Anda di halaman 1dari 11

A.

KEINGINTAHUAN MANUSIA

Perbedaan hakiki antara manusia dan binatang

terletak pada pengetahuannya. Jika pengetahuan manusia

terus berkembang, pengetahuan binatang berada pada apa

yang disebut dengan idle couriosity yakni pengetahuan

yang statis, tidak berubah sepanjang zaman. Tidak akan

pernah ada dalam realitas kehidupan ini seekor burung

jantan yang membuat suatu bangunan untuk betinanya

bertelur. Sejak dahulu sampai sekarang (sejak zaman nabi

Adam sampai Adam Smith atau sejak nabi Yusuf sampai

masa Yusuf Qardawi, gurau seorang dosen filsafat dalam

seuatu kesempatan) yang dibuat oleh seekor burung

tersebut hanyalah sarang dari rerumputan kering agar sang

betina dapat dengan nyaman bertelur dan menetas.

Tidak demikian dengan manusia. Manusia, sebagai

mahluk ciptaan Chaliq yang maha agung telah

mendapatkan sesuatu yang lebih dari binatang yaitu ―akal‖.

Dengan akalnya manusia selalu berfikir untuk mengenali

sesuatu, bertanya tentang dirinya dan alam di luar dirinya, selanjutnya menemukan sesuatu yang
lebih bermakna. Cara

manusia melahirkan seorang anak manusia terus

berkembang. Jika dahulu, konon seorang ibu melahirkan

dengan cara berdiri, kini berdasarkan riset ilmiah

melahirkan dengan cara terlentang lebih mudah dan

nyaman. Bahkan, teknologi operasi sesar telah dapat

dilakukan untuk proses kelahiran yang tidak normal.

Perkembangan tersebut terjadi karena adanya rasa ingin

tahu manusia.

Rasa ingin tahu manusia sangat dinamis. Secara

komulatif suatu penemuan akan terus dikembangkan

menjadi temuan terbaru. Dari perkembangan teknologi


elektronika misalnya, dapat dilihat betapa progresifnya

penemuan hasil kreasi manusia. Dimulai dari penemuan

radio yang hanya mengeluarkan suara, selanjutnya film

―bisu‖ yang hanya menampilkan gambar. Kini manusia

telah memasuki suatu era teknologi komputer yang

memiliki banyak fungsi dalam kehidupan manusia, mudah

dalam penggunaannya dan cepat memperoleh hasil yang

lebih akurat dan berkualitas.

Untuk mengetahui dan mengenali diri dan

lingkungan di luar dirinya, biasanya manusia melakukan

tiga langkah. Pertama, perenungan (contemplasi) yaitu

merupakan proyeksi keadaan yang dapat diamati,

selanjutnya diinternalisasikan ke dalam diri, dan diambil

ketetapan secara sederhana. Dari ketetapan itulah manusia

mengenali diri dan lingkungan di luar dirinya. Kedua,

percobaan (experiment). Pada tahap awalnya percobaan

belumlah dapat dikategorikan experiment yang memenuhi kriteria ilmiah tetapi sekedar usaha coba-
coba tanpa suatu

