Anda di halaman 1dari 6

Hukum Gossen (law of diminishing marginal utility) berlaku, yaitu bahwa semakin banyak sesuatu barang dikonsumsikan, maka

tambahan kepuasan (marginal utility) yang diperoleh dari setiap satuan tambahan yang dikonsumsikan akan menurun

Karl Popper Menurut Karl Popper, proses verifikasi sangatlah lemah. Karl Popper lebih condong untuk menggunakan falsifikasi. Jadi fokus penelitian sains bukan lah pembuktian positif, namun pembuktian negatif. Artinya fokus penelitian adalah untuk membuktikan bahwa suatu teori umum adalah salah dengan menyodorkan sebuah bukti yang membuktikan bahwa ia salah. Hal ini membuat penelitian ilmiah lebih efisien karena teori langsung dapat dipastikan gugur hanya dengan sebuah fakta. Kesimpulannya, dalam filsafat ilmu Karl Popper, selama suatu teori belum bisa difalsifikasi, maka ia akan dianggap benar. Artinya, keyakinan kebenaran terhadap teori tersebut adalah tidak mutlak, hanya merupakan keyakinan yang memadai. Namun ketika teori tersebut difalsifikasi, maka hal tersebut akan menimbulkan keyakinan mutlak bahwa teori tersebut salah. Artinya yang akan memberikan keyakinan mutlak adalah

George . George Akerlof Akerlof dalam dalamfalsifikasi, bukan verifikasi. Hal ini berbeda karyanya tahun 1970:
dengan positivisme yang akan meyakini kebenaran mutlak suatu teori selama ia telah mengalami proses verifikasi sesuai standar ilmiah positivisme.

The Market for Lemons (Pasar Barang Kacan

Thomas Kuhn Menurut Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962), pergeseran paradigma adalah perubahan asumsi dasar atauparadigma dalam sains. Menurutnya, "paradigma adalah apa yang diyakini oleh anggota komunitas ilmiah" (The Essential Tension, 1977). Paradigma tidak terbatas kepada teori yang ada, tetapi juga semua cara pandang dunia dan implikasinya. Revolusi ilmiah berlangsung

ketika ilmuwan menemukan keganjilan yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma mereka saat itu.

Ilmu Pengetahuan Menurut Richard Tarnas Richard Tarnas mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan yang selama ini digunakan di kalangan masyarakat atau disebut sains modern memiliki beberapa kesalahan dasar yang menyebabkan kegagalan sains modern sebagai alat bagi manusia untuk mengelola bumi ini. Empat kesalahan dari dari ilmu pengetahuan modern ini adalah: 1. Konsep tentang space yang seharusnya space time 2. Materi yang disangka solid ternyata kosong. 3. Kausalitas yang dipandang terlalu simplistik, Kausalitas antara satu aspek yang menyebabkan aspek yang lain tidak bisa dipandang secara sederhana. Alam memiliki konsep kompleksitas sehinga satu aspek tidak hanya menimbulkan perubahan pada lebih dari satu aspek yang lain. Misalnya, penggunaan pupuk anorganik untuk meningkatkan produktivitas pertanian ternyata menyebabkan pencemaran sumber daya air dan lahan di sekitarnya serta dampak negatif pada kesehatan manusia ketika dikonsumsi. 4. Adanya prinsip uncertainty oleh Heisenberg Komponen abiotik dan abiotik yang ada di alam dan dikelola oleh manusia memiliki sifatsifat yang tidak diketahui secara pasti oleh penginderaan manusia yang terbatas dalam melakukan observasi. Manusia lebih berhati-hati dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam agar tidak menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan dan tidak dapat teratasi oleh teknologi yang ada. Adanya kesalahan dari postulat-postulat dasar dalam sains modern menyebabkan adanya krisis ekologi pada seluruh belahan dunia yang justru menghilangkan tujuan dari keberadaan sains modern itu sendiri. Krisis ekologi tersebut mengancam kehidupan manusia misalnya, kualitas air yang tercemar oleh limbah-limbah industri dan rumah tangga.

