Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Muhammadiyah Muntilan

Tahun 1919-2019

Sejarah Muhammadiyah di Muntilan hingga 50 tahun pertama keberadaannya


tidak banyak diketahui karena amat langkanya bukti sejarah, sedikitnya dokumen dan
minimnya sosialisasi. Akan tetapi dari sedikitnya data yang didapatkan tetap
bisa/mungkin untuk merekonstruksi proses pergerakan Muhammadiyah masa lalu
terutama setelah dilengkapi dari sumber-sumber lain termasuk lisan berupa cerita
antargenerasi lewat getok-tular, selain hasil wawancara tokoh dan file yang sementara ini
ada. Oleh karena itu berharap yang berlebihan dari tulisan ini sungguh tidak pada
tempatnya; sebab jika kelak mampu didapatkan data baru, bukti dan dokumen yang
baru/berbeda maka bangunan sejarah yang terbentuk pun bisa berbeda pula dengan
yang sudah ada saat ini. Sejarah sungguh merupakan wacana pemaknaan terhadap
peristiwa di masa lalu yang berhasil didapatkan dan ditulis pada masa kini guna
kepentingan masa depan. Bismillah.

A. Masuknya Muhammadiyah
Muhammadiyah di wilayah Muntilan dimulai dari hadirnya KH Ahmad Dahlan ke
kota kecil ini pada tahun 1918/19191. Pendiri Muhammadiyah yang berasal dari
Yogyakarta itu hadir di Muntilan, berjarak 40-an km ke arah utaranya untuk melakukan
debat-keyakinan dengan Frans Van Lith, seorang misionaris Katholik aseli Belanda yang
sengaja datang ke Muntilan pada tahun 1894. Debat dilakukan di serambi masjid Kauman
Muntilan guna menghentikan niat ekspansi tanah-wilayah misionaris saat itu yang
sedianya akan memindahkan seluruh lokasi warga kampong Kauman Muntilan dari
tempat tinggalnya. Alhamdulillah Frans Van Lith bisa dikalahkan dalam debat itu dan
ekspansi otomatis dihentikan. Tokoh warga kampong Kauman yang mengatur hal itu
adalah KH Ma’soem bin KH Isa (1848-1929) pengulu di Sawangan Magelang dan kelak di
kemudian hari sempat mendapatkan amanah sebagai Ketua Umum (sesepuh) Pimpinan
“Calon Grup” (Gerombolan) Muhammadiyah Muntilan pada tahun 1924 2 hingga wafatnya
pada tahun 1929.

Kegiatan dan program pengurus persyarikatan di awal mula kepemimpinan itu


tidak demikian jelas, namun beberapa orang dari Muntilan dan sekitarnya jelas sempat
mengikuti Pengajian Muhammadiyah berkala setiap Selasa Pon di Kauman Yogyakarta,
konon ikut-sertanya secara berombongan dengan bersepeda-pancal. Pengajian itu isi
utamanya adalah penyadaran dan penguatan keyakinan hidup. Oleh karena itu tuntunan
mengenai keyakinan hidup dan bagaimana hidup yang sesuai keyakinan tampaknya
merupakan topik-sentral pada zaman itu; wajar sekali bila itu yang dijadikan tema-topik
dalam perdebatan antara KHA Dahlan dengan Frans Van Lith. Tema itu jelas mampu
menguatkan dan juga sebaliknya melemahkan keyakinan hidup seseorang, termasuk
beberapa aktivis-formalis persyarikatan pada generasi awal ini. Terbukti karena faktor
1
Data lihat misalnya pada Ahmad Adaby Darban, sejarawan UGM yang menulis artikel berjudul
“Imamah Muhammadiyah Menyongsong Perjuangannya di Abad yang Kedua” dalam majalah Suara
Muhammadiyah Yogyakarta, Nomor 12 Tahun ke-90; 16-30 Juni 2005 halaman 30-31.
2
Susunan Pengurus “Calon Group” Muhammadiyah Muntilan tahun 1924. Ketua Umum/sesepuh: KH
Ma’soem, Ketua: Kartowijardjo, Sekretaris: Mangoenredjo, Bendahara: Hardjo Oetomo, dan Pembantu
Umum: R. Soemosastro, Karto Amindjojo, Kardjodimedjo, R. Abdul Ngalim, Kerto Oetomo, Ali Atmodjo.
(Sumber Laporan hasil wawancara Ellyana Indriati, dengan Soeharto Kertohartono, mantan Ketua PCM
Muntilan, 16 Maret 1983, FE UMMgl, Tugas Kuliah AIK, halaman 8 ).
keyakinan itu Kartowijardjo Sang Ketua “Calon Grup” Muhammadiyah itu menyimpang
keyakinannya dan (bahkan) dipercaya menjadi badal ‘pengganti’ Romo dari aliran
kepercayaan Resi Pran Soeh (RPS Sastrosuwignjo) yang sehari-harinya mengajarkan
Ilmu Klenik Ngesthi Kasampurnan di markas kegiatannya, Jagalan Muntilan3. Ini jelas
penyimpangan dari keyakinan hidup muslim hingga kemudian ybs. dikeluarkan secara
organisatoris. Termasuk juga Mangoenredjo Sang Sekretaris “Calon Grup” yang sempat
beralih keyakinan dari Islam menjadi beragama Budha namun alhamdulilah kembali ke
Islam lagi. Sebagai akibatnya kepemimpinan awal kepengurusan Muhammadiyah
Muntilan itu relatif vacuum, tanpa kejelasan kegiatan fenomenal ke masyarakat, apalagi
setelah sesepuh KH Ma’soem wafat.

