Anda di halaman 1dari 12

FILSAFAT ILMU

Pengampu : Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, MS

TUGAS 1

Oleh :
LINDA YUPITA (NIM 1990611001)

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
I. Faktor- faktor yang mendorong timbulnya filsafat dan ilmu

Ada sejumlah faktor yang memotivasi manusia untuk berfilsafat antara lain :

1. Ketakjuban/kekaguman/keheranan/thaumasia.

Banyak filusuf mengatakan bahwa yang menjadi awal kelahiran kelahiran filsafat
adalah Ketakjuban/kekaguman/keheranan/thaumasia. Dalam karyanya yang berjudul
Metafisika, Aristoteles mengatakan bahwa karena ketakjuban manusia mulai berfilsafat.
Pada mulanya manusia takjub memandang benda-benda aneh di sekitarnya, lama
kelamaan ketakjubannya semakin terarah pada hal-hal yang lebih luas dan besar, seperti
perubahan dan peredaran bulan, matahari, bintang-bintang dan asal mula alam semesta.

Istilah ketakjuban menunjuk dua hal penting, yaitu bahwa ketakjuban itu pasti
memiliki subyek dan obyek. Jika ada ketakjuban, sudah tentu ada yang takjub dan ada
sesuatu yang menakjubkan. Ketakjuban hanya mungkin dirasakan dan dialami oleh
makhluk yang selain berperasaan, juga berakal budi. Makhluk yang seperti itu, sampai
saat ini yang diketahui adalah manusia. Jika subyek dari ketakjuban itu manusia, apakah
yang menjadi obyek ketakjuban itu? Obyek ketakjuban adalah segala sesuatu yang ada
dan dapat diamati. Itulah sebabnya, bagi Plato pengamatan terhadap bintang-bintang,
matahari, dan langit merangsang manusia untuk melakukan penelitian. Penelitian
terhadap apa yang diamati demi memahami hakikatnya itulah yang melahirkan filsafat.
Pengamatan yang dilakukan terhadap obyek ketakjuban bukanlah hanya dengan mata,
melainkan dengan akal budi. Pengamatan akal budi tidak terbatas hanya pada obyek-
obyek yang dapat dilihat dan diraba, melainkan juga terhadap benda-benda yang dapat
dilihat tapi tidak dapat diraba, bahkan terhadap hal-hal yang abstrak, yaitu yang tak
terlihat dan tak teraba. Oleh karena itu pula, Immanuel Kant bukan hanya takjub terhadap
langit berbintang-bintang di atas, melainkan juga terpukau memandang hukum moral
dalam hatinya, sebagaimana yang tertulis pada kuburannya : coelum stellatum supra me,
lex moralis intra me.

Begitu pula dalam perspektif Driyarkara, keheranan, ketakjuban, atau perasaan ingin
tau dalam diri seseorang merupakan motif awal bagi timbulnya filsafat. Menurut
Driyarkara, apabila kita sungguh-sungguh hidup hidup dengan sadar di dunia ini, tak
dapat tidak kita tentu akan berhadapan dengan berbagai dengan berbagai pertanyaan dan
persoalan. Hasrat akan mengerti itu menyatakan diri dalam macam-macam pertanyaan,
yang sungguh-sungguh tidak mudah dijawab sekaligus. Yang dapat bertanya demikian itu
hanya manusia saja, hewan tdaik bertanya, tidak mempersoalkan apa yang dialaminya.
Berbeda dengan manusia, sejak waktu ia menyadari dunia, orang lain, dan dirinya sendiri
maka heranlah ia, tercengang-cengang. Artinya, ia insyaf bahwa ada hal-hal yang tidak
dimengertinya, tetapi ingin dan sanggup, ia mengertinya.

