak pula lulusan
yang dilaporkan melanjutkan ke pendidikan tinggi di institusi-institusi bergengsi seperti Institut
Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Surabaya. Karenanya, SMK
Muhammadiyah 3 Giwangan berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir, dan kini dianggap
sebagai salah satu sekolah kejuruan terbaik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun dulu
mengalami pertumbuhan yang konstan, di tahun tahun belakangan ini sekolah-sekolah
Muhammadiyah menghadapi meningkatnya persaingan yang ditawarkan oleh berbagai sekolah.
Situasi umum perihal sekolah-sekolah di Kecamatan Kotagede disajikan di Tabel 9.3.
Dalam hal jumlah murid dan guru, sekolah-sekolah dasar Muhammadiyah memang kalah dari
sekolah-sekolah pemerintah, namun, kedudukannya masih mapan di tengah lingkungan-lingkungan
yang banyak diwarnai oleh pengaruh Muhammadiyah. Di berbagai lingkungan tersebut, TK-TK yang
dikelola 'Aisyiyah tumbuh dengan cukup cepat. Selain itu, SD-SD seperti SD Muhammadiyah Bodon,
yang secara historis sudah terkenal, terus menarik orang tua bahkan dari desa di pedalaman untuk
mengirim anak-anak mereka.
Sementara itu, sekolah-sekolah pemerintah lebih kompetitif dibandingkan sebelumnya berkat
perbaikan dalam hal gedung, fasilitas dan kualitas guru. Kini, SD-SD Muhammadiyah tidak lagi bisa
mengklaim bahwa mereka lah yang paling berkualitas secara umum. Di samping itu, ada pula masalah
finansial, yang membuat beberapa orang tua Kotagede ragu-ragu mengirimkan anak-anak mereka ke
sekolah sekolah Muhammadiyah.
Masalah finansial yang dimaksud berkenaan dengan uang masuk yang relatif tinggi, itu harus
dibayarkan di awal sebagai sumbangan gedung sekolah. Konon, uang masuk yang dibutuhkan
mencapai 3.000.000 rupiah. Karena persyaratan ini, terbangunlah sebuah "stigma bahwa sekolah-
sekolah Muhammadiyah ekslusif dan elitis", yang hanya melayani orang-orang yang mampu secara
ekonomis saja. Para orang tua yang secara ekonomis tidak mampu langsung menghindari sekolah 15
sekolah Muhammadiyah.
Selain itu, mereka yang mampu secara ekonomi juga cenderung menghindari sekolah-sekolah
Muhammadiyah di Kotagede. Tampaknya cukup beralasan untuk mengirim anak-anak mereka ke
sekolah sekolah swasta yang lebih baik di Kota Yogyakarta yang biayanya sama mahalnya. Masalah-
masalah ini amat dirasakan oleh para pengelola sekolah Muhammadiyah, komite sekolah, maupun
pimpinan cabang Muhammadiyah karena jumlah pelamar untuk sekolah menengahnya belakangan ini
kian menurun. Mereka telah mengambil berbagai tindakan guna mengatasi menurunnya jumlah
pendaftaran.
Salah satu langkah yang diambil oleh SD Muhammadiyah Kleco ialah memberikan diskon
khusus biaya sekolah dan subsidi bertingkat untuk anak-anak dari keluarga yang masuk kategori gakin
atau keluarga miskin. Gakin merupakan sebutan resmi pemerintah lokal bagi keluarga-keluarga yang
berhak menerima berbagai macam subsidi. Menurut laporan, sekitar 30% murid di sekolah itu
diklasifikasikan sebagai gakin." SMP Muhammadiyah 7 juga memberikan beasiswa kepada murid-
murid yang berasal dari keluarga-keluarga kurang mampu secara ekonomis, termasuk beasiswa dari
Drs. Kusnaeni. Ke sekolah-sekolah tersebut diperkenalkan pula skema anak asuh, pembiayaan uang
sekolah oleh para dermawan Aisyiyah, dan pembayaran uang sekolah serta sumbangan dengan
angsuran. Anak-anak dari keluarga Muhammadiyah diberikan prioritas. Upaya untuk menghapus
stigma eksklusif dan elitis disematkan yang pada sekolah-sekolah Muhammadiyah baru saja dimulai.
