Tahun 1919-2019
A. Masuknya Muhammadiyah
Muhammadiyah di wilayah Muntilan dimulai dari hadirnya KH Ahmad Dahlan ke
kota kecil ini pada tahun 1918/19191. Pendiri Muhammadiyah yang berasal dari
Yogyakarta itu hadir di Muntilan, berjarak 40-an km ke arah utaranya untuk melakukan
debat-keyakinan dengan Frans Van Lith, seorang misionaris Katholik aseli Belanda yang
sengaja datang ke Muntilan pada tahun 1894. Debat dilakukan di serambi masjid Kauman
Muntilan guna menghentikan niat ekspansi tanah-wilayah misionaris saat itu yang
sedianya akan memindahkan seluruh lokasi warga kampong Kauman Muntilan dari
tempat tinggalnya. Alhamdulillah Frans Van Lith bisa dikalahkan dalam debat itu dan
ekspansi otomatis dihentikan. Tokoh warga kampong Kauman yang mengatur hal itu
adalah KH Ma’soem bin KH Isa (1848-1929) pengulu di Sawangan Magelang dan kelak di
kemudian hari sempat mendapatkan amanah sebagai Ketua Umum (sesepuh) Pimpinan
“Calon Grup” (Gerombolan) Muhammadiyah Muntilan pada tahun 1924 2 hingga wafatnya
pada tahun 1929.
Pada tahun 1934 atas prakarsa dari Grup Muhammadiyah Borobudur 4, dibentuklah
formasi kepemimpinan baru sekaligus guna permohonan kenaikan ‘status’ Muntilan dari
“Calon Grup” (Gerombolan) menjadi “Grup”. Usaha itu pun segera berbuah yakni pada
tanggal 13 Juli 1935 Grup Muhammadiyah Muntilan ini disahkan oleh Pimpinan
Muhammadiyah Daerah Ibu Tempat Yogyakarta. Kemudian delapan tahun berikutnya
pada tanggal 17 Januari 1943 terjadi penaikan status lagi dari “Grup” menjadi “Cabang”
yang disahkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kedu atas nama Pimpinan Pusat.
Tidak disangka hal ini pun masih dikuatkan dengan pengesahan secara langsung oleh
Pimpinan Pusat (Hoofd Bestuur) Muhammadiyah Nomor 938 tertanggal 13 Agustus 1944
dengan nama resmi yang baru, Pimpinan Muhammadiyah Cabang Muntilan.
Tradisi hebat berwakaf tanah di Muntilan tampaknya dimulai dari kasus ini. Tanah
wakaf pertama di Muntilan ini kelak dikenal legendaris karena mampu menjadi ikon-
simbol gerakan pendidikan Islam di Muntilan yang tidak pernah berhenti mendidik
masyarakat (menggerakkan masyarakat lewat bidang pendidikan), sejak tahun 1936.
Pada awal kemerdekaan sekitar tahun 1949 HGS itu berubah level pendidikan menjadi
Sekolah Menengah Islam (SMI) dan berkembang cukup bagus tetapi tahun 1952-an
sempat pecah. Kemudian secara resmi pada tahun 1964 beralih yayasan pemiliknya
dan menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah (Muntilan). Jadilah
sekolah itu salah satu dari Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di Muntilan.