Pada tahun 1934 atas prakarsa dari Grup Muhammadiyah Borobudur 4, dibentuklah
formasi kepemimpinan baru sekaligus guna permohonan kenaikan ‘status’ Muntilan dari
“Calon Grup” (Gerombolan) menjadi “Grup”. Usaha itu pun segera berbuah yakni pada
tanggal 13 Juli 1935 Grup Muhammadiyah Muntilan ini disahkan oleh Pimpinan
Muhammadiyah Daerah Ibu Tempat Yogyakarta. Kemudian delapan tahun berikutnya
pada tanggal 17 Januari 1943 terjadi penaikan status lagi dari “Grup” menjadi “Cabang”
yang disahkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kedu atas nama Pimpinan Pusat.
Tidak disangka hal ini pun masih dikuatkan dengan pengesahan secara langsung oleh
Pimpinan Pusat (Hoofd Bestuur) Muhammadiyah Nomor 938 tertanggal 13 Agustus 1944
dengan nama resmi yang baru, Pimpinan Muhammadiyah Cabang Muntilan.

Dari data-tersaji di atas mampu ditarik beberapa butir pelajaran. Di antaranya


adalah (1) Semenjak awal ada mekanisme internal organisasi Muhammadiyah yang baku,
yakni bertahap pergerakannya, mirip dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) sejak
dari Calon Grup (Gerombolan), lalu Grup dan akhirnya menjadi Cabang dengan
rentangan waktu untuk kasus Muntilan selama 24 tahun; (2) Muntilan dekat dengan
Yogyakarta, fakta gerakan awalnya memang begitu tetapi prosedur kewilayahan yang
sesuai aturan pemerintahan tentulah Muntilan berada di bawah Magelang, Kedu, Jawa
Tengah; keduanya bisa dimanfaatkan; (3) kecepatan bereaksi ataupun berinisiatif
masyarakat local Muntilan pada zaman penjajahan itu tentu relative lamban jika
dibandingkan saat ini, termasuk ketika dibandingkan dengan ‘prestasi’ faktual gerakan
Muhammadiyah secara nasional pada zaman itu 5; (4) tema-topik pembicaraan mengenai
keyakinan-hidup yang ideologis pada zaman itu sesuai benar dengan situasi hati-pikiran
mayoritas warga yang secara politik masih dijajah oleh Belanda dan sedang berusaha
untuk mencari jalan keluar menjadi merdeka.