“Keheranan” itu dapat berpangkal pada hal-hal yang sangat biasa saja, bunga, pohon,
burung, kucing. Dan yang teraneh dari semuany iyu, juga tentang manusia itu sendiri,
mengapa dan bagaimana hidup dan matinya. Manusia selalu mempersoalkan dirinya
sendiri. Bahkan boleh dikatakan ia adalah teka teki bagi dirinya sendiri, suatu tanda-tanda
besar, suatu persoalan yang harus dipecahkannya sendiri. Siapa sebetulnya aku ini?
Bagaimana dan kemanakah hidupku ini? Pertanyaan-pertanyaan itu sering diikhtisarkan
dengan ungkapan : “rahasia hidup”. Dan merenugkan, berpikir-pikir yang sedemikian itu
selalu akan mengantar kita ke dalam rahasia hidup itu. Rahasia artinya pertanyaan atau
persoalan yang tidak bisa dijawab 100% keterangan, 100% memuaskan tak dapat dicapai
karena jawaban yang diberikan itu selalu akan menimbulkan 100 pertanyaan lain lagi,
sebab selalu ada terkandung arti yang tidak atau belum kita tangkap. Itulah sebabnya
filsafat tidak akan pernah selesai penyelidikannya. Dan anehnya, ini tidak menyebabkan
kita putus asa, melainkan sebaliknya ; keheranan berubah sifatnya menjadi kekaguman
yang memperkaya manusia. Dalam filsafatlah tersinggung, terjelma usaha-usaha manusia
untuk mencari jawaban atas teka-teki itu.

Dengan hati terbuka bagi semua yang mengagumkan di dalam kehidupan manusia,
bertanyalah kita dan akan terus bertanya, didorong oleh keinginan untuk terus menyelami
rahasia segala sesuatu, rahasia hidup kita sendiri dan orang-orang lainnya. Dan bagi
Gibrel Marcel, keheranan dan kekaguman yang menjadi pemicu lahirnya filsafat
bukanlah tanpa syarat. Untuk benar-benar memiliki keheranan dan kekaguman filosofis,
kita perlu membuka diri, perlu bersedia mendengarkan. Keangkuhan yang menutup diri
menjadi tidak cocok dengan sikap kekaguman filosofis. Dengan demikian, kekaguman
yang memicu lahirnya filsafat ternyata menuntut kerendahan hati kita.

2. Ketidakpuasan
Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos dan mite memainkan peranan yang amat
penting dalam kehidupan manusia. Berbagai mitos dan mite berupaya menjelaskan asal
mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta serta sifat-sifat peristiwa itu.
Akan tetapi, ternyata penjelasan dan keterangan yang diberikan oleh mitos-mitos dan
mite-mite itu makin lama makin tidak memusakna manusia. Ketidakpuasan itu membuat
manusia terus menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti dan
meyakinkan. Kenyataannya memang demikian, ketidakpuasan akan membuat manusia
melepaskan segala sesuatu yang tak dapat memuaskannya, lalu ia akan berupaya
menemukan apa yang dapat memuaskannya.

Manusia yang tidak puas dan terus menerus mencari penjelasan dan keterangan yang
lebih pasti ituvlambat laun mulai berpikir secara rasional. Akibatnya, akal budi semakin
berperan diwariskan oleh tradisi turun temurun semakin tersisih dari perannya semula
yang begitu besar. Ketika rasio berhasil menurunkan mitos-mitos dan mite-mite dari
singgasananya, lahirlah filsafat, yang pada masa itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan
yang ada dan telah dikenal.

3. Hasrat Bertanya

Ketakjuban manusia telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan, dan ketidakpuasan


manusia membuat pertanyaan-pertanyaan itu tak kunjung habis. Pertanyaan tak boleh
dianggap sepele karena pertanyaanlah yang membuat kehidupan serta pengetahuan
manusia berkembang dan maju. Pertanyaanlah yang membuat manusia melakukan
pengamatan, penelitian dan penyelidikan. Ketiga hal itu yang menghasilkan penemuan
baru yang semakin memperkaya manusia dengan penhetahuan yang terus bertambah.
Menurut Sartre, kesadaran pada manusia senantiasa bersifat bertanya yang sungguh-
sungguh bertanya.