Akan butuh waktu sebelum kita dapat melihat hasilnya.
Tantangan lain yang dihadapi sekolah-sekolah Muhammadiyah justru dihadirkan oleh
sekolah-sekolah Islam. Para aktivis PKS mendirikan sejumlah sekolah, yang umumnya disebut
dengan sekolah IT (Islam terpadu). Di sekolah-sekolah ini, semua mata pelajaran, termasuk Aktivitas-
aktivitas ekstrakurikuler, diislamkan. Metode pengajaran yang dipakai di sekolah-sekolah ini, dalam
beberapa hal, mirip dengan program TV pendidikan Amerika, Sesame Street, dengan suasana yang
manis dan humoris. Sekolah-sekolah IT dianggap sebagai ancaman nyata bagi sekolah-sekolah
Muhammadiyah dalam hal kualitasnya. Ancaman mereka amat terasa di tingkat TK di kawasan-
kawasan permukiman baru. TK IT-nya PKS menawarkan jam sekolah yang lebih panjang untuk anak-
anak TK, yakni hingga pukul 02.00 siang, sementara TK-TK 'Aisyiyah hanya hingga pukul 12.00
siang. Ibu-ibu bekerja lebih suka mengirim anak-anak mereka ke TK IT demi alasan kenyamanan
daripada untuk afinitas ideologis.
Iqro' dan TK Al-Qur'an
Kotagede dikenal sebagai pusat dari sebuah metode baru dalam mempelajari cara membaca
Al-Qur'an, yang dikenal dengan igro. Metode ini diawali dan dipromosikan oleh dua sosok kunci,
yaitu H. As'ad Humam dan Jazir Asp. Meskipun keduanya berasal dari lingkaran lingkaran
Muhammadiyah, gerakan iqro' tergolong independen dan tidak punya hubungan organisatoris dengan
Muhammadiyah."
Pak As (panggilan akrab almarhum H. As'ad Humam) lahir pada 1933 sebagai generasi kedua
keluarga Muhammadiyah, keluarga H. Humam Siradj, seorang pebisnis sukses di Selokraman. Pak As
mengenyam pendidikan di SD Muhammadiyah Kleco dan kemudian ke Mu'allimin serta SMP Negeri
di Ngawi, Jawa Timur. Ia kembali ke Yogyakarta dan masuk Sekolah Guru Agama (SGA)
Muhammadiyah. Pada 1963 ia terserang penyakit yang mengakibatkan tulang punggungnya
mengalami pengapuran membuatnya dirawat di rumah sakit selama satu setengah tahun dan
membuatnya cacat seumur hidup. Ia lalu berhenti dari pendidikan formal namun mampu terus
mendapatkan pelajaran dari banyak orang di sekitamya termasuk ayahnya, seorang guru di SD
Muhammadiyah Kleco, dan mubaligh temama. Pak As menimba ilmu agama tak hanya dari
lingkungan Muhammadiyah, tapi juga dari lingkungan NU: ia menghabiskan waktu selama dua tahun
di Pesantren Al-Munawir, Krapyak, yang terkenal karena keunggulannya dalam pengajaran cara
membaca Al-Qur'an. Sementara itu, Pak As-bersama para anggota Muhammadiyah lainnya-sangat
aktif mengorganisir pengajian untuk anak-anak kecil di Kotagede dan sekitarnya. Saat melakukannya,
ia tidak puas dengan cara tradisional dalam memelajari cara membaca Al-Qur'an, yakni Bagdhadiyah,
yang biasanya membutuhkan dua hingga tiga tahun untuk bisa menguasainya.