Khusus mengenai rentangan waktu sepanjang 24 tahun semenjak hadirnya ide


Muhammadiyah di Muntilan pada tahun 1919 hingga resmi-sah sebagai Cabang
3
Resi Pran-Soeh (RPS) Sastrosoewignjo (1870-1957) dipercaya oleh pengikutnya sebagai ‘Nabi’ dalam
ilmu kebatinan Jawa, berpusat di Jagalan Muntilan. Sebuah aliran kepercayaan kepada Tuhan YME.
Konon sampai dua kali RPS menerima ‘wahyu’ melalui mimpinya, yakni pada 29 Agustus 1890 dan 29
Maret 1918, kemudian mulai tahun 1921 RPS mengajarkan ilmunya itu hingga wafatnya, 24 Oktober
1957. Ajarannya sinkretis, pengikutnya cukup dengan mematuhi angger-angger sewelas, yang berisi 7
kewajiban dan 4 larangan. Pengikutnya konon tersebar di seputaran Kabupaten Magelang, Wonosobo,
Purworejo, dan Sleman.
4
Grup Muhammadiyah Borobudur sudah terbentuk dan sah secara resmi pada 1 Juli 1928. Bahwa ide
dan orang Muhammadiyah masuk ke wilayah Borobudur lewat jalur pernikahan, yakni pada saat KH
Siradj bin Abdulkadir (1892-1974) yang aseli dari Sabrangrowo Borobudur menikahi Siti Aminah (1899-
1969) yang aseli dari Gading/Kauman Yogyakarta, aktivis Aisyiyah.
5
Bandingkan dengan informasi faktual dari sejarawan dunia MC Ricklefs berikut ini: “Pada tahun 1925,
dua tahun sesudah wafatnya Dahlan, Muhammadiyah hanya beranggotakan 4.000 orang, tetapi
organisasi ini telah mendirikan 55 sekolah dengan 4.000 orang murid, dua balai pengobatan di
Yogyakarta dan Surabaya, sebuah Panti Asuhan dan sebuah rumah miskin” (Halaman 356, M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, diterjemahkan dari A History of Modern Indonesia Since
c.1200 Third Edition, Penerjemah Satrio Wahono serta Penyunting Husni Syaufie. Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, Cetakan II, November 2005.
Muhammadiyah pada tahun 1943, lama dan panjangkah prosesnya? Jangan bandingkan
dengan kondisi saat ini sebab hal itu sesuai benar dengan semangat zaman saat negara
kita masih dalam keadaan terjajah oleh Belanda itu. Kendali formal kegiatan
kemasyarakatan adalah pemerintah Hindia Belanda. Empat-tahap yang dilaluinya pun
demikian jelas waktu tempuhnya: (1) Tahap “Gerombolan” yakni lima tahun (1919-1924);
(2) Tahap “Calon Grup” selama sebelas tahun (1924-1935); (3) Tahapan “Grup” selama
delapan tahun (1935-1943). Barulah kemudian mendapatkan keresmian baik secara de
facto maupun secara de jure benar-sah disebut sebagai Muhammadiyah Cabang
Muntilan. Sungguh sebuah tantangan terbuka bilamana saat ini Pimpinan mampu
mengambil pelajaran dari lamanya proses entri awal itu dengan meningkatkan
produktivitas organisasi Muhammadiyah dan juga efektivitas program-kegiatannya ke
masa mendatang. Semoga terus maju-berkemajuan.

B. Warna-warna Lain Kegiatan Ke-Islaman


Salah satu kegiatan ke-Islaman yang penting lagi menonjol di wilayah Muntilan terjadi
pada tahun 1936 adalah berdirinya Hogere God’sdinst Schoolen (HGS) atau Sekolah
Dasar Berbasis Agama 6. Sekolah yang berlokasi di Kauman Muntilan, kini digunakan
oleh SMP Muhika, aselinya merupakan tanah wakaf milik KH Abdul Manan (1888-1962)
menantu dari Ny. Hj. Halimah Said binti KH Isa yang aseli Kauman Muntilan. Sekolah
itu berjalan relative bagus untuk zamannya dan diselenggarakan oleh Yayasan
Pendidikan “Al-Islam” yang pusat organisasinya berada di Pondok Pesantren
Jamsaren Surakarta serta memiliki gerakan Pandu Al-Wathoni (AW) yang diminati oleh
banyak anak muda di seputaran Muntilan saat itu. Ada sebuah foto documenter yang
menunjukkan secara jelas sosok organisasi itu lengkap pengurus-simpatisan dengan
logo organisasi yang mirip Muhammadiyah tetapi hanya separuh bagian atasnya
(Lihat foto itu bertahun 1937).