Hasrat bertanya membuat manusia mempertanyakan segalanya. Pertanyaa-pertanyaan


yang diajukan itu tidak sekedar terarah pada wujud sesuatu, melainkan juga terarah pada
dasar dan hakikatnya. Inilah yang menjadi salah satu ciri khas filsafat. Filsafat selalu
mempertanyakan sesuatu dengan cara pikir radikal, sampai ke akar-akarnya, tetapi juga
bersifat universal.
Jika dikatakan bahwa manusia mempertanyakan segala sesuatunya, berarti manusia
bukan hanya mempertanyakan segala sesuatu di luar dirinya. Manusia
jugamempertanyakan dirinya sendiri yang memiliki hasrat bertanya. Bahkan, ia juga
dapat mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sedang dipertanyakannya itu. Itulah
yang membuat filsafat itu ada, tetap ada dan akan terus ada. Filsafat akan berhenti apabila
manusia telah berhenti bertanya secara radikal dan universal.

4. Keraguan

Manusia selaku penanya mempertanyakan sesuatu dengan maksud untuk memperoleh


kejelasan dan keterangan mengenai sesuatu yang dipertanyakannya itu. Tentu saja hal itu
berarti bahwa apa yang dipertanyakannya itu tidak jelas atau belum terang. Karena
sesuatu itu tidak jelas atau belum terang, manusia perlu dan harus bertanya. Pertanyaan
yang diajukan untuk memperoleh kejelasan dan keterangan yang pasti pada hakikatnya
merupakan suatu pertanyaan tentang adanya aporia (keraguan atau ketidakpastian dan
kebingungan) di pihak manusia yang bertanya.

Memang ada yang mengatakan bahwa setiap pertanyaan yang diajukan oleh seseorang
esungguhnya senantiasa bertolak dari apa yang telah diketahui oleh si penanya terlebih
dahulu. Bahkan setiap orang yang bertanyasedikit banyak telah memiliki bayangan atau
gambaran dari apa yang dipertanyakannya. Jika tidak, ia tidak akan dapat mengajukan
pertanyaan itu. Oleh karena itu, sebagaimana dikutip oleh Beerling, Spinoza mengatakan :

“Saya bertanya padamu, siapakah yang dapat mengetahui bahwa ia mengerti sesuatu,
kalau dari mula-mulanya ia tak mengerti tentang hal itu, artinya, siapakahyang dapat
mengetahui bahwa sesuatu adalah pasti baginya, kalau dari mula-mula hal itu sudah tak
pasti baginya.”

Akan tetapi karena apa yang diketahui oleh si penanya baru merupakan gambaran
yang samar, maka ia bertanya. Ia bertanya karena masih meragukan kejelasan dan
kebenaran dari apa yang telah diketahuinya. Jadi jelas terlihat bahwa keraguanlah yang
turut merangsang manusia untuk bertanya dan terus bertanya, yang kemudian menggiring
manusia untuk berfilsafat. Sampai disini, menjadi jelas bagi kita bahwa manusia memang
bisa disebut Ensmeta-physicum yakni sebagai makhluk yang menurut kodratnya memiliki
kecenderungan untuk berfilsafat.
II. Batasan tentang filsafat & ilmu

Mengenai hubungan filsafat dengan ilmu dalam aspek persamaan dan perbedaannya,
dipaparkan oleh Juhaya S. Praja. Dalam tilikan Juhaya, aspek persamaan antara filsafat
dan ilmu pengetahuan, kedua-duanya menggunakan metode pemikiran reflektif dalam
usaha untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya menunjukkan sikap
kritik, dengan pikiran yang terbuka dan kemampuan yang tidak memihak, untuk
mengetahui hakikat kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan
yang teratur.

Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat
penting untuk membangun filsafat. Tiap filsuf dari suatu periode lebih condong untuk
merefleksikan pandangan ilmiah pada periode tersebut. Sementara itu, ilmu pengetahuan
melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangkan ide-ide yang tidak sesuai
dengan pengetahuan ilmiah.

Filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian


mengaturnya dalam pandangan hidup yang sempurna dan terpadu. Dalam hubungan ini,
kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong kita untuk menengok kembali ide-ide dan
interpretasi kita, baik itu di bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang-bidang lain.
Sebagai salah satu contoh, konsep evolusi mendorong kita untuk meninjau kembali
pemikiran kita, hampir dalam segala bidang. Kontribusi yang lebih jauh, yang diberikan
filsafat terhadap terhadap ilmu pengetahuan, adalah kritik tentang asumsi, postulat ilmu
dan analisis kritik tentang istilah-istilah yang dipakai.

Sedangkan perbedaan antara ilmu dan filsafat pada umumnya menunjukkan


kecondongan atau titik penekanan, dan bukan pada penekanan yang mutlak. Ilmu-ilmu
tertentu menyelidiki bidang-bidang yang terbatas, filsafat mencoba melayani seluruh
manusia. Oleg karena itu, filsafat lebih bersifat inklusif, tidak eksklusif. Ia berusaha untuk
memasukkan dalam kumpulan pengetahuan yang bersifat umum, untuk segala bidang dan
pengalaman manusia pada umumnya. Dengan demikian filsafat berusaha mendapatkan
pandangan yang lebih komprehensif tentang benda-benda. Jika ilmu itu dalam
pendekatannya lebih analitik dan lebih deskriptif, maka filsafat sintetik dan sinoptik,
dalam menghadapi sifat-sifat dan kwalitas dan kehidupan sebagai keseluruhan. Ilmu
berusaha untuk menganalisa seluruh unsur yang menjadi bagian-bagiannya, serta
menganalisa seluruh anggotanya. Adapun filsafat berusaha untuk mengembangkan
benda-benda dalam sintesisyang interpretatif dan menemukan arti hakiki benda-benda.
Jika ilmu berusaha untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi dan menganggap sepi
nilai-nilai demi menghasilkan obyektivitas, maka filsafat lebih mementingkan
personalitas, nilai-nilai, juga bidang pengalaman.

Ilmu dan filsafat kedua-duanya memberikan penjelasan-penjelasan dan arti-arti dari


obyeknya masing-masing. Orang lebih menekankan pentingnya deskripsi, hukum-hukum,
fenomena dan hubungan sebab musabab. Filsafat mementingkan hubungan-hubungan
antara fakta-fakta khusus dengan bagian yang lebih besar. Ilmu menggunakan
pengamatan eksperimen dan pengalaman ragawi, sedangkan filsafat berusaha
menghubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakekat
kebenarannya.

Perlu ditegaskan kembali bahwa perbedaan antara ilmu dan filsafat dalam bagian
yang lebih besar, ialah perbedaan derajat dan penekanan. Ilmu lebih menekankan
kebenaran yang bersifat logik dan obyektif. Filsafat bersifat radikal dan subyektif. Ilmu
bisa berjalan mengadakan penelitian, selama obyeknya bisa diindra, dianalisis dan
dieksperimen. Manakala obyeknya sudah diindra, maka berhentilah ilmu sampai disitu.
Sedangkan filsafat justru mulai bekerja manakala ilmu sudah tidak bisa berbicara apa-apa
tentang suatu obyek.

Sekalipun demikian, bukan berarti ilmu tidak pemting bagi filsafat.justru filsafat pun
bekerja dengan bantuan ilmu. Banyak filsuf yang berpendapat pendidikan tentang metode
ilmiah dan mereka saling memupuk perhatian dalam beberapa disiplin ilmu. Baik filsuf
maupun ahli ilmu kedua-duanya mendapat gambaran yang lebih luas, jika mereka
memahami dan menghargai disiplin masing-masing. Selanjutnya untuk membuka
wawasan lebih luas, Driyararka memberi penjelasan lebih luas tentang perbedaan filsafat
dengan ilmu pengetahuan sekaligus kebutuhan ilmu-ilmu lain terhadap filsafat.