Pada 1983, Pak As dan timnya menyelenggarakan Tadarus Angkatan Muda Masjid dan
Musala (AMM), bekerja sama dengan kolega-kolega muda, terutama mahasiswa, yang dikepalai oleh
Jazir Asp. Jazir merupakan seorang aktivis mahasiswa dalam gerakan anti Suharto di akhir 1970-an.
Ia ditangkap oleh pemerintah dan dipenjara selama beberapa tahun. Setelah keluar penjara, ia dan
rekan-rekannya memutuskan untuk mengambil "pendekatan budaya" guna mewujudkan pembaruan
atas dasar Islam dengan merawat kekuatan-kekuatan sosial daripada kembali melakukan serangan
politik yang frontal. Sejumlah rekan Jazir bergabung dengan tim Pak As. Melalui jaringan organisasi
organisasi mahasiswa, sejumlah mahasiswi direkrut ke dalam gerakan AMM sebagai guru mengaji
Al-Qur'an untuk anak-anak usia prasekolah. Pelatihan untuk para guru muda itu menjadi tugas Pak
Jumanuddin, adik laki-laki Pak As dan seorang anggota aktif Muhammadiyah.
Pada 1982, Departemen Agama memutuskan untuk memulai sebuah kampanye yang
bertujuan menciptakan generasi Qur'ani dan memberantas buta huruf dalam membaca dan menulis
Qur'an. Jadi, suasana politik dan sosial yang dihadapi oleh Tim Tadarus AMM pun menjadi
menguntungkan. Pada 1988, TK Al-Qur'an yang pertama dibuka di Kotagede dengan persetujuan
resmi dari Kantor Wilayah Departemen Agama. Sejak saat TK Al-Qur'an menyebar ke berbagai
tempat di Yogyakarta, dan juga ke tempat-tempat lain di Indonesia. Buklet-buklet teks iqro' yang
ditulis oleh Pak As mulai diterbitkan bersama-sama dengan kaset tape yang menyertainya dan
didistribusikan dalam jumlah besar ke berbagai tempat di Indonesia (lihat Gambar 9.11 dan 9.12).
Segera sesudahnya, metode igro' menjadi terkenal tak hanya di Indonesia, tapi juga di
Singapura, Malaysia, dan Brunei. Karena buku teks itu mempunyai hak cipta, penjualannya secara
nasional dan internasional membawa keuntungan besar bagi Tim Tadarus AMM. Memanfaatkan
pemasukan ini, dibangunlah sebuah aula pertemuan umum untuk pengajian dan perkumpulan sosial
(Gedung Dakwah Al-Qur'an AMM Kotagede) di Selokraman, gedung itu pun sering dipergunakan
(lihat Gambar 9.13 hingga 9.15).
Dalam jangka waktu sepuluh tahun, dari akhir 1980-an, TK Al Qur'an untuk anak-anak
prasekolah, Taman Pelajar (TP) Al-Qur'an untuk anak-anak sekolah dasar dan murid sekolah
menengah, serta kelas-kelas untuk orang dewasa didirikan di seluruh Indonesia. Departemen Agama
mulai mempromosikan Festival Anak Saleh Indonesia sejak 1995, dan kebijakan ini sangat
mempercepat penyebaran metode iqro' dan TK/TP Al-Qur'an secara nasional.
Keberhasilan AMM Kotagede merupakan sebuah contoh kasus tentang interaksi yang rumit
antara kekuatan-kekuatan Islam yang kritis terhadap rezim Suharto dan usaha rezim itu untuk
mendekati yang berbagai kekuatan Islam. Misalnya, guru-guru di TK Al-Qur'an hanya dikhususkan
untuk perempuan lulusan sekolah tinggi dan universitas. AMM menyerap sejumlah besar energi
gerakan mahasiswa, yang umumnya menyikapi kemapanan dengan kritis. Rekan mereka yang laki-
laki juga disibukkan dengan pendekatan budaya dari Islamisasi Sementara itu, generasi anak-anak
kecil yang belajar membaca Al Qur'an telah bertumbuh menjadi orang dewasa pada 2000-an. Konon,
banyak di antara mereka yang tetap setia mengabdi di Muhammadiyah, induk gerakan AMM. Namun,
banyak pula yang masuk ke lingkaran lingkaran PKS, dan beberapa di antaranya menyeberang ke NU.