Setelah beralih menjadi AUM, maka sekolah itu dijadikan pusat-fokus energy baru
bidang pendidikan dan organisasi Muhammadiyah Muntilan zaman itu. Terbukti dari
SMP Muhammadiyah ini dirintis pada tahun 1965 lembaga Pendidikan Guru Agama
(PGA), yang kelak berubah statusnya menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs), yang kini
berpindah lokasi di Carikan Gondosuli. Dari SMP MUhammadiyah itu pula pada tahun
1966 dirintis Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang karena banyak siswa-peminatnya
lantas mencari lokasi baru di Karangwatu, berpindah di Kendalgrowong, lantas pada
tahun 1991 berubah statusnya menjadi SMA Muhammadiyah 2 Muntilan. Pada tahun
1967 dirintis pula di SMPM Kauman itu sebuah Institut Keguruan dan Ilmu
Pengetahuan (IKIP) Muhammadiyah Cabang Surakarta, sempat operasional dua tahun
dan mati. Pada tahun 1978 dari SMP Kauman itu dirintis Sekolah Menengah Atas
(SMA) MUhammadiyah 1 Muntilan dan diminati banyak siswa hingga kemudian
beralih tempat sebentar ke Kendalgrowong lantas secara permanen berlokasi di Utara
Monumen Bambu Runcing Muntilan. Tampak jelas bahwa seketika berubah dari SMI
menjadi SMPM maka bertumbuhanlah AUM bidang pendidikan yang berhasil sukses
dirintis/mati atas berbagai macam lembaga itu dari tanah wakaf rintisan ini.
6
Wawancara penulis dengan Haryoto Rivai, BA, tokoh aktivis pendidikan (Muntilan, 9 Agustus 2005),
lihat lebih lanjut pada buku edisi terbatas “Ada untuk Bermakna, Sejarah Muhammadiyah Magelang”
oleh Tim Peneliti PDM Kabupaten Magelang. Magelang: PDM, 2006, halaman 245-256..
Meskipun pada awal berdirinya berbeda warna dan aromanya, yakni Yayasan
Pendidikan “Al-Islam” namun pada zaman-periode berikutnya nyata mampu melebur
total menjadi Muhammadiyah, baik menyangkut orang-orangnya maupun status aset
hingga nama Sekolahnya (Sekolah Menengah Tingkat Pertama) Muhammadiyah
Muntilan. Hal itu bisa terjadi karena factor kesadaran pengurus/pengelola sekolah itu
selain kesungguhan pimpinan Muhammadiyah dalam menyelamatkan asetnya. Sebab
secara factual sesungguhnya mayoritas stake-holder lembaga itu adalah warga
Muhammadiyah. Sungguh kasus ini merupakan sebuah contoh-model yang bagus.
Sementara kepemimpinan di tingkat cabang relative stabil tanpa gejolak yang berarti
bahkan cenderung sepi. Proses alih periode ataupun regenerasi memang tidak lancer
dan tidak secara cepat berganti-ganti. Namun meskipun relative lambat proses
regenerasi itu tetapi berjalan dan terjadi alih-periode formal sehingga kepemimpinan
atau kepengurusan yang ada dan disepakati terus saja mampu menampung orang-
orang baru, generasi baru/muda selain dengan masih mempertahankan orang-orang
lama yakni para pejuang awal persyarikatan. Proses pemilihan
Ketua/Pimpinan/Pengurus mungkin tidak dengan cara voting melainkan prosesnya
lewat aklamasi ataupun penambahan terbatas yang kini dikenal dengan istilah
reshuffle. Hal itu pun dilakukan mungkin secara berulang-ulang guna menggerakkan
roda kepemimpinan dan organisasi; terjadi peniadaan personal yang wafat/uzur serta
menampung tambahnya orang-orang baru, muda dan energetic. Yang jelas
persyaraikatan harus terus berjalan dan regenerasi terus berlangsung, ada saatnya
lambat dan ada kalanya cepat pula.
Tercatat dalam dokumen persyarikatan bahwa ada kepemimpinan yang periodenya
panjang, selama puluhan tahun susunannya relative tetap. Susunan itu lengkap dan
tertuliskan misalnya sebagai berikut:
HW Ketua : Karjodimedjo
Sekretaris : Prapto Hardjijo
Bendahara : Hardjo Oetomo
Cukup banyak hal yang menarik atau aneh dan mampu secara kritis diungkapkan
pernyataannya terhadap data Pengurus persyarikatan Muhammadiyah Muntilan pada
tahun 1934-1974 di atas. Pertama, mengapa kepemimpinannya mampu sedemikian
7
Lihat pada Ellyana Indriati, Laporan Tugas Matakuliah Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) di FE UMMgl,
halaman 5-7.