1. Filsafat hendak memberikan penjelasan terakhir yang mutlak, yang terdalam,


sedangkan ilmu pengetahuan menunjukkan sebab-sebab yang sekunder. Seorang
ahli ilmu hayat misalnya, mempelajari gejala-gejala hidup, obyeknya adalah
makhluk-makhluk yang hidup. Maka ia akan menyelidiki semua pernyataan-
pernyataan hidup dari tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia pula untuk
direnungkan kembali. Ia mencari pengetahuan tentang peedaran darah,
pencernaan, organ-organ dan sebagainya dan mencoba menunjukkan semua
faktor-faktor yang memengaruhi hidup itu. Akan tetapi, bahwa makhluk-makhluk
yang dipelajarinya itu hidup, itu diterimanya tanpa membedakan lebih lanjut
karena ini telah menjadi lapangan penyelidikannya.
Seorang filsuf sebaliknya yakin bahwa, misalnya, pencernaan atau peredaran
darah itu tidak habis diterangkan dengan menunjukkan kelenjar-kelenjar, alat-alat,
getah-getah dan sebagainya., melainkan terletak dalam adanya makhluk itu hidup.
Dan apabila ia mencoba memperoleh pengertian tentang hidup itu dan sampai
pada kesimpulan bahwa hidup itu bersifat “dapat menggerakkan dirinya sendiri”
maka ia bertanya terus apakah lalu “bergerak itu” dan mengapa justru makhluk
hiduplah yang dapat bergerak, barang mati tidak.
Begitu juga mengenai manusia, seorang filsuf tidak hanya bertanya misalnya :
bagaimanakah manusia dapat mencukupi kebutuhannya sehari-hari,
bagaimanakah sifat-sifat kebudayaan hasil ciptaannya, tetapi apakah manusia itu,
apakah sifatnya yang paling pokok. Apakah ia mempunyai pikiran yang
membedakannya dari semua makhluk-makhluk lainnya di alam dunia, apakah ia
mempunyai jiwa yang mendorongnya untuk mencari kebutuhan sendiri, dan
mengapa ia didorong untuk berbuat demikian. Jadi, ia tidak puas dengan
secondary causes, dengan proximate explanation, melainkan menerobos sampai
inti sari, sampai dasar-dasar yang paling dasar, yang memebrikan penjelasan
terakhir, ultimate explanation dan first causes.
2. Filsafat berupaya melakukan sintesis terhadap ilmu yang bermacam-macam. Ilmu
pengetahuan itu ada bermacam-macam, ada banyak karena kenyataan memang
beraneka warna pula. Didorong oleh keinginan umtuk mengerti, mengerti dengan
lengkap dan mendalam, maka orang membagi-bagi lapangan ilmu pengetahuan
menjadi berbagai-bagai ilmu yang masing-masing memepelajari satu lapangan
yang khusus. Dan dalam pengkhususan itu orang masih terus mengadakan
spesialisasi lebih lanjut.
Akan tetapi orang merasakan keinginan untuk mengerti totalitasnya pun dalam
spesialisasi, dalam lapangan ilmu yang telah khusus itu orang merasa bahwa
bagian-bagian hanya dapat dimengerti jika dipandang dalam keseluruhannya.
Demikian halnya di dalam ilmu yang telah khusus, demikian pula mengenai
seluruh lapangan ilmu pengetahuan. Maka disamping keinginan akan pengetahuan
yang mengenai keseluruhan di dalam satu cabang ilmu pengetahuan, terasa juga
dorongan untuk mrmpunyai pandangan yang melampaui batas-batas
pengkhususan itu (ini sudut negatif) dan mengenai seluruh kenyataan/realitas (ini
sudut positif).
Dengan perkataan lain lagi, ilmu pengetahuan dapat dikatakan pernyataan dari
hasrat untuk mengerti, untuk mencapai kebenaran. Jadi telah menunjukkan
keunggulan manusia adalah jiwanya, yang dengan sadar mengalahkan dunia