Tradisi hebat berwakaf tanah di Muntilan tampaknya dimulai dari kasus ini. Tanah
wakaf pertama di Muntilan ini kelak dikenal legendaris karena mampu menjadi ikon-
simbol gerakan pendidikan Islam di Muntilan yang tidak pernah berhenti mendidik
masyarakat (menggerakkan masyarakat lewat bidang pendidikan), sejak tahun 1936.
Pada awal kemerdekaan sekitar tahun 1949 HGS itu berubah level pendidikan menjadi
Sekolah Menengah Islam (SMI) dan berkembang cukup bagus tetapi tahun 1952-an
sempat pecah. Kemudian secara resmi pada tahun 1964 beralih yayasan pemiliknya
dan menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah (Muntilan). Jadilah
sekolah itu salah satu dari Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di Muntilan.

Setelah beralih menjadi AUM, maka sekolah itu dijadikan pusat-fokus energy baru
bidang pendidikan dan organisasi Muhammadiyah Muntilan zaman itu. Terbukti dari
SMP Muhammadiyah ini dirintis pada tahun 1965 lembaga Pendidikan Guru Agama
(PGA), yang kelak berubah statusnya menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs), yang kini
berpindah lokasi di Carikan Gondosuli. Dari SMP MUhammadiyah itu pula pada tahun
1966 dirintis Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang karena banyak siswa-peminatnya
lantas mencari lokasi baru di Karangwatu, berpindah di Kendalgrowong, lantas pada
tahun 1991 berubah statusnya menjadi SMA Muhammadiyah 2 Muntilan. Pada tahun
1967 dirintis pula di SMPM Kauman itu sebuah Institut Keguruan dan Ilmu
Pengetahuan (IKIP) Muhammadiyah Cabang Surakarta, sempat operasional dua tahun
dan mati. Pada tahun 1978 dari SMP Kauman itu dirintis Sekolah Menengah Atas
(SMA) MUhammadiyah 1 Muntilan dan diminati banyak siswa hingga kemudian
beralih tempat sebentar ke Kendalgrowong lantas secara permanen berlokasi di Utara
Monumen Bambu Runcing Muntilan. Tampak jelas bahwa seketika berubah dari SMI
menjadi SMPM maka bertumbuhanlah AUM bidang pendidikan yang berhasil sukses
dirintis/mati atas berbagai macam lembaga itu dari tanah wakaf rintisan ini.
6
Wawancara penulis dengan Haryoto Rivai, BA, tokoh aktivis pendidikan (Muntilan, 9 Agustus 2005),
lihat lebih lanjut pada buku edisi terbatas “Ada untuk Bermakna, Sejarah Muhammadiyah Magelang”
oleh Tim Peneliti PDM Kabupaten Magelang. Magelang: PDM, 2006, halaman 245-256..
Meskipun pada awal berdirinya berbeda warna dan aromanya, yakni Yayasan
Pendidikan “Al-Islam” namun pada zaman-periode berikutnya nyata mampu melebur
total menjadi Muhammadiyah, baik menyangkut orang-orangnya maupun status aset
hingga nama Sekolahnya (Sekolah Menengah Tingkat Pertama) Muhammadiyah
Muntilan. Hal itu bisa terjadi karena factor kesadaran pengurus/pengelola sekolah itu
selain kesungguhan pimpinan Muhammadiyah dalam menyelamatkan asetnya. Sebab
secara factual sesungguhnya mayoritas stake-holder lembaga itu adalah warga
Muhammadiyah. Sungguh kasus ini merupakan sebuah contoh-model yang bagus.