lama hingga sepanjang 40 tahun? Tiada regenerasikah? Tidak adakah orang lain yang
bersedia sebagai pelanjut-penerus-pelengkap kepemimpinan untuk periode
berikutnya? Kedua, ternyata secara internal memungkinkan terdapatnya
rangkap/multijabatan, misalnya menjabat Ketua Umum tetapi sekaligus menjadi
Sekretaris Bagian PKU juga Sekretaris Bagian Tabligh; ataupun Ketua Bagian
Aisyiyah sekaligus menjabat Sekretaris Bagian Aisyiyah. Tiadakah orang lain yang
bersedia berperan di sana? Hal itu sebagai bentuk/wujud rasa tanggung jawabkah
ataukah kerakusan jabatan? Ketiga, benarkah pada periode rintisan seperti itu lantas
diwajarkan terjadinya banyak pelanggaran terhadap peraturan normatif? Jika
alasannya hal ini masih dalam kondisi darurat, lantas kapan terjadinya kondisi yang
tidak darurat (normal)? Namun bagaimanapun, itulah data yang saat ini tersedia.
Factor politik memang dominan pada decade 1960-an itu. Tantangan luar yang bersifat
ideologis amatlah kuat sehingga dari dalam Muhammadiyah pun muncul sikap-sikap
politik dan ideologis. Terutama diunsuri oleh (kepentingan) generasi muda
Muhammadiyah, maka pada tahun 1961 lahirlah sebuah organisasi bernama Ikatan
Pelajar Muhammadiyah (IPM, 18 Juli, 1961, di Surakarta), demikian juga lahir
berikutnya organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM, 14 Maret 1964 di
Surakarta); serta yang cukup fenomenal adalah dilahirkannya Korps Komando
Angkatan Muda Muhammadiyah, di bawah organisasi otonom Pemuda
Muhammadiyah (Kokam, 1 Oktober 1965 di Jakarta). Lengkaplah dengan tiga unit itu
semua bahwa Muhammadiyah mengubah diri menjadi oraganisasi yang powerfull.
Akan terbukti nanti bahwa setelah tahun 1965, ternyata rakyat dan bangsa Indonesia
saat itu sungguh sedang membutuhkan peran maksimal Muhammadiyah.
Berdiri dan berjalannya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di berbagai lokasi dan
juga berbagai bidang garap tampak jelas pada decade 1960-an ini.
8
Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), dibentuk bersama pada tanggal 24 Oktober 1943
dan dibubarkan oleh Pemerintah RI pada 13 September 1960.
Susunan Pengurus Muhammadiyah Cabang Muntilan
Tahun 1978-19839
a. Pengurus Umum
Ketua Umum : Drs. Muh Rois
Ketua I : M. Zubaedi
Ketua II : Kodiran
Sekretaris Umum : Subronto HP
Sekretaris I : Soewito
Sekretaris II : Suyono
Bendahara Umum : H. Syarif Abdullah
Bendahara I : Helmi Mursid
Bendahara II : Ahmad Nasir Barnas
b. Pengurus-pengurus Bagian
1. Bagian Tablegh
Ketua : Asnawi
Wakil Ketua : Ridwan
2. Bagian PP dan K
Ketua : Drs. Zaidun Basyar
Wakil Ketua : MUhadjari, B.Sc.