kebendaan untuk mengabdi kepadanya. Akan tetapi hasrat atau dorongan untuk
mengerti itu lebih lanjut lagi. Ilmu itu bagi jiwa masih terlalu terbatas adanya.
Terlalu terbagi-bag pula, yang dikehendaki oleh akal budi manusia, yaitu kesatuan
di dalam keragaman itu, pandangan yang meliputi seluruh lapangan ilmu
pengetahuan.
Dan dasarnya lebih dalam lagi, bagi seluruh dunia, manusia yang menjadi pusat
dan puncaknya. Sambil hidup di alam dunia ini manusia harus mencari tujuan
hidupnya, memberikan arti dan isi kepadanya. Dan ini haruslah sesuai dengan
martabat manusia, artinya dengan sadar dan bebas merdeka ia harus menentukan
jalannya. Ia harus menentukan sikap dan kedudukannya terhadap dunia
kebendaan, terhadap makhluk-makhluk lainnya, terhadap sesama manusia,
terhadap dirinya sendiri, terhadap Tuhan pula. Dengan perkataan lain, ia harus
mengerti tentang segala sesuatu dan menempatkan dirinya di dalam keseluruhan
itu. Maka di atas hasil-hasil penyelidikan ilmu pengetahuan, ia memerlukan suatu
pengetahuan lagi yang lebih luas, yang mengenai keseluruhan yang ada, yang
meliputi semua lapangan kehidupannya dan dengan mana ia dapat menempatkan
dirinya sendiri dan dalam keseluruhan itu. Pengetahuan inilah yang kita sebut
“Filsafat”.
3. Filsafat memberi jawaban (wawasan) dari pertanyaan-pertanyaan yang tak
terjawab oleh ilmu. Ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab semua pertanyaan
yang timbul bagi seorang manusia, malahan ilmu itu sendiri menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri. Seperti
telah dikatakan tadi, ilmu hayat misalnya tanpa pembuktian menerima adanya
makhluk-makhluk yang hidup. Apabila seorang ahli ilmu alam menyelidiki
barang-barang mati, ia harus menerima adanya barang-barang itu. Bahwa memang
ada barang-barang mati dan barang-barang hidup itu tidak menjadi persoalan
baginya.
Dan ini berlaku bagi setiap ilmu pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan
berpangkal pada pengertian-pengertian dan kejadian-kejadian yang oleh ilmu itu
dianggap sudah pasti tidak memerlukan pembuktian atau penyelidikan. Ahli kimia
misalnya berpangkalan bahwa memang ada barang-barang materiil, ilmu jiwa
berdasarkan sangkaan bahwa memang manusia memiliki jiwa. Ahli sejarah
berpangkalan pengakuan bahwa bahwa memang ada terjadi peristiwa-peristiwa
sejarah, bahwa ada waktu, lagi pula bahwa mereka sebagai ahli memang dapat
atau sanggup mengetahui peristiwa-peristiwa itu. Ini semuanya tidak dipersoalkan
atau perlu dibuktikan lebih dulu. Ini diterima sebagai kenyataan.
Akan tetapi teranglah bahwa ini tidak seterang seperti anggapan mereka, bahwa
mengenai hal ini ada persoalanpersoalan juga. Seorang ahli kimia tidak bertanya :
apakah benda itu dan mengapa justru ada. Ahli sejarah tidak bertanya : siapakah
sebetulnya pada hakikatnya manusia itu, mengapa ia hidup di dalam waktu,
mengapa ia selalu hidup bermasyarakat, mengapa manusia menciptakan
kebudayaan. Akan tetapi kenyataan-kenyataan seperti ini akan timbul juga.
Seorang dokter menunjukkan hubungan sebab akibat antara dua gejala yang
diperiksanya (misalnya makan racun dan matinya pasien). Akan tetapi, ia tidak
bertanya apakah sebab itu, apakah memang ada sebab, tetapi manusia tetap
bertanya demikian.
