Npm : 1914201014
Prodi : Ilmu Keperawatan
Semester : 5
Mk : Kemuhammadiyaan
Soal :
1. Bagaimanakah Sejarah kehadiran dan perkembangan Muhammadiyah di Bengkulu ?
2. Bagaimanakah sejarah kehadiran dan perkembangan Aisyiyah di Bengkulu ?
3. Aisyiyah adalah (1) Gerakan Perempuan (2) Gerakan Keagamaan / Dakwah , dan (3) Gerakan
Sosial. Jelaskan.
4. Apa yang dimaksud dengan Amal Usaha dalam Muhammadiyah/ Aisyiyah ? Apa saja bentuk
bentuk Perwujudannya ?
5. Di Kampus universitas Muhammadiyah Bengkulu terdapat nama Gedung HD. Siapa yang
dimaksudkan dengan nama itu ? Dan siapa sesungguhnya Beliau itu ?
Jawaban
1. Menjelang Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu yang digelar 15-17
Februari mendatang, banyak kisah dan perjuangan dari berdirinya
organisasi Islam ini yang bisa dikenang. Sejarah mencatat, kehadiran
Muhammadiyah di Bengkulu telah membawa perubahan, baik dalam
tatanan kehidupan maupun perkembangan daerah. Sejarawan
Muhammadiyah Bengkulu, Hardiansyah SPd mengatakan,
Muhammadiyah hadir di Bengkulu sejak tahun 1915 M yang dibawa oleh
orang Minangkabau, Sumatera Barat. Dari sejarah panjang tersebut,
tercatat ada beberapa kali Haji Muchtar, dari HB Muhammadiyah
Yogyakarta datang ke Bengkulu untuk “menjinakkan” gerakan
Muhammadiyah yang dinilai oleh Pemerintah Hindia Belanda terlalu keras
terhadap pemerintah.
“Memang pada awal sejarahnya, Muhammadiyah Bengkulu lebih
didominasi oleh kaum muda Minangkabau yang lebih menampakkan sikap
tidak suka terhadap pemerintahan,”
Sehingga membuat Konsul Muhammadiyah Bengkulu yang pertama, Haji
Yunus Jamaludin ikut terpengaruh dengan gagasan kaum muda yang
berasal dari Minangkabau tersebut. Untuk mengimbangi pengaruh dari
Sumatera Barat, maka diutuslah ke Bengkulu perwakilan kader-kader
Muhammadiyah dari Jawa dengan pendekatan yang lebih lembut, seperti
Bapak Djalal Suyuthie. Sehingga mampu meredam pertentangan yang
dilakukan kaum tradisionalis dan adat.
Dengan meredanya kerusuhan, membuat Muhammadiyah Bengkulu hadir
sebagai salah satu organisasi keagamaan yang dapat berbaur dengan
beragam etnis yang ada. Tidak hanya etnis Minang, Jawa, dan Bugis,
etnis Tionghoa juga diterima dengan baik. Tercatat nama Oey Tjeng Hien
seorang Tionghoa yang masuk Islam dan lebih dikenal dengan nama Haji
Abdul Karim Oey ikut menjadi bagian dari Muhammadiyah di Bengkulu.
“Beliau mungkin satu-satunya orang Tionghoa yang pernah menjadi
konsul Muhammadiyah di Bengkulu,” kata Hardi. Bahkan, perjuangan Oey
Tjeng Hien di Bengkulu telah mengajak beberapa orang Tionghoa lainnya
untuk masuk Islam dan bergerak di Muhammadiyah. Salah satunya adalah
Tjong A Tjin yang merupakan anak angkat beliau. Di saat daerah lain
terdapat “gap” dengan sebutan “pri-” dan “non-pri”, Muhammadiyah
Bengkulu telah mengikis hal tersebut. “Itu terbukti ketika terjadi
gelombang kerusuhan anti China tahun 1998, Bengkulu merupakan salah
satu daerah yang tidak ikut dalam gejolak nasional tersebut,” ungkap
Hardi. Selain itu, nilai historis khusus Muhammadiyah Bengkulu jika
dibandingkan Muhammadiyah lainnya adalah dengan bergabungnya
Soekarno, Presiden pertama RI saat diasingkan di Bengkulu dan menjadi
Majelis Pengadjaran Muhammadiyah cabang Bengkulu. Terjadi semacam
simbiosis mutualisme antara Bung Karno dan Muhammadiyah. Dari
Muhammadiyah, Bung Karno memperoleh ruang gerak untuk
menanamkan nasionalisme dan banyak belajar bagaimana gerakan
modernisme Islam yang un-theoritic, sedangkan Muhammadiyah
mengambil semangat kebangsaan untuk memupuk rasa cinta tanah air
para anggotanya. “Bahkan Bung Karno menggagas konferensi Daeratul
Kubro, salah satu konferensi terbesar pada saat itu yang mengundang
hadirnya para tokoh Muhammadiyah se-Sumatera, dan beliaupun
memperisterikan aktivis Nasyiatul Aisyiyah, Fatmawati, putri dari Bapak
Hassan Din yang merupakan penggerak Muhammadiyah Bengkulu,”
terang Hardi. Selain itu, ciri inklusif Muhammadiyah yang terlihat di
Bengkulu menegaskan bahwa organisasi ini siap bekerjasama dengan
siapa saja untuk mencapai cita-citanya. Tercatat banyak guru-guru
Muhammadiyah yang mengajar agama Islam di sekolah Taman Siswa
Bengkulu, sedangkan guru Taman Siswa banyak pula yang mengajarkan
tentang ilmu-ilmu umum di sekolah Muhammadiyah. Sehingga gerakannya
tidak rigid dengan meninggalkan doktrin “kelompok sini” dan “kelompok
sana”. “Muhammadiyah itu saling bekerjasama, cita-cita idealnya yaitu
mewujudkan masyarakat Islam yang saling membutuhkan,” tutupnya.(999)
2. Hjj