pola yang teratur dan sistimatis sehingga terkadang manusia

merasa berhasil tetapi pada kesempatan lain percobaannya

tersebut terasa gagal (trial and error). Melalui usaha

berkesinambungan, kini metode experiment telah

menemukan bentuknya yang lebih dapat diipertanggung

jawabkan secara ilmiah sebagai salah satu metode dalam

mencari kebenaran. Ketiga, peniruan. Secara alamiah sejak

kecil manusia diajari untuk meniru perbuatan orang tuanya,

atau orang di sekelilingnya. Kebiasaan-kebiasaan orang tua

dalam melakukan peribadatan agama, relasi sosial dan

aktifitas lainnya terus terinternalisasi dalam diri anak

sehingga lambat laun ia mengenal diri dan lingkungan di

luar dirinya.
B. MAKNA KEBENARAN

Kebenaran berasal dari kata ‖benar‖. Padanan kata

yang sering digunakan dan punya makna sama adalah

―betul‖. Namun, jika kedua kata tersebut diberi awalan ke

dan akhiran an, maknanya jadi berbeda. ‖Kebenaran‖

bermakna sesuatu yang dianggap benar, sedangkan

‖kebertulan‖ bermakna tidak disengaja. Jika dua kata itu

berdiri sendiri, makna benar dan betul adalah sama

sehingga dapat dipertukarkan, seperti dalam kalimat

‖jawaban anda benar‖ yang dapat ditukar dan sama

maknanya dengan ‖jawaban anda betul‖. Namun, jika

sudah mendapat imbuhan menjadi ‖kebenaran‖ dan

‖kebetulan‖, maknanya menjadi jauh berbeda dan tidak

dapat dipertukarkan. Kalimat ‖sebagai ilmuan kita harus terus berusaha mencari kebenaran‖
berbeda maknanya dan

karenanya tidak dapat dipertukarkan dengan kalimat

‖sebagai ilmuan kita harus berusaha mencari kebetulan‖.

Kalimat yang sepadan maknanya adalah ‖sebagai ilmuan

kita harus menghindari penemuan yang diperoleh secara

kebetulan‖. Di dalam kata ‖kebenaran‖ memuat

pemahaman sesuatu yang diperoleh secara ilmiah,

sebaliknya di dalam kata ‖kebetulan‖ memuat suatu

pemahaman non-ilmiah.

Dalam masyarakat ilmiah, dikenal dua jenis

kebenaran, yaitu kebenaran (a) relatif, dan (b) tentatif.

Kesadaran akan adanya kelemahan yang ada pada indera

manusia menyebabkan tak ada kebenaran yang pasti

sepanjang masa. Kebenaran ilmiah terikat pada ruang dan

waktu. Perbedaan ruang menghasilkan kebenaran relatif,

sedangkan perbedaan waktu menghasilkan kebenaran

tentaif.
1. Kebenaran Relatif

Dahulu orang menganggap bahwa ilmu

pengetahuan alam (IPA) seperti Matematika, Fisika, dan

Kimia, adalah ilmu yang "pasti" kebenarannya. Sebaliknya

ilmu pengetahuan sosial (IPS) seperti Sosiologi, Antropolcgi,

Sejarah, dan sebagainya digolongkan dalam kebenaran yang

"relatif". Kategori tersebut menjadi pudar setelah Albert

Enstein menemukan dan mempublikasikan teori relatifitas.

Anggapan tersebut menjadi dipertanyakan dan sejumlah

ilmuan mulai ramai membicarakan teori tersebut. Beberapa pertanyaan di bawah ini barangkali akan

memudahkan jalan untuk memahami kebenaran relatif.

a. Mengapa rambut di kepala manusia tumbuh lebih cepat

dari rambut-rambut di tempat yang lain ?

b. Mengapa rambut di kelopak mata (alis) berada pada

kondisi yang statis pertumbuhannya pada titik tertentu?

c. Dapatkah seseorang menceritakan kejadian-kejadian

yang dialaminya dua jam yang lalu secara berurutan

dan lengkap?

d. Dapatkah seseorang menghitung jumlah kedipan

matanya selama dua jam yang lalu?

Hampir dapat dipastikan jawabannya ―tidak‖ atau

―tidak tahu". Dengan demikian jelaslah bahwa otak sebagai

instrumen penting bagi manusia untuk mencari kebenaran

terbatas kapasitas dan kemampuannya.

Lanjutkan dengan pertanyaan berikut :

a. Apakah 1 + 1 harus sama dengan 2, bukankah jawaban

sama dengan 0,2 juga benar jika digunakan ukuran

puluhan, atau 0,02 dengan ukuran ratusan ?

b. Apakah suatu batang yang lurus itu hakekatnya lurus ?

Tidakkah akan tampak bengkok bila dicelupkan ke dalam

cawan kaca berisi air ?


c. Di manakah sebenarnya hakekat rasa manis itu? pada

gula atau pada lidah ?

