TUGAS 1
Oleh :
LINDA YUPITA (NIM 1990611001)
Ada sejumlah faktor yang memotivasi manusia untuk berfilsafat antara lain :
1. Ketakjuban/kekaguman/keheranan/thaumasia.
Banyak filusuf mengatakan bahwa yang menjadi awal kelahiran kelahiran filsafat
adalah Ketakjuban/kekaguman/keheranan/thaumasia. Dalam karyanya yang berjudul
Metafisika, Aristoteles mengatakan bahwa karena ketakjuban manusia mulai berfilsafat.
Pada mulanya manusia takjub memandang benda-benda aneh di sekitarnya, lama
kelamaan ketakjubannya semakin terarah pada hal-hal yang lebih luas dan besar, seperti
perubahan dan peredaran bulan, matahari, bintang-bintang dan asal mula alam semesta.
Istilah ketakjuban menunjuk dua hal penting, yaitu bahwa ketakjuban itu pasti
memiliki subyek dan obyek. Jika ada ketakjuban, sudah tentu ada yang takjub dan ada
sesuatu yang menakjubkan. Ketakjuban hanya mungkin dirasakan dan dialami oleh
makhluk yang selain berperasaan, juga berakal budi. Makhluk yang seperti itu, sampai
saat ini yang diketahui adalah manusia. Jika subyek dari ketakjuban itu manusia, apakah
yang menjadi obyek ketakjuban itu? Obyek ketakjuban adalah segala sesuatu yang ada
dan dapat diamati. Itulah sebabnya, bagi Plato pengamatan terhadap bintang-bintang,
matahari, dan langit merangsang manusia untuk melakukan penelitian. Penelitian
terhadap apa yang diamati demi memahami hakikatnya itulah yang melahirkan filsafat.
Pengamatan yang dilakukan terhadap obyek ketakjuban bukanlah hanya dengan mata,
melainkan dengan akal budi. Pengamatan akal budi tidak terbatas hanya pada obyek-
obyek yang dapat dilihat dan diraba, melainkan juga terhadap benda-benda yang dapat
dilihat tapi tidak dapat diraba, bahkan terhadap hal-hal yang abstrak, yaitu yang tak
terlihat dan tak teraba. Oleh karena itu pula, Immanuel Kant bukan hanya takjub terhadap
langit berbintang-bintang di atas, melainkan juga terpukau memandang hukum moral
dalam hatinya, sebagaimana yang tertulis pada kuburannya : coelum stellatum supra me,
lex moralis intra me.
Begitu pula dalam perspektif Driyarkara, keheranan, ketakjuban, atau perasaan ingin
tau dalam diri seseorang merupakan motif awal bagi timbulnya filsafat. Menurut
Driyarkara, apabila kita sungguh-sungguh hidup hidup dengan sadar di dunia ini, tak
dapat tidak kita tentu akan berhadapan dengan berbagai dengan berbagai pertanyaan dan
persoalan. Hasrat akan mengerti itu menyatakan diri dalam macam-macam pertanyaan,
yang sungguh-sungguh tidak mudah dijawab sekaligus. Yang dapat bertanya demikian itu
hanya manusia saja, hewan tdaik bertanya, tidak mempersoalkan apa yang dialaminya.
Berbeda dengan manusia, sejak waktu ia menyadari dunia, orang lain, dan dirinya sendiri
maka heranlah ia, tercengang-cengang. Artinya, ia insyaf bahwa ada hal-hal yang tidak
dimengertinya, tetapi ingin dan sanggup, ia mengertinya.
“Keheranan” itu dapat berpangkal pada hal-hal yang sangat biasa saja, bunga, pohon,
burung, kucing. Dan yang teraneh dari semuany iyu, juga tentang manusia itu sendiri,
mengapa dan bagaimana hidup dan matinya. Manusia selalu mempersoalkan dirinya
sendiri. Bahkan boleh dikatakan ia adalah teka teki bagi dirinya sendiri, suatu tanda-tanda
besar, suatu persoalan yang harus dipecahkannya sendiri. Siapa sebetulnya aku ini?
