Anda di halaman 1dari 8

A.

PENDAHULUAN
Berbicara tentang Muhammadiyah dan Politik, tidaklah dimaksudkan untuk
membawa pemikiran kepada perwujudan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi
politik, apalagi menjadi partai politik. Namun, sejauh yang bisa kita amati sepanjang
sejarah peran serta Muhammadiyah dalam dinamika Bangsa Indonesia, adalah wajar
apabila kita merenungkan kembali peran amar makruf nahi munkar yang selama ini
menjadi trade mark Muhammadiyah, bukan hanya dalam dataran sosial kemasyarakatan,
tetapi juga dalam dataran sosial politik. Akhir-akhir ini banyak komentar yang
menyatakan bahwa dengan masuknya Muhammadiyah dalam diskursus politik praktis,
berarti telah meninggalkan khittahnya sebagai gerakan amar makruf nahi munkar.
Betulkah demikian ? tulisan berikut ini mencoba melihat realitas hubungan
Muhammadiyah dan politik, serta dampak logisnya dalam konteks amar makruf nahi
munkar.
Pembicaraan mengenai relasi dakwah dan politik bukanlah hal baru di
Muhammadiyah. Bahkan dapat dikatakan “perdebatan” ini telah muncul di awal-awal
kelahiran Muhammadiyah itu sendiri. Pembuktiannya secara otentik dapat ditelusuri
dalam penuturan KRH Hadjid yang sanad-nya muttashil kepada KH Ahmad Dahlan.
KRH Hadjid adalah seorang alumnus Pondok Pesantren Termas sekaligus murid termuda
KH Ahmad Dahlan, menulis 7 (tujuh) falsafah ajaran dan 17 kelompok ayat Al-Qur’an
yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri persyarikatan Muhammadiyah.
KRH hadjid berkeyakinan bahwa berbgai kesulitan yang timbul dalam masyarakat dapat
diatasi dengan ketujuh falsafah tersebut sebagaimana ketujuh belas kelompok ayat Al-
Qur’an dapat dijadikan sebagai pegangan pokok oleh para pewaris Muhammadiyah yang
tidak sedikit diantara mereka telah meninggalkan jiwa/ruhiyah Muhammadiyah itu
sendiri.
Ketika KHA Dahlan menerangkan kelompok ayat ke-12 wa ana minal muslimin
(al-an’am/6;162-163) yang artinya : katakanlah “ Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku hanyalah kepada Allah, Tuhan semesta aslam, tiada sekutu bagi-
Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.
Pada tahun 1918, menurut KRH. Hadjid (ketika itu berusia 23 tahun), diadakan
rapat tahunan anggota Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. Pada rapat tersebut
dibicarakan tentang AD/ART Muhammadiyah. KH. Suprapto Ibnu Juraimi, yang berguru
langsung kepada KRH. Hadjid menjelaskan bahwa, ketika itu terdapat dua pendapat
dalam sidang. Pertama, KHA Dahlan yang menghendaki agar Muhammadiyah ini
tetap sebagai gerakan dakwah. Kedua, KH. Agus Salim mengusulkan agar
Muhammadiyah menjadi organisasi politik.
Pembicaraan tersebut kemudian dihentikan oleh KHA Dahlan dengan mengetuuk
palu pimpinan sambil berdiri. Ketika suasana tenang, KHA Dahlan menggugah para
peserta sidang dengan dua pertanyaan yang menggelorakan jiwa :” apakah sudara-
saudara sudah mengerti benar tentang Islam dan apakah arti Islam yang sebenar-
benarnya?”; ”apakah saudara-saudara ini senang dan berani menjalankan Islam
dengan sesungguhnya?”
Riwayat terbaca di atas secara eksplisit meneguhkan keyakinan Pendiri
Muhammadiyah agar Persyarikatan ini berkiprah di ranah dakwah, keagamaan dan
kemasyarakatan serta tidak bergerak pada ranah gerakan politik praktis.