Jika pada gula, mengapa pada saat lidah sariawan (sakit,

luka) tidak terasa manis ? Jika pada lidah, mengapa pada

saat lidah mencicipi obat terasa pahit ?

d. Benarkah wana merah itu mempunyai hakekat merali ?

Tidakkah akan menjadi hitam pada suatu ruang yang

gelap ?

e. Benarkah berat benda satu kilogram itu hakekatnya

adalah satu kilogram ? Tidakkah akan berkurang

bobotnya bila ditimbang pada ruang hampa udara ?

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dapatlah

disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada hakekat sesuatu

yang dikatakan pasti, semua dapat dibandingkan, semua

relatif. Ruang yang berbeda akan menyebabkan terjadinya

perbedaan pemaknaan kebenaran. Oleh karenanya diyakini

bahwa tidak ada kebenaran tunggal. Kebenaran bersifat

jamak. Perspektif dan fokus dalam memandang suatu

realitas menjadi sangat penting untuk memaknai kebenaran.

Gambar apakah yang tampak pada gambar 1.1

tersebut? Jika fokus memandang gambar tersebut pada

warna putih, mungkin sekali akan tampak seperti cawan

gelas, buah catur, atau lainnya. Sebaliknya, jika fokus

memandangnya pada warna hitam, mugkin sekali akan

tampak seperti dua wajah yang sedang berhadap-hadapan.

Selanjutnya, perhatikan juga gambar 1.2 berikut ini:

Gambar 1.2 : 9 = 1 + 10. Salah ya ?

Pernyataan dengan angka romawi sebagaimana

tampak pada gambar 1.2 dapat dibaca: ‖sembilan sama

dengan satu ditambah sepuluh‖. Tentu saja pernyataan

tersebut salah. Akan tetapi, jika perspektif memandang


gambar 1.2 diputar 360 derajat akan tampak sebagaimana

gambar 1.3 di bawah ini.

Gambar 1.3 : 10 + 1 = 11. Nah ini benar !

Pernyataan sebagaimana gambar 1.3 dapat dibaca:

‖sepuluh ditambah satu sama dengan sebelas‖. Pernyataan

yang awalnya salah (gambar 1.2), setelah diubah perspektif memandangnya (menjadi gambar 1.3)
ternyata menjadi

benar.

2. Kebenaran Tentative

Kebenaran bersifat tentative artinya suatu kebenaran

akan dianggap benar sebelum ada pengetahuan lain yang

dapat "membantah‖ kebenaran tersebut,. Bila di kemudian

hari ditemukan penemuan yang dapat menolak kesimpulan

ilmiah yang lain, maka penemuan ilmiah tersebut akan

menjadi suatu kebenaran baru, demikian seterusnya.

Contoh-contoh di bawah ini mungkin dapat

memudahkan pengertian kita mengenai kebenaran tentative.

a. Dahulu, sebelum ada penemuan phitagoras yang

menyatakan bahwa bumi ini bulat, orang masih

percaya bahwa bumi ini datar.

b. Dahulu, orang beranggapan bahwa matahari

mengelilingi bumi, tetapi setelah Nicholas

Copernicus dan Galeli Galileo dengan

teleskopnya mampu membuktikan bahwa bukan

matahari yang mengelilingi bumi tetapi bumilah

yang mengelilingi matahari maka anggapan-

anggapan bahwa matahari mengelilingi bumi

menjadi batal.

3. Manfaat Adanya Kebenaran Relative dan Tentative.

Kendatipun kebenaran ilmiah mempunyai


keterbatasan, tetapi justru keterbatasan tersebut mempunyai

manfaat dalam proses berfikir manusia, manfaat tersebut

antara lain :

a. Menyadari bahwa kebenaran ilmu itu tidak

absolut, maka usaha untuk mencari kebenaran

harus dilakukan terus menerus.

b. Ilmu membimbing manusia untuk tidak berfikir

secara prasangka tetapi berfikir secara obyektif,

terbuka, sistimatis dan toleran.

c. Menyadari bahwa kebenaran bersifat tentative,

maka akan membimbing manusia untuk

bersikap optimis dan berani membuat suatu

pernyataan yang menurut keyakinan ilmiahnya

benar.