Di luar Muhammadiyah terdapat pula warna-warna lain kegiatan ke-Islaman yang


dilakukan oleh warga Muntilan pada zaman itu. Kegiatan yang paling menyedot energy
adalah perjuangan fisik seputar kemerdekaan negara Republik Indonesia, dalam
meraih maupun mempertahankannya dan juga lapangan politik. Ikhtiar untuk
menemukan jalan menuju kemerdekaan jelas dilakukan oleh segenap pihak sesuai
kemampuannya. Yang lewat jalur politik dan terasa hingga di kota kecil Muntilan
adalah perintisan dan sosialisasi Partai Masyumi. Terutama karena besarnya harapan
umat Islam akan wadah politik itu, maka semua potensi dan segenap energy yang
dipunyai seolah dipertaruhkan sepenuhnya pada Masyumi. Masyumi merupakan partai
Islam yang mampu menyatukan banyak faksi dan banyak aliran dalam tubuh ummat
Islam Indonesia sehingga diharapkan adanya akumulasi kekuatan yang terfokus
dalam partai Masyumi itu. Kekuatan umat Islam jauh akan lebih besar, itu harapan dan
ikhtiar yang mampu dilakukan. Kenyataannya? Wallahu a’lam. Kemudian kegiatan ke-
Islaman tradisional yang berwujud ritualitas peribadatan di banyak tempat dan pusat-
kegiatan seperti pesantren dan masjid-langgar terus berjalan dengan umat-jamaah
yang tidak pernah sedikit. Inilah gambaran sekilas warna-warni kegiatan ke-Islaman
pada zaman itu.

C. Kegiatan Resmi dan Regenerasi


Muhammadiyah sejak awalnya memperkenalkan diri dan dikenal sebagai gerakan dan
organisasi yang menggugah kesadaran serta pengamalan beragama (Islam) secara
baru dengan mementingkan gerakan amal salih sebagai solusi atas masalah social
yang ada di lingkungannya. Maksud mulia ini ditangkap cepat oleh masyarakat dan
direspons secara positif sehingga meskipun tidak secara massif dimulailah
tumbuhnya lembaga dakwah Muhammadiyah dengan berdirinya Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM). Tercatat yang paling awal berdiri AUM di Muntilan adalah.
Disusul kemudian oleh

Sejalan dengan bertumbuhannya AUM itu adalah bergeraknya organisasi di tingkat


ranting atau desa dan cabang atau kecamatan. Beberapa desa di Muntilan yang
memiliki AUM kemudain serta-merta mendirikan secara resmi Pimpinan Ranting
Muhammadiyah (PRM). Tercatat yang paling awal

Sementara kepemimpinan di tingkat cabang relative stabil tanpa gejolak yang berarti
bahkan cenderung sepi. Proses alih periode ataupun regenerasi memang tidak lancer
dan tidak secara cepat berganti-ganti. Namun meskipun relative lambat proses
regenerasi itu tetapi berjalan dan terjadi alih-periode formal sehingga kepemimpinan
atau kepengurusan yang ada dan disepakati terus saja mampu menampung orang-
orang baru, generasi baru/muda selain dengan masih mempertahankan orang-orang
lama yakni para pejuang awal persyarikatan. Proses pemilihan
Ketua/Pimpinan/Pengurus mungkin tidak dengan cara voting melainkan prosesnya
lewat aklamasi ataupun penambahan terbatas yang kini dikenal dengan istilah
reshuffle. Hal itu pun dilakukan mungkin secara berulang-ulang guna menggerakkan
roda kepemimpinan dan organisasi; terjadi peniadaan personal yang wafat/uzur serta
menampung tambahnya orang-orang baru, muda dan energetic. Yang jelas
persyaraikatan harus terus berjalan dan regenerasi terus berlangsung, ada saatnya
lambat dan ada kalanya cepat pula.
Tercatat dalam dokumen persyarikatan bahwa ada kepemimpinan yang periodenya
panjang, selama puluhan tahun susunannya relative tetap. Susunan itu lengkap dan
tertuliskan misalnya sebagai berikut:

Pengurus Organisasi Muhammadiyah Cabang Muntilan


Tahun 1934-1974 (selama 40 tahun?)7

Ketua : Soeharto Kertohartono


Bendahara: Hardjo Oetomo
Sekretaris : R. Soehirlan
Anggota : Sosrohardjono
R. Wignjo Soemarto
Karjodimedjo
Prapto Hardjijo
R. Soemosastro
Parto Oetomo
Karto Amindjojo
Ibu Soeharto Kertohartono
Bagian-bagian:
PKU Ketua : R. Soemosastro
Sekretaris : Soeharto Kertohartono
Bendahara : Hardjo Oetomo