Bagaimana dan kemanakah hidupku ini? Pertanyaan-pertanyaan itu sering diikhtisarkan
dengan ungkapan : “rahasia hidup”. Dan merenugkan, berpikir-pikir yang sedemikian itu
selalu akan mengantar kita ke dalam rahasia hidup itu. Rahasia artinya pertanyaan atau
persoalan yang tidak bisa dijawab 100% keterangan, 100% memuaskan tak dapat dicapai
karena jawaban yang diberikan itu selalu akan menimbulkan 100 pertanyaan lain lagi,
sebab selalu ada terkandung arti yang tidak atau belum kita tangkap. Itulah sebabnya
filsafat tidak akan pernah selesai penyelidikannya. Dan anehnya, ini tidak menyebabkan
kita putus asa, melainkan sebaliknya ; keheranan berubah sifatnya menjadi kekaguman
yang memperkaya manusia. Dalam filsafatlah tersinggung, terjelma usaha-usaha manusia
untuk mencari jawaban atas teka-teki itu.
Dengan hati terbuka bagi semua yang mengagumkan di dalam kehidupan manusia,
bertanyalah kita dan akan terus bertanya, didorong oleh keinginan untuk terus menyelami
rahasia segala sesuatu, rahasia hidup kita sendiri dan orang-orang lainnya. Dan bagi
Gibrel Marcel, keheranan dan kekaguman yang menjadi pemicu lahirnya filsafat
bukanlah tanpa syarat. Untuk benar-benar memiliki keheranan dan kekaguman filosofis,
kita perlu membuka diri, perlu bersedia mendengarkan. Keangkuhan yang menutup diri
menjadi tidak cocok dengan sikap kekaguman filosofis. Dengan demikian, kekaguman
yang memicu lahirnya filsafat ternyata menuntut kerendahan hati kita.
2. Ketidakpuasan
Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos dan mite memainkan peranan yang amat
penting dalam kehidupan manusia. Berbagai mitos dan mite berupaya menjelaskan asal
mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta serta sifat-sifat peristiwa itu.
Akan tetapi, ternyata penjelasan dan keterangan yang diberikan oleh mitos-mitos dan
mite-mite itu makin lama makin tidak memusakna manusia. Ketidakpuasan itu membuat
manusia terus menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti dan
meyakinkan. Kenyataannya memang demikian, ketidakpuasan akan membuat manusia
melepaskan segala sesuatu yang tak dapat memuaskannya, lalu ia akan berupaya
menemukan apa yang dapat memuaskannya.
Manusia yang tidak puas dan terus menerus mencari penjelasan dan keterangan yang
lebih pasti ituvlambat laun mulai berpikir secara rasional. Akibatnya, akal budi semakin
berperan diwariskan oleh tradisi turun temurun semakin tersisih dari perannya semula
yang begitu besar. Ketika rasio berhasil menurunkan mitos-mitos dan mite-mite dari
singgasananya, lahirlah filsafat, yang pada masa itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan
yang ada dan telah dikenal.
3. Hasrat Bertanya
4. Keraguan
Memang ada yang mengatakan bahwa setiap pertanyaan yang diajukan oleh seseorang
esungguhnya senantiasa bertolak dari apa yang telah diketahui oleh si penanya terlebih
dahulu. Bahkan setiap orang yang bertanyasedikit banyak telah memiliki bayangan atau
gambaran dari apa yang dipertanyakannya. Jika tidak, ia tidak akan dapat mengajukan
pertanyaan itu. Oleh karena itu, sebagaimana dikutip oleh Beerling, Spinoza mengatakan :
“Saya bertanya padamu, siapakah yang dapat mengetahui bahwa ia mengerti sesuatu,
kalau dari mula-mulanya ia tak mengerti tentang hal itu, artinya, siapakahyang dapat
mengetahui bahwa sesuatu adalah pasti baginya, kalau dari mula-mula hal itu sudah tak
pasti baginya.”