C. CARA MANUSIA MENCARI KEBENARAN

F. Rummel (lihat Suradika, 2000 : 10-12)

menggolongkan tahap perkembangan pemikiran manusia

dalam mencari kebenaran menjadi empat periode, yaitu

periode: (a) trial and error, (b) authority and tradition, (c)

speculation and argumentation, dan (d) hyphotesis and

experimentation. Berikut ini keempat periode tersebut akan

diuraikan satu persatu.

1. Periode trial and error

Pada periode ini, logika sistematis belum digunakan

untuk memperopeh suatu temuan kebenaran. Kebenaran

diperoleh secara kebetulan. Coba-coba, gagal. Coba lagi,

gagal lagi, demikian seterusnya sampai dijunpai suatu

pemecahan yang memuaskan. Di sini belum ada rencana yang sistematis. Cara yang dilakukan masih
dicari-cari

sambil berjalan.

2. Periode authority and tradition


Periode ini merupakan periode di mana pendapat

pihak yang mempunyai otoritas atau kekuasaan dianggap

sebagai kebenaran. Pencari kebenaran seperti Galileo yang

hidup pada abad 16 yang secara tekun dan sistematis

mencari kebenaran melalui penyelidikan dan penelitian,

terpaksa menghadapi kekuasaan gereja yang dengan kaku

dan tidak ada kompromi berusaha mempertahankan dogma

serta ajaran agama yang tidak boleh dipertanyakan

kebenarannya. Dengan mendukung dan mengembangkan

teori Copernicus tentang gerak bumi dan matahari, Galileo

dianggap telah menyeleweng dari ajaran gereja. Dia

ditangkap dan diperiksa oleh pengadilan Inquisisi yang

sangat terkenal kejamnya. Galileo terpaksa menghabiskan

hidupnya sebagai tahanan rumah. Dia sangat menderita

karena mempertahankan keyakinan akan kebenarannya

(LPP UMJ, 1993: 7). ”The master always says the truth”, itulah

yang menjadi semboyan penguasa. Orang yang dikuasai

harus mempercayai kebenaran yang diyakini penguasa. Jika

ada pihak yang berbeda harus dipaksa untuk sama

pandangannya.

Mengikuti tradisi juga merupakan cara manusia

untuk mencari kebenaran. Dalam realitas sosial, dapat

disaksikan banyak orang berbuat karena melihat atau tahu

bahwa nenek moyangnya juga berbuat seperti yang mereka

lakukan. Dalam masyarakat seperti ini, tradisi masih dominan menguasai cara berfikir. Kendati tidak
semua

tradisi salah, tetapi ada perbedaan kualitatif antara orang

yang melakukan tradisi sebagai suatu tradisi dengan orang

yang melakukan tradisi karena mengetahui bahwa tradisi

tersebut merupakan sesuatu yang memiliki nilai kebenaran.

3. Periode speculation dan argumentation


Pada periode ini pencari kebenaran mulai

mengadakan diskusi dan debat secara logis dalam mencari

kebenaran. Orang berspekulasi melakukan sesuatu karena

keyakinan pada kebenaran logikanya. Pedagang, politisi,

atau pemain sepakbola sering melakukan spekulasi karena

pertimbangan logikanya. Dalam periode ini mulai tampak

sifat kritis terhadap apa yang secara logika dianggap benar.

Siapa yang dapat berargumentasi logis akan dipandang

sebagai pihak yang benar. Cerita berikut ini diharapkan

memudahkan pemahaman temtang argumentasi sebagai

kebenaran.

‖Suatu hari, pengadilan sedang menyidangkan kasus

pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang pemuda

terhadap seorang wanita. Sang pembela sangat cekatan.