PP dan K ketua : Soerohardjono


Sekretaris : Moeljadi Hardjo
Bendahara : Martokoro
Anggota : Achmad Soeroeri
Kastoebi
K. Tohir Chasbullah
Hadisiswojo

Tabligh ketua : R. Wignjo Soemarto


Sekretaris : Soeharto Kertohartono
Bendahara : Hardjo Oetomo

HW Ketua : Karjodimedjo
Sekretaris : Prapto Hardjijo
Bendahara : Hardjo Oetomo

Pemuda Ketua : Prapto Hardjijo


Sekretaris : Oerip Tarjono
Bendahara : Soerodjo

Aisyiyah Ketua : Ibu Soeharto Kertohartono


Sekretaris : Ibu Soeharto Kertohartono
Bendahara : Ibu Soejati

Cukup banyak hal yang menarik atau aneh dan mampu secara kritis diungkapkan
pernyataannya terhadap data Pengurus persyarikatan Muhammadiyah Muntilan pada
tahun 1934-1974 di atas. Pertama, mengapa kepemimpinannya mampu sedemikian
7
Lihat pada Ellyana Indriati, Laporan Tugas Matakuliah Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) di FE UMMgl,
halaman 5-7.
lama hingga sepanjang 40 tahun? Tiada regenerasikah? Tidak adakah orang lain yang
bersedia sebagai pelanjut-penerus-pelengkap kepemimpinan untuk periode
berikutnya? Kedua, ternyata secara internal memungkinkan terdapatnya
rangkap/multijabatan, misalnya menjabat Ketua Umum tetapi sekaligus menjadi
Sekretaris Bagian PKU juga Sekretaris Bagian Tabligh; ataupun Ketua Bagian
Aisyiyah sekaligus menjabat Sekretaris Bagian Aisyiyah. Tiadakah orang lain yang
bersedia berperan di sana? Hal itu sebagai bentuk/wujud rasa tanggung jawabkah
ataukah kerakusan jabatan? Ketiga, benarkah pada periode rintisan seperti itu lantas
diwajarkan terjadinya banyak pelanggaran terhadap peraturan normatif? Jika
alasannya hal ini masih dalam kondisi darurat, lantas kapan terjadinya kondisi yang
tidak darurat (normal)? Namun bagaimanapun, itulah data yang saat ini tersedia.

D. Datangnya Energi Baru dan Reformasi


Ada peristiwa politik nasional yang berdampak kuat lagi langsung di masyarakat
bawah khususnya bagi pergerakan persyarikatan Muhammadiyah di Muntilan, yakni
bubar (dibubarkannya?) Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada
tahun 19608. Saat itu seolah-olah Muhammadiyah mendapatkan energy baru dari
kembalinya fungsionaris Masyumi ke komunitas asalnya yakni persyarikatan
Muhammadiyah. Perlu diingat bahwa di Masyumi ada perwakilan resmi dari unsur
Muhammadiyah. Ketika Masyumi bubar maka segenap perhatian dan tenaga yang ada
mampu terfokus pada persyarikatan Muhammadiyah, bahkan sebagian aktivisnya
telah punya pengalaman berkegiatan di bidang politik. Gerakan Muhammadiyah yang
lesu darah seolah mendapatkan suntikan energy baru yang menguatkan dan
menyungguhkan. Muhammadiyah pun tampil dan bertenaga kembali penuh dengan
kesiapsiagaan dalam menghadang gelombang apapun yang akan datang.

Factor politik memang dominan pada decade 1960-an itu. Tantangan luar yang bersifat
ideologis amatlah kuat sehingga dari dalam Muhammadiyah pun muncul sikap-sikap
politik dan ideologis. Terutama diunsuri oleh (kepentingan) generasi muda
Muhammadiyah, maka pada tahun 1961 lahirlah sebuah organisasi bernama Ikatan
Pelajar Muhammadiyah (IPM, 18 Juli, 1961, di Surakarta), demikian juga lahir
berikutnya organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM, 14 Maret 1964 di
Surakarta); serta yang cukup fenomenal adalah dilahirkannya Korps Komando
Angkatan Muda Muhammadiyah, di bawah organisasi otonom Pemuda
Muhammadiyah (Kokam, 1 Oktober 1965 di Jakarta). Lengkaplah dengan tiga unit itu
semua bahwa Muhammadiyah mengubah diri menjadi oraganisasi yang powerfull.
Akan terbukti nanti bahwa setelah tahun 1965, ternyata rakyat dan bangsa Indonesia
saat itu sungguh sedang membutuhkan peran maksimal Muhammadiyah.