DR. Haear Nashir, M.Si., ketua PP muhammadiyah, dalam makalahnya yang
bertajuk “Tantangan Dakwah Muhammadiyah Dimensi Pendidikan dan Politik” pada
Rapat Kerja Nasional MTDK di Semarang, 20-22 Pebruari 2009 menegaskan, bahwa
dengan karakter dan misi sebagai gerkan dakwah dan tajdid itu, maka Muhammadiyah
sejak awal kelahirannya tidak memilih jalur perjuangan politik dan tidak menjadikan
dirinya sebagai gerakan atau partai politik. Dalam bahasa sehari-hari sering dinyatakan
bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah dan bukan gerakan politik. Deklarasi dan
sekaligus pemagaran diri Muhammadiyah dari polotik, khususnya politik-praktis (politik
yang berorientasi pada perjuangan meraih kekuasaan di ranah Negara sebagaimana partai
politik, perjuangan di kancah real politics), secara organisatoris dan kelembagaan
kemudian dikukuhkan melalui Khitthah Muhammadiyah, yang disertai dengan kebijakan-
kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah maupun produk-produk Permusyawaratan
dalam Muhammadiyah dalam melaksanakannya.
Kristalisasi paham Muhammadiyah yang menyangkut relasi dakwah dan politik
dapat dilacak melalui rumusan-rumusan Khitthah-Khitthah perjuangan yang telah
digariskan dalam permusyawaratan persyarikatan.
B. MUHAMMADIYAH SEBAGAI KEKUATAN POLITIK
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan
dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya,
Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan
secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara
Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi
masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai
Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada
kepribadiannya.
Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1959,
hubungan Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika pemerintah
mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3 Nopember 1945, Muhammadiyah ikut
mendirikan Masyumi melalui Muktamar Islam Indonesia, 7-8 Nopember 1945, di mana
Muhammadiyah menjadi anggota istimewa partai politik ummat Islam pertama tersebut.
Selama waktu tahun 1945 hingga 1959, kita melihat 50 % keanggotaan Masyumi adalah
kader-kader Muhammadiyah. Dan selama waktu itu pula, kader-kader Muhammadiyah
banyak ditempatkan di kabinet Hatta, Sahrir, Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin,
Burhanuddin Harahap, Ali I, Juanda, hingga Ali II. Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah
dalam Masyumi memang sedikit mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi
status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan pada sidang
Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikan peninjauan ulang
status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal serupa terulang pada Sidang Tanwir
Muhammadiyah 1957, dengan rekomendasi yang lebih jelas, agar Muhammadiyah keluar
dari anggota istimewa Masyumi. Namun melaksanakan keputusan ini tidaklah mudah di
lapangan. Pada sidang Tanwir tahun 1958, persoalan ini mengambang kembali, dan justru
sidang menyerahkan kepada PP Muhammadiyah. Sekali lagi, Pada Sidang Tanwir tahun 1959
di Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat diadakan voting. Hasilnya 13 orang
menyatakan Muhammadiyah harus keluar dari keanggotaan Masyumi, 18 menolak, dan 3
orang abstain. Persoalan ini baru tuntas ketika PP Muhammadiyah menyelenggarakan Pleno
tahun 1959, yang memutuskan Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi.
Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyak peristiwa yang bisa
kita telaah. Hal ini terjadi karena iklim demokrasi yang kurang kondusif. Kepemimpinan
nasional terpusat pada presiden. Jika ada MPRS, DPRS, dan DPAS, hanya merupakan
boneka yang dibuat sedemikian rupa hingga amat tergantung dari presiden. Dari sisi politik,
Muhammadiyah, sebagaimana para politisi muslim idealis tidak banyak diuntungkan dalam
kondisi seperti ini. Pada paruh pertama masa Demokrasi terpimpin ini, arus besar pandangan
masyarakat (dimobilisasi untuk) mendukung kepemimpinan nasional, dengan munculnya
berbagai gelar untuk Soekarno, seperti Pemimpin Besar Revolusi, yang diikuti oleh faham
Soekarnoisme. Hingga kini, sisa-sisa kultur politik ini masih nampak dalam berbagai atribut
partai Politik beserta jargon-jargonnya. Namun alhamdulillah, Muhammadiyah tidak sampai
turut dalam aksi dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang
ternyata banyak melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. Pada paruh
kedua masa Demokrasi Terpimpin, arus balik terjadi, di mana hujatan pada sistem dan
kepemimpinan nasional semakin seru, yang berujung pada lengsernya Bung Karno tahun
1965 setelah peristiwa G.30/S/PKI.
Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut. Paradigma Pembangunan yang
mengedepankan pembangunan ekonomi daripada politik, berdampak pada penyederhanaan
organisasi sosial politik (lebih tegasnya Partai Politik). Sayangnya, langkah ini banyak
berimplikasi pada peminggiran peran partai politik dalam proses pembangunan. Sementara di
sisi lain, menguatnya institusi pemerintah yang diperkuat dengan (Partai) Golkar. Secara
kelembagaan, Muhammadiyah tidak memiliki hubungan apapun dengan partai politik pada
masa ini. Namun dampak dari situasi politik ini bagi Muhammadiyah (dan juga terhadap
ummat Islam umumnya) adalah tiadanya ikatan emosional yang kuat dengan partai politik
manapun. Dan inilah yang melahirkan pemikiran high politik, dalam mana Muhammadiyah
lebih menekankan partisipasinya pada konsep-konsep pembangunan dan wacana intelektual,
misalnya tentang konsep kenegaraan, konsep pembangunan politik, pembangunan ekonomi
dan seterusnya melalui berbagai aktivitas akademik maupun penelitian dan penulisan baik
yang diselenggarakan oleh PTM maupun Persyarikatan. Sementara itu beberapa kader
Muhammadiyah yang memiliki bakat dan kesempatan untuk berpolitik praktis, dipersilahkan
untuk bergabung ke PPP, Golkar, maupun PDI. Situasi inilah yang kemudian melahirkan
komitemen Muhammadiyah sebagai tenda besar cultural yang diharapkan tetap menjaga
jarak dengan semua partai politik sekaligus melindungi para politisinya yang ada di mana-
mana. Memang situasi keterkungkungan politik ini ada juga dampaknya secara organisatoris
terhadap Muhammadiyah (dan juga terhadap ormas lainnya), ketika diterapkan UU
Keormasan nomor 8 tahun 1985, terutama masalah asas tunggal Pancasila. Pada Anggaran
Dasar (kesebelas) tahun 1985 melalui Muktamar ke 41 di Surakarta. Pada Bab I Pasal 1
tentang Nama, Identitas dan Kedudukan, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini
(Muhammadiyah) beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara itu
pada Bab II Pasal 2 tentang Asas, dinyatakan bahwa “Persyarikatan ini berasas Pancasila”.
Kultur politik Orde Baru ini rupanya sebagian masih tersisa sekarang. Arus besar Reformasi
yang terjadi sejak 1997, sebenarnya tidak lepas dari peran Muhammadiyah.
Pada era Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan keberanian
yang signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk mengembalikan
potensi politik bangsa Indonesia. Di sinilah terjadi pematangan dan implementasi gerakan
amar makruf nahi munkar dalam aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa
Orde Baru. Pada Sidang Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim Orde
Baru), peluang Muhammadiyah untuk menjadi Parpol amat besar. Namun rupanya keputusan
Sidang Tanwir tersebut amat dewasa, dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan
menjadi partai politik. Warga Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau
bergabung dengan partai yang ada, dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpol
manapun dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini, yang kita lihat adalah formulasi peran
politik Muhammadiyah melalui kader-kadernya dalam apa yang disebut-sebut sebagai high
politik tadi. Beberapa isu politik penting berhasil diangkat, seperti demokratisasi,
pemberantasan KKN, dan Keadilan. Seluruh isu tersebut memang merupakan mainstream
Reformasi dan sekaligus sejalan dengan watak Muhammadiyah sebagai gerakan reformis.