Secara keseluruhan, gerakan TK Al-Qur'an dengan metode iqro' memperdalam proses Islamisasi di
tengah-tengah masyarakat Indonesia. Masih perlu ditunggu apakah meningkatnya angka kemampuan
baca Al-Qur'an segaris dengan kian dalamnya pemahaman substantif atas isi dari pesan yang
diterapkan dalam konteks sosial Indonesia kontemporer.
PKU vs Puskesmas: persaingan dan penyempurnaan pelayanan kesehatan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kliniknya Muhammadiyah, PKU, tidak lagi menjadi
satu-satunya institusi medis modern di Kotagede. Peranan PKU dalam mengikis takhayul-yang tak
ilmiah itu-yang menggentayangi penyakit dan kelahiran bayi juga menjadi terlihat remeh jika
disandingkan dengan kemajuan dalam pendidikan sekolah dan meningkatnya peranan institusi
pemerintah bernama pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dalam hal kesehatan umum. Sejak
1990-an, puskesmas muncul sebagai pusat layanan medis yang paling populer bag komunitas lokal.
Statistik akhir-akhir ini, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 9.4 di halaman berikutnya,
menunjukkan fenomena ini.
Popularitas puskesmas tampak amat mencolok. Oleh karena itu. PKU Muhammadiyah fokus
menjadi sebuah rumah sakit khusus ibu dan anak. Klinik umum PKU masih tetap beroperasi,
mencakup praktik umum, kesehatan anak, gigi, khitanan, dan keluarga berencana. Murid sekolah-
sekolah Muhammadiyah, yang ditanggung oleh sistem asuransi Muhammadiyah, juga diperiksa
secara teratur dan diimunisasi di PKU. Masih perlu waktu untuk melihat apakah PKU bisa
melanjutkan peran pelengkapnya di hadapan puskesmas di masa yang akan datang.
Wakaf: pondasi kekuatan institusional Muhammadiyah
Menurut hukum Islam, orang bisa menyerahkan harta kepe milikannya, baik yang berupa
benda bergerak maupun tak bergerak, demi kepentingan bersama, terutama untuk tujuan-tujuan
keagamaan. Ini disebut dengan wakaf (waqf). Wakaf dipandang sebagai amal ja riah ('amal yang
abadi'), yang menjanjikan ganjaran besar bagi sang pewakaf di akhirat kelak. Di Kotagede, sejumlah
bidang tanah yang luas diwakafkan untuk pendirian berbagai bangunan untuk tujuan agama,
pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Ini mencakup sejumlah masjid, musala, langgar, sekolah, TK,
sebuah klinik dan rumah sakit, sebuah stasiun radio, serta kantor cabang Muhammadiyah.
Menurut Drs. Mardjuki, orang yang bertanggung jawab dalam urusan wakaf Muhammadiyah
untuk Cabang Kotagede, prosedur untuk mewakafkan tanah adalah sebagai berikut: status tanah yang
dimiliki secara pribadi diubah menjadi wakaf berdasarkan hukum Islam. Yang perlu dilakukan
hanyalah membuat pernyataan berisi niat sang pemilik dengan kesaksian dua orang dewasa. 20 Selain
itu, guna membuatnya berlaku secara de jure di mata hukum nasional Republik Indonesia, diperlukan
prosedur berikut ini. Pertama, pemiliknya harus memiliki sertifikat kepemilikan tanah. Untuk ini,
biasanya orang harus pergi ke kantor semua unit administratif termasuk RT, RW, dan kelurahan/desa
untuk mendapatkan persetujuan mereka. Kemudian, orang tersebut mendapatkan sebuah sertifikat dari
KUA tingkat kecamatan yang menyatakan bahwa tanah yang bersangkutan disumbangkan sebagai
wakaf menurut hukum Islam dan juga bahwa sebuah badan tertentu ditunjuk untuk mengelolanya di
masa depan. Sertifikat itu kemudian dibawa ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk didaftarkan
sebagai wakaf. Dalam menyelesaikan prosedur ini, tanah yang bersangkutan digunakan secara
permanen untuk tujuan sebagai sumbangan sebagaimana disebutkan di bawah manajemen
Muhammadiyah.