Sedangkan di tingkat local wilayah Muntilan tampak betul bergeliatnya Pimpinan


Cabang dan Pimpinan Ranting Muhammadiyahnya. Bersamaan dengan itu kegiatan
yang khas Muntilan adalah berupa Pengajian Lima Malam (Penglima) yang
diselenggarakan di desa-desa sekitar Muntilan, diisi dengan materi keyakinan,
ideologis, keorganisasian hingga konsolidasi. Pengisinya selain dari da’i yang local
juga sering mendatangkan dari Yogyakarta atau Semarang, selain yang dari Magelang
dan Muntilan sendiri. Ada pula kegiatan Training Centre (TC) ataupun Up-Grading
yang waktunya lebih intensif karena hanya sehari-semalam namun lebih bersifat
khusus untuk jajaran pimpinan/pengurus.

Berdiri dan berjalannya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di berbagai lokasi dan
juga berbagai bidang garap tampak jelas pada decade 1960-an ini.

Gambaran ringkas bergeliatnya kegiatan Muhammadiyah dan bertumbuhannya Amal


Usaha Muhammadiyah (AUM) di Muntilan yang merata termasuk di desa-desa.

8
Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), dibentuk bersama pada tanggal 24 Oktober 1943
dan dibubarkan oleh Pemerintah RI pada 13 September 1960.
Susunan Pengurus Muhammadiyah Cabang Muntilan
Tahun 1978-19839

a. Pengurus Umum
Ketua Umum : Drs. Muh Rois
Ketua I : M. Zubaedi
Ketua II : Kodiran
Sekretaris Umum : Subronto HP
Sekretaris I : Soewito
Sekretaris II : Suyono
Bendahara Umum : H. Syarif Abdullah
Bendahara I : Helmi Mursid
Bendahara II : Ahmad Nasir Barnas
b. Pengurus-pengurus Bagian
1. Bagian Tablegh
Ketua : Asnawi
Wakil Ketua : Ridwan
2. Bagian PP dan K
Ketua : Drs. Zaidun Basyar
Wakil Ketua : MUhadjari, B.Sc.
3. Bagian PKU
Ketua : Drs. Chamid Hilaly
Wakil Ketua : HM Hamzah
4. Bagian Wakaf Kehartabendaan
Ketua : Sunaryo
Wakil Ketua : Drs. Yazid Bustomi
5. Bagian Angkatan Muda
Ketua : M. Zubaedi

E. Gerakan Penyesuaian Laju Zaman


Apapun organisasinya, apapun program dan kegiatannya ketika tidak terjadi proses
pembaharuan (tajdid) maka akan menjadi banal-bebal dan mengalami kelambanan
dalam bergerak bahkan bisa-pula berakibat terhenti, vacuum, dan mati geraknya. Oleh
karena itu pembaharuan yang dipahami sebagai penyesuaian dan harmonisasi
gerakan dengan zaman baru merupakan keniscayaan yang secara terus-menerus
diikhtiari guna mengisi kesempatan, bahkan mengisi “hidup”, berada (being) di alam
fana ini. Contoh konkret mengenai penyesuaian dengan laju zaman ini dilakukan oleh
AUM RSA Muntilan: dirintis awal di Jalan Pemuda Muntilan, kemudian berpindah
menempati Ruang Tamu rumah pribadi Ketua PCM, Prapto Hardjijo di Muka
Kawedanan Muntilan, lantas menempati bangunan sederhana di Kendalgrowong
Muntilan, kemudian melakukan renovasi bangunan serta perluasan secara
berkesinambungan hingga saat ini. Namanya pun secara bertahap berubah, mulai dari
BKIA (balai Kesehatan Ibu dan Anak), kemudian menjadi RSIA (Rumah Sakit Ibu dan
Anak), serta sekarang menjadi RSAM (Rumah Sakit Aisyiyah Muntilan). Kini sudah
relative megah gedungnya, berlantai empat, bahkan sudah terakreditasi sempurna
dengan nilai A Paripurna.