Implikasi praktis dari arus besar ini antara lain dapat kita lihat betapa perwujudan
kepemimpinan nasional dengan lahirnya poros tengah dan mengusung Gus Dur ke Istana
(melalui Pemilu 1999), meskipun pada akhirnya langkah ini harus segera dikoreksi pada
pertengahan tahun 2002. Pada perjalanan pemerintahan Megawati, akumulasi ketidakpuasan
terhadap perjalanan reformasi ini semakin menguat. Krena itu wajar bila pada momentum
Pemilu 2004, Muhammadiyah (dan seluruh komponen reformasi) berharap terjadi perubahan
yang signifikan.
Sejak dulu, Muhammadiyah lebih dikenal organisasi Islam yang melakukan
gerakan transformasi kultural, dengan berbagai jenis unit aktivitas amal usaha.
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah yang bercorak pembaharuan, memiliki
keprihatinan yang tinggi terhadap permasalahan sosial-masyarakat atau umat yang masih
banyak berposisi terpinggir (kaum mustadh’afin).
Politik Muhammadiyah adalah politik nilai, khususnya nilai membela
kepentingan kaum terpinggir, nilai kesejahteraan, dan memperbaiki kualitas hidup
masyarakat. Tentu menjadi beban berat para kadernya untuk mengemban dan
mengaktualisasikan nilai-nilai itu.
Arus politik memang kuat sekali pada era reformasi ini. Para tokoh
Muhammadiyah sendiri, selama ini telah melakukan beberapa eksperimentasi (ijtihad)
politik dengan mendirikan dan mengembangkan partai politik. Yang menonjol adalah
berdiri dan eksisnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori oleh M Amien Rais.
PAN termasuk salah satu partai yang lolos ketentuan parliamentary threshold di
DPR. Berbeda dengan PAN, eksperimentasi Partai Matahari Bangsa (PMB) yang dibidani
oleh kalangan muda Muhammadiyah, masih belum berhasil dalam kontestasi demokrasi
elektoral.
Corak pilihan politik kader Muhammadiyah memang plural. Pilihan mereka tidak
hanya tertuju ke partai Islam, baik yang bersimbol atau berbasis massa Muslim, tetapi
juga pada partai-partai tengah yang bercorak catch-all. Pluralitas pilihan politik kader
Muhammadiyah tersebut sangat terkait dengan corak Muhammadiyah sendiri yang
rasional-moderat. Soliditas politiknya, tampak tak serekat jamaah NU yang bernaung di
bawah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), walaupun partai tersebut elitenya terpecah-
pecah.
Modernitas gerakan Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of
mind, bukan pada tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan
“fatwa politik” petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja ditaati.
C. KESIMPULAN
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan
dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya,
Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan
secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara
Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi
masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai
Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada
kepribadiannya.
Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah
menjadi “khittah” Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan
Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Modernitas gerakan
Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of mind, bukan pada tradisionalitas
patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan “fatwa politik” petinggi
Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja ditaati.
Muhammadiyah juga mengikuti politik, karena dapat menyebarkan agama lewat
dakwah dan politik. Sehingga masyarakat lebih mudah mengenal dan memahami ajaran
agama Islam dan maksud dari Muhammadiyah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat,Syamsul,M.Ag,2011,Studi kemuhammadiyahan,LPID,Surakarta
http://muadz-akademia.blogspot.com/2012/04/muhammadiyah-dan-politik-reorientasi.html
http://politik.kompasiana.com/2010/07/03/muhammadiyah-dan-arus-politik/
http://www.pdmbontang.com

Anda mungkin juga menyukai