Plato Rasionalisme sesungguhnya telah muncul dalam pemikiran-pemikiran plato. Menurut Plato, satu-satunya pengetahuan sejati adalah apa yang disebut sebagai efisteme, yaitu pengetahuan tunggal dan tak berubah, sesuai dengan ide-ide abadi. Oleh karena itu, apa yang

kita tangkap melalui panca indra hanya merupakan tiruan cacat dari ide-ide tertentu yang abadi. Hanya ide-ide itu saja yang bersifat nyata dan sempurna. Segala hal lain hanya tiruan dan karena itu tidak nyata dan tidak sempurna. Dengan kata lain, manusia mengenal dan mengetahui bayangan itu melalui ide abadi. Maka pengetahuan bagi plato, adalah hasil ingatan yang melekat pada manusia. Pengetahuan adalah pengenalan kembali akan hal yang sudah diketahui dalam ide abadi. Pengetahuan adalah kumpulan ingatan terpendam dalam benak manusia. Dengan demikian, untuk mengetahui sesuatu, untuk menyelidiki sesuatu, dan berarti untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita hanya mengandalkan akal budi yang sudah mengenal ide abadi.

b.

Rene Descartes Descartes menganggap anjuran kaum skeptis supaya kita perlu meragukan semua

keyakinan dan pengetahuan kita, bahkan kita perlu meragukan apa saja. Bagi Descartes, inilah metode filsafat yang paling tepat. Sasaran utama dari Descartes adalah bagaimana kita bisa sampai kepada pengetahuan yang pasti benar. Menurutnya, kita perlu meragukan segala sesuatu sampai kita mempunyai ide yang jelas dan tepat. Atas dasar ini,

Descartes beranggapan bahwa hanya akal budi yang dapat membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan manusia, ada dasar untuk merasa pasti dan yakin akan apa yang diketahui. Sesungguhnya metode Descartes sangat sederhana. Menurutnya, kita harus meragukan segala sesuatu yang kita tangkap dengan panca indera kita sampai kita akhirnya tidak bisa lagi meragukan hal itu. Semua yang diragukan disingkirkan dan terus menerus begitu sampai kita mengetahui sesuatu secara pasti tanpa bisa diragukan. Itu adalah kebenaran atau pengetahuan yang benar. Dengan kata lain, untuk bisa sampai kepada kebenaran kita perlu meragukan segala hal, termasuk pendapat dan pengalaman kita sendiri. Ini kita lakukan dengan mengandalkan akal budi dengan berpikir

Aristoteles 1. Logika Aristoteles membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan:

a. b.

Ilmu pengetahuan praktis yang meliputi etika dan politika. Ilmu pengetahuan produktif, yaitu yang menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu karya (teknik dan kesenian). Ilmu pengetahuan teoretis, yang mencakup tiga bidang: fisika, matematika, dan filsafat pertama (yang sesudah Aristoteles akan disebut metafisika). Jika dilihat dari pembagian di atas, maka tampak jelas bahwa dalam pembagian ini tidak ada tempat untuk logika. Memang inilah yang dimaksud Aristoteles. Meskipun ia megarang buku tentang logika, namun ia berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan sendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan untuk berpikir dengan cara ilmiah.

c.

2.

Induksi, Deduksi, dan Investigasi Aristoteles berpendapat bahwa pengetahuan baru dapat dihasilkan melalui dua jalan, yaitu:

a)

Induksi, yaitu bertitik tolak dari kasus-kasus khusus yang menghasilkan pengetahuan tentang yang umum. Dengan perkataan lain, induksi bertitik tolak dari beberapa contoh dan atas dasar itu menyimpulkan suatu hukum umum yang berlaku juga bagi kasus-kasus yang belum diselidiki.[12]

b)

Deduksi, yaitu bertitik tolak dari dua kebenaran yang tidak disangsikan dan atas dasar itu menyimpulkan kebenaran yang ketiga.[13] Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan Sillogisme.Sillogisme tersusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Cara kerja induksi diajukan oleh Aristoteles. Menurutnya, tidak mungkin menangkap yang universal selain dengan jalan induksi, dan induksi dapat diperoleh melalui persepsi inderawi. Hal ini karena hanya dengan persepsi inderawi saja yang memiliki kemungkinan untuk dapat menangkap hal-hal yang bersifat partikular. Baginya, karena berkepentingan dengan yang universal, maka pengetahuan ilmiah haruslah melalui cara kerja persepsi inderawi dan induksi.