Kepada si wanita yang mengaku diperkosa, pembela

bertanya: ‘berapa kali kamu diperkosa dik?‘. ‘Enam kali‘,

jawab si wanita tersebut. Jawaban ini dijadikan dasar oleh

pembela untuk berargumentasi membela kliennya. ‘Pak

hakim, secara akal sehat apakah dapat dikategorikan

sebagai pemerkosaan jika seorang wanita berhubungan

badan dengan laki-laki sebanyak enam kali?. Jika satu kali,

mungkin dapat diterima akal sehat kita. Tetapi, sulit untuk dapat dipahami seorang diperkosa
sebanyak enam kali oleh

orang yang sama. Saya mohon tersangka dibebaskan dari

tuduhan karena sangkaannya tidak masuk akal‖.

Kelemahan pola berpikir pada periode ini adalah

begitu didewakannya akal dan ketangkasan lidah dalam

berargumen. Seolah-olah hanya akal dan ucapan yang dapat

membuktikan kebenaran. Kebenaran yang diyakini benar

pada periode ini adalah sesuatu yang dapat dijelaskan oleh

akal melaui ucapan yang argumentatif.


4. Periode hyphotesis and experimentation

Pada periode ini, dugaan-dugaan yang didasarkan

oleh ketajaman fikiran (hipotesis) mulai digunakan orang,

setelah itu mulai dikumpulkan fakta-fakta. Dari fakta-fakta

itu disimpulkan apakah dugaan tersebut sesuai dengan fakta

yang diperolah. Fakta diperoleh diperoleh dari

eksperimentasi, dokumen sejarah, observasi, dan

sebagainya. Biasanya, dalam mencari data tersebut orang

menggunakan alat dan simbol-simbol yang dilakukan secara

sistematis.

Pada periode inilah metode penelitian mulai

menemukan cirinya sebagai metode ilmiah di mana

pemiliran yang logis mulai digunakan dengan diperkuat

oleh fakta-fakta berupa data penelitian. Dugaan, baik berupa

hipotesis maupun asumsi digunakan sebagai arah yang akan

membantu di dalam pelaksanaan penelitian, terutama saat

pengumpulan data.

D. TIGA TEORI KEBENARAN

Para teolog, demikian juga mungkin dengan para

ilmuan, percaya bahwa kebenaran yang mutlak hanyalah

ada pada Tuhan. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang

relative dan tentative. Mengenai teori kebenaran sedikitnya

terdapat tiga teori kebenaran yaitu teori (a) koherensi, (b)

korespondensi, dan (c) pragmatis.

Teori koherensi mempunyai kaitan dengan logika

deduktif. Menurut teori ini suatu pernyataan dianggap

benar apabila mempunyai konsistensi dengan pernyataan

yang sebelumnya telah diakui kebenarannya baik berupa

teori, kaidah maupun hukum. Teori ini banyak

mendapatkan kritik, satu di antaranya dilontarkan oleh

Harold H. Titus (1959) yang menyatakan bahwa kita dapat


saja membangun suatu sistem saling hubungan (koherensi)

yang salah di samping yang benar secara logis, namun

kemudian terbukti sama sekali salah.

Kritik ini memberikan pengertian kepada kita bahwa

kebenaran koherensi baru sampai pada tahap rasional yang

ditarik secara deduktif, oleh karena itu terdapat teori lain

yang dapat memecahkan kemungkinan kesalahan itu yaitu

teori korespondensi.

Teori korespondensi menyebutkan bahwa sesuatu

dianggap benar apabila terdapat kesesuaian dengan suatu

fakta. Dengan demikian dapat difahami bahwa teori

korespondensi bersifat induktif atau berfikir empiris.

Teori pragmatis memandang bahwa sesuatu

dianggap benar apabila sesuatu itu mempunyai manfaat

bagi kehidupan manusia . kendatipun secara koherensi dan korespondensi benar, akan tetapi jika
tidak bermanfaat bagi

kemaslahatan manusia dianggap tidak benar Hal ini

berkaitan erat dengan masalah moral.

Anda mungkin juga menyukai