Akan tetapi karena apa yang diketahui oleh si penanya baru merupakan gambaran
yang samar, maka ia bertanya. Ia bertanya karena masih meragukan kejelasan dan
kebenaran dari apa yang telah diketahuinya. Jadi jelas terlihat bahwa keraguanlah yang
turut merangsang manusia untuk bertanya dan terus bertanya, yang kemudian menggiring
manusia untuk berfilsafat. Sampai disini, menjadi jelas bagi kita bahwa manusia memang
bisa disebut Ensmeta-physicum yakni sebagai makhluk yang menurut kodratnya memiliki
kecenderungan untuk berfilsafat.
II. Batasan tentang filsafat & ilmu
Mengenai hubungan filsafat dengan ilmu dalam aspek persamaan dan perbedaannya,
dipaparkan oleh Juhaya S. Praja. Dalam tilikan Juhaya, aspek persamaan antara filsafat
dan ilmu pengetahuan, kedua-duanya menggunakan metode pemikiran reflektif dalam
usaha untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya menunjukkan sikap
kritik, dengan pikiran yang terbuka dan kemampuan yang tidak memihak, untuk
mengetahui hakikat kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan
yang teratur.
Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat
penting untuk membangun filsafat. Tiap filsuf dari suatu periode lebih condong untuk
merefleksikan pandangan ilmiah pada periode tersebut. Sementara itu, ilmu pengetahuan
melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangkan ide-ide yang tidak sesuai
dengan pengetahuan ilmiah.
Perlu ditegaskan kembali bahwa perbedaan antara ilmu dan filsafat dalam bagian
yang lebih besar, ialah perbedaan derajat dan penekanan. Ilmu lebih menekankan
kebenaran yang bersifat logik dan obyektif. Filsafat bersifat radikal dan subyektif. Ilmu
bisa berjalan mengadakan penelitian, selama obyeknya bisa diindra, dianalisis dan
dieksperimen. Manakala obyeknya sudah diindra, maka berhentilah ilmu sampai disitu.
Sedangkan filsafat justru mulai bekerja manakala ilmu sudah tidak bisa berbicara apa-apa
tentang suatu obyek.
Sekalipun demikian, bukan berarti ilmu tidak pemting bagi filsafat.justru filsafat pun
bekerja dengan bantuan ilmu. Banyak filsuf yang berpendapat pendidikan tentang metode
ilmiah dan mereka saling memupuk perhatian dalam beberapa disiplin ilmu. Baik filsuf
maupun ahli ilmu kedua-duanya mendapat gambaran yang lebih luas, jika mereka
memahami dan menghargai disiplin masing-masing. Selanjutnya untuk membuka
wawasan lebih luas, Driyararka memberi penjelasan lebih luas tentang perbedaan filsafat
dengan ilmu pengetahuan sekaligus kebutuhan ilmu-ilmu lain terhadap filsafat.
Maka dengan singkat dapat dirumuskan hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan
sebagai berikut :
- Filsafat mempunyai obyek yang luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-ilmu itu
terbatas, khusus lapangannya.
- Filsafat hendak memberikan pengetahuan, insight lebih mendalam dengan
menunjukkan sebab-sebab terakhir, sedangkan ilmu pengetahuan juga menunjukkan
sebab-sebab tapi tak begitu dalam.
- Filsafat memebrikan sintesis kepada ilmu-ilmu pengetahuan yang khusus,
mempersatukan dan mengoordinasikannya.
- Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan ilmu pengetahuan, tapi sudut
pandangnya lain, jadi merupakan 2 ilmu yang tersendiri. Kedua-duanya penting dan
perlu, dan kedua-duanya saling melengkapi. Tetapi keduanya harus saling
menghormati dan mengakui batas-batas dan sifat-sifat masing-masing.