Seluruh tanah wakaf yang dikelola oleh Muhammadiyah cabang Kotagede kini luasnya
mencapai 36.055 m², yang terdiri atas 89 bidang demikianlah menurut daftar yang disediakan oleh
Drs. Mardjuki." Daftar yang lebih pendek dari bidang-bidang tanah yang relatif luas yang dipilih dari
aslinya ditampilkan di Tabel 9.5.
Selain itu, saya sudah menelisik lebih dalam seluruh 89 bidang tanah yang asli berdasarkan
tujuan sumbangan sebagaimana berikut: (1) 30 untuk masjid, 15 untuk musala, dan 3 untuk langgar-
subtotal sebanyak 48 bidang tanah untuk tempat ibadah; (2) 17 untuk TK dan 16 untuk sekolah-
subtotal sebanyak 33 bidang tanah untuk pendidikan: (3) 2 bidang tanah untuk PKU (klinik serta
rumah sakit ibu dan anak); dan (4) sisanya untuk aula pertemuan umum, kantor cabang
Muhammadiyah, asrama, dan lain-lain. Tanah wakaf untuk masjid mencakup satu yang tanah
mempunyai nilai historis-Masjid Perak yang tanahnya, seluas 840 m², merupakan sumbangan Ja'far
Amir, salah satu pendiri Muhammadiyah di Kotagede. Kita juga dapat menemukan nama H.
Masyhudi, (Ketua PCM Kotagede yang pertama) ia menyumbangkan tanah seluas 1.065 m² untuk
musala dan TK 'Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA) Basen dan 1.042 m² lainnya untuk PKU di masa
sebelum perang.
Menurut Drs. Mardjuki, pemerintah kolonial Belanda tidak mengakui status tanah wakaf.
Jadi, tanah yang diniatkan untuk diwakafkan harus didaftarkan atas nama pribadi. Kini, wakaf sudah
dianggap efektif secara hukum, setelah hukum dan peraturan nasional yang baru disusun. Namun,
butuh waktu yang panjang dan usaha yang melelahkan bagi Drs. Mardjuki untuk mengubah semua
tanah yang terdaftar secara pribadi ini menjadi tanah wakaf yang efektif secara hukum. Dalam banyak
contoh, sertifikat-sertifikat kepemilikan tanah yang asli hilang atau para ahli waris sebidang tanah
tersebar di berbagai tempat di Indonesia.
Di dalam daftar itu, kita mendapati nama Nyonya Sajiman Yazid, seorang keturunan Raja
dagang Atmosudigdo. Tanahnya diwakafkan untuk TK ABA Celanan, di Desa Jagalan. Tanah-tanah
untuk TK Al Qur'an di Alun-Alun Utara, yang sejak 1980-an hingga kini menjadi pusat bagi gerakan
iqro', diwakafkan oleh dua anggota keluarga Humam, yaitu H. As'ad Humam dan H. Jumanuddin.
Properti wakaf di bawah pengelolaan Muhammadiyah menjadi fondasi institusional yang kuat
bagi aktivitasnya. Pesatnya pertumbuhan jumlah tanah-tanah wakaf dan berbagai institusi berbasis
wakaf di Kotagede bisa dianggap sebagai sebuah bukti yang tepat untuk menunjukkan pertumbuhan
Muhammadiyah di kota itu. Jadi, dengan berdasar pada bukti nyata ini, kita bisa mengatakan bahwa
Muhammadiyah tumbuh dengan pesat selama empat puluh tahun terakhir.