3.

A priori dan a posteriori Selain teori induksi, Aristoteles juga mengajukan adanya pengetahuan yang bersifat a priori (pre existent). Pengetahuan a priori menuntut dua hal; pertama, pengakuan akan adanya fakta, dan kedua, pemahaman terhadap makna istilah yang dipakai.

4.

Teori Sebab Menurut Aristoteles, Pengetahuan ilmiah tidak hanya berasal dari memahami dan merumuskan yang universal dari yang partikular, melainkan juga harus mampu mengetahui

sebab. Ada empat sebab yang membuat sesuatu itu menjadi ada, pertama, sebab materi, sebagi contoh adalah kayu dibentuk menjadi kursi. Kedua, sebab bentuk, seperti bentuk kursi. Ketiga, dari materi kayu di bentuk menjadi kayu. Keempat, sebab tujuan seperti orang membuat kursi bertujuan agar dapat dijadikan tempat duduk. 5. Cikal Bakal Metode Fenomenologi Cikal bakal metode fenomenologi bisa dikatakan berasal dari Aristoteles. Hal ini dapat diketahui ketika ia berkata marilah kita lepaskan dahulu pendapat-pendapat para pendahulu tentang jiwa sehingga jiwa itu masih dalam wujudnya yang murni belum tercampur oleh ragam pendapat dan kita memulai dari sesuatu yang benar-benar masih murni, kemudian berusaha memberikan jawaban yang tepat mengenai apakah jiwa itu.[14] 6. Sillogisme Silogisme adalah pola berpikir deduktif yang memiliki kebenaran pasti dan niscaya; berangkat dari hal-hal umum menuju hal-hal khusus. Sillogisme merupakan argumentasi yang terdiri dari tiga proposisi (bahasa Inggris: propositions). Dalam setiap proposisi dapat dibedakan menjadi dua unsur, yaitu 1) hal tentang apa sesuatu dikatakan dan 2) apa yang dikatakan. Hal tentang apa sesuatu dikatakan disebut subjek dan apa yang dikatakan tentang subjek disebut predikat.

David Hume (1711-1776) Dia ikut dalam berbagai pembahasan dan memengaruhi perkembangan dua aliran. Aliran yang dipengaruhinya adalah skeptisisme dan empirisme. Dalam hal skeptisisme, Hume mencurigai pemikiran filsafat dan di antara pemikirannya adalah bahwa prinsip kausalitas (sebab akibat) itu tidak memiliki dasar. Ia juga seorang agnostik, yakni orang yang berpendirian bahwa adanya Tuhan itu tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diingkari. Dalam hal empirisme, suatu pandangan yang mengatakan bahwa segala pengetahuan itu berasal dari pengalaman. Walaupun mungkin ada suatu dunia di luar kesedaran manusia, namun hal ini tidak dapat dibuktikan. Ia menolak sketisime, skeptisisme menurut beberapa filsuf adalah pandangan bahwa akal tidak mampu sampai pada kesimpulan, atau kalau tidak, akal tidak mampu melampaui hasil-hasil yang paling sederhana. Empirisme kemudian, dalam filsafat ilmu, menekankan aspek-aspek pengetahuan ilmiah yang terkait erat dengan bukti, terutama seperti yang ditemukan dalam percobaan. Ini adalah bagian mendasar dari metode ilmiah bahwa semua hipotesis dan teori harus diuji

terhadap pengamatan dari alam.

Anda mungkin juga menyukai