3. Bagian PKU
Ketua : Drs. Chamid Hilaly
Wakil Ketua : HM Hamzah
4. Bagian Wakaf Kehartabendaan
Ketua : Sunaryo
Wakil Ketua : Drs. Yazid Bustomi
5. Bagian Angkatan Muda
Ketua : M. Zubaedi
Sesungguhnya PCM, PRM serta AUM di Muntilan secara ideal juga melakukan gerak
penyesuaian dengan laju zaman yang serupa itu namun secara factual sesuai dengan
cara dan hasilnya masing-masing. Ada yang mampu melampaui laju zaman hingga
memandu, ada yang pas sesuai dan harmonis sesuai zamannya, namun tidak sedikit
9
Lihat pada Ellyana Indriati, Laporan Tugas Kuliah AIK di FE UMM Magelang, op. cit.
yang masih merasa tertinggal-tinggal (keponthal-ponthal) dibandingkan laju dan
tuntutan zaman. Alih generasi, regenerasi pengurus dan pengelola kegiatan di
Muhammadiyah yang disertai dengan proses revisi-revitalisasi visi-misi lembaga
hingga pembaharuan metode dan peralatan yang digunakan sungguh merupakan hal
yang sunnatullah, hukum alam, harus dilakukan. Barangsiapa yang tidak
menyesuaikan dengan laju dan semaengat zaman akan tertinggal, akan tersingkir dari
perubahan yang pasti terjadi secara berkelanjutan. Oleh karena itu forum evaluasi,
pembatasan periodisasi pengurus-pengelola, forum renstra dan workshop serta
aturan lainnya merupakan prosesi yang alami sesuai dengan sunnatullah. Setiap
organisasi dan lembaga ataupun AUM apapun yang ingin terus punya peran serta
mampu memberi manfaat kepada masyarakat harus memilih prosesi itu (Lihat QS ar-
Ra’du [13]: 17 Ajo Urip dadi Umpluk)
F. Penutup
Sejarah Muhammadiyah Muntilan sudah dimulai tahun 1919 sehingga pada tahun 2019
ini sudah berjalan nyaris selama 100 tahun. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang ada
pun saat ini sudah sejumlah 53 buah dengan aneka macam bidang garap dakwah dan
juga tingkatannya. Mulai dari TK ABA/PAUD (berjumlah 23/7 buah), SD/MI (3/4), SMP/MTs
(3/2), SMA/SMK (3/2), Politeknik (1), Pesantren (1), PAY (1) hingga BTM (1) serta RS (1).
Belum terhitung AUM yang berupa masjid/musola dan Gedung Dakwah. Lantas yang
berupa eselon resmi persyarikatan paling bawah, yakni Pimpinan Ranting
Muhammadiyah (PRM) ada 15 buah berada di 14 desa yang ada; khusus di Desa Adikarto
belum berdiri PRM, sementara yang Desa Muntilan dan Desa Tamanagung masing-
masing justru sudah ada/berdiri dua buah PRM-nya. Bila dicermati sekilas dari berbagai
sisi yang dicakup dan peran yang dimainkannya maka gerakan Muhammadiyah di kota
kecil Muntilan dewasa ini tergolong cukup signifikan dalam memberikan warna di
lingkungan sosialnya.
Berhentikah atau akan berhentikah kelak? Tidak berhenti, tidak pernah berhenti dan tidak
akan pernah berhenti gerak Muhammadiyah Muntilan dalam berdakwah. Sebab setiap
periode dan generasi kepemimpinan/kepengurusan di Muhammadiyah mempunyai peran
dan tugas dakwah yang jelas; selain mewarisi-meneruskan warisan-tradisi baiknya juga
terus-menerus berkreasi hal-hal baru sesuai masalah dan solusinya yang berkembang.
Ya, terus akan berkembang dan berkemajuan. Abad kedua kegiatan Muhammadiyah
Muntilan tentu akan berbeda konteks dan tantangannya dengan abad pertamanya. Ke
depan jauh akan lebih kompetitif, lebih dramatis dan lebih menantang. Pejuang-pejuang
Muhammadiyah itu memilih untuk terus bergerak (QS an-Nisa [4]: 95 Saatnya Turun
Tangan dan bukan Urun Angan) mengisi hidupnya dengan kemanfaatan kepada sesama.
Bismillah walhamdu lillah.