Namun, fakta pertumbuhan pesat Muhammadiyah-yang dilihat dari meningkatnya institusi-
institusi yang berbasis wakaf-mengundang beberapa pertanyaan kritis. Seorang pengamat
Muhammadiyah di Kotagede melontarkan pernyataan bernada sarkastis: "Jika seseorang yang
sebelumnya tak punya pengetahuan sama sekali tentang Muhammadiyah datang ke kota Kotagede dan
melihat sejumlah besar bangunan yang memiliki lambang Muhammadiyah, ia bisa jadi berpikir bahwa
Muhammadiyah merupakan sebuah konglomerat yang punya banyak toko waralaba." Komentar ini
memang akurat. Muhammadiyah kini telah tumbuh menjadi sebuah organisasi raksasa baik dari segi
lokal maupun nasional. Beban untuk mengelola sebuah organisasi raksasa semacam ini menghabiskan
banyak energi dan dana para anggotanya. Para pengurus persyarikatan itu tampaknya amat disibukkan
dengan urusan mempertahankan beragam fasilitas tersebut sebagai perangkat keras (hardware) dan
institusi-institusi di atasnya sebagai perangkat lunaknya (software).
Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Muhammadiyah di Kotagede-sebagaimana juga di
tempat lain-mulai dikritik lantaran mengalami stagnasi sejak awak 1980-an. Namun, harus dipahami
bahwa stagnasi ini muncul bukan meskipun, melainkan lebih karena begitu besamya pertumbuhan
organisasi yang telah dicapai Muhammadiyah sejauh ini.
Jika diamati secara lebih mendalam, sejarah tanah-tanah wakaf di Kotagede tampaknya dapat
memancing sebuah pertanyaan kritis perihal basis ekonomi Muhammadiyah. Sebagaimana sudah
diketahui, Muhammadiyah di Kotagede dimulai oleh ulama muda yang disokong oleh para pebisnis
kaya selama 1910-an dan 1920-an. Ini terjadi persis setelah Yogyakarta merasakan pembaruan
administratif menurut ke tangka politik etis (lihat Bab 2). Sistem apanase, yang mendukung status
Kotagede sebagai pusaka keraton, dihapuskan. Namun, diferensiasi kelas dalam hal hubungan residen
dengan tanah pada dasarnya tampak tetap sama dengan masa sebelum pembaruan.
Sehubungan dengan urusan wakaf, saya ingin mengajukan hipotesis bahwa banyak tanah
yang diwakafan pada dekade-dekade belakangan ini merupakan kepemilikan warga kota yang pada
masa sebelum pembaruan berasal dari golongan makmur. Sebagaimana sudah kita lihat, terdapat
demarkasi yang ketat di antara warga kota dalam hal hubungan mereka dengan tanah (lihat hlm. 31
buku ini). Abdi dalem juru kunci diberikan lungguh (rumah dan pekarangannya serta tanah jabatan)
sementara kawula merdeka (kuli kenceng) memiliki rumah dan tanah mereka sendiri. Orang Kalang,
yang kelihatannya berada di luar hierarki ini, juga menguasai sejumlah besar lahan secara pribadi.
Tampak jelas bahwa beberapa keturunan pegawai istana, kuli kenceng, dan orang Kalang memiliki
tanah berukuran luas yang kemudian diwakafkan pada dekade-dekade belakangan ini. Jika
pengamatan ini benar, maka Persyarikatan Muhammadiyah sudah tentu didukung oleh masyarakat
yang kaya.
Di samping tanah warisan, beberapa individu tampaknya memperoleh tanah berkat
keberhasilan dagang di tahun-tahun. belakangan ini dan kemudian mewakafkannya. Dalam
membangun fondasi materialnya, jelas bahwa Muhammadiyah kebanjiran keuntungan selama
beberapa dekade perkembangannya, karena sejumlah besar tanah milik para anggota dan
simpatisannya, baik yang diwariskan atau dibeli, diwakafkan kepada persyarikatan.