Sesungguhnya PCM, PRM serta AUM di Muntilan secara ideal juga melakukan gerak
penyesuaian dengan laju zaman yang serupa itu namun secara factual sesuai dengan
cara dan hasilnya masing-masing. Ada yang mampu melampaui laju zaman hingga
memandu, ada yang pas sesuai dan harmonis sesuai zamannya, namun tidak sedikit
9
Lihat pada Ellyana Indriati, Laporan Tugas Kuliah AIK di FE UMM Magelang, op. cit.
yang masih merasa tertinggal-tinggal (keponthal-ponthal) dibandingkan laju dan
tuntutan zaman. Alih generasi, regenerasi pengurus dan pengelola kegiatan di
Muhammadiyah yang disertai dengan proses revisi-revitalisasi visi-misi lembaga
hingga pembaharuan metode dan peralatan yang digunakan sungguh merupakan hal
yang sunnatullah, hukum alam, harus dilakukan. Barangsiapa yang tidak
menyesuaikan dengan laju dan semaengat zaman akan tertinggal, akan tersingkir dari
perubahan yang pasti terjadi secara berkelanjutan. Oleh karena itu forum evaluasi,
pembatasan periodisasi pengurus-pengelola, forum renstra dan workshop serta
aturan lainnya merupakan prosesi yang alami sesuai dengan sunnatullah. Setiap
organisasi dan lembaga ataupun AUM apapun yang ingin terus punya peran serta
mampu memberi manfaat kepada masyarakat harus memilih prosesi itu (Lihat QS ar-
Ra’du [13]: 17 Ajo Urip dadi Umpluk)

F. Penutup
Sejarah Muhammadiyah Muntilan sudah dimulai tahun 1919 sehingga pada tahun 2019
ini sudah berjalan nyaris selama 100 tahun. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang ada
pun saat ini sudah sejumlah 53 buah dengan aneka macam bidang garap dakwah dan
juga tingkatannya. Mulai dari TK ABA/PAUD (berjumlah 23/7 buah), SD/MI (3/4), SMP/MTs
(3/2), SMA/SMK (3/2), Politeknik (1), Pesantren (1), PAY (1) hingga BTM (1) serta RS (1).
Belum terhitung AUM yang berupa masjid/musola dan Gedung Dakwah. Lantas yang
berupa eselon resmi persyarikatan paling bawah, yakni Pimpinan Ranting
Muhammadiyah (PRM) ada 15 buah berada di 14 desa yang ada; khusus di Desa Adikarto
belum berdiri PRM, sementara yang Desa Muntilan dan Desa Tamanagung masing-
masing justru sudah ada/berdiri dua buah PRM-nya. Bila dicermati sekilas dari berbagai
sisi yang dicakup dan peran yang dimainkannya maka gerakan Muhammadiyah di kota
kecil Muntilan dewasa ini tergolong cukup signifikan dalam memberikan warna di
lingkungan sosialnya.

Berhentikah atau akan berhentikah kelak? Tidak berhenti, tidak pernah berhenti dan tidak
akan pernah berhenti gerak Muhammadiyah Muntilan dalam berdakwah. Sebab setiap
periode dan generasi kepemimpinan/kepengurusan di Muhammadiyah mempunyai peran
dan tugas dakwah yang jelas; selain mewarisi-meneruskan warisan-tradisi baiknya juga
terus-menerus berkreasi hal-hal baru sesuai masalah dan solusinya yang berkembang.
Ya, terus akan berkembang dan berkemajuan. Abad kedua kegiatan Muhammadiyah
Muntilan tentu akan berbeda konteks dan tantangannya dengan abad pertamanya. Ke
depan jauh akan lebih kompetitif, lebih dramatis dan lebih menantang. Pejuang-pejuang
Muhammadiyah itu memilih untuk terus bergerak (QS an-Nisa [4]: 95 Saatnya Turun
Tangan dan bukan Urun Angan) mengisi hidupnya dengan kemanfaatan kepada sesama.
Bismillah walhamdu lillah.

Anda mungkin juga menyukai