Pada umumnya ilmu pengetahuan tentu beranggapan bahwa manusia itu mencari
kebenaran dan mencapai pengetahuan. Ilmu pasti atau kimia atau hayat atau
sosiologi atau jiwa atau sejarah atau ilmu yang khusus manapun juga tidak
memberi jawaban atau penjelasan tentang apakah itu, apakah kebenaran itu
memang dapat dicapai oleh akal kita. Padahal ini merupakan pertanyaan yang
sangat penting, yang lebih penting dan menentukan daripada semua hasil ilmu
yang khusus karena pertanyaan ini mengenai manusia itu sendiri, dan dari
jawaban atas pertanyaan itu bergantunglah seluruh nasib ilmu pengetahuan.
Teranglah sekarang bahwa ilmu-ilmu pengetahuan menelorkan banyak soal yang
jawabannya terletak di luar ilmu itu sendiri.
Maka jelaslah kita sebagai manusia di samping ilmu-ilmu pengetahuan masih
memerlukan ilmu-ilmu lain lagi, suatu ilmu yang khusus mempelajari soal-soal
seperti tersebut di atas. Dan ilmu itu tak lain adalah filsafat. Filsafat bertugas
memberikan sintesis yang diinginkan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
timbul dari ilmu-ilmu, memberikan penjelasan pertanyaan terakhir, pengetahuan
mempelajari apa yang terdalam di dalam barang-barang, di dalam dunia, di dalam
manusia itu sendiri. Suatu ilmu yang mempersoalkan justru adanya kesemuanya
itu dan itu menunjukkan sebab-sebab dan dasar-dasarnya.
Semua ilmu pengetahuan tentu berdasarkan anggapan bahwa barang-barang yang
dipandangnya sebagai obyek tentu ada. Akan tetapi ilmu-ilmu itu tidak
mengatakan sepatah kata pun tentang apakah ada itu. Apakah hidup, apakah
sebab, apakah pikiran, apakah mengerti, apakah yang bai, apakah yang buruk,
apakah kebenaran, apakah kemerdekaan, apakah jiwa dan bagaimana
hubungannya dengan badan, apakah mati dan mengapa kita sebagai manusia tentu
akan mati.
Ahli filsafat sebaliknya justru menyelidiki tentang apakah ada itu, dari mana
asalnya, apa tujuannya, apa sebabnya, apa syarat-syaratnya dan sebagainya.
Apabila ternyata bahwa ada itu ada tingkatannya, maka dipersoalkan lagi apa arti
ada itu di dalam setiap tingkatan, dalam barang-barang mati, dalam tumbuhan,
dalam binatang, dalam manusia, dan apabila ternyata manusia itu sendiri belumlah
merupakan penjelasan yang terakhir dari kesemuanya itu, maka diteruskan
penyelidikannya hingga sampailah ia pada Tuhan, sebab pertama dan tujuan
terakhir dari dunia dan manusia.

Maka dengan singkat dapat dirumuskan hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan
sebagai berikut :

- Filsafat mempunyai obyek yang luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-ilmu itu
terbatas, khusus lapangannya.
- Filsafat hendak memberikan pengetahuan, insight lebih mendalam dengan
menunjukkan sebab-sebab terakhir, sedangkan ilmu pengetahuan juga menunjukkan
sebab-sebab tapi tak begitu dalam.
- Filsafat memebrikan sintesis kepada ilmu-ilmu pengetahuan yang khusus,
mempersatukan dan mengoordinasikannya.
- Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan ilmu pengetahuan, tapi sudut
pandangnya lain, jadi merupakan 2 ilmu yang tersendiri. Kedua-duanya penting dan
perlu, dan kedua-duanya saling melengkapi. Tetapi keduanya harus saling
menghormati dan mengakui batas-batas dan sifat-sifat masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai